Serangan Besar-Besaran (3)

58 7 0
                                    

Gabriel, Manuel dan Darren kembali menemui kendala, bukan berupa sekumpulan penyerang, melainkan banyaknya cipratan darah memenuhi lantai dan dinding lorong yang akan mereka lintasi. Darren, anak itulah yang menjadi kendalanya. Phobia darah dan enggan mengotori telapak sepatunya dengan darah teman-temannya sendiri.

       “Darah itu ‘kan kaya harga diri, gua nggak mau nginjek ah, gimana kalo pemilik darah itu udah nggak ada, ntar gua yang digentayangin. Ogah!!!” Rengeknya seraya meronta mencoba melepaskan diri dari cekalan dua temannya. “Gua jaga disini aja deh, lagian ruang persenjataan tinggal tiga puluh langkah lagi, dekat.” Terus saja Darren membuat sanggahan agar dia tidak melanjutkan langkahnya.

      Gabriel menyerah, pun Manuel, namun otaknya memunculkan sebuah ide jail.

       “Jangan salahin gua kalo di ruang persenjataan gua ketemu sama vampir cantik, ya.” Manuel melenggang pergi menyusul Gabriel.

*****

       Dua pemuda bertudung tiba di belakang sebuah kelas yang menjadi target mereka. Mata salah satu dari mereka mengawasi keadaan di sekitar, takut-takut jika tertangkap basah oleh kubu lawan. Jendela yang tertutup tirai menyulitkan mereka melihat keadaan di dalamnya. Langit yang mendung tidak mendukung keduanya untuk mengintip. Aksi saling tatap menjadi alat komunikasi untuk menentukkan tindakkan selanjutnya.

      Mereka mengangguk bersamaan.  Seorang diantara dua pemuda itu memetik kelopak bunga terdekat, mengukir sebuah inisial dan mengirimkannya lewat celah jendela yang rusak. Tidak kunjung mendapatkan respon, keduanya menggunakan cara lain.

      Sedangkan suasana di dalam kelas yang sudah tegang akibat berita yang disampaikan Zero perihal jarak para pemberontak semakin dekat bertambah tegang mendapati jendela kelas di ketuk lebih dari tiga kali. Jarak Deva dan sumber suara lebih dekat dibanding yang lainnya, secara perlahan anak itu mendekati jendela dan berhati-hati membuka tirai, sedangkan seorang temannya mengambil ancang-ancang bersiap melancarkan aksinya seandainya yang mengetuk adalah musuh.

      “Owooow... santai bray, ini gua, Ray sama Obiet.” Ucap Laki-laki bertudung itu yang mengangkat kedua tangannya bak seseorang yang menyerah di area pertarungan. Deva mengernyitkan keningnya, mempertanyakan kehadiran dua laki-laki itu yang seharusnya  sedang berada di rumah sakit. Ray mengerti perubahan raut wajah temannya, dia berkata, “Nanti aja gua jelasin, yang jelas, kita harus keluarin semuanya dulu dari sini, memperkecil korban jiwa.”

      Obiet bersama obeng dan beberapa alat pendukung lainnya melepaskan satu-persatu daun jendela di bantu teman kelasnya. Tak ada suara yang terdengar dari aktivitas mereka, begitu rapi dan amat diperhatikan setiap langkahnya.

      “Tim Deva maju duluan, bawa anak ceweknya masing-masing satu orang, satu orang itu adalah tanggung jawab kalian, luka atau tewas bakal terima hukuman dari gua.” Perintah Ray.

      “Masih aje si bocah, sikapnya.” Kata Cakka meledek Ray.

      Mereka mendapatkan perintah dan arahan selanjutnya dari Obiet yang menuntun teman-temannya keluar dari bangunan pembantaian itu.

      “Nih!!!” Ray melemparkan sebuah tas jinjing berisi jaket, sepatu dan topeng. “Like Jabbawockeez, kita nyamar berhubung bentuk tubuh kita beda tipis.”

      “Gabriel gimana?” Tanya Deva seraya melepaskan sepatunya.

      “Bisa di urus nanti.” Ray memutarkan kepalanya ke belakang, meminta status terakhir posisi para pemberontak pada Zero. Anak itu mengeluarkan jari telunjuknya dan mengarahkan ke sebelah kiri. Posisi pemberontak berada sangat dekat tepat ketika Obiet datang menjemput Zero, korban terakhir yang harus di evakuasi.

      Ray, Deva dan Cakka mengambil posisi santai duduk di beberapa sisi kelas bergaya cool, di samping mereka telah tertidur sebilah pedang asli China, Dao. Sedang tangan mereka memainkan sebilah pisau lain berwarna hitam mengkilap nan gagah. Musik telah mereka putar sebagai alasan penyemangat gerakkan. Sebuah suara berasal dari sisi kanan atas mereka. Obiet telah kembali dan duduk di bingkai jendela menaikkan satu kakinya, dia juga memainkan pisaunya.Topeng telah terpasang di wajah keempatnya. Di balik topeng putih itu, mata-mata nyalang siap menerjang siapa pun yang masuk ke dalam kelas tersebut.

*****

      Dua sosok di atap sekolah tengah mengamati keadaan di bawahnya sambil menghitung jumlah pasukkan yang telah datang memasuki pekarangan sekolah. Musik penghilang rasa bosan terus berputar. Dari arah belakang mereka terdengar derit suara seseorang yang mendarat di atas pecahan kaca.

      “Kenapa lama?” Tanya salah satu dari keduanya pada sosok yang baru saja datang.

      “Hei, ayolah, tugas yang kalian berikan itu rumit.

      Salah satu dari mereka mengedikkan bahu. “Baiklah, silahkan duduk, pertunjukkan sebentar lagi akan di mulai.”

      “Canggung, hah?”

*****

      “Kata lu berdua bakal ketemu vampir cantik.” Gerutu Darren, berwajah lesu. Kehadiran ketiganya di depan pintu masuk ruang senjata di sambut oleh empat pria bersenjata tajam yang mengacungkan mata pisaunya tepat ke jantung dan leher mereka. “Ini mah Dark Vender.”

      “Bergerak, kalian akan mati, lebih baik nyerah dan turuti perintah kami!!!” Laki-laki berkepala plontos dan berotot angat bicara. Darren, Manuel dan Gabriel tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti perintah orang dewasa tersebut. Dinginnya mata pisau telah menyentuh tengkuk mereka. Ada tiga orang lain datang menyergap mereka dari belakang.

      “Jangan biarkan mereka terluka, ingat!! Mereka bagianku.” Suara itu muncul dari dalam ruangan, tak ada wujud, bersembunyi di sudut tergelap ruang senjata itu. Pemilik suara memakai alat pengubah suara, namun bagi Gabriel, dia tetap bisa mengenali.

      “Di mana Rio!?” Tanya Manuel bernada tinggi.

      “Anak itu sudah tewas.” Jawab suara di dalam ruangan tersebut. Dia melemparkan seragam berdarah milik Rio. Gabriel mengambilnya perlahan. Pusat darah berada pada bagian depan atas seragam, jantung. Kemudian sepotong tangan yang masih mengenakan jam tangan kebanggaan milik Rio terlempar dan jatuh tepat di kaki Gabriel, membuat anak itu menggeram kesal.

      “Gua kecewa sama lu, bang.”

*****

Secret EnemyWhere stories live. Discover now