Back

80 5 4
                                    

     Suara rintihan terdengar menyakitkan keluar dari mulut salah seorang antek-antek Rio. Dia yang sibuk menatap kejam sepasang mata milik Gabriel mengalihkan fokusnya ke arah sesosok jubah hitam berdiri di samping Bagas, dari balik jubahnya, terlihat jelas tetesan darah berkejaran turun menyentuh bumi. Rio murka.

      “Hampir aja telat. Hi Guys!!!!”

      Seorang gadis membawa Crossbow di bahu kanannya datang dengan seulas senyum manja. Sebuah anak panah tergenggam di tangan kirinya, dia membuka topeng yang melekat di wajahnya. Beberapa orang tercengang melihat kehadiran gadis tersebut. Terlebih Rio yang tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Berbeda dengan Ray yang langsung menghampiri anak tersebut dan merangkulnya. Senyumnya terlihat sangat lepas.

      “Kok lu—“ Rio kehilangan kalimatnya.

      “Hi guys, sorry telat, nih anak lelet.” Dua orang lain yang dapat dipastikan adalah laki-laki datang menyusul membawa jenis senjata berbeda. Mereka juga ikut membuka topengnya.

      “Ozy?” Pekik Obiet yang tampak sangat terkejut. Meskipun memakai masker, namun kekhasan mata yang dimiliki Ozy sangat mirip Ray. Hal yang tak dapat menipu ingatan Obiet.

      “Hai.” Sapa Ozy canggung.

      “Et, ini bukan waktunya reunian, ntar aja tanya-jawabnya. Selesaiin masalah dulu.” Tutur kata jenaka Ayi berubah sangat cepat ketika matanya bertemu pandang dengan Rio. Penuh dendam, namun berbalut seulas senyum. “Surprise... surprise.... I’m not die, Aidan too, we still alive.” Sikap centil dan angkuh Ayi muncul bersamaan.

      Aidan berdiri di sisi kiri Yomi melambaikan tangan, senyum terlebarnya terlihat mengerikan. Mereka bagai Bonnie and Clyde dan dia memberikan senyum tercerahnya pada lawannya yang berada di hadapan Cakka.

      “Racun Colossus, hah?!” Aidan terdengar meremehkan. Dia berdeham cukup lama sambil memperhatikan lawannya. “Mematikan. Tapi sayang, tercela oleh gerakkan lo yang mudah di baca.”

      Ayi berjalan ke sudut ruangan, menduduki sebuah meja dan meletakkan dua stopwatch kecil. Selisih perbedaan waktu di antara kedua jam tersebut adalah sepuluh jam. “Gua cuma punya lima jam pertama buat lu, Rio, untuk nyelamatin istri tercinta lo.” Ayi sempat bertanya pada dirinya sendiri, “Masih kecil udah punya istri, ya. Udah punya penghasilan tetapkah?” Kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Panah yang setia menancap di tangan Refisa menyembunyikan racun Weling, kalo lo mau dia selamat. Rebut penawar racunnya di gua.” Ayi tersenyum sinis.

      Ozy secara tegas melepaskan tudung yang menutupi wajah yang menjadi objek penyerangan Ayi. Gadis Amerika yang terkontaminasi masa lalu dan rasa trauma besarnya tampak pucat, tapi keganasannya tidak pudar sedikit pun. Rio kesal mendapati wajah pucat itu merebut paksa senjata api dari tangan salah satu anak buah terdekatnya. Ingin menembak Ayi yang entah sudah kehilangan rasa takut dalam dirinya. Dengan cekatan dan kelincahannya, Manuel berhasil menangkis peluru yang melesak keluar di dorong oleh kecepatan angin hendak bersarang dalam dada kiri Ayi memakai alat pertahanan dirinya. Ray lega melihat itu.

      “Perang sudah di mulai, lima menit telah berlalu, tunggu apa lagi?” Ayi begitu santainya berkata. Pihaknya belum ada yang bergerak.  Mata mereka memperhatikan sekumpulan manusia berjubah hitam yang ada di depan mata. Memilih dalam hati siapa yang akan di lawan. Satu-persatu senyuman miring terbit di wajah para laki-laki yang telah siap dengan senjatanya. Manuel dan Darren bahkan sudah jauh dari kata lebih baik, mereka sudah siap bertarung.

      Pasukan Rio yang berada di barikade terdepan menyerang lebih dulu, di susul beberapa orang setelahnya. Ayi, ditemani Obiet hanya duduk menunggu di atas meja. Pemandangan di kelas kakaknya tak ubahnya bak arena pertempuran. Cipratan darah berasal dari luka goresan atau tebasan mulai berceceran di dinding dan lantai. Setiap menumpas satu lawan, akan beralih ke lawan lain yang masih kuat bertarung.

Secret EnemyWhere stories live. Discover now