The Messerer

99 10 2
                                    



Hari yang merepotkan di dalam keterjebakan kami dengan para manusia topeng itu. Deva di fitnah dan terancam di D.O memilih untuk nonton tv bareng gue dan Ray, tapi tangannya sibuk mencengkram angin karena rasa geramnya terhadap pelaku, Gabriel dan Rio yang mencari gara-gara dengan preman hanya untuk melampiaskan emosi mereka yang tertunda‒mang sih salah preman-preman itu juga yang memalak dua anak SMA yang sedang emosi, jadi yah, bukan uang pemasukan yang mereka dapetin malah uang pengeluaran‒sibuk meninju samsak milik dua bersaudara itu di halaman belakang.

"Iya pak, saya yakin seratus persen itu photoshop, kalo bapak gak percaya sama saya silahkan bapak tanyakan saja pada guru TIK kita." Suara Ayi terdengar berada di belakang kami sedang menerima telepon dari pihak sekolah. Semoga aja pembelaan Ayi bisa membebasin Deva dari hukuman apapun yang seharusnya gak dia terima.

Tiga sekawan itu mungkin rival gue, tapi gue masih punya hati untuk bisa ngerasain kesusahan yang mereka rasakan saat ini. Siapa coba yang mau pagi tenangnya di ganggu fitnahan dari orang yang gak di kenal? Kalo gue yang ada di posisi Deva mungkin semua mading beserta ruangan mereka habis gue acak-acakin.

"You find the suspect?" Mata Ray melirik sekilas adiknya itu yang baru akan duduk disamping gue. Hembusan nafas berat muncul sesaat sebelum sebuah kalimat meluncur. "Not yet." Ayi mengeluarkan hpnya dan membuka aplikasi e-mail. "Wrong guy. Gue bingung, alamat IPnya terlacak dari rumah Goldi, tapi kata Goldi dia bahkan gak punya akun lagi setelah sehari sebelum kejadian ini dia di hack orang."

Perkumpulan kaya mereka bisa di hack orang lain juga ternyata.

"Kak, kakak gak usah khawatir, hukuman kakak di cabut, gue tadi ke sekolahan lagi buat ngejelasin dan tadi juga gue dapet telepon dari pak Duta buat mastiin foto itu rekayasa. So, its clear. Including your name." Kabar yang dia bawa emang bagus, tapi wajah Ayi dan Deva masih tersirat sebuah pertanyaan yang gue yakin sama. Siapa pelakunya.

"Who care? Gue cuma mau pelakunya, gue pengen nanya apa masalah dia sama gue." Nada emosi itu baru pertama kali gue denger. Gue dan Ray yang menjadi penengah mereka hanya bisa mendengarkan tanpa bisa menyela. Apa yang mau di sela kalau pikiran gue satu dengan mereka.

"Kak, alamat IP gak bisa dipalsuin, kan?" Pertanyaan tanpa alamat.

"Kakak siapa nih, lo disini paling kecil." Gue bertanya datar sambil mengganti channel tv. Muak nonton sinetron.

"Ya kakak guelah siapa lagi." Gue noleh ke Ray dan dia menggelengkan kepala sebagai jawabannya. "Setau gue gak bisa, tapi ada satu hal yang bisa dipalsuin. Lo dateng ke kamar gue entar malem, gue bakal jelasin semuanya." Ini yang gue kurang suka dari mereka, selalu main rahasia-rahasaian. Sebagai tim walau sementara, harus saling terbuka dan percaya. Bukan serba sembunyi.

Kedua laki-laki yang sibuk meninju benda mati datang dengan keringat yang memenuhi seragam mereka. Anak badung. Mereka duduk membawa bau keringat yang kurang sedap, i mean, keringat amarah yang masih melekat. Rupanya mereka masih belum mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk melampiaskan emosi tersebut.

Suasana senyap seketika. Cukup mencekam karena telinga gue bisa menangkap deru nafas tiga sekawan itu yang membabi buta. Mereka sama sekali belum berada di puncak kepuasan sebelum bisa menghajar habis sang pelaku.

"Eh, apa-apaan." Rio. Dia kesal sebab channel tiba-tiba berubah menjadi hitam tanpa gambar dan warna. Belum pernah terjadi hal yang kaya gini selama gue stay disini dan lagi, pemilik rumahnya pun memberikan respon yang sama kaya gue. Ada yang gak beres. Kengerian mencekam membangunkan bulu kuduk gue mungkin juga mereka.

Secret EnemyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt