Serangan Besar-besaran (2)

86 8 4
                                    

     Tak ada seorang penyusup pun di lorong yang sedang dilalui Gabriel dan dua temannya. Pikiran Gabriel memburuk sebab tak mendapatkan tanda-tanda kehadiran Rio. Mungkin Rio tertangkap, atau bahkan terbunuh. Dia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu.

      “Kita mau kemana?” Tanya Manuel.

      Tiba-tiba saja Gabriel tersenyum sinis, matanya menyipit. “Kita ke datangan tamu.” Senyuman itu diikuti kedua temannya. Mereka, terhitung kurang dari satu menit mengubah aura cerah menjadi kelam.

      “Let’s party!!!” Pekik Darren menaikkan tudung dan memasang headsetnya. Hentakkan musik keras menjalar cepat di lorong telinganya.

      Sekitar lima belas orang datang menyerang tiga anak pemuda bersenjatakan double stick. Manuel yang terlahir dari keluarga pembuat senjata tersohor sangat mahir memainkan alat tersebut dengan banyak gaya, sedangkan Darren hanya memikulnya di pundak seolah membawa sebilah samurai dan Gabriel memegang masing-masing ujung alat keras itu yang terbuat dari kayu, menampilkan kilauan rantai dibagian tengahnya. Tak perlu perpindahan tempat, penyerang-penyerang itu menghampiri mereka secara berkelompok.

      Gabriel dengan gaya anarkisnya, Manuel yang hanya berputar di tempat tanpa menggeser sejengkal pun ujung sepatunya dan Darren yang hiperaktif memanfaatkan kelenturan tubuhnya sebagai seorang Bboy, berhasil menumpas habis penantang mereka dalam waktu relatif sebentar.

      “Fifteen minutes, not bad.” Ucap Manuel melirik pergelangan tangannya yang terhiasi benda bertali aluminium ringan itu. Gabriel dan Darren telah selesai mengikat sekaligus membius para penyerang mereka. Menyembunyikan mereka di dalam gudang terdekat.

      “Ada gunanya juga si Deva jadi ketua PMR.” Ujar Darren melihat ujung jarum suntik yang tajam berada digenggamannya.

      “Ayolah, waktu kita sedikit.”

*****

      Dua orang pemuda memasuki pekarangan sekolah penuh sikap hati-hati. Tudung yang menutupi kepala dan headbuff yang mereka gunakan menutupi sebagian wajah. Tak seorang pun mengetahui identitas mereka. Sekolah yang sepi dan lengang menunjukkan siapa pun yang memporak-porandakan sekolah tengah sibuk menyantroni kelas-kelas dan menyandera penghuni sekolah yang ditemukan para penyerang.

      Beberapa cipratan darah, jejak sepatu lebih dari sepasang, goresan di beberapa sisi dinding, serpihan kaca, pot tanaman yang pecah dan beberapa pohon yang bertubuh tinggi, ranting dan batangnya terlepas dengan pola teratur, bekas tebasan dalam sekali layang dan dinding-dinding yang menampilkan wujud aslinya, sarat bekas tembakan. Benar-benar pemandangan yang memilukan. Membawa mereka pada era Orde Baru.

      “Kita cari yang lain, baru tumpas semuanya.”

      “Yups, ini akan jadi kenangan paling indah.”

      “Cis, gua baru tau lo punya sisi Psycho.”

*****

      Dari ketinggian gedung sekolah, dua orang remaja menunggu dengan sikap santainya seraya menyaksikan tampilan layar monitor yang terbagi menjadi enam rekaman. Dua buah senjata laras panjang telentang menghadap sinar matahari. Keduanya duduk layaknya di pantai. Tak mempedulikan sinar matahari yang menyengat. Fokus mereka hanya pada layar tersebut, agar tak satu pun peristiwa terlewat dari perhatian. Mereka juga sedang menunggu sinyal untuk memulai aksi.

      “Ah, akhirnya hari ini datang juga. Gua capek bermain di balik layar.”

      “Yeah, but— Actually, i’m truly happy you come back.”

      “Me too dear. After all these years, waiting for the moment to arrive. Ah, i’m so happy.”

*****

      Tirai-tirai kelas tertutup rapat. Cakka dan lima orang ahli memainkan senjata berdiri menghadap pintu beberapa senti jauhnya. Bersiap menembak seandainya para pemberontak tak di undang itu datang mendobrak pintu. Deva menjaga barisan kedua yang berdiri sembilan puluh derajat dari tempat Cakka, di belakangnya para siswa bertangan kosong di pimpin Tio bersiap membantu dan barisan terakhir enam gadis memiliki keberanian lebih telah bersiap dengan kayu yang berasal dari patahan meja. Sisanya meringkuk di belakang saling memeluk satu sama lain, bu Ana berada di tengah mereka menenangkan siswinya, juga Zero yang terus mengutak-atik laptop milik Deva. Dia telah berhasil meretas Cctv sekolah. Tempat paling aman yang harus dijangkau untuk mengevakuasi teman-temannya, itu pun kalau si  pemegang kunci canggih ruangan tersebut tidak tertangkap atau tidak menyebutkan kodenya. Beruntung, anak itu sedang berada di luar.

      “Kelas satu, keseluruhannya telah disandra, beberapa pingsan dan terluka.” Lapor Zero. Dia menggeser ke rekaman berikutnya. “Kelas dua, beberapa masih bisa diselamatkan dan—“ Kata-katanya tercekat. “Kelas tiga sama sekali nggak terjamah, tapi mereka juga udah bikin pertahanan. Ini aneh.” Sebuah komentar dibubuhi Zero pada akhir kalimatnya.

      “Nggak aneh kok, nanti juga kalian tau.” Kata Deva diam-diam tersenyum miris. “Yang perempuan, gua minta keberanian kalian untuk dimunculin, jumlah kita masih kurang.”

      “Ya, jumlah mereka terlalu banyak kalo cuma kalian doang yang bertugas melindungi.” Tambah Zero.

      Seorang gadis dengan mata nyalangnya melangkah membelah barisan yang telah rapi tersusun, matanya menatap lurus ke depan. Tak henti hingga berdiri di depan Cakka. Semua memperhatikannya penuh kengerian. Gadis itu biasa di panggil Zhy, satu-satunya gadis di kelas yang menyukai film dan cerita bergenre gore—sejenis penyiksaan— hampir tidak takut pada hal apapun. Keburukkannya hanyalah, dia sering tersenyum sinis seorang diri dan melamun. Di saat itulah siapa saja tahu bahwa dia sedang membayangkan hal-hal buruk nan sadis. Dalam cengkraman tangannya, gadis itu memegang tongkat besi.

      “Ouh yeah, good girl.” Sapa Cakka menggeser tubuhnya, memberi ruang pada gadis itu untuk ikut mempertahankan keamanan teman-temannya.

*****
VotMent^^
Kritik dan Saran diperlukan

Secret EnemyOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz