Pengintaian

77 5 2
                                    


    Semalaman suntuk Ayi begadang memperhatikan gerak-gerik si empu rumah, sudah bergelas-gelas kopi habis di minum olehnya, tak satu pun kegiatan menarik yang dapat memancing keingintahuan Ayi. Yang terjadi disana hanyalah aktifitas remaja pada umumnya. Gadis itu mulai jengah. Dan memilih membaca komik saat jam berdentang pukul empat pagi.
      “Ada apa, Stev?” Nama depan yang disebut membuat Ayi kembali memusatkan perhatiannya pada salah satu komputernya. Gadis itu menggeser tempat duduknya menuju pojokkan kamar, tempat dimana anak itu terekam tengah berbicara dengan seseorang.
      “Stev? Apa itu Steven Jigsaw?” Ayi membatin.
      Anak itu mengambil headsetnya dan memasangkan ke telinganya agar terdengar lebih jelas.
      “Siapa lagi target lo?” Ayi memilih diam mendengarkan secara khidmat pembicaraan tersebut. Tangan Ayi yang terbebas mencoba meraih laptop miliknya dan mencoba meretas kembali ponsel Bagas untuk mengambil nomor telepon yang sedang tersambung itu.
     Bukan perkara mudah untuk Ayi, dia juga tidak bisa membangunkan Obiet, percakapan itu terlalu penting untuk dilewatkan. Sebisa mungkin Ayi memusatkan pikirannya pada dua objek berbeda. Butuh waktu cukup lama bagi Ayi untuk bisa mengetahui nomor si penelepon.
      “Lo yakin dengan cara itu kita bisa berhasil, gimana sama Refisa, dia setuju?” Bagus!!! Ayi girang dalam hati sebab dia semakin dekat dengan pelaku dan tidak salah lagi orang yang menelepon Bagas adalah Steven Jigsaw yang sedang diburunya. Hanya bagaimana caranya agar Bagas mau membuka sedikit informasi mengenai pria bernama seram itu.
      “Terus, kapan kita susun jebakannya?” Sementara Ayi masih berusaha melacak nomor si penelepon, Bagas terus berbicara mengenai rencana memakan korban selanjutnya di sekolahnya sendiri. Ayi berharap kali ini tidak semenyeramkan sebelumnya, dia tidak ingin melihat anggota keluarganya terluka bahkan tewas.
      “Di kelas dua belas IPS? Gampang itu mah.” Ucap Bagas. Ayi hampir berhasil mendapatkan nomornya ketika Bagas memutuskan percakapannya. Gadis itu menggeram kesal. Andai dia bisa bergerak lebih cepat, detik itu juga masalahnya akan selesai dan kehidupannya akan segera kembali normal.
*****
      Percakapan itu masih terngiang jelas di pendengaran dan ingatan Ayi, dia duduk di kantin seorang diri seraya memainkan tangannya di atas keyboard laptop. Ayi tidak ingin melewatkan peristiwa penting yang akan menghantarkannya pada pelaku kedua, dia juga telah menelepon Aiden untuk menemaninya di sekolah, tepat saat gerbang sekolah di buka.
      Tidak lama Aiden datang bersama ibunya. Ayi tersenyum pahit, betapa beruntungnya Aiden bisa diantar orangtuanya ke sekolah dan bermanja bersama kedua ibunya. Ayi merindukan pelukkan hangat mamanya, Ayi merindukan belaian kasih mamanya saat dirinya hendak memasuki alam mimpi.
      “Assalamu’alaikum bunga.” Sapa Aiden.
      “Wa’alaikumsalam lebah.” Ayi menjawab dan bangkit menyalami ibu Aiden.
      “Maaf ya, sayang. Tante jadi ikut Aiden kesini, soalnya tante dengar kamu datangnya pagi banget. Jadi, tante pikir kamu pasti belum sarapan.” Ibu Aiden mengangkat rantang berbunga dan meletakkannya di atas meja.
      “Iya tante gak apa-apa, tapi.. aduh, jadi ngerepotin. Padahal ‘kan aku bisa jajan di kantin tante.” Ucap Ayi sopan.
      “Gak apa-apa kok, sayang. Uangnya kamu hemat aja, kamu makan masakkan tante aja, ini spesial lho.” Ayi tersenyum senang mendapati sikap hangat ibu Aiden pada dirinya. Gadis itu semakin iri pada kehidupan Aiden. “Yaudah kalo gitu, tante izin pergi lagi, ya. Mau ke kantor soalnya, ada berkas yang mau di urus. Jangan lupa di makan, ya.” Tangan wanita paruh baya, namun tetap menampilkan kecantikkan dan pesona anggunnya hinggap di kepala Ayi dan mengusapnya penuh kasih sayang, persis seperti mamanya dulu. “Aiden, kamu jagain pacar kamu, jangan sampe sakit.” Lanjut ibu Aiden, kali ini pada anaknya sendiri.
      “Siap bos.” Aiden memberikan hormat seumpama melapor pada komandan.
      Keduanya menatap pergi wanita karir yang berjalan bak model, senyum mengiringi kepergian wanita itu.
      “Jadi, kasih tau gua kenapa lo dateng sepagi ini?” Perintah Aiden membuka tutup rantang. Ibunya membawakan sandwich tuna dan sekotak susu juga ada youghurt di bagian paling bawah rantang. Masing-masing mendapatkan satu
      “Lo tau teror yang lagi dihadapin sekolah kita?” Aiden mengangguk seraya membuka pembungkus sandwich. “Gua nemuin pelakunya.” Kegiatan Aiden terhenti sejenak. Berita itu, antara bagus dan buruk untuknya. Aiden meletakkan kembali makanan itu dan menatap dalam mata gadisnya.
      “Bisa gak, lo gak usah ikut-ikutan nyari pelaku? Biar kakak lo sama OSIS aja yang nyari. Ini bahaya Ayi, gimana kalo pelakunya tau lo yang ngebongkar rencana jahat dia dan berniat ngebunuh lo? Gua gak mau lo dalam bahaya.”
      “Sayangnya hidup gua emang udah dalam bahaya.” Yang diingat Aiden hanyalah peristiwa naas gadisnya nyaris tewas di tangan ayah sendiri. “Gua Cuma pengen nyari bukti doang kok, terus buktinya gua kirim diem-diem ke polisi.” Setidaknya ini lebih baik daripada Ayi harus berhadapan langsung dengan pelaku.
      “Terus pelakunya?” Aiden mencoba menyuapi Ayi yang tampak sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang dicarinya.
      “Anak sini.” Mata Aiden terbuka sempurna.
      “Kelas?” Ayi menunjuk dirinya sendiri dan Aiden, menandakan pelaku seangkatan dengan mereka. Makanan di dalam mulut Aiden telah habis, membuatnya kembali bertanya. “Lo tau dari mana?” Ayi menunjukkan sederet angka, alamat IP yang dilacaknya tadi malam. “Terus rencana lo?” Aiden terus bertanya setiap mulutnya selesai mengunyah.
      “Mencurigai satu orang yang udah berhasil gua dapetin wajahnya.” Kening Aiden berkerut. Ayi menggeser laptop menggunakan tangan kirinya yang bebas, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang sandwich. Lagi-lagi Aiden dibuat terkejut oleh tingkah gadis yang baru tiga hari di pacarinya.
      “Apa ini alasan kakak lo ngejauhin lo dari dia?” Ayi mengangguk mantap. “Untung lo udah jadi milik gua duluan, kalo enggak...” Aiden menghentikan ucapannya sejenak, menarik tangan Ayi agar bersembunyi di bawah meja dan mengambil barang-barang yang ada di atas meja. Awalnya Ayi tidak paham maksud Aiden, kemudian matanya menangkap jelas proses kedatangan Bagas yang terlihat dari jendela kantin, posisinya berdekatan dengan lahan parkir kedua sekolah itu. Ayi mulai mengaktifkan kamera kecil pulpen di saku seragamnya.
      Laki-laki di sebelahnya merapikan peralatan makan mereka dan menitipkannya pada pemilik kantin. Ayi menghampiri Aiden sambil membawa tasnya juga. “Ayo, kita ikutin dia.”
      Pasangan sejoli itu buru-buru meninggalkan kantin dan mengikuti gerak-gerik Bagas yang cukup mencurigakan. Bagas juga tampak memperhatikan sekitarnya sebelum dia berbelok menuju lorong kelas dua belas. Ternyata benar, niat itu sedang di jalankan Bagas kini.
      Aiden mengajak Ayi untuk mengintip melalui kelas IPS 2, sebab disana terdapat pintu penghubung yang tak banyak orang tahu. Beruntung pintu itu tidak tertutup, mereka mengintip melalui celah-celah engsel pintu, tempat yang tepat menyembunyikan diri dari Bagas dan kelas yang strategi untuk bisa melarikan diri seandainya Bagas mulai curiga.
    Ayi yang memiliki kelebihan memilih untuk terduduk dan membiarkan pulpennya yang bekerja. Dia meletakkannya di depan sebuah kursi yang mengarah pada Bagas. Aiden tidak paham mengapa Ayi justru hanya duduk bersender pada dinding. Gadis itu sadar kekasihnya memperhatikannya penuh pertanyaan. Buru-buru dia menarik lengan Aiden agar segera bergabung dengannya, bersender pada dinding.
      Laki-laki itu masih tidak paham dengan tingkah Ayi. Tapi, dia juga harus menuruti perintah gadisnya sebab dia belum mengerti sepenuhnya situasi yang sedang di hadapi. Tangan Ayi menyelinap di sela-sela jari Aiden, menggenggam tangannya begitu erat dan penuh ketegangan. Aiden menoleh melihat raut wajah Ayi. Benar saja, anak itu melotot dengan kerut di keningnya, nafasnya naik-turun tidak beraturan. Apa penyakitnya kambuh lagi?
      “Ayi?” Telunjuk Ayi menyuruh Aiden untuk diam. Maka, dia menurutinya.
      Bola mata Ayi terus bergerak-gerak seolah dia sedang melihat sebuah film laga. Semakin cepat gerakkan bola mata Ayi, semakin banyak juga kerutan di kening dan kekhawatiran hinggap di hatinya. Semakin tidak teratur pulalah nafas Ayi.
      Gadis itu limbung ke pangkuan Aiden, membuat laki-laki yang sedari tadi melamun menjadi khawatir dan buru-buru membenarkan posisi Ayi. Aiden tidak berteriak, takut posisi mereka ketahuan oleh Bagas. Dia mengintip sebentar ke kelas sebelah. Rupanya bagas telah pergi. Aiden bisa bebas memeriksa Ayi.
      “Yi, kamu bawa obat kamu ‘kan?”
      Seulas senyum justru dilemparkan kekasihnya padanya. “Tenang, asma gua gak kambuh kok, cuma kaget aja liat apa yang dilakuin Bagas di kelas itu. Kita harus gagalin Rencana dia.”
      “Liat? Liat apa? Lo itu dari tadi cuma diam gak nengok kesana.”
      “Udah ayo ikut!!!”
      Ayi menarik Aiden ke kelas sebelah, menuju tempat Bagas meletakkan suatu jebakan. Di bangku nomor tiga barisan ke dua. Disanalah Bagas meletakkan kantong plastik hitam. Gadis itu mendengar sesuatu bergerak di dalamnya sewaktu Bagas hendak meninggalkan kelas. Setahu Ayi, bangku itu di duduki oleh Cakka.
      “Ai, tolong jaga diluar, kalau ada Bagas, kasih sinyal.”
      Gadis itu buru-buru mendatangi bangku Cakka, dia tidak ingin mengambil resiko memasukkan tangannya ke dalam laci, anak itu lebih memilih melongoh. Plastik hitam itu sedikit terbuka dan bergerak. Matanya menatap langsung mata yang sepertinya milik seekor hewan di dalam plastik tersebut. Wajah Ayi mundur beberapa senti saat pemilik mata tajam menyembur keluar ingin menggigit.
      “Easy, boy. We’re friend, right?” Ucapnya pada hewan melata yang keluar dari saragnya.
      Aiden hanya bisa menoleh tanpa berani memasuki kembali ruangan kelas Cakka. Laki-laki itu tidak ingin mengganggu konsentrasi gadisnya yang sedang berhadapan dengan hewan berbisa. Pertarungannya cukup sengit, beberapa kali hewan itu memanjangkan lehernya, sesering itu juga Ayi mundur menghindari gigitan bisa ular berjenis adders. Terlihat nafas Ayi mulai terengah-engah.
      “Good boys.” Katanya senang mencium kepala ular yang berhasil ditangkapnya. Ayi mengambil gelas minuman yang masih tersegel dan menancapkan taring ular ke atas tutupnya, mengeluarkan bisanya untuk kemudian hewan itu dilepas.
      Laki-laki jago karate tersebut menghampiri kekasihnya. “Gak capek?” Ayi hanya tersenyum manja. “Ngeri ya punya cewek kaya lo. Ular aja bisa ditaklukin gimana cowok-cowok diluar sana? Ah, berat ini mah kalo gak segera gua halalin. Ayo ke kantin!!!” Aiden merangkul Ayi keluar kelas.
      Senda gurau mereka lakukan sepanjang perjalanan ke kantin. Melupakan kejadian yang baru saja terjadi, bertingkah semuaya baik-baik saja, padahal Bagas melintas di samping mereka, melihat mereka dengan tatapan sinisnya. Aiden tahu, diam-diam Bagas menyukai Ayi. Maka, dia menambah kemesraannya untuk membuat Bagas cemburu.
      “Ayi!!!” Seorang laki-laki memanggilnya dari arah belakang. Keduanya tahu betul pemilik suara itu. Raut wajah Ayi berubah masam, dia sedang tidak ingin bertemu siapa pun, kecuali Aiden. Ayi baru saja ingin melanjutkan langkahnya, namun tangannya keburu di cekal Aiden. Dia menyuruh gadis itu untuk menemui sang kakak.
      “Gua pergi dulu, kalo ada apa-apa, tahu ‘kan harus kemana?” Pamit Aiden dijawab senyum kecut dari Ayi.
      Ray datang menggantikan posisi Aiden. Terdiam sejenak memperhatikan adiknya yang tidak ingin menatapnya. Ada sepercik rasa sakit di lubuk hati pria jago drum itu. Kata-katanya bahkan terkunci dan sulit dikeluarkan. “Gua minta maaf.” Akunya pada akhirnya.
      “Untuk kejadian kemaren dan tadi pagi? Lupain. Gua udah gak mau ungkit itu lagi, gua mau fokus sama kasus kita. Gua dan Deva bakal ngeluarin kalian dari permasalahan ini sesegera mungkin.”
      “Kalian berdua doang? Gua dan yang lainnya?”
      “Kalau kalian masih belum bisa disatuin, lebih baik mundur aja. Gua sama Deva udah siap terima konsekuensinya dan asal lo tahu—“ Ayi mendekatkan bibirnya pada telinga Ray. Membisikkan sesuatu agar tidak di dengar orang lain. “Kak Cakka hampir aja jadi korban. Bagas fix kaki-tangan Steven Jigsaw. Sedikit lagi gua bakal bisa dapetin identitas pelaku kedua, tinggal sentuhan akhir.” Tubuh Ayi menjauhi kakaknya. Kembali bersikap normal. Dia juga mengeluarkan senyum sinisnya. “Jadi, kalau kalian mau gabung, atur emosi. Gua gak mau seni gua gagal.”
      Ray terdiam ditinggal pergi begitu saja oleh adiknya. Setiap ucapan adiknya terus berputar bak melodi lagu Gloomy Sunday, mengerikan dan menyeramkan. Anak itu segera tersadar dari lamunannya dan buru-buru menghubungi Obiet dan Gabriel.
*****
      “Lihatkan, sudah kubilang mereka memang anak-anak yang tepat. Ya, meskipun ego masih belum terkontrol. Tapi, pemisahan itu justru mendekatkan mereka pada pelaku.”
      “Jangan senang dulu, ini bukan akhir, ini awal dari segalanya. Dan aku tidak ingin dua diantara mereka terluka. So, aku akan menculik keduanya dan menyekapnya di suatu tempat agar teman-temannya saja yang mencari kekurangan dari kasus tersebut. Aku tidak ingin keduanya berakhir sepertiku.”
      “Hei, dude. Kau ingin melanggar aturan kita? Siap menerima resikonya? Bahkan jika itu menyangkut keluargamu sekalipun? Kalau aku jadi dirimu, aku akan membiarkan keduanya menjalankan tugas dan aku akan keluar sebagai pahlawan saat mereka membutuhkan bantuan.”
      “Tapi—“
      “Sudahlah, percayakan saja pada mereka. Toh, kita sudah mengutus empat orang untuk melindungi mereka dari jauh. Kuharap ini adalah The Seekers terakhir, sebab tidak ada lagi kandidat yang memenuhi kualifikasi selain mereka. The last team, i hope.”
*****
      “Pergilah ke gudang sekolah, ada informasi penting.”
      Ayi mengacungkan tangannya sesaat setelah membaca pesan dari nomor misterius. Guru yang tampak sibuk mengoreksi ulangan harian siswanya hanya mengangguk mempersilahkan Ayi keluar tanpa peduli hendak kemana. Setidaknya, ini memudahkan gadis itu untuk segera mencari tahu siapa pemilik nomor ponsel dengan angka belakang 06. Orang yang selama ini disebutnya The Helping Man.
      Langkah gadis itu terburu-buru ingin segera sampai ke gudang. Yang ditemuinya hanya kekosongan, tempat yang gelap, lembap dan sedikit pengap, penuh bangku dan meja patah juga peralatan rusak lainnya. Tak ada orang maupun bayangan. Hanya ada dirinya.
      “Hi, i’m here.” Seru suara seorang laki-laki. Ayi lantas menoleh ke samping, ke sumber suara. Keningnya berkerut tak paham dengan keadaan yang ada.
      “Kak Alvin? Kefan?” Kedua laki-laki yang dipanggil hanya mengedipkan matanya. “Jadi, kalian yang selama ini bantuin gua? Artinya kalian tahu siapa pelakunya dan siapa itu The L Maskman?” Mereka hanya mengangguk. “Terus, kenapa bukan kalian aja yang nyelesaiin tugas dari mereka, kenapa kita?”
      “Karena jati diri kita udah ketauan Steven Jigsaw—hampir. Begitu pun lo dan teman-teman kakak lo.” Jawab Alvin. “Tapi, cowok brengsek itu mau bermain-main sama kalian. Sebelum akhirnya kalian di eksekusi. Kita kesini manggil lo karena insting dan kelicikan lo lebih unggul dari yang lainnya.”
      “Maksud lo?”
      “Kita gak punya waktu banyak. Setelah ini, kita gak akan ketemu lagi. Makanya, kita bakal ngasih clue terakhir untuk mendekatkan lo sama pelaku. ‘Percaya sama kata hati lo, jangan percaya sama tinta yang terlalu timbul. Diam dan tidak berbuat apa-apa itu beda. Suruh mata dan pikiran lo bekerjasama. Rumah akan mudah hancur karena pondasinya lemah dan akan kuat kalau berhasil menempatkan batu pertama di tempat yang tepat’ Lo cerna clue itu, lo bakal kaget pas tahu hasilnya. Lo cuma punya waktu 1 X 24 jam sebelum pelaku yang lagi lo cari berhasil nyergap lo.” Jelas Kefan.
      “Tunggu, apa orang itu——“
      Alvin tersenyum. “Kemampuan analisa lo emang di atas rata-rata. Gua salut. Tapi, lo gak bisa gitu aja menangkap SJ. Dia licin kaya belut, alibinya terlalu sempurna untuk bisa di sanggah. Lo harus punya cara lain yang gak pernah terpikirkan oleh SJ bakal lo lakuin. Untuk menemukan cara itu, lo harus masuk ke dalam pikirannya atau setidaknya lo harus jadi dia.” Senyum Alvin terlihat sinis di mata Ayi.
      “Dengan kemampuan lo, gua yakin detik ini juga lo udah tahu apa yang harus lo lakuin. Dan kita harap itu berhasil, karena kalau sampai gagal. Bukan cuma sekolah ini aja yang bakal hancur. Efeknya bakal kaya bom Hiroshima dan Nagasaki. So, good luck.” Kefan dan Alvin melangkah santai meninggalkan Ayi.
      “Kalian mau ke mana?” Tanya gadis itu menghentikan langkah dua temannya.
      Keduanya menjawab serentak tanpa membalikkan badan. “Nanti juga lo tahu.”
      Tangan Ayi segera menekan tombol panggilan pintas mencoba menghubungi Aiden, menyuruh pacarnya untuk cepat menemuinya. “Gudang sekolah, penting.” Tanpa sepengetahuan gadis itu, seseorang sudah lebih dulu berada di belakangnya.
*****
Suara ambulan meraung kencang membelah keheningan suasana belajar siswa. Kepala memanjang melongoh keluar mencuri pandang atas kebisingan di tengah lapangan. Teriakan milik seorang laki-laki menyebut satu nama menjadi daya tarik para siswa untuk benar-benar menjejakkan kakinya di lapangan. Sepasang kekasih tergeletak bersimbah darah dengan posisi kepala berada di atas sebuah batu besar. Pertanyaan para siswa dan guru adalah dari mana asalnya dua batu besar itu? Kedua sosok itu amat mereka kenali sebagai siswa berprestasi di sekolah. Ayi dan Aiden.
      Nafas tersengal-sengal Ayi terlihat jelas di mata siapa pun yang menyaksikannya. Ray memangku kepala adiknya dan terus menciumi kening adiknya tanpa mau melepasnya, tangannya menggenggam kuat tangan adiknya. Obiet, Gabriel, Cakka, Deva dan Rio terpekur tanpa bisa melakukan apa-apa, mereka lengah, membiarkan gadis itu berjalan seorang diri tanpa pengawasan, sementara kekasih gadis itu telah lama tak sadarkan diri. Teman-teman Ayi menangis dan saling memeluk, tak kuasa melihat gadis periang itu berjuang melawan kesakitan. Para petugas kesehatan membawa keduanya masuk ke dalam ambulan dan melarikan mereka ke rumah sakit.
      Ray masih enggan beranjak pergi, matanya menatap lekat kedua telapak tangan penuh darah adiknya, sesekali melirik batu penyebab adiknya sekarat. Darah itu telah membasahi tak hanya seragamnya, tapi juga sepatu dan hampir seluruh tubuhnya. Dia masih menangis dalam diam, menyesali pertemuan terakhirnya yang buruk dengan sang adik. Rangkulan dari lima temannya tidak berbuah manis pada hatinya. Sukmanya terluka parah. Tubuhnya sukar menerima rangkulan kalau bukan berasal dari adiknya. Kalimat sakral bu Winda pun tak lagi ampuh meredakan kesedihan Ray. Pemuda itu pergi, tak mempedulikan kehadiran guru, kepala sekolah dan teman-temannya. Menerobos terik siang bersama kecepatan di atas rata-ratanya.
      Obiet dan Deva membuang kasar nafasnya. Hal ini terbukti. Obiet membenarkan kekhawatiran Cakka dan Deva membenarkan ucapannya sendiri. Steven Jigsaw atau Refisa White, telah mendatangi mereka dan melakukan serangan balas dendam. Atau mungkin sekedar memuaskan nafsu liar mereka sebagai seorang psikopat. Apapun itu, setelah ini, pasti akan ada korban lain yang jatuh di antara mereka. Tapi, siapa? Bahkan polanya pun belum ketemu, masih beruba sketsa berbayang. Modus operandinya sama sekali tidak mereka dapatkan. Apa yang sebenarnya mereka inginkan?
*****

Vote and Comment please
Kritik dan saran dibutuhkan ^^

Secret EnemyWhere stories live. Discover now