Pengakuan Pelaku

54 8 4
                                    

   “Aku mau kau menculik dan membunuh Ray sebagaimana yang telah kau lakukan pada adiknya.” Percakapan itu tertangkap basah oleh dua pasang telinga milik dua pemuda yang baru saja memasuki pekarangan sekolah. Pagi buta seperti ini, tak seorang pun ingin datang terburu-buru, kecuali satu orang. Yang secara tersirat telah disebutkan dalam selembar kertas di kirim tanpa tanda pengenal. Keduanya tersenyum, kedok orang itu terbongkar. Serapi apapun suara itu disamarkan, ciri khas dari pita suara lawan bicara adik kelas mereka tidak dapat mengecoh pendengaran tajam dua pemuda tingkat akhir Sekolah Menengah Atas. Mereka saling bertukar pandang licik.
      “So, what you gonna do, dud?” Tanya Sang Wakil Ketua Osis pada temannya.
      “Biarkan angin melintas, tapi jangan sampai daun di dahan terjatuh. Lo tau ‘kan, seorang peneliti bersedia menunggu objeknya sampai tumbuh dan berkembang sesuai dengan waktu yang ditentukan?” Obiet tersenyum puas. Hafal betul tabiat teman karibnya jika sudah bertutur kata layaknya seorang penyair. Pastilah kepala temannya sedang dipenuhi berbagai macam ide.
      Tujuan mereka mendatangi kelas kembali dilanjutkan. Hanya meletakkan surat izin, setelah itu keduanya berpencar ke tujuan yang telah ditentukan. Tak menyangka Ray datang lebih cepat dari biasanya, bahkan dari kebiasaan lamanya. Pemuda itu menutupkan seluruh kepalanya menggunakan jaket hitamnya, tak ada pergerakkan, sebuah kabel putih menyembul di bagian bawah tubuhnya. Kemungkinan besar anak itu sedang tidur, mungkin kelelahan menanti kesadaran Ayi, pikir Obiet dan Cakka.
      “Tumben jam segini udah datang?” Suara serak menghentikan langkah keduanya untuk meletakkan surat yang telah mereka sabotase.
      “Gua kira lo tidur. Gua ada acara keluarga, jadi nganterin surat bentar.” Alibi Cakka.
      “Gua ada Olimpiade Fisika, pihak sekolah sih udah tau, tapi ini untuk formalitas aja biar gak dibilang sombong.” Obiet tak sepenuhnya berbohong. Dia memang mengikuti Olimpiade tersebut, hanya saja acara itu diselenggarakan pada malam hari.
      Tak ada sahutan dari temannya itu. Mereka memutuskan untuk pergi setelah sebelumnya pamit.
      Ray memastikan tak ada lagi suara langkah kaki di luar. Mengenyahkan jaket hitamnya ke samping dan buru-buru mengambil selembar tissue yang sempat di belinya di kantin. Seragamnya telah dipenuhi darah yang keluar dari hidungnya. Bukan tanpa sebab, kepalanya terasa sangat berat, benturan yang dialaminya beberapa waktu lalu, pasca kecelakaan hebat itu, rasa sakitnya timbul kembali. Dokter sudah pernah memperingatinya sebelum beranjak dari rumah sakit, bahwa dalam dua bulan ke depan, dia tidak diizinkan memikirkan hal-hal berat dan dilarang begadang. Keadaan memaksa Ray melanggar semua itu.
      Baru saja hendak berdiri, Ray merasakan nyeri pada lehernya, nyeri yang menjalar hingga ke kepalanya. Sekilas, sebelum kesadarannya di ambil alih oleh rasa sakit, Ray melihat pantulan seseorang memakai pakaian serba hitam dari kaca kelas.
******
      “Anda harus mengaku, waktu saya tidak banyak, semakin anda bungkam, teman-teman saya satu-persatu akan tewas di tangan pelaku.” Desak Cakka pada laki-laki bertubuh atletis di depannya, terpisahkan oleh tembok dan kaca. Percakapan mereka lakukan lewat sebuah alat yang memiliki satu tombol di badannya.
      “Saat itu saya mabuk berat dan saya melakukannya secara random. Pembunuhan itu, saya menyukainya dari awal.” Tak ada penyesalan di wajah laki-laki berkepala tiga itu.
      “Cis, Psikopat!!! Seberapa sering anda berkomunikasi dengan mantan korbanmu sejak dia pindah ke Indonesia?”
      “Dua bulan pertama dia berada disini, sejak itu, tak ada lagi.”
      “Apa dia pernah mengatakan akan menerusi jejakmu atau justru anda yang menyuruhnya?”
      “Tidak keduanya. Dia terinspirasi. Hei, untuk apa bocah sepertimu mengulik hidup seseorang? Kau menyukainya?”
      “Aku mengejarnya sebab dia dalang dari serangkaian peristiwa mematikan di sekolahku!! Apa dia pernah menyebutkan seorang rekan atau apapun itu?”
      Laki-laki di depannya tiba-tiba tersenyum. “Aku akan memberitahukan segala informasi tentangnya yang aku punya, tapi dengan satu syarat. Masukin dia ke dalam sel yang sama denganku, bagaimana?”
      “Kuusahakan. Cepat berikan!!!” Otak Cakka berpikir keras. Merasakan sebuah kejanggalan dari percakapannya dengan pelaku, Daneil Natanielo. Terlalu mudah dan terlalu terbuka, bahkan Daneil menjawabnya dengan cepat tanpa berpikir dua kali. “Kau menipuku, benar?” Cakka tersenyum licik. Emosinya benar-benar stabil saat ini.
     Daneil tertawa. “Sejak pertama aku melihatmu, aku merasakan diri kita sama. Keluargamu terlalu sibuk mengurusi kehidupan mereka hingga melupakanmu. Tak seorang pun dari teman-temanmu ingin bergaul denganmu sebab kau terlalu liar bagi mereka, pembuat onar dan petarung ulung.” Kening Cakka berkerut, hampir ke selurahan ucapannya adalah fakta. Lawan bicaranya pun tersenyum miring. “Tak perlu memikirkan darimana aku tahu, cukup melihat wajahnya dan semua tentangmu terbuka di mataku. Kau tahu, teman-temanmu saat ini hanya memanfaatkanmu. Berlindung di belakangmu agar mereka aman dari segala ancaman bahaya dan mengorbankan dirimu. Begitu kau tewas, tak satu pun dari mereka yang bersedih. Yakinlah, aku sudah merasakan hal itu jauh sebelummu, nak.” Terdapat keheningan sesaat. “Kenapa kau tidak bergabung dengannya saja, kalau kau bersedia, aku akan membocorkan segalanya padamu, bagaimana, kau tertarik? Akan kupastikan kehidupanmu jauh lebih baik.”
      Tawaran itu terdengar menarik di telinga Cakka yang hatinya memang selalu hampa, dia membutuhkan sesuatu yang baru. Tapi—
      “Anda sangat bodoh rupanya. Yang anda sebutkan itu, bukanlah kehidupanku. Ya, meski ada beberapa yang benar. Ah, sudah hampir tengah malam, aku harus segera pulang untuk menyiapkan pesta besar besok. By the way, terimakasih atas informasi tersirat yang anda berikan, sangat membantu sekali.” Cakka tersenyum penuh kemenangan.

*****
Vote and Comment^^
Kritik dan Saran diperlukan

Secret EnemyWhere stories live. Discover now