26. Kalau Bingung, Bertanyalah Pada Langit

1.2K 26 0
                                    

Tidak selang berapa saat kemudian samudra luas telah terbentang di depan mata, diantara kilauan ombak yang tertimpa cahaya tampak riak yang saling berkejaran gulung menggulung menuju pantai.

Thiat Tiong-tong mencoba memandang ke depan, tidak dijumpai batasan antara pesisir dengan samudra, kenyataan ini segera membuatnya tertegun, ternyata mereka sudah berada diatas sebuah tebing dengan bentangan jurang yang amat dalam.

Masih untung pemuda itu segera mengendalikan kereta tersebut, coba kalau tetap membiarkan sang kereta lari kencang tanpa kendali, niscaya saat ini kendaraan tersebut sudah langsung terjun ke dalam samudra.
Dalam terperanjatnya sekuat tenaga Thiat Tiong-tong menarik tali kendali kuda, namun kereta itu masih sempat bergerak berapa meter lagi sebelum benar-benar berhenti, coba kalau maju tiga depa lagi, mustahil bagi mereka untuk berhenti persis ditepi tebing.
Dia mencoba melongok ke bawah, terlihat hamparan samudra luas dengan batu karang yang runcing dan tajam terbentang dibawab tebing, gulungan ombak yang memecah ditepian membuat situasi disitu amat menakutkan, bisa dibayangkan apa jadinya andai kereta berikut penumpangnya tercebur ke situ?
Im Ceng serta Un Tay-tay yang berada dalam ruang kereta, meski masih mabuk kepayang oleh api asmara, tidak urung terperanjat juga ketika merasakan kereta itu berhenti mendadak, terlebih ketika melihat hamparan air laut dihadapan mereka, keringat dingin seketika membasahi tubuh.
"Keterlaluan! Sungguh keterlaluan!" pekik Un Tay-tay terperanjat, "masa kita sampai lupa kalau kereta ini bergerak tanpa kusir!"
"Coba kuperiksa, apa yang sebenarnya telah terjadi........" kata Im Ceng sambil melompat keluar dari ruang kereta, dia semakin terperanjat ketika melihat ada seorang lelaki berbaju hitam sedang duduk dibangku kusir, tak tahan hardiknya:
"Siapa disitu?"
Saat itu rasa kaget dan ngeri Thiat Tiong-tong belum mereda, peluh dingin masih membasahi telapak tangannya, begitu mendengar suara bentakan, tanpa sempat berpikir lagi dia segera berpaling.
Begitu tahu siapa lelaki itu, dengan wajah berubah Im Ceng segera meraung keras: "Rupanya kau!"
Ditengah bentakan, mendadak sebuah pukulan dilontarkan.
Entah karena tidak sempat menghindar atau memang sengaja tidak berkelit, pukulan itu bersarang telak diatas iga kiri Thiat Tiong-tong.
"Blaaaam!" ditengah benturan keras, tubuhnya mencelat dari atas kereta, melayang di udara dan meluncur jatuh ke dasar jurang, tidak ada suara jeritan, tidak ada suara kesakitan, yang terdengar hanya deburan ombak serta deruan angin laut.

Tergopoh-gopoh Un Tay-tay melompat keluar dari balik kereta, dia jumpai Im Ceng sedang berdiri termangu-mangu sambil memegangi kepalan kanan sendiri.

Wajahnya pucat pias seperti mayat, garis merah memenuhi sepasang matanya, pemuda itu mirip orang kesurupan, berdiri melongo seperti kehilangan ingatan.

Terperanjat bercampur cemas Un Tay-tay segera menegur:

"Apayang telah terjadi?"

"Thiat Tiong-tong.........Thiat Tiong-tong........"

"Thiat Tiong-tong?" jerit Un Tay-tay semakin terperanjat, "dimana Thiat Tiong-tong?"
"Sudah kuhantam hingga tercebur ke bawah!" jawab Im Ceng sambil menuding ke arah hamparan samudra.

Sekali lagi Un Tay-tay menjerit kaget, paras mukanya berubah hebat, seakan tidak mampu berdiri tegak lagi, tubuhnya gontai dan akhirnya jatuh terduduk dengan peluh dingin bercucuran.

Tiba-tiba sekulum senyuman tersungging diujung bibir Im Ceng, gumamnya:
"Dia sudah roboh! Dalam satu pukulan dia sudah roboh........." senyuman itu nampak sangat aneh, tidak jelas karena sedih atau sedang gembira.

Sekujur tubuh Un Tay-tay mulai gemetar keras, jari tangannya terasa dingin membeku, bisiknya:

"Kau........bagus sekali perbuatanmu.........."
Padahal tenggorokannya sudah tersumbat oleh sesenggukan, tidak sepatah katapun sempat dilontarkan, dengan sempoyongan dia bangkit berdiri lalu berlarian menuju ke tepi jurang.
Gulungan ombak saling berkejaran memecah diatas batu karang, percikan air memancar ke empat penjuru, bayangan Thiat Tiong-tong sudah hilang lenyap tidak berbekas, kini yang tersisa hanya selembar kain hitam yang tersangkut diatas batu karang, kain yang terombang ambing dimainkan ombak.
Kelihatannya Thiat Tiong-tong masih mencoba meraih batu karang ketika tercebur tadi, dia masih berusaha meronta dari gulungan ombak dan berusaha merangkak naik ke atas karang.
Menyaksikan kesemuanya itu Un Tay-tay tidak sanggup menahan rasa sedihnya lagi, sambil mencengkeram tepi karang dia mulai menangis tersedu-sedu, menangis dengan amat sedihnya.
Rasa cemburu bercampur benci seketika menyelimuti perasaan Im Ceng, terlebih melihat perempuannya menangis begitu sedih karena Thiat Tiong-tong, tidak tahan teriaknya penuh amarah:
"Thiat Tiong-tong telah menghianati perguruan, menghianati sahabat, manusia macam begini pantas dibunuh dan dilenyapkan, apa yang kau tangisi!"
Un Tay-tay segera bangkit berdiri, memba¬likkan tubuhnya dan berseru sambil menangis:
"Kapan dia....... dia berbuat salah kepadamu?
Tanpa usahanya, kau anggap dirimu masih bisa hidup hingga hari ini!"
"Oooh..... jadi maksudmu, seharusnya aku berterima kasih kepadanya?" jengek Im Ceng sambil tertawa dingin.
"Ten......tentu saja!"
Amarah Im Ceng semakin meluap, teriaknya: "Tahukah kau, sudah berapa kali dia berusaha mencelakai aku? Pertama kali sewaktu berada ditengah hutan, dia menyerahkan aku ke tangan Suto Siau, coba kalau tidak berusaha melarikan diri, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini?
Kemudian..... kemudian akupun bertemu dengan kau, kalau bukan ditolong olehmu mungkin aku sudah mati karena disiksa dan dianiaya, kenapa aku harus berterima kasih kepadanya, berterima kasih untuk apa?"
"Keliru.......keliru.........."jerit Un Tay-tay sambil berurai air mata.
"Semua peristiwa itu kualami sendiri, mana mungkin keliru?" teriak Im Ceng semakin keras.
"Tahukah kau, dalam peristiwa waktu itu bukan cuma dia tidak mencelakaimu bahkan dengan pertaruhkan nyawa telah selamatkan nyawamu, demi selamatkan jiwamu, dia berpura-pura tunduk kepada Suto Siau, berlutut dihadapannya, lalu dengan manfaatkan peluang itu dia melukai Suto Siau. Saat itu, andaikata dia tidak ambil perduli dengan keselamatanmu, bisa saja dia kabur selamatkan diri, tapi sampai matipun dia enggan melepaskanmu hingga akhirnya dia terjatuh ke tangan orang lain. Beruntung saat itu dia bertemu Tio Kie-kong yang berniat membalas budi Perguruan Tay ki bun, dengan kemampuan Tio Kie-kong dia hanya mampu selamatkan nyawa satu orang, dalam situasi seperti itu dia tetap memilih untuk selamatkan nyawamu terlebih dulu, dia minta Tio Kie-kong membawamu kabur, sementara dia sendiri tercebur ke dalam jurang yang amat dalam!"
Apa yang diutarakan sekarang, diperolehnya dari pembicaraan Suto Siau serta Thiat Tiong-tong secara terpotong-potong, sudah cukup lama dia menyimpannya didalam hati tapi sekarang, pada akhirnya diutarakan juga.
Hijau kepucat-pucatan wajah Im Ceng sehabis mendengar penuturan itu, tergagap serunya:
"Tapi........"
"Dengan pertaruhkan nyawa Tio Kie-kong membawamu ke tempat yang aman, apa mau dikata kau justru mencurigai orang lain ingin menyiksamu dengan alat siksaan sehingga melarikan diri"
Setelah tertawa pedih lanjutnya:
"Tapi kau tidak tahu, orang yang sesungguhnya ingin mencelakaimu bukan dia melainkan aku, coba kalau bukan lantaran Suto Siau bersikeras ingin menipumu agar membawa kami ke markas besar Perguruan Tay ki bun, sementara dia bisa menguntit secara diam-diam dan membasmi seluruh anggota perguruanmu, mungkin kau sudah dibunuh mampus sebelum lukamu sempat sembuh"
Peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidat Im Ceng, katanya kemudian:
"Tapi setibanya dikota Lok-yang, kenapa dia...."
"Kusangka semua rencana busukku tersusun sangat rapi dan mustahil bisa ketahuan orang, siapa sangka begitu tiba di perkampungan keluarga Li dikota Lokyang, semua rencanaku berhasil dibongkar Thiat Tiong-tong, tapi waktu itu kau sudah membencinya hingga merasuk tulang, maka diapun menggunakan harta untuk memikat-ku, membujukku agar menjauhi dirimu. Siapa tahu kau bukan saja tidak memahami niat baiknya, sebaliknya justru makin membencinya!"
"Tapi..... tapi kemudian dia lagi-lagi berhubungan dengan Suto Siau......." suara Im Ceng kedengaran mulai gemetar.
"Waktu itu dia sedang menjalankan siasat ulat emas lolos dari kepompongnya, dia menitahkan Phoa Seng-hong untuk menyaru sebagai kakek tua, menipu Suto Siau sekalian agar menyangka dia adalah Thiat Tiong-tong, sementara dia sendiri secara diam-diam justru memusuhi mereka, dia memang banyak akal lagi cerdas, mana mungkin orang lain bisa menduga rencananya itu!"
"Bruukkk!" Im Ceng merasakan sepasang lututnya jadi lemas, dia roboh terduduk diatas tanah.
"Saat itu, sebenarnya aku tidak mempunyai perasaan apapun terhadapmu" ujar Un Tay-tay lebih jauh, "tapi lantaran Thiat Tiong-tong berulang kali membujukku agar jangan mencelakaimu, maka sewaktu berada dalam kuil bobrok aku baru mengucapkan perkataan itu"
Dengan sedih Im Ceng tundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Hari itu, ketika berada di dusun pandai besi" kata Un Tay-tay lagi, "dia pula yang telah meman¬cing kepergian Ai Thian-hok. Demi menyelamatkan jiwamu, hampir saja dia tewas ditangan Ai Thian-hok!"
Segulung angin berhembus lewat, tiba-tiba Im Ceng merasa hatinya bergidik hingga bersin berulang kali.
"Saat itu kau sudah terluka parah" kembali Un Tay-tay berkata, "maka akupun membawamu pulang ke rumah, siapa tahu Suto Siau sekalian lagi-lagi berhasil melacak tempat persembunyian kita, untuk kesekian kalinya Thiat Tiong-tong berhasil selamatkan nyawamu maupun nyawaku!"
"Ternyata kau........ kau mencintainya........" bisik Im Ceng dengan air mata berlinang.
Butiran air mata membasahi pula selembar wajah Un Tay-tay, sahutnya dengan nada gemetar:
"Betul, ada suatu saat aku memang mencintai¬nya, tapi demi kau, dia selalu berusaha menghindariku, hingga........hingga........."
Dengan kepala tertunduk dia menangis terisak, lama kemudian baru terusnya:
"Hingga hari itu, ketika aku membopong kau yang terluka parah berlarian diatas tanah perbukitan, saat itulah aku baru sadar, ternyata perasaan hatiku sudah tertarik kepadamu, aku rela mati seribu kali, sejuta kali, tapi tidak ingin membiarkan kau mati walau sekalipun, tapi.....tapi kalau bukan lantaran dia, mana mungkin ada kehidupan bagi kita seperti hari ini........"
Sambil berkata, air mata bercucuran terus tiada hentinya, belum lagi selesai bicara, pakaian-nya sudah basah oleh air mata.
Im Ceng duduk mematung disitu, dia sama sekali tidak mampu bergerak.
Semua budi dan dendam, semua sebab akibat, pada akhirnya telah dia pahami dengan jelas.
Tapi pemahaman itu datangnya sedikit terlambat, luapan emosinya pun kelewat berlebihan.
Im Ceng merasakan pikirannya hampa, dia seolah sudah hilang kendali, kendali atas kesa¬daran sendiri, dia seakan tidak memahami apa pun, yang tersisa dalam benaknya kini hanya penyesalan yang luar biasa, penyesalan yang tidak mungkin bia ditebus dengan kematian yang berulang kali sekalipun.
Dengan air mata berlinang kembali Un Tay-tay berkata:
"Aku tahu, kisah semacam ini akan sangat melukai hatimu, membuat kau amat sedih, sebetul¬nya aku tidak ingin menceritakan kepada-mu, walau sampai akhir jaman sekalipun. Tapi sekarang, demi mencuci bersih nama baik Thiat Tiong-tong, terpaksa aku harus menceritakannya kembali....."
Dengan wajah kosong Im Ceng manggut-manggut, butiran air mata telah membasahi pula pakaiannya.
"Tidak usah yang lain" kata Un Tay-tay lagi terisak, "cukup berbicara dari kejadian hari ini, seandainya bukan dia yang menarik tali les kuda tepat pada waktunya, mungkin kita berdua sudah mati secara mengenaskan........"
Tiba-tiba Im Ceng bangkit berdiri, sambil mendongakkan kepalanya memandang langit, jeritnya pedih:
"Thiat Tiong-tong! Thiat jiko! Siaute....... Im Ceng.... benar benar telah berbuat salah kepada¬mu........"
Dia lari menuju ke tepi tebing, siap membenturkan kepalanya diatas sebuah batu karang.
Sambil menjerit kaget Un Tay-tay bergulingan diatas tanah, berguling ke sisi pemuda itu dan memeluk sepasang kakinya erat erat.
Kedua orang itupun saling bergulingan diatas tanah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit Im Ceng bagaikan orang gila, "tolong lepaskan tangan¬mu....... kalau aku tidak mati, bagaimana mungkin aku bisa hidup terus dalam keadaan begini!"
"Kau tidak boleh mati" teriak Un Tay-tay sambil menangis tersedu, "kau tidak boleh meninggalkan aku seorang, apakah kau.... apakah kau lupa, kita akan hidup bersama hingga akhir jaman........"
Dia peluk Im Ceng kencang-kencang, meme¬luknya begitu erat seolah kuatir ditinggalkan begitu saja.
"Tapi....... tapi aku tidak punya muka untuk hidup terus, kehidupanku di dunia ini hanya akan menambah penderitaan! Tolong...... aku mohon..... biarkan aku mati....aku.....aku......"
"Tapi dendam berdarah Perguruan Tay ki bun belum terbalas, sumpah setia kita masih bergaung disisi telinga.... apakah kau sudah melupakannya? Kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!"
Dengan sekuat tenaga dia tinju dada Im Ceng, sambil menangis kembali jeritnya:
"Kalau ingin mati, matilah sebagai seorang enghiong! Sekalipun ingin mati, bukan hari ini saatnya!"
Im Ceng terkesiap, lagi-lagi peluh dingin membasahi tubuhnya: "Tapi aku........"
Makin berbicara Un Tay-tay semakin sedih, dia meninju semakin keras, umpatannya pun semakin garang, teriaknya:
"Kalau mati saat ini, bukan saja kau telah mengabaikan dendam kesumatan Perguruan Tay ki bun, kaupun tinggalkan aku seorang diri didunia ini...... kalau kau..... kalau kau berani sebut kata mati sekali lagi, kau adalah seorang lelaki pengecut! Seorang lelaki tempe yang tidak berguna!"
Kalau tadi rengekan dan permohonannya sama sekali tidak digubris, maka pukulan tinjunya yang keras justru membuat Im Ceng terkejut bercampur malu, setiap umpatan, setiap makian yang dilontarkan perempuan itu justru menusuk hati Im Ceng hingga ke tulang sumsum.
Un Tay-tay meninju terus hingga tangannya lemas tidak bertenaga, memaki terus hingga kehabisan suara dan kata, kelihatannya dia sendiri pun mulai putus asa, mulai kecewa, tiba-tiba sambil mendekap ditubuh Im Ceng dan menangis tersedu, serunya:
"Kalau ingin mati, matilah! Akupun akan menemanimu mati...... kalau kita semua sudah mati......maka urusanpun jadi selesai......"
"Tidak, aku tidak akan mati!" ujar Im Ceng tiba tiba sambil menghela napas.
"Apa.....apa kau bilang?" Un Tay-tay tertegun.
"Sekalipun aku hidup penuh penderitaan, tapi kalau mati, mana mungkin aku bisa mati tenteram? Perkataanmu tidak salah, sekalipun harus mati, tidak seharusnya mati pada saat ini"
"Sung........sungguh?" bisik Un Tay-tay terkejut bercampur girang.
"Kapan aku pernah membohongimu?"
Walaupun matahari telah muncul, kabut tebal masih menyelimuti permukaan samudra, men¬dadak terdengar suara peluit yang tinggi melengking bergema dari tepi pantai, menembusi keheningan dan bergema hingga tempat kejauhan.
Lewat berapa saat kemudian terlihat sebuah perahu nelayan muncul dari balik kabut, seorang nenek berambut putih berdiri diujung perahu, mendayung perahunya dengan santai.
Biarpun usia nenek itu sudah lanjut, namun tubuhnya yang berdiri diujung perahu sambil menggerakkan dayungnya tetap berdiri lurus bagaikan sebuah tongkat, seakan-akan mencer¬minkan kehidupannya yang tidak pernah penuh liku.
Wajah Im Ceng ketika itu sudah kaku membeku, dia bersama Un Tay-tay menanti ditepi pantai
Perahu nelayan itu semakin mendekati pesisir, setelah memandang sekejap seputar sana, tiba-tiba nenek itu bertanya:
"Ada dimana orang matinya?"
"Nenek, akulah orang matinya"
"Lantas siapa dia?" tanya nenek itu sambil melotot ke arah Im Ceng.
Wajahnya yang termakan usia, tertimpa hujan dan angin meninggalkan beratus kerutan yang tajam, membuat penampilannya kelihatan sangat tua, namun sorot matanya justru lebih tajam dari kilatan petir, seakan tidak ada rahasia yang bisa disimpan lagi setelah tersapu oleh sorot matanya.
Sesudah mendengus, kembali nenek itu berseru. "Kau naik kemari, tinggalkan dia!"
"Ke......kenapa?" tanya Un Tay-tay gugup.
"Atas dasar apa dia mau ke Pulau Siang cun-to?"
"Dia.....dia........"
Tiba-tiba Im Ceng membentak keras:
"Kau tidak perlu merengek kepadanya lagi, sekalipun aku orang she-Im hendak ke Pulau Siang cun-to pun belum tentu harus menumpang perahunya!"
Siapa tahu begitu mendengar teriakan tersebut, seakan baru bertemu setan iblis, paras mukanya berubah hebat, tanyanya gemetar:
"Kau......kau bilang, kau bermarga apa?"
"Im!"
Sambil menuding dengan jari tangannya yang gemetar, teriaknya lagi:
"Apakah kau anggota Perguruan Tay ki bun?"
"Benar, mau apa kau?"
Tiba-tiba tubuh nenek itu gontai, sambil berpaling ke arah lain katanya kemudian:
"Kaupun boleh naik ke perahu!"
"Terima kasih nenek" teriak Un Tay-tay kegirangan.
Im Ceng jadi sangat keheranan, pikirnya:
"Kenapa begitu kusebut nama serta asal usulku, paras muka nenek ini segera berubah hebat? Jangan jangan terdapat rahasia lain dibalik kesemuanya ini?"
"Ayoh cepat naik!" sementara dia masih termenung, Un Tay-tay sudah berseru sambil menariknya keatas perahu.
Sejak mereka berdua naik ke atas perahu, nenek itu selalu berdiri dengan membelakangi mereka dan tidak melirik ke arah Im Ceng lagi, begitu gala bambunya ditutulkan, perahu itupun bergerak meninggalkan pantai.
"Nenek, masih ada satu persoalan lagi apakah kau bersedia mengabulkan?" ujar Un Tay-tay kemudian.
"Katakan!
"Boanpwee berdua mempunyai seorang teman yang terpeleset jatuh di tebing karang sebelah kiri, bersediakah nenek menjalankan perahu ke sana.....mungkin jenasahnya masih disitu"
Nenek itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia menjalankan perahunya menuju ke sisi kiri.
Un Tay-tay semakin keheranan, kembali pikirnya:
"Semula, nenek ini tidak bersedia melakukan pekerjaan apapun, tapi sekarang, apapun permintaan kami segera dilaksanakan, kenapa dia berubah sikap?"
Ombak menggulung sangat besar, kabut yang menyelimuti permukaan pun semakin tebal, ke mana mereka harus pergi untuk menemukan jenasah Thiat Tiong-tong?
Im Ceng dan Un Tay-tay saling bertukar pandangan sekejap, tanpa terasa butiran air mata jatuh bercucuran.
Biarpun tidak berpaling, nampaknya nenek itu dapat mengikuti perubahan wajah mereka berdua dengan jelas, tiba-tiba tanyanya:
"Apa hubungan kalian dengan jenasah itu? Mengapa kalian begitu bersedih hati?"
"Dia......dia adalah jiko nya"
Tampaknya tubuh nenek itu kembali bergetar keras:
"Jikonya? Dia dari marga Im atau marga Thiat"
Pertanyaan itu diajukan secara aneh, tapi sekaligus menunjuk kan kalau dia amat menguasahi keadaan dan Perguruan Tay ki bun.
Sambil mengawasi bayangan tubuhnya sahut Un Tay-tay sedikit ragu:
"Dari marga Thiat.........."
Tapi kemudian tidak tahan kembali tanyanya:
"Nenek, apakah kau pun tahu banyak soal Perguruan Tay ki bun?"
Nenek itu tidak menjawab, diapun tidak berbicara lagi, tangannya memegang kencang dayungnya dan sepenuh tenaga mendayung perahu itu bergerak ke balik kabut nan tebal.
Tampaknya dia hapal sekali dengan jalan laut diseputar sana, biarpun ditengah kabut tebal, dia seakan tidak kuatir tersesat atau salah arah.
Mengawasi bayangan punggungnya, tanpa terasa Un Tay-tay duduk termangu.
Mendadak terdengar nenek itu menghela napas panjang, sambil membelai wajah Un Tay-tay, bisiknya:
"Bocah, kenapa hubunganmu dengan Perguru¬an Tay ki bun begitu......"
Tampaknya ada banyak persoalan yang ingin dia sampaikan, namun setelah berbicara setengah jalan kembali dia membungkam diri.
Un Tay-tay dapat merasakan betapa kasarnya telapak tangan nenek itu, jauh lebih kasar daripada batu kerikil, ketika meraba wajahnya terasa bagaikan ada sikat yang menyapu lewat, tidak tahan tanyanya:
"Sudah berapa lama nenek hidup ditengah lautan?"
Setelah termenung berapa saat nenek itu baru menjawab:
"Seorang diri aku....... aku hidup di tengah lautan sudah........ sudah hampir sembilan belas tahun lebih delapan bulan tiga hari!"

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu