10. Sampan Harum di Sungai Han-sui

1.3K 25 1
                                    

Kegelapan malam menjelang tibanya fajar terasa amat hening, sepi dan dingin menggigil.
Lidah api yang berkobar hebat membuat pemandangan disekeliling tempat itu berubah jadi ungu kepucat-pucatan.

Sambil mengempit tubuh Thiat Tiong-tong, Sim sin-pek melarikan diri sekuatnya. Sebelum fajar menyingsing dia telah kabur keluar dari balik hutan menuju ke arah kuil.

Pada saat yang bersamaan kebetulan Im Ceng dan Un Tay-tay baru saja meninggalkan tempat itu.

Takdir yang mengatur perjalanan hidup Thiat Tiong-tong ternyata begitu aneh dan kejam. Andaikata Im Ceng dan Un Tay-tay sedikit lebih lambat meninggalkan tempat itu, mungkin nasib yang dialami Thiat Tiong-tong pun akan berubah secara drastis.

Kini kuil bobrok itu terasa hening, sepi dan amat dingin.

Cahaya yang redup menyinari kain tirai yang berlapis sarang laba-laba, ruang kuil yang dipenuhi rumput ilalang membuat suasana terasa begitu sendu dan mengenaskan.

Sim Sin-pek mencabut keluar pisau belati dari dadanya, lalu membungkus mulut lukanya dengan kain, dia buang jubah pendetanya yang berlu¬muran darah dan berganti satu stel jubah pendeta berwarna biru.

Rupanya untuk menghindari pengejaran Hek Seng-thian, didalam piauhoknya telah tersedia berbagai macam pakaian, hari ini menyamar jadi hwesio, mungkin besok sudah berganti jadi seorang tosu.

Kemudian dia totok jalan darah penting di ruas ke empat anggota tubuh Thiat Tiong-tong, mem¬buat pemuda itu dapat ber bicara, kesadaran tetap utuh namun ke empat anggota tubuhnya sama sekali tidak mampu bergerak.

Dengan pandangan dingin Thiat Tiong-tong mengawasi wajahnya, kemudian ujarnya perlahan:

"Jadi kau tidak segan melumuri tanganmu dengan darah lantaran ingin memaksa aku mengatakan dimana harta karun itu kusembunyikan?"

"Hahahaha tepat sekali, ternyata kau memang sangat pintar!" sahut Sim Sin-pek sambil tertawa tergelak.

"Kalau begitu kuanjurkan kepadamu, lebih baik matikan saja harapanmu itu!"

Sekulum senyuman licik segera menghiasi wajah Sim Sin-pek yang tampan, katanya pula:

"Kau tidak takut mati? Hmmm, tahukah kau, dibalik ke empat patah kata itu sebenarnya terkandung maksud yang buas dan jahat?"

"Kau tidak akan berani membunuhku!"

"Hahahahaha kelihatannya kau yakin sekali dengan ucapanmu itu" Sim Sin-pek tertawa latah, "kenapa aku tidak berani membunuhmu?"
"Selama aku masih hidup, paling tidak masih terdapat pengharapan dihati kecilmu untuk memaksa aku tunjukkan tempat penyimpanan harta karun itu, bila kau membunuhku, selama hidup jangan harap bisa tahu dimana harta karun itu tersimpan"
Sim Sin-pek segera menarik kembali senyumannya, sikap Thiat Tiong-tong yang begitu dingin dan tenang telah membuatnya terbelalak kagum, membuatnya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Thiat Tiong-tong berkata:
"Tentu saja kau dapat menggunakan pelbagai cara siksaan untuk memaksa aku mengatakan dimana harta karun itu tersimpan, tapi jangan harap memperoleh sepatah kata pengakuanpun dari mulutku, selama aku masih hidup, suatu hari kau pasti tidak akan lolos dari cengkeramanku, sampai waktunya aku pasti akan menggunakan penyiksaan yang sepuluh kali lipat lebih mengerikan untuk balas dendam, bila tidak percaya, silahkan saja dicoba!"
Dia mengucapkan perkataan itu dengan wajah tenang, nada suaranya juga amat tenang, tapi justru ketenangan sikapnya membuat perkataan itu kedengaran lebih menakutkan.
Sim Sin-pek segera tertawa seram:
"Hahahahaha.... kau sangka perkataanmu akan membuat aku ketakutan? Tentu saja akan kucoba, harus dibuktikan dulu bagaimana caramu untuk lolos dari cengkeramanku!"
"Hmm, kalau tidak takut, kenapa kau gunakan suara tertawamu untuk menutupi perasaan takut dihatimu?"
"Plook!" Sim Sin-pek langsung menampar wajah Thiat Tiong-tong keras-keras, kemudian sambil menyeringai seram ejeknya:
"Aku telah menghajarmu, ayoh tunjukkan, apa yang bisa kau perbuat?"
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak bergerak, ejeknya:
"Makin keras kau memukul, semakin memper¬lihatkan betapa takutnya hatimu saat ini"
Sebuah tendangan keras kontan membuat Thiat Tiong-tong mencelat sejauh satu setengah meter lebih, Sim Sin-pek membungkuk kan tubuhnya dan mencengkeram bahu anak muda itu, teriaknya:
"Thiat Tiong-tong, aku beritahu, bagaimana¬pun aku tetap akan memaksamu untuk menun¬jukkan dimana harta karun itu tersimpan, tidak ada yang bisa menghalangiku, dan sebelum matahari terbenam jika kau tetap tidak menjawab, akan kupotong lenganmu terlebih dulu, hmmm, akan kubuktikan kau yang lebih tangguh atau aku yang lebih tangguh!"
Thiat Tiong-tong hanya tertawa dingin, ia pejamkan matanya dan tidak berbicara lagi.
Mendadak Sim Sin-pek bangkit berdiri, membopong tubuh Thiat Tiong-tong dipunggungnya kemudian menggunakan kesempatan disaat kabut pagi masih menyelimuti permukaan, dia ngeloyor keluar dari dalam kuil dan bergerak menuju ke utara.
Sesudah berjalan sekian lama, terdengar suara riak air yang memecah ditepian sungai, tampaknya mereka sudah berada di tepi selatan sungai Huangho.
Kabut tebal masih menyelimuti sepanjang tepi sungai, tumbuhan gelugu yang tinggi bergoyang ditengah kabut dan menimbulkan suara gemerisik yang riuh.
Kelihatannya Sim Sin-pek sedang mencari perahu untuk menyeberang, dia berdiri ditepi sungai sambil berteriak-teriak, namun suara teriakannya yang nyaring seakan tidak mampu menembusi lapisan kabut yang tebal dan berat.
Lewat lama kemudian baru terdengar suara gemericik air, terlihat sebuah sampan muncul dari balik kabut.
"Pemilik perahu, bersediakah kau membawa¬ku menyeberang ke dermaga Beng-shia?" teriak Sim Sin-pek.
"Ayoh naiklah!" sahut nelayan yang berada dijung sampan sambil memberi tanda.
Ditengah pembicaraan, sampan itu telah menepi, Sim Sin-pek melompat naik ke buritan perahu dan membaringkan Thiat Tiong-tong, kata¬nya:
"Temanku ini mengidap penyakit parah, dapatkah kau mendayung lebih cepat?"
"Cepat, cepat sekali" sahut pemilik sampan itu sambil tertawa.
Suara tertawanya merdu dan lembut, mirip sekali dengan suara seorang wanita.
Tergerak perasaan hati Sim Sin-pek, dengan wajah agak berubah tegurnya:
"Kau seorang wanita?"
"Kenapa?" sahut pemilik perahu sambil tertawa, "memangnya kalau perempuan lantas tidak bisa mendayung?"
Dia berpaling sambil menekan gala panjangnya ke dasar sungai, sampan pun bergerak menuju ke tengah sungai itu.
Arus sungai Huangho sangat deras dan besar, sebetulnya tidak cocok untuk menyeberang dengan menggunakan sampan kecil seperti ini. Sambil berdiri diujung sampan, mengawasi gelombang yang tinggi dan arus air yang deras, Sim Sin-pek merasa dirinya seakan berdiri ditengah awan, dia merasa hawa dingin mulai menyusup melalui dasar kakinya dan menyelimuti seluruh tubuhnya.
Sepasang keningnya mulai berkerut kencang, dia tidak tahan kembali bertanya:
"Apa sampan ini bisa digunakan untuk mencapai dermaga Beng-shia?"
"Tidak bakal sampai!" jawab si nona.
"Kalau tidak bakal sampai, kenapa kau suruh aku naik?" teriak Sim Sin-pek dengan wajah berubah.
Nona itu tertawa cekikikan.
"Kau sendiri yang paksa naik, siapa sih yang mengundangmu naik ke sampan ini?"
"Cepat bawa aku balik ke daratan!" hardik Sim Sin-pek.
Nona itu perlahan-lahan berpaling, sambil tertawa cekikikan kembali ujarnya:
"Meskipun perahu ini tidak bisa membawamu menyeberang ke dermaga Beng-shia, namun masih ada perahu yang lain!"
Sim Sin-pek merasa sepasang matanya yang muncul dari balik topi, topi bambu yang lebar, tampak sangat indah bagaikan air di musim gugur, senyumannya manis bagai bunga yang mekar, dipandang dari balik kabut, nona itu kelihatan cantik sekali.
Dia dilahirkan dari wilayah utara dan sama sekali tidak pandai berenang, berdiri diujung sampan membuat kepalanya mulai pening dan pandangan matanya berkunang, sekalipun muncul kecurigaan dihati kecilnya namun dia tidak berani bertindak gegabah.
Terpaksa dia bertanya lagi:
Tapi dimana perahu yang akan membawaku ke kota Beng-shia?"
"Itu dia, bukankah berada disitu?" sahut nona itu sambil mendayung dengan tangan kirinya dan menuding dengan tangan kanannya.
Benar saja, dari balik kabut terlihat ada bayangan sebuah perahu berlayar, cahaya lentera yang memancar keluar dari perahu itu membuat suasana disitu tampak bagaikan selapis cahaya kuning keemas-emasan.
"Sam-ci (kakak ke tiga)!" teriak nona itu sambil menggoyangkan tangannya, "ada tamu yang ingin menyeberang!"
"Persilahkan dia naik kemari!" sahut suara merdu dari atas perahu berlayar itu.
"Baik, aku segera akan merapat ke sisi perahu!"
Walaupun perasaan curiga Sim Sin-pek makin meningkat, namun dia berusaha mengendalikan diri, cepat dia bungkukkan tubuh membopong Thiat Tiong-tong dan secara diam-diam menotok jalan darah pingsannya.
"Waaah, kabut hari ini sungguh besar" terdengar nona itu bergumam, "Sam-ci, cepat turunkan tali"
Terlihat bayangan tali segera dilempar turun dari atas perahu, ternyata sebuah tangga yang terbuat dari tali.
"Kekoan, kau bisa merangkak naik?" tanya si nona kemudian sambil tertawa.
"Tidak usah merepotkan!" sahut Sim Sin-pek cepat.
Ujung kakinya segera menutul permukaan sampan dan tubuhnya sudah melambung ke udara, dia memang sengaja akan mempamerkan kehebatan kungfunya, agar pemilik perahu itu tidak sembarangan mengusiknya.
Oleh sebab itu meski harus membopong seseorang, namun gerakan tubuhnya tetap enteng dan lincah, dalam sekali lompatan tubuhnya sudah mencapai ketinggian satu setengah meter lebih, tahu-tahu dia sudah melayang turun di ujung perahu dengan ringan.
"Kepandaian yang sangat hebat!" terdengar seseorang memuji dari ujung perahu sambil tertawa.
Seorang nona berpakaian ketat warna hijau sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum, kulit tubuh yang putih, potongan badannya yang ramping membuat dia nampak cantik menawan.
Perabot serta dekorasi yang ada dalam ruang perahu pun nampak indah, mewah dan megah.
Cahaya yang terpancar dari lentera tembaga menyinari tirai yang terbuat dari sutera halus, vas bunga hijau kemala serta gorden yang indah, dari dekorasi yang ada, dapat disimpulkan kalau pemiliknya adalah sebuah keluarga ternama atau orang kaya.
Tampaknya nona berpakaian ketat itu dapat menebak kecurigaan Sim Sin-pek, tapi dia tidak memberi kesempatan kepada tamunya untuk berbicara, ujarnya sambil tertawa ringan:
"Silahkan kekoan bersitirahat disini, biar aku ambilkan air teh"
Suara tertawanya masih menggema, tubuhnya sudah menyelinap masuk ke ruang belakang.
Sim Sin-pek segera merasa dirinya seakan terjerumus ke dalam sebuah perangkap yang misterius, dia seolah merasakan datangnya ancaman mara bahaya dari sekeliling ruang perahu yang mewah.
Gadis yang berada diperahu itu memiliki kulit tubuh yang putih dan halus, suaranya merdu bagaikan kicauan burung nuri, jelas bukan gadis yang biasa hidup kasar, apalagi menjadi nelayan atau tukang dayung perahu.
Jangankan di sungai yang sepi, biar di telaga See-ow pun jarang dijumpai perahu semegah ini, apalagi sekarang berada di sungai Huangho yang sepi dengan arus yang begitu deras.
Perasaan hatinya terkejut bercampur curiga, dia tidak tahu apa yang bakal dilakukan kawanan gadis itu terhadapnya.
Sementara itu dari balik ruang perahu kembali terdengar suara tertawa seseorang yang merdu, seorang gadis berbaju putih dengan pinggang yang ramping bagai ranting pohon liu, dengan membawa nampan berisi poci teh berjalan keluar.
Poci hijau dan cawan kemala yang berada diatas nampan kemala, semuanya merupakan benda-benda antik yang mahal harganya.
Dengan matanya yang jeli nona berbaju putih itu memperhatikan Sim Sin-pek berapa saat, kemudian ujarnya lembut:
"Silahkan minum teh!"
Sesudah meletakkan nampak teh diatas meja, kembali dia berjalan masuk dengan langkah yang lemah gemulai.
"Nona, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Sim Sin-pek melompat bangun sambil berteriak.
"Ada urusan apa?"
"Aku hanya berniat menyeberang ke dermaga kota Beng-shia, kemudian menuju ke timur....."
"Aku tahu"
"Tapi..... tapi.... tempat ini....."
"Apa jeleknya dengan tempat ini?" ujar nona berbaju putih itu sambil berpaling dan tersenyum, ketika tubuhnya lenyap dibelakang ruangan, lamat-lamat terdengarlah alunan musik yang merdu.
Sim Sin-pek semakin gelisah, dia tahu ada mara bahaya ditempat itu, tapi dia tidak tahu dimanakah letak mara bahaya tersebut, terlebih dia tidak tahu kapan bahaya itu baru mengancam.
Padahal sebelum datangnya mara bahaya itu, dia tidak berani bertindak sembarangan, apalagi sebagai orang yang licik dan berakal bulus, dia tidak nanti akan menghadapi pertarungan yang tidak yakin bisa dimenangkan.
Sekeliling ruang perahu tertutup oleh tirai sutera yang halus, Sim Sin-pek seakan merasa ada banyak pasang mata sedang mengawasinya dari balik tirai, membuat dia sangat tidak leluasa, membuatnya amat tidak tenang.
Dia mengambil poci air teh dan memenuhi cawannya, air teh berwarna hijau lembut dan memancarkan bau harum semerbak.
Tapi baru saja dia tempelkan cawan itu diatas bibir, kembali dia meletakkannya kembali.
"Kekoan tidak usah kuatir" seseorang segera berseru lembut dari balik ruangan, "air teh yang berada dalam poci tidak akan mengandung racun"
Tirai disingkap orang, Sim Sin-pek segera merasakan pandangan matanya jadi silau, seorang perempuan cantik bersanggul tinggi dengan pakaian yang indah telah muncul dari balik ruangan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.
Gerak-geriknya seakan membawa semacam tenaga gaib yang tidak terlukiskan dengan kata, membuat orang sulit untuk memperhatikan usianya, bahkan sama sekali tidak dapat menebak berapa usianya sekarang.
Tanpa terasa Sim Sin-pek bangkit berdiri.
Terdengar perempuan itu dengan suara lembut berkata lagi:
"Adik-adikku telah mengundang kedatangan siangkong, bila sikap siangkong masih begitu kikuk, aku jadi merasa sangat tidak enak hati"
"Hujin tidak perlu bersikap sungkan terhadap aku orang beribadah, pinto hanya berharap hujin mau menghantarku ke dermaga Beng-shia, soal lain pinto tidak berani mengganggu"
Dengan sepasang matanya yang jeli perem¬puan cantik itu memperhatikan Sim Sin-pek berapa saat, tiba-tiba dia tertawa ringan.
"Siangkong, bila kau mengaku sebagai orang beribadah, terpaksa aku pun harus membahasai diri sebagai pinnie!"
Berubah paras muka Sim Sin-pek.
Sementara itu perempuan cantik itu sudah duduk dibangku disampingnya, kembali ujarnya sambil tertawa:
"Siangkong tidak perlu banyak curiga, kami tidak punya maksud mencelakai siangkong"
Dia menuang secawan teh lalu diteguknya satu tegukan, kemudian katanya lebih jauh sambil tertawa:
"Didalam air teh tidak ada racunnya, kami tidak pernah punya ingatan untuk mencelakai orang dengan menggunakan obat beracun, hanya saja soal ongkos menyeberang mungkin kami menarik sedikit lebih banyak daripada ongkos yang ditarik perahu lain"
Kembali sekulum senyuman yang menawan tersungging diujung bibirnya, sambil menatap Sim Sin-pek ujarnya:
"Biarpun agak mahal, tapi kami jamin tidak akan membuat tamu kami kecewa, pasti akan kami buat para tamu merasa rela untuk menge¬luarkan ongkos sebesar itu"
Kembali perasaan hati Sim Sin-pek tercekat, serunya:
"Darimana hujin tahu kalau cayhe memiliki banyak uang? Siapa tahu aku justru tidak memiliki setengik uang pun, kalau sampai tidak punya uang lantas bagaimana?"
Perempuan cantik itu segera tertawa terkekeh.
"Mata pat-moay (adik ke 8) ku paling jahat, dia pandai membedakan mana orang kaya mana orang miskin, penilaiannya tidak pernah meleset"
Sim Sin-pek segera mengambil ketetapan hati, ujarnya:
"Hahahaha tampaknya aku memang sedang ketimpa rejeki, ternyata tempat ini adalah sarang perempuan yang berubah bentuk, setelah datang, tentu saja aku harus menikmati semua kesenang¬an yang tersedia"
Dari sakunya dia mengeluarkan sekeping perak dan diletakkan diatas nampan air teh, kemudian setelah meneguk habis isi cawannya, dia menoleh ke arah perempuan cantik itu dan berkata sambil tertawa:
"Kalau memang begitu, silahkan hujin memberi petunjuk bagaimana supaya cayhe merasa ikhlas mengeluarkan uang banyak"
Ternyata dia cukup royal, uang yang diletakkan diatas baki itu paling tidak beratnya mencapai sepuluh tahil perak, tentu saja dia harus berusaha mencari balik modalnya.
Perempuan cantik itu sama sekali tidak memandang ke arah uang perak itu, melirikpun tidak, katanya hambar:
"Sebetulnya air teh itu dihidangkan gratis, tapi bila siangkong bersedia memberi sedikit imbalan, tentu saja aku harus mewakili para dayang untuk mengucapkan terima kasih"
Dia bertepuk tangan perlahan, seorang dayang kecil berusia dua, tiga belas tahunan, berbaju hijau, muncul dari balik ruangan dengan senyum¬an menghiasi wajahnya.
"Singkirkan baki teh dan ucapkan terima kasih kepada siangkong" perintah perempuan cantik itu.
"Terima kasih siangkong atas tip yang diberikan" dayang cilik itu memberi hormat lalu dengan membawa baki itu mundur ke ruang belakang.
Sim Sin-pek hanya berdiri bingung, matanya terbelalak dan mulutnya terbungkam.
Tampak nyonya cantik berbaju mewah itu kembali berpaling, katanya sambil tertawa ringan:
"Segala kenikmatan duniawi tersedia didalam perahu ini, walaupun wajah para adikku biasa-biasa saja, namun mereka pandai menyanyi maupun menari"
Dia menengok wajah Sim Sin-pek, tertawanya nampak begitu menggetarkan sukma.
Diam-diam Sim Sin-pek tertawa dingin, pikirnya:
"Kelihatannya perempuan ini hendak memeras sejumlah uangku, hmm, biarkan saja dia sediakan hidangan atau nyanyian atau tarian, tapi setibanya di daratan nanti, hmmm! Hmmm!"
Dengan kerlingan mata yang indah nyonya cantik itu kembali bertepuk tangan tiga kali.
Diiringi suara tertawa cekikikan yang merdu, dari balik tirai muncul tujuh delapan orang gadis berbaju indah.
Tiga orang gadis yang tadi mendayung sampan, melempar tali dan menyuguhkan teh, sekarang telah berganti dengan pakaian indah dan berbaur diantara gadis gadis itu.
Suara tertawa yang memikat, kerlingan mata yang menggoda ditambah bau harum semerbak yang mengggelitik..... tanpa terasa Sim Sin-pek duduk terperangah dibuatnya, saking tertegunnya hingga sejak kapan hidangan disiapkan pun tidak dia rasakan.
"Siangkong, coba lihat, apakah semuanya ini cukup memuaskan?" terdengar nyonya berwajah cantik itu bertanya sambil tertawa.
"Memuaskan apa?" tanya Sim Sin-pek sambil matanya tetap menatap kawanan gadis cantik itu.
"Cukup memuaskan hatimu untuk membayar seribu tahil perak!"
"Apa? Seribu tahil perak?" teriak Sim Sin-pek sambil tertawa seram, "hujin, rupanya kau sedang bergurau?"
Padahal diapun tahu kalau perkataan itu bukan gurauan, karena itu gelak tertawanya kontan terhenti.
Kembali nyonya cantik itu berkata lagi dengan nada hambar:
"Segala sesuatu yang berada disini harus kau lakukan secara ikhlas, bila di anggap tidak setara dengan nilai uang yang dibayar, setiap saat kau bisa memerintahkan mereka untuk singkirkan semua hidangan yang ada"
Sim Sin-pek tertegun berapa saat, dia mencoba memandang sekeliling ruangan itu, terasa olehnya, sorot mata kawanan gadis tersebut tiba-tiba berubah jadi dingin bagaikan salju.
Terpaksa sahutnya sambil tertawa serak:
"Tidak, cayhe sama sekali tidak bermaksud begitu"
"Kalau memang tidak bermaksud begitu, silahkan siangkong lunasi dulu ongkos yang harus dibayar"
"Aku sedang melakukan perjalanan jauh, mana mungkin kugembol uang sebanyak itu?"
Nyonya cantik itu tertawa hambar.
"Pat-moay!" serunya, "dia bilang tidak menggembol uang sebanyak itu"
Gadis yang mendayung sampan tadi, kini muncul dengan mengenakan gaun berwarna ungu, dengan senyuman dikulum sorot matanya yang bening mengawasi sekejap Sim Sin-pek, seolah dia sudah dapat menebak rahasia hati orang itu.
"Meski usiamu masih muda namun sorot matamu tajam, langkah kakimu ringan, jelas memiliki kungfu yang sangat tangguh dan pernah mendapat petunjuk dari guru kenamaan" katanya lembut, "tingkah lakumu, sepak terjangmu selalu menampilkan rasa percaya diri yang kuat, ini menandakan asal usul keluargamu pasti ternama. Tapi sekarang, selain sudah menyamar jadi seorang tosu bahkan wajahmu nampak gugup dan tergesa-gesa, ini menunjukkan kalau kau sedang kabur dari pengejaran dan siap bergelandangan dalam dunia persilatan. Dengan latar belakang keluarga serta perguruanmu, masa kau mau hidup bergelandangan dalam kondisi susah dan tersiksa? Itu berarti sebelum melarikan diri, kau pasti sudah menggembol sejumlah uang sebagai bekal, bukan begitu?"
Hanya dengan berapa kalimat yang sederhana dia berhasil membongkar rahasia Sim Sin-pek, kenyataan ini seketika membuat pemuda itu tertegun dan sampai lama sekali tidak mampu berbicara.
Tampaknya gadis berbaju ungu itu dapat menebak apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, sambil menatap wajahnya lekat-lekat dan senyum¬an masih tersungging diujung bibirnya dia bertanya lagi:
"Bukan begitu?.......bukan begitu?....."
Akhirnya Sim Sin-pek menghela napas panjang.
"Hujin, silahkan suruh orang menyingkirkan semua hidangan itu" katanya perlahan, "cayhe hanya pingin menumpang sampai di dermaga Beng-shia"
Gadis berbaju ungu itu segera tertawa cekikikan.
"Pelit amat kau.......hahahaha.......semua rahasiamu berhasil kutebak, tapi aku benar-benar tidak menduga kalau watakmu amat pelit!"
Dari atas meja, tangan kirinya mengambil poci perak sementara tangan kanannya mengambil sepasang sumpit, senyuman masih menghiasi wajahnya, dengan cepat dia masukkan sumpit perak itu ke dalam poci perak, katanya:
"Saudaraku semua, kalau toh orang tidak sudi memberi muka kepada kita semua, buat apa kita tetap tinggal disini? Ayoh pergi!"
Diiringi suara tertawa yang merdu, kawanan gadis itu mengundurkan diri ke balik tirai.
Nyonya cantik itupun berkata sambil tertawa ringan:
"Silahkan siangkong menikmati air teh, kami akan mengundurkan diri!"
Dengan penuh sopan santun mereka telah mengundurkan diri, dalam waktu singkat disitu hanya tinggal Sim Sin-pek seorang yang masih berdiri terpaku bagai patung, perasaan hatinya makin tercekat bercampur keheranan.
Ketika menyaksikan gadis bergaun ungu itu memperlihatkan kungfunya yang hebat, dia sangka kejadian itu pasti akan berkembang lebih jauh, siapa sangka mereka semua justru mengundurkan diri dengan sikap yang sopan, bukan saja tidak berniat memaksa bahkan tidak menunjukkan perasaan tidak puas.
Setelah termangu sesaat dengan perasaan bercampur aduk, akhirnya dia menghembuskan napas lega.
Ketika menengok kembali ke atas meja, terlihat hidangan lezat dan arak wangi masih tertata rapi disitu, bau harum yang menusuk hidung membuat selera makannya tiba-tiba muncul.
Tapi Sim Sin-pek segera mengingatkan diri sendiri:
"Mereka sama sekali tidak memaksa aku, berarti akupun tidak boleh menyentuh hidangan tersebut. Hmmm! Akan kulihat, kalau aku enggan menyentuh hidangan kalian, dengan cara apa kalian akan merampok uang milikku"
Kemudian pikirnya lebih jauh:
"Mungkin saja mereka tidak berani menyu¬sahkan aku lantaran mengetahui kalau latar belakangku berasal dari keluarga, kenamaan. Aaai! Kalian memang kawanan gadis cantik bedebah, coba kalau saat ini aku masih ada urusan lain, tidak nanti akan kulepaskan kalian semua dengan begitu saja"
Dipandangnya Thiat Tiong-tong sekejap, kemudian pikirnya lagi:
"Setibanya di Beng-shia, aku harus membeli sebuah perahu dan berlayar menuju ke timur, setelah berada di perahu pasti akan kuberi pelajaran kepadanya, akan kulihat apakah dia tidak akan mengungkap tempat penyimpanan harta karun itu?"
Terbayang betapa gembiranya kehidupan dia setelah mendapatkan harta karun itu, makin dipikir Sim Sin-pek merasa semakin senang, entah berapa lama sudah lewat, mendadak perutnya mulai keroncongan, sekarang dia baru teringat kalau sudah cukup lama tidak menangsal perutnya.
Begitu ingatan tersebut muncul, makin dibayangkan perutnya terasa makin lapar, sampai pada akhirnya dia benar-benar tidak kuasa menahan rasa laparnya lagi.
"Aneh" demikian dia berpikir, "di hari biasa, walaupun sehari semalam tidak makan pun tidak pernah kurasakan kelaparan seperti sekarang, kenapa keadaanku hari ini aneh sekali?"
Memandang hidangan lezat yang tertata rapi didepan mata, kepalanya semakin pusing dan matanya makin berkunang, dia seakan tidak bisa memikirkan persoalan lain lagi kecuali rasa lapar yang semakin menyengsarakan.
Dia berusaha keras mengalihkan sorot mata¬nya ke arah lain, apa mau dikata sepasang matanya seolah tidak mau menurut perintah, setiap saat setiap detik pikirannya membayang-kan terus betapa lezatnya menggigit ayam goreng dan hidangan lezat lainnya.
Membayangkan kecutnya buah bwee mungkin saja bisa mencegah dahaga, tapi membayangkan sayap ayam goreng bukan berarti bisa menangsal perutnya yang lapar, semakin dilihat dia merasa semakin kelaparan, sekarang permukaan lambungnya seolah mau robek saking laparnya.
Sambil menelan air liur kembali pikirnya: "Kenapa aku tidak menyumpit setiap hidangan satu sumpitan saja? Siapa tahu dengan cara begitu mereka tidak tahu kalau aku sudah dahar"
Berpikir begitu diam-diam dia menggerakkan tangannya menghampiri hidangan dimeja.
Tiba-tiba terdengar seseorang tertawa ringan sambil nyelutuk dari balik tirai:
"Kelihatannya uang perak yang dimiliki orang ini memang dimasak dengan air obat, sudah kelaparan seperti itupun masih tidak rela merogoh kocek"
"Aku hanya berharap disaat dia sudah tidak tahan dengan rasa laparnya secara diam-diam
"Jarang sekali kujumpai manusia persilatan yang begitu pelit macam kau" seru Yo Pat-moay sambil tertawa, dia berpaling sambil tepuk tangan, serunya, "Ciu-koh, bawa masuk arak dan hidangan, hangatkan sebentar"
"Tidak usah, tidak usah dihangatkan" seru Sim Sin-pek cepat.
Tapi pada saat itulah telah muncul seorang koki berwajah pucat, berambut awut-awutan dengan membawa sebuah baki dan dipinggangnya terikat selembar celemek, dia masuk dengan kepala tertunduk rendah.
Perlahan-lahan dia meletakkan setiap hidang¬an dan arak keatas baki, kemudian dengan kepala tertunduk masuk kembali ke ruang belakang, sejak awal hingga akhir dia tidak pernah mendongakkan kepalanya barang sekali pun, sambil berjalan tiada hentinya dia terbatuk ringan.
Memandang semua hidangan sudah dibawa masuk, tidak tahan Sim Sin-pek menghela napas panjang.
Gadis yang ada dipaling depan segera berseru sambil tertawa:
"Kau telah mengeluarkan uang, maka biarlah aku senandungkan sebuah lagu untukmu!"
Diambilnya alat musik pie-pa lalu disentilnya dengan halus, sebuah lagu yang merdu pun disenandungkan dengan indahnya.
Sambil menyanyi, dia meliuk-liukkan tubuh nya berjalan mendekat, kemudian duduk didalam pangkuan Sim Sin-pek.
Senyuman menghiasi terus wajahnya, seakan senyuman itu selalu tampil polos dan suci, tapi tingkah lakunya justru begitu jalang dan cabul.
Walaupun berada dihadapan orang banyak, namun dia tidak canggung untuk duduk dalam pelukan pemuda itu, baginya, tingkah laku semacam itu seakan dianggapnya satu kejadian yang lumrah.
Gadis lainnya pun ikut mengelilingi Sim Sin-pek sambil tertawa cekikikan, mereka dengan menggunakan sikap yang paling polos dan suci, melakukan perbuatan yang paling jalang dan cabul, bukan saja tidak rikuh atau malu, mereka seolah menganggap hal semacam ini adalah wajar.
Seorang gadis yang tampaknya sangat alim, dengan pinggang yang ramping dan kulit, tubuh yang halus berseru secara tiba-tiba:
"Yau su-moay, percepat permainan pie-pa mu!"
"Waah, rupanya Li ji-ci akan mulai dengan pertunjukkannya" teriak Yau Su-moay sambil tertawa cekikikan, "hey anak muda, kau memang sedang hokki besar!"
Sentilan ke lima jari tangannya diatas senar pun dipercepat, lagu yang dibawakan pun makin cepat.
Gadis yang dipanggil Li ji-ci itu merentangkan lengannya ke samping, perlahan-lahan dia mem¬buka pakaian dibagian dadanya, sementara pinggangnya yang ramping mulai meliuk-liuk mengikuti irama musik pie-pa yang berirama cepat.
Wajahnya tampil begitu anggun, halus dan sopan, bahkan tidak secerca senyuman pun yang menghiasi bibirnya, tapi liukan tubuhnya begitu panas, begitu cepat dan begitu jalang.
Wajah suci dengan tubuh jalang, biasanya perempuan semacam ini yang paling cepat membangkitkan birahi kaum lelaki, Sim Sin-pek duduk dengan terperana, mulutnya melongo, matanya terbelalak lebar, dia seolah sudah kesemsem dibuatnya.
"Blaaaam!" tiba-tiba dari luar ruang perahu terdengar suara benturan keras, mendadak pintu ruangan dibuka orang secara paksa, kemudian tampak seorang lelaki tinggi besar penuh bercambang melangkah masuk sambil tertawa nyaring.
Kawanan gadis itu segera menjerit kaget, tarian, nyanyian seketika terhenti semua.
Dengan sorot mata yang berapi lelaki bercambang itu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya sambil tertawa keras:
"Hahahaha......rupanya di tempat ini sedang diselenggarakan hiburan yang menawan, tampak¬nya kedatanganku sebagai tamu tidak diundang tepat waktu"
Yau Su-moay segera melompat bangun dari pangkuan Sim Sin-pek, dengan mata melotot hardiknya:
"Hay Tay-sau, mau apa kau kemari?"
Dengan langkah lebar Hay Tay-sau berjalan masuk ke ruang perahu, begitu duduk dikursi utama, dia naikkan kaki kirinya keatas bangku sambil berseru:
"Kenapa kalian belum pulang?"
Kelihatannya Yau Su-moay masih menaruh dendam kepada orang ini, kontan dia tertawa dingin.
"Kami mau pulang atau tidak, apa urusanmu!"
"Hahahaha......sarang lebah liar yang biasanya malang melintang di sungai Tiangkang kenapa bisa pindah wilayah operasinya ke sungai Huangho? Masa kalian benar benar telah diusir oleh bocah cilik dari Siok-siu hingga tidak punya tempat berteduh?"
"Kau tidak usah mencampuri urusan kami!" teriak Yau Su-moay makin gusar.
"Hey cewek, sekalipun aku pernah menolakmu, toh kau tidak perlu begitu dendam kepadaku, belajarlah bersikap lebih lembut dan halus, siapa tahu aku akan berubah pikiran"
Ditengah tertawa cekikikan para lebah yang lain, Yau Su-moay menghentakkan kakinya berulang kali dengan jengkel, teriaknya:
"Hey si berewot, kelihatannya kau ingin mampus"
Dengan menggunakan senjata Pie-pa dia langsung hantam batok kepala Hay Tay-sau.
Belum sempat serangan itu dilancarkan, sebuah tangan yang lembut telah menggenggam pergelangan tangannya.
Yau Su-moay semakin jengkel, teriaknya:
"Toaci, berewok ini sangat memuakkan, kau mesti bantu aku untuk balas dendam!"
Nyonya cantik itu hanya tertawa hambar, sama sekali tidak ambil perduli teriakan saudaranya, setelah meletakkan alat pie-pa ke meja, dia berpaling dan ujarnya kepada Hay Tay-sau sambil tertawa:
"Lama tidak bersua, tidak kusangka kau masih seperti sedia kala"
Berubah paras muka Hay Tay-sau bertemu perempuan ini, gelak tertawanya yang keras seketika sirna, katanya perlahan:
"Setiap orang tahu, toaci dari Heng kang it wo li ong hong (segerombol raja lebah) adalah seorang wanita misterius, akupun sudah lama mendengar nama besarnya, tidak kusangka ternyata kaulah orangnya!" Ucapan tersebut sangat tenang dan halus.
Kalau seorang lelaki kasar tiba-tiba berbicara secara halus dan tenang, perkataannya malah kedengaran sedikit menyeramkan.
Kawanan gadis lainnya segera saling bertatap muka dengan wajah tertegun, siapa pun tidak menyangka, bukan saja toaci mereka kenal dengan Hay Tay-sau bahkan ternyata mereka berdua adalah sahabat lama.
Sekarang Sim Sin-pek baru tahu kalau rombongan wanita itu tidak lain adalah Heng kang it wo li ong hong gerombolan lebah yang paling memusingkan kepala, diam-diam dia mengeluh pahit, kali ini dia benar-benar telah mengusik sarang lebah yang paling ganas.
Seorang wanita koki berbaju hijau, dengan membawa senampan hidangan lezat muncul kembali didalam ruangan dengan kepala tertunduk rendah.
Begitu meletakkan semua hidangan diatas meja, kembali dia membalikkan tubuh berlalu, kepalanya bukan saja tidak pernah didongakkan, mata pun tidak pernah melirik, seakan dia sama sekali tidak memikirkan semua peristiwa yang sedang terjadi dalam ruang perahu.
Dengan tangannya yang besar Hay Tay-sau menarik semua hidangan itu kehadapannya, lalu dengan rakus melahap semua hidangan yang ada.
Sim Sin-pek sendiri meski kelaparan setengah mati, namun dalam keadaan dan situasi seperti ini dia tidak dapat turun tangan berebut, terpaksa sambil menahan air liur dia hanya awasi orang itu menghabiskan semua hidangan yang ada.
Sekarang matanya sudah berkunang-kunang, hawa amarah telah membakar hatinya, masih untung dia masih dapat mengendalikan diri sehingga tidak sepatah katapun diucapkan.
Nyonya cantik itupun hanya mengawasinya dengan tenang, karena dia tidak bersuara, tentu saja rekan yang lain semakin tidak berani berkicau, untuk sesaat semua orang hanya mengawasi Hay Tay-sau menghabiskan seluruh hidangan dimeja tanpa bicara.
Akhirnya Sim Sin-pek tidak kuasa menahan diri lagi, dia menghela napas panjang.
Sambil tertawa ringan nyonya cantik itu berkata:
"Jika kedatanganmu untuk menengok aku, sekarang sudah saatnya untuk berbicara bukan?"
Sambil membesut mulutnya yang berminyak, Hay Tay-sau mendongakkan kepalanya tertawa latah, teriaknya:
"Aku datang menengokmu? Kenapa aku harus menengokmu......?"
Mendadak dia menghentikan tertawanya, sambil bangkit berdiri ujarnya lagi:
"Aku sengaja datang kemari karena ingin memberitahu kepada kalian, meski keluarga Ouyang dari Kanglam mempunyai keturunan yang tidak becus, namun keluarga kenamaan ini merupakan sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kejujuran serta kesetiaan, pemiliknya Ouyang Li adalah seorang ciankwee yang berbudi luhur dan pantas dihormati, aku harap kalian jangan sampai mencelakai Ouyang hengte"
"Mereka yang datang menghantar diri, apa sangkut pautnya dengan kami?" jengek Yau Su-moay sambil tertawa dingin.
"Sekalipun mereka terpikat oleh godaan wanita, sepantasnya kalian pun tahu diri, setelah mendapatkan harta orang, tidak seharusnya mencelakai nyawa mereka"
Nyonya cantik itu segera tersenyum, katanya:
"Aku tidak menyangka si perampok ulung yang sudah lama tersohor dalam dunia persilatan, Thian sat seng (bintang pembunuh) ternyata sekarang berhati penuh welas asih"
"Bila kau enggan menuruti nasehatku, cepat atau lambat pasti akan menyesal" ujar Hay Tay-sau gusar, "sedang hubungan antara kita berdua, baik budi maupun kesetia kawanan sudah lama putus, jadi tidak ada lagi persoalan yang perlu dibicarakan lagi!"
Mendadak dia membalikkan tubuh, diatas wajahnya yang keras lamat-lamat terlintas perasaan sedih yang mendalam.
Tiba-tiba Sim Sin-pek ikut bangkit berdiri, teriaknya:
"Jangan pergi dulu!"
"Anak muda, mau apa kau teriaki aku?" tegur Hay Tay-sau seraya berpaling.
"Akupun akan pergi mengikuti Hay tayhiap" sahut Sim Sin-pek sambil tertawa paksa.
"Kalau begitu ayohlah!"
Mendadak nyonya cantik itu membalikkan tubuhnya dengan ringan, tidak nampak gerakan apa yang dilakukan, tahu-tahu dia sudah menghadang didepan pintu, tanyanya sambil tertawa lembut:
"Siapa yang mau pergi?"
"Mau apa kau?" hardik Hay Tay-sau dengan mata melotot.
Nyonya cantik itu tersenyum.
"Siapa pun tidak boleh membawa pergi tamu dari kami bersaudara, apalagi kau pun sudah datang kemari, aku masih ingin berbincang-bincang denganmu!"
"Kalau aku ingin membawa pergi seseorang, siapa pun jangan harap bisa menghalangi!" teriak Hay Tay-sau semakin gusar.
Ucapan nyonya cantik itu makin lama semakin lembut, katanya sambil tertawa merdu:
"Kalau aku tidak mau menghindar, masa kau tega melancarkan serangan kepadaku?"
Hay Tay-sau memperhatikannya berapa saat, tiba-tiba dia tertawa seram.
"Caramu itu sudah lama tidak mempan bagiku!" teriaknya.
Mendadak dia mengayunkan tangannya, langsung membabat tenggorokan nyonya cantik itu.
Paras muka nyonya cantik itu sama sekali tidak berubah, kelihatannya dia sudah menduga akan hal itu, tampak pinggangnya ditekuk, dengan satu gerakan yang ringan tubuhnya sudah lolos dari babatan maut itu.
Sepasang tangan Hay Tay-sau melancarkan serangkaian serangan berantai, dalam waktu singkat dia sudah lepaskan tujuh buah pukulan, semua serangan dilancarkan cepat dan ringan, seolah-olah bukan muncul dari seorang lelaki kasar macam dia.
"Hey, kenapa aliran ilmu silatmu kembali berubah?" ejek nyonya cantik itu sambil tertawa.
Ditengah pembicaraan, kembali pinggangnya meliuk-liuk bagaikan seekor ular, tubuhnya bergerak lincah ditengah kilauan bayangan serangan, tanpa bergeser setengah inci pun dia sudah menghindari ke tujuh buah serangan itu.
Sim Sin-pek yang menyaksikan jalannya pertarungan itu kontan merasa hatinya bergidik.
Yau Su-moay yang berdiri disampingnya segera berbisik:
"Kau tidak bakal lolos dari sini, lebih baik duduklah kembali!"
Mendadak terdengar Hay Tay-sau membentak keras, sepasang tangannya didorong berbareng ke depan.
Gerak serangannya tiba-tiba berubah, jurus serangan yang digunakan juga ikut berubah, pukulan yang dilontarkan dari ke dua belah tangannya benar-benar memiliki daya kekuatan yang luar biasa, angin pukulan yang dahsyat membuat semua tirai dalam ruang perahu bergetar keras.
"Aduh mak, kau benar-benar ingin memukul¬ku?" teriak nyonya cantik itu nyaring.
Mengikuti deruan angin pukulan yang kuat, tubuhnya mundur ke arah pintu perahu.
Melihat ada kesempatan baik, Hay Tay-sau segera menyusul ke depan sambil merangsek maju.
Terasa pandangan matanya kabur, tahu-tahu nyonya cantik itu sudah melompat masuk lagi bagai sehelai daun kering, ejeknya sambil tertawa:
"Lama tidak bersua, kelihatannya sekarang kau bertambah gemuk!"
Sambil berkata dengan tangannya dia seolah hendak menowel pipi Hay Tay-sau.
Sebetulnya Hay Tay-sau sudah menyiapkan serangannya untuk dilancarkan, tapi bila dia lanjutkan serangan tersebut, maka sasarannya akan persis menghantam sepasang payudara nyonya cantik itu.
Setelah sedikit agak sangsi, tubuhnya yang tinggi besar mundur kembali ke belakang.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berseru sambil tertawa merdu:
"Hey, kenapa kau malah ingin jatuhkan diri ke dalam pelukanku?"
Terlihat dua pasang telapak tangan telah menyambar tiba dari kiri dan kanan dengan kecepatan bagaikan petir, itulah serangan yang dilancarkan Yau Su-moay serta Yo Pat-moay. Meski jurus serangan kedua orang itu cepat, namun tenaga pukulannya sangat ringan, seakan mereka berdua hanya ingin bercanda saja.
Hay Tay-sau rentangkan sepasang tangannya dengan jurus burung hong pentang sayap, sebuah tendangan dilontarkan menghajar ketiak kiri nyonya cantik itu.
Yau Su-moay kembali menggerakkan tubuh¬nya, kali ini dia menyelinap ke belakang tubuh¬nya.
Hay Tay-sau membalikkan tangannya sambil mencengkeram, "Praaang!" mangkuk dan cawan yang ada di meja segera berhamburan ke empat penjuru, saling bertumbukan hingga hancur sementara sisa hidangan yang ada segera berhamburan ke arah kawanan gadis lainnya.
Diiringi jeritan kaget kawanan lebah itu berhamburan ke samping untuk menghindar, tapi sayang ruang perahu tidak terlalu lebar, tidak urung tubuh mereka ternoda juga oleh ceceran minyak dan hidangan.
Kontan saja Yau Su-moay menjerit keras:
"Dia telah mengotori pakaian kita, harus minta ganti kerugian!"
Tujuh, delapan orang gadis berbaju warna warni itu serentak meluruk ke depan melakukan pengepungan.
Kembali Hay Tay-sau mengayunkan tangan kanannya merontokkan sebuah lentera, sementara tangan kirinya memutar meja itu bagaikan gangsingan, hardiknya nyaring:
"Hey anak muda, bukankah kau ingin melarikan diri? Kenapa tidak membantu aku melancarkan serangan?"
Sim Sin-pek masih berdiri melongo, tampaknya untuk sesaat dia belum tahu apa yang harus dilakukan.
Dengan nada dingin Yo Pat-moay segera berkata:
"Masih agak mending jika kau hanya menonton pertarungan dari samping arena, bila berani sembarangan turun tangan, hmm! Akan kubuat kau tidak pernah bisa turun lagi dari perahu ini!"
Baru saja akan mengayunkan langkahnya, seketika Sim Sin-pek mengurungkan niatnya dan mundur kembali tanpa membantah.
Melihat itu dengan kening berkerut Hay Tay-sau kontan mengumpat gusar:
"Anak jadah, setan pengecut, demi kau aku rela berkelahi, tidak nyana kau justru macam cucu kura-kura, menyembunyikan kepalamu dibalik batok!"
Sim Sin-pek hanya berdiri sambil bergendong tangan, dia berdiri disisi Thiat Tiong-tong yang bersandar dibangku sambil tertawa, seakan umpatan tersebut bukan ditujukan kepadanya.
Saat itulah terlihat bayangan manusia bergerak lewat, dari balik ruang perahu telah bermunculan aneka macam bunga, tujuh orang nona dengan tujuh macam warna berdiri berjajar disekeliling tempat itu.
Nyonya cantik tadi masih berjaga didepan pintu ruangan dengan senyuman dikulum, katanya:
"Adik-adikku, kalian tidak perlu melukainya, toh cepat atau lambat dia bakal roboh juga"
Tercekat perasaan hati Hay Tay-sau sehabis mendengar perkataan itu, pikirnya:
"Aaah, jangan jangan hidangan tadi beracun!"
Sambil meraung keras dia langsung menerjang kepungan kawanan lebah cantik itu dan menerkam ke tubuh nyonya cantik didepan pintu.
"Waah, kau ingin beradu jiwa?" ejek nyonya cantik itu tertawa.
"Bila hari ini kau celakai nyawaku...."
"Aku mencelakai apa?" tukas nyonya cantik itu sambil tertawa ringan.
Kendatipun Hay Tay-sau masih menyerang dengan sepenuh tenaga, namun dia sudah mulai merasakan rasa letih yang susah dilawan.
Setelah bertarung belasan gebrakan kemudian tiba-tiba nyonya cantik itu berseru:
"Adik-adikku, obat yang ada dalam tubuhnya sudah mulai kambuh, kemarilah kalian!"
Serentak para gadis lebah dari Heng-kang meluruk maju bersama, diiringi suara tertawa cekikikan mereka membanting tubuh Hay Tay-sau yang tinggi besar keatas lantai kemudian menindihnya beramai-ramai.
Sambil tertawa terkekeh seru Yau Su-moay:
"Hey berewok, aku mau lihat apakah kau bisa galak lagi? Akan kucabuti berewokmu sampai gundul!"
Tiba-tiba nyonya cantik itu menarik kembari senyumannya dan berkata:
"Adik-adik, jangan kalian usik dia, lebih baik dikirim dulu ke gudang bagian bawah"
Yau Su-moay dan Yo Pat-moay saling bertukar pandangan sekejap, sementara gadis lebah lainnya pun ikutan mengerdipkan mata secara diam-diam, entah siapa yang berteriak duluan, tiba-tiba ada yang berseru sambil tertawa:
"Wah, rupanya toaci sudah jatuh hati dengan berewok itu!"
"Dasar setan cilik......" umpat nyonya cantik itu tertawa.
Dia berjalan menuju ke belakang ruangan, tapi secara tiba-tiba menghentikan kembali langkah¬nya, sembari menuding ke arah Sim Sin-pek, ujarnya:
"Pat-moay, coba tebak benda paling berharga apakah yang dimiliki siangkong ini?"
Yo Pat-moay memutar biji matanya berulang kali, lalu sahutnya:
"Dia bilang sedang menghantar orang sakit, padahal orang sakit itu jelas sudah ditotok jalan darahnya, tapi setiap saat setiap detik dia tidak pernah lupa memperhatikan orang itu, seakan kuatir secara mendadak orang itu bangkit berdiri dan melarikan diri, maka menurut aku......."
Setelah menuding ke arah Sim Sin-pek yang wajahnya berubah hebat, dia menuding pula ke arah Thiat Tiong-tong yang masih semaput diatas bangku, terusnya:
"Jadi menurut aku, barang paling berharga yang dia bawa adalah dia!"
"Hahahaha....Pat-moay, ternyata kau memang cerdik" puji nyonya cantik itu sambil terkekeh.
Dalam pada itu sudah ada berapa orang menggotong tubuh Hay Tay-sau ke ruang belakang, sambil tersenyum perempuan itupun menyusul di belakangnya.
Ruang perahu yang acak-acakan seketika tercekam dalam keheningan yang luar biasa, kini yang tersisa hanya Yo pat-moay dan Yau Su-moay.
Yau Su-moay memandang Sim Sin-pek sekejap, lalu memandang pula ke arah Thiat Tiong-tong
Sim Sin-pek tidak kuasa menahan diri lagi, tanpa sadar dia menghadang didepan Thiat Tiong-tong dengan wajah hijau membesi, namun senyuman paksa masih tampil dibibirnya.
"Bukankah kau sedang berkelana dalam dunia persilatan karena ingin menghindari pengejaran? Kenapa memandang begitu penting orang sakit itu? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Yo Pat-moay kemudian.
Sim Sin-pek tertegun berapa saat, dia agak tergagap:
"Soal ini....soal ini......"
"Tidak usah kuatir" tukas Yo Pat-moay sambil tertawa, "asal kau menurut, kamipun tidak akan menanyai urusan tentang dia lagi, bukan begitu Su-ci?"
"Benar" sahut Yau Su-moay, "sekarang kau sudah menjadi milik kami berdua, jadi paling baik bila kau menuruti semua perkataan kami"
"Ruangan ini sangat kacau, lebih baik kau ikut aku menuju ke bawah!" ajak Yo Pat-moay kemudian sambil tertawa.
"Tapi....tapi.... bukankah kita hampir tiba di dermaga Beng-shia?"
"Perahu ini tidak akan menuju dermaga Beng-shia"
"Lantas perahu ini akan menuju ke mana?" agak berubah paras muka Sim Sin-pek.
"Tidak akan kemana-mana!"
"Nona, rupanya kau sedang bergurau?" dengan hati mendelu Sim Sin-pek tertawa paksa.
"Siapa yang lagi bergurau?" sahut Yau Su-moay sambil tertawa, "dilihat dari jauh perahu ini adalah perahu, dilihat dari dekatpun tetap sebuah perahu, sayangnya meski perahu namun tidak mampu bergeser, jangan lagi berlayar, bergeser setengah inci pun tidak mungkin"
Dalam pada itu Yo Pat-moay sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Sim Sin-pek pun ingin ikut tertawa, sayang dia tidak mampu tertawa lagi, tanyanya tergagap:
"Apa maksud perkataanmu?"
"Arus sungai Huangho sangat deras, hanya perahu kecil yang bisa menyeberanginya, jika perahu sebesar ini yang mesti menyeberang, belum berapa langkah mungkin perahunya sudah karam duluan"
"Oleh sebab itu perahu ini tidak akan bergeser" sambung Yau Su-moay, "karena perahu ini bukan perahu melainkan sebuah bangunan rumah yang dibangun diatas air!"
"Kalau memang perahu ini tidak bisa bergerak, bagaimana caranya bisa sampai disini?"
"Perahu ini adalah rumah tinggal kami bersaudara di sungai Tiangkang, ketika kami pindah ke sungai Huangho, sayang rasanya untuk meninggalkan bangunan tersebut maka dengan segala cara kami berusaha memindahkannya kemari"
"Kenapa tidak membangun sebuah yang baru? Kenapa mesti bersusah payah mengangkutnya kemari?" tanya Sim Sin-pek keheranan.
"Memangnya perahu ini bisa dibangun dengan seenaknya?" kata Yo Pat-moay sambil tertawa.
"Coba turunlah ke bawah" saran Yau Su-moay, "maka kau segera akan mengetahuinya"
Kini Sim Sin-pek sudah tidak bebas, terpaksa dia menggendong Thiat Tiong-tong dan diiringi dua orang gadis itu turun ke bawah geladak.
Ternyata ruang belakang perahu itu merupa¬kan sebuah kamar baca, empat dindingnya di penuhi rak buku.
Yo Pat-moay mendorong perlahan rak buku yang berada didinding sebelah kiri, rak tersebut segera bergeser ke samping dan terbukalah sebuah lorong bawah tanah yang rapi dan bersih.
Dibawah lorong itu berjajar ruangan ruangan yang banyak sekali, semua bangunan sangat indah dan rapi, tidak ada sedikit tempat luang pun yang dibiarkan kosong.
Kini semua pintu ruangan berada dalam keadaan tertutup rapat, dari balik kamar lamat-lamat terdengar suara tertawa yang merdu.
Sambil menarik ujung baju Sim Sin-pek, Yau Su-moay membawanya memasuki ruang kamar nomor empat.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan yang kecil tapi rapi, disitu tersedia ranjang terbuat dari gading, meja bulat, gorden sutera, hampir semua perapot rumah tangga tersusun rapi dalam ruang yang sempit itu.
Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat Sim Sin-pek duduk hampir setengah jam lamanya dalam ruangan itu sebelum akhirnya suara keleningan nyaring bergema dari dinding sebelah.
Paras muka Yau Su-moay dan Yang Pat-moay berubah hebat, tergesa gesa mereka lari keluar ke pintu ruangan.
Sebelum meninggalkan tempat itu Yau su-moay menyempatkan diri berpaling seraya berseru:
"Kau tunggu saja disitu, jangan sembarangan bergerak"
Belum habis perkataan itu diucapkan, mereka berdua sudah pergi entah ke mana.
Pintu ruangan kembali tertutup rapat, kini Sim Sin-pek baru teringat kalau dia sedang kelaparan, dengan perasaan heran pikirnya:
"Apa yang telah terjadi? Mengapa mereka nampak gugup dan tergesa-gesa?"
Rasa curiga itu hanya melintas sejenak didalam benaknya, segera pikirannya dirisaukan kembali oleh keadaan yang sedang menimpa dirinya.
Enta berapa lama sudah lewat, tiba-tiba dia mendengar ada seseorang mengetuk pintu.
Sim Sin-pek tidak tahu siapa yang sedang mengetuk pintu, tapi sahutnya dengan cepat:
"Masuk!"
Koki yang berbaju hijau itu muncul kembali dengan kepala tertunduk, ditangannya membawa baki berisi sayur dan arak, setelah meletakkan diatas meja, kembali dia berlalu dengan kepala tertunduk.
Sim Sin-pek kegirangan setengah mati, diam-diam pikirnya:
"Sayang aku tidak sempat melihat dengan jelas raut muka koki itu, dia cantik atau jelek? Kalau cantik, aku mesti berterima kasih kepada-nya secara baik-baik"
Dalam waktu singkat dia telah melahap seluruh hidangan itu hingga ludas, tapi tidak setetes arakpun yang disentuhnya, satu-satunya kebanggaan baginya selama hidup adalah tidak pernah menyentuh arak.
Pertama, dia menganggap minum arak dapat mengacaukan pikiran.
Kedua, dia menganggap arak tidak seharum dan selezat sari buah.
Sayangnya, meski tidak setetes arakpun yang disentuh, namun belum lama dia letakkan sumpitnya, kepala sudah terasa pusing sekali, matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa sangat berat.
Dia sadar gelagat tidak beres, dalam terperanjat dia segera melompat bangun.
Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, dia sudah roboh terjungkal keatas tanah, begitu roboh tubuhnya tidak mampu bergerak lagi.
Setelah keadaan berkembang seperti ini, ternyata dalam hidanganpun masih dicampuri obat pemabuk, mimpi pun dia tidak pernah menyangka akan terjadi peristiwa seperti ini.
Belum sampai seperminum teh dia tidak sadarkan diri, perempuan berdandan koki itu sudah membuka kembali pintu ruangan, setelah menengok sekejap perlahan-lahan dia menyelinap masuk ke dalam.
Akhirnya pada saat itulah dia mendongakkan kepalanya, dalam ruang perahu tidak nampak cahaya sang surya, yang ada hanya cahaya lentera, ketika sinar lentera menyinari wajahnya, terlihatlah sebuah raut muka yang amat cantik, namun dibalik wajah cantik dan nampak masih muda itu terselip rasa sedih yang mendalam.
Dia seakan-akan pemah jadi sangat tua dalam satu waktu yang singkat, perasaan hatinya seakan pernah hancur lebur karena suatu persoalan, oleh sebab itu usianya mesti masih muda namun wajahnya nampak selalu murung dan duka.
Begitu masuk ke dalam ruangan, tanpa ragu dia langsung menghampiri Thiat Tiong-tong dengan langkah cepat, kemudian menotok bebas jalan darahnya.
Perasaan ketika tertotok jalan darahnya memang merupakan sebuah pengalaman yang aneh.
Tapi perasaan itu jauh berbeda dengan perasaan orang yang baru mendusin dari pingsan, bila mendusin dari pingsan maka ada jangka waktu tertentu kesadaran orang masih buram, sebaliknya orang yang tersadar setelah jalan darahnya dibebaskan, dia akan seketika tersadar kembali.
Begitu membuka matanya, Thiat Tiong-tong segera melihat ada selembar wajah cantik yang amat dikenalnya muncul didepan mata, ternyata dia tidak lain adalah Leng Cing-peng.
Dengan perasaan terperanjat dia segera melompat bangun, ditatapnya wajah Leng Cing-peng dengan termangu, untuk sesaat dia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Leng Cing-peng pun hanya memandangnya sambil tersenyum, dia tidak berbicara, sambil menarik ujung baju pemuda itu tubuhnya segera menyelinap keluar dari ruangan.
Suara tertawa cekikikan sudah tidak kedengaran lagi, dengan gerakan paling cepat Leng Cing-peng menerobos lorong sempit yang berliku¬liku dan sepi langsung menuju ke buritan perahu disana letak dapur tempatnya bekerja.
Disisi anglo terdapat sebuah pintu rahasia, sebetulnya pintu itu dipakai untuk membuang air kotor dan sampah, setelah membuka pintu, diatas permukaan air tampak tertambat sebuah sampan kecil.
Waktu itu hari menunjukkan tengah hari, awan tebal menyelimuti angkasa, ombak disungai pun terasa amat besar.
Tatkala Thiat Tiong-tong melompat ke ujung sampan, dia merasa seakan berdiri ditengah awan sejak dibius bocah pincang, apa yang kemudian terjadi dirasakan bagaikan sebuah impian.
Dengan cekatan Leng Cing-peng memutuskan tali pengikat sampan, perahu kecil itupun bergerak mengikuti ombak, kemudian dia mengambil dua buah dayung kayu dan mendayung dengan sepenuh tenaga menuju ke pantai seberang.
Dalam keadaan seperti ini dia seolah-olah tidak ada yang bisa dibicarakan, dia pun seolah-olah tidak ingin banyak bicara, sambil duduk membelakangi Thiat Tiong-tong yang duduk diujung sampan, dia hanya mendayung dengan sepenuh tenaga.
Ayunan dayung menimbulkan percikan air, percikan airpun membasahi tubuh Thiat Tiong-tong, tapi pemuda itu hanya mengawasi bayangan punggungnya yang kurus dengan termangu.
Sampai lama kemudian dia baru menyapa:
"Nona Leng, baik-baikkah kau?"
Leng Cing-peng sama sekali tidak membalik¬kan tubuhnya, dia hanya mengangguk perlahan.
Dengan termangu Thiat Tiong-tong mengawasi gadis yang sudah dua kali menyelamatkan jiwanya itu, dia membayangkan pula betapa mendalamnya rasa cinta nona itu kepadanya, tapi kemudian dia membayangkan pula ikatan permusuhan yang terjalin antara dia dengan keluarga Leng......
Sampan bergerak diombang-ambingkan ombak, pikirannya sama persis seperti gelombang ombak itu, bergelora, bergejolak dan tidak pernah tenang.
Sampai lama kemudian dia baru bertanya lagi dengan sedih:
"Nona, mengapa kau lakukan perbuatan ini?"
"Aku telah dilupakan orang, dilupakan masya¬rakat luas, kalau tidak kulakukan pekerjaan ini, apa yang harus kuperbuat?" sahut Leng Cing-peng tanpa berpaling.
Dia lebih suka hidup sebagai orang bawahan, lebih suka menyiksa diri untuk mengurangi kepedihan dan kesedihan yang menyayat hatinya, dia lebih rela hidup tersiksa daripada diperbudak laki-laki.
Oleh sebab itu setelah melarikan diri dari kuil terpencil, meninggalkan Thiat Tiong-tong, dia pun mulai mengembara kemana-mana hingga suatu ketika berjumpa dengan kawanan gadis lebah, diapun bergabung dengan mereka.
Meskipun kawanan lebah itu bersikap hangat dan mesra terhadap kaum lelaki, namun sikap mereka terhadap gadis yang hidup sebatang kara ini sangat dingin dan hambar, andaikata Leng Cing-peng tidak berjumpa lagi dengan Thiat Tiong-tong, mungkin sisa hidupnya harus dilewatkan dalam penderitaan dan siksaan.
Kini dia tidak ingin berpaling, tidak berani berpaling, karena wajahnya telah dibasahi butiran air mata.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasa amat pedih setelah membayangkan betapa sepi dan menderita¬nya kehidupan gadis itu, ujarnya lirih:
"Nona Leng, apa rencanamu selanjutnya?"
"Jangan kuatir" sahut Leng Cing-peng sedih, "aku cukup mengetahui kesulitanmu, aku tidak akan merecoki mu lagi, apalagi menjadi bebanmu"
Thiat Tiong-tong merasakan hatinya berge¬jolak, tidak tahan dia ingin membelai rambutnya dengan tangan yang gemetar.
Seandainya dia benar benar menyentuh bahu gadis itu, dapat dipastikan nona itu akan membalikkan tubuhnya dan menubruk ke dalam pelukannya.
Tapi sebelum jari tangannya menyentuh, sambil menghela napas dia menarik kembali tangannya.
Sejauh mata memandang, hanya ombak menggulung yang terpampang di depan mata, sama sekali tidak nampak daratan ditanah seberang.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong merogoh ke dalam sakunya, lalu melepaskan sebuah anak kunci dari segerombol kunci lainnya, kemudian ujarnya perlahan:
"Di rumah uang Kwan-gwan dikota Kayhong, aku menyimpan sebuah peti besi, peti itu sebenarnya hendak kuhadiahkan kepada cicimu, tapi sekarang akan kuserahkan anak kunci ini untukmu, ambillah peti besi itu dan selanjutnya kau tidak perlu berkelana lagi"
"Kenapa tidak kau serahkan sendiri kepada¬nya?" tanya Leng Cing-peng dengan kepala tertunduk, "akupun sudah lama tidak pernah bersua dengannya"
Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasakan hatinya amat pedih, katanya tergagap:
"Cicimu......cicimu dia....."
Tiba tiba Leng Cing-peng berpaling, dengan wajah berubah serunya:
"Kenapa dengan dia?"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, belum sempat menjawab, tiba-tiba dari balik gulungan ombak terlihat ada sebuah sampan sedang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Ternyata sampan itu adalah sebuah rakit yang terbuat dari kulit kambing, sebuah benda paling ringan yang dapat bergerak cepat ditengah arus sungai Huangho yang deras.
Dalam waktu singkat rakit itu sudah berhasil menyusul sampan kayu yang ditumpangi Leng Cing-peng.
Berubah hebat paras muka Leng Cing-peng, tampak olehnya ada tiga lima sosok bayangan manusia berdiri diatas rakit kulit kambing itu, semuanya adalah wanita.
Ditengah gulungan ombak sungai yang berarus deras, dalam waktu singkat kedua sampan itu sudah makin mendekat.
"Kau cepat kabur dengan menumpang sampan ini, biar aku yang menghadang mereka" bisik Leng Cing-peng cepat.
Thiat Tiong-tong segera berpikir:
"Bagaimana pun juga, aku tidak akan membiarkan kau menderita gara-gara aku!"
Meski tidak mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba dia melambung ke tengah udara.
Ketika rakit kulit kambing itu semakin mendekat, dia dapat melihat kalau berapa orang gadis berbaju warna warni itu tidak lain adalah kawanan lebah dari Heng-kang Li ong hong, hanya saja kawanan lebah itu tidak ada yang mengenalinya.
Terdengar Yau Su-moay mencaci maki dari atas rakitnya dengan nada geram:
"Ciu-koh, kami selalu bersikap baik kepada¬mu, melihat kau sebatang kara maka kami menampungmu, siapa tahu kau berani membawa kabur orang yang berhasil kami tangkap, hmmm, tampaknya kau sudah bosan hidup?"
Li Ji-ci, si nona berwajah suci bertubuh jalang berdiri dengan wajah sedingin salju, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia melemparkan seutas tali panjang ke arah sampan, diujung tali terikat sebuah jangkar kecil.
"Triiing!" diiringi dentingan nyaring, jangkar itu langsung terpantek diatas sampan kayu, meng¬gunakan peluang itu rakit kulit tadi segera melesat maju lebih dekat, Yau Su-moay mengayunkan tangannya berulang kali, tiga titik cahaya tajam langsung menyambar ke tubuh Leng Cing-peng.
Dengan dayungnya Leng Cing-peng berusaha menangkis datangnya kilatan cahaya itu, tapi sebelum dia bertindak, kilatan cahaya tadi sudah dihajar miring oleh pukulan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong dan tercebur ke dalam sungai.
Yo Pat-moay segera melompat maju dari belakang tubuh Li Ji-ci, telapak tangannya secepat kilat menangkis dayung kayu yang diayun oleh Leng Cing-peng.
"Praaak!" dayung itu patah jadi dua bagian.
Ternyata tangan Yo Pat-moay telah mengena¬kan sebuah sarung tangan yang terbuat dari serat perak.
Benturan keras yang membuat dayungnya patah ini membuat Leng Cing-peng kehilangan keseimbangan, apalagi berada ditengah gulungan ombak yang besar dan arus yang deras, tubuhnya tidak mampu lagi berdiri tegak, buru-buru dia melejit setinggi berapa meter ke udara.
"Hmm, rupanya kau ingin mampus!" bentak Yo Pat-moay sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba dari balik ujung bajunya meluncur keluar seutas tali panjang, bagaikan seekor ular sanca langsung melilit sepasang kaki gadis itu.
Leng Cing-peng bertubuh lemah dan bukan seorang gadis yang suka banyak bergerak, bukan saja dia tidak pernah melatih ketahanan tubuh, ilmu silat yang dipelajari pun tidak cukup tinggi.
Hatinya jadi amat gugup setelah kehilangan tenaga sewaktu tubuhnya masih melambung di udara, melihat datangnya ancaman tersebut, cepat dia buang tubuhnya ke samping.
Walaupun dia berhasil menghindari ancaman itu, namun si nona jadi semakin gugup ketika melihat tidak ada tempat berpijak lagi baginya.
Waktu itu Thiat Tiong-tong sedang bertarung puluhan jurus banyaknya melawan Yau Su-moay.
Ombak menggulung makin keras, sampan dan rakit pun terombang ambing dimainkan arus air yang deras.
Mereka berdua, seorang berdiri diujung sampan, yang lain berdiri diatas rakit, sama-sama bergerak diantara gulungan ombak, serangan yang dilancarkan meski sama-sama hebatnya, namun karena permukaan selalu bergelombang membuat jurus serangan pun tidak pernah tepat pada sasaran.
Apalagi bagi Thiat Tiong-tong yang dibesarkan diwilayah gurun, boleh dibilang dia tidak pandai ilmu berenang. Kini kepalanya mulai terasa pening, matanya berkunang-kunang dan perutnya mulai mual. Sekalipun kepandaian silatnya hebat pun, paling banter hanya tiga bagian yang bisa digunakan.
Li Ji-ci dengan menggunakan jangkarnya berusaha menahan laju sampan itu, serunya:
"Su-moay, aku lihat kungfu bocah ini cukup tangguh, apakah perlu aku membantumu?"
"Tidak perlu" sahut Yau su-moay sambil tertawa, kemudian ujarnya lagi, "hey anak muda, kami tidak berniat jahat kepadamu, kenapa tidak balik saja bersama kami?"
Belum sempat Thiat Tiong-tong menjawab, mendadak terdengar seseorang menjerit kaget, diikuti "Byuuurrr!" suara seseorang tercebur ke dalam air.
Ternyata Leng Cing-peng gagal menemukan tempat berpijak hingga tidak ampun tubuhnya tercebur ke dalam sungai.
Thiat Tiong-tong sangat terperanjat, tanpa menggubris musuhnya lagi dia siap menerjang ke muka untuk memberi pertolongan.
Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak, terlihat ada dua titik cahaya perak menyongsong kedatangannya, cahaya itu bergerak sangat cepat bahkan membawa desingan angin yang tajam bagaikan suara rentetan mercon.
Thiat Tiong-tong tidak berusaha menghindar, dia menyongsong datangnya serangan itu dengan keras melawan keras.
Siapa tahu kedua titik cahaya perak itu ternyata benda hidup, tahu-tahu arah sasarannya berubah dan kali ini mengancam lambung anak muda itu.
Thiat Tiong-tong yang menghadapi serangan dari muka belakang, apalagi diapun tidak berani melambung ke udara, terpaksa melepaskan satu pukulan lewat bawah ketiaknya, seluruh kekuatan dicurahkan ke dalam pukulan itu, dia sambut datangnya serangan Yau Su-moay dengan keras lawan keras.
Meskipun serangan ini dilancarkan belakang¬an, ternyata tiba lebih duluan daripada serangan dari Yau Su-moay.
Mimpipun Yau Su-moay tidak menyangka kalau gerak pergelangan tangannya begitu lincah dan hidup, perubahan jurus pun dapat dilakukan sangat cepat.
Tidak sempat membatalkan serangan sebelum¬nya, terpaksa dia terima ancaman itu dengan keras lawan keras.
"Duuuk!" benturan keras membuat kuda-kudanya limbung, tubuhnya kontan terjengkang ke belakang.
Masih untung Li Ji-ci berada di belakangnya, cepat-cepat dia memeluk tubuhnya kencang-kencang.
Sekalipun serangan tangan kirinya mendatang¬kan hasil, ternyata gerak tangan kanannya untuk menangkap cahaya perak dihadapannya sedikit agak lamban.
Baru saja tangannya bergerak, "Triiing!" tahu-tahu kedua cahaya perak itu sudah saling membentur lalu terbang berpisah ke arah yang berlawanan, kemudian setelah membentuk setengah lingkaran busur, cahaya itu menghimpit datang lagi dari kiri dan kanan.
Demikian cepatnya perubahan yang terjadi pada cahaya perak itu membuat orang susah untuk mengetahui senjata apakah itu.
Ternyata benda itu adalah tali panjang yang berada ditangan Yo Pat-moay, hanya saja dikedua ujung tali masing-masing terikat sebatang senjata macam Poan koan pit, mirip juga mata tombak yang tajam.
Dengan hadirnya ke dua jenis senjata itu, bukan saja ketika berada dalam genggaman bisa digunakan senjata genggam, dapat pula dipakai sebagai senjata pelontar yang mematikan.
Waktu itu Thiat Tiong-tong sedang pening kepalanya oleh ayunan ombak, begitu melihat ada cahaya perak berkilat dihadapannya, dia jadi merasa amat silau, oleh sebab itu serangan yang dilancarkan pun ikut sedikit lambat.
Ketika secara tiba-tiba muncul dua cahaya perak yang menggencet dari kiri kanan langsung mengancam jalan darah Thay-yang-hiat nya, cepat dia tekuk pinggangnya menengadah ke belakang, sementara sepasang lengannya direntang ke samping.
Siapa tahu begitu jurus serangannya berubah, gerak ancaman dari ke dua cahaya perak itupun ikut berubah, mendadak dari dua cahaya berubah jadi satu cahaya, dengan jurus Pek hong koan jit (bianglala putih menembusi matahari) cahaya itu langsung menggempur ke arah bawah.
Walau menghadapi bahaya Thiat Tiong-tong tidak menjadi kalut, cepat dia menarik kembali tangannya, lalu dengan gerakan Tong cu Pay kwan im (bocah cilik menyembah Kwan-Im) dia tangkap cahaya perak itu dengan kedua belah tangannya.
Tapi dia lupa kalau tubuhnya masih berdiri diatas sampan, jelas keadaannya jauh berbeda bila dibandingkan bertarung di tanah daratan, ketika segulung ombak menggoncangkan sampannya, posisi tubuhnya pun ikut terlempar ke atas, kini seluruh dadanya malah membusung ke muka menyongsong datangnya ancaman maut itu.
Tampaknya sulit bagi pemuda itu untuk menghindarkan diri...
Setelah berulang kali berganti jurus dengan gerakan yang begitu cepat, kini jarak tubuhnya dengan posisi Leng Cing-peng tinggal sejangka lagi.
Sebaliknya Yau Su-moay sedang memeluk tubuh Li Ji-ci yang hampir roboh, sedang lengan kiri Li Ji-ci pun sedang menahan tubuh saudara¬nya, otomatis kekuatan yang tersalur di lengan kanannya sedikit lebih lemah.
Akibatnya tarikan tali pun jadi kendor, rakit itu segera dihantam ombak hingga berpisah lagi sejauh berapa meter.
Ketika cahaya perak menggempur ditubuh Thiat Tiong-tong tadi, kebetulan ada ombak menggulung tiba, hal ini membuat tubuh Thiat Tiong-tong maju menyongsong cahaya perak itu, tapi rakitpun ikut tergulung hingga terpisah berapa meter, akibatnya sewaktu cahaya perak itu menyentuh tubuh Thiat Tiong-tong, tubuh Yo Pat-moay ikut terlempar mundur ke belakang.
Dari rangkaian peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat, serangan Liang gin siang hui cha (cahaya perak terbang menyilang) yang dilancar¬kan gadis itu meski sempat menyentuh pakaian Thiat Tiong-tong, namun tenaga serangannya pun ikut lenyap tidak berbekas.
Berhasil lolos dari bahaya maut membuat Thiat Tiong-tong kontan saja bermandikan keringat dingin.
Arus air mengalir sangat deras, waktu itu tubuh Leng Cing-peng masih terapung diatas permukaan air, rupanya nona itupun tidak mengerti ilmu dalam air, akibatnya tubuhnya makin terpisah jauh dari sampan. Dia mencoba meraih buritan sampan dengan sepasang tangannya, sayang kekuatan yang dimilikinya tidak mampu untuk berbuat begitu.
Ditengah hembusan angin dan gulungan ombak, gadis itu mulai berteriak minta tolong, jeritannya bercampur aduk diantara suara air dan angin, membuat suaranya kedengaran amat mengenaskan.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongDonde viven las historias. Descúbrelo ahora