The Explanation

96 8 3
                                    

      Dokter baru saja keluar dari ruang ICU setelah memeriksa keadaan Ayi. Pemuda yang masih memakai seragam sekolah berbalut jaket Jeans-nya terduduk di salah satu kursi besi yang tersedia di samping pintu ruang ICU, dia membungkukkan badannya dan menangkup seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Airmata mengalir dari sela-sela jari yang merapat. Sebagai seorang dokter yang telah memiliki sepasang anak berusia sama dengan pasiennya, beliau paham betul bagaimana perasaan Ray, hanya bisa mengelus punggung dan meremas bahu pemuda tersebut agar tegar menjalani hidupnya. Kalimat-kalimat penyemangat sedang tak berlaku untuk Ray.

      Dokter dan dua susternya pergi.

      Untuk sejenak Ray menenangkan dirinya sebelum masuk menemui Ayi. Berita yang di dapatnya terlalu sukar di terima olehnya. Segala mimpi buruk yang membayangi tampaknya telah menang satu langkah dari harapan besar Ray. Dia berhenti di depan pintu yang telah dibukanya, memandang sang adik dan layar monitor di sebelahnya. Tak ada yang salah, masih sama seperti kemaren, namun kenapa pihak medis tega memberinya berita buruk? Bukankah masih ada harapan bagi seorang pasien koma bisa sadar bahkan sudah lima tahun lamanya? Ray masih sangat yakin adiknya bisa diselamatkan, tapi dokter berkata lain, dalam dua hari ke depan, jika tidak ada perkembangan yang signifikan, segala alat penunjang kehidupan Ayi dilepas dan Ray harus menyiapkan keperluan-keperluannya menyambut tubuh sang adik.

      “Ayi, lo bangun dong, lo tega ninggalin gua sendiri? Gua tau, dek... gua bukan abang yang baik buat lo, gua tau Ozy lebih unggul dibanding gua dalam ngejaga lo, tapi apa lo gak mau kasih gua kesempatan buat bisa memperbaiki semuanya?” Ray terdiam, membiarkan airmatanya jatuh lebih banyak, menghapusnya dalam sekali usapan, menarik nafas dan kembali berkata, “Lo inget gak apa kata gua pas di taman, kita bakal hidup berdua, kan? Terus kenapa lo kaya gini? Saat gua suruh tidur, lo selalu bilang ‘males tidur mulu, capek’ Ini udah berapa hari lo tidur, emang gak capek?” Tangisannya berderai. “Gua nyerah, dek. Gak tau harus gimana. Kalo emang lo lebih sayang Ozy, silahkan, tinggalin aja gua sendiri. Toh, dari dulu gua juga sendiri, kan? Lo selalu sibuk sama Ozy dan gua sibuk sama dunia gua. Setiap gua punya waktu luang buat ngajak kalian main, kalian selalu punya alasan buat nolak. Kaliang ngejauhin gua? Kenapa? Kalian bales dendam sama gua? Tapi apa harus sejauh ini, sampe gua gak bisa liat senyuman kalian lagi? Gak bisa denger suara tawa kalian dari kamar gua yang selalu bikin gua semangat. Tawa kalian adalah melodi terindah dalam hidup gua, partitur terbaik yang ada dalam buku harian gua. Dan semua menghilang gitu aja bagai ditiup angin atau dihapus oleh instrumen kematian? Lo tau, dek, kehilangan satu aja hidup gua hampa, gimana kalau gua kehilangan satu lagi... kosong, hidup gua kosong, gua kaya mayat hidup yang terus berjalan di permukaan bumi meski udah kena tembakan berkali-kali. Itu yang kalian mau, menyiksa gua atas kesalahan yang gak sengaja gua perbuat? Gua tau gua bodoh, abang yang bodoh!!!”

      Ucapannya terhenti oleh getaran ponsel. Dia tidak langsung membuka. Menenangkan diri, menarik nafas berkali-kali, mencoba menstabilkan suara dan hatinya, dia mengusap seluruh airmata yang tetumpah ruah. Sekali lagi dia menarik nafas, membuangnya secara kasar, barulah sebuah ponsel dia keluarkan dari saku jaketnya.

      “She’s not Ayi.”

     Tulisan itu muncul di layar menu utamanya. Ray ingat perkataan Ayi saat adiknya tengah melacak seorang peretas di ponselnya, bahwa kejadian itu terulang kembali. Seseorang kembali meretas ponselnya. Tulisan itu menghilang seolah di hapus, berganti tulisan lain yang cukup membingungkan di tengah pikiran keruhnya.

      “Datanglah ke sebuah rumah kosong di dekat toko pakaian yang biasa kau kunjungi. Rumah itu berada tepat di belakang toko tersebut. Ajaklah seseorang yang kau percayai dengan akal sehatmu. Waktumu dua jam, lewat dari itu kau akan kehilangan kehidupanmu.

      Tulisan itu berjalan perlahan lalu hilang. Ponsel Ray mati, kemudian hidup kembali seolah Ray baru saja menghidupkannya. Ray segera membuat janji temu dengan Deva di sebuah halte dekat rumah sakit, dia akan menjemputnya disana. Secercah harapan tulisan itu benar, sebab, tak ada hal yang lebih indah lagi—sekalipun berita itu dikirim oleh orang yang tidak diketahui—selain membuktikannya. Secepat kilat Ray sampai di halte.

Secret EnemyWhere stories live. Discover now