32. Nyanyian di Tengah Malam

1.4K 26 0
                                    

Hari itu mereka bertiga tiba di seputar bukit Lau-san, dua bersaudara Gi serta Sui Leng-kong tidak berani menginap di dalam kota, maka mereka pun memerintahkan kusir kereta untuk melewati kota besar dan beristirahat di sebuah dusun yang amat kecil.
Selesai makan malam, Gi Beng yang suka bergerak tidak bisa menahan diri untuk tidak berkeliling dusun, dia ajak Sui Leng-kong menemaninya berjalan-jalan, terpaksa Gi Teng pun mengintil di belakang.
Dalam suasana penuh kegembiraan, sepanjang jalan mereka bertiga berpesiar sambil berbincang hingga tanpa sadar telah berjalan meninggalkan dusun itu.
Di sisi sebuah bukit, mereka saksikan ada cahaya lentera yang menerangi kegelapan, meski terlihat ada bayangan manusia yang hilir mudik, namun suasana sangat hening, selain suara hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan, tidak terdengar suara lain, suasana di sekeliling sana terasa diliputi kemisteriusan.
Timbul rasa ingin tahu Gi Beng, dengan suara berat bisiknya:
"Aneh, apa yang sedang mereka lakukan? Kelihatannya mencurigakan, Cici Sui, bagaimana kalau kita selidiki?"
Dia memang sengaja tidak mengajak Gi Teng, melainkan mengajak Sui Leng-kong, karena dia tahu gadis itu lembut dan penurut, ajakannya tidak bakal ditampik, asal Sui Leng-kong bersedia, Gi Teng pasti akan mengintil juga.
"Baiklah, mari kita tengok," sahut Sui Leng-kong sambil manggut-manggut.
Gi Teng berniat mencegah, namun kedua orang itu sudah pergi jauh, dalam keadaan begini, terpaksa Gi Beng mengikuti di belakang sambil menghela napas panjang.
Dengan ketajaman mata mereka bertiga, tidak selang beberapa saat kemudian terlihat di balik semak belukar tampak bersembunyi beberapa sosok bayangan manusia, orang-orang itu mendekam tanpa bergerak dan sama sekali tidak menimbulkan suara.
Berubah wajah Gi Teng menyaksikan hal itu, bisiknya:
"Hati hati, nampaknya....."
Belum selesai dia memperingatkan, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menerjang keluar dari balik semak, tangan kiri orang itu memegang sejenis senjata berbentuk tameng, sementara tangan kanannya membawa lembing pendek, sambil menerjang dia mem-bentak:
"Akan kulihat mau kabur kemana lagi?"
Dalam terperanjatnya buru-buru Gi Teng menarik tangan Gi Beng dan Sui Leng-kong sambil mundur tiga langkah.
Tampak bayangan manusia itu menubruk ke atas tanah, tameng di tangan kirinya seperti menekan sesuatu dan serunya sambil tertawa:
"Sudah tertangkap... sudah tertangkap."
Waktu itu, sebenarnya Gi Teng sudah siap melancarkan serangan, tapi dengan cepat dia dapat mengenali orang itu hanya seorang lelaki dusun, yang dikira senjata tameng ternyata hanya sebuah keranjang bambu, sedang senjata yang dikira lembing ternyata hanya sebuah tongkat.
Orang itu mendongakkan kepala, begitu mengenali Gi Teng bertiga, ujarnya sambil tertawa:
"Ooh, rupanya Khek-koan bertiga ingin ikut menonton keramaian, hati-hati, tempat ini sangat berbahaya."
"Bahaya? Apa yang kalian tangkap?" tanya Gi Beng keheranan.
Orang itu tidak menjawab, dia hanya memperlihatkan keranjang bambunya, sewaktu dipukul dengan tongkat, maka terlihatlah seekor ular berbisa muncul dari balik keranjang itu.
Di bawah remangnya cuaca, tampak ular itu menongolkan kepala sambil mengeluarkan lidahnya yang bercabang, bentuknya sangat menakutkan.
Gi Beng menjerit kaget, seketika itu juga dia merasa senyuman orang dusun itu penuh diliputi kemisteriusan, tanpa sadar dia mundur dua langkah, bentaknya:
"Mau... mau apa kau?"
Orang dusun itu tertawa.
"Hamba hanya ingin memperlihatkan ular ini kepadamu."
Kembali dia pukul kepala ular itu dengan tongkatnya, ular tadi seketika menarik kembali tubuhnya ke dalam keranjang bambu.
"Di tengah malam buta begini menangkap ular berbisa, kelihatannya kau bukan orang baik," bentak Gi Beng nyaring, kemudian sambil menyikut Gi Teng, lanjutnya:
"Tangkap dia, kita periksa berasal dari mana orang ini?"
Orang dusun itu seketika terkesiap, buru-buru sahutnya dengan gemetar:
"Tunggu... tunggu sebentar, di tengah malam buta begini hamba sengaja menangkap ular berbisa, karena... karena ingin mendapat tambahan beberapa tahil perak."
459
"Uang apa? Dari siapa? Bicara yang jelas."
"Di atas bukit di depan sana telah kedatangan seorang Budha hidup, bukan saja dia memiliki kemampuan menaklukkan naga menundukkan harimau, bahkan makanan sehari-harinya adalah ular berbisa, konon dia orang tua pernah berjanji di depan Hudco sewaktu berada di barat untuk menghabiskan seratus ribu ekor ular berbisa sebelum berhasil dengan ilmunya, oleh karena itu setiap hari Budha hidup itu bersantap ular, dia bersedia membayar satu tahil perak untuk seekor ular berbisa, itulah sebabnya hamba sekalian menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan."
Walaupun penjelasan itu telah dibumbui dengan dongeng, namun Gi Teng bertiga segera dapat menduga kalau 'Budha hidup' pemangsa ular berbisa itu pastilah seorang jagoan tangguh dari dunia persilatan yang sedang mempelajari sejenis ilmu beracun.
"Macam apa tampang Budha hidup itu?" tanya Gi Teng dengan kening berkerut.
"Hamba semua hanya manusia biasa yang tidak kasat mata, mana berani memperhatikan wajah dia orang tua? Kami hanya tahu beliau berdiam di sebuah kuil dewa gunung yang ada di atas bukit dan setiap hari hanya duduk bersemedi."
"Kalau tidak pernah bersua muka, bagaimana cara kalian menerima uang perak?" tanya Gi Beng.
"Ular berbisa yang berhasil hamba tangkap, cukup dimasukkan ke dalam sebuah keranjang bambu dan diantar ke depan kuil, keesokan harinya ketika hamba terbangun dari tidur, akan ditemukan keranjang itu sudah tergeletak di atas meja, ular dalam keranjang telah lenyap, sementara isi keranjang itu telah berubah menjadi uang perak. Selama beberapa hari terakhir, kejadian itu selalu terulang."
Gi Beng seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kedipan mata Gi Teng mencegahnya untuk bicara lebih jauh.
"Aaa... apakah Khek-koan ingin menanyakan sesuatu lagi?" kembali orang dusun itu bertanya.
"Tidak, kalian boleh segera menangkap ular. kemudian cepatlah pulang dan beristirahat," sahut Gi Teng cepat. Dia segera menarik tangan Gi Beng dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Diam-diam Sui Leng-kong keheranan juga melihat Gi Beng begitu menuruti perkataan kakaknya tanpa berusaha menyelidiki persoalan yang nampaknya amat mencurigakan ini, tak tahan ejeknya sambil tertawa:
"Aku lihat cuaca hari ini kurang begitu baik."
"Kenapa kurang baik?" tanya Gi Beng keheranan, matanya terbelalak lebar.
"Kalau cuaca amat bagus, mana mungkin kau terburu-buru ingin pulang beristirahat?" kata Sui Leng-kong sambil tersenyum.
Gi Beng tertawa cekikikan.
"Kau sangka Engkohku tidak suka mencari keramaian? Orang alim? Sejak kecil dia sudah nakalnya setengah mati, bertemu siapa saja selalu berkelahi, betul, sekarang dia memang berlagak sok sopan, sok alim, lihat saja, kepura-puraannya tidak bakal berlangsung lama, kau sangka dia mau pulang untuk beristirahat? Jangan mimpi, itulah taktiknya untuk menghindari perhatian orang-orang dusun itu, dapat dipastikan dia bakal mengambil jalan lain untuk secara diam-diam menyelinap naik ke atas bukit."
"Benarkah begitu?" tanya Sui Leng-kong sambil melirik Gi Teng sekejap.
Gi Teng menoleh dan tertawa tergelak.
"Susah jadi seorang Engkoh, apalagi kalau segala taktik sudah ketahuan sang adik," katanya.
Bukan saja dia tidak berani beradu pandang dengan Sui Leng-kong, bahkan begitu dipandang gadis itu, kontan pipinyajadi merah jengah, untung saja gadis itu tidak menaruh perhatian.
Setelah berputar ke arah lain, betul saja, sekali lagi mereka bertiga naik ke atas bukit.
Dengan mata berkilat dan penuh bersemangat Gi Beng bergumam:
"Si Budha hidup itu tentu memiliki tampang wajah yang aneh."
Geli juga Sui Leng-kong setelah menyaksikan rekannya kegirangan seperti seorang bocah, padahal dia sendiri pun merasa keheranan, rasa ingin tahunya meluap-luap setelah mendengar ada orang bisa makan puluhan ekor ular dalam beberapa hari, tanpa disadari dia pun turut mempercepat langkahnya.
Bagaimanapun ketiga orang itu adalah anak-anak muda, begitu mendengar ada hal yang aneh, mereka hanya teringat untuk melakukan penyelidikan dan lupa kalau langkah itu sesungguhnya berbahaya dan penuh dengan intaian maut.
Budha hidup itu bisa hidup mengasingkan diri di tengah kuil bobrok di tengah gunung, hal ini menunjukkan bahwa dia berusaha menyembunyikan jejaknya, mana mungkin dia akan membiarkan orang datang mengusut dan menyelidiki rahasianya?
Dilihat dari makanan sehari-harinya berupa ular beracun, inipun membuktikan dia sedang melatih sejenis ilmu beracun yang menakutkan, dengan kepandaian silat yang dimiliki Gi Teng bertiga, bukan jaminan mereka bisa lolos dari ancaman.
Suasana di atas gunung amat hening, sepi, selain rembulan yang mengintip dari balik awan dan suara serangga malam yang memadukan musik, tiada suara lain yang terdengar, rasa seram dan penuh misteri seolah mencekam sekeliling tempat itu.
Wajah Gi Beng yang bulat telur meski panas, namun kaki dan tangannya justru dingin kaku, sepanjang jalan tiada hentinya dia menghibur diri sendiri:
"Jangan takut, dalam semak tidak bakal muncul ular berbisa."
Dia menghibur orang lain agar jangan takut, padahal dia sendiri sudah ketakutan setengah mati, sepanjang jalan hatinya kebat-kebit, nona itu kuatir kalau secara tiba-tiba muncul ular berbisa dari balik semak dan mendadak mematuk kakinya.
Menyaksikan itu diam-diam Sui Leng-kong merasageli, tiba-tiba jeritnya tertahan:
"Ular!"
Sambil menjerit Gi Beng menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sui Leng-kong, wajahnya pucat-pias seperti mayat, bisiknya gemetar:
"Ular... ada dimana ularnya?"
"Ular? Ooh... ada dalam perut si Budha hidup," sahut Sui Leng-kong sambil tertawa cekikikan.
"Ooh... rupanya kau memang nona jahat, semoga saja kau yang benar-benar digigit ular berbisa...."
"Sst! Jangan berisik!" tiba-tiba Gi Teng menghardik.
Sui Leng-kong dan Gi Beng segera berpaling, di antara pepohonan dekat tanah perbukitan, lamat-lamat terlihatlah sebuah bangunan kuil.
Cahaya lentera yang redup memancar keluar dari balik dinding kuil yang bobrok, hal ini menambah kemisteriusan dan keseraman bangunan itu, seakan-akan kuil itu betul-betul merupakan tempat tinggal setan atau siluman jahat.
Tanpa sadar ketiga orang itu menghentikan langkahnya dan mulai maju dengan tubuh merunduk.
Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang datang dari bawah bukit.
Ketiga orang itu sangat terperanjat, tergopoh-gopoh mereka menyembunyikan diri ke balik pepohonan.
Terlihat sebuah lampu lentera yang terbuat dari kertas putih bergerak mendekat dari bawah bukit, setelah berjalan semakin dekat, tampaklah empat orang manusia berbaju hijau yang mengikuti di belakang lentera itu, empat lelaki dengan empat keranjang bambu.
Keempat orang itu berjalan dengan kepala tertunduk, tidak ada yang celingukan ke sana kemari, tidak ada juga yang mengangkat wajahnya, setelah tiba di depan pintu kuil, mereka menghentikan langkahnya jauh dari bangunan.
Setelah meletakkan keranjang bambu itu ke tanah, serentak keempat orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan sikap penuh hormat, malah mulut mereka terlihat komat-kamit seakan sedang membaca doa.
Sinar lentera yang membias dari balik lentera putih membuat paras muka keempat orang itu nampak hijau membesi, menghijau saking takutnya, membuat penampilan mereka terasa lebih aneh dan menakutkan, apalagi dalam suasana seperti itu.
Di bawah kabut yang mulai menyelimuti permukaan, di tengah hembusan angin malam yang dingin, di tengah goyangan cahaya lentera berwarna putih, keempat orang manusia berbaju hijau itu berlutut di depan kuil dengan sikap amat menghormat.
Jelas pemandangan semacam ini nampak sangat aneh dan penuh diliputi misteri!
Tanpa sadar Gi Beng menggenggam tangan Sui Leng-kong erat-erat, ujung jari tangannya terasa mulai gemetar, telapak tangannya basah oleh peluh dingin. Sekalipun perasaan ngeri dan seram mencekam perasaannya, gadis itupun merasa tegang bercampur gembira.
"Pergilah!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari balik kuil.
Biarpun hanya sepatah kata, namun nada suaranya rendah, berat dan disertai satu kekuatan yang sangat aneh, ucapan itu seolah sebuah martil besar yang menghantam perasaan setiap orang, membuat dada terasa sesak dan napas menjadi tersengal.
"Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki orang ini!" pikir Gi Beng bertiga dengan perasaan terkesiap.
Dalam pada itu keempat orang berbaju hijau itu sudah merangkak bangun dan mundur beberapa langkah, kemudian tergopoh-gopoh kabur meninggalkan tempat itu.
Tidak lama kemudian pintu kuil dibuka orang.
Seorang kakek bertopi bambu, berjubah abu-abu dan bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang menyelinap keluar dari balik pintu, gerakan tubuhnya cepat dan enteng, jelas merupakan seorang tokoh hebat dari dunia persilatan.
Dua kali dia bolak-balik keluar masuk kuil, hanya dalam waktu singkat keempat buah keranjang bambu itu sudah dibawa masuk ke dalam, kemudian "Ciiittt!", pintu kuil kembali tertutup rapat, suara keriut pintu seakan helaan napas iblis keji.
Tidak lama kemudian terdengar suara pembicaraan yang lirih berkumandang dari balik kuil, sayang suara itu amat perlahan hingga tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.
Gi Beng segera berbisik ke sisi telinga Sui Leng-kong:
"Di dalam kuil terdapat dua orang,"
"Berarti yang satu adalah si Budha hidup," sahut Sui Leng-kong.
"Entah... entah macam apa tampangnya?"
Kedua orang itu berbisik dengan suara lirih, Gi Teng tidak tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan, tapi setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba dia bangkit berdiri.
Buru-buru Gi Beng menarik ujung bajunya.
Dengan setengah berbisik Gi Teng berkata:
"Kita toh sudah berada di sini, paling tidak mesti mengintip dulu tokoh macam apakah si Budha hidup itu."
"Aneh," bisik Gi Beng keheranan, "sejak kapan nyali Koko jadi begitu besar?"
"Kalau takut, lebih baik kau tetap tinggal disini."
Sambil menggertak gigi Gi Beng segera bangkit berdiri, sambil menahan napas mereka bertiga bergerak maju, siapa pun tidak berani menggunakan ilmu meringankan tubuh, kuatir suara desiran angin akan mengusik ketenangan tokoh sakti yang berada dalam kuil.
Bangunan kuil itu sangat bobrok, banyak dinding yang sudah retak atau berlubang, ketiga orang itu segera mencari retakan di dinding dan mengintip ke dalam.
Biarpun bobrok, ternyata ruang dalam kuil itu sudah disapu amat bersih, selain tidak nampak ada debu, meja altar berikut patung pujaan pun sudah disingkirkan sehingga ruang kuil itu nampak kosong melompong.
Satu-satunya benda yang masih tersisa adalah sebuah lampu lentera yang diletakkan di tengah ruangan, lentera dengan setitik cahaya yang redup.
Di bawah kerlipan cahaya api, tampak seorang pendeta berbaju merah membara duduk bersila di atas sebuah tikar, wajahnya menghadap ke arah pintu, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, dia mirip sekali dengan sebuah patung Budha.
Orang itu mempunyai perawakan tinggi besar dan kekar, kepalanya amat besar, mukanya merah membara dan memancarkan cahaya merah yang aneh dan menyilaukan mata, bukan cuma kepalanya, bahkan alis matanya pun berwarna merah darah Satu-satunya yang berwarna hitam putih hanya sepasang biji matanya yang tajam.
Sebenarnya bentuk wajah orang itu tidak terlalu aneh atau menyeramkan, keanehannya justru terletak pada warna merah darah yang menyelimuti sekujur badan orang itu, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya berwarna merah membara.
Gi Beng hanya memperhatikan beberapa kejap, dia segera merasakan matanya amat sakit karena silau.
Kakek berjubah abu-abu yang mengambil keranjang ular tadi, kini duduk bersila di sampingnya, dilihat dari posisi duduknya, tampaknya kakek berjubah abu-abu itu adalah murid pendeta berbaju merah itu.
Sui Leng-kong bertiga tidak sempat melihat jelas raut muka kakek berbaju abu-abu itu, mereka hanya melihat si kakek sedang sibuk menarik keluar ular-ular berbisa itu dari dalam keranjang.
Ular-ular berbisa yang kelihatan garang dan menakutkan itu, begitu berada dalam cengkeraman tangannya yang kurus berwarna hitam, seketika berubah jadi lemas tidak bertenaga, bukan saja binatang melata itu tidak melakukan perlawanan, bahkan mandah saja dibolak-balik semaunya.
Dalam waktu singkat kakek berjubah abu-abu itu sudah memilih sepuluh ekor ular berbisa yang terbesar dan dimasukkan ke dalam keranjang, lalu setelah dipersembahkan ke hadapan pendeta berjubah merah itu, dengan hormat dia mundur kembali ke tempat duduknya.
Kini Gi Beng bertiga sudah dapat menduga pemandangan ngeri apa yang bakal mereka saksikan, wajah mereka bertiga segera berubah hebat, tubuh mereka pun mulai gemetar.
Sementara itu pendeta aneh berjubah merah itu telah menangkap seekor ular berbisa dan dimasukkan ke dalam mulut, dengan satu gigitan dia melahap kepala ular itu dan mengunyahnya dengan penuh kenikmatan.
Gi Beng bertiga merasa hatinya bergidik, tiba-tiba saja perut mereka mual.
Pendeta berjubah merah itu sama sekali tidak melakukan sesuatu gerakan, yang tampak hanya dadanya yang naik turun.
Ular berbisa yang besar itupun perlahan¬-lahan menyusut mengecil mengikuti gerakan dadanya yang naik turun, dalam waktu singkat hanya tersisa selembar kulit ular yang kosong, sementara daging serta darahnya telah terhisap masuk ke dalam perut pendeta itu.
Gi Beng sekalian merasa sangat mual, andaikata tidak mengertak gigi, mungkin mereka sudah muntah saking tidak tahannya.
Kalau dilihat mimik muka pendeta aneh berjubah merah itu, dia seolah menganggap ular berbisa itu sebagai hidangan terlezat yang ada di kolong langit, tidak sampai sepeminuman teh, keenam tujuh ekor ular berbisa itu sudah berpindah ke dalam perutnya.
Caranya makan ular berbisa secara hidup-hidup sudah merupakan satu kejadian yang mengerikan, tapi kemampuan tenaga dalamnya untuk menghisap daging dan darah ular itu sampai lolos dari kulitnya justru membuat perasaan orang bergidik.
Cahaya merah aneh yang memancar dari sekujur tubuhnya terlihat makin lama semakin menyolok dan berkilauan, sinar matanya makin tajam bersemangat, tampaknya setiap kali dia makan seekor ular berbisa lebih banyak, tenaga dalamnya pun ikut bertambah maju satu tingkat.
Gi Beng benar-benar merasa terkejut bercampur takut, dia tidak kuasa untuk melihat lebih jauh, diam-diam gadis itu menarik ujung baju Sui Leng-kong dan mengajaknya pergi dari situ.
Sui Leng-kong manggut-manggut, secara diam-diam dia pun menarik ujung baju Gi Teng.
Tapi belum sempat ketiga orang itu bangkit berdiri, mendadak kakek berjubah abu-abu itu membalikkan tubuhnya, seolah tanpa sengaja dia melirik sekejap ke tempat persembunyian ketiga orang itu.
Gi Teng bertiga sekali lagi merasa terkesiap, terlebih Sui Leng-kong, rasa kagetnya jauh melebihi dua bersaudara Gi, karena dia segera mengenali kakek berbaju abu-abu itu sebagai tokoh yang sangat dikenal olehnya.
Untunglah pada saat yang bersamaan si pendeta berjubah merah itu membisikkan sesuatu, kakek berbaju abu-abu itu segera berpaling lagi ke arah lain.
Dalam keadaan begini, tentu saja Sui Leng-kong bertiga tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ.
Tanpa membuang banyak waktu ketiga orang itu balik tubuh dan kabur dari situ, sampai cahaya lentera dalam kuil tidak nampak lagi mereka baru menghembuskan napas lega.
"Waah, sungguh lihai!" gumam Gi Beng dengan napas tersengal.
"Kelihatannya ilmu beracun yang dilatih pendeta berjubah merah itu sudah mencapai puncak kesempurnaan," kata Gi Teng pula dengan nada berat, "andaikata sampai ketahuan mereka, mungkin susah bagi siapa pun untuk kabur dari bukit ini dalam keadaan selamat."
"Siapa sih orang itu? Apakah kau mengenali mereka?"
"Jejak jagoan silat amat sulit dilacak," sahut Gi Teng sambil menghela napas, "sekalipun aku merasa agak asing, tapi jelas dia adalah seorang gembong iblis yang sudah lama hidup mengasingkan diri... aaai! Lebih baik kita tidak usah mengenal mereka."
"Tapi aku mengenali muridnya itu," tiba-tiba Sui Leng-kong menyela.
"Siapa dia?" tanya Gi Beng sambil membe-lalakkan matanya.
"Dia adalah Pocu benteng Han hong-po, Leng It-hong."
Sampai tiba kembali di tempat pondokannya dalam dusun, Gi Beng masih diliputi perasaan tercengang dan tidak habis mengerti, gumamnya berulang kali:
"Leng It-hong? Kenapa dia bisa menjadi murid gembong iblis itu?"
"Kalau sampai manusia macam Leng It-hong pun bersedia menjadi muridnya, jelas kungfu yang dimiliki orang ini sangat menakutkan, lebih baik kita jangan mengusiknyalagi."
"Siapa yang bilang mau mengusiknya? Aku hanya ingin...."
"Lebih baik lagi kalau dipikir pun jangan," tukas Gi Teng cepat.
Kemudian setelah menatap sekejap Sui Leng-kong, tiba-tiba katanya lagi:
"Bukan bermaksud takut atau tidak punya nyali, tapi bukankah tujuan kepergian kita kali ini adalah untuk mencari orang? Buat apa mesti mencampuri urusan orang lain?"
Kontan Gi Beng tertawa cekikikan, katanya:
"Aku justru melihat kau tidak bernyali, cuma malu untuk mengakuinya... bukan begitu Enci Sui?"
Sambil tersenyum Sui Leng-kong melirik Gi Teng sekejap.
Dengan wajah bersemu merah, buru-buru Gi Teng berdehem, katanya:
"Sudahlah, besok pagi kita harus melanjut-kan perjalanan, lebih baik cepat tidur!"
Dia tidak berani memandang wajah Sui Leng-kong lagi, cepat pemuda itu mengundurkan diri dari ruangan.
Kembali Gi Beng mengomel panjang lebar sebelum akhirnya tertidur.
Sedang Sui Leng-kong merasa sulit untuk memejamkan mata, walaupun sudah bolak-balik tubuhnya, namun rasa mengantuk seakan sudah jauh meninggalkan tubuhnya.
Biarpun di hari biasa dia selalu tampil dengan wajah penuh senyuman, namun begitu keheningan malam mulai menjelang, dia selalu akan terombang-ambing oleh pikiran yang kalut, dia merasa banyak masalah yang sulit dihilangkan dari benaknya.
Sepanjang malam berulang kali Gi Beng mengigau sambil berteriak-teriak:
"Ular...ular...."
Menyaksikan hal itu, Sui Leng-kong menghela napas panjang, sambil mengenakan mantel diam-diam dia membuka jendela ruangan.
Di luar jendela tampak langit amat cerah, rembulan dan bintang menghiasi malam yang gelap, di tengah hembusan angin yang dingin, tiada hentinya dia memanggil nama Thiat Tiong-tong.
Dalam keheningan yang mencekam itulah mendadak dia mendengar suara isak tangis yang amat memedihkan hati, isak tangis itu sayup-sayup terhembus lewat mengikuti angin malam, suara tangisan yang begitu sedih dan memilukan hati, serasa hati tersayat, usus terburai....
Tanpa terasa air mata ikut berlinang membasahi wajah Sui Leng-kong, tanpa sadar dia melompat keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju ke sumber isak tangis itu.
Dia tidak sadar, selain dirinya ternyata masih ada orang lain yang ikut berada di sisi jendela.
Orang itu tidak lain adalah Gi Teng.
Pemuda itu dapat melihat dengan jelas kemunculan Sui Leng-kong yang berambut panjang sebahu dan mengenakan baju berwarna putih di bawah cahaya rembulan....
Sui Leng-kong nampak begitu cantik, cantik bak bidadari dari kahyangan.
Tanpa terasa pemuda itu termangu, serta merta dia ikut melompat keluar jendela.
Saat itu Sui Leng-kong sudah melesat keluar dari dinding pekarangan.
Baru saja Gi Teng hendak mengejar, satu ingatan kembali melintas, cepat dia balik ke dalam kamar dan membangunkan Gi Beng yang masih terlelap tidur.
Dengan terkejut Gi Beng melompat bangun dari tidurnya seraya berteriak keras:
"Ular...."
Tapi setelah melihat jelas orang yang berdiri di hadapannya adalah Gi Teng, dengan perasaan lebih tenang tegurnya:
"Ada apa?"
"Ketika mendengar isak tangis, nona Sui keluar rumah seorang diri, aku... aku sangat kuatir, bagaimana kalau kau mengintil di belakangnya?"
"Kalau toh kau yang kuatir, kenapa tidak pergi sendiri? Aku mau tidur saja...." sahut Gi Beng sambil cemberut, selesai bicara kembali dia merebahkan diri.
Buru-buru Gi Teng menarik tangannya dan berseru sambil tertawa paksa:
"Kalau yang menangis seorang wanita, berarti dia menangis dari kamar tidurnya, masa aku seorang lelaki harus masuk ke dalam kamar wanita lain?"
Gi Beng menghela napas panjang dan menggeleng.
"Aaai, siapa suruh aku jadi adikmu dan siapa suruh kau adalah kakakku?"
Buru-buru dia bangun dan mengenakan pakaian luar.
Menanti dia mengejar keluar, Sui Leng-kong sudah berada jauh sekali, masih untung nona itu berjalan tidak terlalu cepat, pakaian putihnya kelihatan sangat menyolok di tengah kegelapan malam.
Akhirnya Gi Beng berhasil menemukan Jejaknya, sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia menyusul ke depan dan rencananya hendak menegur, namun niat itu segera diurungkan begitu melihat raut muka Sui Leng-kong yang dicekam kesedihan.
Ketika mengetahui kedatangan Gi Beng, sambil tertawa sedih kata Sui Leng-kong:
"Coba dengar!"
Sekarang Gi Beng baru merasa kalau isak tangis itu memang sangat menyedihkan, tanpa terasa tergerak hatinya. Dengan kening berkerut, bisiknya:
"Ya, betul, anak perempuan siapa yang sedang dianiaya orang? Mari kita tengok ke sana."
Siapa sangka suara tangisan yang kedengarannya berasal dari tempat dekat itu kenyataan jauhnya setengah mati, harap maklum suasana malam di dusun itu memang kelewat sepi sehingga tidak heran suara isak tangis yang berasal dari tempat jauh pun terdengar sangat jelas.
Sui Leng-kong yang semula masih berjalan santai, tanpa sadar segera mempercepat langkahnya dan pada akhirnya kedua orang itu sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk bergerak.
Tempat ini adalah bukit Lau-san, di kaki bukit terlihat setitik cahaya hio yang berkedip-kedip bagaikan bintang kesepian, dari arah situlah suara isak tangis itu berasal.
Ketika Sui Leng-kong dan Gi Beng berjalan semakin dekat, di bawah cahaya bintang tampaklah sebatang hio tertancap di atas sebatang batu hijau di kaki bukit, ada dua orang gadis berbaju hitam yang bertubuh ramping sedang berlutut di hadapan hio itu sambil menangis tersedu-sedu, sayang wajah mereka tertutup oleh kain cadar berwarna hitam, jelas kedua orang itu enggan wajah asli mereka ketahuan orang.
Gi Beng segera menghentikan langkahnya, dengan kening berkerut dia berbisik:
"Ternyata mereka bukan sedang dianiaya orang lain, tapi sedang melampiaskan rasa sedihnya di sini."
"Kalau didengar dari isak tangis yang begitu mengenaskan, kelihatannya orang yang sedang mereka tangisi adalah orang yang sangat dekat dengan kedua orang ini, entah orang itu sempat tidak mendengar suara tangisannya?" kata Sui Leng-kong pula dengan sedih.
Berbicara sampai di situ, air mata telah membasahi wajahnya.
Menyaksikan sikap rekannya, diam-diam Gi Beng menghela napas panjang, pikirnya, "Ternyata Enci Sui adalah orang yang sensitif perasaannya ...
Sementara di luar, dia berkata:
"Jika orang itu sudah mati dan ternyata ada orang yang begitu sedih atas kematiannya, boleh dibilang kematian orang itu cukup berharga."
"Tapi... tapi...."
"Tapi bila orang itu belum mati dan gara-gara dia orang lain mesti begitu sedih," tukas Gi Beng cepat, "maka orang itu kalau bukan kentut busuk, pastilah seorang lelaki goblok yang memuakkan."
Pembicaraan kedua orang ini mesti tidak menggunakan suara yang keras, namun tidak pula terhitung lirih, sayang dalam sedihnya yang luar biasa ternyata tidak seorang pun di antara kedua orang gadis berbaju hitam itu yang mendengar.
Kelihatannya hembusan angin malam pun menemani suara isak tangis mereka, berbaur menjadi satu dan menciptakan seuntai irama lagu yang menyayat hati.
Sui Leng-kong yang sudah dibasahi air mata, kini terisak makin menjadi.
Sekali lagi Gi Beng menghela napas, sambil menggelengkan kepala dan tertawa getir, ujarnya:
"Siapa orangnya yang mereka tangisi kau tidak tahu, masa kau menemani mereka menangis sesedih ini?"
Dengan air mata masih bercucuran, sahut Sui Leng-kong:
"Mereka menangisi orang yang dikasihi, sementara aku menangisi masalahku yang menyedihkan, kalau kami sama-sama sedang bersedih hati, apa salahnya menangis bersama,"
Gi Beng tertegun, sambil menggosok matanya dia berseru:
"Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi... kalau kau masih menangis terus, aku... aku pun tidak tahan untuk tidak menangis."
"Baik, kalau begitu menangislah... menangislah... semoga semua orang yang sedang bersedih hati dapat berkumpul semua di sini dan menangis bersama... bisa menangis, jauh lebih lega ketimbang menyimpannya di dalam hati."
"Kalian menangis karena ada yang ditangisi, sementara aku... tidak seorang manusia pun yang perlu kutangisi, aku ... bukankah aku jauh lebih mengenaskan ketimbang kalian?"
Makin berbicara dia merasa makin sedih, sampai akhirnya dia pun ikut menangis tersedu-sedu, malah suara tangisannya paling keras.
Entah sudah berapa lama keempat orang itu menangis, akhirnya dua orang gadis berbaju hitam itu berpaling secara tiba-tiba dan berseru:
"Cici berdua ... kalian ... kalian jangan menangis lagi!"
"Kalian sendiri menangis dengan begitu sedihnya, kenapa kami tidak boleh menangis," sahut Gi Beng, "asal kalian tidak menangis, tentu kami pun tidak akan menangis lagi."
"Kami... mana mungkin kami tidak menangis? Tapi bila Cici berdua tidak ada masalah yang benar-benar menyedihkan, lebih baik janganlah menangis lagi."
"Masalah apa pula yang membuat kalian amatbersedih?"
Gadis berbaju hitam itu mendongakkan kepala memandang ke angkasa, kemudian ujamya sedih:
"Seseorang telah mati, padahal sepanjang hidupnya dia sudah banyak berkorban demi orang banyak, namun tidak seorang pun yang mengetahui pengorbanannya itu."
"Benar, dia telah mengorbankan segala-galanya." lanjut gadis yang lain, "namun tidak seorang saudara dan sanaknya pun yang memahami pengorbanan itu, bahkan sampai gurunya pun menuduh dia sebagai seorang murid murtad, seorang pengkhianat."
"Dia dilahirkan tanpa ibu, ayahnya juga telah mati, satu-satunya orang di dunia ini yang paling dekat dengannya ternyata...."
"Akhirnya dia harus tewas di tangan orang yang paling dekat dengannya," kembali gadis yang lain menambahkan.
Walaupun hanya serangkai pembicaraan yang sederhana namun telah menceritakan sebuah kisah kehidupan yang amat tragis, dalam keadaan begini, siapa yang tidak merasa bersedih?
Gi Beng berdiri tertegun, lama sekali dia termangu oleh kisah cerita itu, gumamnya:
"Kalau dia benar-benar manusia macam begini, aku... aku pasti akan turut menangisi kepergiannya."
Sui Leng-kong yang selama ini hanya tertunduk sambil menangis, tiba-tiba mendongak¬kan kepala, selesai membesut air mata, tanyanya dengan gemetar:
"Si... siapa yang kau maksud?"
Kedua orang gadis berbaju hitam itu serentak berpaling, memandang ke arahnya.
Di bawah cahaya bintang, terlihat nona itu berdiri dengan wajah pucat-pias, wajahnya sayu, meskipun kecantikannya sudah terselubung di balik kepedihan, namun sorot matanya tampak tetap jeli dan indah.
Kedua orang gadis berbaju hitam itu tertegun, sampai lama sekali tak mampu berkata.
"Kenapa ... kenapa kalian tidak bicara?" tanya Sui Leng-kong.
Tiba-tiba kedua orang gadis berbaju hitam itu berangkulan kembali dan menangis semakin sedih.
"Kau... kau ...." paras muka Sui Leng-kong semakin pucat.
"Sebenarnya Cici... Cici pun kenal dengan orang... orang yang kami tangisi ...." ujar gadis berbaju hitam itu terbata-bata.
"Siapa? Siapakah dia?" suara Sui Leng-kong makin gemetar.
"Thiat... Tiong... Tong!"
"Thiat Tiong-tong?" Gi Beng ikut menjerit keras.
Sementara itu Sui Leng-kong sudah mencengkeram baju gadis itu sembari menjerit:
"Thiat Tiong-tong? Kau... yang kau maksud benar-benar Thiat Tiong-tong?"
"Benar! Mana ada orang lain yang jauh lebih banyak berkorban daripada Thiat Tiong-tong?" kata gadis berbaju hitam itu sedih, "kecuali untuk Thiat Tiong-tong, mana mungkin aku akan begitu bersedih."
Sekujur badan Sui Leng-kong mulai gemetar keras, tubuhnya mendadak jadi rapuh bagai selembar daun kering yang dihembus angin kencang, jeritnya:
"Kau bohong... Thiat Tiong-tong tak mungkin mati, dia tak mungkin mati
"Dia memang tak pantas mati, tapi dia... dia benar-benar telah mati... Enci Sui, kau anggap aku tega menipumu?"
"Kau... kau kenal aku? Siapa kau?"
"Leng... Cing-peng...."
Sambil menjerit keras Sui Leng-kong berpaling ke arah gadis yang lain.
Perlahan-lahan gadis berkerudung hitam itu melepaskan kain cadarnya dan menampilkan wajahnya yang cantik jelita, wajah yang telah basah oleh air mata....
Dia tidak lain adalah UnTay-tay.
Tubuh Sui Leng-kong tampak gontai, mendadak dia merasa pikirannya kosong, tidak ada lagi secuwil kekuatan pun yang menopang tubuhnya.
Dia cukup mengerti, perkataan orang lain mungkin saja bohong, tapi kedua orang ini tidak nanti akan membohongi dirinya... tubuhnya mulai roboh lemas.
Buru-buru Gi Beng memeluk tubuhnya sambil berteriak:
"Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong? Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong? Cepat beritahukan kepadaku."
"Orang itu adalah adik angkatnya, Im Ceng!" sahut Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Sekali lagi tubuh Sui Leng-kong bergetar keras.
Gi Beng ikut tertegun, lama kemudian dia baru bergumam:
"Im Ceng... Im Ceng... dimana dia sekarang?"
"Dia pun telah mati!"
Jiwa Sui Leng-kong yang sudah melemah bagaimana mungkin bisa menerima pukulan batin seberat ini? Belum sempat berteriak, kembali dia jatuh tidak sadarkan diri.
Gi Beng mendongakkan kepala memandang langit, jeritnya amat sedih:
"Ooh, Thian... sudah terjadi tragedi yang begitu mengenaskan di dunia ini, kenapa kau tidak mencampurinya?"
Tentu saja dia tidak tahu kalau pada saat yang bersamaan telah terjadi peristiwa yang menyedihkan di tempat lain.
Walaupun Thiat Tiong-tong belum mati, namun dia jauh lebih menderita dan tersiksa dari pada mati.
Penderitaan dan siksaan yang dialaminya selama ini, kecuali dia pribadi, mungkin tidak ada orang kedua di dunia ini yang bisa menerimanya, hati dan perasaannya benar-benar sudah dipoles menjadi lebih tangguh daripada lempengan baja.
Sambil menggertak gigi, dia usir jauh-jauh semua persoalan yang tidak patut dipikirkan, semua masalah yang sulit dilupakan ....
Andaikata dia sendiri pun tidak memiliki masalah masa lalu yang memedihkan hati dan sukar terlupakan, tidak mungkin dia bisa mengetahui betapa sulit dan susahnya untuk "melupakan" semuanya itu.
Tapi Thiat Tiong-tong yang ulet dan gigih berhasil melakukannya, dia berhasil menghimpun semua semangat, pikiran dan tenaganya untuk berlatih siang malam.
Dia mati-matian menyiksa diri, mati-matian melecuti diri sendiri, dia tidak memberi waktu yang cukup bagi diri sendiri untuk beristirahat, karena begitu dia berhenti berlatih, siksaan itupun mulai menggigit dan menyiksa batinnya lagi, menyiksa tubuhnya bagai pagutan ular berbisa.
Sementara itu sepanjang hari Kaisar malam hanya duduk termenung bagaikan sebuah patung batu.
Lorong rahasia itu meski tetap tampil indah dan mewah, namun sudah kehilangan gelak tawa yang riang dan ramai, semuanya berubah jadi gelap tidak bersinar, sepi, hening hingga susah tertahankan oleh siapa pun.
Kawanan gadis yang lincah dan menyenangkan pun telah kehilangan senyuman mereka yang menawan, terkadang sewaktu memandang dari balik cermin pun, mereka seolah lupa bagaimana tampang sendiri ketika sedang tertawa.
Mereka tiada hentinya melecuti diri sendiri, siang malam tanpa berhenti berusaha menyingkirkan guguran bebatuan yang menyumbat lorong itu, mereka berusaha secepatnya menyelesaikan pekerjaan itu, membuat sebuah jalan tembus.
Akhirnya sampailah pada hari ini, hari dimana menurut perkiraan mereka sudah berada sangat dekat dengan pintu keluar, tinggal bekerja setengah hari lagi, seluruh lorong rahasia itu sudah dapat di tembus.
Waktu itu wajah mereka sudah sayu dan kucal, rambut mereka sudah kehilangan cahayanya, pakaian indah yang mereka kenakan pun sudah robek dan compang-camping.
Jari jemari mereka yang semula halus dan ramping, kini sudah berubah kasar dan penuh ditumbuhi kulit keras, kerlingan mata mereka yang jeli pun dipenuhi butiran air mata.
Tentu saja air mata mereka adalah air mata kegembiraan. Setelah berjuang dan bersusah payah sekian lama, pada akhirnya jerih-payah mereka membuahkan hasil.
Khusus hari ini, Thiat Tiong-tong pun ikut meninggalkan latihannya untuk bergabung dengan mereka, malah Kaisar malam yang selama ini bagaikan patung pun sudah mulai nampak bergairah hidup.
Tampaknya lorong rahasia itu segera akan tembus, perasaan mereka ketika itu sangat gembira, sangat senang, perasaan yang tidak terlukiskan dengan perkataan apapun.
Sayangnya, di saat yang terakhir itulah.... Mendadak mereka jumpai ada sebuah batu raksasa seberat ratusan ribu kati menghadang jalan terakhir mereka, memisahkan harapan mereka yang terbesar, menghancurkan kegembiraan mereka yang terbesar, membuat seluruh jerih-payah berlalu dengan begitu saja.
Kini semua senyuman, semua kegembiraan telah berubah, berubah jadi derai air mata....
Dalam waktu singkat semua orang tertegun, semua orang berdiri melongo, seluruh kekuatan tubuh kawanan gadis itupun ikut berubah jadi kekosongan, kehampaan.
Satu per satu mereka berlutut di tanah sambil menangis tersedu-sedu, mereka merasa seakan tidak punya tenaga lagi untuk bangkit berdiri.
Sepasang mata Kaisar malam telah berubah jadi merah membara, tubuhnya gemetar keras, rambutnya berdiri kaku bagai landak, sepasang kepalannya mengepal kuat-kuat, seolah sedang menggenggam semua kesedihan dan kegusaran yang tak mampu diucapkan.
Thiat Tiong-tong sendiri pun berdiri tertegun sambil mengawasi batu raksasa yang mustahil bisa digeser dengan tenaga manusia, pikirnya dengan sedih, "Thian... wahai, Thian... apakah kau benar-benar hendak memerangkap kami di tempat ini? Mengurung kami sampai mati?"  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongDonde viven las historias. Descúbrelo ahora