34. Irama Sedih Pelumat Hati

1.2K 21 0
                                    

Un Tay-tay kabur dengan kalap, kabur seperti seorang gila....
Mengapa dia harus kabur? Sedang kabur dari siapa? Dia sendiri... dia sendiri pun tidak jelas.
Pikirannya terasa kosong melompong karena dia tidak ingin memikirkan persoalan apapun, dia pun tidak memilih arah perjalanan, yang dituju hanya tempat yang paling sepi, tempat yang paling terpencil, jauh dari keramaian dunia, jauh dari kerumunan manusia.
Air matanya kini mulai mengering, sepasang kakinya mulai terasa kesemutan dan kaku....
Medan yang dilalui pun makin lama semakin terjal dan sepi....
Rawa-rawa, hutan belantara, lembah terjal... mendadak sebuah hutan bunga yang sangat indah muncul di hadapannya.
Aneka bunga yang mekar segar, memancarkan bau harum semerbak yang memikat hati, di bawah cahaya sang surya, hutan itu bagaikan sebuah halaman rumah yang amat luas, tiada halaman rumah lain yang bisa mengalahkan keindahan tempat itu.
Ternyata hutan bunga yang begitu indah justru tumbuh di tengah lembah yang terjal, di antara rawa-rawa, di antara bukit yang terpencil, seakan-akan keindahan yang luar biasa itu memang sengaja diciptakan di tempat yang paling busuk dan jelek.
Un Tay-tay tak tahu bagaimana dia bisa lari ke tempat itu, tapi setelah sampai di sana dia pun tidak sanggup mengayunkan langkahnya lagi... dia roboh terkapar di tanah.
Dia sama sekali tidak menyadari kalau di balik pepohonan masih ada sesosok bayangan manusia lain, dia pun tidak mendengar orang itu sedang merintih kesakitan, sedang bergulingan di tanah berlumpur sambil mengerang penuh penderitaan.
Namun orang itu mengetahui kehadiran-nya.
Pakaian yang dikenakan orang itu nyaris hancur tidak keruan, tubuhnya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang kotor berlepotan lumpur, wajahnya menyeringai seram karena sedang menahan siksaan dan penderitaan yang luar biasa.
Dia nampak seperti iblis yang muncul dari balik rawa-rawa, bagaikan binatang buas yang terluka parah.
Dia berguling di atas tanah berlumpur, dia meronta sambil mengerang, sebab hanya tanah becek berlumpur yang dingin dapat mengurangi siksaan dan penderitaan kobaran api yang sedang membakar dalam tubuhnya.
Jika Un Tay-tay sempat memandang sekejap ke arahnya, dia akan segera mengetahui kalau orang itu tidak lain adalah manusia berbaju hitam yang telah bertarung sengit melawan Siang-tok Thaysu
Hong Lo-su, gembong iblis yang licik, busuk dan berhati binatang itu meski berada dalam keadaan tersiksa dan menderita, namun ketajaman pendengarannya masih lebih sensitif ketimbang telinga binatang serigala, begitu mendengar suara manusia, dia segera berguling ke balik semak belukar.
Lewat beberapa saat kemudian dia tidak kuasa menahan diri untuk melongok keluar dari balik semak, memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia dapat mengenali orang yang secara tiba-tiba menerobos masuk ke balik hutan bunga itu tidak lain adalah Un Tay-tay.
Sudah dua kali Un Tay-tay menggagalkan rencana besarnya, bagi pandangan orang lain, dendam kesumat ini boleh dibilang sesuatu yang luar biasa, apalagi bagi manusia berpikiran sempit macam Hong Lo-su!
Begitu tahu siapa yang muncul, hawa napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh Wajahnya, sambil mengertak gigi diam-diam pikirnya, "Jalan menuju ke surga tidak kau pilih, jalan menuju ke neraka justru kau lewati, budak busuk, wahai budak busuk, akan kulihat nyawa kecilmu bisa kabur kemana lagi hari ini?"
Andaikata Un Tay-tay dapat melihat raut muka iblisnya pada saat itu, dapat dipastikan dia akan jatuh semaput saking kagetnya, sekalipun Hong Lo-su ingin membunuh atau mencincang dirinya pun belum tentu dia sanggup melawan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Hong Lo-su, dia teringat saat itu racun jahat sedang bekerja dalam tubuhnya, andaikata dia muncul saat itu, belum tentu kemampuannya mampu menandingi ilmu silat yang dimiliki Un Tay-tay.
Seandainya berganti orang lain, mereka pasti tidak sanggup menahan diri apalagi setelah menyaksikan orang yang dibencinya hingga merasuk ke tulang sumsum telah berdiri di depan mata, mereka tentu akan menerjang keluar dan berusaha membunuhnya.
Tapi Hong Lo-su memang jauh berbeda dibandingkan orang lain, kalau bukan lantaran terdesak hingga sulit dihindari, dia tidak pernah mau melakukan pertarungan yang tidak yakin bisa dimenangkan.
Setelah memutar otak sejenak, pikirnya, "Hong Lo-su, wahai Hong Lo-su, kau harus pandai mengendalikan diri, baru saja lolos dari cengkeraman maut si makhluk beracun, kalau kini harus mati di tangan seorang budak busuk, kau akan mati dengan penasaran. Toh tidak lama kemudian racunmu bakal punah, sedang budak pun tidak akan kabur sementara waktu, cepat atau lambat dia pasti akan mampus di tanganmu."
Berpikir sampai di situ, dia semakin enggan bergerak, hanya sepasang matanya mengawasi terus gerak-gerik Un Tay-tay, dia hanya berharap perempuan itu jangan pergi dari situ.
Ternyata Un Tay-tay memang tidak meninggalkan tempat itu, dia hanya memeluk tubuh Sui Leng-kong sambil menangis terisak, sambil menangis pikirnya, "Benarkah apa yang dikatakan makhluk tua beracun itu? Benarkah aku iri dan cemburu kepadanya?
Benar? Tidak benar? Benar...? Tidak benar?
Pertanyaan itu bagaikan cambuk yang melecut tubuhnya, bagaikan sebuah gilingan batu yang melindas tubuhnya, dia merasa hatinya hancur lebur, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu?
Tidak tahan dia mendongakkan kepala dan menjerit:
"Un Tay-tay, wahai Un Tay-tay... kau adalah perempuan paling busuk, Sui Leng-kong telah kau celakai, kenapa kau masih tetap hidup? Kenapa kau masih tetap hidup?"
Terbelalak sepasang mata Hong Lo-su, dia merasa terkejut bercampur girang, pikirnya:
"Rupanya budak busuk itu menyangka tempat ini tidak ada penghuninya sehingga mengutarakan rahasia hatinya, hahaha, tidak dia sangka Locu justru sudah mendengar setiap patah katanya dengan jelas."
Andaikata dia mampu bicara waktu itu, sudah pasti akan dikatakan demikian, "Tepat, tepat sekali, kau memang tidak pantas hidup, lebih baik mampus saja!"
Sayang dia tidak berani bersuara, sedang Un Tay-tay pun bukan perempuan lemah yang gampang mencari mati begitu saja.
Kalau dia harus mati, perempuan itu pasti akan memilih sebuah kematian yang ada nilainya.
Sambil melelehkan air mata, dia memetik kuntum demi kuntum bunga dari atas pohon, kemudian menatanya kuntum demi kuntum di atas tanah, membentuk sebuah pembaringan yang terbuat dari bunga.
Akhirnya dia membaringkan tubuh Sui Leng¬kong di atas pembaringan bunga itu, membaringkan dengan perlahan dan lembut.
"Adik cilik," bisiknya dengan air mata berlinang, "beristirahatlah dengan tenang, tidak ada lumpur di dunia ini yang bisa mengubur tubuhmu yang bersih, terpaksa aku akan menguburmu di antara bunga yang segar."
Sembari menaburi tubuh Sui Leng-kong dengan bunga segar, kembali dia bergumam:
"Kumbang, kupu-kupu, burung walet, datanglah semua kemari ... temanilah adikku beristirahat di sini! Ooh, angin, bawalah awan ke tempat ini, agar adikku dapat menunggang awan, terbang jauh ke angkasa, tubuhnya memang tidak layak dijamah tanah berdebu, dia lebih pantas tinggal di nirwana, hidup di antara dewi dan bidadari."
Ucapannya lebih mirip senandung yang indah... tapi senandung mana di kolong langit yang bisa mengungkapkan perasaan sedih di hati Un Tay-tay?
Hong Lo-su yang menyaksikan kejadian itu diam-diam berpikir, "Jangan-jangan budak busuk ini sudah gila? Masa dia bersenandung untuk orang yang sudah mati? Hei, budak busuk, kalau ingin menyanyi, bawakan lagu yang gembira, paling tidak bisa menghilangkan rasa jemu di hatiku."
Di samping mengumpat, dia pun merasa kegirangan setengah mati, kalau dilihat dari wajah sedih budak busuk itu, mustahil dia akan pergi meninggalkan tempat itu dalam waktu singkat, budak busuk, apakah kau sedang menunggu kematian di situ?
Dari mana dia tahu kalau saat itu Un Tay-tay sudah mengambil satu keputusan di hati kecilnya.
Terdengar perempuan itu berbisik lagi:
"Adikku, berbaringlah dengan tenang di sini, biar burung walet dan bunga segar yang melenyapkan kesepianmu, kau tidak usah kuatir, aku tidak akan membiarkan kau mati dengan sia-sia."
Mendadak dia bangkit berdiri, kemudian berlari secepatnya menuju ke arah dimana dia datang tadi.
Hong Lo-su dibuat melongo, dia hanya bisa mengawasi perempuan itu meninggalkan hutan bunga dengan mata terbelalak, dia merasa mendongkol, merasa gelisah, namun tidak ada yang bisa dilakukannya.
Kini di dalam hutan bunga tinggal dua orang.
Kedua orang itu, yang satu hidup yang lain sudah mati, yang satu jeleknya setengah mati dan yang lain cantik bak bidadari, kalau yang satu busuk bagai iblis keji, maka yang lain adalah malaikat dari surga.
Malaikat cantik yang telah mati terjatuh ke dalam cengkeraman iblis jahat yang buruk rupa dan masih hidup, satu kejadian yang amat ironis, amat memedihkan hati dan membuat orang menghela napas....
Langkah kaki Un Tay-tay makin lama semakin melambat, sepasang alis matanya berkerut kencang, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Jalan pikirannya memang lincah dan penuh akal muslihat, bila dia sudah mengambil satu keputusan, maka biar orang lain menebaknya sampai mati pun jangan harap mampu menebak isi hatinya.
Kini dia tidak memilih jalanan yang harus ditempuh, langkah kakinya diayunkan menelusuri jalan perbukitan, sorot matanya memandang ke tempat kejauhan, seakan sudah dibuat terpesona oleh jalan pikirannya.
Lama kemudian, tiba-tiba sekulum senyuman aneh terbesit di ujung bibirnya, dia mengangkat wajah, mencoba memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kemudian dia berbelok ke arah timur dan kembali berjalan cepat.
Saat itu cahaya sang surya belum mencapai tengah angkasa, dia berjalan menyongsong datangnya cahaya fajar, langkahnya masih diayunkan lambat, kemudian diambilnya sebatang ranting, kemudian mulai membongkar semak belukar yang berada di sisi jalan.
Di tengah tanah perbukitan yang sepi dan terpencil itu, dia seolah sedang mencari harta karun yang tidak ternilai harganya, mencari dengan teliti, memeriksa dengan seksama....
Ya, tindak-tanduk nona ini memang sangat aneh, sukar diduga apa maunya.
Mendadak dia menjumpai beberapa ikat rumput ilalang yang terikat menjadi satu, diikat dengan sebuah serat yang sangat halus dan lembut, andaikata tidak diperhatikan lebih seksama, sulit rasanya untuk menemukan keanehan itu.
Tali pengikat berwarna hitam, sebuah benda yang sangat umum dan tidak ada yang aneh.
Tapi bagi Un Tay-tay, dia seolah berhasil menemukan harta karun, wajahnya kontan berseri, sambil membungkukkan tubuh dia mulai melakukan pemeriksaan di seputar tumpukan rumput ilalang itu.
Benar saja, di antara tumpukan rumput terdapat beberapa macam benda yang berbentuk aneh.
Tapi... danmana dia tahu kalau di balik tumpukan rumput ilalang terdapat benda yang berbentuk aneh?

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang