25. Cinta Hanya Menimbulkan Kedukaan

1.2K 20 6
                                    

Ketika saat menunjukkan kentongan ke empat, Un Tay-tay yang berada dalam kuil Seng bo bio belum juga menjumpai bayangan tubuh Thiat Tiong-tong, kendatipun dia sudah celingukan kian kemari namun pemuda itu belum juga kelihatan batang hidungnya.
Padahal waktu itu kawanan wanita berbaju hitam itu sudah bersiap-siap melanjutkan perjalanan.

Un Tay-tay merasa sangat gelisah, pikirnya:

"Kalau dilihat dari tampangnya, jelas dia ingin sekali menguntit dibelakangku, kenapa hingga sekarang belum muncul, jangan-jangan.......jangan-jangan sudah terjadi sesuatu?"

Mendadak terlihat seorang wanita suci datang menghampiri dan menegur dengan dingin:

"Kenapa kau celingukan kesana-kemari? Apa yang sedang kau tunggu?"

Un Tay-tay amat terkesiap, buru-buru menyahut dengan tergagap:

"Aku......aku......aku telah berhutang dengan seorang gembong iblis, aku kuatir dia datang mengejarku dan menuntut aku membayar hutang"

Sebetulnya perkataan itu hanya disampaikan sekenanya, tapi begitu selesai berkata, bayangan tubuh kakek berjubah ungu itu kembali muncul dalam benaknya, dia seolah-olah masih mendengar suara ancamannya yang begitu keras seperti suara geledek:

"Ke mana pun kau akan pergi, lohu pasti dapat menemukan dirimu lagi........"

Suara itu kedengaran makin lama semakin nyaring, akhirnya Un Tay-tay tidak sanggup menahan diri lagi, sekujur tubuhnya gemetar keras, bulu kuduknya pada bangun berdiri.

Menanti wanita suci itu berbicara lagi, dia baru dapat mengendalikan perasaan hatinya.

Terdengar perempuan itu berkata:

"Kau sudah mati satu kali, berarti semua hutang piutangmu dalam kehidupan yang lalu sudah tidak perlu dibayar lagi"

"Tapi...... tapi orang itu memiliki kemampuan yang luar biasa, lihay sekali....."

"Betapa pun lihaynya dia, toh mustahil bisa menagih hutang terhadap seseorang yang sudah mati!" jawab perempuan itu dingin.
"Tapi...... tapi aku...... aku belum betul-betul mati!"
"Sudahlah! sudah saatnya untuk berangkat, bila esok pagi naik perahu maka menjelang tengah hari sudah akan tiba di pulau, manusia mana dikolong langit yang bernyali mencari gara-gara ditempat itu!"
Tanpa terasa Un Tay-tay menghembuskan napas lega, sambil mendongakkan kepalanya memandang angkasa, perlahan-lahan katanya:
"Yaa, empat-lima jam kemudian, aku memang tidak perlu kuatir lagi"
Walaupun ucapan itu seolah sedang menegur diri sendiri, seperti juga sedang menghibur diri, namun nada ucapannya mengandung nada kesedihan yang sangat mendalam, seakan-akan dalam kehidupan yang fana ini masih ada sementara orang dan sementara persoalan yang harus dia kuatirkan, harus dia takutkan.

Betapa terkesiapnya Thiat Tiong-tong ketika melihat Leng It-hong membentak sambil meman¬dang ke arahnya, dia sangka tempat persembunyi¬annya sudah ketahuan orang.
Siapa tahu pada saat itulah dari bawah tubuhnya muncul sesosok bayangan manusia, "Blaaam!" dengan cepat orang itu menerjang daun jendela hingga jebol dan meluncur masuk ke dalam ruang perahu.
Ternyata selama ini orang itu bersembunyi disekitar tempat persembunyian Thiat Tiong-tong tanpa disadari pemuda itu, hal ini disebabkan seluruh konsentrasi anak muda itu sedang terpusat ke dalam ruangan, sedang ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu kelewat hebat.
Tampaknya manusia itupun tidak menyangka kalau dibalik gulungan tali masih bersembunyi seseorang yang lain, karenanya dia tidak terlalu menaruh perhatian.
Dalam terperanjatnya, Thiat Tiong-tong semakin tidak berani berkutik.
Walaupun orang itu memiliki ilmu meringan¬kan tubuh yang sangat hebat, ternyata dia tidak lebih hanya seorang pemuda berbaju ungu yang berwajah tampan dan gagah, dia memegang sebuah kipas dengan dua biji mutiara diujungnya.
Coba kalau bukan lantaran dia saksikan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, niscaya Thiat Tiong-tong akan mengira orang itu sebagai pemuda kaya yang sedang berpesiar, dia tidak akan mengira kalau pemuda setampan itu memiliki ilmu silat yang begitu hebat.
Paras muka Suto Siau sekalian pun ikut berubah, mereka tidak mengira ada orang lain bersembunyi dibawah jendela perahunya.
"Hei anak muda" dengan suara keras Leng It-hong segera menegur, "mau apa kau datang kemari?"
Biarpun tahu kalau semua yang hadir dalam ruang perahu adalah sekawanan jago persilatan yang licik dan berilmu tinggi, ternyata sikap pemuda berbaju ungu itu tetap santai, sama sekali tidak tegang atau merasa takut, seakan dia tidak pandang sebelah mata pun terhadap orang-orang itu.
Setelah menyapu sekejap seputar ruangan, sambil menggoyangkan kipasnya dan tertawa tergelak, sahutnya:
"Ternyata kau memiliki ketajaman mata yang mengagumkan sehingga dapat mengetahui tempat persembunyianku, tapi ada satu hal anda keliru besar"
"Apa yang salah?" tanya Leng It-hong gusar.
"Orang yang bertanya mengapa kepadamu tadi bukan aku" ujar pemuda itu tertawa.
"Kalau bukan kau lantas siapa?" berubah paras muka Leng It-hong.
Perlahan-lahan pemuda berbaju ungu itu mengalihkan sorot matanya ke arah tirai di belakang ruangan, ujarnya sambil tersenyum:
"Sobat, dipersilahkan segera keluar, memang¬nya kau ingin cayhe yang mengundang paksa kehadiranmu ?"
Belum selesai perkataan itu diucapkan, segera terdengar suara tertawa seseorang yang menusuk pendengaran bergema dari balik tirai:
"Hahahaha......bocah muda, hebat juga kau!"
Terlihat sesosok bayangan manusia munculkan diri.
Orang itu mempunyai perawakan tubuh kurus kering lagi jangkung, bagaikan sebatang bambu yang terhembus angin, dia selangkah demi selangkah berjalan keluar dari tempat persembu-nyiannya.
Kemudian sambil menuding ujung hidung sendiri dengan jari tangannya yang besar bagai kipas, tegurnya seraya tertawa seram:
"Leng It-hong, masih kenal aku?"
Suaranya tajam bagaikan pisau yang sedang diasah, benar-benar menusuk pendengaran dan tidak enak didengar.
Begitu melihat wajah orang itu, Thiat Tiong-tong kontan merasa terkesiap, sementara Suto Siau sekalian seketika menunjukkan perasaan gembira.
Tiba-tiba terdengar Leng It-hong membentak keras:
"Hong Lo-su!"
Rupanya setelah memperhatikan beberapa saat, dia baru teringat akan asal-usul orang ini.
"Bagus" seru Hong Lo-su lagi sambil tertawa terkekeh, "rupanya cukup luas pengetahuanmu, sekarang coba terangkan, kenapa kau enggan bekerja sama denganku?"
Walaupun paras muka Leng It-hong sedikit berubah, namun dia sama sekali tidak menunjuk¬kan rasa takut, setelah tertawa dingin sahutnya:
"Kenapa apa? Memangnya kau tidak lebih jelas dariku? Buat apa mesti kujelaskan lagi"
Berubah paras muka Hong Lo-su, bentaknya:
"Lebih baik jawab semua pertanyaan yang kuajukan, kalau berani bicara yang tidak tidak lagi, hmmm! Hati-hati dengan batok kepalamu!"
"Benarkah kau suruh aku bicara terus terang?" ejek Leng It-hong sambil tertawa seram, "baik! Kalau begitu dengarkan baik baik, pada hakekatnya Hong Lo-su tidak punya nyali untuk menghadapi Perguruan Tay ki bun, diapun tidak akan melakukan hal itu........."
"Tutup mulut!" bentak Hong Lo-su gusar.
"Bukankah kau yang suruh aku bicara? Kenapa minta aku untuk tutup mulut?"
"Kau berani mencari gara-gara dengan aku!" teriak Hong Lo-su gusar.
"Mungkin saja orang lain takut kepadamu, tapi aku Leng It-hong tidak bakal takut!"
Suto Siau sekalian terkejut juga ketika melihat Leng It-hong begitu bernyali dan berani memusuhi Hong Lo-su, sementara Thiat Tiong-tong dibuat semakin tercengang: kenapa Hong Lo-su tidak berani menghadapi Perguruan Tay ki bun?
Dalam pada itu Hong Lo-su telah berseru sambil tertawa seram:
"Baru belajar sedikit Ngo tok ciang (ilmu pukulan panca racun) sudah ingin pentang cakar mencari gara-gara, Hmmm! Cukup dengan sebuah jari tangan, aku sudah sanggup menjagalmu!"
"Kenapa tidak dicoba...." tantang Leng It-hong sambil tertawa seram.
Hong Lo-su menyeringai seram, katanya:
"Terlalu banyak yang kau ketahui, perkataan¬mu pun kelewat banyak, aku memang punya niat untuk menjagalmu!"
Dengan satu gerakan kilat dia merangsek ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri dihadapan lawan.
Waktu itu Leng It-hong telah bersiap sedia, begitu melihat musuhnya mendekat, secepat kilat sepasang tangannya didorong ke muka, dibawah cahaya lentera, telapak tangannya yang berwarna hitam pekat kelihatan amat aneh dan menakutkan.
Tampak Hong Lo-su berkelit ke samping, tidak tampak bagaimana dia bergerak, tahu-tahu tubuh¬nya sudah berada disamping kiri lawan.
Cepat Leng It-hong membalik tubuh sambil melepaskan pukulan lagi, tangannya dengan membuat gerakan setengah lingkaran busur langsung dihantamkan keatas bahu lawan.
Sebagaimana diketahui, telapak tangannya sangat beracun, siapa pun yang tersentuh tangan¬nya niscaya akan keracunan hebat dan mati, itulah sebabnya serangan yang dia lancarkan tidak perlu harus menyerang bagian mematikan ditubuh lawan, dengan sendirinya ancaman yang dilakukan pun lebih leluasa dan jauh lebih cepat.
Siapa tahu kembali Hong Lo-su menarik tubuhnya yang kurus kering ke belakang, lagi-lagi dia berkelit ke sisi kanan tubuh lawan.
Serangan yang dilancarkan Leng It-hong boleh dibilang sangat ganas dan amat beracun, namun Hong Lo-su bukan saja tidak tersentuh bahkan sama sekali tidak melakukan perlawanan, dua gebrakan kemudian, Suto Siau sekalian sudah dibuat tertegun saking herannya.
Terdengar Hong Lo-su berseru lagi sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha...... anak anak, coba perhatikan, walaupun pukulan orang she-Leng ini amat beracun, tapi asal tidak bersentuh tangannya, kita tidak perlu takut menghadapinya!"
Sementara pembicaraan berlangsung, kembali Leng It-hong sudah melepaskan tujuh buah serangan maut, semakin menyerang, telapak tangannya kelihatan semakin hitam, tujuh gebrakan kemudian telapak tangannya telah berubah jadi hitam pekat.
Semua orang tahu, dia pasti telah mengerahkan segenap hawa racun yang dimilikinya, mereka yang berdiri agak dekat dengan arenapun secara lamat-lamat mulai mengendus bau amis yang terbawa dalam angin pukulannya.
Kehebatan dan kedahsyatan ilmu pukulan Ngo tok ciang memang sangat menakutkan, namun dengan kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh yang dimiliki Hong Lo-su, bukan saja Leng It-hong gagal melukainya bahkan menyentuh ujung bajunya pun tidak sanggup.
Tiga puluh gebrakan kemudian tiba-tiba terdengar Hong Lo-su berseru sambil tertawa seram:
"Aku rasa sudah cukup bagiku untuk memper¬mainkan monyet ini, lihat serangan!"
Sepasang tangannya melancarkan serangan bersama, dalam waktu singkat dia telah melepas¬kan tiga jurus serangan.
Ke tiga jurus serangan itu muncul tanpa pertanda, tahu-tahu serangan sudah tiba di depan mata dan membuat orang susah untuk menduga sebelumnya.
Secara beruntun Leng It-hong mundur sejauh tiga langkah, tidak tampak bagaimana cara Hong Lo-su menekuk telapak tangannya, tahu-tahu tangannya bagaikan tidak bertulang saja sudah menerobos pertahanan Leng It-hong dan meng¬hantam dadanya.
Kelihatannya meskipun Leng lt-hong berhasil menghindari serangan yang pertama, mustahil dia bisa meloloskan diri dari serangan berikut, Suto Siau sekalian menyangka dalam waktu singkat dia akan roboh terluka oleh pukulan lawan.
Siapa tahu walaupun Leng It-hong tidak menghindar maupun berkelit, dari dalam sakunya dia justru mengeluarkan sebuah benda, sambil diacungkan ke depan teriaknya:
"Hong Lo-su, coba lihat benda apakah ini?"
Seketika itu juga Hong Lo-su menghentikan gerak serangannya, waktu itu telapak tangannya sudah berada lima inci dari dada Leng It-hong, asal dia tolak tangannya sedikit ke depan, niscaya Leng It-hong akan mati secara mengenaskan.
Ketika sorot matanya dialihkan ke depan, dia segera jumpai sepucuk surat telah berada dalam genggaman Leng It-hong, bentuk sampul surat itu sangat aneh, diatas kertas berwarna hijau tertera sebuah lukisan tangan setan berwarna hitam pekat.
Benar saja, paras muka Hong Lo-su seketika berubah hebat, tanyanya dengan nada tergagap:
"Apa......apa isi surat itu?"
Walaupun dia tidak segera menarik kembali tangannya, namun nada suaranya sudah kedengaran tidak leluasa.
"Ambil dan baca sendiri!" sahut Leng It-hong cepat.
Dengan satu geakan kilat Hong Lo-su merampas surat itu, mengeluarkan isinya dan dibaca beberapa kejap, tidak lama kemudian paras mukanya telah berubah semakin aneh, tidak jelas dia sedang merasa gembira atau justru merasa amat gusar.
Semua orang tidak tahu apa isi surat itu, tapi dari perubahan mimik muka yang diperlihatkan Hong Lo-su, dapat disimpulkan kalau dia merasa tercekat hatinya.
Kalau orang lain tidak sempat membaca surat itu, lain halnya dengan Thiat Tiong-tong yang berada diatas ruangan, secara kebetulan dia dapat menyaksikan isi surat itu dengan jelas sekali.
Diatas lembaran kertas berwarna hijau itu tertuliskan beberapa kalimat, begini bunyinya:
"Hong Lo-su, jika kau berani melukai muridku Leng It-hong barang seujung rambut pun, lohu akan suruh kau tersiksa secara mengenaskan selama tujuh kali tujuh empat puluh sembilan hari, kurang dari sehari saja lohu bukan manusia!"
Dibawahnya tidak ada tanda tangan, hanya terlukis seorang kakek berbentuk aneh sedang melahap ular berbisa.
Dari atas wajah Hong Lo-su yang menyeramkan tiba-tiba terlintas sekulum senyuman palsu, terdengar dia berseru sambil tertawa terkekeh:
"Maaf, maaf, ternyata Leng-heng sudah menjadi murid kesayangan Jan tok Thaysu"
Semua orang yang hadir makin tercengang dibuatnya, mereka tidak mengira kalau secara tiba-tiba Hong Lo-su akan bersikap begitu sungkan terhadap Leng It-hong, bahkan memanggilnya sebagai 'Leng-heng'.
"Bukankah kau ingin menjagalku? Ayoh cepat lakukan!" jengek Leng It-hong dingin.
Kembali Hong Lo-su tertawa keras.
"Aaah, tadi aku cuma bergurau, harap Leng-heng jangan marah. Jan tok Thaysu adalah sahabat karibku, masa aku tega melukai murid kesayangannya?"
"Kalau begitu surat guruku tadi tentu memohon kepadamu untuk mengampuni jiwaku bukan?" jengek Leng It-hong lagi sambil tertawa dingin, "kenapa tidak kau perlihatkan kepada rekan lainnya?"
"Tidak perlu diperlihatkan......tidak perlu diperlihatkan!" buru-buru Hong Lo-su masukkan surat itu ke dalam sakunya, "boleh tahu sejak kapan Leng-heng menjadi muridnya Jan tok thaysu?"
"Setelah membaca surat wasiat dari mendiang ayahku, akupun segera pergi ke tempat guru, ternyata dia orang tua dengan senang hati segera menerima aku menjadi muridnya"
"Bagus sekali, bagus sekali" sambil bertepuk tangan Hong Lo-su tertawa tergelak, "kalau toh Leng-heng adalah murid Jan tok thaysu, semua masalah malah lebih gampang dirundingkan"
"Tapi bagaimana pula dengan urusan seputar Perguruan Tay ki bun?"
"Urusan ini lebih baik kita bicarakan lain waktu saja, sekarang......."
Mendadak Hong Lo-su membalikkan tubuh sambil melotot ke arah pemuda berbaju ungu itu, senyuman yang semula menghiasi wajahnya ikut lenyap tidak berbekas.
Pemuda berbaju ungu itu masih berdiri tenang dengan senyuman dikulum, sambil melipat kembali kipasnya dia mengejek:
"Ada apa? Karena tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang lain, kau ingin melampiaskan rasa jengkelmu kepadaku?"
"Hmm, siapa suruh kau datang kemari?" seru Hong Lo-su sambil tertawa seram.
"Sebetulnya ayah perintah aku untuk menung¬gu kehadiran seseorang disini, lantaran melihat diatas perahu ada cahaya lentera maka tanpa sengaja telah mendekatinya, maaf, maaf"
Walaupun dimulut minta maaf namun wajahnya tetap santai dan penuh senyuman, sama sekali tidak mirip orang yang sedang meminta maaf.
"Kau anggap dengan mengucapkan perkataan minta maaf lantas urusan jadi beres?"
"Lantas apa lagi yang kau inginkan? Aku pasti akan berusaha memenuhinya" kata pemuda berbaju ungu itu sambil tertawa.
Hong Lo-su menyeringai seram. "Rahasia yang kau curi dengar kelewat banyak, apa yang kau curi lihat pun kelewat banyak, maka mula-mula akan kuiris telingamu kemudian baru kucongkel keluar biji matamu"
Pemuda itu tetap menggoyang kipasnya sambil tersenyum, dia seakan sedang mendengarkan satu kisah menarik dan kisah tersebut sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia.
Terdengar Hong Lo-su berkata lebih jauh:
"Tapi sayang apa yang kau dengar, apa yang kau lihat sudah tercatat semua didalam hati, karena itu akupun akan mencongkel hatimu........."
Tangannya mencengkeram ke depan, seolah-olah hati pemuda itu sudah berada dalam comotannya.
Tampak pemuda itu menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa:
"Benar, benar sekali, hati itu memang pantas dicomot, tapi kalau hatinya sudah dicomot mana mungkin orangnya bisa hidup terus?"
Kemudian sesudah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Aku tidak pernah berlatih ilmu pukulan Ngo tok ciang, akupun tidak memiliki surat penyelamat nyawa, kalau kau benar-benar turun tangan, tampaknya cayhe mesti serahkan nyawa dengan pasrah!"
"Anggap saja kau tahu diri" Hong Lo-su tertawa aneh, "kalau begitu akan kusuruh kau mati dengan lebih tenang........"
Sepasang lengannya digetar keras, diantara bunyi gemerutuk pada sendi tulangnya dia siap menerjang ke depan.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba pemuda itu berseru.
"Ada apa?" Hong Lo-su menghentikan langkah¬nya, "apakah ingin meninggalkan pesan terakhir?"
Pemuda berbaju ungu itu tertawa, sahutnya: "Kalau hanya cayhe yang mati mah tidak soal, yang aku kuatirkan justru kalau sampai membuat kau mesti menjerit kesakitan selama sembilan kali sembilan delapan puluh satu hari, bukankah aku yang harus menanggung dosa besar!"
Ternyata dengan ketajaman matanya dia pun sempat membaca isi surat tersebut.
Melihat pemuda itu bersikap begitu santai kendatipun sedang menghadapi ancaman maut, tanpa terasa timbul perasaan sayang dihati kecil Thiat Tiong-tong.
Terdengar Hong Lo-su membentah penuh amarah:
"Tajam amat mata anjingmu, kelihatannya aku mesti mencongkelnya terlebih dulu!"
Dengan menekuk jari tengah dan jari telunjuk¬nya menjadi sebuah kaitan, dia langsung mencolek sepasang mata pemuda itu.
Pemuda berbaju ungu itu hanya berdiri tanpa bergerak, senyuman tetap menghiasi bibirnya, biarpun ujung jari Hong Lo-su sudah hampir menyentuh kelopak matanya, dia masih tidak melakukan perlawanan.
Disaat yang kritis inilah tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring dari luar pintu:
"Hong Lo-su, berhenti kau!"
Suaranya nyaring bagai genta raksasa yang ditabuh orang, membuat kendang telinga semua orang terasa sakit dan kesemutan.
Tiba-tiba ke dua jari tangan Hong Lo-su seolah membeku ditengah udara, sama sekali tidak mampu bergerak lagi.
Seorang kakek berjenggot sepanjang dada dan mengenakan jubah berwarna ungu perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam ruangan, sekalipun dia memiliki perawakan tubuh yang tinggi besar namun langkah kakinya sama sekali tidak menimbulkan suara.
Walaupun di dalam ruangan terdapat begitu banyak pasang mata, ternyata tidak seorangpun yang tahu sejak kapan kakek itu masuk ke dalam ruangan, apalagi mengetahui berasal dari mana kedatangannya.
Dengan sikap penuh berwibawa kakek berjubah ungu itu berkata perlahan:
"Losu, apakah kau ingin melihat aku putus keturunan?"
"Maa......mana mana......."
"Bila kau cabut nyawa putraku, bukankah sama artinya ingin melihat aku putus keturunan?"
Hong Lo-su melirik pemuda berbaju ungu itu sekejap, kemudian serunya terperanjat:
"Ternyata dia.....dia adalah putramu!"
Sekulum senyuman palsu kembali menghiasi wajahnya, dia melanjutkan:
"Siaute hanya melihat ditubuh putramu ada sedikit debu, jadi ingin membersihkannya!"
Jari tangannya yang semula hendak digunakan untuk mencongkel mata orang, kini digunakan untuk membersihkan debu ditubuh pemuda itu.
"Terima kasih, terima kasih!" tidak tahan pemuda berbaju ungu itu tertawa geli. Ternyata dia benar-benar membiarkan orang itu membersihkan debu dipakaiannya hingga bersih.
Dengan langkah lebar kakek berjubah ungu itu masuk ke dalam ruangan dan duduk di bangku yang semula ditempati Leng It-hong, kemudian serunya:
"Hei bocah, kemari kau"
Saat itulah pemuda berbaju ungu itu berjalan mendekat, serunya:
"Ternyata kau orang tua datang jauh lebih awal"
"Aku belum sampai dibikin mati gara-gara mendongkol, tentu saja datang lebih awal" sahut kakek itu.
Tiba-tiba dia menuding ke arah Suto Siau sambil serunya:
"Kau tuangkan arak!"
Kemudian sambil menuding ke arah Hek Seng-thian, serunya lagi:
"Kau pergi siapkan hidangan!"
Kepada Pek Seng-bu perintahnya pula:
"Kau pergi siapkan dua pasang sumpit dan cawan!"
Sedang kepada Seng Cun-hau katanya: "Kau pergi menggotong mayat itu dan buang keluar!"
Terakhir sambil menuding Leng It-hong, perintahnya:
"Kau duduk disini, temani lohu minum arak!" Dalam waktu singkat dia sudah memberi perintah kepada lima orang pria yang ada dalam ruang perahu untuk melakukan tugas, ternyata dia memandang ke lima orang pendekar kenamaan dari dunia persilatan ini bagaikan budak-budaknya.
Biarpun Suto Siau sekalian merasa ngeri terhadap kehebatan kakek itu dan tidak berani bertindak sembarangan, namun mereka pun tidak sudi melakukan tugas yang biasanya mereka perintahkan kepada bawahan untuk melakukan.
"Hei kalian sudah tuli semua?" tiba-tiba terdengar Hong Lo-su mengumpat sambil meng¬hentakkan kakinya, "memangnya kalian berani membangkang perintah dari toako ku, sudah ingin modar semua?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Suto Siau segera mengambil teko arak dari meja, sementara Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap kemudian dengan kepala tertunduk pergi mengambil air teh panas.
Mendadak Seng Cun-hau melompat bangun, teriaknya sambil busungkan dada:
"Lebih baik kau bunuh saja diriku!"
"Kenapa harus membunuhmu?" tanya kakek itu.
"Sebab lebih gampang membunuhku, kalau suruh aku menjadi budakmu, hmmm! Lebih sulit dari pada naik ke langit!"
Seng Toa-nio yang berada disampingnya buru-buru menarik ujung bajunya, tapi pemuda itu berlagak seolah tidak merasa.
Siapa sangka kakek berjubah ungu itu sama sekali tidak menjadi gusar, tiba-tiba dia men¬dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak:
"Hahahaha.... anak muda, punya semangat, silahkan duduk kembali!"
Seng Cun-hau nampak tertegun, kelihatannya diapun tidak mengira kalau kakek itu memiliki semangat pendekar yang mengagumkan, setelah termangu sesaat tiba-tiba dia berjalan mendekati mayat itu dan membuangnya keluar.
Kakek berbaju ungu itu menatapnya beberapa saat, melihat urusan yang sampai matipun sebenarnya tidak mau dilakukan ternyata saat ini dilakukan tanpa disuruh, tidak kuasa lagi dia berseru sambil tertawa:
"Bocah muda, kau sangat menarik.......bagus, bagus......."
Gara-gara ucapan "bagus" inilah, dimasa men¬datang Seng Cun-hau memperoleh banyak manfaat yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
Tiba tiba terdengar Leng It-hong tertawa seram, ujarnya:
"Cianpwee minta aku menemanimu minum arak, ini merupakan satu kebanggaan bagiku, tapi cayhe merasa hidangan yang tersedia disini kurang segar karena itu telah kusiapkan hidangan lain, bila cianpwee suka, silahkan ikut mencicipi!"
Kelihatannya dia menaruh rasa dendam karena kakek itu telah menempati kursinya, maka sambil berkata dia pun membuka keranjang bambunya sambil disodorkan ke hadapan kakek itu, pikirnya:
"Hmmm, akan kulihat dengan cara apa kau si tua bangka yang sok gagah akan mengunyah makhluk makhluk beracunku"
Begitu menerima keranjang bambu itu, tanpa dilihat sekejappun tiba-tiba kakek berjubah ungu itu menuangkan seluruh isi keranjang bambu tersebut keatas kepala Leng It-hong.
Gerakan yang dia lakukan sederhana sekali dan kelihatannya tidak terlalu cepat, namun Leng It-hong sama sekali tidak mampu menghindar, diiringi teriakan keras tubuh berikut bangkunya seketika roboh terjungkal ke tanah.
Sambil bertepuk tangan kakek berjubah ungu tertawa terbahak bahak, teriaknya:
"Leng It-hong wahai Leng It-hong, itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri, mungkin saja aku tidak berani mengusik gurumu, tapi bukan berarti orang lain tidak berani mengusiknya"
Bagaimana pun Leng It-hong adalah seorang jago kawakan yang banyak pengalaman, kalau tadi dia menjerit keras lantaran kaget maka sekarang tanpa mengeluarkan sedikit suara pun perlahan-lahan menurunkan keranjang bambu dari atas kepalanya.
Dari dalam keranjang bambu muncul dua ekor kalajengking berwarna merah api, yang seekor langsung menyengat wajahnya.
Leng It-hong sama sekali tidak bersuara, seekor demi seekor dia tangkapi kalajengking itu kemudian dilempar ke lantai.
Saat itu sekujur tubuhnya bukan saja sudah mengandung racun jahat bahkan lebih beracun ketimbang kalajengking maupun laba laba beracun itu, bukan saja makhluk beracun itu tidak mampu meracuni nya sampai mati, sebaliknya justru binatang binatang beracun itulah yang sekarat karena terkena racun tubuhnya.
Begitu binatang itu dilempar ke lantai ternyata tidak seekor pun yang bisa bergerak lagi.
Kalau tadi semua orang masih kegelian maka sekarang perasaan hati mereka betul-betul ter¬cekat.
Sambil menggebrak meja kakek berjubah ungu itu berseru:
"Waaah.... betul-betul makhluk beracun, kemampuanmu sekarang tidak jauh berbeda dengan si tua bangka yang memelihara racun, tidak heran kalau kau berani pentang bacot didepan orang dan bersikap jumawa!"
"Hmmm, lima racun mematikan tubuh, ibarat bayangan tubuh yang selalu mengintil, penghinaan yang kuterima hari ini pasti akan kubalas dikemudian hari, aku anjurkan kepadamu selanjutnya bersikaplah lebih hati-hati" ancam Leng It-hong dingin.
Setiap patah katanya diucapkan dengan suara dingin bagai salju, membuat setiap orang yang mendengarkan ikut bergidik karena ngeri.
Terdengar kakek berjubah ungu itu mengejek sambil tertawa keras:
"Oooh, jadi kau ingin menuntut balas?"
"Jalan yang terbaik adalah bunuhlah aku manusia she-Leng sekarang juga'"
"Hmmm, kau belum pantas bertarung melawanku, kalau ingin balas dendam panggil gurumu........"
Tiba-tiba wajahnya sedikit berubah, dengan pusatkan perhatian dia seperti sedang mendengar¬kan sesuatu, kemudian dengan wajah berseri teriaknya:
"Aaaah, sudah datang, sudah datang...... hei, anak muda, orang yang ditunggu telah datang, kenapa kau masih berada disini?"
"Ananda toh tidak kenal macam apa nona dari keluarga Un itu, kalau ayah tidak membawa jalan, kemana ananda mesti menemukannya?" sahut pemuda berbaju ungu itu cepat.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, pikirnya:
"Nona dari keluarga Un? Jangan-jangan Un Tay-tay yang dimaksud?"
Tampak kakek berjubah ungu itu menghentak¬kan kakinya berulang kali seraya mengumpat:
"Binatang, sungguh menjemukan........" lalu kepada Leng It-hong segera membentak, "Lohu masih ada urusan lain yang lebih penting, tidak ada waktu lagi untuk ribut dengan-mu!"
Diantara kebasan baju dan bergoyangnya cahaya lentera, dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Leng It-hong tertawa dingin, gumamnya:
"Bagai bayangan yang mengintil tubuh, sampai mati pun tidak akan berhenti....."
"Hey, buat apa kau bergumam sendirian" terdengar Hong Lo-su menegur sinis, "mereka ayah beranak pun sudah pergi jauh, kau bicara untuk siapa?"
"Sudah pergi?" Leng It-hong menyeringai seram, "hmmm! Hmmm! Tidak bakalan bisa kabur!"
"Sudah tahu siapakah orang itu?"
"Siapa?"
Hong Lo-su tertawa keras, serunya:
"Sungguh menggelikan, ternyata siapakah dia pun tidak kau kenal, dia tidak lain adalah si ruyung geledek........."
"Jadi dialah Lui-pian lojin (kakek ruyung geledek)?" berubah hebat paras muka Leng It-hong.
"Tepat sekali!"
Sekarang semua orang baru tahu kalau kakek berjubah ungu itu ternyata tidak lain adalah si Ruyung geledek, diam-diam mereka bergidik.
Thiat Tiong-tong pun ikut berpikir:
"Tidak aneh kalau kakek itu begitu jumawa........."
Tapi ingatan lain segera melintas, pikirnya lebih jauh:
"Aneh sekali jika orang yang dia tunggu benar-benar adalah Un Tay-tay"
Sebenarnya dia ingin menyusul ke sana untuk menonton keramaian, tapi persoalan ditempat inipun cukup menarik perhatiannya.
Setelah tertegun beberapa saat mendadak terdengar Leng It-hong berseru sambil tertawa terkekeh:
"Ruyung geledek! Hmmm, hmmm, sekalipun ruyung geledek lantas kenapa? Belum tentu ruyung geledek sanggup mengunjungi pulau Siang cun-to semau hati sendiri"
"Hmmm, memangnya kau sendiri bisa datang pergi semaunya sendiri di pulau Siang cun-to?" ejek Hong Lo-su sambil tertawa dingin.
"Kalau aku tidak sanggup, buat apa mesti banyak bicara"
"Hahahaha..... kau tidak kuatir ada angin kencang yang mengurungi lidah mu!" Hong Lo-su tertawa keras.
"Bila kau tidak percaya, terpaksa aku harus mohon diri lebih dulu"
Siapa tahu belum sempat dia bangkit berdiri, Hong Lo-su telah membentak duluan: "Tunggu sebentar"
"Tunggu apalagi?"
"Bukankah kita semua adalah orang sendiri" ujar Hong Lo-su sambil terkekeh, "dengan cara apa sih kau bisa sering kali berkunjung ke Pulau Siang cun-to? Beritahu kepada kami bagaimana caramu"
Leng It-hong mendengus dingin.
"Hmmm, aku tahu kalau kalian harus berkunjung ke Pulau Siang cun-to tapi tidak tahu bagaimana cara masuknya, itulah sebabnya dengan senang hati aku datang kemari untuk memberi petunjuk, siapa tahu kalian tidak percaya dengan perkataanku, kelihatannya niat baikku hari ini bakal sia-sia"
Sambil mendelik besar dan menggebrak meja teriak Hong Lo-su:
"Siapa yang tidak percaya?"
Sambil menuding ke arah Hek Seng-thian tegurnya:
"Hei bocah keparat, kau berani bdak percaya?"
Hek Seng-thian tertegun, buru-buru jawabnya:
"Aku.....aku.......percaya, percaya......"
"Suto Siau, berarti kau yang tidak percaya?" bentak Hong Lo-su lagi.
"Aaaah, mungkin tidak ada yang bisa mengalahkan rasa percaya ku atas urusan ini" sahut Suto Siau tersenyum.
Dengan wajah penuh senyuman Hong Lo-su kembali berpaling, katanya:
"Nah, coba lihat, semua orang percaya kepadamu bukan? Kalau masih ada yang tidak percaya, biar aku manusia she-Hong yang akan menjagalnya terlebih dulu"
Leng It-hong mendongakkan kepalanya tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha....... menggelikan! Sungguh meng¬gelikan!"
"Kalau begitu tertawalah lebih dulu sebelum Leng-heng melanjutkan perkataanmu"
Bila dia sedang membutuhkan bantuan seseorang, biar orang itu memakinya habis habisan pun Hong Lo-su tetap akan berlagak seolah tidak ada urusan, menanti dia sudah tidak membutuhkan orang itu lagi, ketika memancung kepalanya pun dia tudak akan mengerdipkan matanya.
Kelihatannya Leng It-hong dibuat kehabisan akal juga setelah berhadapan dengan seorang bulim cianpwee yang tidak punya malu macam Hong Lo-su, ujarnya kemudian:
"Bukannya aku enggan memberitahukan caranya, tapi masalahnya tidak segampang itu"
"Jika Leng-heng punya syarat, silahkan saja dikatakan" buru buru Hong Lo-su membujuk.
Kemudian sambil menarik muka, hardiknya:
"Hek Seng-thian, ayoh cepat tuangkan arak panas untuk Leng thayhiap"
Terpaksa Hek Seng-thian harus menahan diri dengan menuangkan secaran arak.
"Buat apa kau tunduk kepadaku?" ejek Leng It-hong.
Hek Seng-thian terbatuk-batuk:
"Ehmm.....uhuu...uhuu......."
Sambil tertawa tergelak Leng It-hong meng¬ambil cawan itu, kemudian ujarnya:
"Aku telah mengajak seseorang, asal ada orang ini menemani kita, bukan saja dapat langsung memasuki Pulau Siang cun-to bahkan bisa pula pulang kembali dengan selamat"
Kelihatannya Hong Lo-su sudah tidak kuasa menahan diri lagi, serunya sambil tertawa terkekeh:
"Bagus sekali! Bagus sekali" Rupanya orang itu benar-benar mestika hidup, di mana dia sekarang? Tolong bawalah kemari"
Sambil berkata ia sudah bangkit berdiri.
"Aku telah menyembunyikannya secara baik baik, jadi kau caripun tidak bakalan ketemu"
Sambil tertawa kering Hong Lo-su kembali menempati bangkunya, katanya kemudian:
"Kalau saudara Leng tidak membawanya kemari, siapa yang berani pergi mencarinya?
Tapi....... sebenarnya siapakah orang itu? Rasanya tidak keberatan bukan untuk menyebut dulu namanya?"
"Im Ceng, murid Perguruan Tay ki bun!"
Hong Lo-su tertegun, mendadak pujinya sambil bertepuk tangan:
"Bagus, bagus sekali!"
"Kalau orang lain tidak tahu, semestinya kau tahu bukan, asal ada dia maka perjalanan kita ke Pulau Siang cun-to akan jauh lebih aman dan lancar ketimbang kita cari hu pelindung tubuh dari Thio Thay-say"
"Hahahaha......betul, orang ini memang ibarat hu pelindung tubuh, sekalipun Ratu matahari keji dan tega, tidak urung diapun akan kebingungan setelah menjumpai dia...... aaah tidak benar, tidak benar, lebih cocok dibilang kalau ingin menggebuk anjingpun harus melihat pemiliknya lebih dulu........"
Makin bicara dia merasa perkataannya semakin membanggakan sehingga akhirnya gelak tertawanya pun semakin bertambah nyaring.
Tapi kecuali dia seorang, siapa pun tidak mampu ikut tertawa, mereka hanya berpikir dengan keheranan:
"Aneh, kenapa Im Ceng bisa memiliki kegunaan sebesar itu? Mana mungkin bisa dijadikan hu pelindung tubuh?"
Diantara sekian orang, perasaan tercengang Thiat Tiong-tong terhitung paling besar, dari pembicaraan yang berlangsung, kendatipun dia pun bisa menduga kalau antara Perguruan Tay ki bun dengan Pulau Siang cun-to pasti terjalin hubungan khusus, tapi selama ini Perguruan Tay ki bun hidup mengasingkan diri jauh diluar perbatasan, sementara Pulau Siang cun-to hidup di sepanjang pesisir pantai, boleh dibilang kedua kelompok ini terpisah jauh sekali, dari mana datangnya hubungan itu? Satu hal yang sangat membingungkan.
Apalagi kalau didengar dari perkataan Hong Lo-su, tampaknya pemilik Pulau Siang cun-to tidak bakalan mencelakai Hong Lo-su sekalian setelah bertemu dengan Im Ceng, hal ini semakin membuktikan kalau hubungan kedua kelompok ini pasti akrab sekali.
Dalam semalaman, ada begitu banyak rahasia besar yang didengar Thiat Tiong-tong, tapi setelah mendengar semua rahasia itu, bukannya masalah bertambah jelas, dia merasa makin kebingungan dan bodoh.
Pikirannya jadi kalut, pelbagai persoalan serasa berkecamuk dalam benaknya, pembicaraan yang kemudian terjadi antara Hong Lo-su dengan Leng It-hong pun terabaikan dengan begitu saja, jangan lagi mengerti artinya, mendengar sekecap pun tidak.
Tiba-tiba terdengar Hong Lo-su berseru sambil tertawa aneh:
"Aku akan mengabulkan semua syarat yang kau ajukan, sekarang Im Ceng bisa diajak kemari bukan?"
Kini Thiat Tiong-tong baru tahu, rupanya pembicaraan yang barusan berlangsung hanya mempersoalkan pertukaran syarat.
Terdengar Leng It-hong sedang bertanya:
"Apakah ucapanmu sebagai seorang Bu-lim cianpwee bisa dipercaya?"
"Soal itu mah tidak usah kuatir" sahut Hong Lo-su, "ayoh cepat! Cepat!"
Leng It-hong segera tertawa terkekeh.
"Hahahaha..... kalau menginginkan kehadiran Im Ceng mah gampang sekali! Katanya.
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, sebuah mercon pun meluncur keluar dan meledak di angkasa.
Begitu bunga api memancar ke empat penjuru, perhatian semua orang pun sama-sama dialihkan ke pintu perahu. Siapa tahu biarpun setengah perminum teh sudah lewat pun tidak nampak munculnya sesosok bayangan manusia pun.
Habis sudah kesabaran Hong Lo-su, tegurnya dengan kening berkerut:
"Bagaimana?"
"Sudah hampir........sudah hampir........." sahut Leng It-hong sambil tertawa kering.
Kembali beberapa saat sudah lewat, perasaan tidak sabar kini muncul diatas wajahnya, sambil bangkit berdiri gumamnya:
"Apa yang telah terjadi? Jangan jangan.......jangan jangan......."
"Jangan-jangan kau hanya sedang mengibul!" jengek Hong Lo-su sambil tertawa dingin.
Leng It-hong sama sekali tidak menjawab, mendadak dengan wajah berubah teriaknya:
"Celaka! Pasti telah terjadi perubahan, aku harus pergi memeriksanya"
Sambil berseru dengan cepat dia melompat keluar dari ruang perahu.
"Mau kabur?" ejek Hong Lo-su sambil tertawa dingin, "jangan harap, hari ini aku Hong Lo-su akan menempel terus dibelakangmu"
Bagaikan bayangan tubuh saja, dia segera mengintil di belakang Leng It-hong.
Thiat Tiong-tong sendiripun diam-diam merasa panik, dia cukup mengetahui kemampuan kerja Sim Sin-pek dan tidak mungkin manusia licik itu melakukan kesalahan fatal.
Kalau sekarang dia tidak muncul tepat waktu berarti telah terjadi perubahan diluar dugaan, tapi baik buruknya perubahan itu susah untuk diramalkan.
Dalam pada itu Hong Lo-su, Leng It-hong dan Suto Siau sekalian satu per satu telah melompat naik ke daratan.
Dalam waktu singkat susah terlihat ilmu meringankan tubuh siapa yang paling tangguh diantara sekian jago, kecuali Hong Lo-su, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Leng It-hong terhitung paling tinggi.
Seng Cun-hau meski hebat dalam ilmu pedang, dasar kepandaian silatnya pun cukup mengagum¬kan, karena ilmu meringankan tubuh bukan ilmu andalannya, lompatannya kali ini nyaris tidak bisa menghantarnya naik ke daratan.
Thiat Tiong-tong harus menunggu sampai semua orang sudah mencapai daratan, dia baru secara diam-diam mengikuti dari belakang, tapi dia yakin ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya meski belum dapat melampaui kemampuan Hong Lo-su, paling tidak selisihnya pun tidak banyak.
Pada saat itulah, ditengah hembusan angin malam lamat-lamat terdengar suara bentakan nyaring diikuti suara pertarungan dan teriakan wanita yang amat keras, bukan saja Hong Lo-su sekalian dapat mendengarnya, Thiat Tiong-tong pun dapat mendengarnya dengan jelas sekali.
Leng It-hong segera mempercepat langkahnya, dalam belasan lompatan kemudian dia sudah saksikan ada segerombol bayangan manusia sedang mengepung kereta kudanya rapat-rapat.
Bayangan tubuh si Ruyung geledek ayah dan anak kelihatan paling mencolok, disamping mereka berdiri pula enam, tujuh orang wanita berkeiudung yang berdiri tidak bergerak disana bagaikan sukma gentayangan.
Im Ceng yang semula tidak sadarkan diri kini sudah turun dari keretanya, sementara Sim Sin-pek yang bertugas menjaga Im Ceng, saat ini justru sedang berlutut dihadapan Im Ceng.
Tampaknya Leng It-hong tidak menyangka kalau persoalan dapat berubah jadi begitu rupa, sementara Hong Lo-su pun nampak sangat terkejut, tanyanya:
"Apa yang telah terjadi?"
"Dari mana aku tahu" sahut Leng It-hong.
"Kalau begitu pergilah melakukan penyeli¬dikan, aku akan menunggu mu di perahu"
"Kau saja yang melakukan penyelidikan" seru Leng It-hong sambil tertawa dingin, "aku akan menunggumu di perahu"
Siapa pun diantara kedua orang itu tidak ada yang berani maju, bahkan mereka bersiap sedia melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar Lui pian lojin (kakek ruyung geledek) membentak nyaring:
"Kalau sudah datang, kalian tidak usah balik lagi!"
Bukan saja orang tua ini seolah memiliki sepasang mata dipunggungnya, ketajaman pen¬dengarannya betul-betul mengagumkan.
Hong Lo-su sert Leng It-hong saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya sambil keraskan kulit kepala mereka pun berjalan menghampiri.
Terlihat Im Ceng menuding wajah Sim Sin-pek sambil mencaci makinya habis-habisan, sementara Sim Sin-pek hanya berlutut sambil menundukkan kepalanya dan bergumam berulang kali:
"Hamba tidak tahu apa-apa, hamba hanya menjalankan perintah"
"Hmm, selama ini aku menganggap dirimu bagaikan saudara sendiri, sekalipun kau sedang menjalankan perintah pun tidak seharusnya berbuat begini, coba kalau bukan para hujin itu keburu datang, mungkin nyawaku sudah melayang di tanganmu saat ini!"
Rupanya Sim Sin-pek yang harus menunggu lama pada akhirnya tidak mampu menahan sabar lagi sehingga dia putuskan untuk turun dari kereta sambil melihat keadaan, dia percaya ditengah malam buta begini tidak mungkin jejaknya akan ketahuan orang.
Pada saat itulah secara kebetulan Un Tay-tay bersama rombongan wanita suci itu lewat disana, sudah sejak lama Un Tay-tay mengetahui akan kelicikan Sim Sin-pek, menyaksikan gerak geriknya yang mencurigakan, dia segera tahu kalau orang itu tentu sedang menjalankan sebuah rencana busuk.
Begitu melihat kemunculan kawanan wanita suci bercadar hitam, Sim Sin-pek ketakutan setengah mati hingga lemas kakinya, cepat-cepat dia lari balik ke dalam ruang kereta sambil berharap kawanan wanita itu lupa akan dirinya.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau Un Tay-tay menjadi salah satu dari kawanan wanita berkerudung hitam, baru saja dia menutup pintu kereta, tahu-tahu pintu kembali dibuka orang kemudian seseorang menyeretnya keluar.
Begitu tahu siapa yang berada dalam kereta, Un Tay-tay terkejut sekali, cepat dia menotok bebas jalan darah ditubuh Im Ceng.
Begitu mendusin dari mabuknya, Im Ceng sendiripun tidak menyangka kalau wanita berkerudung yang menyelamatkan jiwanya adalah Un Tay-tay, dia pun turun dari kereta dan mulai mencaci maki Sim Sin-pek habis-habisan.
Kebetulan waktu itu Lui-pian ayah beranak sedang lewat disana, mereka pun segera menyusul ke tempat kejadian.
Begitu Un Tay-tay menyaksikan kemunculan kakek berjubah ungu itu, kontan dia ketakutan setengah mati dan tidak berani bersuara lagi.
Masih untung cuaca waktu itu masih gelap gulita sehingga sulit bagi siapa pun untuk mengenalinya.
Leng It-hong sendiripun kuatir kalau sampai Im Ceng mengetahui kehadirannya, tanpa bergerak dia berdiri dibelakang Hong Lo-su, bukan berarti dia takut kepada Im Ceng, yang dikuatirkan justru kawanan wanita berkerudung anak buah Ratu matahari.
Sudah barang tentu Suto Siau semakin tidak berani tampil diri, dia bersembunyi di belakang Leng It-hong, Hek Seng-thian bersembunyi dibelakang Suto Siau sementara Pek Seng-bu bersembunyi di belakang Hek Seng-thian.
"Dasar kawanan manusia tidak berguna" umpat Seng Toa-nio seolah menggerutu, tapi dia sendiripun tidak berani tampil ke depan sebaliknya malah bersembunyi dibelakang Pek Seng-bu tanpa bergerak.
Menyaksikan kesemuanya ini, Seng Cun-hau hanya bisa menghela napas panjang, dia pun membalikkan tubuh sambil membuang muka, sebagai seorang pendekar dia malu menyaksikan sikap asor dari rekan-rekannya.
Dengan demikian, sekalipun Im Ceng berpaling ke arah mereka maka yang terlihat olehnya hanya Hong Lo-su seorang, apalagi saat itu dia sedang diliputi perasaan gusar yang meluap, didalam pandangannya kecuali Sim Sin-pek seorang, boleh dibilang dia tidak melihat siapapun.
Un Tay-tay sendiripun merasa amat sedih bercampur girang, sedih karena meski sang kekasih ada didepan mata namun mereka tidak bisa saling mengenal, girang karena kekasihnya terbebas dari pelbagai masalah.
Tiba-tiba terdengar Lui-pian lojin membentak nyaring:
"Anak muda, sudah habis makianmu?"
"Apa urusannya dengan dirimu?" sahut Im Ceng sambil melotot gusar.
"Dasar bocah ingusan, berani amat kau bersikap kurangajar, sudah tahu siapakah aku?"
"Hmm, anak murid Perguruan Tay ki bun tidak pernah takut menghadapi siapapun!" sahut Im Ceng lantang.
Suto Siau sekalian diam-diam kegirangan setelah menyaksikan pemuda itu berani bersikap kurang ajar terhadap Lui pian lojin, mereka sangka kali ini Im Ceng pasti akan dihajar habis habisan.
Siapa tahu watak Lui pian lojin memang aneh sekali, dia paling suka menghadapi pemuda bersemangat macam begini, bukannya gusar dia malah memuji sambil tertawa:
"Ternyata anak murid Perguruan Tay ki bun memang bersemangat dan tulangnya terbukti keras sekali"
"Bagus kalau sudah tahu!"
Lui pian Lojin tertawa tergelak, kembali ujarnya: "Lohu hanya ingin berbicara beberapa patah kata dengan beberapa orang hujin yang barusan menolongmu, apabila kau belum selesai memaki, teruskan saja, teruskan saja, tidak ada salahnya lohu akan menunggu sejenak lagi"
Im Ceng melirik kawanan wanita bercadar itu sekejap, perkataan itu justru membuatnya merasa sungkan, maka katanya cepat:
"Bila kalian ingin berbicara disini, baiklah, biar aku berpindah tempat dan melanjutkan makianku ditempat lain"
Wataknya memang tidak jauh berbeda dengan watak Seng Cun-hau, tunduk pada cara lunak daripada cara kekerasan.
Kontan Lui pian Lojin tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha... bagu! Bagus sekali anak muda..." Kemudian sambil menjura ke arah kawanan wanita bercadar itu, sapanya:
"Apakah belakangan ini Jit ho hujin dalam keadaan sehat?"
Wanita bercadar yang berdiri ditengah segera menjawab:
"Kau sendiri pun tetap tegap dan sehat, tentu saja Jit ho hujin selalu sehat walafiat!"
"Cengli, cengli........" Lui-pian Lojin manggut-manggut, "dimana Un Tay-tay berada?"
Pertanyaan yang diajukan sangat mendadak ini seketika membuat sebagian orang yang hadir disitu terperanjat, bahkan Im Ceng yang sudah siap membopong tubuh Sim Sin-pek pun seketika menghentikan langkahnya.
"Siapa itu Un Tay-tay?" tanya perempuan bercadar itu dingin.
Sekali lagi Lui pian Lojin tertawa terbahak bahak.
"Hahahahaha.....kalian tidak usah mengelabuhi lohu lagi, sejak keluar meninggalkan kuil Siau-lim, jejak Un Tay-tay ikut lenyap tidak berbekas, kalau bukan sudah bergabung dengan kalian, mana mungkin lohu gagal menemukan-nya?"
"Belum tentu begitu"
Sambil mengelus jenggotnya kembali Lui pian Lojin tersenyum, ujarnya:
"Bila Un Tay-tay tidak ikut bergabung dengan kalian, lohu bersedia pertaruhkan kulit wajahku ini"
"Bila kau berkeinginan memenggal batok kepala sendiri, kami semua tidak bakalan mencegah" tukas perempuan itu cepat.
Tiba-tiba Lui pian Lojin menghentikan gelak tertawanya, dengan gusar dia berseru:
"Jadi kau tidak mau mengakui juga, memang¬nya kalian ingin lohu......."
"Kalau kau bersikeras menuduh Un Tay-tay ikut bergabung dengan kami, kenapa tidak tunjuk hidung saja" tukas perempuan itu semakin ketus, "tapi kalau sampai gagal, hmmmm! Hmmmm!"
Perempuan berbaju hitam lainnya segera menimpali:
"Kalau kau sampai salah tunjuk orang, aku kuatir hubunganmu dengan Jit ho dimasa mendatang bakal tidak lancar"
Nada suaranya dingin lagi hambar, tidak jauh berbeda dengan nada bicara rekannya.
Lui pian Lojin tertegun, dia mencoba perhati¬kan kawanan wanita itu, tapi ke tujuh orang perempuan bercadar itu nyaris berdandan sama, dari ujung kepala hingga ujung kaki boleh dibilang semuanya terbalut dibalik kain hitam.
Bukan hanya dandanannya sama, perawakan tubuh ke tujuh orang wanita itupun hampir berimbang.
Terdengar perempuan yang ada disisi kiri bertanya:
"Akukah Un Tay-tay?"
Menyusul kemudian wanita disampingnya melanjutkan:
"Akukah Un Tay-tay?"
Satu per satu ke tujuh orang wanita itu mengajukan pertanyaan yang sama, nada suara mereka nyaris tidak jauh berbeda.
Coba kalau mereka bertujuh tidak bergerak, siapa pun tidak akan mampu menunjukkan perbedaan diantara mereka.
Sepanjang hidupnya sudah begitu banyak masalah pelik yang pernah dihadapi Lui pian Lojin, namun belum pernah dibuat serba salah seperti hari ini, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri terbelalak tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah berputar satu lingkaran dan menyembunyikan diri di belakang kereta kuda itu.
Dia sendiri meski yakin kalau salah satu diantara ke tujuh wanita bercadar itu adalah Un Tay-tay, namun dia pun merasa tidak berdaya untuk tunjuk hidung, siapa diantara mereka adalah orang yang dimaksud.
Bukan hanya dia, bahkan termasuk Im Ceng dan Suto Siau pun tidak mampu membedakannya.
Terdengar perempuan bercadar itu berkata lagi: "Bila kau merasa tidak mampu untuk tunjuk hidung, lebih baik jangan mencari masalah lagi"
"Soal ini....... soal ini......." Lui-pian Lojin cemas bercampur gusar.
Mendadak dengan sekali lompat Sim Sin-pek menyembah dihadapannya sambil berteriak keras:
"Bila hamba sanggup menunjukkan dimana Un Tay-tay bersembunyi, apa pula yang hendak cianpwee lakukan?"
"Lohu saja tidak mampu mengenali, apalagi kau seorang bocah busuk yang tidak tahu diri?" bentak Lui-pian Lojin gusar, "baik! Bila kau dapat mengenali, lohu jamin keselamatanmu hari ini"
"Sungguh?"
Dengan jengkel Lui pian Lojin menendangnya hingga jatuh berguling, umpatnya penuh amarah:
"Apa itu sungguh atau palsu, setiap perkataan lohu ibarat larinya seribu ekor kuda, mau dikejar pun tidak mungkin"
Biarpun kena didepak keras, Sim Sin-pek justru memperlihatkan wajah kegirangan, serunya:
"Hamba tidak bermaksud mengatakan kalau ketajaman mataku jauh melebihi kau orang tua, kebetulan saja barusan tanpa sengaja Un Tay-tay telah memperlihatkan jejaknya"
"Jejak apa? Kalau ingin dilaporkan cepat katakan"
"Kecuali Un Tay-tay, tidak seorangpun yang bakal mengenali hamba, terlebih mengenali Im.......Im thayhiap, tapi ada seorang hujin berbaju hitam yang langsung menyebutkan nama hamba serta Im thayhiap begitu bertemu kami, saat itu juga hamba segera menduga siapa gerangan hujin itu"
"Sekalipun saat itu kau dapat menduga, bukan berarti sekarang kau masih bisa mengenalinya kembali"
Sim Sin-pek segera tertawa.
"Ketika hujin itu menarik tangan hamba tadi, secara diam-diam hamba telah meninggalkan tanda rahasia ditangannya, tanda itu kutinggalkan tanpa dia sadari...."
Ketika mendengar perkataan itu, tanpa sadar perempuan bercadar nomor dua dari sebelah kanan segera menarik tangannya dan menyembunyikan dibalik saku.
Sim Sin-pek yang menyaksikan hal tersebut kontan berteriak keras:
"Dialah orangnya!"
Baru selesai dia berteriak, Lui pian Lojin sudah menerjang ke hadapan perempuan itu dengan kecepatan tinggi, bentaknya:
"Yaa, kaulah orangnya! Un Tay-tay, apakah kau masih ingin kabur!"
Terlihat wanita berbaju hitam itu berdiri dengan tubuh gemetar keras.
Terdengar Sim Sin-pek berseru sambil tertawa terbahak bahak:
"Hahahaha.... Un Tay-tay, siapa suruh kau menarik tanganmu sambil disembunyikan dibalik saku, padahal ditanganmu itu sama sekali tidak ada tanda apa-apa?"
Thiat Tiong-tong merasa terkejut, keheranan bercampur rasa sayang, terkejut dan heran karena dia tidak tahu kenapa orang tua itu begitu getol mencari Un Tay-tay, merasa sayang karena manusia secerdik Sim Sin-pek kenapa perbuatan-nya justru licik dan berhati busuk.
Tampak perempuan berbaju hitam itu menghentakkan kakinya berulang kali sambil berteriak keras:
"Mau kenali aku atau tidak, aku tidak ambil perduli, pokoknya sampai mati pun aku tidak bakalan mengikuti dirimu"
Sambil berkata dia tanggalkan kain cadar dari wajahnya, maka muncullah seraut wajah yang meski cantik namun kelihatan sangat murung.
Begitu menyaksikan wajah perempuan itu, tanpa terasa sekujur tubuh Im Ceng gemetar keras.
Kembali Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha......... kini lohu telah berhasil mengenalimu, bagaimanapun juga kau harus pergi bersamaku"
"Kenapa?" tiba tiba perempuan bercadar yang berdiri dipaling tengah menegur dingin.
"Karena dia sudah terikat janji dengan lohu"
"Dia sudah mati satu kali" tukas perempuan itu cepat, "berarti semua perjanjian dimasa hidupnya yang lampau tidak perlu dipenuhi lagi"
Kemudian setelah tertawa dingin lanjutnya:
"Sebab orang yang sudah mati tidak akan mampu melakukan pekerjaan apa pun!"
"Hahahahaha.....betul, kalau ingin menjadi anak buahnya Ratu matahari, dia memang wajib mati satu kali" kata Lui pian Lojin sambil tertawa tergelak, "tapi khusus baginya, biar sudah matipun perjanjan ini masih tetap berlaku"
"Kenapa?"
"Sebab perjanjian yang kami sepakati adalah menyerahkan tubuhnya kepada lohu, sekalipun tidak disebut dalam kondisi hidup atau mati, tapi yang pasti biar hidup atau mati, tubuh itu tetap menjadi milikku"
Satu pernyataan yang sangat lihay, kawanan wanita bercadar itupun tidak sanggup berkata-kata lagi, sebab dalam hal ini biar orang mati pun masih tetap dapat melakukannya.
Un Tay-tay memandang sekeliling tempat itu sekejap, dua baris air mata segera jatuh bercucuran.
Tiba-tiba terdengar Im Ceng membentak keras, sambil tampil ke depan teriaknya:
"Bagaimana pun juga kau masih terhitung seorang bulim cianpwee, kenapa perbuatanmu justru begitu memalukan, menganiaya kaum wanita lemah...... Hmmm! Sekalipun orang lain enggan mencampuri, hari ini aku orang she-Im tetap akan mengurusi hal ini"
Sekali lagi Un Tay-tay gemetaran keras, pancaran sinar girang muncul dari balik matanya. Ternyata Im Ceng masih begitu menaruh perhatian terhadapnya, sekalipun benar-benar harus mati, kini dia akan menerimanya dengan rela.
Dengan mata melotot Lui pian Lojin mengawasi wajah Im Ceng beberapa saat, tiba-tiba sambil bertepuk tangan dan tertawa keras serunya:
"Betul, betul, ternyata kau orangnya! Kenapa tidak kukenali sejak tadi"
"Kenapa tidak dikenali?" Im Ceng tertegun, "ngaco belo saja perkataanmu itu"
"Lohu pernah selamatkan nyawamu, kenapa kau malah bersikap begitu kurangajar kepadaku?"
Rupanya dia sudah mengenali kalau pemuda itu tidak lain adalah anak muda yang dia hantar masuk ke dalam kuil Siau-lim.
"Kau pernah selamatkan nyawaku?" tanya Im Ceng tetap tidak habis mengerti.
"Kalau bukan lohu, mana mungkin kau bisa memasuki kuil Siau-lim-sie?"
"Tapi...tapi dia...." Im Ceng merasa terkejut bercampur ragu.
"Justru lantaran ingin selamatkan nyawamu, maka dia serahkan tubuhnya untuk lohu" sela Lui pian Lojin cepat, "bocah goblok, masa sampai sekarang pun kau masih belum tahu?"
Im Ceng berdiri dengan tubuh gemetar keras, dengan wajah tertegun dia mundur sempoyongan beberapa langkah ke belakang.
"Hei anak muda, kemari kau" kembali Lui pian Lojin menggapai ke arah pemuda berbaju ungu.
Sambil tertawa getir pemuda berbaju ungu itu maju mendekat.
"Berdiri di samping nona Un!" kembali perintah Lui pian Lojin.
Sambil mendeham berulang kali pemuda berbaju ungu itu berjalan ke depan dan berdiri disisi perempuanku.
Dalam pada itu Un Tay-tay hanya berdiri termangu sambil mengawasi wajah Im Ceng, terhadap urusan lain tampaknya dia tidak meng¬gubris maupun ambil perduli.
Dengan sorot matanya yang tajam Lui pian Lojin memperhatikan putranya sekejap, lalu memperhatikan pula wajah Un Tay-tay, setelah itu sambil tertawa tergelak serunya:
"Bagus! Bagus! Benar-benar sepasang muda mudi yang serasi, yang laki tampan yang wanita cantik lagi cerdas, lain waktu kalian pasti akan melahirkan cucu hebat untuk lohu, hahahaha.... hahahaha.....bagus, sungguh bagus......"
Saat itulah Un Tay-tay baru tersentak sadar dari lamunannya, mendengar ucapan tersebut, serunya keheranan:
"Apa? Cucu?"
"Putra yang kau lahirkan bersama anakku bukankah cucuku? Cucu dalam?" seru Lui pian Lojin cepat, kuatir orang lain tidak paham, kembali dia menjelaskan secara terperinci.
Tampaknya penjelasan ini sama sekali diluar dugaan Un Tay-tay, kembali ujarnya tergagap:
"Jadi kau..... kau ingin aku bersama putramu........."
Dengan wajah penuh rasa bangga Lui-pian Lojin berkata lagi:
"Selama hidup lohu selalu malang melintang tanpa tandingan, kalau cucuku tidak hebat, bukankah hal ini akan menjadi satu penyesalan? Oleh sebab itu lohu mesti mendapatkan menantu pilihan......."
Setelah tertawa tergelak berulang kali, terusnya: "Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya kutemukan dirimu. Lohu sudah cukup lama mengamati sifat manusia, lohu tahu bila memperoleh wanita goblok maka putranya pasti goblok, kalau mendapat wanita cerdik pasti akan melahirkan putra cerdik, teori ini tidak bakal berubah dari dulu hingga nanti. Sekarang lohu telah memperoleh menantu cantik lagi cerdik macam kau, dapat dipastikan seorang cucu hebat pasti akan bergabung dalam keluarga kami...... hahahaha...... coba lihat, putraku ganteng, gagah, bun bu coan cay, bukankah merupakan pasangan serasi denganmu"
Makin bicara orang tua itu merasa semakin bangga, sebaliknya pemuda berbaju ungu itu hanya bisa berdiri sambil tertawa getir, sementara batuknya pun makin bertambah keras.
Hong Lo-su ikut terkekeh, serunya:
"Bagus! Bagus! Sungguh bagus! Nona Un, kenapa tidak segera berlutut dan memanggil loya kepadanya!"
Saat itu Im Ceng sudah tidak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya keras:
"Kentut!"
"Bocah bodoh, minggir kau"
"Un Tay-tay itu milikku, apa pun yang terjadi aku tidak akan biarkan dia kawin dengan anak busukmu!"
Entah apa sebabnya, bahkan Im Ceng sendiri¬pun tidak paham, kenapa dia bisa mengucapkan kata-kata semacam itu, tapi bagi pendengaran Un Tay-tay, ucapan tersebut nyaris membuatnya jatuh pingsan, semaput gara-gara kegirangan.
"Bocah goblok" umpat Lui pian Lojin dengan kening berkerut kencang, berkerut saking gusar¬nya, "kau tahu siapakah lohu? Kurang ajar kepadaku mah masih mendingan, kau berani memaki putraku?'
"Kalau berani lantas kenapa?"
"Keparat!" teriak Lui pian Lojin naik pitam, "hei bocah muda, cepat kasih pelajaran kepada si burung dogol itu"
Rupanya panggil 'bocah muda' tanpa embel yang lain dimaksudkan untuk memanggil putranya.
"Tapi.....tapi......." kelihatan sekali pemuda berbaju ungu itu agak keberatan.
"Tapi kenapa?" kembali Lui pian Lojin mem¬bentak, "memangnya kau ingin menjadi anak tidak berbakti? Ayoh cepat........ mengingat bocah goblok itu punya keberanian, jangan kau lukai nyawanya"
"Baik........" akhirnya pemuda berbaju ungu itu menghela napas.
Siapa tahu Im Ceng bertindak jauh lebih cepat, tidak menunggu sampai dia menyelesaikan perkataannya, sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan.
Terdengar Hong Lo-su segera berteriak aneh: "Eei keparat, kenapa pukulan Siau-lim-kun yang kau gunakan?"
Baru selesai dia bicara, Im Ceng telah melepas¬kan lima buah pukulan berantai, karena itu kembali teriaknya:
"Hiattit, coba lihat, bocah dungu itu menyerang sungguhan, memangnya kau pingin digebuk? Ayoh cepat dibalas!"
Menggunakan kesempatan itu, perempuan bercadar yang ada ditengah segera berbisik disisi telinga Un Tay-tay:
"Kami akan berusaha menahan kakek itu, gunakan kesempatan nanti untuk kabur dari sini!"
"Tapi.... ke mana aku pergi?" tanya Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Perempuan berbaju hitam itu segera menyu¬supkan sebuah peluit tembaga ke tangannya sambil berbisik:
"Tiuplah peluit itu begitu tiba di pesisir, akan muncul perahu yang akan menjemputmu, asal sudah tiba di Pulau Siang cun-to, kau tidak perlu kuatir lagi terhadap siapa pun"
Kemudian dia menggapai sambil memberi tanda, ke enam orang wanita berbaju hitam itu serentak bergerak ke depan dan mengepung Lui pian Lojin rapat-rapat, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran kilat.
"Mau apa kalian berenam?" bentak Lui pian Lojin gusar.
"Mau memaksamu agar tidak mampu melolos¬kan diri" sahut perempuan bercadar itu cepat.
Dengan gerakan cepat ke enam orang itu berputar tiada hentinya, tiba-tiba setiap orang melepaskan satu pukulan, langsung menghantam bahu kakek itu.
"Minggir!" bentak Lui pian Lojin gusar, "selama hidup lohu tidak sudi bertarung melawan kaum wanita
"Tidak sudi pun tetap harus melayani kami"
Enam orang secara berantai melancarkan serangan secara bertubi tubi, kerja sama mereka selain erat pun gerak serangannya aneh, membuat siapa pun jangan harap bisa loloskan diri secara gampang.
Sekalipun Lui pian Lojin termasuk jagoan tangguh, tidak urung dia terjerumus juga dalam kepungan yang rapat, biarpun dia mencak-mencak kegusaran, untuk sesaat jangan harap bisa loloskan diri dengan mudah.
Un Tay-tay mulai bergeser menjauhi tempat itu, namun sepasang matanya serasa melekat ditubuh Im Ceng, sama sekali tidak sanggup berpindah dari situ.
Waktu itu Im Ceng menyerang semakin gencar, pukulan demi pukulan dilontarkan ke tubuh pemuda berbaju ungu itu bagai titiran hujan badai, sementara pemuda berbaju ungu itu seolah tidak berdaya melancarkan serangan balasan, tapi seperti juga dia memang sama sekali tidak berhasrat untuk melayani pertarungan itu.
Un Tay-tay tidak ingin pergi dari situ, namun tidak bisa tidak harus pergi, baru saja dia nekad hendak beranjak dari sana, mendadak matanya menangkap wajah Hong Lo-su yang sedang memandang kearahnya sambil tertawa licik.
Bersamaan waktu diapun menyaksikan Leng It-hong dan Suto Siau yang berdiri dibelakang Hong Lo-su, perasaan hatinya makin tercekat, pikirnya:
"Kalau aku pergi sekarang, bukankah diriku akan terjatuh ke cengkeraman setan mereka?"
Dia lebih suka ditawan Lui pian Lojin ketimbang terjatuh ke tangan kelompok manusia busuk itu, karena itu langkahnya seketika terhenti. Saat ini keadaannya boleh dibilang maju salah mundurpun salah.
Tiba-tiba terdengar pemuda berbaju ungu itu berbisik:
"Kereta kuda itu kosong"
Tergerak hati Un Tay-tay, sebelum dia sempat bertanya Im Ceng sudah membentak guluan:
"Kalau kosong ada apa?"
Sambil berkelit dari pukulan, kembali pemuda berbaju ungu itu berbisik:
"Kalau kosong berarti bisa dinaiki, kalau bisa dinaiki berarti bisa digunakan untuk kabur"
"Jangan harap kau bisa kabur!" seru Im Ceng gusar.
Pemuda itu mendongkol bercampur geli, untunglah Un Tay-tay segera datang sambil berbisik:
"Dia suruh kau yang naik kedalam kereta dan kabur!"
Im Ceng sama sekali tidak menghentikan serangannya, kembali ujarnya penuh amarah: "Kenapa aku harus kabur!"
"Paling tidak kau toh bisa mengajak nona Un untuk melarikan diri dari sini bukan?" kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas.
Sekarang Im Ceng baru tertegun dibuatnya:
"Apa.....apa kau bilang?"
"Pemuda bodoh! Kau benar-benar pemuda bodoh!" kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas lagi, "kalian berdua bisa kabur dari sini sementara biar aku yang menghadang kepergian para pengejar, anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa disini"
"Hmmm! Masa begitu baik hatimu?"
"Un Tay-tay cantik bak bidadari dari kahyang¬an, jangan kau sangka aku tidak terpikat olehnya, kalau kau masih juga tidak pergi, bisa jadi aku benar-benar akan mengawininya menjadi biniku"
Segoblok apa pun saat ini Im Ceng sudah merasakan juga niat baik dari pemuda itu, timbul perasaan terima kasih dihati kecilnya, tapi di luaran kembali bentaknya:
"Bocah keparat, kau......."
"Baik, anggap saja aku memang keparat. Sudahlah, sekarang bisa naik ke dalam kereta?"
Un Tay-tay tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, sambil tertawa cekikikan dia menyelinap masuk ke dalam ruang kereta.
Akhirnya Im Ceng menghentikan serangannya:
"Tapi..........."
Tidak menanti dia menyelesaikan perkataan-nya mendadak pemuda berbaju ungu itu mengayunkan tangannya, tidak jelas apa yang dilakukan, tahu-tahu dia sudah cengkeram urat nadi Im Ceng dan mendorong tubuhnya ke dalam kereta kuda, kemudian sambil berpekik nyaring dia sentil perut kuda-kuda itu.
Diikuti suara ringkikan panjang, kuda-kuda itu pun berlarian kencang meninggalkan tempat itu.
Dengan bergeraknya sang kereta, Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di belakang kereta pun tidak bisa menyembunyikan diri lagi, tapi dia enggan munculkan diri dalam situasi dan keadaan seperti ini, terpaksa sambil tetap membonceng dibelakang ruang kereta, dia ikut berlalu pula dari tempat itu.
Bersamaan dengan bergemanya suara ringkikan kuda, pemuda berbaju ungu itu telah menyelinap ke hadapan Hong Lo-su dan Leng It-hong sekalian sambil merentangkan sepasang tangannya lebar-lebar, tegurnya sambil tersenyum:
"Apakah kalian masih kenal aku?"
"Tentu saja masih........" sahut Hong Lo-su, "kenapa kau justru membiarkan kereta kuda itu berlalu........."
Sambil mengebaskan ujung bajunya, dia siap melakukan pengejaran.
Hek Seng-thian, Pek Seng-bu maupun Suto Siau serentak ikut menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pengejaran.
Siapa tahu, biarpun usia pemuda berbaju ungu itu masih sangat muda ternyata kungfunya sangat hebat, kemana pun Hong Lo-su bergerak, tubuhnya selalu bergerak lebih cepat untuk menghalangi jalan perginya, sementara dengan sorot mata yang tajam dia melotot ke arah Suto Siau sekalian sambil berseru:
"Kalian belum menjawab pertanyaanku, jangan pergi dulu"
Keangkeran dan keperkasaan pemuda itu seketika membuat Suto Siau sekalian tidak berani berkutik, mereka benar-benar tercekat hatinya.
Sambil menahan rasa gusar, buru-buru sahut Hong Lo-su:
"Kau adalah putra Lui pian Lojin, masa aku tidak mengenalinya?"
Pemuda berbaju ungu itu tertawa.
"Tidak berani, tidak berani........." katanya, kemudian sambil menuding ke arah Suto Siau sekalian lanjutnya, "boleh tahu nama besar dari beberapa orang hengtay ini?"
Tidak terlukiskan rasa gusar Hong Lo-su saat itu, namun memandang wajah Lui pian Lojin dia tidak berani mengumbar amarahnya, terpaksa sambil melotot jengkel ke arah pemuda berbaju ungu itu, dia perkenalkan nama Suto Siau sekalian satu demi satu.
Pemuda berbaju ungu itu segera tertawa tergelak, sambil menyingkir ke samping memberi jalan lewat katanya:
"Silahkan kalau kalian hendak melakukan pengejaran!"
"Sekarang mau mengejarnya kemana!" teriak Hong Lo-su mendongkol.
"Kalau saat ini mereka masih terkejar, tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian melakukan pengejaran"
Biarpun Hong Lo-su gusarnya setengah mati, diapun tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa sambil menghentakkan kakinya berulang kali, dia mencaci maki habis-habisan, tidak jelas siapa yang menjadi sasaran makiannya.
Pemuda berbaju ungu itu tidak menggubris dirinya lagi, ketika berpaling ke arah lain, dia saksikan ke enam orang wanita bercadar itu berputar semakin gencar, nyaris sudah tidak kelihatan lagi bayangan tubuh mereka, kini yang tersisa tinggal segulung bayangan abu-abu yang samar.
Lui pian Lojin yang terkepung ditengah bayangan abu-abu membentak gusar berulang kali, tiba-tiba sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung tinggi ke angkasa, suara pekikannya keras bagaikan guntur yang menggelegar di udara, membuat bergetar perasaan hati setiap orang.
Walaupun kawanan jago itu sudah lama mengetahui akan kehebatan Lui pian Lojin, namun setelah mendengar sendiri suara pekikannya yang menggetar sukma, tidak urung mereka dibuat tercekat hatinya.
Sambil tertawa rendah ujar Hong Lo-su:
"Waah, kelihatannya toako sudah mulai gusar, dia sudah tidak ambil perduli lagi siapa musuhnya, kali ini ke enam orang wanita itu bakal banyak menderita"
Siapa tahu belum selesai suara pekikan itu berkumandang, kawanan wanita bercadar itu telah membubarkan diri sambil mundur ke tepi arena dan berdiri tanpa bergerak lagi.
Dengan wajah penuh amarah dan mata melotot besar, Lui pian Lojin melayang turun dari udara, saat ini keadaannya mirip dengan dewa guntur yang sedang gusar, jubah ungunya menggelembung besar dan bergolak tiada hentinya, jelas sudah dipenuhi dengan tenaga dalam yang maha dahsyat.
Begitu menginjakkan kakinya ditanah, Lui pian Lojin kembali berseru dengan penuh amarah:
"Sudah lama kudengar ilmu barisan Toa ciu thiat coat sintin dari Pulau Siang cun-to sangat hebat, lohu sudah siap meminta pengajaran, kenapa kalian malah berhenti?"
Perlahan-lahan perempuan bercadar itu menyahut:
"Walaupun ilmu barisan Toa ciu thiat coat sintin sangat hebat, sayangnya kehebatan itu tidak akan terwujud bila digunakan oleh enam orang saja, apalagi Un Tay-tay sudah pergi jauh, buat apa kami mesti membuang tenaga dengan percuma, bila kau bersikeras ingin menyaksikan kehebatan ilmu barisan kami, datang saja ke Pulau Siang cun-to, pasti ada orang yang akan melayani keinginanmu itu!"
Perkataan itu disampaikan dengan suara dalam lagi lambat, sama sekali tidak tersirat hawa amarah.
"Pulau Siang cun-to?" teriak Lui pian Lojin gusar, "hmmm! Hmmm! Memangnya pulau Siang cun-to adalah sarang naga gua harimau? Memangnya lohu benar-benar tidak berani mendatanginya!"
"Mereka pasti menyangka toako tidak berani" sambung Hong Lo-su cepat.
Dia memang tidak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang cun-to, oleh sebab itu secara licik dia berusaha memanasi hati orang lain untuk mendatangi pulau itu sementara dirinya akan mencari keuntungan di air keruh.
Benar saja, perkataan itu seketika membuat hawa amarahnya makin memuncak, sambil menghentakkan kakinya dia berseru:
"Anak muda, kita berangkat!"
Hentakan kakinya seketika menimbulkan liang yang cukup dalam ditempatnya berpijak.
Diam-diam Hong Lo-su kegirangan, kembali teriaknya:
"Walaupun siaute tidak berkemampuan untuk membantu toako, tapi pergi bersama toako paling tidak bisa membantu keangkeran dirimu"
"Siapa yang ingin ikut segera bergabung denganku" seru Lui-pian Lojin keras, "lohu tidak percaya kalau Pulau Siang cun-to benar-benar adalah sarang naga gua harimau, kali ini harus kuterjang"
Suto Siau sekalian segera menunjukkan wajah kegirangan, sementara pemuda berbaju ungu itu menghela napas panjang.
Didalam kereta kuda Im Ceng duduk saling berhadapan dengan Un Tay-tay, sepanjang jalan senyuman manis selalu tersungging diujung bibir perempuan itu.
Menyaksikan hal ini, dengan gusar Im Ceng segera menegur:
"Apa yang kau tertawakan?"
Un Tay-tay tidak menjawab, seketika dia tundukkan wajahnya.
Kembali Im Ceng berseru:
"Kalau kau anggap pemuda tadi jauh lebih pintar ketimbang aku, kenapa tidak ikut dia saja?"
Un Tay-tay tetap menundukkan kepalanya tanpa menjawab.
Kedua orang itupun terbungkam, dalam keheningan kereta kuda bergerak makin cepat.
Tiba-tiba Im Ceng berkata lagi:
"Penampilanku tadi bukan cuma lantaran kau, bila ada perempuan lain yang mengalami penganiayaan pun, aku tetap akan berbuat hal yang sama"
"Aku tahu.........."
Kelihatannya Im Ceng sedang dipenuhi oleh rasa mendongkol, semakin Un Tay-tay bersikap lembut dan penurut, dia semakin jengkel dibuatnya, mendadak dengan mata mendelik dia mulai memukul dinding kereta.
Un Tay-tay masih menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menggubris.
Kembali beberapa saat lewat, akhirnya Im Ceng tidak kuasa menahan diri lagi, teriaknya:
"Sekalipun kau telah selamatkan nyawaku, gara-gara kau akupun merasakan penderitaan yang berat, jadi aku tetap tidak akan berterima kasih kepadamu"
"Aku tahu......."
Tiba-tiba Im Ceng melompat bangun, "duuuk!" kepalanya ditumbukkan keatas dinding kereta kemudian teriaknya keras:
"Kau tidak tahu.......kau tidak tahu.......apapun tidak kau ketahui"
Dengan sedih Un Tay-tay memandangnya sekejap, setelah menghela napas tanya:
"Dari mana kau tahu kalau aku tidak tahu?"
Lirikan itu seolah sebuah jarum tajam yang segera menusuk dihati Im Ceng.
Perasaan murung, perasaan kagum serta luapan cinta kasih yang sangat mendalam seolah terkandung dibalik lirikan itu, membuat manusia berhati baja pun akan luluh hatinya apalagi lelaki berdarah panas macam Im Ceng.
Akhirnya Im Ceng tidak sanggup mengendali¬kan diri lagi, tiba-tiba dia menubruk maju dan memeluk tubuh Un Tay-tay erat-erat, bisiknya:
"Kau tidak tahu, aku.....aku........."
Pemuda ini berwatak keras dan berangasan, gembira atau gusar selalu mengikuti suara hati, bila dia enggan memperdulikan seseorang maka jangan lagi mengajaknya bicara, melirikpun enggan, tapi bila hatinya sedang dikobar api asmara, dia pun akan mengemukakan perasaan hatinya secara terang terangan.
Sambil menyandarkan kepalanya diatas dada pemuda itu, Un Tay-tay berbisik:
"Aku tahu, kau sangat berterima kasih kepada¬ku"
"Bukan hanya berterima kasih, bahkan..... bahkan aku......."
"Bahkan kenapa?"
"Aku.....akupun ingin........."
"Sebagai seorang lelaki sejati, masa kata 'cinta' pun tidak berani kau kemukakan?"
"Benar, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu....." jerit Im Ceng keras-keras, "aku rela tidak memperoleh apapun asal tidak kehilangan dirimu"
Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, butiran air mata telah membasahi seluruh wajahnya, dengan suara gemetar dia berbisik:
"Sekalipun semua penderitaan dan siksaan harus kujalani, tapi asal bisa mendengar perkata¬anmu itu, hatiku benar-benar sudah puas"
Im Ceng memeluknya makin kencang, seolah kuatir kehilangan wanita itu lagi, gumamnya terus menerus:
"Aku mencintaimu......... aku cinta padamu...... bila kau senang mendengarnya, setiap hari akan kuulang beratus, beribu kali....."
"Tapi dulu aku pernah melakukan perbuatan yang sangat memalukan, pernah pula melakukan perbuatan salah kepadamu"
Cepat Im Ceng menutup mulutnya dengan tangan, tukasnya:
"Perduli dulu kau pernah melakukan perbuatan apa, juga tidak perduli dikemudian hari apa yang hendak kau lakukan. Asal hatimu hanya untukku, asal kau tidak pernah meninggalkan aku untuk selamanya, aku sudah merasa puas sekali"
Sambil mendesis lirih Un Tay-tay segera memeluk tengkuk pemuda itu, tubuh mereka berdua pun saling berangkulan dengan mesranya, pipi menempel diatas pipi sementara air mata jatuh berlinang, mereka seolah sudah melupakan keadaan yang sedang dihadapi.
Orang yang berada diluar kereta ikut merasa terharu bercampur gembira, pikirnya:
"Dasar bocah bodoh...... dasar bocah bodoh......akhirnya kau mengerti juga...."
Walaupun dia tidak ingin mencuri dengar, namun setiap patah kata yang berkumandang dari balik kereta terdengar olehnya dengan jelas.
Walaupun dia tidak ingin mendengar lebih jauh, namun perasaan hatinya tidak tahan untuk mendengar lebih banyak, agar dia bisa turut bergembira bagi mereka, sebab jika mereka berdua dapat hidup bahagia, dia akan merasa lebih berbahagia ketimbang mereka.
Im Ceng benar-benar menikmati kebahagiaan saat itu, terdengar dia bergumam:
"Sekalipun kau telah berjumpa dengan orang yang lebih cerdik dari padaku pun jangan kau tinggalkan diriku"
Melihat ucapan itu diutarakan dengan wajah bersungguh-sungguh, seakan dia masih belum melupakan pemuda berbaju ungu itu, tidak tahan Un Tay-tay segera tertawa cekikikan, makinya:
"Dasar bocah bodoh!"
"Biarpun bodoh, aku mencintaimu dengan sepenuh hati, sementara mereka yang mengaku cerdik, entah sudah berapa banyak orang yang dicintai. Bagiku, aku hanya tahu mencintai kau seorang"
"Belum tentu hanya seorang!"
"Sungguh, aku hanya mencintai seorang, kalau tidak percaya aku.....aku....."
Mendadak Un Tay-tay memeluknya makin kencang, dengan gemas digigitnya tengkuk pemuda itu.
Senyuman bercampur air mata kembali meng¬hiasi wajahnya:
"Dasar bocah bodoh....... dasar bocah bodoh!
Biarpun orang lain lebih menyukai orang pintar, bagiku hanya orang bodoh macam kau yang kusukai"
Biarpun tengkuknya yang digigit menimbulkan rasa sakit, namun Im Ceng merasakan hatinya manis dan hangat, tiba-tiba dia tertawa.
"Kalau memang begitu, tidak tertutup kemung¬kinan ada wanita lain yang bakal menyukai orang bodoh macam aku"
"Kalau ada wanita lain berani mencintaimu, akan kubunuh dia, kukuliti dia, kutanak dagingnya dan kumakan seiiris demi seiris" bisik Un Tay-tay sambil menggigit bibir.
"Waaah, ternyata kau adalah harimau betina yang galak....... jika ada wanita lain yang men¬cintaiku dan mendengar ancaman mu itu, mereka pasti akan lari terbirit-birit"
Dibalik gelak tertawanya penuh diliputi perasaan gembira, semua ketidak beruntungan yang mengganjal hatinya tadi kini seolah sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Un Tay-tay menatapnya sendu, setelah berapa saat tiba-tiba ia menghela napas panjang.
"Dalam suasana gembira macam begini, kenapa kau menghela napas?" tegur Im Ceng.
Sambil pejamkan matanya Un Tay-tay tertunduk lesu, ujarnya sambil menghela napas sedih:
"Walaupun saat ini kita amat gembira, namun waktu untuk bergembira tidak terlalu lama"
"Siapa mengatakan begitu.....? siapa yang bilang......." tanya Im Ceng terperanjat.
"Setibanya di pesisir laut, aku akan segera naik perahu menuju Pulau Siang cun-to, sejak itu......kita dipisahkan oleh lautan yang luas, aku takut.....aku takut sejak itu......."
"Aku melarang kau berkata begitu.......aku juga melarang kau ke sana!" tukas Im Ceng keras.
"Aku pun tidak ingin berpisah denganmu, tapi.... tapi jangan lupa, aku sudah mati satu kali, hanya Pulau Siang cun-to yang bisa ku tempati"
Im Ceng merasa cemas bercampur gusar, dengan air mata berlinang dipeluknya Un Tay-tay semakin kencang, jeritnya:
"Siapa bilang kau sudah mati? Orang-orang itu hanya ngaco belo, tidak usah kau gubris perkataan mereka"
"Aku telah bergabung dengan mereka, bagai¬mana pun aku harus pergi ke sana"
"Siapa bilang kau harus ke sana? Kalau ada orang berani memaksamu, akan ku..... akan kubunuh orang itu, kutanak dagingnya dan kumakan tubuhnya, akan.....akan kubakar Pulau Siang cun-to"
"Bocah bodoh!" dengan lembut Un Tay-tay menyeka air mata diwajahnya, "ilmu silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, anak buahnya banyak tidak terhitung, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi mereka?"
Sekujur tubuh Im Ceng gemetar keras, seakan dadanya kena dihantam sebuah pukulan keras.
Tiba-tiba Un Tay-tay melihat paras mukanya berubah jadi pucat pasi, sepasang matanya melotot besar, ketika dipanggil namanya, dia tidak menyahut, pemuda itu seakan telah berubah jadi bodoh, jadi idiot!
Dia merasa hatinya sakit bagaikan ditusuk pisau, diapun gelisah bercampur cemas, dengan air mata berlinang bisiknya:
"Kee.....kenapa kau....... sadarlah.......mari kita cari jalan lain........"
"Jalan apa.....? jalan yang mana?" gumam Im Ceng seperti orang kebingungan, tiba-tiba dia me¬nangis tersedu, "aku tidak berdaya! Aku...... aku tidak sanggup menghadapi mereka"
"Aku yakin pasti ada cara menanggulanginya" bisik Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Im Ceng agak tertegun, mendadak dia melom¬pat bangun, "dduuk!" kepalanya membentur di langit-langit kereta namun tidak terasa sakit, teriaknya kegirangan:
"Betulkah ada jalan keluar?"
Un Tay-tay merasa pedih bercampur sayang, sembari membelai kepalanya dia berkata:
"Biarpun kepandaian silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, toh bukan berarti dia bisa memaksaku jadi orang mati!"
"Betul, betul......"
"Seandainya aku memohon kepadanya, mung¬kin diapun tidak akan memaksakan kehendak"
"Betul, betul......biar aku temani kau"
Un Tay-tay memandangnya sekejap, tiba-tiba ujarnya lagi:
"Tapi tidak ingin pergi memohon kepadanya"
"Kee.....kenapa?"
"Bila suatu saat tabiat tuan besarmu kambuh kembali, bila kau mulai mengungkit kesalahan ku dulu, tidak memperdulikan aku lagi, bukankah lebih baik aku pergi mampus saja"
Merah padam wajah Im Ceng saking gelisahnya, dengan keras dia berteriak:
"Bila Im Ceng tidak ambil perduli lagi terhadap Un Tay-tay, biarlah Thian memberi kematian yang mengenaskan bagiku........"
Buru-buru Un Tay-tay mendekap mulutnya sambil berseru:
"Aku percaya dirimu, jangan kau lanjutkan perkataan itu, jika Thian punya mata, moga-moga kami berdua diberkahi hidup bahagia hingga akhir jaman"
"Betul, hidup bahagia hingga akhir jaman......."
Untuk sesaat kedua orang itu hanya saling bertatap muka tanpa bicara lagi, seakan-akan mereka tidak ingin dipisahkan kembali walau hanya sedetikpun.
Begitu mendengar pembicaraan tersebut, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau perempuan itu hanya ingin mengendorkan suasana saja dan berusaha menunda masalah.
Sekalipun begitu, dia tidak marah atau mem¬benci Un Tay-tay, sebab dia cukup memahami perasaan wanita itu. Dia sengaja berbuat demikian hanya terbatas karena dia tidak ingin berpisah dengan Im Ceng, kalau dia tidak berbuat begitu, bagaimana mungkin bisa menjinakkan kuda liar macam pemuda itu.
Thiat Tiong-tong hanya beranggapan bahwa cara yang dilakukan perempuan itu patut dikasihani, patut menaruh simpatik kepadanya sekalipun ada sedikit tipu daya yang diperguna-kan, namun dia bisa memakluminya.
Sekalipun Thiat Tiong-tong bukan perempuan, boleh dibilang dia sangat memahami perasaan kaum wanita, sebab hanya wanita yang amat mencintai seseorang baru rela melakukan segala tindakan termasuk menggunakan siasat.
Diam-diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya:
"Begitu asyik mereka tenggelam dalam masalah pribadi sampai lupa kalau kereta ini bisa bergerak tanpa kendali, yaa sudahlah, biarkan saja mereka berasyik masyuk sementara aku menjadi kusir mereka"
Maka diapun balik ke tempat kusir dan mengendalikan larinya kereta.
Waktu itu fajar telah menyingsing, matahari memancarkan sinar keemas-emasannya menyinari seluruh jagad, diantara hembusan angin lamat lamat sudah mulai terdengar debuan ombak, kelihatannya merek sudah berada tidak jauh dari pesisir.
Thiat Tiong-tong merasakan semangatnya bangkit kembali, dia membuang jauh semua kekesalan serta kemurungan yang mencekamnya selama ini.
Setelah menyaksikan adegan mesra dan Im Ceng dan Un Tay-tay, jangan lagi baru bergadang sehari semalam, biar harus menjadi kusir selama tiga hari tiga malam pun dia tidak akan menggerutu.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now