Sucks

90 5 2
                                    

Berada di tengah manusia egois seperti Cakka dan Rio membuat Ray terbungkam seribu bahasa. Hukuman yang diberikan bu Ira masih belum cukup bagi mereka untuk berdamai. Sesekali Ray melirik pada Obiet dan Gabriel, meminta bantuan mereka untuk mendamaikan, keduanya justru terlihat acuh. Tidak ada lagi cara yang bisa digunakan Ray, semua cara di kepalanya telah dia gunakan dan tidak membuahkan hasil.

Ray sadar sikapnya tadi malam dan pagi ini telah melukai hati adiknya. Mendengar perkataannya saja sudah cukup bagi pemuda itu untuk tahu seberapa terluka hati adiknya dan betapa adiknya sangat kecewa padanya. Tapi, tidak ada jalan lain selain diam memikirkan celah permasalahan Cakka dan Rio.

"See?" Ray merentangkan salah satu tangannya menghadap ke tangga, tempat yang baru saja dilalui adiknya dan temannya. "She's mad to me. Dan gua gak tahu harus gimana ngadepin ego kalian." Dia terduduk frustasi.

"Mau lo apa, Yo? Kalo lo gak suka sama gua bilang, gua bisa mundur dan out dari rumah ini. Dari awal juga gak suka terjebak bareng kalian, emang lo pikir mudah ngontrol emosi setiap kali kalian nyuekin pendapat gua? Gua up." Cakka bangkit meninggalkan segala amarahnya di ruangan tersebut.

Tiga pasang mata menatap miris kepergian Cakka dan keputusan sepihak yang di ambil Cakka. Kemudian salah satu pasang mata—Obiet—menatap tajam Rio yang duduk berseberangan darinya, memandang laki-laki berkulit hitam manis itu cukup lama dan pergi menyusul Cakka.

Dari ujung lorong, terlihat kamar Cakka terbuka lebar, terdengar suara barang-barang dibanting dan munculah sosok laki-laki bertubuh sedikit pendek darinya. Anak itu Obiet, tengah memandang punggung teman baiknya.

"Lo yakin sama keputusan lo?" Tanya Obiet menyimpan kedua tangannya di dalam saku. Yang diajak bicara menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.

"I'm sure 'bout this. Lagian gua selalu dihantuin firasat buruk selama tinggal disini dan mumpung ada celah, mending gua gunain celah itu jadi alasan gua cabut dari rumah ini." Jawabnya ketus, namun nada bicaranya tidak meninggi.

Obiet yakin betul firasat temannya itu benar. Dia tahu kelebihan yang dimiliki Cakka, membuatnya selalu percaya setiap perkataan laki-laki pemilik hobi basket itu. Tapi, untuk saat ini, Obiet tidak mungkin meninggalkan rumah Ray. Melihat kondisi Ray saat ini dan permasalahan yang sedang menguji keprofesionalan OSIS, dia mengira Ray butuh sosok dirinya sebagai wakil ketua OSIS sekaligus penasehat, seperti yang selalu dilakukannya di sekolah. Ray tanpa ragu meminta pendapatnya atas segala permasalahan yang menghadang laki-laki kurus itu.

"Sorry i can't come with you."

"Don't worry. I ask to you to save they life."

Cakka meremas bahu temannya kuat-kuat, mengalirkan segala kecemasan dan kemarahan yang ditangkap dengan mudah oleh Obiet. Obiet mengangguk, memang itulah tugasnya, khususnya dia akan menjaga Ray dan Ayi, sesuai janjinya pada almarhum Ozy.

Pelukkan hangat diberikan Cakka untuk Obiet sebagai perpisahannya di rumah ini, beberapa kata yang dibisikkan Cakka berhasil membuka lebar-lebar mata Obiet. Berharap kalimat itu tidak benar. Sebab jika terjadi, kekacauan kembali menghampiri mereka, kelabu nan pekat akan sulit untuk dihapuskan di saat-saat seperti, saat mereka saling membutuhkan satu sama lain sebagai penyangga.

"Gua titip ya." Ucap Cakka selepas kalimat keramat itu disebutkan. Obiet mengangguk tegang.

Disandangnya tas ransel hitam miliknya, laki-laki itu segera meninggalkan kamar inapnya dan berjalan menuruni tangga. Melewati tiga manusia yang menyambutnya dari bawah dengan berbagai macam artian. Dia tidak peduli.

Deruman motor Cakka yang begitu memekakkan telinga sangat terdengar jelas oleh Ayi dan Deva yang memang sedang duduk di teras tanpa membahas satu hal pun. Mereka menatap nanar kepergian Cakka yang melajukan motornya begitu kencang. Permasalahan mereka makin runyam. Keputusan Ayi untuk menyelesaikan tugas dari The L Maskman berdua dengan Deva semakin bulat. Terbesit perasaan kakaknya seandainya Ayi benar-benar melakukan itu. Dia pasti sakit hati karena tidak dianggap olehnya. Ayi kembali menimbang hal itu sebelum memutuskannya.

"Oiya, gua dapet alamat IP. Tapi, belum gua cari." Ayi berusaha memecahkan ketegangan diantara mereka berdua. Tepatnya, mencoba kembali fokus pada inti kerusuhan hidup mereka.

"Kalo gitu kenapa gak di cari sekarang?" Ayi memiringkan kepalanya, matanya dibuat sayu dalam artian; 'emangnya apa yang gua lakuin sekarang'. Sayangnya, pesan itu tidak sampai pada pikiran kusut Deva.

"Gua 'kan lagi ngerjain." Mulut Deva membulat, dia baru sadar ternyata sejak tadi Ayi memainkan tangannya diatas keyboard laptop.

123.256.8.99 adalah alamat sesungguhnya dari akun-akun sosial media yang telah mereka temukan sebelumnya. Ayi masih tidak percaya akun sosial media itu mengarah pada Bagas yang menurut pandangan matanya terlalu sempurna untuk dijadikan tersangka. Tidak terlihat tindak-tanduk kejahatan di dalam diri Bagas.

"Sebelum lo nemuin pemilik IP itu, gua udah dapet informasi lengkap tentang si tukang kebun." Sepasang mata Ayi tertuju langsung pada Deva, menyuruh laki-laki Bali itu melanjutkan perkataannya. "Si tukang kebun, sebelum bekerja menjadi tukang kebun adalah seorang pedofil yang memangsa anak-anak kalangan atas, dia juga seorang pembunuh yang membunuh..." Ayi tahu akhir dari kabar itu sangat tidak mengenakan. "Anne White... ibunya Refisa White... saat mencoba menyelamatkan anaknya."

Ayi bergumam. "Rupanya meniru pola kejahatan di tambah balas dendam."

Jelas, semua profil mengenai Refisa White sudah sangat jelas dan nyata, tinggal bagaimana mereka menemukan jati diri Steven Jigsaw dan segera mengakhiri semua penderitaan ini.

"Get it!!!" Seru Ayi setelah berhasil menemukan alamat IP tersebut. Dia melanjutkan dengan meretas berbagai alat elektronik yang menggunakan infrared di rumah itu. Tangan Ayi begitu lihai, hingga tidak butuh waktu lama untuk mengetahui wajah-wajah penghuni rumah mewah itu. "Holy Shit!!" Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Ayi. Betapa tidak, pemilik rumah dengan alamat IP Georgie's Resident adalah temannya sendiri, sosok yang selama ini dia kagumi.

Segera Ayi melarikan diri ke dalam kamarnya, mengeluarkan banyak komputer yang tersimpan rapi di balik benda-benda yang tidak dapat di sangka oleh Deva. Decak kagum meluncur dari mulut Deva.

Gerak tangan Ayi semakin gesit menghidupkan satu-persatu komputer, dia juga meminta tolong Deva mengunci seluruh kamarnya rapat-rapat. Deva mencium sesuatu yang tidak beres sedang terjadi antara adik temannya dengan alat-alat komputer itu. Ayi menyambungkan komputernya pada ruangan-ruangan berbeda di rumah berwarna cream itu, dia berhasil memanfaatkan kamera infrared di rumah yang sepertinya di lengkapi alat canggih hampir diseluruh sudut rumahnya. Menguntungkan Ayi memperhatikan gerak-gerik anak pemilik rumah tersebut.

"Sebenarnya ada apa sih?" Deva kesal melihat tingkah Ayi seperti orang kesetanan tanpa menjelaskan apa yang terjadi.

Ayi memutar kursi berodanya menghadap Deva dan mencoba menjelaskan sesingkat mungkin apa yang sudah di temukannya. "Seseorang tanpa nama ngasih gua alamat IP itu untuk dilacak karena bersangkutan sama... ya sebut aja kasus... yang lagi kita hadapi dan yang gua temuin adalah ini semua." Dia merentangkan tangannya merujuk pada sejumlah komputer berjajar.

"So, dia korban pasutri itu?" Ayi mengangguk mantap. "Tanpa riwayat yang sama seperti empat korban lainnya... Dia korban pengalihan atau pergantian target?" Sampai sekarang gadis itu belum menemukan jawabannya.

"Kita cari tahu itu nanti. Yang jelas, cuma lo doang yang tahu hal ini, jangan lo sebar dulu ke yang lain termasuk kak Ray." Deva mengangguk sepakat.

Ini menyebalkan, pikir Ayi. Dia kecewa telah mengidolakan orang yang salah, dia beruntung sebab kabar ini segera dia genggam sebelum akhirnya dia jatuh terlalu dalam pada rasa kagumnya, dan lebih beruntung lagi Aiden berhasil merebut hatinya begitu cepat.

*****

Secret EnemyWhere stories live. Discover now