12. Antara Budi dan Dendam

1.8K 34 0
                                    

Waktu itu Sim Sin-pek sudah dibanting keras keras ke atas geladak perahu oleh Hay Tay-sau.
Secara lamat-lamat Hay Tay-sau menyaksikan ada tubuh seseorang yang basah kuyup berbaring melingkar ditengah ruang perahu, tampaknya tubuh orang itu baru saja diangkat dari dalam air, kesadarannya belum pulih.
Hay Tay-sau sama sekali tidak mengenalinya, bahkan Bi lek hwee yang menyelamatkan orang itupun tidak mengenali siapakah gerangan orang tersebut.
......Seandainya Bi lek hwee tahu, mungkin dia tidak bakalan menyelamatkan jiwanya.
Berbeda dengan Sim Sin-pek, dia kenali siapakah orang itu bahkan sangat mengenalinya.
Saat itu tubuh Sim Sin-pek sudah dibanting keras keras oleh Hay Tay-sau, kini dia berbaring dilantai sambil merintih kesakitan.
Baru saja Hay Tay-sau hendak bertanya siapa orang yang berada dalam ruang perahu, tiba-tiba terdengar Bi lek hwee membentak keras:
"Kenapa bisa kau!"
Hay Tay-sau segera berpaling, tampak Bi lek hwee sedang menuding ke arah Sim Sin-pek dengan kening berkerut.
"Bukankah kau adalah Sim Sin-pek? Kenapa bisa jadi begini?" tegurnya.
"Jadi kau kenali dia?" tanya Hay Tay-sau cepat.
Bi lek hwee manggut-manggut.
"Tentu saja kenal, dia adalah murid Hek Seng-thian, bagaimana ceritanya? Kenapa dia sampai mengusikmu?"
Kontan Hay Tay-sau mencaci maki, umpatnya:
"Orang ini pengecut dan berhati busuk, disaat bahaya dia tega menghianati teman sendiri, jelas dia bukan manusia baik-baik, manusia semacam ini hanya akan meninggalkan bencana bagi umat persilatan"
"Kalau begitu antara kalian berdua tidak ada ikatan dendam atau sakit hati?" tegas Bi lek hwee setelah tertegun sejenak.
"Hmm! Manusia semacam itu belum pantas punya ikatan dendam denganku" teriak Hay Tay-sau gusar.
"Hahahaha...... betul, betul sekali, jelek-jelek begini paling tidak hanya seorang lelaki sejati yang pantas mengikat tali permusuhan dengan Thian-sat-seng!"
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia menghela napas sambil berkata:
"Tapi sayangnya orang ini mempunyai sedikit hubungan dengan lohu"
"Hubungan apa?" kontan Hay Tay-sau mendelik.
"Kalau bukan dia yang datang ke Bi lek tong dan memberi laporan, lohu tidak bakal tahu kalau muridku yang tidak becus itu telah diajak pergi Hek Thian-seng!"
"Ooh, selain itu?"
"Dia tidak menerangkan kejadian sebenarnya secara terperinci, katanya dia sendiripun sedang berusaha melarikan diri, karena kasihan, lohu malah sempat memberi uang kepadanya"
"Apa? Hanya karena obrolannya yang tidak jelas, kau rela duitmu dibohongi? Inikah yang kau sebut ada sedikit hubungan?"
Bi lek Hwee sedikit tertegun, tapi segera sahutnya sambil tertawa:
"Hahaha...... bagaimana pun juga lohu tidak tega menyaksikan dia mampus karena dibunuh.."
"Baiklah! Hukuman mati boleh diabaikan, tapi hukuman hidup tidak bisa dihindari!"
Mendadak dia lancarkan sebuah tendangan keras membuat tubuh Sim Si-pek terpental keluar dari perahu, serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.....mau hidup, mau mampus, terserah bagaimana nasib mu nanti"
Ketika Bi lek Hwee menyusul ke tepi perahu, dia sudah tidak menjumpai bayangan tubuh Sim Si-pek lagi, maka sambil membalikkan tubuh katanya agak geram:
"Inikah yang kau maksud mengampuni jiwanya?"
"Tentu saja" sahut Hay Tay-sau sambil tergelak, "toh tercebur ke sungai bukan berarti pasti mampus, bukankah kau pun telah selamat¬kan seseorang dari dalam air?"
Beberapa saat Bi lek Hwee termangu, akhirnya sambil menepuk bahu Hay Tay-sau teriaknya lantang:
"Ternyata kau lebih cengli ketimbang aku, ayoh kita periksa bagaimana keadaan orang yang ada dalam ruang perahu"
Thiat Tiong-tong yang berada dalam ruang perahu sudah mulai mendusin dari pingsannya.
Secara lamat-lamat dia mendengar semua pembicaran yang berlangsung di luar ruang perahu, hatinya jadi terperanjat ketika mendengar murid Hek Seng-thian berada diluar saat itu.
Tapi hatinya kembali jadi lega setelah men¬dengar suara tubuh seseorang yang tercebur ke dalam air.
Belum sempat ingatan lain melintas dalam benaknya, Hay Tay-sau dan Bi lek Hwee sudah melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tentu saja dia mengenali ke dua orang itu, sebaliknya kedua orang itu sama sekali tidak mengenalinya.
Ketika melihat pemuda itu sudah tersadar kembali, sambil tertawa Bi lek Hwee segera berkata:
"Aaah, rupanya bukan saja tidak mati malahan sudah tersadar kembali!"
"Hahahaha...... aku lihat selama hidupmu sudah kelewat banyak melukai orang, mungkin menolong orang lain baru pertama kali ini, bukan begitu? Kalau tidak, tidak mungkin kau menun-jukkan perasaan begitu gembira"
Bi lek Hwee ikut tertawa tergelak.
"Hahahaha..... tebakanmu tepat sekali, lohu sih pernah berbuat baik, cuma soal menolong orang lain..... hehehehe..... mungkin baru kali ini kulakukan"
Sambil membungkukkan tubuh dan menepuk punggung Thiat Tiong-tong, katanya lagi lembut:
"Anak muda, apakah sudah kau muntahkan semua air yang masuk ke dalam perutmu?"
"Terima kasih lotiang atas pertolonganmu" ujar Thiat Tiong-tong sambil tertawa getir, "budi kebaikanmu ini........"
Dia sendiripun tidak menyangka kalau selembar jiwanya ternyata telah diselamatkan musuh besarnya, tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan hatinya waktu itu.
Terdengar Bi lek Hwee kembali berkata dengan lembut:
"Setelah minum begitu banyak air sungai, perasaan tubuhmu saat ini tentu tidak karuan, tidak usah banyak bicara dulu, beristirahatlah baik-baik!"
Thiat Tiong-tong tidak membantah, dia benar-benar pejamkan matanya, bukan saja tidak bicara bahkan dadanya bergelombang tidak stabil, hal ini menunjukkan kalau pikiran dan perasaan hatinya amat kacau.
Selama ini Hay Tay-sau hanya menyaksikan dari samping tanpa bicara, sementara Bi lek Hwee sibuk mengambil cawan, menuang air dan mencampurkan bubuk obat ke dalam air itu.
Sesaat kemudian dia baru membangunkan Thiat Tiong-tong sambil melolohnya obat tersebut, katanya lembut:
"Makanya anak muda, lain kali mesti hati-hati kalau bertindak, bagaimana ceritanya sampai kau tercebur ke sungai?"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dia tutup mulutnya rapat-rapat tanpa menjawab.
Sebenarnya diapun ingin menolak untuk minum obat, tapi pikiran lain segera melintas, bagaimana pun jiwanya sudah diselamatkan orang ini, jadi tidak ada alasan baginya untuk menampik obat tersebut.
Mengawasi perubahan wajah pemuda itu, dengan kening berkerut Bi lek Hwee segera menegur:
"Kalau kulihat kau selalu menghela napas panjang lebar, keningpun selalu berkerut seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu, sebetulnya persoalan apa sih yang sedang membebani dirimu?"
Thiat Tiong-tong hanya menghela napas sambil menggeleng.
Sambil menepuk bahu pemuda itu kembali Bi lek Hwee berkata sambil tertawa:
"Anak muda, kau masih muda dan gagah, sekalipun ada persoalan janganlah kelewat dimasukkan ke dalam hati, kenapa? Patah hati? Jangan putus asa, jangan kuatir, orang setua lohu saja masih mampu mencari tiga bini empat gundik, apalagi pemuda tampan macam kau! Kalau ada nona yang tidak mau denganmu berarti dia buta matanya, lohu janji pasti akan kucarikan nona yang kecantikannya sepuluh kali lipat lebih hebat dari dia"
"Kakek, kau keliru" sambil tertawa getir Thiat Tiong-tong menggeleng, "cayhe......."
"Haah, tebakanku salah?" tukas Bi lek Hwee dengan kening berkerut, "baik, biar lohu tebak sekali lagi, bila bukan urusan patah hati, jangan jangan......kau ada kesulitan soal ekonomi?"
Sambil menepuk bahu pemuda itu katanya lagi sambil tertawa:
"Jangan kuatir, jangan kuatir, kalau hanya persoalan ini, kau lebih tidak perlu kuatir lagi, anak muda suka foya-foya itu lumrah, apa artinya kehabisan duit?"
Sambil menuding ke arah Hay Tay-sau tambahnya lagi:
"Coba kau perhatikan tampangnya, dia itu duit kontan, berapa pun yang kau inginkan, asal bicara dengannya maka uang segera akan datang"
"Hahahaha...... hebat betul kau ini" teriak Hay Tay-sau sambil tertawa, "rupanya kau memang sangat dermawan"
"Hmm, kalau kau tidak mau beri juga tidak apa-apa, lohu juga punya" potong Bi lek Hwee gusar.
"Lotiang......." Thiat Tiong-tong menghela napas panjang seraya menggeleng.
"Jadi bukan?" Tanya Bi lek Hwee melongo, lama setelah termenung ia baru berteriak:
"Aaah, ditinjau dari potongan tubuhmu yang lemah lembut seperti pelajar, kau pasti sudah dibuat jengkel orang lain, jangan takut, jangan takut, katakan saja siapa orang itu, biar lohu hajar dia!"
"Lotiang keliru besar, cayhe cuma terpeleset lantaran kelewat mabuk"
"Hahahaha...... bagus, bagus sekali, terpeleset lantaran mabuk? Hay loheng, sudah kau dengar? Ternyata anak muda ini tidak beda jauh dengan kita, sama-sama setan arak"
"Kalau begitu kita mesti ajak dia minum sampai sepuasnya" seru Hay Tay-sau sambil tertawa pula.
Buru-buru Thiat Tiong-tong meronta untuk bangun, kembali teriaknya:
"Lotiang, terus terang aku mengakui, sebetulnya aku adalah seorang manusia rendah yang tidak tahu malu, secara diam-diam aku telah mencintai ibu guruku sendiri, itulah sebabnya aku jadi mabuk berat"
Kemudian sambil sengaja menundukkan kepalanya rendah dia melanjutkan:
"Sebenarnya aku tidak pingin menceritakan persoalan ini, tapi lantaran sikap lotiang yang membuatku terharu, maka dengan tebalkan muka terpaksa aku harus mengakuinya"
Untuk sesaat Bi lek Hwee berkerut kening, tapi sebentar kemudian dia sudah menyahut sambil tertawa:
"Tidak perlu kuatir, tidak perlu kuatir, bisa dimaklumi kalau anak muda gampang melakukan kekhilafan, apalagi kaupun berani mengakui kesalahanmu, orang yang berani mengaku salah, dialah yang pantas disebut seorang lelaki sejati"
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Soal ini.....soal ini..."
Sikap Bi lek Hwee semakin baik kepadanya, dia merasa semakin sedih, diam-diam pikirnya:
"Lebih baik aku sengaja mengakui sebagai orang yang amat jahat agar dia benci dan marah kepadaku, dalam gusarnya bisa jadi dia akan memakiku atau bahkan menendangku ke dalam sungai, kalau sampai begitu, keadaan malah lebih mendingan"
Siapa tahu apa pun yang dia katakan selalu dijawab Bi lek Hwee dengan jawaban "tidak usah takut, tidak usah takut", dia seolah sama sekali tidak menganggap perbuatannya sebagai hal yang amat buruk.
Sikap semacam ini tentu saja membuat Thiat Tiong-tong makin tertegun hingga tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Hay Tay-sau hanya mengawasi semua tingkah laku Bi lek Hwee dengan senyuman dikulum.
"Hey tua bangka, apa yang kau tertawakan?" tegur Bi lek Hwee segera sambil mendongakkan kepalanya.
"Hahahaha....... Aku sedang mentertawakan dirimu, padahal dihari biasa kau selalu berangasan dan tinggi emosinya, kemana larinya keberangasanmu itu?"
Mendadak terdengar Thiat Tiong-tong berteriak gusar:
"Aku sudah mengakui semua perbuatanku yang rendah dan tidak tahu malu, tapi kau selalu menyuruhku tidak usah takut, Hmmm! Hal ini membuktikan kalau kaupun bukan manusia baik-baik!"
Anak muda ini betul betul kehabisan akal sehingga mau tidak mau terpaksa harus berlagak gusar, asal Bi lek Hwee sampai bangkit emosinya, mulai memakinya atau malah menghajarnya, maka dia akan menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari sana.
Siapa tahu bukannya marah sebaliknya Bi lek Hwee malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,........anak baik, pada hakekatnya watakmu tidak jauh berbeda dengan watakku!"
Kemudian setelah menepuk bahu anak muda itu, ujarnya lagi sambil tertawa:
"Setelah mendengar perkataanmu itu, bukan saja lohu tidak akan marah, malah aku berpendapat apa benar kau telah melakukan perbuatan seperti itu, seandainya benar, aku yakin kau pasti punya alasan untuk dimaafkan"
Kontan Thiat Tiong-tong merasakan darah panas ditubuhnya bergelora keras, dengan sedih ia menundukkan kepalanya.
"Lotiang, kenapa kau begitu....begitu baik kepadaku......." keluhnya.
Perasaan hati yang gejolak keras membuat suaranya sedikit agak sesenggukan.
Perlu diketahui, walaupun Bi lek Hwee telah selamatkan nyawanya namun dia sama sekali tidak merasa perlu berterima kasih, sebab dia tahu Bi lek Hwee bukan berniat menyelamatkan jiwanya.
Hingga Bi lek Hwee menunjukkan sikap yang begitu menaruh perhatian, dia baru betul-betul merasa terharu.
Tapi yang membuat dia benar benar merasa terharu adalah begitu percayanya Bi lek Hwee terhadap dirinya, sekalipun dia sudah mengakui telah melakukan perbuatan jahat, namun Bi lek Hwee tetap percaya kepadanya, malah berkata bahwa pasti ada alasan untuk memberi maaf kepadanya.
Sekalipun perasaan hatinya lebih keras dari baja pun tidak urung dia merasa terharu juga dibuatnya.
.....Perlu diketahui, sikap dan perhatian yang diberikan seseorang secara wajar, rasa percaya serta pengertian yang diberikan seseorang tanpa paksaan, sejak dulu memang paling gampang meluluhkan perasaan seorang lelaki sejati.
Bi lek Hwee sendiripun ikut tertegun berapa saat, akhirnya sambil mengelus jenggot sendiri yang memutih, dia berkata sambil tertawa:
"Kejadian ini memang agak aneh, lohu sendiripun tidak mengerti kenapa bisa bersikap macam begitu kepadamu"
Thiat Tiong-tong benar-benar merasakan hatinya terharu, sambil pejamkan mata dia berpikir:
"Walaupun Perkampungan keluarga Seng, Benteng Han hong po maupun Bi lek tong mem¬punyai dendam kesumat denganku, tapi sulit bagiku untuk melupakan budi kebaikan Seng Cun-hau yang telah menolongku, akupun tidak bisa melupakan cinta kasih dua bersaudara Leng yang begitu baik dan cinta kepada kami bersaudara.......
Dan sekarang, apa mau dikata lagi lagi aku harus berhutang budi pertolongan dari Bi lek Hwee .... "
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong terjebak dalam pemikiran yang kalut, sekarang dia telah disodorkan pada pilihan yang sulit, antara budi dan dendam, mana yang harus dia pilih?
"Ooh Thian......" keluhnya didalam hati, "apa yang harus Thiat Tiong-tong lakukan sekarang"
Mendadak terdengar Hay Tay-sau berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha..... bukan cuma kau yang heran, aku sendiripun merasa keheranan.
"Hey, apa yang sedang kau katakan?" tegur Bi lek Hwee, "masa bicarapun tidak ada ujung pangkalnya, bikin aku jadi bingung"
"Bukankah kau tidak tahu apa sebabnya sikapmu begitu baik kepadanya? Aku tahu jawabannya"
"Hahahahaha......bagus, bagus sekali, jika jawabanmu benar, lohu pasti akan men¬traktirmu....... Paling tidak aku akan mengun-dangmu minum tiga ratus cawan arak"
"Ini disebabkan kau si tua bangka tidak pernah punya anak, baru saja mendapat seorang murid dengan susah payah, eeeh.. malah kabur dibohongi orang!"
Kemudian sambil menepuk bahu Thiat Tiong-tong, lanjutnya:
"Sementara selembar nyawa pemuda ini berhasil kau selamatkan dengan tanganmu sendiri, orang bilang: bila seseorang telah diselamatkan jiwanya, hubungan batin itu pasti melebihi hubungan orang tua. Biarpun kau tidak tahu bagaimana jalan pikiran orang, tapi kau si tua bangka secara diam-diam telah menganggap dia sebagai anak yang kau ciptaan"
"Anak yang aku ciptakan?" Bi lek Hwee berkerut kening, "ucapanmu benar-benar tidak enak didengar, dapatkah kau gunakan perkataan yang lebih halus?"
Sekalipun begitu, tak urung dia tertawa juga dengan nyaring, tertawa gembira!
"Hahahaha..... betul, perkataanku memang kasar dan tidak enak didengar, tapi bukankah sangat tepat? Kalau seorang kakek yang sudah enam puluh tahunan tiba-tiba bisa punya anak, tentu saja dia akan merasa gembira sekali"
Meskipun Bi lek Hwee ingin mengumpat, namun gelak tertawa gembiranya membuat dia tidak sanggup berbicara lagi.
Thiat Tiong-tong sendiripun dibuat menangis tidak bisa tertawa pun tidak dapat, dia hanya bisa membungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Hay Tay-sau berkata sambil tertawa: "Kalau memang begitu, aku rasa lebih baik kau benar-benar menerimanya sebagai anak angkatmu saja, agar aku pun bisa ikut menikmati arak kegembiraan"
"Aaah kau si tua bangka, kecuali minum arak apa lagi yang bisa kau pikirkan?"
"Biarpun dimulut kau masih memakiku, padahal dalam hati kecilmu merasa sangat berterima kasih bukan?"
"Hahahaha....betul, betul sekali, lohu memang sangat berterima kasih kepadamu"
Thiat Tiong-tong yang mendengarkan pembica¬raan tersebut hanya bisa berkeluh didalam hati.
Tiba-tiba Hay Tay-sau menepuk bahunya keras keras, kemudian serunya sambil tertawa tergelak:
"Kalau dia benar benar menganggapmu sebagai ayah, maka aku si tua bangka lah yang bakal dirugikan, kulihat dia masih muda, berbakat bagus dan merupakan bahan yang baik untuk dilatih ilmu silat, hey tua bangka, kenapa kau tidak mengangkatnya jadi muridmu saja?"
"Maaf, aku tidak bisa mengangkatnya menjadi guruku" tiba-tiba Thiat Tiong-tong berseru.
Bi lek Hwee segera menarik kembali senyumannya, dengan wajah berubah serunya: "Kenapa?"
Paras muka Hay Tay-sau ikut berubah, teriaknya pula:
"Masa kau tidak tahu kalau nama besar Bi lek tong sudah amat termashur dalam dunia persilatan?"
"Tentu saja aku tahu"
"Kalau sudah tahu kenapa menolak? Jangan-jangan......."
"Yaa, jangan-jangan kau merasa malu dengan nama Bi lek tong ku itu?" tukas Bi lek Hwee dengan wajah agak gusar.
"Aku sama sekali tidak punya pikiran begitu" sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa getir, "hanya saja.......hanya saja......."
"Hanya saja kenapa? Lohu pingin tahu penjelasanmu"
Satu ingatan melintas dalam benak anak muda itu, tiba-tiba dia terawa nyaring:
"Hahahaha...... cayhe merasa cocok sekali dengan kalian berdua, sebetulnya aku pingin menjadi sobat minum arak, jika sekarang aku mesti menjadi muridnya, berarti tingkatanku akan satu tingkat lebih rendah, bukan saja gerak gerikku terbatas, bagaimana mungkin aku bisa menantang kalian berdua untuk minum sampai mabuk"
Hay Tay-sau tertegun sesaat kemudian diapun tertawa tergelak.
"Betul, betul sekali!"
"Yaa, masuk diakal, sangat masuk diakal" teriak Bi lek Hwee pula dengan wajah berseri, "seandainya lohu jadi kau, akupun tidak bakalan sudi menurunkan derajat sendiri dari seorang teman menjadi murid orang lain"
"Kalau begitu biar kau gagal mendapat seorang murid tapi justru mendapat seorang teman minum, bagus, bagus sekali........" seru Hay Tay-sau lagi.
Sementara gelak tertawa masih bergema, perahu telah merapat ditepian daratan.
Daratan itu bukan dermaga juga bukan kota, melainkan sebuah tempat yang sepi dan terpencil.
Dengan kening berkerut Bi lek Hwee segera berteriak kepada si tukang perahu itu:
"Lohu sedang buru-buru ingin minum arak, kenapa kau malah menepi disini?"
Tampaknya si tukang perahu itupun seorang anggota kangouw kawakan, mendengar pertanya¬an itu dia segera tertawa, sahutnya:
"Arus sungai didepan sana amat deras, penumpang disampan ku juga kelewat banyak, kalau sampai sampan ini terbalik didepan situ, bukankah kalian akan gagal minum arak? Jadi lebih baik menepi disini saja, sekalipun lebih lambat tapi paling tidak masih ada kesempatan untuk menikmati arak"
"Aaai, pandai amat kau bersilat lidah, tahu kalau mulutmu tajam, lotoa tidak perlu menyewa perahu mu dengan ongkos lipat ganda"
"Hahahaha.... Siapa yang tidak kenal dengan aku si tukang perahu kilat Thio Sam dari sungai Huangho? Kalau kalian tidak menyewa perahuku, siapa lagi yang mampu membawa kalian melalui arus deras itu!"
Bi lek Hwee melotot besar, sampai lama sekali dia mengawasi tukang perahu itu, tiba-tiba kembali dia tertawa keras.
"Bagus, bagus sekali, anak muda, kau memang hebat, sekalipun sedikit agak jumawa tapi lohu tidak bakal marah"
"Kalau aku tidak punya kemampuan, masa berani sombong didepanmu" sahut si tukang perahu Thio Sam cepat.
"Kalau tidak mampu masih berani sombong, lotoa pasti sudah menendangmu sampai tercebur ke sungai" seru Bi lek Hwee sambil melompat naik ke daratan.
"Thio Sam" seru Hay Tay-sau pula sambil tertawa, "sekalipun kau sedikit jumawa namun aku merasa cocok denganmu, cepatlah pergi membawa sedikit uang perak ini untuk minum arak, kalau dikemudian hari menjumpai kesulitan, datanglah mencari aku"
Meskipun dia mengatakan "sedikit uang perak", namun yang dilemparkan justru sekeping uang emas yang cukup besar.
"Traaang!" uang emas itu jatuh diatas geladak perahu, namun si tukang perahu Thio Sam sama sekali tidak meliriknya, malahan kepada Thiat Tiong-tong katanya sambil tertawa:
"Mereka senang kepadaku, akupun senang kepadamu, bila dikemudian hari kau ada urusan di seputar sungai Huangho, datanglah mencari aku si tukang perahu Thio Sam"
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong tidak tahu harus bicara apa, dengan perasaan berterima kasih dia segera menjura sambil melompat naik ke daratan.
Diiringi suara bentakan, si tukang perahu Thio Sam telah mendayung sampannya menjauh dari situ.
Waktu itu Hay Tay-sau sedang berdebat dengan Bi lek Hwee soal arah yang akan ditempuh untuk mencari kedai arak, tapi tempat diseputar sana amat sepi dan terpencil, jangan lagi kedai arak, bayangan manusia pun tidak kelihatan.
"Tahu begini........." keluh Hay Tay-sau dengan kening berkerut.
Belum selesai dia bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang datang.
Seorang pemuda tampan dengan menunggang seekor kuda jempolan terlihat bergerak lebih duluan dipaling depan diikuti rekan-rekan lainnya di belakang.
Ketika tiba ditepi sungai, lamat-lamat ter¬dengar seseorang bergumam keheranan:
"Aneh sekali, kenapa perahu besar itu bisa lenyap secara tiba-tiba?"
"Losam" kedengaran seorang yang lain berkata, "kau tidak perlu gelisah, jangan-jangan masih berada di depan sana"
Ternyata rombongan manusia berkuda itu tidak lain adalah rombongan dari Ouyang bersaudara.
Dengan kening berkerut Hay Tay-sau segera menegur:
"Hey anak muda, mau ke mana kalian?" Begitu menjumpai Hay Tay-sau, paras muka Ouyang hengte pun berubah hebat, buru-buru mereka menjura lalu bukannya turun dari kuda, rombongan itu malah mempercepat lari kudanya untuk kabur lewat sisi mereka.
"Siapa sih rombongan anak muda itu? Begitu tidak tahu diri!" umpat Bi lek Hwee gusar.
Hay Tay-sau menghela napas panjang.
"Aaaai......! Siapa lagi kalau bukan Ouyang hengte yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, hidup gembira dikota tidak mau malahan mencari penyakit dengan mengusik sarang lebah, untung perahu mereka sudah tenggelam, kalau tidak...... entah maksiat apa lagi yang bakal mereka perbuat, aaai..... memandang diatas wajah orang tuanya, lebih baik kita tidak usah mencampuri urusan mereka"
"Dasar kawanan lelaki hidung bangor" umpat Bi lek Hwee, "mentang mentang dari keluarga kaya, lantas mau berhura-hura semau sendiri, huuuh, kalau aku jadi lotoa, ogah mencampuri urusan tetek bengek macam begitu"
Hay Tay-sau kembali menghela napas panjang.
"Aaai, sebenarnya keluarga Ouyang adalah sebuah keluarga persilatan kenamaan, dalam perkampungan merekapun penuh dengan orang cantik, aku betul-betul tidak habis mengerti, kenapa mereka justru lebih suka mengusik sarang lebah liar di tempat ini?"
"Hahahaha..... Hay lote seperti tidak mengerti saja, orang selalu bilang bunga di kebun tetangga selalu lebih indah daripada bunga dikebun sendiri, karena sudah terbiasa dengan kawanan gadis lemah lembut, tentu saja mereka akan meng¬anggap kurang terangsang, jadi tidak heran kalau pingin berganti selera dengan memburu bunga liar"
"Waah, tidak kusangka pengalamanmu sungguh hebat"
"Berapa banyak lelaki sih di dunia persilatan yang jarang bermain perempuan macam dirimu?"
Sambil tertawa tergelak dia segera berlalu dari situ.
Tanpa erasa mereka bertiga berjalan menuju ke arah mana rombongan kuda tadi berasal.
Walaupun mereka beralasan ingin secepatnya menemukan kedai untuk minum arak, padahal mereka berjalan amat santai, semuanya berjalan dengan langkah lebar dan sama sekali tidak menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasa inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri, namun dia merasa tidak tega untuk berbuat begitu hingga selama inipun hanya mengintil saja.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar suara desingan angin tajam bergema membelah angkasa.
Tiga batang anak panah dengan membawa keliningan emas melesat diudara menyambar ke depan Hay Tay-sau.
Melihat anak panah itu Hay Tay-sau kontan saja mengumpat:
"Dasar begal tidak tahu diri, berani amat mengincar yaya mu!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, terlihat dua sosok bayangan manusia bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Sambil tertawa Hay Tay-sau berkata:
"Kalian berdua tidak usah panik, biar aku mencari kesenangan dulu dari orang itu"
Ke dua orang itu membawa golok besar dengan wajah ditutup kain hitam, pakaian yang dikenakan mewah dan indah.
Diam-diam Thiat Tiong-tong berpikir kehe¬ranan:
"Orang bilang kawanan begal disepanjang pesisir Huangho miskin dan hidup susah, kenapa dua orang lelaki ini justru mengenakan pakaian yang begitu indah dan mewah?"
Baru berpikir sampai disitu, kedua orang lelaki berpakaian indah tadi sudah melintangkan goloknya sambil menghadang jalan pergi mereka bertiga.
Lelaki yang berada disebelah kiri segera berseru:
"Bila kalian bertiga sedang melakukan perjalanan, silahkan mengambil jalan berputar!"
Hay Tay-sau segera maju menyongsong, dengan lagak gugup bercampur ketakutan serunya:
"Lohan-ya, kami tidak membawa uang....kami tidak membawa uang"
"Siapa yang mau membegal uang kalian?" sahut lelaki itu sambil tertawa, "ayoh cepat pergi!"
"Kalau tidak mau duit, lantas mau apa datang kemari?" Tanya Hay Tay-sau keheranan.
"Memangnya kau sudah tuli? Kami hanya minta kalian mengambil jalan berputar, asal tidak melalui jalanan ini maka tidak ada urusan lagi"
"Waah, kelihatannya dia tidak jadi senang" bisik Bi lek Hwee kepada Thiat Tiong-tong. Anak muda itu tertawa lebar. Sementara itu Hay Tay-sau sambil garuk garuk kepala telah berkata lagi:
"Terus terang ..... sebetulnya aku membawa banyak uang"
"Mau punya uang banyak atau tidak bukan urusan kami, cepat pergi bersama uangmu itu"
"Aku bukan saja punya uang bahkan banyak sekali jumlahnya, bila hohan berdua ingin, ambil saja dan gunakan semaumu"
Iming-iming ini kontan saja membuat lelaki berbaju perlente itu tertegun, tanpa sadar dia awasi lawannya dengan mata mendelik, pikirnya:
"Jangan-jangan orang ini sudah edan?"
Lelaki yang berada disamping kanannya tidak tahan untuk gelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Manusia macam begini memang langka dan jarang dijumpai, orang tidak berniat merampok, dia malah sodorkan duitnya......."
Belum selesai dia bergumam, Hay Tay-sau sudah merogoh sakunya dan mengeluarkan segempok kertas, ternyata semuanya uang kertas dalam nominal besar.
Sambil diperlihatkan kepada dua orang lelaki itu, terdengar Hay Tay-sau berkata lagi:
"Jika kalian berdua mau, ambil saja uang ini, cayhe tidak bakal berani melawan"
Lelaki yang ada disebelah kanan menarik napas panjang, katanya kemudian:
"Sun loji, kalau toh orang ini paksa kita untuk membegal, rasanya kurang enak untuk menampik keinginannya"
"Tapi......" Sun loji yang berdiri disisi kiri agak sangsi, "tapi loya telah berpesan......"
"Aaah, toh dia sendiri yang menghantar diri, kalau tidak diambil rasanya kurang sopan, asal kita tidak membegal rasanya loya juga tidak bakalan marah kepada kita berdua!"
Sembari berkata dia segera menyambar tumpukan uang kertas itu.
Mendadak Hay Tay-sau membentak keras, sambil menyimpan kembali duitnya dia berteriak:
"Bajingan cilik, ternyata kalian memang begal, ingin merampok duit toaya mu? Dasar bajingan bermata buta"
Kembali lelaki berbaju perlente itu tertegun, kemudin bentaknya penuh amarah:
"Semula kukira kau hanya orang sinting yang tidak waras otaknya, ternyata memang sengaja hendak mencari gara-gara"
"Hahahaha.... Benar, aku memang berniat menghancurkan mangkuk dan kuali kalian!"
Diiringi gelak tertawa keras, Hay Tay-sau mementangkan ke lima jari tangannya lebar-lebar, diiringi desingan angin tajam dia langsung mencengkeram dada lelaki itu.
Tidak terlukiskan rasa gusar dan kaget lelaki perlente itu, buru-buru dia melancarkan pukulan disertai tendangan.
Menghadapi jago kampungan semacam ini, tentu saja Hay Tay-sau tidak pandang sebelah mata pun, bentaknya:
"Roboh kau!"
Begitu tangannya memotong, lelaki itu segera roboh terjungkal diiringi jerit kesakitan.
Sun Loji yang menyaksikan betapa hebatnya kepandaian silat yang dimiliki Hay Tay-sau tentu saja semakin tidak berani berkutik, diam-diam dia membalikkan tubuh kemudian kabur terbirit-birit.
Sesudah lari berapa jauh dia baru berani mengumpat:
"Bangsat, tunggu saja pembalasan dari kami!"
Siapa tahu baru selesai dia bicara, tahu-tahu tengkuknya sudah dicengkeram Hay Tay-sau sambil mengumpat:
"Bajingan cilik, kau berani mengumpat orang!"
Dengan cepat dia mengambil segenggam Lumpur kemudian di jejalkan ke dalam mulutnya.
Sun loji tidak mampu berkutik, Lumpur itu membuatnya ingin muntah tapi sayang tidak ada yang bisa ditumpahkan keluar.
"Aaah, permainanmu macam kampungan!" olok Bi lek Hwee sambil gelengkan kepalanya.
"Memangnya kau anggap aku beneran sedang mempermainkan mereka?"
"Kalau bukan lagi mempermainkan orang, buat apa mesti iming-imingi mereka dengan uangmu?"
"Keliru, keliru besar" ujar Hay Tay-saU serius, "mereka sengaja memaksa kita untuk berputar lewat jalan lain, tahukah kau karena apa? Masa tidak bisa kau tebak?"
Bi lek Hwee termenung sambil berpikir berapa saat, seakan baru sadar apa yang terjadi, serunya sambil bertepuk tangan:
"Aaah betul, sudah pasti konco-konconya sedang melakukan kejahatan didepan sana, maka mereka tidak ingin ada orang luar yang mengganggu pekerjaan itu" Hay Tay-sau tersenyum.
"Kedua orang ini enggan merampok duitku karena atasannya sudah memberi perintah agar mereka tidak membegal yang kecil hingga menggagalkan sasaran yang lebih besar"
"Betul, betul, hahahaha..... kalau sampai gara-gara urusan kecil, masalah besar jadi berantakan, itu namanya begal bloon!"
"Kawanan begal ini bukan saja tidak goblok bahkan mempunyai peraturan yang ketat, jelas kelompok mereka merupakan sebuah organisasi yang ketat, pentolannya pun tentu orang kenamaan"
"Waah, tidak kusangka kau yang nampaknya goblok ternyata memiliki otak yang jernih, kalau memang begitu, kenapa kita tidak langsung ke situ untuk menengok keadan yang sesungguhnya?"
Hay Tay-sau segera melepaskan ikat pinggang Sun Loji dan dipakai untuk mengikat tubuh ke dua orang itu kuat-kuat, katanya kemudian sambil tertawa:
"Mengingat kalian masih sempat bersikap hormat, kuampuni jiwa kalian kali ini"
Tampaknya Bi lek Hwee sudah tidak sabar untuk menanti, dia sudah menarik tangan Thiat Tiong-tong unuk bergerak duluan.
Waktu itu langit sudah mulai remang-remang, senja kembali menjelang tiba.
Ditengah angin yang berhembus kencang, tiba-liba hujan mulai turun semakin deras, ditengah hujan angin inilah mereka bertiga melanjutkan perjalanannya.
"Aaah benar!" mendadak Thiat Tiong-tong berseru.
"Apanya yang benar?" tidak tahan Hay Tay-sau bertanya.
"Ouyang hengte berpakaian perlente dan menunggang kuda jempolan, rombongan semacam ini paling mencolok mata bila melewati daerah pinggiran yang miskin, jika aku pingin membegal, merekalah yang pertama kali kucegat!"
Hay Tay-sau melongo sejenak, kemudian teriaknya:
"Aah betul juga omonganmu......."
Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia segera melesat maju ke depan.
"Hey anak muda, kau sanggup menyusul lohu?" Tanya Bi lek Hwee seraya berpaling.
Dalam hati Thiat Tiong-tong tertawa geli, dia tahu orang tua inipun ingin cepat melihat keramaian, maka sahutnya:
"Ilmu meringankan tubuhku tidak bagus, mana mungkin bisa menyusulmu?"
Belum selesai dia bicara, Bi lek Hwee sudah cengkeram bahunya dan menyeret anak muda itu untuk bergerak cepat ke depan.
Kelihatannya Hay Tay-sau sangat menguatirkan keselamatan Ouyang bersaudara, dia bergerak cepat bagaikan terbang, betul saja, tidak lama kemudian sudah terlihat cahaya golok bayangan pedang segera berkelebatan ditengah hujan angin.
Dia tahu keturunan keluarga kenamaan ini hanya kerjanya main perempuan, minum arak dan berfoya-foya, dapat dipastikan ilmu silat mereka sangat cetek.
Sekalipun pedang yang digembol adalah pedang kenamaan, namun ilmu pedangnya pasti tidak seberapa hebat, dengan kemampuan semacam itu tentu saja mereka tidak akan mampu menghadapi kawanan jago dari kalangan Liok-lim yang setiap hari kerjanya memang bergelimpangan diujung senjata.
Saking cemas dan gelisahnya, belum lagi tubuhnya tiba ditempat tujuan, dia sudah membentak nyaring:
"Thian sat seng berada disini, siapa yang masih berani bertarung dihadapanku!"
Ditengah jeritan kaget dan teriakan tertahan, suara beradunya senjata seketika terhenti.
Dengan sepasang tangan melindungi dada, Hay Tay-sau meluncur di tengah udara dan menerobos masuk ke tengah kerumunan orang banyak.
Seperti apa yang diduga Thiat Tiong-tong, ternyata orang yang sedang dikepung oleh puluhan lelaki berkerudung dengan senjata lengkap itu tidak lain adalah Ouyang bersaudara.
Kini kuda kuda jempolan mereka sudah dituntun orang lain, pakaian perlente mereka pun sudah kotor oleh keringat dan Lumpur, sekalipun dalam genggaman masih memegang pedang yang tajam dan indah, namun mereka semua sudah terengah-engah macam orang kehabisan napas, wajah mereka pucat pias dan keadaannya sangat mengenaskan.
Sebaliknya puluhan lelaki berkerudung yang mengepung mereka justru kelihatan gesit dan cekatan, dari gerak gerik yang masih begitu bersemangat dapat diketahui bahwa siapa menang siapa kalah sesungguhnya sudah tertera di depan mata.
Ouyang bersaudara kelihatan sangat kegirang¬an begitu melihat kemunculan Hay Tay-sau, sorak mereka berbareng:
"Aaah, rupanya paman Hay telah datang! Hmm, bajingan kaum laknat, akan kulihat apakah kalian masih bisa berbangga diri?"
Belum selesai teriakan itu, tiba-tiba Hay Tay-sau sudah mengayunkan tangannya menampar wajah pemuda yang berada di paling depan, umpatnya penuh amarah:
"Kurang ajar, baru sekarang kalian mau mengakui paman Hay? Memangnya tadi kalian sudah buta semua?"
"Tadi......tadi........." Ouyang bersaudara tergagap tidak mampu melanjutkan katanya.
"Dasar budak yang tidak becus" umpat Hay Tay-sau semakin gusar, "sudah tahu tidak punya kemampuan, masih berani mencari keonaran diluaran, hmmm! Aku pun ikut dibuat malu oleh tingkah laku kalian!"
Ouyang bersaudara hanya tundukkan kepala¬nya rendah-rendah, dalam keadaan begini tentu saja mereka semakin tidak berani banyak bicara.
Kembali Hay Tay-sau membalikkan tubuhnya, kepada kawanan lelaki berkerudung itu bentak¬nya:
"Sekarang aku sudah datang, kenapa kalian masih berdiri melongo disitu? Sana, pergi, pergi, pergi!"
Kawanan lelaki berkerudung itu masih berdiri tidak bergerak.
"Kenapa belum pergi?" bentak Hay Tay-sau lagi gusar, "memangnya mau menunggu sampai aku turun tangan sendiri?"
Baru saja dia merentangkan sepasang lengannya, mendadak terdengar seseorang berkata dengan nada dingin:
"Mereka tidak mungkin berani pergi!"
Suaranya halus dan lembut, jelas suara seorang wanita, tapi sayang nadanya begitu dingin dan hambar, sama sekali tidak berperasaan.
Begitu bertemu dengan wanita tersebut, kawanan lelaki berkerudung itu serentak melu¬ruskan tangannya ke bawah sambil membung¬kukkan tubuh.
Dalam pada itu Ouyang bersaudara telah menuding kantung kain yang berada ditangan perempuan itu sambil berteriak:
"Paman Hay, kantung yang berada ditangan perempuan itu adalah perhiasan milik siautit"
"Minggir kalian semua, jangan banyak bicara lagi" tukas Hay Tay-sau sambil membentak marah.
Sementara itu gadis berbaju hijau itu sudah meletakkan kantungan kain tadi ke tanah, katanya perlahan:
"Benar, isi kantung ini adalah perhiasan mahal, apakah kalian akan mengambilnya kembali?"
"Mungkin mereka tidak mampu untuk memintanya balik, sayang masih ada orang lain yang akan memintanya" jengek Hay Tay-sau.
"Menurut pendapatku, toh barang perhiasan ini hendak disum-bangkan orang lain, kenapa mesti bersusah payah untuk memintanya balik?"
Seorang anggota Ouyang segera tampil dari belakang Hay Tay-sau seraya berteriak:
"Biarpun akan diberikan orang lain, bukan berarti akan di berikan kepadamu........"
Baru berapa patah kata dia berbicara, "Ploookk!" kembali Hay Tay-sau sudah meng¬hadiahkan sebuah tempelengan ke atas wajahnya.
Dalam pada itu Bi lek Hwee dan Thiat Tiong-tong sudah menyusul tiba, masih berada dikejauhan orang tua itu sudah berteriak:
"Saudara Hay, kalau ingin berkelahi, silahkan saja berkelahi, masih ada lohu disini"
Dengan sepasang matanya yang jeli nona berbaju hijau itu menatap wajah Thiat Tiong-tong berapa kejap, anak muda itu segera merasakan betapa dingin dan bergidiknya sorot mata orang.
Hay Tay-sau tertawa keras.
"Hahahaha......betul, semestinya barang perhiasan itu hendak mereka persembahkan kepada kawanan lebah itu, mereka memang tidak pantas memintanya balik"
"Kalau begitu biar aku mewakili para saudara yang lain mengucapkan terima kasih kepadamu" sela si nona berbaju hijau itu cepat.
Tiba-tiba Hay Tay-sau menghentikan gelak tertawanya, dengan suara yang keras ucapnya:
"Sekalipun mereka tidak berhak memintanya kembali, bukan berarti akan diberikan kepadamu, piauhok itu sudah bertukar nama menjadi milik marga Hay!"
"Benarkah begitu? Coba kau panggil, apakah dia akan menyahut?"
Hay Tay-sau tertawa keras, mendadak dia membungkukkan tubuh menghampiri buntalan itu, setelah menepuknya perlahan bisiknya:
"Anakku sayang, anakku sayang, apakah kau sudah mendengar ayah sedang memanggilmu?"
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan adegan itu diam-diam tertawa geli, pikirnya:
"Biarpun orang ini berangasan dan tinggi emosinya, ternyata dia memiliki hati yang polos, dalam melakukan perbuatan apapun tidak pernah lupa untuk bergurau"
Setelah berlagak seolah sedang mendengarkan jawaban, Hay Tay-sau kembali bangkit berdiri, katanya sambil tertawa:
"Ternyata dia sudah setuju, kalian semua ikut mendengar jawabannya?"
"Benar, aku mendengarnya, aku mendengar¬nya, malah mendengar dengan jelas sekali" sahut Bi lek Hwee sambil tertawa tergelak.
"Tentu saja mendengar dengan jelas" kata Hay Tay-sau lagi sambil tertawa, "hanya orang tuli yang tidak mendengarnya"
Paras muka nona berbaju hijau itu tetap dingin dan hambar, setelah menatap lawannya sekejap, dia menyahut:
"Aku pun sudah mendengarnya dengan jelas, tapi dia bilang mau ikut aku saja, jadi percuma kau mengajaknya pergi, dia pasti akan menolak"
"Omong kosong......."
"Dia sudah menjawab dengan jelas, hanya orang goblok yang akan salah dengar"
"Berubah, berubah, ternyata dunia sudah berubah" umpat Bi lek Hwee sambil tertawa, "ternyata perempuan persilatan jauh lebih lihay daripada kaum lelakinya"
"Kalau begitu kau ingin paksa aku untuk turun tangan?" Tanya Hay Tay-sau marah.
Nona berbaju hijau itu tertawa dingin. "Selama hidup aku tidak pernah sudi berkelahi dengan lelaki kotor!"
"Hahahaha..... aku pun tidak sudi berkelahi dengan kaum wanita" seru Hay Tay-sau sambil tertawa keras, kepada kawanan lelaki berkeru¬dung itu bentaknya lebih jauh, "kalian ingin maju secara bergantian, atau maju bersama-sama?"
Kembali nona berbaju hijau itu tertawa dingin. "Sedikit banyak Thiat-sat-seng masih punya nama dalam dunia persilatan, buat apa bertarung melawan kawanan manusia tidak ternama? Hmm, biar menang pun masa kau tidak malu untuk membawa pergi piauhok tersebut!"
"Bocah perempuan ini aneh benar" tidak tahan Bi lek Hwee ikut menimbrung, "dia sendiri segan turun tangan, diapun melarang orang orangnya berkelahi melawan saudara Hay........"
"Memangnya aku harus bertarung melawan diriku sendiri?" sela Hay Tay-sau cepat.
Mendadak nona berbaju hijau itu menuding kearah depan sambil serunya:
"Itu dia, orang yang akan bertarung melawan¬mu telah datang!"
Mengikuti arah yang ditunjuk Hay Tay-sau berpaling, benar saja, terlihat ada dua orang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah pagoda sedang berlarian mendekat.
Ke dua orang itupun mengenakan kain kerudung wajah, tapi pakaian dibagian dadanya dibiarkan terbuka lebar sehingga nampak dadanya yang kekar dengan bulu dada yang lebat.
Sekalipun tidak nampak jelas wajahnya, tapi gerak-gerik mereka amat mantap dan penuh semangat, dari balik wajah yang berkerudung tampak jenggotnya yang lebat.
Tampaknya mereka terdiri dari satu tua satu muda, senjata yang digunakan adalah sepasang gada berbentuk segi delapan.
Dari tempat kejauhan lelaki setengah umur itu sudah berteriak keras:
"Siapa yang berani mencari gara-gara disini!"
Hay Tay-sau memburu maju ke depan, setelah menengoknya sekejap tiba-tiba serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha..... ternyata memang seorang lelaki sejati, kau pantas untuk bertarung melawanku"
Lelaki setengah umur itupun bergerak mendekat, setelah memperhatikan lawannya beberapa kejap, sahutnya pula sambil tertawa:
"Hahahaha..... ternyata memang seorang lelaki sejati, tak heran berani mencari gara gara disini"
Sambil menggulung ujung bajunya kembali Hay Tay-sau tertawa keras, serunya:
"Sebelum bertarung melawan aku Thian-sat-seng, kuanjurkan lebih baik siapkan dulu obat-obatan dalam sakumu"
"Hahahahaha......." Lelaki setengah umur itu tertawa nyaring, "lama kudengar Thiat-sat-seng pandai mencuri dan membegal, kemampuannya cukup hebat, ingin tahu mampu tidak menghadapi senjata gadaku?"
Dalam pada itu si nona berbaju hijau itu sudah menarik sang pemuda tinggi besar itu sambil berbisik:
"Kenapa kalian berdua datang kemari? Apakah urusan disitu sudah dapat diatasi?"
"Keadaan disitu sudah terkendali, aku........"
Tiba-tiba terdengar lelaki setengah umur itu berteriak keras:
"Bang-ji, berikan gadamu kepada orang she-Hay itu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kenapa mesti menggunakan gadamu!" seru Hay Tay-sau cepat.
"Hahahaha..... kita semua adalah lelaki tinggi besar, apa artinya bertarung dengan tangan kosong? Kalau ingin bertarung, ayoh kita adu gada, coba lihat sampai dimana kekuatanku!"
"Hahahaha.... Bagus, bagus sekali, akupun sudah lama tidak menjumpai musuh tangguh, tangaku juga gatal sekali, kemari, berikan gadamu!"
Pemuda berpakaian ketat itu melompat ke depan sambil membentak: "Sambut gada ini!"
Dia segera melemparkan gada bersegi delapan miliknya ke arah Hay Tay-sau.
"Dicoba dulu, terlalu berat tidak benda itu?" seru lelaki setengah umur itu sambil tertawa.
Hay Tay-sau menimang sejenak senjata gada itu, lalu sahutnya sambil tertawa:
"Tidak berat, tidak berat, malah terasa agak enteng!"
Kemudian sambil melepas kancing baju bagian dadanya, dia pun perlihatkan dada kekarnya yang berwarna hitam mengkilat.
Bi-lek Hwee yang berada disisi arena jadi ikutan menggosok kepalannya, dia seakan turut merasa gatal tangan.
"Anak-anak, menyingkir kalian!" bentak lelaki setengah umur itu kemudian.
Serentak kawanan lelaki berkerudung itu menyingkir ke samping dan memberikan sebuah tanah lapang yang cukup luas, Ouyang bersaudara ikutan juga mundur ke samping.
"Terimalah serangan pembukaanku ini!" bentak lelaki setengah umur itu kemudian.
Dalam waktu singkat lengannya seakan lebih besar satu kali lipat, sambil mengayunkan tangan, senjata gadanya langsung di hantamkan kearah kepala lawan dengan jurus bukit thay-san menindih kepala.
Hay Tay-sau membentak keras, dia sambut datangnya ancaman itu dengan senjata gadanya.
"Kraakk.....!" diiringi benturan yang mengge¬legar, tubuh kedua orang itu sama-sama mundur setengah langkah.
Kembali Hay Tay-sau menerobos maju ke muka, kali ini senjata gadanya menyapu miring ke samping.
Lelaki setengah umur itu cepat membalik senjatanya untuk menangkis.
"Blaaaamm!" sekali lagi terjadi benturan keras yang menukikkan telinga, sedemikian kerasnya hingga tubuh kawanan lelaki berpakaian ringkas yang berada diseputar situ ikut bergetar keras.
Tidak terkecuali Ouyang bersaudara, mereka berdiri terbelalak dengan mulut melongo dan wajah pucat pias.
"Bocah busuk, hebat juga kau" teriak Hay Tay-sau sambil tergelak, "nih, rasain kembali berapa pukulan gadaku!"
Tubuhnya bergerak cepat, senjata gadanya bagaikan hembusan puyuh curahan hujan badai langsung menghimpit tubuh lawan.
Kini sepasang kaki lelaki setengah umur itu sudah melesak ke dalam Lumpur, sambil busungkan dada dia sambut datangnya serangan itu dengan gagah berani.
"Traaang, traaaang, traaang.......!"
Lima kali benturan keras menggelegar di angkasa, ternyata kedua orang itu sudah saling menghantam sebanyak lima kali.
Begitu dahsyat dan kerasnya suara benturan itu membuat salah satu anggota Ouyang hengte yang berdiri paling dekat merasakan sepasang lututnya jadi lemas, tiba-tiba.....
"Bruuuk!" dia jatuh terduduk diatas Lumpur dan lupa untuk merangkak bangun kalau tidak cepat dibantu rekannya.
Paras muka Thiat Tiong-tong pun ikut berubah hebat, meskipun ilmu silat yang dimiliki lelaki setengah umur itu tidak terlampau hebat, namun kekuatan lengannya betul-betul mengagumkan.
Kini mereka berdua hanya saling menatap dengan mata melotot, sementara lengannya sama-sama terkulai lemas, tampaknya meski mereka rasakan lengannya linu dan kesemutan namun siapa pun enggan mundur setengah langkah pun.
Dengan napas tersengkal lelaki setengah umur itu tertawa tergelak, tantangnya:
"Hei orang she-Hay, bagaimana kalau kita beradu lagi?"
Walaupun gelak tertawanya masih nyaring, namun sudah jauh berkurang ketimbang tadi.
"Ayoh!" sahut Hay Tay-sau sambil membentak.
Sekali lagi mereka berdua saling beradu gada.
"Cukup!" si nona berbaju hijau yang selama ini berdiri tanpa berkedip itu tiba-tiba membentak pelan.
"Cukup? Menang kalah pun belum ketahuan, kenapa mesti berhenti?" teriak Hay Tay-sau tidak puas.
Kalau dia masih bisa bicara jelas, maka lelaki setengah umur itu sudah tersengkal-sengkal kehabisan tenaga.
Nona berbaju hijau itu memandangnya sekejap, lalu ujarnya:
"Mengingat kau sanggup menghadapi delapan serangan gada pamanku, aku bersedia berikan kantung perhiasan ini untukmu!"
"Aku hanya pingin beradu kemampuan dengannya, tidak peroleh kantung perhiasan itupun tidak masalah" seru Hay Tay-sau gusar.
Lelaki setengah umur itu mendongakkan kepalanya meneguk berapa tegukan air hujan, kini kain kerudung hitamnya sudah tersingkap hingga kelihatan separuh mukanya yang hitam pekat.
Sambil mengayunkan gadanya dia pun berteriak:
"Mari, mari mari, kita......."
"Kita beradu sepuluh gebrakan lagi!" sambung Hay Tay-sau sambil mengayunkan gadanya.
Untuk kesekian kalinya terjadi benturan keras yang memekikkan telinga, mendadak senjata gada kedua orang itu sama-sama rontok ke tanah.
Semua orang menjerit kaget, Hay Tay-sau sendiripun tertegun sesaat, tapi kemudian serunya sambil tertawa keras:
"Bagus, bagus, bagus, mengingat kehebatan senjata gadamu, aku sudah tidak mau kantung perhiasan itu lagi!"
"Kami juga tidak mau" teriak lelaki setengah umur itu keras.
Ouyang bersaudara yang masih duduk diatas tanah segera menyambung sambil tertawa paksa:
"Jika kalian berdua tidak mau, lebih baik serahkan saja kepada kami"
Sambil berkata dia sudah merangkak bangun dan siap memungut kantung tersebut.
Mendadak satu pukulan dari Bi lek Hwee membuatnya terjungkal kembali.
"Hay lote, kau jangan marah" terdengar Bi lek Hwee berkata, "aku betul-betul mendongkol melihat tingkah pola cecunguk busuk ini!"
"Satu pukulan yang hebat, satu pukulan yang tepat" sahut Hay Tay-sau sambil tertawa, "kalau berganti aku, pukulan tersebut pasti lebih berat lagi!"
Kemudian sambil membalikkan tubuh ujarnya lagi:
"Jika kau tidak mau, biar serahkan saja kepada saudara-saudaramu untuk minum arak"
Dengan mata melotot besar lelaki setengah umur itu mengawasinya berapa saat, akhirnya diapun ikut tertawa tergelak.
"Bagus!" sambil memberi tanda, teriaknya lagi, "saudara saudara sekalian, cepat ucapkan terima kasih kepada Hay Tay-sau, kita segera pergi!"
"Tunggu dulu!" bentak Bi lek Hwee.
"Ada apa lagi?" tegur lelaki setengah umur itu.
"Lohu pun merasa tanganku mulai gatal!" ujar Bi lek Hwee sambil tertawa keras.
Pemuda berpakaian ringkas itu segera melom¬pat ke depan, sambil memungut senjata gada bajanya dari tanah, teriaknya lantang:
"Mari, mari, mari, biar siauya mengobati tangan gatalmu!"
Bi lek Hwee berpaling memandang kearah lelaki setengah umur itu, tegurnya sambil tertawa:
"Bocah ini anakmu atau muridmu? Tadi kau bertarung sendiri melawan Hay lote, masa sekarang kau suruh muridmu......"
Baru bicara sampai disitu tiba-tiba dia menghentikan perkataannya, dengan mata melotot besar dia awasi wajah lelaki setengah umur itu lekat lekat, kemudian perasaan kaget bercampur tercengang melintas diwajahnya, untuk sesaat dia berdiri tertegun.
"Kenapa kau?" Tanya Hay Tay-sau keheranan.
Sambil menuding lelaki setengah umur itu, Bi lek Hwee tertawa tergelak.
"Hahahaha..... lohu kenal kau, lohu kenal kau..."
Lelaki setengah umur itu bergetar keras, cepat dia menarik kain kerudung mukanya.
"Tidak usah ditutupi lagi" seru Bi lek Hwee sambil tertawa, "terlambat, sudah terlambat....."
"Mungkin kau salah melihat orang" "Kalau salah melihat, lohu bersedia men¬congkel keluar sepasang biji mataku, bukankah kau adalah Bu lotoa yang bekerja sebagai pandai besi diluar Benteng Han hong po?"
Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya:
"Tidak heran tenagamu luar biasa besarnya, ternyata memang terlatih dari pekerjaan sehari harimu, tapi... sejak kapan kau berganti haluan? Lohu tidak tahu kalau sekarang kaupun jadi begal" Merasa identitasnya telah terbongkar lelaki setengah umur itu jadi gugup dan gelagapan.
"Biarpun dulu seorang tukang besi dan sekarang berganti haluan, apa salahnya?" ujar nona berbaju hijau itu ketus, "lagipula darimana kalian tahu kalau dulu menjadi tukang besi pun karena dipaksa ganti haluan oleh manusia macam kalian?"
Bi lek Hwee tertegun kemudian tertawa tergelak.
"Nona, tajam amat mulutmu......."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba terlihat dua orang lelaki berbaju hitam berlarian mendekat sambil menggotong tubuh seorang pemuda berpakaian ringkas.
Walaupun ditubuh pemuda itu tidak nampak noda darah, namun dia berada dalam keadaan tidak sadar, mukanya pucat bagai kertas, jelas sudah menderita luka parah.
Dengan wajah berubah lelaki setengah umur itu berseru:
"Bukankah tadi dia masih mampu melawan? Kenapa bisa berubah jadi begini?"
Lelaki berbaju hitam itu segera menyahut: "Sepeninggal toaya tadi, sebetulnya hamba sekalian tidak sampai terdesak dibawah angin, siapa tahu lelaki terpelajar yang tampaknya lemah lembut itu ternyata seorang jago silat berilmu tinggi, begitu dia turun tangan, Sam sauya pun langsung terluka parah, terpaksa hamba meng¬gotongnya kemari"
Saking gugup dan paniknya dia seakan lupa kalau disitu masih hadir orang luar, ternyata semua kejadian dituturkan secara gamblang.
Buru-buru nona berbaju hijau bersama lelaki setengah umur itu memeriksa keadaan luka yang diderita pemuda itu.
"Benar-benar berhati keji" umpat nona berbaju hijau itu kemudian dengan perasaan dendam, "serangan yang amat ganas"
Diam-diam Hay Tay-sau menarik lengan Bi lek Hwee sambil bisiknya:
"Kita tidak punya ikatan dendam atau sakit hati dengan orang-orang itu, selagi mereka sedang menghadapi masalah, lebih baik kita tidak usah menyusahkan mereka lagi"
"Lohu memang tidak berniat menyusahkan mereka"
Kembali Hay Tay-sau berpaling ke arah Ouyang hengte sembari menghardik:
"Kenapa kalian masih berada disini?"
Dibentak dengan suara keras, Ouyang hengte buru-buru mundur berulang kali, akhirnya mereka pun kabur terbirit-birit meninggalkan pemuda yang masih terduduk di lantai, tampaknya dia merupakan anggota termuda yang paling lemah.
"Mau apa kau masih berada disini?" kembali Hay Tay-sau menghardik marah.
"Siautit harus ucapkan terima kasih dulu karena paman Hay telah selamatkan diriku" ucap pemuda itu sambil menjura.
Mula-mula Hay Tay-sau agak tertegun, kemudian dengan wajah berseri katanya:
"Gui-ji, kau sebetulnya anak yang baik, kenapa mesti bergaul dengan kawanan manusia tidak berguna itu?"
"Sebagai saudara, siautit harus maju mundur bersama mereka"
"Aaai, baiklah, cepat pulang, sampaikan juga salamku untuk Ik-ma kalian!"
Sekali lagi pemuda itu mengiakan dengan sopan.
"Oya, katakan juga kepada saudara saudaramu" ujar Hay Tay-sau lebih jaun, "perahu sarang lebah itu sudah tenggelam, suruh mereka jangan melakukan perbuatan amoral lagi"
Pemuda itu menyahut dan buru-buru berlalu.
Memandang bayangan punggung pemuda itu Hay Tay-sau menghela napas panjang, gumamnya:
"Diantara Ouyang bersaudara, hanya Ouyang Gui yang paling punya semangat, tampaknya semua karya besar Ouyang Kit dikemudian hari bakal terjatuh ke tangannya. Aaai, sudahlah, ayoh kita pun pergi!"
Waktu itu lelaki setengah umur itu sudah menjura ke arahnya sambil berseru:
"Sekarang kami sedang terburu buru hendak berangkat ke tempat lain hingga tidak sempat banyak bicara lagi, kejadian hari ini pasti akan Bu Ceng-wi catat didalam hati, bila ada kesempatan, budi kebaikanmu pasti akan kubalas"
"Pergilah saudara Bu" Hay Tay-sau tersenyum.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang