Menyingkap Tabir

52 7 0
                                    


      Pintu di gedor keras dari luar, tapi ketenangan tetap menyelimuti empat laki-laki remaja yang menatap intens penuh dendam ke arah pintu. Ray, Cakka dan Deva berdiri sejajar, Obiet turun meloncat bergabung dengan teman-temannya, dia mengganti pisaunya dengan Dao, menyeret benda itu ke depan, Obiet memimpin teman-temannya. Hoodie mereka naikkan, wajah mereka tundukkan ke bawah, siap menyambut tamu terlarang dengan hawa dingin nan misterius mereka.

      Tendangan keras dari seseorang di balik pintu berhasil menerobos pertahanan benteng mereka. Tujuh laki-laki dewasa masuk membawa tiga tawanannya, membuat Ray dan Obiet semakin marah, sedangkan Deva di penuhi dendam kesumat di dalam hatinya, Cakka menyikapi hal itu lebih santai, sejauh yang dia alami, semua sesuai prediksi. Bukan, melainkan penglihatannya.

      Gabriel, Manuel dan Darren tampak tak berkutik, tangan mereka diikat, tenaga mereka telah habis disebabkan minuman yang dicekoki para pria besar itu. Butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan kesadaran mereka.

      Seorang laki-laki lain datang merusak barisan anak buahnya, dia memakai jubah dan topeng. “We’re the monster who’s your looking for, guys.” Ucapnya. Cakka melirik ketiga temannya, masih ada orang lain yang bersembunyi, mereka harus menyiapkan kesigapan dan kefokusan.

      “And we know who you are, bro.” Obiet mengangkat pedangnya ke arah wajah lawan, melepaskan secara kasar topeng yang dikenakan lawannya. “Hai Mario Aditya, atau Steven Jigsaw, hah?” Obiet memainkan nada suaranya, mengejek.

      Deva mencoba menerka respon Gabriel ketika kebenaran akhirnya terungkap. Anak itu diam, tapi jelas kesedihan tersirat di sana. Awalnya Deva mengira Gabriel akan terkejut, di luar dugaan, sepertinya Gabriel telah mengetahuinya lebih dulu.

      “Betrayed.” Lirih Gabriel. Dia menundukkan kepala. Kecewa, sedih dan marah menguasai dirinya. Sedangkan Darren dan Manuel masih memperlihatkan wajah terkejutnya. Anak polos seperti Rio menjadi dalang di balik kejadian tragis yang terjadi di sekolah mereka. Sulit di percaya.

      “Welcome to my world, friends. How can you know that was me?” Rio berkata penuh keangkuhan, tak sedikit pun nampak raut kesedihan telah melibatkan teman-temannya pada wajahnya.

      “The Bougenville. Lo punya bunga itu di setiap sudut rumah lo, sama kaya Refisa White.” Deva menjawab. “Sebagian petunjuk yang kami dapati, SALAH!!! Lo yang mainin petunjuk itu layaknya lo mainin persahabatan kita. Gua kira lo tulus, ternyata lo busuk!!!” Deva menggeram kesal. Merasa terkhianati atas apa yang dilakukan Rio padanya.

      “Ternyata ada untungnya juga gua bertengkar hebat sama lo, Yo.” Cakka tersenyum penuh kemenangan. Kedua alis Rio menyatu. “Satu kesalahan besar berdampak kemenangan untuk kami tanpa sadar lo lakuin. Pertengkaran itu sangat-sangat ganjil, sebuah permasalahan yang terkesan dipaksakan dan di buat-buat. Di buru waktu, hah?” Langkah Cakka bertambah dua, sejajar dengan posisi Obiet dan mengacungkan pedang miliknya ke sisi kiri Rio, “Dan bocah tengil ini, atas kecerobohan dan kebodohannya telah memberikan gua sebuah petunjuk tanpa perlu gua umbar ke semua orang.” Ujung Dao milik Cakka melepaskan hoodie milik pengawal Rio. Bagas tepatnya yang dari tadi bersembunyi di balik jubah panjang dan besarnya. “Lo mulai suka sama Ayi, hah? Dan cemburu setiap Aidan ada di dekat Ayi, makanya lo terima panggilan Rio, dengan suara yang udah di ubah sedemikian rupa, sayangnya gak berpengaruh sama sekali sama telinga gua, di dekat gua persis?! Lo gak mau ‘kan kehilangan momen mandangin wajah Ayi?”

      Bagas diam. Matanya menatap langsung manik hitam milik Cakka. Tidak ada ekspresi tertentu yang dikeluarkannya, namun jelas hatinya dongkol. Yang dikatakan Cakka memang benar.  Dia malu mengakui itu sebab hatinya telah terisi nama orang lain dan telah terikat janji pada orang tersebut.

      “Alasan lo apa Rio?! Kenapa lo masukkin kami ke dalam rencana lo!!” Gabriel berteriak menengahkan aksi adu tatap antara Cakka dan Bagas.    

      Rio berdecih meremehkan, senyum miring dia keluarkan, berjongkok menyamakan posisinya dengan Gabriel, mengapit pipi Gabriel menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Jangan tanya ini ke gua, bodoh!!! Tanya ke orang-orang yang ngerekrut lo!!!” Rio mendorong keras wajah Gabriel, membuatnya terjatuh. Telunjuk Rio bergerak ke depan dan belakang, memberi isyarat pada anak buahnya.

      Dua orang pemuda dengan langkah lunglai masuk di dorong secara paksa oleh dua pria besar berjubah hitam. Mereka terhempas tepat di depan Obiet. Rambut mereka tersikap menampakkan memar di beberapa sudut wajah keduanya, darah kering menandakan lamanya mereka di siksa. Ray cukup terkejut melihat dua wajah yang lama tidak dia jumpai di sekolah, menghilang tiba-tiba dan muncul dalam keadaan mengenaskan.

      “Coba tanyakan pada mereka berdua?”

      “Kefan, Alvin? Kalian juga—“ Ray memotong sendiri perkataannya. “Berapa banyak sebenarnya orang-orang yang di rekrut The L Maskman ada di sekolah ini?!” Telunjuk Alvin berputar, menandakan orang-orang yang berada dalam satu ruang merupakan orang yang pernah atau sedang di rekreut TLM. Ray mulai memahami adanya masalah yang amat serius dalam sekolahnya. “Kenapa lo nyerang anak-anak di sini, sedangkan masalah lo ada pada pemilik Yayasan?”

      “Bapak tidak akan bertahan tanpa seorang anak.” Rio tersenyum sinis. “Lo pikir mereka yang tewas itu adalah korban tertundanya RW? Kalian salah besar!!! Dalam peraturan tertulis bahwa jika anak dari seorang donatur tidak lagi bersekolah atau memutuskan kepentingannya di sekolah itu, maka segala bentuk donasi tidak bisa di terima. Kalian pikir, sekolah ini bisa maju dan megah karena siapa?” Rio menaikkan satu alisnya. “Secara kebetulan para mantan korban RW berkumpul dalam satu wadah dan menjadi yang paling berpengaruh di sekolah.”

      Manuel merasa mereka terlalu banyak berbicara, pembicaraan yang tidak dapat dia pahami maksudnya. Seharusnya pertarungan sudah berakhir sekarang, Rio dan antek-anteknya sudah di boyong polisi ke dalam bui. Dia jengah mendengar banyak penjelasan yang sulit di terima akal pikirannya, kondisi tubuhnya berangsur pulih, dia bisa kembali bertarung dan menyelamatkan tempatnya menuntut ilmu. Double stik yang tersimpan dalam saku celananya perlahan-lahan dia keluarkan. Pergerakkan sangat lambat, berharap tidak satu pun menyadarinya.

      Baru saja ingin melemparkan salah satu ujung Double stiknya mengenai kaki salah seorang antek-antek Rio. Sebuah panah melesat cepat, datang dari balik kepalanya. Kecepatan panah itu nyaris menyandingi kecepatan Cheetah. Matanya melihat jelas darah keluar dari tangan seorang antek Rio yang berdiri berhadapan dengan Cakka.

      “Hampir aja telat. Hi Guys!!!!”

*****

Secret EnemyWhere stories live. Discover now