Restart

62 7 0
                                    

      Gabriel, Deva, Rio dan Ray duduk berhadapan di meja persegi panjang kantin. Semalaman mereka bertempur dengan pikiran dan perasaan mereka mengenai kejadian yang menimpa Ayi dan Aiden. Mencoba mengingat ulang semua kejadian dari awal pertemuan mereka dengan The L Maskman, mencoba menerka kemungkinan pelaku yang terlewatkan. Nyopon. Satu-satunya nama dipikiran mereka yang mungkin menaruh dendam. Tapi tidak mungkin, anak itu kemaren tidak masuk sekolah karena sakit dan dikuatkan selembar kertas dari rumah sakit, juga rekaman Cctv yang menandakan ketidakberadaan Nyopon di tempat baik Pra dan Pasca kejadian. Juga Deva mencoba mengingat tempat kejadian yang sempat ditelusurinya, termasuk tadi pagi pukul enam tepat, barangkali ada jejak yang tertinggal atau bukti yang luput dari matanya. Hasilnya masih sama seperti sebelumnya, tidak ada atau mungkin tidak ingat. Sulit berpikir di bawah tekanan, memori yang ada akan hilangan begitu saja.
      Di lain sisi, Cakka yang masih enggan berkumpul bersama mereka sibuk menelaah setiap sudut bangunan sekolah di bantu Obiet sebagai orang yang menanyai beberapa siswa, mungkin ada di antara mereka sempat melihat Ayi atau Aiden sebelum kejadian.
      “Gua sempat liat sih, Ayi kaya buru-buru gitu ke gudang belakang sekolah, terus nggak lama ada Aiden yang ngebuntutin dari belakang, gua pikir mereka janjian. Abis itu nggak tau apa-apa lagi.” Tutur seorang siswi berhijab.
      “Gua ngeliat mereka keluar dari lorong tiga buru-buru, nggak tau kemana.” Kata Bastian saat ditemui Obiet di depan perpustakaan. Lorong tiga yang dimaksud adalah lorong khusus anak kelas tiga. Di saat itu juga, Cakka yang berada di sebelah Obiet teringat pada kehadiran Alvin dan Kevan yang menghilang pasca kejadian, bahkan sampai sekarang pun masih tidak terlihat. Dia menyimpan opini itu untuk dirinya sendiri, tidak berani membeberkan sebelum ada bukti nyata keterlibatan mereka atas kejadian itu.
      “Biet, putar arah.” Perintah Cakka melihat kedatangan Bagas. Obiet tidak paham mengapa menyuruhnya putar arah bukan melabrak anak itu karena telah memasukkan seekor ular di laci mejanya.
      Tiba-tiba saja ponsel keduanya berbunyi serentak. Sebuah pesan dari nomor tak diketahui masuk ke dalam kotak pesan masuk.
      “Hanya orang yang tidak mendapatkan pesan ini terindikasi sebagai pelaku. Be Smart!!”
      Obiet dan Cakka saling beradu tatap.
      “Orang iseng kali. Ya kali kita tanyain seluruh siswa disini siapa yang dapet pesan kaya gini, bisa dower bibir gua.” Celetuk Cakka sekenanya. Mereka memutuskan kembali ke kantin melepas dahaga. Usaha mereka sia-sia, bayangan akan sesosok pelaku tidak di dapatkannya. Kecelakaan itu benar-benar direncakan begitu apik.
      “Kka, gabung kesana lagi, nyok!!! Ayi nggak ada, cuma lo doang yang bisa diandelin. Deva kurang bisa kerja sendiri dan Ray masih ngontrol emosinya, Gabriel... itu anak mood-mood-an. Ayolah!!!”
      “Lo aja, Biet. Gua gerak dari jauh aja, kalo dapet satu informasi, gua langsung hubungin lo.” Jika sudah begitu, disogok dengan hal-hal yang disukainya pun percuma. Cakka tetap menolah. Si anak teguh pendirian berkepala batu.
      Obiet meninggalkan Cakka seorang diri duduk di bangku nomor tiga dari tempat duduk Ray dan yang lainnya. Saat Obiet datang. Deva sedang bergerak menjauh menuju toilet. Mencuci mukanya dan menatap cermin lama, berbicara pada dirinya sendiri. Kebiasaannya ketika menemukan kebuntuan atas setiap permasalahan yang menimpanya. Ah, bahkan pantulan dirinya tak bisa berkata apa-apa.
      Triingg!!
      “Beware!!! Lingkungan adalah media kejahatan, sekelilingmu adalah kecacatan.”
      Deva yang memiliki insting tajam tau bahwa pesan itu bukan tidak sengaja di kirim, ada sesuatu dibalik tulisannya. Sebuah peringatan, mungkin. Tidak seperti pesan yang diterimanya lima menit lalu. Dia menyimpan pesan tersebut di Draft. Baru saja ingin keluar. Seseorang menabraknya sccara sengaja. Menjatuhkan sebuah map kertas berwarna coklat dan pergi begitu saja. Bagian depan map tertulis :
      “Buka di depan orang yang sangat dipercaya.”
      Dia berjalan menuju perpustakaan seraya mengetikkan beberapa kata yang akan dikirimnya pada teman yang terpercaya, sesuai instruksi di map. Sebagai salah satu anggota pengurus perpustakaan, Deva memiliki akses mudah masuk ke dalam ruang tersebut saat jam pelajaran di mulai. Peraturan perpustakaan mengatakan tidak diizinkan adanya pengunjung saat jam pelajaran sesudah istirahat. Jarinya bekerja cepat memutar kunci sebanyak dua kali dan buru-buru masuk sebelum ada yang melihat.
*****
      Ray bangkit dari tempat duduknya menghampiri Cakka. Keterlambatan seorang guru memudahkan dia mengikuti permintaan temannya.
     “Ikut gua, penting.”
     “Ogah!!! Gua lagi sibuk sama diri gua sendiri.” Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. Sibuk memilih lagu yang sesuai dengan suasana hatinya.
     “Gua gak terima bantahan.” Ray tak kalah ketuh dan menarik paksa Cakka agar bergegas menuju lokasi yang telah ditentukan. Seorang temannya telah pergi lebih dulu tanpa dicurigai siapa pun.
      Sepanjang jalan Cakka mencoba melepaskan cengkraman kuat Ray, namun usahanya sia-sia, tangan temannya telah terlatih menggenggam sesuatu begitu kuat, khususnya saat menabuh drum. Langkah mereka bagai tentara yang tengah melakukan pemanasan berlari keliling padang rumput yang menanjak. Di tempat tujuan, mereka melihat siluet dua orang anak sepantaran mereka berdiri berhadapan. Tak salah lagi, salah satu dari mereka pastilah yang mengirimkan pesan memakai nomor yang tidak terdaftar dalam ponsel Ray.
      “Ada apaan? Kenapa cuma kita doang?” Tanya Ray pada Obiet dan Deva. Cakka sibuk bersidekap dada tak berniat memasuki percakapan.
      “Masuk ke tempat biasa baru gua jelasin.” Perintah Deva. “Ini.” Deva mengeluarkan map coklat yang di dapatnya di toilet tadi setelah ketiga temannya masuk ke dalam ruang kecil yang pernah secara tidak sengaja ditemukan oleh Ayi.
      “Kenapa yang dua lagi nggak di panggil?” Tanya Cakka sedikit enggan.
      “Gua Cuma percaya sama kalian.”
      Singkatnya lantas membuka isi map tersegel tersebut. Foto seorang gadis tak bernyawa yang mendapat perhatian khusus dari Ray dan seorang gadis lain yang cukup aneh, namun Deva sendiri pernah melihatnya berada di lingkungan sekolah dan selembar kertas berbunyi :
      “Temukan mereka, maka petunjuk selanjutnya semakin jelas. Waktu kalian sempit, sebab mereka akan menghilang tanpa jejak.”
      Ray mengenal seakan mengenal tulisan itu, hanya saja dia ragu dan rasanya tidak mungkin si penulis adalah orang yang berada dalam pikirannya.
*****

Vote and Comment
Kritik dan Saran dibutuhkan

Secret EnemyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt