Petunjuk Pertama

136 5 1
                                    

Dimana kami? Kami sedang berada di taman. Setelah semua yang kami terima dalam satu hari, mood kami down, terlebih lagi Ayi yang menderita trauma berat pasca insiden itu. Menurut info yang dikasih tau Obiet, kelas Ayi dipindahin sementara waktu ke ruang serba guna. Gue udah ngasih tau hal itu ke Ayi, tapi dia tetap gak mau sekolah, dia mau nenangin diri dulu. Gue sebagia seorang kaka Cuma bisa nurutin kemauan adik gue, gue paham gimana rasanya berada di posisi Ayi.

Saat ini Ayi lagi tiduran dipangkuan gue, dari tadi matanya tertutup dan deru nafasnya terkadang teratur, terkadang memburu. Begitulah cara Ayi bangkit dari keterpurukannya. Gue pandang lekat-lekat wajah gadis tomboy berjiwa feminim ini. Terlukis jelas rasa lelah dan sedih menghadapi menghadapi semua permasalahan yang datang dalam sehari. Gue pun merasakan hal yang sama. Gue capek, terutama saat gue mengingat apa yang dilakukan seorang kepala rumah tangga di rumah bersama seorang wanita yang gue kenal baik sebagai asistennya. Jangan-jangan selama ini papa gak pernah meeting keluar, melainkan meeting bersama wanita jalang itu. Persetan dengan mereka semua!!!

"Kenapa laki-laki Cuma bisa nyakitin hati dan perasaan seorang wanita?" Ayi bertanya dengan matanya yang tetap tertutup.

"Apa gue termasuk laki-laki yang lo maksud itu?" Ayi terdiam. "Gak semua laki-laki punya sifat bejat kaya orang-orang yang lo maksud. Laki-laki yang gak memiliki otak dan hatilah yang mampu menyakiti seorang wanita, mampu menciptakan kesakitan yang teramat dalam di hati seorang wanita lewat tindak-tanduk dan ucapannya, laki-laki yang lupa dari mana mereka berasal kalau bukan rahim seorang wanita. Laki-laki yang seperti itu pantas disebut banci, bermental lemah sebab dia gak bisa mempertanggungjawabkan kesalahan dia, gak bisa bertanggungjawab atas apa yang udah dia lakuin ke seorang wanita."

"Termasuk papa?"

"Ya."

"Apa lo bakal nurun sifat papa?" Pertanyaan Ayi satu ini membuat gue berpikir keras. Pepatah selalu mengatakan, "Buat jatuh tidak jauh dari pohonnya", gue takut itu terjadi, tapi gak menutup kemungkinan juga gue bisa menjadi yang lebih baik dari papa.

"Insya allah enggak. Kalau pun iya, lo boleh bunuh gue, karena gue pun gak akan sanggup kalo harus ngeliat seorang wanita meneteskan airmatanya karena ulah gue."

Ayi bangkit dari tidurnya, sorotan matanya tertuju penuh ke wajah gue, sulit buat gue mengartikan tatapan mata itu. Selang beberapa detik, dia meluk gue, pelukkan yang dalam dan cukup lama gue rasain. Debaran jantungnya bisa gue mengalir ke tubuh gue, memberikan sinyal bahwa organ tubuh yang ada di dalam sana sedang gak stabil, terdapat kegelisahan, kesedihan dan kepedihan yang bersatu di dalam sana. "Gue gak mau balik ke rumah, gue gak mau ketemu papa. Dia udah gak sayang lagi sama kita." Ucapan itu membuat gue terhenyak. Ayi gak pernah ngomong gini sebelumnya, sekeras apapun papa menampar Ayi, kalimat ini gak pernah keluar. Huh, wajarlah, kekecewaannya sudah berada di puncak, apalagi setelah semua yang dilaluin kemaren, memperburuk suasana hati Ayi. Gue usap lembut puncak kepalanya, membelai setiap surai rambutnya. Gue ngerti apa yang dia rasain saat ini.

"Kita bakal hidup berdua, gue 'kan udah punya penghasilan tetap sendiri, jadi lo gak usah khawatir bakal kekurangan." Gue acak-acak rambut adek gue sebagai bentuk kasih sayang.

Ya, gue emang punya usaha sendiri yang gak diketahui siapapun kecuali Ayi dan kak Dayat. Ah, si brengsek itu lagi. Usaha gue bergerak dibidang musik dan kuliner. Gue punya studio musik yang selalu di booking band-band terkenal atau pun lokal dan sebuah cafe bergaya Indo-Jepang.

"Gue gak perlu uang lo kok, gue Cuma butuh kasih sayang dan perhatian lo aja. Gue punya uang sendiri dari bisnis dunia internet gue." Ah iya, dia 'kan seorang hacker, mudah bagi dia untuk mendapatkan uang dengan cara apapun dan yang pasti halal.

Secret EnemyWhere stories live. Discover now