23. Saling Punya Rencana

1.5K 32 2
                                    

Padahal persoalan penting yang memenuhi benak Thiat Tiong-tong saat ini bukan hanya dua hal saja.
Kenapa paman Sim nya bisa terjatuh ke tangan liong Lo-su? Bagaimana keselamatan perguruannya? Apakah sudah dihabisi oleh si tangan beracun itu? Rahasia apa yang terdapat dibalik budi dendam perguruan Tay ki bun?
Duduk perkara yang sebenarnya dari beberapa masalah itu merupakan hal penting baginya untuk segera ditelusuri, dia bahkan merasa sedetikpun tidak bisa menahan diri lagi, namun sebelum melakukan penyelidikan atas ke tiga masalah tersebut, pertama-tama dia harus menemukan Hong lo su serta paman Sim nya terlebih dulu, sedang mengenai masalahnya yang terakhir, dia masih teringat dengan ucapan Cu hujin kepada Cu Cau menjelang ajalnya:
"Semua budi dendam serta rahasia yang menyangkut Perguruan Tay ki bun hanya diketahui secara jelas oleh ayahmu seorang, dia belum mati......sekalipun Kaisar malam belum mati, tapi dimanakah dia? Siapa yang tahu akan hal ini?
Pertolongan serta bantuan dari kawanan perempuan bercadar itu jauh diluar dugaan siapa pun, bukan cuma membantu, mereka bahkan mengundangnya untuk berkunjung ke pulau Siang cun-to.
Salah satu dari tiga permintaan Cu hujin yang harus dia laksanakan adalah menemukan wanita penghantar nasi yang buta matanya itu, padahal seluruh gadis itu kemungkinan besar sudah diangkut balik ke pulau Siang cun-to oleh perempuan-perempuan bercadar itu, karenanya pulau Siang cun-to telah menjadi salah satu target yang wajib dikunjungi, siapa tahu di pulau tersebut dia akan berhasil mendapatkan berita tentang Hong Lo-su serta kaisar malam.
Setelah melakukan pembenahan secara kilat atas semua masalah pelik yang sedang dihadapi, Thiat Tiong-tong segera mengambil keputusan, bagaimana pun juga dia harus berkunjung dulu ke pulau Siang cun-to.
Ketika sinar senja belum hilang sama sekali dari cakrawala, Thiat Tiong-tong sudah duduk disebuah batu cadas dikaki gunung, tempat dimana dia pernah duduk sebelum naik gunung tempo hari.
Dengan termangu dia duduk disitu, menerawang kejauhan dengan mata sayu, dia tidak tahu dimanakah letak pulau Siang cun-to, apakah ada umat persilatan yang mengetahui tempat itu?
"Kalau ditinjau dari makna namanya, jelas pulau Siang cun-to berada di tengah lautan!" demikian dia berpikir.
Maka setelan membenahi bajunya, berangkat¬lah pemuda itu menuju ke arah timur.
Ketika tiba di pesisir pantai, walaupun dia sudah berulang kali mencari berita dari para nelayan yang sudah puluhan tahun hidup di lautan, tapi ternyata todak seorang pun yang pernah mendengar tentang pulau Siang cun-to.
Seorang nelayan tua yang wajahnya penuh keriput berkata begini:
"Sudah hampir lima puluhan tahun aku hidup dilautan, asal disini terdapat sebuah pulau yang bernama Siang cun-to, mutahil aku tidak mengetahuinya"
Mendengar jawaban itu, Thiat Tiong-tong percaya apa yang dikatakan bukan omong kosong belaka, tidak tahan diapun menghela napas panjang.
"Aaai, apabila kau orang tua pun tidak tahu, rasanya memang tidak ada pulau tersebut di luar lautan"
"Perkataan siauya tepat sekali"
Thiat Tiong-tong menghabiskan dua hari lamanya untuk menelusuri sepanjang pesisir pantai, namun hasilnya tetap nihil, yang dia peroleh tidak lebih hanya bau asin air laut yang menempel diatas pakaiannya.
Dengan perasaan masgul dan putus asa terpaksa dia berbalik lagi menuju ke arah barat, tidak sampai satu hari dia sudah melewati bukit Go-uau dan tiba di kota Meh-shia.
Setelah menempuh perjalanan seharian penuh, saat itu Thiat Tiong-tong berencana mencari tempat penginapan, baru saja dia melahap semangkuk mie, mendadak terdengar ada orang berteriak keras:
"Cepat lihat, cepat lihat, kawanan Seng-kou (bibi suci) kembali melewati tempat ini!"
Sebagian besar orang yang berada dalam warung itu serentak berlarian keluar, bahkan satu demi satu menjatuhkan diri berlutut ditepi jalan.
Terdorong rasa heran dan ingin tahu, tidak tahan Thiat Tiong-tong ikut berjalan keluar dari warung.
Tiba-tiba dia merasa ada orang menarik ujung bajunya sambil berbisik:
"Seng kou sudah tiba, kenapa kau tidak berlutut?"
Thiat Tiong-tong tidak ingin membantah, terpaksa dia pun ikut berlutut.
Tidak selang berapa saat kemudian terdengar orang-orang di ujung jalanan mulai bersorak sorai:
"Seng kou........seng kou........."
Ditengah teriakan dan sorak sorai yang gegap gempita tampak ada enam, tujuh orang perempuan berjubah panjang warna hitam dan mengenakan kain cadar berwarna hitam berjalan lewat.
Gaya mereka sewaktu berjalan aneh sekali, bahunya tidak nampak bergerak, tangan pun tidak nampak diangkat, asal sepasang kakinya menutul diatas tanah maka tubuh mereka pun bergerak dengan sangat ringan.
Sekalipun begitu, ternyata mereka dapat bergerak cepat sekali, cepat dan ringan bagaikan sedang menunggang angin.
Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur kegirangan, bukankah mereka adalah para utusan yang dikirim Ratu matahari dari pulau Siang cun-to?
Tapi kalau dilihat dari potongan tubuh orang orang itu, kelihatannya mereka bukan kawanan wanita yang muncul di tempat kediaman Cu Cau tempo hari.
Diam-diam Thiat Tiong-tong pun berpikir:
"Perduli mereka adalah rombongan yang tempo hari atau bukan, asal mereka sedang balik ke pulau Siang cun-to, aku dapat mengintil dari belakangnya"
Dibelakang rombongan wanita bercadar hitam itu mengikuti sebuah kereta kuda yang tertutup rapat pintu serta jendelanya.
Saat itulah terdengar orang yang menariknya agar berlutut itu berbisik:
"Kelihatannya kau berasal dari luar daerah, tahukah kau, bukan saja kawanan Seng kou itu berwelas asih bahkan memiliki ilmu yang luar biasa"
Thiat Tiong-tong tahu kawanan orang dusun itu telah memandang kawanan perempuan bercadar itu bagaikan malaikat, itulah sebabnya mereka menaruh sikap yang begitu menghormat.
Namun kalau didengar dari nada bicaranya, besar kemungkinan para wanita bercadar itu pasti pernah melakukan perbuatan terpuji, entah mengapa, ternyata secara diam-diam Thiat Tiong-tong ikut merasa gembira.
Tidak selang berapa saat kemudian kawanan wanita bercadar itu sudah melewati jalanan itu, selama ini tidak seorangpun diantara mereka yang pernah celingukan kesana-kemari, mereka berjalan secara teratur dengan mata memandang ujung hidung, hidung memandang ke hati.
Kini sorak sorai telah berakhir, semua orang pun telah bangkit berdiri. Diam-diam Thiat Tiong-tong melampaui kerumunan orang banyak dan mulai menguntit jauh di belakang kawanan wanita bercadar itu.
Untung saat itu malam sudah menjelang tiba sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak menimbulkan perhatian orang.
Tapi Thiat Tiong-tong tidak berani menempel kelewat dekat, diakuatir jejaknya ketahuan.
Tiba-tiba seorang perempuan bercadar yang berjalan paling belakang menghentikan langkah-nya dan menengok ke belakang.
Dengan hati tercekat Thiat Tiong-tong segera berpikir:
"Jangan-jangan jejakku ketahuan mereka dan dianggap punya niat jahat"
Dia tidak ingin terjadi bentrokan secara langsung dengan kawanan wanita bercadar itu, maka cepat tubuhnya menyelinap ke samping siap menyembunyikan diri.
Siapa tahu perempuan bercadar yang berdiri ditengah remang remangnya cuaca itu ternyata menggapai ke arahnya.
Sadar kalau tidak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa sambil bulatkan tekad Thiat Tiong-tong berjalan menghampiri.
"Kemari!" bisik perempuan bercadar itu sambil menyelinap ke sisi jalan dan bersembunyi ke balik pepohonan.
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, pikirnya:
"Kalau dibilang dia adalah salah satu diantara kawanan perempuan yang pernah kujumpai berapa waktu berselang, kenapa tindak tanduknya begitu sok rahasia? Kalau dibilang dia berasal dari kelompok lain, dari mana bisa kenal aku?"
Walaupun pelbagai kecurigaan menyelimuti perasaan hatinya toh pemuda itu tetap berjalan mendekatnya.
Bagaikan sukma gentayangan perempuan berbaju hitam itu berdiri di bawah rindangnya pepohonan, kembali dia berbisik:
"Kemarilah lebih dekat"
"Cianpwee" ujar Thiat Tiong-tong sedikit sangsi, "apakah kau ada sesuatu petunjuk? Cayhe........."
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan, tegurnya:
"Masa kau sudah tidak mengenali suaraku lagi?"
Suaranya manis, indah, lembut dan penuh daya tarik.
"Un Tay-tay!" teriak Thiat Tiong-tong, menjerit lantaran kaget.
"Betul!" dengan jari tangannya yang lentik perempuan berbaju hitam itu melepaskan kain cadar penutup wajahnya, maka terlihatlah sebuah raut muka yang cantik bak bunga mekar dengan mata yang bening bagai permukaan air danau.
Siapa lagi dia kalau bukan Un Tay-tay?
Terkejut bercampur girang seru Thiat Tiong-tong lagi:
"Kenapa.....kenapa kau bisa bergabung dengan mereka?"
Kemudian seakan teringat akan sesuatu, tanyanya lagi terperanjat:
"Bagaimanakeadaan Im samteku?"
Sekilas rasa murung bercampur sedih melintas dibalik mata Un Tay-tay, sahutnya setelah menghela napas:
"Aaai... panjang untuk menceritakan kejadian ini, aku hanya bisa memberitahukan secara ringkas"
"Samte, dia.....apakah lukanya telah sembuh?"
"Bukan hanya lukanya sudah sembuh, malah kungfu nya maju sangat pesat"
"Si.... siapa yang telah menolongnya?" tanya Thiat Tiong- tong kegirangan.
"Bu-si thaysu!"
"Ketua Siau-lim-pay?" Thiat Tiong-tong semakin girang, "aaah, tampaknya samte memang punya rejeki baik, tidak nyana Bu-si thaysu mau meringankan tangan mengajarinya ilmu silat"
Ternyata Bu-si thaysu dari Siau-lim-pay ini bukan saja merupakan Pendeta sakti nomor satu dijagad saat itu, nama maupun kedudukannya dalam dunia persilatan pun amat tinggi dan terhormat, jarang ada yang bisa menandinginya.
Tapi sudah cukup lama pendeta itu hidup mengasingkan diri, dalam belasan tahun terakhir nyaris belum pernah ada yang berjumpa dengannya, tidak heran kalau Thiat Tiong-tong kegirangan setengah mati setelah mendengar kabar itu.
"Hari itu dengan susah payah akhirnya aku berhasil membawanya keluar dari lorong bawah tanah" cerita Un Tay-tay, "sesuai dengan nasehatmu, akupun langsung menghantarnya ke kuil Siau-lim-sie di bukit Siong-san"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Kuil Siau-lim amat ketat penjagaannya, aku tidak habis mengerti dengan cara apa kau bisa masuk ke dalam kuil dan berjumpa dengan Bu-si thaysu?"
"Kau tidak perlu tahu dngan cara apa aku berhasil masuk ke dalam kuil" sahut Un Tay-tay sambil tertawa sedih, "pokoknya aku berusaha masuk, berusaha bertemu Bu-si thaysu dan minta kepadanya untuk mengobati luka Im Ceng"
Dari tertawanya yang begitu pedih, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau pengalaman yang dialaminya selama itu pasti penuh kegetiran dan kesedihan, sebab dia tahu kendatipun perjalanan dari pintu kuil Siau-lim hingga ke depan kamar Hong tiang kelihatannya datar dan halus, dalam kenyataan jauh lebih sulit ketimbang mendaki bukit terjal atau menuruni jurang curam.
Tapi berhubung Un Tay-tay nampaknya enggan bercerita, tentu saja Thiat Tiong-tong kurang leluasa untuk mendesaknya lebih jauh, tentu saja dia tidak menyangka kalau kegetiran dan kesulitan yang harus dilaluinya selama ini kecuali Un Tay-tay seorang, mungkin orang lain tidak akan mampu melampauinya.
Rupanya hari itu ketika Un Tay-tay dengan membopong Im Ceng tiba di kuil siau-lim, dia sudah berada dalam keadaan lelah dan kehabisan tenaga, dengan segala daya dan upaya dia ingin bertemu tianglo kuil tapi selalu ditolak oleh para pendeta penerima tamu diluar pintu.
Menyaksikan pintu kuil tertutup rapat Un Tay-tay hanya bisa berlutut didepan pintu sambil menangis dan merengek, sebesar apa pun nyalinya tidak mungkin dia berani menerjang masuk secara paksa.
Sayangnya walaupun dia sudah berlutut setengah malaman, walau suara tangisannya telah membuat dia jadi parau, namun penghuni kuil Siau-lim tetap tidak ambil perduli, menggubris pun tidak.
Hal ini bukan disebabkan jiwa para pendeta Siau-lim yang kelewat keji dan tega, masalahnya nama dan pamor Siau-lim-pay kelewat besar, kelewat termashur, dalam ratusan tahun terakhir ada begitu banyak orang yang naik gunung mohon bantuan.
Menghadapi permintaan yang begitu meluber tentu saja pihak Siau-lim-pay tidak bisa mengabulkannya, apalagi diantara mereka yang datang, banyak diantaranya merupakan penjahat kambuh atau tokoh jahat yang kabur kesitu karena sedang diburu petugas negara atau para penegak keadilan.
Malah ada banyak diantaranya yang pura-pura berlagak sakit atau terluka, padahal sebetulnya berniat mencuri belajar ilmu silat partai itu, jika pihak Siau-lim-pay menerima semua permintaan itu, bukankah tempat suci sang Buddha bakal berubah jadi tempat yang nista, kotor dan penuh dosa.
Itulah sebabnya pihak Siau-lim-sie menerap¬kan peraturan yang sangat ketat, kecuali ada yang merekomendasi atau orang itu benar-benar seorang pendekar sejati, jangan harap yang lain bisa melangkah masuk ke dalam kuil.
Un Tay-tay tidak ada yang memberi rekomendasi, diapun bukan seorang pendekar kenamaan, bukan hal yang aneh jika permintaannya ditampik mentah-mentah.
Entah suatu keberuntungan atau justru merupakan satu musibah, disaat yang amat menyulitkan itulah mendadak terasa ada angin berhembus lewat, entah sejak kapan, tahu-tahu dibelakang tubuhnya telah muncul seorang kakek berjubah ungu.
Biarpun angin yang ditimbulkan sewaktu datang amat ringan ternyata dia memiliki perawakan tubuh tinggi besar, sekilas pandang, kakek itu mirip malaikat raksasa yang datang dari langit.
Dia mempunyai alis mata yang tebal dengan mata yang tajam, dagunya memelihara cambang berwarna merah keungu-unguan, setelah memper¬hatikan Un Tay-tay beberapa saat lalu menegur:
"Nona cilik, kenapa kau menangis?"
Ternyata dia memiliki suara yang keras bagai guntur yang menggelegar di angkasa.
Melihat kemunculan orang itu Un Tay-tay nampak terperanjat, namun setelah melihat kakek itu tidak berniat jahat, secara ringkas dia pun menuturkan kisah kejadiannya.
Selesai mendengar penuturan itu, si kakek tinggi besar itu kontan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha...... kalau ingin bertemu Bu-si hweesio mah gampang sekali, tapi aku tidak pernah mau membantu orang tanpa imbalan, kecuali setelah berhasil nanti kaupun berjanji mau memberi upah kepadaku"
"Walaupun siauli tidak punya apa-apa, tapi masih memiliki sedikit uang"
"Hahahaha...... buat apa uang? Aku sudah memiliki banyak sekali, lagipula buat apa aku mesti menolongmu kalau cuma gara-gara sedikit barang rongsok? Aaah, masa kau pandang begitu tidak berharga diriku?"
"Tapi kecuali uang, siauli benar benar tidak......tidak memiliki benda lain sebagai imbalan"
"Kalau begitu lanjutkan saja berlututmu!" kata si kakek sambil berjalan menuju ke arah pintu.
Melihat kondisi Im Ceng yang makin lama semakin bertambah parah, Un Tay-tay sadar bila tidak diberi pertolongan secepat mungkin, bisa jadi keadaan akan terlambat.
Akhirnya sambil menggigit bibir dia berteriak keras:
"Cianpwee, tunggu sebentar"
"Apakah kau sudah teringat ada benda lain yang bisa diberikan kepadaku?" tanya kakek berjubah ungu itu sambil membalikkan tubuh.
"Benar!"
"Apa itu?" berkilat sepasang mata si kakek.
"Tubuhku!"
Kakek berjubah ungu itu segera mendongak-kan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,....... betul, betul sekali! Kalau bukan lantaran menunggu jawaban ini, buat apa aku mesti membuang banyak waktu, biarpun jawaban sedikit agak terlambat, paling tidak toh membuktikan kau memang perempuan pintar"
Tiba-tiba dia menghentikan gelak tertawanya, kemudian ujarnya lagi dengan nada keras:
"Tapi ingat, kau sendiri yang rela menjanjikan hal itu, aku tidak pernah berusaha memaksamu, jadi sampai waktunya kau jangan mencoba ingkar janji"
"Bagaimana kalau sebaliknya kau gagal mengajak kami masuk ke dalam?" Un Tay-tay balik bertanya, meski wajahnya tetap tenang, meski pancaran matanya tetap hangat namun perasaan hatinya telah mendingin, mati!
"Kalau tidak sanggup membawamu masuk, akan kuserahkan batok kepalaku ini"
"Tapi.... sekalipun kau dapat membawa masuk kami berdua, akupun tidak bisa langsung........."
"Aku tahu, kau masih ingin menemani bocah muda setengah mampus itu berapa hari lagi bukan" tukas kakek berjubah ungu itu cepat.
"Bukan berapa hari, tapi berapa puluh hari" Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha....... perempuan yang sangat lihay, sebelum ini belum pernah kujumpai perempuan macam kau, baiklah, kuberi waktu selama empat puluh hari, selewat empat puluh hari, tubuhmu akan menjadi milikku"
"Tapi perasaan hatiku tetap akan menjadi milikku sendiri" sambung Un Tay-tay segera.
Kakek berjubah ungu itu agak tertegun, tanyanya tanpa terasa:
"Berapa nilai hatimu itu?"
"Harus ditukar dengan nyawamu!"
"Hahahaha...... bagus, bagus sekali" kembali kakek berjubah ungu itu tertawa tergelak, "tidak nyana di usia senja aku bisa bertemu perempuan macam kau, sayang perjumpaan kita tidak terjadi lebih awal"
"Sekalipun perjumpaan terjadi lebih awal, kau tetap tidak akan peroleh apa-apa"
Arti perkataan itu jelas sekali, maksudnya andaikata aku bukan sedang memohon bantuan¬mu, mana mungkin akan kuserahkan tubuhku kepadamu?
Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali....... cepat sebut, siapa namamu"
"Un Tay-tay!"
Sekali lagi kakek berjubah ungu itu memperhatikan tubuhnya berapa kejap, mendadak dia membalikkan tubuh dan berteriak keras:
"Hei, apakah ada hwesio didalam kuil? Kalau masih ada yang hidup, cepat keluar!"
Suaranya yang keras bagai guntur membuat daun jarum pohon siong yang tumbuh disekitar sana rontok berguguran.
Tidak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka orang dan muncul seorang pendeta berjubah abu-abu, tampaknya dia dibuat terperanjat oleh suara teriakan itu.
Walau masih nampak kaget namun sambil menahan diri pendeta itu segera memberi hormat seraya bertanya:
"Sicu ada urusan apa?"
"Aku ingin bertemu Bu-si!"
Sekali lagi paras muka pendeta itu sedikit berubah, apalagi melihat orang itu begitu berani menyebut langsung nama hongtiang nya.
"Cousu sudah banyak tahun tidak menerima tamu!" kembali sahutnya dengan kening berkerut.
"Hmm, orang lain boleh saja tidak dijumpai, tapi dia harus bertemu aku"
"Boleh tahu nama sicu?" tanya pendeta itu dingin.
"Hmm, kau belum berhak untuk mengetahui namaku!" bentak kakek berjubah ungu itu keras.
Tiba-tiba dia membalikan tubuh, sepasang tangan dilontar keluar dari balik bajunya dan.....
"Blaaaam!" sebatang pohon siong yang tumbuh disisi pintu kuil seketika terhajar patah jadi dua bagian, separuh bagian diantaranya berikut daun dan ranting langsung roboh ke arah pendeta itu.
Menyaksikan betapa dahsyatnya kemampuan lawan, rasa ngeri bercampur takut segera memancar keluar dari balik wajah pendeta itu, tanpa banyak bicara lagi tergopoh-gopoh dia lari masuk ke dalam kuil.
Un Tay-tay sendiripun berdiri terbelalak menyaksikan kehebatan kakek itu.
Terdengar si kakek kembali berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha..... kalau aku tidak sedikit mendemonstrasikan kemampuanku, pendeta itu pasti tidak akan memberi laporan"
Tidak selang berapa saat kemudian tampak seorang pendeta berjenggot putih muncul dari balik ruangan, tapi begitu bertemu dengan kakek berjubah ungu itu, paras mukanya seketika berubah hebat.
"Hui-keng, kau masih kenali aku?" bentak kakek berjubah ungu itu.
"Aaah, rupanya cianpwee yang datang" buru-buru Hui-keng, pendeta berjenggot putih itu menjura dalam dalam, "pinceng segera akan memberi kabar kepada guru, pinceng rasa suhu pasti akan segera datang menyambut"
"Cepat, cepat!"
"Baik, baik!" kembali Hui-keng masuk ke dalam kuil dengan tergesa-gesa.
Sudah cukup lama Un Tay-tay tahu kalau Hui-keng thaysu termasuk salah satu pendeta kenamaan dari Siau-lim-pay, dia tidak menyangka kalau hwesio itu menaruh rasa takut, jeri bercampur hormat terhadap kakek berjubah ungu itu, kenyataan tersebut membuat perasaan hatinya makin tercekat.
Tidak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka lebar-lebar dan muncullah tujuh orang pendeta beralis putih, sambil memberi hormat serentak mereka berseru:
"Hongtiang mempersilahkan sicu untuk masuk"
Kakek berjubah ungu itu mendengus dingin.
"Hmmm, aku lihat lagak si hwesio tua itu makin lama semakin besar" serunya, "dia berani tidak menyambut kedatanganku.......Un Tay-tay, bopong dia dan ikut aku masuk!"
Benar saja, para pendeta Siau-lim itu tidak ada yang berani menghalangi, mereka membiarkan Un Tay-tay dengan membopong Im Ceng masuk ke dalam ruang kuil.
Tampak dua baris pendeta berdiri berjajar sepanjang jalan, diantara asap dupa yang harum, paras muka mereka nampak serius, sepasang tangan dirangkap didepan dada, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, dalam sekilas pandang wajah mereka mirip patung patung Buddha yang terbuat dari batu cadas, membuat suasana terasa makin mencekam.
Un Tay-tay mencoba untuk melirik sekejap, tapi setelah menyaksikan suasana tersebut dia tundukkan kepalanya semakin rendah, tidak berani memandang lagi.
Mereka berjalan jauh sekali ke dalam halaman kuil, dari jalan beralas batu berubah jadi jalan beralas pasir halus, lalu dari pasir halus beruba jadi jalan berbatu kerikil.
Entah berapa lama mereka sudah berjalan, akhirnya tibalah disebuah tempat dengan alas rerumputan yang hijau dan lembut, lamat-lamat terendus bau kayu cendana yang harum, dia tahu mereka sudah tiba di ruang Hongtiang, hal ini membuatnya semakin tidak berani celingukan.
"Bu-si lo-hweesio, apakah kau ada di dalam?" terdengar kakek berjubah ungu itu menegur.
Dari balik ruangan yang tertutup tirai bambu, tirai yang sudah berubah menjadi warna kuning karena asap dupa, terdengar seseorang menyahut dengan suara berat dan mantap:
"Tamu lama yang datang berkunjung, silahkan masuk"
"Selamanya aku tidak akan mengunjungi ruangan yang dipenuhi bau cendana" tampik kakek berjubah ungu itu cepat.
"Harap maklum, lolap pun tidak pernah keluar ruangan untuk menyambut sendiri kedatangan tamu!"
"Kau tidak perlu keluar, aku hanya ingin bertanya satu hal"
"Tanyakah saja!" ucap orang dibalik tirai bambu.
"Kau masih akan mengurusi persoalan itu atau tidak?"
"Persoalan yang mana?"
Kakek berjubah ungu itu kontan tertawa dingin.
"Persoalan yang mana tidak perlu lagi dijelas¬kan, kita sama-sama sudah tahu dengan sangat jelas. Selama puluhan tahun, persoalan itu tidak pernah mengusik kau maupun aku, sekarang sebetulnya kau masih mau mengurusi atau tidak?"
Orang dibalik tirai bambu itu termenung berapa saat, kemudian ia baru menjawab:
"Mengurus adalah tidak mengurus, tidak mengurus adalah mengurus, sicu mendesak terus untuk menanyai hal ini, apakah kau sudah mulai merasa asor!"
"Hey hwesio tua, permainan busuk apa yang sedang kau lakukan, aku tidak paham" seru kakek berjubah ungu itu sambil berkerut kening.
"Mengerti adalah tidak paham, tidak paham adalah mengerti"
"Hahahahaha.....bagus.....bagus, kini aku telah datang sia-sia, tidak datang juga tidak sia-sia, urusan itu mau meledak juga boleh, tidak meledak pun juga boleh"
"Omintohud, akhirnya sicu memahami juga"
Sekali lagi kakek berjubah ungu itu terbahak bahak:
"Panji besar adalah panji kecil, panji kecil adalah tiada panji, cinta adalah dendam, cinta adalah benci......perkataanku benar bukan?"
"Kau sudah mengerti......kau sudah mengerti!"
Kakek berjubah ungu itu mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak, mendadak ujarnya lagi:
"Ada seseorang yang setengah mampus mohon pertolonganmu, kini sudah kubawa kemari, mau ditolong atau tidak terserah kau sendiri, mau membiarkan dia mampus didepan kamar Hongtiang mu pun tidak ada sangkut pautnya denganku......pergilah!"
Ketika mengucapkan kata yang terakhir tiba-tiba dia tangkap tubuh Un Tay-tay serta Im Ceng kemudian melemparnya ke dalam kamar Hongtiang. Serunya lagi sambil tertawa tergelak:
"Empat puluh hari kemudian, kemana pun kau pergi, aku tetap bisa menemukan dirimu kembali"
Un Tay-tay hanya merasakan desingan angin berhembus lewat dari sisi telinganya, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur masuk ke dalam ruangan melalui jendela.
Dia sangka bantingannya kali ini paling tidak akan membuatnya kesakitan setengah mati, siapa tahu penggunaan tenaga yang dilakukan kakek berjubah ungu itu ternyata sangat tepat.
Baru saja Un Tay-tay terkesiap, tahu-tahu tubuhnya sudah berdiri tegap didalam ruangan, sementara gelak tertawa kakek berjubah ungu itu kedengaran semakin jauh, sesaat kemudian suasana sudah pulih kembali dalam keheningan.
Suasana didalam kamar hongtiang amat hening dan sepi, Bu-si thaysu duduk bersila bagaikan sebuah patung dewa.
Un Tay-tay tidak berani menatap wajahnya, dia hanya berlutut sambil memohon.
"Siapa kau? Siapa pula dia?" tanya Bu-si thaysu.
"Siauli Un Tay-tay, dia adalah Im Ceng, murid Perguruan Tay ki bun"
Begitu mendengar kata Tay ki bun, sepasang alis mata Bu-si thaysu nampak sedikit bergetar, katanya lagi dengan suara dalam:
"Apakah sebelumnya kalian berdua tidak pernah kenal dengan manusia berbaju ungu itu?"
Mendengar pertanyaan itu dengan keheranan Un Tay-tay berpikir:
"Thaysu ini sama sekali tidak pernah meninggalkan pintu kamar, dari mana dia tahu kalau orang tua itu mengenakan baju ungu, dari mana pula bisa tahu kalau aku tidak kenal dengannya?'
Meski terperanjat bercampur keheranan, dia tidak berani berbohong, apayang dialaminya selama ini pun diceritakan secara ringkas.
Selesai mendengar penuturan itu, Bu-si Thaysu mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, katanya:
"Buddha maha pengasih, Buddha maha penyayang.....ternyata dia yang menghantar murid Tay ki bun untuk berobat disini .......takdir, takdir!"
Makin didengar Un Tay-tay semakin keheran¬an, namun dia tidak berani banyak bertanya.
"Baik!" ujar Bu-si Thaysu kemudian, "pinceng akan mengobati lukanya, kau boleh pergi!"
Mimpi pun Un Tay-tay tidak menyangka kalau pendeta sakti dari Siau-lim-pay ini dengan begitu mudah menyanggupi permintaannya, dia merasa terkejut bercampur kegirangan, namun ketika mendengar dia diharuskan pergi, dengan agak gugup serunya:
"Tapi siauli......."
"Ajaran Buddha mengutamakan hukum sebab akibat" tukas Bu-si Thaysu cepat, "kau telah menyanggupi permintaannya berarti kau telah menanamkan sebab, karena ada sebab tentu ada akibat, akibat yang harus kau selesaikan sendiri, jangan mengurusi orang lain"
"Siauli telah menyanggupi permintaannya, tentu masalah ini akan kuselesaikan sendiri" kata Un Tay-tay dengan air mata bercucuran, "siauli hanya memohon kepada thaysu, ijinkan lah siauli berdiam selama berapa hari disini, menunggunya hingga dia sembuh dari lukanya"
Bu-si Thaysu pejamkan mata sambil termenung berapa saat, gumamnya kemudian:
"Orang yang kelewat romantis pasti akan tersiksa karena cinta...... aaai..... dihalaman luar sana terdapat sebuah kamar kayu bakar, tinggallah disana, setiap hari kau hanya boleh masuk halaman ini selama setengah jam"
"Terima kasih Thaysu" Un Tay-tay berseru sambil menyembah.
"Pinceng hanya bisa melanggar peraturan sampai disini, sekarang pergilah!"
Ketika selesai mengisahkan pengalamannya, kembali Un Tay-tay tertawa getir, dia tidak ingin orang lain ikut bersedih hati atas kemalangan yang menimpa dirinya.
Terdengar Un Tay-tay berkata lebih jauh:
"Sebenarnya kuil Siau-lim-sie tidak menampung kaum wanita, tapi kali ini Bu-si Thaysu telah melanggar kebiasaan, dia ijinkan aku tinggal disitu bahkan setiap hari aku diijinkan menengok Im Ceng satu kali"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, ujarnya:
"Sikap baik Bu-si Thaysu terhadapmu sama artinya kalau kau telah berhutang budi kepadanya"
Darimana dia tahu penderitaan yang harus dialami Un Tay-tay selama berdiam dalam gudang kayu bakar, darimana dia tahu kalau perempuan itu hanya berdiam dalam sebuah gudang kayu bakar?
"Ternyata Bu-si Thaysu bukan saja memiliki ilmu silat yang hebat, diapun memiliki ilmu pertabiban yang luar biasa, tiga hari kemudian luka yang diderita Im Ceng sama sekali telah sembuh, bahkan dia dapat bergerak"
Setelah tertawa pedih, lanjut perempuan itu:
"Melihat lukanya begitu cepat telah sembuh, tentu saja aku merasa amat girang, apalagi ketika mendengar Bu-si Thaysu akan mengajarinya ilmu silat, rasa senang ku tidak terlukiskan, tapi.......tapi........"
"Tapi kenapa?" tanya Thiat Tiong-tong ketika melihat perubahan aneh di wajahnya.
"Sejak awal hingga akhir, ternyata Im Ceng tidak pernah mengajakku bicara, walau hanya sekecap pun"
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Kenapa.....kenapa bisa begitu......." bisiknya.
Membayangkan kembali bagaimana pengor¬banan yang dilakukan Un Tay-tay demi selamatkan nyawa Im Ceng, melihat nasib tragis yang menimpanya sekarang tidak urung pemuda itupun ikut merasa sedih.
"Dia bahkan tidak menengok sekejappun ke arahku" ujar Un Tay-tay sambil tertawa pedih, "tapi aku tahu kalau dulu sudah kelewat melukai hatinya, maka aku tidak menyalahkan dia"
"Apakah sekarang kau sudah benar-benar jatuh hati kepadanya?"
Un Tay-tay hanya tutup mulutnya tanpa menjawab, sementara air matanya berurai makin deras.
"Apakah karena dia tidak menggubrismu maka kau enggan menceritakan semua kedukaan dan penderitaan yang kau alami kepadaku? Apakah lantaran itu kau menguraikan kejadian ini secara ringkas?"
Tidak kusangka ternyata dia memahami perasaan hatiku, hanya dia yang memahami perasaan hatiku!" batin Un Tay-tay dengan air mata berurai.
Sekarang dia merasa sedih, diapun merasa berterima kasih, entah kenapa, perasaan hatinya terhadap Thiat Tiong-tong saat ini tinggal perasaan sayang seorang adik terhadap kakaknya, sama sekali tidak ada perasaan cinta muda mudi.
Perlu diketahui, bila seorang wanita yang sudah kenyang pengalamannya dalam hal bercinta jatuh hati atau tergerak hatinya terhadap seseorang, maka perasaan cintanya itu akan lebih teguh dan murni daripada emas.
Dulu, walaupun dia pernah tertarik oleh penampilan Thiat Tiong-tong, namun rasa tertariknya itu hanya merupakan rangsangan yang bersifat sementara, berbeda dengan Im Ceng, pemuda itu benar-benar telah meluluhkan perasaan hatinya, perubahan yang terjadi saat itu mungkin hanya dia seorang yang memahaminya.
Tiba-tiba dia tertawa, sambil mengalihkan pokok pembicaran katanya:
"Siapa bilang aku menderita dan tersiksa? Kehidupanku selama ini selalu enak dan bahagia, aku......aku hanya tidak bisa melupakan sorot mata Im Ceng sewaktu terluka dulu, pandangan matanya terhadapku, sekalipun setelah sembuh dia tidak menggubrisku, tapi perasaan hatinya tidak bisa berbohong, Thiat toako.....kau tentu bisa memahami perasaan hatiku ini bukan? Biarpun sejak kini aku tidak bisa bertemu lagi dengannya, aku tidak akan perduli"
Begitu mendengar dia merubah panggilan terhadap dirinya menjadi toako, Thiat Tiong-tong tahu kalau perasaan hatinya sekarang sudah kembali ke jalan benar. Tidak tahan diapun bertanya:
"Siapa bilang kau tidak bisa bertemu lagi dengannya?"
"Sebab aku sudah akan pergi jauh sekali!" kata Un Tay-tay sedih.
Ternyata setiap malam dia tidur dalam gudang kayu bakar, sementara siang hari selalu berada dalam halaman dalam selama setengah jam, terkadang dia malah tidak bersua dengan Im Ceng, sekalipun bertemu, Im Ceng tidak pernah mau ambil perduli terhadapnya.
Dalam keadaan begini terpaksa Un Tay-tay harus menahan linangan air matanya, begitu setengah jam berlalu, dia harus segera balik ke gudang kayu, untuk mengisi waktu yang senggang dan menghibur hati yang murung, diapun tiap hari memotong kayu.
Dia tinggal di kuil Siau-lim hampir dua puluhan hari, dalam waktu yang relatip singkat dia telah memotong hampir setiap potong kayu bakar menjadi ranting yang kecil, membuat ke lima jari tangannya yang lentik berubah jadi kasar penuh dengan lapisan kulit tebal.
Kalau dia makin hari semakin sayu dan lusuh sebaliknya Im Ceng makin hari semakin bercahaya terang, wajahnya makin merah, dari caranya berlatih silat dapat diketahui kalau ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan yang pesat.
Kendatipun Im Ceng nyaris tidak menggubris¬nya, namun Un Tay-tay tidak pernah mau menyia-nyiakan waktu selama setengah jam yang dimilikinya, setiap hari dia selalu muncul di sana, mengawasi wajah Im Ceng yang makin segar, memandang sikapnya yang makin dingin.
Terlepas dia sedih atau gembira, Un Tay-tay selalu berusaha tampil dengan senyuman menghiasi wajahnya, walaupun di masa lalu dia sudah terlalu sering berpura-pura mencintai lelaki, menipu kaum pria, tapi kini cinta yang tumbuh dalam hatinya adalah cinta sejati, hanya sayangnya cinta yang sejati justru tidak ingin dia perlihatkan secara terang-terangan.
Hari itu, dengan susah payah dia menanti hingga tiba saatnya kunjungan, dengan membawa secercah pengharapan dia memasuki halaman dalam, dia berharap hari ini Im Ceng mulai mau memperdulikan dirinya.
Siapa tahu ketika tiba di dalam halaman, tiba-tiba dia jumpai Im Ceng telah pergi meninggalkan tempat itu.
Dia merasa terkejut, tercekat, ngeri bercampur masgul, tanpa berpikir panjang diapun menyerbu masuk ke dalam kamar Hong tiang.
Tampaknya Bu-si Thaysu sudah menduga maksud kedatangannya, dengan suara dalam ujarnya:
"Ooh, kau sudah datang, bagus, bagus, duduklah dahulu, dengarkan berapa patah kataku"
Menyaksikan sikap dari Bu-si Thaysu ini, Un Tay-tay tidak berani bertindak sembrono, terpaksa dia duduk sambil menahan lelehan air mata.
Dengan suara berat kembali Bu-si Thaysu berkata:
"Tentunya kau sudah tahu bukan kalau dia telah pergi, lolap yang menghantarnya pergi, demi suatu persoalan yang maha besar dan berat, mau tidak mau dia harus pergi."
"Meng.....mengapa dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku?" tanya Un Tay-tay dengan berurai air mata.
Bu-si Thaysu menghela napas panjang.
"Ketika hendak pergi, lolap pun pernah bertanya apakah dia ingin bertemu denganmu, diapun sudah mempertimbangkan masalah ini cukup lama, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak bertemu"
"Ke.....kenapa dia begitu tega?"
"Tiada rasa cinta berarti cinta, aaaai......... dari pada cinta lebih baik tiada cinta, justru karena setiap benda di dunia ini memiliki rasa cinta maka kehidupan manusia terjerumus dalam pelbagai kemurungan dan siksaan"
"Thaysu, boleh tahu dia telah pergi ke mana?" tanya Un Tay-tay lagi sambil menangis.
"Pulau Siang cun-to!" Bu-si Thaysu menghela napas, "sekalipun sudah lolap katakan pun belum tentu kau akan mengetahuinya"
"Siang-cun-to, di mana letaknya?"
"Lolap sendiripun tidak tahu, dia harus mencari sendiri letak tempat itu, dengan tabiatnya, tidak mungkin dia akan berbalik ditengah jalan sebelum menemukan tempat itu........."
Tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi wajah¬nya, dia melanjutkan:
"Dimana pun adalah tempat tujuan, dimana pun bukan tempat tujuan, aaai.... lagi-lagi lolap berfilsafat....."
"Thaysu, karena urusan apa dia harus pergi ke Siang cun-to?"
"Ada sebab tentu menimbulkan akibat, ada akibat tentu karena ada sebab, akibat yang muncul hari ini dikarenakan sebab dimasa lalu, tentu saja dia punya alasan untuk kesana, tentu ada persoalan hingga mesti ke sana........"
Perlahan-lahan pendeta itu memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi.
Un Tay-tay tahu banyak bertanya pun tidak ada gunanya, maka setelah memberi hormat, dengan sedih dia meninggalkan kamar Hongtiang dan berjalan keluar dari pintu kecil halaman belakang.
Baru saja dia melangkah keluar dari pintu, pintu kecil itu sudah tertutup rapat, kalau selama berapa hari ini pintu tersebut hanya setengah tertutup maka kini pintu itu tertutup rapat sekali.
Un Tay-tay sadar, setelah hari ini dia berjalan keluar dari kuil Siau-lim maka jangan harap dia bisa masuk lagi ke tempat itu, dengan membawa rasa sedih yang luar biasa dia pun menelusuri jalan setapak menuju ke depan sana.
Dia tidak tahu ke arah mana dia pergi, terlebih tidak tahu harus kemana dia pergi.
Lama sekali dia berjalan hingga tiba disisi sebuah sungai kecil, saat itulah Un Tay-tay baru berjongkok, mengambil air dan membasahi tenggorokanya.
Waktu itu sinar matahari senja telah menyelimuti angkasa, cahaya keemas emasan memantul diatas permukaan air, menyinari wajahnya.
Ketika sinar senja semakin redup, seluruh cahaya pun mulai menghilang, tak ada yang terlihat lagi disekeliling permukaan air.
Mengawasi kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, dengan sedih Un Tay-tay bergumam:
"Mengapa kehidupan manusia bagaikan aliran air sungai, keindahan selalu berlangsung cepat, kenapa aku harus hidup terus di dunia ini? Apakah sedang menanti saat menjadi gundiknya makhluk berjubah ungu itu?"
Ditengah hembusan angin malam yang semakin dingin, Un Tay-tay merasa hatinya makin pedih, makin putus asa, akhirnya dia mendongak-kan kepalanya menghela napas panjang, dia siap mengambil keputusan pendek.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur:
"Benarkah kau ingin mati?"
Suaranya dingin dan sangat hambar.
Dengan cepat Un Tay-tay membalikkan tubuh, seketika itu juga dia merasakan munculnya hawa dingin dari telapak kaki menerjang naik ke ubun ubunnya.
Ternyata dibelakang tubuhnya, lebih kurang sejauh satu depa, entah sejak kapan telah berdiri sesosok bayangan wanita berbaju hitam, kecuali ujung gaunnya yang berkibar ketika terhembus angin, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya sama sekali tidak nampak bergerak.
Kemunculannya ditempat dan saat seperti ini bukan saja menimbulkan perasaan seram, bahkan mudah menimbulkan prasangka lain yang lebih mengerikan.
Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay segera berpikir:
"Dia......sebenarnya dia ini manusia, atau setan gentayangan?"
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, pikirnya lebih jauh:
"Perduli amat, toh aku bakal segera amati, mau siluman rase, mau setan gentayangan, kenapa aku mesti takut"
Maka dengan memberanikan diri diapun menyahut:
"Benar, aku memang ingin mati, mau apa kau?"
Dengan nada yang sedih perempuan berbaju hitam itu menyahut:
"Usiamu masih sangat muda, sekarang kau berkata ingin mati, ini dikarenakan dorongan emosimu sesaat, padahal sebentar lagi belum tentu kau masih ingin mati"
"Apalah arti dari kehidupan, kenapa aku masih ingin hidup"
"Kalau begitu kau pasti sedang dirundung perasaan sedih yang luar biasa! Apakah orang yang kau cintai telah menyia-nyiakan dirimu, meninggalkan dirimu dengan begitu saja?"
Rasa sedih kembali menusuk perasaan Un Tay-tay, sambil menghentakkan kakinya dia menjerit keras:
"Kau tidak usah ikut campur!"
Kemudan sambil menutup wajah sendiri dia lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Siapa tahu baru saja dia berlarian beberapa saat, tiba-tiba dijumpai perempuan berbaju hitam itu bagaikan sukma gentayangan saja, tanpa menimbulkan sedikit suara pun kembali sudah menghadang dihadapannya.
"Kau........ kau........ sebenarnya apa mau mu!" teriak Un Tay-tay.
"Aku pun orang yang sedang bersedih hati, sedang ingin mati, kalau kau memang bertekad ingin mati, lebih baik kita mati bersama-sama saja" ujar perempuan berbaju hitam itu perlahan.
Diam diam Un Tay-tay berpikir:
"Ooh, rupanya kau sedang menjajal apakah aku benar-benar ingin mati? Bila kemudian mengetahui aku tidak ingin mati maka kau akan mengejekku, mempermalukanku? Baik, aku akan mati dihadapannya"
Maka sambil sengaja tertawa tergelak serunya:
"Baik, tidak kusangka dalam perjalanan me¬nuju ke alam baka, aku bakal punya teman......"
"Ikut aku!" bisik perempuan itu tiba-tiba, sambil menarik tangan Un Tay-tay dia segera bergerak menuju ke barat.
Un Tay-tay merasakan tangan perempuan itu dingin bagaikan es, persis tangan orang yang sudah mati, selain dingin diapun merasakan munculnya semacam tenaga aneh yang membawa tubuhnya, tanpa kuasa dia ikut berlarian mengintil di belakangnya.
Sepanjang perjalanan diapun merasa ujung kakinya nyaris tidak menempel tanah, ketika memperhatikan pula pakaian hitam dan cadar hitamnya yang berkibar terhembus angin, nyaris tubuh perempuan itu seakan sedang melayang di angkasa saja.
Biarpun Un Tay-tay bertekad ingin mati, tidak urung berdiri juga bulu kuduknya setelah menyak¬sikan kejadian ini.
Jalan perbukitan makin lama semakin curam dan berbahaya, diantara tebing-tebing tinggi yang terjal terbentang jurang yang tidak terkira dalamnya, asal terpeleset sedikit saja niscaya tubuhnya akan hancur lebur.
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu meng¬hentikan langkahnya sambil berkata: "Sudah sampai, disinilah tempatnya"
Ditengah kegelapan malam yang mencekam, Un Tay-tay menjumpai dirinya berdiri diatas sebuah batu gunung yang besar di puncak tebing yang tinggi lagi curam, dibawah tebing terbentang kegelapan yang luar biasa, tidak jelas seberapa dalam jurang dihadapannya itu.
"Apa lagi yang kau tunggu?" tanya perempuan berbaju hitam itu lagi, "ayohlah cepat melompat!"
Un Tay-tay tertawa pedih, sahutnya:
"Sebuah tempat mencari mati yang indah........"
Mendadak raut muka banyak orang yang pernah dikenalnya dulu satu per satu melintas dibenaknya, tidak kuasa lagi tubuhnya mulai gemetar keras......
"Bila kau enggan mati, masih sempat untuk kembali" kembali perempuan berbaju hitam itu berkata dingin.
"Aku...... aku......." mendadak wajah seram kakek berjubah ungu itu serta wajah Im Ceng yang begitu dingin kaku terlintas kembali dalam benaknya, sambil menggigit bibir segera teriaknya:
"Kenapa aku harus kembali!"
Sambil pejamkan mata dia segera melompat ke dalam jurang.
Begitu tubuhnya meluncur ditengah udara, benaknya seketika terasa bagaikan mau pingsan, lamat-lamat terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata sambil tertawa:
"Tidak salah lagi, kau........"
Kata berikut sudah tidak sempat terdengar lagi, karena dia merasa tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan seseorang.
Un Tay-tay merasa terkejut bercampur terke¬siap, selain itu diapun merasa keheranan, sampai lama kemudian dia baru berani membuka matanya kembali, tampak enam orang wanita berbaju hitam dengan dandanan yang sama telah berdiri disekelilingnya.
Ketika dia mendongakkan kepalanya, batu dari mana dia melompat tadi ternyata persis berada diatas kepalanya, jarak dengan permukaan tanah paling sepuluh depa, tentu saja yang terlihat olehnya dari atas hanya kegelapan malam yang mencekam karena saat itu memang ditengah malam buta.
"Tampaknya kau sudah dibuat kaget" kata perempuan berbaju hitam yang membopongnya dengan perlahan, meski suaranya dingin dan hambar namun jelas memperlihatkan perasaan kuatir.
Un Tay-tay segera meronta sambil melompat turun, serunya dengan marah:
"Aku sudah bertekad untuk mati, kenapa kalian masih mempermainkan orang bernasib buruk macam aku!"
Perempuan berbaju hitam itu menghela napas panjang, sahutnya:
"Justru kau adalah orang yang bernasib jelek, maka kami pun melakukan hal ini"
"Kenapa?"
"Sebab kami semua adalah orang yang bernasib jelek, maka kami akan menampung semua perempuan bernasib jelek, tapi bila dia belum bertekad untuk mencari mati, berarti nasibnya belum betul-betul jelek"
"Oleh sebab itu kalian ingin menjajal aku bukan? Tapi kalian....."
Perempuan berbaju hitam itu tertawa pedih, tukasnya:
"Kami semua pernah mati satu kali, maka kaupun harus mati satu kali sebelum dapat bergabung ke dalam kelompok kami"
Perempuan yang lain menyambung dengan nada dingin:
"Kini kita semua adalah orang yang sudah mati, lewat beberapa hari kau akan tahu bahwa rasanya menjadi orang mati ternyata jauh lebih enak dari pada menjadi orang hidup"
Dengan perasaan bergidik Un Tay-tay celingukan memandang sekejap sekeliling tempat itu, dia tidak jelas saat ini sebenarnyia sudah mati atau masih hidup, tiba-tiba jeritnya:
"Aku tidak ingin jadi orang mati...... aku tidak ingin jadi orang mati......."
"Kau telah mati satu kali, memangnya ingin hidup lagi?" perempuan berbaju hitam itu menegur ketus.
Dengan bulu kuduk pada berdiri dan perasaan ngeri yang luar biasa, Un Tay-tay mundur dua langkah, serunya:
"See....sebenarnya siapa kalian? Ke......kenapa aku harus bergabung ke dalam kelompokmu?"
"Setelah menjadi orang mati, kau dapat menjadi utusan langit, dapat menuntutkan keadilan bagi wanita-wanita lain dikolong langit yang menderita, masa kau tidak bersedia?"
Dalam menuturkan kisahnya kali ini, Un Tay-tay bercerita secara jelas dan mendetil, membuat Thiat Tiong-tong yang mendengarkan jadi bergidik.
Sampai disini, dia tidak tahan lagi untuk menghela napas seraya berkata:
"Tidak heran kalau tindak-tanduk serta cara berbicara mereka begitu dingin dan hambar, rupanya meski mereka belum mati namun perasaan mereka sudah mati..... bagaimana selanjutnya? Apakah kau......"
Setelah menghela napas lanjut Un Tay-tay:
"Perasaan hatiku telah mati, tentu saja akupun bergabung dengan mereka, lihatlah sekarang akupun mengenakan jubah hitam dengan kain cadar hitam, walaupun banyak keraguan muncul dihatiku, namun mereka melarangku banyak bertanya, hanya ujarnya: kalau perasaanmu sudah mati, buat apa mesti memikirkan urusan lain! Maka akupun terpaksa mengikuti mereka, sepanjang jalan asal bertemu wanita yang teraniaya, mereka pasti turun tangan menolong hingga akhirnya tiba disini"
"Tahukah kau, ke mana mereka hendak pergi?"
"Pulang......."jawab Un Tay-tay sambil menghela napas, "seandainya dalam kereta tidak terdapat dua orang yang menderita sakit aneh, mungkin aku sudah sejak kemarin tiba ditempat mereka dan mungkin...... mungkin selama hidup tidak akan berjumpa lagi denganmu"
Thiat Tiong-tong tersenyum, katanya: "Tempat dimana kalian tuju kebetulan merupakan tempat yang akan kudatangi, hanya saja....... seandainya tidak bertemu kau, akupun tidak tahu harus kemana untuk mencarinya"
"Dari mana kau bisa tahu hendak kemana kami pergi?" tanya Un Tay-tay keheranan.
"Panjang untuk diceritakan, tapi aku tahu kalian hendak balik ke pulau Siang cun-to!"
"Siang cun-to......." seakan terperanjat, sekujur tubuh Un Tay-tay bergetar keras, "ternyata pulau Siang cun-to!"
Tiba-tiba dia seperti teringat kalau tempat yang hendak dituju Im Ceng pun pulau Siang cun-to, tanpa terasa sekujur tubuhnya gemetar keras.
Menyaksikan perubahan sikap perempuan itu, dengan keheranan Thiat Tiong-tong segera bermanya:
"Memangnya kau belum tahu dengan nama pulau Siang cun-to ini?"

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now