Losing Hopeless

72 6 2
                                    

       Ray mengadu pada gundukkan tanah adik laki-lakinya. Ketakutannya kehilangan satu lagi adiknya semakin menggebu, terutama ketika mengingat bagaimana adik perempuannya perlahan menutup mata seiring dibawa pergi raganya dari sisinya dan suara tersengal-sengal ingin mengatakan sepatah kata tersulit dalam hidupnya. Berkali-kali menarik rambutnya sendiri merutuki kebodohannya yang melampiaskan emosi pada adiknya. Kesalahan demi kesalahan yang telah berlalu kembali bermain di ingatannya, menambah rasa bersalah dirinya.
      “Percuma lo kaya gitu, gak akan merubah keadaaan.” Suara itu membangunkan Ray dari keterpurukkannya. Menoleh kesana-kemari mencari sumber suara. Dia tidak menemuinya. “Yang harus lo lakuin sekarang adalah pulang ke rumah dan ulang semuanya dari awal atau tuntasin apa yang udah dikerjain adek lo.” Lanjut suara yang dia yakini milik seorang wanita. Aneh, pikir Ray. Bagaimana pemilik suara itu bisa tahu masalah yang sedang di hadapinya?
      “Lo siapa? Keluar!!! Gak usah sok misterius.” Maki Ray tak mempedulikan peziarah lain.
      “Gua via, anak sekolahan lo program homeschooling.” Pemilik suara itu keluar dari arah belakang Ray memakai pakaian serba hitam dan payung hitam, kaca mata tanpa lensa menghiasi wajah gadis berkulit sawo matang itu.
      “Gua gak pernah tahu sekolah gua punya program itu.” Ray berdiri mengusap airmata yang tersisa di ujung pelupuk matanya.
      “Whatever. Gua Cuma mau ngasih tahu aja, lebih baik lo pulang ke rumah daripada nangis dan ngadu pada gundukkan tanah yang gak akan ngejawab pertanyaan lo. Temen-temen lo nungguin di rumah dan sepertinya mereka udah dapet kabar mengenai Ayi. Rembukkin dan cepat selesaiin masalah lo sebelum kehilangan orang yang lo sayang lagi.” Via, gadis yang baru di kenalnya mengucap banyak kata dan bersikap seakan sudah saling mengenal. Ray tidak di beri celah untuk bertanya atau menyela. Ah, dia sendiri bahkan tidak berniat bertanya. Pikirannya hanya ingin segera pulang dan membuktikan perkataan gadis yang baru ditemuinya.
*****
      “Percaya sama kata hati lo, jangan percaya sama tinta yang terlalu timbul. Diam dan tidak berbuat apa-apa itu beda. Suruh mata dan pikiran lo bekerjasama. Rumah akan mudah hancur karena pondasinya lemah dan akan kuat kalau berhasil menempatkan batu pertama di tempat yang tepat”
      Rekaman yang di dapat Obiet dari ponsel milik Aiden di putar berulang kali, mencerna maksud dari setiap kata yang dikeluarkan seorang laki-laki. Suara itu seperti mereka kenali, tapi milik siapa, masih terus dicari. Menscan suara-suara yang sering mereka dengar dan cocokan pemiliknya, namun mereka tidak dapat mengenali pemilik suara dalam rekaman tersebut. Lingkaran kecil di ruang tengah mereka buat seraya menunggu kedatangan Ray, agar saat pemuda itu datang, mereka langsung memulai diskusinya.
      Deva melamun mengingat kembali insiden di sekolah. Apakah ini ulah orang yang sama, yang telah meneror sekolahnya atau berkaitan dengan misi yang sedang dijalani? Tempat kejadiannya begitu bersih, tak ada barang bukti, sangat terlihat seperti sebuah kecelakaan tidak di sengaja. Tapi, dia yakin insiden itu bukan kecelakaan. Atau Steven Jigsaw telah memunculkan dirinya, memberikan tanda sekaligus peringatan mungkin?
      Derit pagar terbuka dan deru motor yang di gas maksimal terdengar oleh tiga laki-laki di ruang tengah. Mereka serentak menoleh ke pintu, menunggu terbukanya pintu dan menampakkan sosok yang sedang mereka tunggu. Ada banyak berita akan dibeberkan pada pemuda itu.
      “Jadi, kabar apa yang sudah kalian dapat?” Tanya pemuda yang datang menenteng helm. Dia belum duduk dan posisinya masih cukup jauh dari ketiga temannya.
      “Ayi koma dan kehilangan banyak darah, untung stok darah di rumah sakit masih ada, selain itu, Asma Ayi sempat kambuh dan memperparah keadaan.” Terdapat jeda beberapa saat. Gabriel menarik nafas dalam-dalam. Berita yang satu ini akan lebih menyakitkan, terutama saat Ayi tersadar. “Aiden di bawa ke luar negeri sama orangtuanya, luka yang di terima Aiden jauh lebih parah dari Ayi. Ada kemungkinan Aiden amnesia seumur hidup dan.... lumpuh.” Mata Ray membesar mendengar hal itu. Berita itu akan membuat Ayi sedih.
      Tidak, saat ini, keselamatan adiknyalah yang harus diutamakan. Dia harus fokus pada misi yang setengah selesai. Matanya melirik Deva yang sibuk membaca. Ray berdeham menarik perhatian laki-laki itu. “Ah, ini cuma data diri siswi baru. Namanya Ify, tapi gua merasa datanya gak bener. Entahlah.” Deva menutup bukunya dan memperhatikan teman-temannya yang kini tengah berduka. “Jadi, rencana kita kali ini apa? Udah kehilangan dua anggota dan dua-duanya unggul dalam menyelesaikan misi ini. Gua gak yakin dalam waktu dekat semua akan beres.” Anak itu seakan menyindir teman-temannya.
      Wajah mengejek Deva berubah serius. “Tutup seluruh celah di rumah lo, ada yang mau gua sampein dan ini bersifat pribadi, aktifin juga invisible dan silent mode rumah lo.” Perintah itu dilaksanakan Ray tanpa protes. Mereka merapatkan diri, berbicara seraya menunduk agar suara tidak menyebar ke seluruh ruangan.
      “Gua udah punya bayangan modus operandi pelaku dan calon penyandang identitas SJ.” Sebut Deva bersuara pelan. “Berdasarkan clue yang udah gua kumpul, gua punya kesimpulan modus operandinya bukan hanya balas dendam. Ray, lo pernah bilang ‘kan kalo Refisa White melakukan hal itu atas dasar serangan pembunuhan yang sempat tertunda?” Ray membenarkan. “Bukan hanya itu, melainkan masalah harga diri keluarga. Sejak kejadian penculikkan itu, secara nggak sengaja keempatnya berpisah dan secara nggak sengaja juga ketemu lagi di sekolah ini. Gua dapet informasi baru dari orang kepercayaan gua kalo ternyata, pemilik Catched Magazine adalah seorang yang berhubungan langsung dengan sekolah ini, entah itu pemilik yayasan, pemilik sekolah, tanah atau apapun itulah, makanya si pelaku meneror sekolah kita, selain karena para mantan korban, dia berusaha menarik perhatian orang yang udah ngambil perusahaan keluarganya untuk alasan pribadi.” Deva diam sejenak, berusaha mengingat informasi lain yang hampir terlupakan. “Oh iya, ingat waktu TKP Nyopon di paku sama orang ngga di kenal, disana kita nemuin jejak darah dan selongsong peluru?” Tentu mereka masih mengingatnya. “Pemilik selongsong peluru adalah Mr. Skyler Monroe. Gua belum nyari biografi beliau, gua baru dapet hasilnya kemaren.”
      “Terus maksud lo kita harus nyari tahu siapa beliau dan hubungannya sama tragedi yang menimpa Nyopon?” Deva mengangguki pertanyaan Gabriel. “Tambah kompleks aja tugas kita.” Keluhnya.
      “Rio mana?” Tanya Ray keluar dari topik pembahasan.
      “Lagi pulang sebentar, orangtuanya datang.” Jawab Gabriel.
      “Guys, gua nggak yakin sama hal yang gua temuin ini, tapi—“ Obiet berhenti. Dia diserang kegelisahan hebat dan baru pertama kalinya dia merasakan hal tersebut.
      “Sebut aja, Biet. Salah enggaknya urusan belakangan, yang penting kita kumpulin aja informasi sebanyak-banyaknya, sekecil-kecilnya.” Tutur Gabriel.
      “Pelaku penculikkan Refisa White yang ada di dalam sel ternyata bukan pelaku sebenarnya, dia... teman dekatnya White, sedangkan yang asli masih berkeliaran bebas dan... orang itu adalah keponakan orang berpengaruh di sekolah kita.”
      “Semakin jelas. Empat korban, anak-anak dari mantan kolega perusahan media cetak milik keluarga White, pemilik baru perusahaan tersebut dan pelaku penculikan yang sekaligus pembunuh ibu White berkumpul di sekolah ini. Wajar aja kalau siswa-siswi disini dijadiin tumbal masa lalunya orang berpengaruh sekolah kita.” Beber Deva dengan kesimpulan akhirnya.
      “Tindakkan selanjutnya?” Tanya Ray kembali.
      “Nothing. Jujur aja, gua masih syok atas kecelakaan yang menimpa Ayi dan Aiden. Terlalu cepat, sampai gua gak bisa lihat padahal gua ada di kantin dan sempat lihat mereka di lapangan.” Deva menyenderkan tubuhnya pada kaki sofa, melamun sejenak, lalu menatap tiga pasang mata teman-temannya, terutama Ray yang masih di selimut kabut duka. “Sorry, bro.” Pemuda yang masih mengenakan jaket kulit dan memangku pelindung kepalanya hanya tersenyum tipis.
      “Gua ke kamar dulu, mau tidur, capek.”
*****
      Sekuat-kuatnya akar beringin yang menjalar di dalam tanah dan menancapkan ujung-ujungnya pada lapisan tanah lain yang lebih dalam, sebesar apapun tubuh kokohnya menopang banyaknya ranting dan daun yang mencoba menyusup pori-pori udara dan betapa indahnya rambut-rambut yang menjuntai bak perhiasan pohon tersebut, bila angin berkecapatan tinggi membawa muatan benda-benda berat, pohon itu akan rubuh jua. Menghadapi kenyataan pahit, meski sudah tumbuh beratus tahun lamanya dan berharap akan hidup abadi melihat perkembangan manusia dari masa ke masa.
      Begitu pun seorang anak Adam yang kembali diterpa angin hangat dalam keluarganya. Kilasan balik mengenai kejadian berdarah di sebuah lapangan basket indoor yang menewaskan adik laki-lakinya terputar kembali bak melodi yang melatari sebuah drama perpisahan abadi. Dentuman senjata api yang menggelegar, teriakan para penonton dan pemain, darah yang bercipratan menambah sentuhan warna, selain warna-warna yang menempel di ruangan tersebut, minuman dan makanan yang sempat melayang di udara, kemudian tenggelam atau menyatu dengan darah dan tatapan sendu nan lemah adiknya saat kepala sang adik berhasil dipangkunya, persis seperti kejadian beberapa jam lalu dan rintihan kesakitan adik pertamanya yang menghantarkan dia pada tidur abadinya. Semua bermain bak film fantasi yang sering diputarnya kala waktu senggang. Film yang kini memiliki episode kedua tanpa sebuah akhir yang pasti, hanya berharap dan terus berharap kejadian lama tidak terulang lagi.
      Dia luruh di badan pintu yang sudah di kuncinya. Tidak terisak atau pun menangis. Hanya melamun, namun mata kosong itu melakukan reka ulang atas peristiwa pagi menjelang siang tadi sambil merutuki kebodohannya tak bisa menjaga sang adik dengan baik dan melanggar janjinya pada adik laki-lakinya. Ras bersalah terus merangkulnya tanpa celah.
      Dia menggeleng.
      Sadar bahwa kebekuannya tidak akan merubah keadaan. Dia bangkit menuju meja belajar, mengambil secarik kertas yang menarik perhatiannya. Selembar kertas bertinta merah di depannya. Penting!!! Sayangnya, dia tidak bisa menebak pembuat tulisna tersebut dikarenakan berasal dari potongan-potongan koran lusuh.
      “Kontrol emosimu dan lihatlah kebenaran di depan mata!!!”
    Sebuah link menyertai isi surat tersebut di bawah tulisan perintah itu. Kepala Ray tersambung pada sosok adiknya. Tapi, jelas tidak mungkin, dia tengah terbaring memperebutkan nyawanya di rumah sakit. Malas berpikir, dia menempelkan lembar tersebut pada pintu lemari bukunya.
      "Siapa pun lo yang bikin Ayi sekarat, gua bakal bikin lo berkeliling dunia dalam waktu yang bersamaan."

*****
Vote & Comment please
Kritik & Saran dibutuhkan

Secret EnemyWhere stories live. Discover now