35. Cinta Kasih Sejati

958 23 0
                                    

Un Tay-tay menyingkap rerumputan, dari balik rumput yang lebat dilihatnya ada lima butir biji catur berwarna hitam, empat ditumpuk jadi satu pada posisi belakang dengan sebiji catur paling depan, arah yang ditunjuk adalah timur.

Rupanya itulah tanda rahasia yang ditinggalkan Suto Siau sekalian untuk menunjuk¬kan arah, dulu Un Tay-tay cukup lama bergaul dengan Suto Siau, bahkan hubungan mereka terhitung cukup akrab, tidak heran perempuan ini sangat menguasai kode rahasia itu.

Sejak tadi sebetulnya dia sudah melihat tanda rahasia itu, hanya saja karena waktu itu pikirannya sedang dilanda kesedihan dan kekalutan sehingga tidak terlalu memperhatikan.

Tapi sekarang dia sudah mengambil keputusan, apapun yang bakal terjadi, dia harus menemukan jejak Lui-pian Lojin serta Suto Siau sekalian.

Lama dia mengawasi kode rahasia itu, akhirnya dia ambil biji catur yang terakhir dan menggesernya dari depan menuju ke belakang, dia telah memindahkan dari arah ke timur menjadi arah barat.

Kemudian sambil bertepuk tangan dia bergerak menuju ke timur, membayangkan bagaimana Suto Siau sekalian bakal dibuat bingung oleh arah yang salah, tanpa terasa sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Sepanjang perjalanan kembali dia jumpai empat lima buah tanda rahasia, serta merta dia memutar balik arah yang dituju, dengan harapan Suto Siau sekalian semakin kabur dari arah yang sebenarnya.
Akhirnya tibalah dia di sebuah lembah bukit yang amat gersang, walaupun di depan sana terlihat ada jalan setapak, namun kiri kanannya merupakan tebing setinggi beberapa ratus kaki yang tegak lurus dan curam. Sementara arah yang dituju adalah ke sisi kanan.
Un Tay-tay tertegun, dia mencoba mendongakkan kepala, terlihat dinding tebing itu sangat tinggi hingga menjulang ke angkasa, sekalipun sepanjang dinding terlihat ada rotan yang bisa dipakai untuk merambat, namun ditinjau dari medan yang begitu sulit, rasanya seekor monyet pun tidak mudah untuk melewati tempat itu.
Dia semakin tercengang bercampur kaget, pikirnya:
"Jangan-jangan ada orang yang datang lebih awal dari aku dan mengacau arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu?"
Namun dia tahu kode rahasia itu hanya diketahui Suto Siau sekalian yang berjumlah beberapa gelintir, mustahil orang lain mengetahui rahasia itu, tapi kenapa mereka bisa mengacau arah yang ditinggalkan?
Un Tay-tay memeras otak berusaha memecahkan persoalan ini, namun sampai lama kemudian dia masih belum berhasil memecahkan-nya.
Dengan termangu dia berdiri mematung di situ, angin berhembus kencang mengibarkan ujung bajunya....
Waktu itu dia berdiri menghadap ke arah dinding tebing, lalu darimana munculnya hembusan angin itu? Mungkinkah angin itu berhembus dari balik dinding?
Penemuan tidak terduga ini seketika menggerakkan akalnya, cepat dia berjalan menghampiri dinding tebing dimana angin itu berasal, biarpun dalam keadaan tergopoh, dia tidak lupa mengubah arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu, kali ini dia mengubahnya ke arah jurang.
Benar saja, di antara dinding tebing yang licin terdapat beberapa buah celah, sekalipun celah itu tersembunyi di balik tumbuhan rotan yang cukup lebat, akan tetapi setelah dicari Un Tay-tay secara seksama, akhirnya celah itu berhasil juga ditemukan.
Dalam keadaan seperti ini dia benar-benar sudah melupakan semua rasa takut dan ngeri, sekalipun di balik celah adalah sarang naga atau gua harimau, dia tidak ambil peduli, begitu berhasil menyingkirkan rotan yang menutupi seputar celah, perempuan ini langsung menerobos masuk ke dalam.
Di balik celah merupakan sebuah lorong yang sempit dan gelap, ditinjau dari rerumputan yang tumbuh di seputar sana, jelas terlihat tanda-tanda bekas diinjak manusia, untung Un Tay-tay sangat teliti dan seksama, sebab kalau tidak diperiksa secara khusus, pertanda itu memang sulit ditemukan.
Dengan susah payah dia menerobos lorong sempit itu sejauh puluhan kaki sebelum akhirnya tiba di sebuah tempat yang jauh lebih luas dan terang.
Tempat itu merupakan sebuah lembah yang sangat luas, sinar matahari menyinari seluruh jagad, angin pun terasa berhembus sepoi meng¬goyangkan tumbuhan dan rerumputan.
Mimpipun Un Tay-tay tidak menyangka di balik celah yang sempit ternyata terdapat tanah lembah yang begitu luas dan lebar.
Untuk sesaat dia seakan terpukau menyaksikan keindahan alam yang sangat cantik dan luas ini, sampai lama sekali dia berdiri termangu, tertegun, tanpa bergerak sedikitpun.
Di tengah padang rumput yang sangat luas terlihat rerumputan tumbuh setinggi manusia, ketika berjalan di antara rumput nan hijau itu, Un Tay-tay merasa dirinya seolah terombang-ambing di tengah gelombang samudra yang luas, membuat pening kepalanya, membuat kabur pandangan matanya.
Dia sama sekali tidak dapat melihat pemandangan di sekeliling sana, dia pun tidak bisa menentukan arah mata angin, kalau semula dia menyangka begitu memasuki celah tebing, maka Lui-pian Lojin segera akan ditemukan, kini dia sadar bahwa pendapatnya itu keliru besar.
Mencari seorang di tengah padang rumput yang begitu luas, ibarat mencari sebatang jarum di tengah samudra, bukan saja teramat sulit, bahkan boleh dibilang mustahil.
Untuk berteriak atau menjerit pun dia tidak berani, karena dia merasa ngeri untuk berteriak di tengah padang rumput tanpa tepian ini.
Mungkinkah ada ular beracun atau hewan buas yang mengintai dari balik rerumputan? Mungkinkah ada musuh tangguh yang sedang mengawasinya? Un Tay-tay sama sekali tidak mau memikirkannya, dia berjalan terus menerobos rerumputan dengan langkah lebar.
Namun rerumputan yang tumbuh di situ benar-benar kelewat tebal, kelewat rimbun, dalam keadaan seperti ini, biar ada orang yang berjalan mendekatinya pun belum tentu dia tahu, bahkan sekalipun dia sudah berjalan dengan langkah cepat pun, dia tidak berhasil bergerak lebih cepat lagi.
Sudah dua tiga peminuman teh dia berjalan, namun suasana di sekitar sana tetap hening dan sepi, dia belum berhasil juga menemukan sesuatu.
Yang terdengar hanya angin yang menggoyangkan rerumputan, hanya desingan angin yang menerpa sisi telinganya.
Meskipun hanya suara angin, Un Tay-tay merasa suara itu lama kelamaan mulai membuat¬nya gugup, membuatnya panik.
Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menghimpun tenaga, tubuhnya melambung ke tengah udara, melampaui rerumputan dan memeriksa seputar sana.
Namun sejauh mata memandang, hanya gelombang rerumputan yang bergoyang beriring, jangankan seseorang, bahkan bayangannya pun tidak nampak.
Dia ingin sekali memeriksa dengan lebih seksama, sayang hawa murninya telah buyar sehingga tubuhnya terpaksa meluncur kembali ke bawah.
Di saat tubuhnya meluncur turun ke bawah itulah mendadak dia merasakan suatu gerakan yang sangat aneh muncul dari padang rumput sebelah kiri, tapi sayang, ketika dia melambung sekali lagi ke tengah udara, tiada sesuatu yang berhasil disaksikan.
Berjalan di tengah padang rumput yang luas dan lebat, sebenarnya merupakan satu tindakan yang berbahaya, karena di balik rerumputan bisa jadi terdapat berbagai jebakan dan perangkap, bisa pula terdapat penghadangan yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.
Andaikata orang lain, belum tentu mereka berani bertindak secara gegabah dan ngawur dalam situasi seperti ini.
Namun Un Tay-tay merasa yakin dalam lembah itu hanya terdapat Lui-pian Lojin dan komplotannya, sekalipun sudah muncul jejak manusia di sisi kiri, dia menduga orang itu pastilah salah satu di antara komplotannya.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung menerobos maju ke depan.
Baru berjalan puluhan kaki, tiba-tiba perempuan itu menghentikan kembali langkahnya, dari arah depan dia seperti mendengar suara desingan angin lirih, seperti suara baju yang bergesek dengan rerumputan.
"Siapa di situ?" hardik Un Tay-tay.
Begitu suara bentakan berkumandang, suara desingan angin lirih itu seketika hilang tidak berbekas.
Dengan kening berkerut, perlahan-lahan Un Tay-tay bergeser maju ke depan. Siapa tahu begitu dia mulai bergerak, suara lirih itu kembali bergema, bahkan sedang beringsut mundur dari situ, namun begitu dia menghentikan langkahnya, suara itu seketika ikut berhenti juga.
Keadaannya ketika itu persis seperti orang sedang bermain petak-umpet, namun beratus kali lipat lebih berbahaya, di tengah keheningan yang mencekam, hanya suara hembusan angin yang terdengar.
Sekalipun Un Tay-tay sudah tidak memikir¬kan keselamatan sendiri, tidak urung bergidik juga perasaannya waktu itu.
Rasa takut yang muncul secara spontan terhitung salah satu titik kelemahan yang dimiliki manusia dan tidak mungkin bisa dihindari.
Sekali lagi Un Tay-tay menghentikan langkahnya sambil membentak:
"Siapakah kau?"
Hanya ada suara angin yang menggoyang rerumputan, suasana di sekeliling situ tetap sepi, hening, tiadajawaban.
"Kedatanganku tidak bermaksud buruk," kembali Un Tay-tay berkata, "siapa pun dirimu, tolong tampil, mari kita bersua muka."
Kali ini dia berbicara dengan suara yang lebih keras, tapi suasana tetap hening, tiadajawaban yang terdengar di sekeliling sana.
Sepanjang perjalanan hidupnya, sudah cukup banyak tempat berbahaya yang dikunjungi, namun betapa berbahayanya tempat itu, ancaman bahaya yang muncul selalu dapat dia lihat dan saksikan secara jelas.
Sebaliknya berada di balik padang rumput yang begitu lebat, meski sepintas tempat itu nampak aman tenteram, padahal setiap jengkal tanah yang ada di situ tersimpan ancaman bahaya maut yang menakutkan, mara bahaya yang tidak terlihat dan tidak gampang ditebak itu sesungguhnya jauh lebih berbahaya ketimbang tempat yang paling berbahaya sekalipun.
Tidak tahan lagi dia mulai bergumam dan memaki:
"Sialan benar rerumputan di sini, kenapa tumbuh begitu lebat dan tinggi...."
"Sreeet!", belum selesai dia bergumam, suara desingan lirih kembali bergema dari balik rerumputan.
Un Tay-tay terkesiap, tanpa mempedulikan wajahnya tersayat oleh ujung rumput, dengan cepat dia melesat maju ke depan, begitu cepat gerakan tubuhnya membuat rerumputan berdesis nyaring.
Suasana tetap hening, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Dua mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, namun tubuhnya kembali terkurung di balik rerumputan yang tinggi dan lebat, kinLmau tak mau bergidik juga perasaan Un Tay-tay.
Tidak kuasa menahan gejolak perasaannya, kembali dia berteriak:
"Apakah kau tidak dapat mengenali suara¬ku? Aku adalah Un Tay-tay! Apakah kau adalah Hek Seng-thian? Pek Seng-bu? Suto Siau? Seng Cun-hau?"
Secara beruntun dia menyebut beberapa nama, tapi masih tidak ada jawaban.
Dengan kening berkerut kembali dia berpikir, "Jangan-jangan memang tidak ada manu sia di depan sana? Jangan-jangan aku yang salah mendengar? Tapi bagaimana pun hanya ada jalan maju bagiku, apapun yang bakal terjadi aku harus tetap menerjang maju ke depan."
Berpikir sampai di situ, sambil mengertak gigi ia menerjang maju ke depan.
Langit lambat laun bertambah gelap, angin berhembus makin lama semakin kencang.
Mendadak Un Tay-tay menginjak tempat kosong, rupanya dia sudah terperosok ke dalam perangkap, tidak ampun tubuhnya langsung roboh terjungkal ke bawah.
Jangan dilihat usianya masih muda, pengalamannya dalam dunia persilatan justru amat luas dan matang, dalam keadaan seperti ini meski hatinya tercekat, namun tidak membuat pikirannya kalut, cepat sepasang lengannya digetarkan ke samping, dia memaksakan diri melambung ke udara dan menjatuhkan diri ke sisi lain.
Siapa tahu baru saja ujung kakinya menyentuh permukaan tanah, mendadak muncul dua batang ranting pohon yang melejit dari samping rerumputan, ranting pohon yang tajam bagaikan sebilah pedang, dengan membawa desingan tajam langsung melesat ke arah tubuhnya.
Sambil memutar tangannya melepaskan gempuran, Un Tay-tay merangsek maju ke depan, dengan gerakan Liong heng it sih (gerakan naga sakti) dia menyusup ke muka.
Siapa tahu kakinya kembali menginjak tempat kosong, tubuhnya jadi lemas dan tidak ampun sekali lagi dia roboh tertelungkup.
Kali ini dia telah menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki, sulit baginya untuk melambung lagi ke udara.
Tahu-tahu pandangan matanya jadi gelap, sebuah karung kain hitam sudah ditutupkan ke atas kepalanya hingga ke separoh tubuh, sepasang lengannya ikut terkerudung yang membuatnya tidak mampu berkutik lagi.
Un Tay-tay benar-benar mati kutu, begitu masuk perangkap, bukan saja dia tidak sempat melakukan perlawanan, bahkan langsung berhasil diringkus lawan.
Dengan perasaan kaget segera jeritnya:
"Siapa...."
Belum sempat kata "kau" diucapkan, sebuah tangan yang besar dan kuat sudah membekap mulutnya, diikuti tubuhnya sudah dicengkeram dan diangkat orang itu.
Un Tay-tay mencoba meronta sekuat tenaga, sepasang kakinya menendang kian kemari.
Namun orang itu benar-benar memiliki tenaga yang luar biasa, sepasang tangannya kekar dan kuat bagaikan terbuat dari baja, jangankan melepaskan diri, mau meronta pun susahnya bukan kepalang.
Tahu-tahu ketiaknya terasa kesemutan, kemudian tubuhnya nyaris tidak mampu bergerak lagi, dia merasa tubuhnya seperti dipanggul orang di atas bahu dan dibawa pergi dari situ dengan langkah lebar.
"Siapa gerangan orang ini?" pikir Un Tay-tay, "Mau diapakan aku olehnya? Jangan-jangan orang ini punya dendam sakit hati denganku sehingga dia berani membokong aku?"
Menurut arah yang ditinggalkan tanda rahasia, seharusnya lembah ini merupakan tempat persembunyian yang digunakan Suto Siau sekalian, atau dengan perkataan lain Lui-pian Lojin pun berada di sini, lalu siapa pula yang berani bercokol di tempat ini selain mereka?
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Un Tay-tay seperti menyadari akan sesuatu, segera pikirnya, "Aaah, benar, sudah pasti Suto Siau masih teringat dendam sakit hatinya di masa lampau maka secara diam-diam membokong aku, dia pasti bermaksud hendak mempermalukan diriku."
Berpikir begitu, dia malahan merasa jauh lebih lega.
Selang berapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara teguran seseorang, suara seorang wanita.
"Suko, kau benar-benar telah turun tangan?" terdengar perempuan itu bertanya.
Walaupun suara seorang wanita, namun nadanya jauh lebih kuat dan tegas ketimbang suara seorang pria.
Orang yang menggendong Un Tay-tay tidak menjawab, dia hanya mendengus.
Kembali perempuan itu berkata:
"Bukankah ayah berulang kali sudah berpesan, sebelum mengetahui asal-usul lawan, jangan sekali-kali kita turun tangan, jangan sampai tindakan kita malah "menggebuk rumput mengejutkan ular", gara gara masalah kecil malah merusak rencana besar."
"Kau tahu siapakah perempuan ini?" terdengar lelaki itu bertanya dengan suara parau.
"Mana aku tahu, kenal pun tidak."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, logat suaranya yang semula kecut dan hambar kini berubah jauh lebih lembut, selembut suara seorang gadis muda.
Sambil mendengus, kata lelaki itu:
"Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau."
Biarpun hanya beberapa patah kata yang sederhana, namun mengandung rasa benci dan dendam yang luar biasa, seakan dia sudah membenci Suto Siau hingga merasuk ke tulang sumsum.
Terdengar gadis itu berseru tertahan, kemudian tidak berbicara lagi.
Selanjutnya suasana pun kembali hening, kedua orang itu tidak bercakap-cakap lagi.
Keheningan yang luar biasa sekali lagi menyelimuti udara, kecuali hembusan angin yang menimbulkan gelombang pada rerumputan, tak terdengar suara lain lagi, keheningan yang menakutkan segera membuat hati Un Tay-tay makin tercekat.
"Siapa gerangan lelaki perempuan ini? Apakah mereka adalah musuh besar" "atau mungkin dia membenciku karena aku datang mencari Suto Siau? Atau takut aku datang mencari balas terhadap Suto Siau maka dia membekuk diriku lebih dulu?"
Hingga kini Un Tay-tay belum berhasil menebak siapa gerangan muda-mudi itu? Dia pun tak bisa menebak hendak dibawa kemana dirinya? Dan apa pula yang hendak mereka lakukan?
Tapi ia bisa merasakan betapa cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, kalau dilihat dari cara mereka bergerak dengan leluasa, dapat diduga mereka sudah cukup lama tinggal di situ sehingga bukan masalah bagi kedua orang itu untuk menentukan arah meski berada di tengah rimba rerumputan.
Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba terdengar gadis itu berseru lirih:
"Berhenti!"
Un Tay-tay merasakan tubuhnya tenggelam ke bawah, ternyata pemuda itu sudah berjongkok bahkan sambil menahan napas.
Tidak lama kemudian dari balik rerumput-an di sebelah kanan terdengar suara langkah manusia diikuti suara gesekan ujung baju dengan rumput.
Un Tay-tay yang berada dalam punggung pemuda itu dapat merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang.
"Aneh" pikirnya keheranan, "kenapa pemuda ini nampak begitu tegang? Jelas dia kuatir si pendatang mengetahui kehadirannya, atau mungkin yang datang adalah musuh tangguhnya?"
"Betul-betul satu kejadian yang di luar dugaan, ternyata di tengah padang rumput yang begitu rahasia, terdapat dua aliran kekuatan yang saling bertentangan bagaikan air dan api, tapi selain kelompok Lui-pian Lojin, siapa pula kelompok yang lain? Berarti sepasang muda-mudi ini berasal dari kelompok yang bertentangan dengan Lui-pian Lojin."
Begitu dicekam rasa ingin tahu, untuk sesaat dia malah melupakan keselamatan sendiri, sekarang dia hanya berharap orang yang berada dalam semak itu segera tampil agar dia tahu manusia macam apa yang telah datang.
Siapa tahu suara langkah itu tiba-tiba berhenti dan tidak terdengar lagi ketika mereka berada beberapa jengkal dari sumber suara, menyusul kemudian terdengar seorang wanita dengan nada suara tinggi melengking dan aneh berkata:
"Kalau kita berbicara di sini, sudah pasti tidak akan ada orang lain yang ikut mendengar."
Nada suara orang ini seperti suara orang muda, tapi seperti juga suara orang yang sudah tua.
Begitu mendengar suara itu, kontan jantung Un Tay-tay berdebar keras, pikirnya, "Ternyata Seng Toa-nio pun sudah tiba di sini!"
Suara yang mirip orang muda tapi mirip juga suara orang tua ini memang suara khas Seng Toa-nio, siapa pun orangnya, asal pernah mendengar suaranya satu kali saja, maka selamanya tak bakal melupakannya.
Walaupun Un Tay-tay tahu Seng Toa-nio pasti berada di balik rerumputan itu, tak urung hatinya tercekat juga mendengar suaranya.
Terdengar suara yang lain menyahut sambil menghela napas:
"Tidak nyana Lui-pian Lojin dapat menemukan tempat yang begini rahasia, sungguh menggelikan, sudah begini tersembunyi tempat ini, dia masih berkata di tempat ini pasti ada orang sedang mengintainya."
Sekali lagi Un Tay-tay merasa terperanjat setelah mendengar suara itu, pikirnya, "Ternyata Hek Seng-thian pun sudah muncul di sini."
Dengan rasa ingin tahu yang makin membara, kembali dia berpikir:
"Sungguh aneh, kenapa Seng Toa-nio harus mengajak Hek Seng-thian untuk berbicara secara rahasia di sini? Rahasia apa yang hendak mereka bicarakan? Aku harus mendengarkan dengan seksama."
Di tengah hembusan angin yang meng¬goyang rerumputan, suara pembicaraan kedua orang itu terdengar semakin lirih.
Terdengar Seng Toa-nio berkata sambil tertawa dingin:
"Menurut pendapatku, belakangan kesadar¬an si tua bangka itu makin lama semakin tidak jelas, kalau kita harus mengikutinya terus menerus pergi tanpa tujuan, bagaimana mungkin pekerjaan besar dapat dilaksanakan?"
Hek Seng-thian turut menghela napas panjang.
"Aaaai... sayang posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, ingin kabur pun rasanya mustahil."
"Bagaimana jika umpamanya dia mampus?"
Kelihatannya Hek Seng-thian sangat terkejut oleh perkataan itu, sampai lama sekali dia baru berkata lagi:
"Siaute rada tidak paham dengan ucapan Toa-nio."
"Kau mengerti, kau pasti mengerti, malah sejak tadi aku sudah tahu di antara beberapa orang yang tersisa, hanya kau seorang yang paling pantas disebut lelaki sejati, itulah sebabnya aku hanya mengajakmu seorang."
Hek Seng-thian terbungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Seng Toa-nio berkata:
"Walaupun tua bangka itu banyak curiga, namun sama sekali tidak menaruh rasa was was terhadap kita, asalkan kita campuri arak dalam buli-bulinya dengan obat racun, hehehe...."
Hek Seng-thian menarik napas dingin, bisiknya tergagap:
"Tapi... tapi... sekarang kita masih butuh kekuatannya sebagai sandaran, khususnya untuk membalas dendam, jika dia mati... bukankah keadaan ini malah merugikan kita semua?"
Kontan Seng Toa-nio tertawa dingin.
"Masa tidak kau lihat kedua jilid kitab yang berada dalam buntalannya? Di situlah dia telah mewariskan semua ilmu silat yang dimilikinya, asal dia mampus, maka kitab itu akan menjadi milik kita berdua."
Tergerak juga hati Hek Seng-thian sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya tergagap:
"Tapi...."
"Sekarang si Ratu matahari sudah mengasingkan diri, Ya-te pun hilang jejaknya," tukas Seng Toa-nio cepat. "Asal kita berhasil mempelajari ilmu silat si Pecut geledek, dapat dipastikan kita pun bisa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, apa lagi yang kau ragukan?"
Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang, katanya:
"Cuma... putranya itu meski kelihatan agak bloon, dia sangat cerdas, aku kuatir kemampuannya malah jauh di atas kemampuan si tua bangka, aku kuatir sulit menghadapinya."
"Asal yang tua sudah mampus, masa kita masih takut dengan yang muda? Tidak usah menyebut orang lain, dengan mengandalkan sepasang tangan bajamu ditambah sekantung jarum bidadari langitku, ditambah lagi sebilah pedang dari Hau-ji, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawanya!"
Kembali Hek Seng-thian membungkam tanpa menjawab.
Lewat beberapa saat kemudian Seng Toa-nio kembali bertanya:
"Bagaimana?"
"Asal Toa-nio mulai bertindak, Siaute pasti akan membantu."
Seng Toa-nio tertawa ringan, tiba-tiba tanyanya lagi:
"Menurutmu, bagaimana dengan Suto Siau?"
Hek Seng-thian nampak tertegun, sahutnya kemudian:
"Soal ini... Siaute...."
"Hmm! Orang ini sok pintar, dalam hal apapun dia ingin lebih menonjol dari siapa pun," kata Seng Toa-nio sengit, "bukan saja dia tidak pernah memandang sebelah mata terhadapku, dia pun tidak pernah memandang sebelah mata terhadap kalian semua, lihat saja, sampai muridmu pun direbut olehnya, masa kau tidak acuh terhadap semua ini?"
Untuk kesekian kalinya Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang.
"Sebetulnya sejak lama Siaute sudah menaruh perasaan tidak suka terhadap orang ini, tapi mengingat kita semua berasal dari satu persekutuan yang sama, maka aku tidak ingin turun tangan terhadapnya."
"Asal kita sudah pelajari ilmu silat milik Lui-pian, buat apa manusia macam begitu?"
Hek Seng-thian termenung sejenak, kata-nya kemudian:
"Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tangguh, tapi kelicikannya justru jauh melebihi seekor rase, rasanya tidak gampang menyingkirkan manusia macam begini."
"Kalau soal itu tidak perlu kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang matang."
"Apa siasat Toa-nio? Bolehkan Siaute tahu?"
"Siasat ini tergantung pada Che Toa-ho serta Sun Siau-kiau."
"Sun Siau-kiau?" kelihatannya Hek Seng-thian tidak habis mengerti.
"Masa kau masih belum tahu manusia macam apakah Sun Siau-kiau itu?"
"Perempuan ini memang seorang yang amat berbahaya," Hek Seng-thian tertawa, "kelihatan¬nya, kecuali suaminya, asal di kolong langit terdapat lelaki yang dianggap tampan, dia pasti akan berusaha untuk mencicipinya."
"Itulah dia, bukan saja dia telah berbuat tidak senonoh dengan Sim Sin-pek, bahkan berusaha pula menggaet putra Lui-pian, padahal orang yang benar-benar sudah terpikat oleh rayuan mautnya adalah Suto Siau, si rase tua itu."
"Ooh... benarkah itu?" seru Hek Seng-thian tercengang.
"Bukan baru satu dua hari mereka melakukan perzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam-diam, untuk sementara tidak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba...."
"Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?"
"Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Che Toa-ho menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm... hmmm... kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau begitu saja?"
"Tapi... tapi... belum tentu Che Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau."
Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"Mungkin saja Che Toa-ho bukan tanding¬annya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian-sik menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan?"
"Betul," seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula, "sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubut dua jago pedang, niscaya dia akan mampus di tangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton...."
"Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti."
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Aaai... baru hari ini Siaute sadar, ternyata kecerdasan Toa-nio memang luar biasa, betapapun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio."
"Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini."
"Siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar Siaute pun ikut kecipratan rezekinya"
"Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama. Aaai, Cun-hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini aku pun telah mengelabui dirinya, aku berharap kau jangan membocorkan dulu rahasia ini kepadanya."
Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya:
"Siaute belum gila, tidak nanti kubocorkan rahasia besar ini."
"Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini."
Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan, berlalulah kedua orang itu dari situ.
Un Tay-tay sendiri pun ikut menghembus¬kan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan itu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut, dia pun kegirangan, pikirnya:
"Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka babak-belur."
Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran.
Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega sambil berkata:
"Ternyata perkataan Samsiok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular berbisa itu pasti akan saling cakar dan gontok sendiri."
"Sejak kapan perkataan Samsiok pernah keliru," sahut si nona dengan suara sedih, "hanya saja... hanya saja dia orang tua berkata, Jiko dan Samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu... benarkah perkataannya itu...? Aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat sedikit, bila Jiko dan Samko tidak kembali, aku kuatir... aku kuatir...."
Apa yang dia kuatirkan? Kelihatannya gadis itu tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya.
Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa.
Un Tay-tay yang mendengarkan pembicara¬an itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir, "Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?"
Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi berpikir lebih seksama, hanya secara lamat-lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan persoalan ini.
Persoalan apa yang tidak beres? Dia sendiri tidak bisa menjawab.
Kembali mereka menempuh perjalanan selama setanakan nasi lamanya, tiba-tiba Un Tay-tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembus kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah.
Dia dapat merasakan permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidung pun terasa semakin menyengat.
Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur:
"Siapa itu?"
"Ananda yang telah balik," sahut pemuda itu cepat.
"Kemana saja kalian telah pergi? Ayo, cepat masuk!"
Tiba-tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya:
"Tampaknya lagi-lagi kau sembarangan turun tangan? Siapa yang kau bopong?"
Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah terdengar keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar-benar meng¬gidikkan hati.
Biarpun Un Tay-tay belum sempat bertemu orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu.
Terdengar pemuda itu menyahut:
"Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau
"Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!" tukas kakek itu gusar.
"Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan, tapi tidak berhasil menemu¬kan mereka, maka ananda pikir ada baiknya membekuk dia, paling tidak jangan sampai mengganggu orang lain."
"Pikirmu?" ujar kakek itu semakin gusar, "kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarangan? Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah tidak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati-matian untuk bersabar hingga hari ini? Tahukah kau kenapa aku berbuat begini? Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh? Sekarang ... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau... kau anak tidak tahu diri, apakah kau benar-benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini di tanganmu seorang?"
Makin bicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut.
Terdengar suara seseorang segera berkata:
"Harap Toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap."
Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus.
Kakek itu segera mendengus dingin.
"Kenapa masih belum diturunkan!" hardik¬nya.
Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian dia menurunkan tubuh Un Tay-tay ke atas tanah.
Kembali kakek itu berseru:
"Kalian berdua berjaga di depan pintu, Samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya."
Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk tubuh Un Tay-tay.
Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay-tay menghela napas perlahan sambil menggeliat.
Terdengar kakek itu kembali membentak gusar:
"Sudah tiba di sini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?"
"Benar, aku memang sudah bosan hidup," jawab Un Tay-tay pedih.
Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya:
"Siapa kau?"
Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya.
Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap di atas dinding menerangi seluruh ruangan.
Di antara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah penuh wibawa mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis di hadapan¬nya.
Di samping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan.
Sementara muda-mudi yang menangkapnya tadi berdiri di sisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat.
Pakaian yang dikenakan keempat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya.
Un Tay-tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas, ujarnya:
"Ternyata apa yang kuduga tidak salah."
"Apa yang kau duga?" hardik kakek itu
"Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga."
Kakek itu kembali tertegun, paras mukanya kontan berubah hebat.
Begitu pula dengan ketiga orang lainnya, air muka mereka ikut berubah.
Kakek itu kembali maju selangkah, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya Un Tay-tay lekat-lekat, bentaknya:
"Kau bisa membayangkan tampangku? Jadi kau sudah tahu siapakah Lohu?"
"Benar, aku sudah mengetahui siapakah kau orang tua."
"Siapa? Cepat katakan!"
"Aku rasa kau orang tua adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun...."
Belum selesai ia berkata, kakek itu sudah menerkam ke depan, dengan tangan sebelah menarik tubuh Un Tay-tay, tangan yang lain diayunkan siap menampar wajah perempuan itu.
Un Tay-tay sama sekali tidak meronta, dia pun tidak berusaha melawan, ditunggunya kakek itu menampar wajahnya dan ditatapnya kakek itu dengan pandangan tenang, lembut, sama sekali tak terlintas sedikit rasa takut pun.
Ketika sampai di tengah jalan, mendadak kakek itu menarik kembali telapak tangannya, dengan suara keras kembali bentaknya:
"Cepat katakan! Siapa kau? Darimana tahu asal-usulku? Hmmm, kalau berani bicara bohong, akan kusuruh kau menikmati siksaan yang paling keji dari Thiat hiat tay ki bun!"
Di balik nada suaranya yang nyaring bagai guntur, terselip hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati!
Tapi Un Tay-tay sama sekali tidak jeri, malah sedikitpun tidak ada rasa takut atau seram, sekulum senyuman manis tersungging di ujung bibirnya.
"Sudah banyak kudengar tentang kehebat¬an siksaan yang berlaku dalam perguruan Tay ki bun, bahkan keseramannya sudah tersohor di seantero jagad, sayangnya, mati pun aku tidak takut, apa lagi yang mesti kutakuti? Bila kau mengancam dengan siksaan, biar sampai mati pun aku tak bakal bicara."
Kakek itu tidak lain adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun yang tersohor karena ketegasan serta watak keras kepalanya, Im Gi.
Selama ini keangkeran serta kewibawaan¬nya selalu membuat ciut hati siapa pun, belum pernah ada seorang pun yang tidak dibuat pecah nyali oleh perkataannya, tapi sekarang, dia benar-benar tidak menyangka perempuan di hadapannya begitu bernyali, berani membangkang perintahnya.
Biarpun perasaannya sekarang penuh diliputi rasa gusar bercampur tercengang, tidak urung muncul juga suatu perasaan aneh di hatinya, dengan sorot mata berapi ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, kemudian ancamnya:
"Jadi kau benar-benar tidak mau bicara?"
Un Tay-tay mengedipkan mata sambil balik menatap kakek itu, lalu sambil tersenyum dia menggeleng.
"Baik!" bentak Im Gi gusar.
Untuk kedua kalinya dia mengangkat telapak tangannya, tapi tindakannya itu segera dicegah kakek berwajah tampan.
Dengan gusar teriak Im Gi:
"Bukan saja perempuan ini datang sebagai mata-mata untuk mencari berita, dia bahkan begitu berani terhadapku... kau... kenapa kau menarikku? Memangnya kau masih ingin mempertahankan hidupnya?"
Kakek berwajah tampan yang tidak lain adalah Im Kiu-siau, segera menyahut:
"Kalaupun ingin turun tangan, rasanya belum terlambat bila kita tanyai dulu maksud kedatangannya."
Orang ini selalu tampil tenang, halus, sama sekali tanpa emosi, sangat bertolak belakang bila dibandingkan watak Im Gi yang keras dan gampang naik darah.
Kelihatannya Im Gi sangat menurut pada perkataannya, benar saja, dia segera menarik kembali tangannya sambil mundur tiga langkah ke belakang.
Perlahan-lahan Im Kiu-siau berpaling kearah Un Tay-tay, kemudian katanya dengan lembut:
"Bila kami gunakan cara kekerasan dan alat siksa, kau enggan berbicara, sebaliknya kalau kami perlakukan dirimu dengan baik, tentunya kau bersedia untuk bicara bukan?"
"Benar", sambil tersenyum Un Tay-tay manggut-manggut.
"Kalau memang begitu, kau boleh berbicara sekarang."
Un Tay-tay menghela napas panjang, katanya:
"Biar aku tidak pernah bersua dengan kalian, namun sudah sering mendengar dari orang lain tentang tindak-tanduk serta cara kalian bersikap, itulah sebabnya begitu bersua muka hari ini, aku segera dapat menebak siapakah kalian sebenarnya."
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya:
"Aku yakin kau pastilah Im Kiu-siau, tokoh paling cerdas dan paling berakal dalam perguruan Tay ki bun, sementara dua orang yang ada di belakang pastilah Im Ting-ting serta Thiat Cing-su."
Tampaknya Im Kiu-siau sendiri pun tidak menyangka gadis di hadapannya begitu menguasai tentang orang-orang perguruan Tay ki bun, paras mukanya sedikit berubah, ujarnya dengan suara berat:
"Siapa yang mengatakan semua itu kepadamu?"
"Im Ceng... Thiat Tiong-tong...."
Paras muka Im Kiu-siau berubah makin hebat, sementara Im Ting-ting serta Thiat Cing-su menjerit tertahan.
Paras muka Im Gi kelihatan berubah hebat, gejolak emosi, umpatnya:
"Dasar binatang! Binatang! Tidak kusangka kedua orang binatang ini berani membocorkan rahasia perguruan kepada orang lain, Losam, sudah kubilang lebih baik kita cabut nyawa mereka, tapi kau selalu menampik, coba lihat sekarang... aaai! Akhirnya mereka lakukan juga perbuatan terkutuk ini, kau... kau... apa lagi yang hendak kau katakan?"
Im Kiu-siau menghela napas panjang, ia menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
"Mereka mau bicara denganku, karena aku pun bukan orang luar," ujar Un Tay-tay lembut.
"Apa... apa kau bilang?" bentak Im Gi gusar.
"Karena aku adalah istri Im Ceng!"
Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang tertegun dan berdiri bodoh, untuk beberapa saat mereka tidak mampu bergerak, bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak sanggup.
Sekali lagi Im Gi membentak gusar, serunya sambil menghentakkan kaki berulang kali:
"Berontak! Berontak! Dendam berdarah perguruan pun belum terbalas, binatang ini malah berani mencari bini di luaran, bedebah!"
Dengan satu lompatan dia merangsek ke hadapan Un Tay-tay, kembali sebuah pukulan siap dilontarkan.
Im Ting-ting menjerit kaget, cepat dia melompat ke muka dan menghadang di hadapan Un Tay-tay.
"Minggir kau!" bentak Im Gi semakin sewot.
"Kalau dia memang bini Samko, kau... kau orang tua seharusnya...."
"Lohu tidak mengakui perkawinan ini! Binatang, mau minggir tidak?"
Tapi Im Ting-ting tetap menghadang dihadapannya, sementara air mata telah bercucuran membasahi pipinya.
Sambil memeluk kaki ayahnya, gadis itu merengek dengan air mata berderai:
"Bila kau orang tua tidak mau mengakui perkawinan ini, suruh saja mereka bercerai, kenapa mesti menghabisi nyawanya?"
"Siapa bilang aku bersedia cerai dengan¬nya?" tiba-tiba Un Tay-tay berkata.
Biarpun perkataan itu diucapkan dengan lembut, namun terkandung keteguhan hatinya yang sudah bulat.
Im Gi semakin gusar, belum sempat mengucapkan sesuatu, Im Ting-ting sudah berkata lebih dulu:
"Kau... buat apa kau memaksakan diri...."
Un Tay-tay tertawa pedih, katanya:
"Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa merebutnya dari sisiku... selamanya dia akan menjadi milikku, tahukah kalian? Selamanya... selamanya...."
Belum lagi orang lain memahami maksud perkataannya, dengan wajah berubah hebat Im Kiu-siau telah menjerit kaget:
"Jangan-jangan dia... dia sudah...."
Perlahan-lahan Un Tay-tay memejamkan mata, untaian air mata kembali berderai membasahi pipinya.
"Selamanya kalian tidak bakal bisa bertemu lagi dengannya," gumamnya seperti orang sedang mengigau dalam mimpi.
Kontan saja Im Ting-ting menjerit lengking, Thiat Cing-su roboh terduduk ke lantai, paras muka Im Kiu-siau pucat-pias bagai mayat, sementara Im Gi seperti kepalanya dipukul martil besar, seolah tertancap di tanah tanpa berkutik.
Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba-tiba dia menjerit lengking, sambil merobek pakaian di bagian dada, dia membentak nyaring:
"Siapa yang telah mencelakainya?"
Un Tay-tay menggeleng, dia hanya meme¬jamkan mata tanpa menjawab.
Dengan sekali sambaran, Im Gi menceng¬keram rambut perempuan itu, jeritnya lagi:
"Katakan! Cepat katakan! Hutang darah ini harus ditebus dengan lelehan darah!"
Un Tay-tay masih tetap mengertak gigi, tidak sepatah kata pun yang diucapkan.
Tiba-tiba Im Ting-ting menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, dengan air mata berlinang, pintanya:
"Kumohon... kumohon kepadamu, katakan¬lah nama musuh besar pembunuh Samkoku, kalau tidak... kalau tidak, aku akan segera bunuh diri di hadapanmu."
Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, katanya pedih:
"Bukan aku enggan menyebutkan nama musuh besarnya, justru karena sudah kukatakan pun tidak ada gunanya...."
"Kenapa? Kenapa tidak berguna?" teriak Thiat Cing-su nyaring.
"Karena tidak seorang pun di dunia ini yang sanggup membalaskan dendam sakit hatinya," kata Un Tay-tay sambil roboh ke tanah:
"karena orang yang memaksanya mati adalah... adalah Jit ho Nio nio dari pulau Siang cun-to yang tak ada tandingannya."
Sambil menjerit keras Im Gi mundur tiga langkah ke belakang, dia jatuh terduduk di atas sebuah batu hijau.
Dengan wajah pucat keabu-abuan, seru Im Kiu-siau pula:
"Dia sudah mati? Apakah Tiong-tong tahu?"
Tiba-tiba Un Tay-tay mendongakkan kepala, sekarang dia sendiri pun tidak tahu yang meleleh di wajahnya itu air mata atau darah?
"Thiat Tiong-tong sama sekali tidak tahu," sahutnya dengan suara parau:
"karena... karena Thiat Tiong-tong sudah mati lebih dulu!"
Sekalipun kawanan jago perguruan Tay ki bun terhitung manusia dengan hati sekuat baja pun, tak urung mereka sangat terpukul juga setelah mendengar berita ini.
Ketika Un Tay-tay selesai berkata, perubah¬an mimik muka Im Gi sekalian benar-benar tak terlukiskan dengan perkataan apapun... memang tidak seorang pun yang tega melukiskan perubahan wajah orang-orang itu.
Lama dan lama kemudian, Im Gi baru bertanya:
"Ke... kenapa dia bisa mati?"
Kakek yang selama ini tampil gagah dan ulet bagaikan lempengan baja itu sekarang gemetaran keras, semua kewibawaan dan keangkerannya seolah tersapu bersih oleh air mata.
"Aku terlebih tidak boleh menyebut nama orang yang telah mencelakainya," jawab Un Tay-tay kaku.
Mendadak Im Ting-ting melolos sebilah golok tajam dari balik bajunya, lalu ditempelkan di atas dada sendiri.
Dengan air mata bercucuran dan mata memerah bagaikan darah, sepatah demi sepatah dia mengancam:
"Kalau kau enggan bicara, aku segera akan bunuh diri!"
Sambil mengertak gigi dan air mata berlinang Un Tay-tay tetap menggeleng.
"Baiklah!" mendadak Im Ting-ting menekan tangannya ke dalam, ujung golok pun seketika menghujam di atas dadanya, percikan darah segar berhamburan kemana mana, asal dia menghujam sedikit lebih ke dalam, niscaya ujung golok itu akan merobek jantungnya.
Mati-matian Un Tay-tay menarik tangannya sambil menangis tersedu, jeritnya:
"Apakah kalian ingin aku mengatakannya? Baik, akan kukatakan, orang yang telah mencelakai Thiat Tiong-tong adalah... adalah... Im Ceng...!"
"Trangg!", golok itu jatuh rontok ke tanah.
Im Ting-ting langsung jatuh tidak sadarkan diri, sementara Thiat Cing-su tidak sanggup bangkit berdiri.
"Apa? Im Ceng?" seru Im Kiu-siau pula seperti kehilangan sukma:
"benarkah begitu?"
"Tidak! Bukan begitu, kalian... lebih baik bunuhlah aku!"
Sambil berseru dia segera menjatuhkan diri ke tanah.
Cepat Im Kiu-siau membimbingnya bangun, katanya dengan nada mengenaskan:
"Hidup sekian tahun memangnya aku belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Aku., aku hanya merasa sayang, semestinya Tiong-tong adalah... adalah seorang bocah yang mempunyai kemampuan hebat...."
"Betul," sambung Im Gi pula sambil manggut-manggut, "dia adalah seorang anak baik, bila Thian membiarkan dia hidup lebih lama lagi, niscaya dia akan melakukan karya maha besar untuk perguruan Tay ki bun kita, hanya sayang... hanya sayang...."
Mendadak ia mendongakkan kepala sambil berteriak kesal:
"Thian, oooh Thian! Kenapa kau biarkan dia mati muda? Perguruan Tay ki bun sangat membutuhkan tenaganya, kenapa kau biarkah dia mati? Bagaimana dengan kami sekarang? Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, tapi semua kesalahan, dia lakukan demi orang lain, kesalahan yang pantas dimaafkan... selama hidup dia belum pernah melakukan kesalahan karena urusan pribadi...."
"Betul," ujar Un Tay-tay pula sambil menangis, "kalian semua telah salah menuduhnya, kalian sudah tahu bahwa dia itu orang baik, semasa hidupnya kenapa kalian selalu memojok-kan dirinya?"
Sambil memukul tanah dengan tangannya, dia berteriak lebih jauh:
"Bila kalian tahu semua perbuatannya selama ini hanya demi orang lain, demi perguruan Tay ki bun, kenapa semasa hidupnya kalian justru menuduhnya sebagai murid murtad, pengkhianat perguruan? Sekarang dia sudah mati, percuma kalian mengucapkan perkataan semacam itu, sudah kelewat terlambat! Selamanya dia... dia tidak akan mendengar lagi."
Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, meski tidak berbicara maupun bergerak, namun sorot matanya telah berubah jadi merah darah, rambutnya berdiri kaku bagai landak, tampangnya saat itu benar-benar menakutkan.
Pada saat itulah, mendadak dari luar gua berkumandang suara pekikan nyaring yang menusuk pendengaran....

Walaupun saat itu Thiat Tiong-tong belum mati, keadaannya sudah tidak berbeda jauh dengan orang mati.
Istana bawah tanah yang semula indah dan megah, kini telah berubah menjadi neraka dunia yang amat mengenaskan, gelak tertawa, teriakan canda yang dulu mewarnai suasana di situ kini hanya tersisa isak tangis yang memedihkan hati.
Tidak seorang pun di antara kawanan wanita itu yang bisa menghentikan isak tangisnya.
Luka yang diderita San-san sebetulnya sudah mulai membaik, tapi sekarang tambah hari lukanya bertambah parah dan berat, sampai akhirnya dia kurus kering tinggal kulit pembung¬kus tulang, setiap hari kondisinya semakin memburuk dan tidak pernah sadar.
Setiap kali mendusin dari pingsannya, dia pun mulai berteriak:
"Tolong, maafkan aku... maafkan aku... aku mohon...."
Dia berusaha sekuat tenaga bergelut melawan maut, karena dia tahu, begitu mati maka selamanya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menebus dosa.
Hanya dikarenakan dorongan emosinya, semua orang harus menanggung akibatnya, terkubur hidup-hidup dalam ruang bawah tanah yang lebih mengenaskan daripada neraka, apakah kesalahan besar yang telah dilakukannya bisa ditebus hanya dengan sebuah kematian?
Tapi yang membuatnya paling menyesal adalah gara-gara ulahnya Thiat Tiong-tong ikut terkurung dalam ruang bawah tanah, dia lebih suka pemuda itu mencincangnya hingga hancur berkeping-keping ketimbang menanggung rasa sesal yang membuatnya sangat tersiksa.
Tapi sikap Thiat Tiong-tong terhadapnya justru amat tenang, pemuda itu malah menghibur¬nya:
"Semuanya ini merupakan kehendak Thian, kau tidak perlu menyesal."
Penampilan anak muda itu memang sangat tenang dan sama sekali tidak nampak panik, padahal siapa yang bisa membayangkan betapa menderita dan tersiksanya perasaan pemuda itu?
Masa hidupnya belum terlalu lama, saat itu dia masih harus berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar, sementara orang yang paling dikasihi pun sedang menjalankan nasib tragis di luar sana.
Tapi kini dia sama sekali tidak berdaya, dia tidak memiliki kemampuan untuk membantunya.
Dia tidak boleh mati, dia pun tidak ingin mati, tapi sayang dia tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk hidup lebih jauh, dia pun tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk hidup terus....
Kalau diharuskan hidup terus dalam ruangan bagaikan neraka ini, bukankah jauh lebih baik mati ketimbang hidup?
Di samping semua itu, masih ada satu penyesalan besar yang masih mengganjal hatinya.
Dia sempat bertanya kepada Ya-te, memohon penjelasan dari si Kaisar malam:
"Aku mohon kepada kau orang tua, katakanlah rahasia yang menyelimuti perguruan Tay ki bun kami, bila kau orang tua enggan mengatakannya, aku betul-betul akan mati tidak meram!"
Tapi jawaban dari Kaisar malam sungguh di luar dugaannya.
"Rahasia apa? Siapa bilang ada rahasia?"
Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri berlutut, memohon kepadanya.
Kaisar malam pun menjawab:
"Sekalipun ada sesuatu rahasia, aku sendiri pun tidak tahu, lebih baik kau tidak usah mencari tahu, dengan begitu kau bisa mati dengan perasaan tenang, sebab kalau tidak, kau bisa menjadi gila, jadi sinting karena persoalan ini."
Thiat Tiong-tong tidak paham maksud perkataannya itu, dia pun tidak mampu bertanya lagi.
Sebab sekalipun dia mengulang pertanyaan yang sama, belum tentu Kaisar malam bersedia menanggapi.
Kakek maha sakti yang di masa lalu menggetarkan kolong langit itu, kini hanya duduk melongo siang maupun malam, bukan cuma tidak bergerak, makan pun enggan.
Ketika dia enggan melakukan sesuatu, maka tidak seorang pun di kolong langit yang dapat memaksanya. Ketika dia enggan mengucap-kan sesuatu, siapa pula manusia di kolong langit ini yang bisa memaksanya mengucapkan sepatah kata saja?
Kulit tubuhnya yang semula kencang penuh berotot, kian hari kian bertambah kusut dan layu, mulai muncul banyak kerutan, sorot matanya yang semula tajam bagaikan sembilu pun makin lama semakin rendup, semakin tidak bercahaya....
Tampaknya kekuatan hidup yang cemerlang sudah berlalu seiring berjalannya sang waktu, seinci demi seinci bergerak lenyap dari dalam tubuhnya.
Pelapukan yang terjadi tanpa suara dan tanpa wujud ini nampaknya segera akan memusnahkan seluruh kehidupannya, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa menghalanginya, tidak seorang pun dapat menolongnya.
Manusia luar biasa kelihatannya segera akan roboh.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami Thiat Tiong-tong, kekuatan apa pula yang dia miliki untuk menopang kehidupan ini?
Kalau seseorang sudah kehilangan harapan, mungkinkah akan tumbuh semangat juang dalam dirinya?
Di tengah keputus asaan, kematian makin lama semakin mendekat!
Thiat Tiong-tong hanya bisa berdoa kepada Thian, "Oooh, Thian, kumohon kepadamu berilah kehidupan yang layak untuk Im Ceng, dialah satu-satunya harapan untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, semua harapan yang tersisa kini hanya ada di atas pundaknya."
Tapi... dimanakah Im Ceng sekarang? Apakah dia pun masih hidup?
Thiat Tiong-tong rela mengorbankan segalanya asal bisa memperoleh berita tentang Im Ceng, tapi seandainya saat itu dia benar-benar memperoleh berita tentang Im Ceng, mungkin pemuda ini sudah membenturkan kepalanya ke atas batu cadas dan bunuh diri.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now