Restart 2

72 4 0
                                    

"Surat itu mengatakan, 'Kematian akan mendekati anak-anak asuh kalian satu-persatu'. Dan itu kita." Cerita Cakka pada teman-temannya secara singkat pada jam makan malam di Cafè milik Ray. Semuanya berkumpul memegang pulpen dan buku kecil untuk mencatat hal-hal yang menurut mereka penting. Pertemuan telah berlangsung satu jam. Di mulai dari Ray mewakili Deva menceritakan pengejaran mereka terhadap dua gadis yang tak disebutkan namanya itu.

"Jadi, intinya kita buntu lagi? Hanya pengetahuan tentang surat ancaman itu yang ditulis lewat ketikan, kita bisa apa? Robot pun gua yakin gak akan bisa ngasih tau itu tulisan siapa." Rio angkat bicara.

"Tiga kali, tiga kali kita nemuin kebuntuan. Kita benar-benar kalah dari pelaku dan gua gak yakin bisa nyelesaiin masalah ini." Gabriel mulai terdengar putus asa. Namun Deva dan Cakka sangat merasakan adanya hal yang ganjil, sesuatu yang terlewat oleh mereka.

Ray melirik jam tangannya, mengundurkan diri sesaat menemui para karyawan.

"Tolong buatin satu minuman yang sama lagi buat teman-teman gua, setelah itu kalian tutup aja Cafè-nya, bilang ke pelanggan kalau hari ini Cafè di pake untuk acara pribadi, abis itu kalian boleh langsung pulang. Soal gaji untuk bulan ini udah gua taruh di loker masing-masing, tolong kasih tau ke yang lain juga." Perintahnya pada seorang laki-laki dua tahun di atasnya, kaki-tangan Ray yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak.

"Ngomong-ngomong, bro. Gua selalu doain yang terbaik buat adek lo, semoga cepat sadar dan main kesini lagi." Ray tersenyum dan menggerakkan mulutnya untuk berucap terimakasih tanpa suara. Dia bergegas kembali ke ruangan tertutup.

Dia mendapati teman-temannya tengah terdiam sibuk pada pikiran masing-masing, sedikit berbeda dengan Cakka yang berada di pojok ruangan, berdiri menghadap kaca besar menatap jejeran gedung dan pertokoan, headphone bertengger di telinganya. Pikir Ray, anak itu masih belum berdamai dengan Rio. Keras Kepala memang. Lain halnya Deva yang meletakkan keningnya di atas kedua lipatan tangan sementara wajahnya dibiarkan menikmati motif Mandala lantai ruangan tersebut. Rio sibuk mencoret-coret bukunya, entah apa yang ditulis.

"Baik kita pulang aja, percuma juga sih kaya gini, ngumpul tapi gak ada topik dan petunjuk." Usul Obiet. Mendengarkan hal itu, tanpa pamit Cakka meninggalkan teman-temannya begitu saja. Mengambil jaket juga tasnya.

*****

"Gua butuh data akurat, bukan katanya, jangan main-main lo!!!"

"Gua serius, itu yang gua dapetin. 'Katanya' itulah yang akurat, dia gak pernah asal ngasih info ke gua kok, terjamin kebenarannya. Lebih baik lo urus surat kepindahan lo, sebelum lo yang jadi taruhannya."

"Gua gak bisa."

"Kenapa? Besok lo tanding basket, kan? Emang lo mau kejadian beberapa tahun lalu yang menimpa anggota tim lo terjadi sama diri lo?"

"Pertandingan di undur, gua gak bisa main pindah gitu aja, udah kelas tiga nanggung. Lo seriuskan sama data-data yang lo dapet ini, pertaruhan nyawa, men?"

"Sembilan puluh sembilan persen, sisanya hanya Allah yang tau. Kalo gitu gua cabut ya."

"Oke. Thanks."

"Lo bisa dateng ke rumah gua? Penting."

Cakka meletakkan ponselnya di atas meja belajar setelah menelpon Deva dan menutup pintu kamarnya setelah dia memastikan sang tamu telah turun dan keluar dari rumahnya. Data yang diperolehnya tersimpan rapi dalam sebuah flasdisk, dia menyambungkan alat tersebut pada laptopnya, membiarkannya bertengger disana sampai Deva datang.

Kurang dari tiga puluh menit tamu yang ditunggunya telah datang. Tampak beberapa titik warna lebih gelap di jaket temannya, tanda rintik hujan sudah menjamah bumi. Rumahnya kosong, kedua orangtuanya berada di luar kota sedang sang kakak sibuk menginap di rumah temannya mengerjakan proyek musik.

"Kenapa harus gua sih, kenapa bukan Ray?"

"Dia lagi di rumah sakit nungguin Ayi."

"Terus kenapa gua yang dipanggil bukan Obiet."

"Karena Ayi lebih percaya sama lo." File yang baru saja di bukanya langsung menampilkan jejeran kalimat. Mata Cakka yang telah terlatih membaca cepat, menemukan beberapa hal penting yang perlu di catat Deva. "Disini tertulis kalau orang yang menculik Refisa a.k.a pelaku sesungguhnya adalah keponakan dari donatur terbesar sekolah kita. Daneil Natanielo, saat ini 32 tahun. Kabarnya telah di penjara oleh Kepolisian RI atas kasus penyelundupan Narkoba. Lapas Pasir Putih, Nusakambangan. Wow, benar-benar penjahat ulung." Komentar Cakka di tengah-tengah keseriusannya. Lapas tersebut memiliki keamanan yang berlapis sebab terisi narapina kelas berat atau biasa disebut kelas kakap.

"Setahu gua, donator terbesar sekolah itu... Rusdi Natanielo adek pemilik yayasan." Terang Deva melanjutkan tulisan yang sempat tertinggal, namun tertanam di kepala.

"Eh, Deva... tadi lo bilang adek pemilik yayasan?" Deva mengangguk. "Mr. Skyler Monroe." Cakka menuliskan nama tersebut dalam sebuah buku. "Roesky Monler." Dia mengacak nama tersebut. "Rusky Montasdi Lero atau Ruski Muntasdi Lero, nama pemilik yayasan, kan?" Deva mengangguk. Dia teringat sesuatu. Selongsong peluru. Nyopon. Ada satu hal lagi yang pernah diingat olehnya. Dia membuka ponselnya, mencari file dokumen dan mengambil file bernama TLM. Dia membukanya dan membacanya. "RW's Magazine pada tahun 2006 di beli oleh seseorang berkebangsaan Inggris berinisial SM. Tiga tahun setelahnya diambil alih sebuah sekolah swasta di Indonesia." Deva membacakan temuannya. "Perusahaan media tersebut kini telah menjadi hak milik saudaranya yang berinisial RN. Menurut lo?" Deva memancing kepekaan Cakka atas dua kabar yang di dapat.

"Gua paham, tapi buat apa ada selongsong peluru?"

"Kalau gitu lo pegang aja pelurunya, bisa, kan?" Peluru yang mereka temukan telah berada di antara mereka, di atas sebuah buku yang terbuka berisi tulisan tangan Deva. Cakka paham. Dia mengambilnya.

"Bodoh, bagaimana mungkin gadis itu berada disini!? Bukankah sudah kusuruh menyewa pengawal profesional untuk menjaga gadis itu!!? Dari dulu kerjaanmu tak pernah beres!! Selalu saja menyusahkanku. Dasar adik tak berguna!!!"

"Maafkan aku, tapi gadis itu begitu licin dan licik. Cctv telah kupasang di setiap sudut rumah, begitu pun para pengawal, tetap saja dia lolos dari pengawasan."

"Aku tidak mau tau, tangkap dia atau nama keluarga kita akan tercoreng. Paham!!"

Cakka kembali pada realitas. Melamun sejenak tak memahami apa yang baru dilihatnya. "Peluru itu bukan untuk Nyopon. Sebelum Nyopon, telah terjadi perseteruan antara dua laki-laki tua yang wajahnya gak bisa gua liat, mereka ngomong soal gadis. Gua rasa mungkin yang dimaksud itu Refisa, karena salah satu dari mereka ngomong, 'Bagaimana mungkin gadis itu berada disini'."

"Oke, itu bisa kita pikirin nanti. Ini yang lebih penting. Gua tau kaitan Bagas, RW dengan SJ. Bagas adalah korban ketidaksengajaan mereka berdua. Saat itu nafsu RW itu melukai seorang anak muncul, kebetulan Bagas ada disana, itulah yang terjadi. Dan kenapa Bagas bisa terikat emosi dengan mereka bisa gua tebak sebagai sebuah hipnotis alam."

"Jadi, apa yang harus kita lakuin buat bikin pemilik yayasan buka suara dan nangkep SJ, kita bahkan gak tau wujudnya gimana."

"Sayangnya, kepala gua baru aja kedatangan lampu." Deva tersenyum miring.

*****

Vote and Comment
Kritik dan Saran dibutuhkan

Secret EnemyDove le storie prendono vita. Scoprilo ora