15. Siau-lim-sie kecil

1K 23 0
                                    

Thiat Tiong-tong belum berhasil lolos dari pengejaran Ai Thian-hok yang menempel lekat bagaikan bayangan, pakaiannya yang basah kuyup membuat langkah kakinya kian lama kian bertambah berat.

Sekalipun selama ini dia tidak pernah berpaling, namun pemuda itu dapat merasakan telapak tangan lawan yang berada hanya berapa inci di belakang tubuhnya, kenyataan tersebut menambah beban tekanannya yang besar, paling tidak membuatnya bergidik.

Meskipun beberapa kali dia ingin membalikkan tubuh untuk bertempur, namun setiap kali terbayang apapun hasil pertarungan tersebut, yang ada hanya siksaan..... bila dia berhasil mengungguli lawannya, Ai Thian-hok pasti akan bunuh diri, sebaliknya jika dia kalah dan mati, Ai thian hok pun tetap akan bunuh diri.....padahal tujuannya melarikan diri kali ini adalah demi menyelamatkan nyawa orang yang sedang mengejarnya, yang bisa dia lakukan kini hanya tertawa getir.

Orang yang sedang melarikan diri ternyata kabur demi menyelamatkan nyawa orang yang mengejarnya, mungkin sejak dulu hingga sekarang belum pernah terjadi peristiwa semacam ini.

Ditengah hujan angin, suasana ditanah perbukitan itu nampak amat sendu, jalan setapak yang semula hanya berlumut dan licin, makin keatas jalan semakin susah ditempuh, bukan saja terdiri dari tanah perbukitan yang terjal bahkan terasa gersang dan gundul.

Makin lama Thiat Tiong-tong semakin sulit untuk menentukan arah, ditanah perbukitan yang terjal dia hanya bisa belok ke kiri menikung ke kanan dengan harapan bisa meninggalkan Ai Thian-hok makin jauh.

Siapa tahu deruan angin tajam yang ditimbul¬kan Ai Thian-hok dari ke dua lengan bajunya masih menderu disamping telinga, jangan dilihat tanah tebing itu curam, licin dan terjal, ternyata dia sanggup melaluinya jauh lebih cekatan daripada orangyang bermata normal.
Tanpa terasa ke dua orang itu semakin dalam menembusi tanah pegunungan itu, kini mereka sudah mencapai pinggang gunung.

Posisi Thiat Tiong-tong sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, hatinya makin gelisah bercampur cemas, setelah melewati sebuah tikungan terjal tibalah dia disebuah tanah yang dikelilingi tebing tinggi, tempat itu mirip sekali dengan sebuah jalan buntu.

"Mati akui" keluhnya didalam hati. Tapi dia tidak bisa berhenti begitu saja, betul juga ternyata ia telah tiba disebuah lembah yang sekelilingnya penuh dtumbuhi pepohonan.

Dibalik pepohonan yang rimbun tampak berdiri tiga buah bangunan rumah, didepan bangunan itu terpampang sebuah papan nama, hanya sayang Thiat Tiong-tong tidak punya waktu untuk meneliti tulisan tersebut.

Bau harum daging rebus yang menusuk hidung mengepul keluar dari balik bangunan rumah itu, tampaknya ada seseorang melongokkan kepalanya dari balik jendela dan mengamati Thiat Tiong-tong beberapa kejap.

Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring ber kumandang keluar dari balik ruangan, begitu nyaring bentakan itu membuat sepasang telinga Thiat Tiong-tong mendengung keras.

Menyusul kemudian pintu rumah dibuka orang dan muncullah seorang lelaki tinggi besar, gemuk penuh lemak, berambut panjang dan mengenakan baju pendeta yang sudah penuh noda minyak, celananya digulung tinggi-tinggi hingga nampak kakinya yang penuh berbulu.
"Berhenti!" bentaknya sambil melotot besar ke arah anak muda itu.

Dari suara bentakan yang begitu bertenaga, Thiat Tiong-tong tahu kalau orang ini pasti memiliki kungfu yang hebat, tapi dia tidak bisa menduga asal-usul orang itu apalagi melihat dandanannya yang setengah padri setengah orang awam.

Dalam hati dia berkeluh, dari belakang muncul Ai Thian-hok yang menempel terus secara ketat sementara dihadapannya muncul seorang makhluk aneh yang menakutkan.
Berada dalam keadaan begini dia tidak berani banyak urusan, cepat tubuhnya berputar dan melintas lewat dari sisinya.
Siapa tahu orang itu lagi-lagi mendelik lebar, tubuhnya yang gemuk bergerak cepat dan kembali dia sudah menghadang jalan lewat Thiat Tiong-tong, ternyata gerakan tubuhnya cepat bagaikan hembusan angin.
Posisi Thiat Tiong-tong saat ini benar-benar amat kritis, didepan menjumpai penghadang sementara dibelakang menghadapi musuh yang mengejar.
Pemuda itu segera merasa, walaupun orang yang berada dihadapannya berdiri dengan mata melotot, namun sama sekali tidak menunjukkan sikap marah, maka buru-buru serunya sambil menjura:
"Tolong, berilah jalan lewat!"
Kembali dia bergeser ke samping dan siap melintas dari sisi tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar manusia aneh itu berteriak keras sambil tertawa terbahak bahak:
"Hahahahaha...... anak muda, kau betul-betul tidak becus, masa karena tidak sanggup melawan orang lantas sipat telinga kabur terbirit-birit!"
Sementara dia berbicara, Thiat Tiong-tong sudah mencoba menerobos ke kiri dan ke kanan sebanyak tiga kali, tapi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki manusia aneh ini betul-betul sudah mencapai puncak kesempurnaan, biar ke mana pun anak muda itu menerobos, dia selalu dapat menghalanginya secara tepat.
Dalam pada itu Ai Thian-hok telah tiba juga ditempat kejadian, tapi dia hanya berdiri jauh dari ke dua orang itu, berdiri lebih kurang sepuluh meter dari sang pemuda, katanya dingin:
"Biarkan dia lewat!"
"Aneh" gumam manusia aneh itu keheranan, "kau tidak mampu mengejarnya sementara aku telah membantumu menghalangi jalan perginya, masa sekarang kau malah suruh aku membebas¬kannya lagi? Memangnya kalian sedang bermain petak umpat? Hahahaha.... bagus, bagus sekali, kalau memang sedang bermain petak umpat, bagaimana kalau aku ikut ambil bagian?"
Habis berkata kembali dia tertawa terbahak bahak.
Tingkah pola orang aneh itu sungguh membuat Thiat Tiong-tong kheki bercampur geli, pikirnya:
"Jangan-jangan aku bertemu orang sinting?"
Maka sembari menjura katanya lantang:
"Kenapa kau halangi jalan pergiku?"
"Kenapa kau mesti kabur?"
"Aku melarikan diri atau tidak, apa sangkut pautnya denganmu?" tanya Thiat Tiong-tong tertegun.
Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak.
"Selama hidup pinceng paling tidak betah melihat orang melarikan diri, siapa suruh kau kabur ke sini? Anggap saja memang lagi apes!"
"Darimana kau tahu kalau aku sedang kabur?"
Manusia aneh itu tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa:
"Aaah! Betul, betul, darimana pinceng tahu kalau kau sedang kabur? Siapa tahu kalian memang sedang bermain petak umpet? Kalau bukan begitu,masa diapun minta aku membebaskanmu?"
Dia berpaling dan memandang sekejap wajah Ai Thian hok yang dingin, kaku, penuh diliputi hawa napmi membunuh, tidak tahan tanyanya lagi:
"Hey, kenapa kau mengejarnya terus, sebetul¬nya untuk apa?"
"Untuk mencabut nyawanya!" jawab Ai Thian-hok dingin.
Tiba-tiba dia merangsek maju ke depan, ujung bajunya dikebaskan berulang kali mengancam tiga bilah jalan darah penting di dadanya, kembali hardiknya:
"Kau mau bebaskan dia atau tidak?"
"Aneh, betul-betul sangat aneh........" gumam manusia aneh itu lagi sambil mengegos ke samping.
Sebenarnya dia sama sekali tidak pandang sebelah matapun terhadap kemampuan orang, siapa nangka ilmu menotok jalan darah yang dimiliki Ai Thian-hok benar-benar sangat hebat, begitu serangan dilancarkan, gerakan demi gerakan saling menyusul.
Kendatipun manusia aneh ini memiliki kungfu yang hebat, tak urung dibuat kelabakan juga, selain repot menghindarkan diri, kata berikutpun tidak sanggup lagi dilanjutkan.
Sambil melancarkan seangkaian ancaman maut, terdengar Ai Thian-hok berteriak keras:
"Thiat Tiong-tong! Kenapa kau masih belum kabur?"
"Aduh celaka!" pekik Thiat Tiong-tong didalam hati, kini Ai Thian-hok sudah mengenali suaranya, berarti persoalannya tidak mungkin bisa diselesai¬kan dengan begitu saja.
Dalam pikiran yang kalut dia siap bergerak melarikan diri dari situ.
Tiba-tiba manusia aneh itu membentak nyaring, sepasang lengannya direntangkan ke kedua sisi, tangan kirinya mencengkeram bahu Thiat Tiong-tong sementara tangan kanannya bergerak secara berantai menerobos masuk ke balik bayangan lengan baju Ai Thian-hok.
Melihat gerak serangan yang digunakan amat sederhana dan bersahaja, Thiat Tiong-tong sangka dengan mudah dia bisa menerobos lewat, sementara tangan kirinya menangkis, tubuhnya melanjutkan terobosannya ke depan.
Siapa sangka diantara berkelebatnya bayangan tangan, entah dengan cara apa, mendadak jari tangan manusia aneh itu sudah menempel diatas bahunya.
Dalam terkejut bercampur ngerinya Thiat Tiong-tong mundur ke belakang sejauh empat meter lebih, lamat-lamat dia merasa bahunya agak sakit.
"Sreeet.....!" lagi lagi terdengar suara kain robek, kali ini lengan baju milik Ai Thian-hok yang tersambar hingga sobek.
Dengan perasaan terkesiap Ai Thian-hok berjumpalitan di tengah udara dan melayang turun tiga meter dari sisi tubuh anak muda itu.
Mereka berdua beranggapan kungfu yang dimilikinya sudah amat hebat dan sempurna, tapi mereka tidak menyangka kalau dikolong langit ternyata terdapat jurus serangan yang demikian aneh sehingga satu gebrakan pun tidak sanggup mereka hadapi.
Khususnya bagi Ai Thian-hok, sudah banyak tahun dia menjelajahi dunia persilatan, dengan mengandalkan sepasang lengan bajunya entah berapa banyak jago pernah dihadapi, dan selama ini belum pernah ada yang mampu bertanding seru melawannya.
Tapi sekarang, cukup hanya dalam satu gebrakan manusia aneh itu berhasil merobek lengan bajunya, kenyataan ini selain membuat-nya terkesiap, diapun merasa amat sedih.
Lama setelah termenung akhirnya dia menghela napas sedih sambil bergumam:
"Kungfu yang hebat!"
"Jangan kau ambil perduli kungfuku hebat atau tidak, pinceng ingin tahu saja, kenapa kau ingin mencabut nyawanya, kenapa kau minta pula kepadaku untuk membiarkan dia kabur?"
Dengan gusar Ai Thian-hok menjawab:
"Selama hidup aku orang she-Ai........."
Sebetulnya dia ingin bilang kalau selama hidup tidak suka orang lain menolongnya, tapi secara tiba-tiba teringat pula kalau kungfu yang dimiliki orang Itu jauh diatas kemampuannya, buat apa pula dia sok jagoan dihadapannya?
Berpikir sampai disitu diapun menutup kembali mulutnya dan menghela napas panjang.
"Hei, kenapa hanya bicara separuh?" tegur orang aneh itu gelisah, "kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu?"
Sambil tertawa getir Ai Thian-hok siap membalikkan tubuh untuk berlalu dari situ.
Buru-buru manusia aneh itu goyangkan tangannya seraya berseru:
"Tunggu dulu, tunggu dulu, kau mengejarnya dan dia melarikan diri, kemudian aku menghadang jalan larinya sementara kaupun paksa aku untuk membiarkan dia kabur, sebenarnya kenapa kau mengejarnya? Dan kenapa pula kau mesti melarikan diri?"
Jelas pertanyaan terakhir ditujukan kepada Thiat Tiong-tong.
Sambil tertawa getir sahut Thiat Tiong-tong:
"Aku kabur lantaran ingin menyelamatkan jiwanya!l"
Seandainya bukan lantaran Ai Thian-hok sudah mengenali suaranya, tidak mungkin dia aka mengucapkan perkataan tersebut, tapi sekarang mau tidak mau dia harus berbuat begitu, sebab kalau tidak, kemungkinan besar antara mereka berdua akan terikat dendam sakit hati yang berkepanjangan.
Paras muka Ai Thian-hok berubah hebat seketika dia menghentikan langkahnya seray membalikkan tubuh.
Sambil membenahi rambutnya yang kacau, manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak:
"Hahahaha.....kau kabur lantaran ingin menolongnya? Hahahaha ..... ungguh satu kejadian yang aneh, belum pernah kujumpai peristiwa semacam ini"
Tiba-tiba sambil menarik wajahnya dia melanjutkan:
"Hari ini, bila kalian berdua tidak menerangkan kejadian ini dengan sejelas-jelasnya, jangan harap bisa kabur dengan begitu saja dari sini"
Kontan Ai Thian-hok naik pitam, tegurnya:
"Memangnya kau anggap dengan andalkan kemampuanmu, lantas kau boleh mencampuri urusan orang lain dengan seenaknya........"
Mendadak ia teringat kalau kungfu orang itu memang luar biasa hebatnya, maka setelah menghela napas cepat dia tutup mulut.
Perlu diketahui, walaupun wataknya angkuh dan nyentrik namun semakin nyentrik seseorang, biasanya dia makin suka berterus terang, kalau menang akan bilang menang, kalau kalah pun akan mengakui kekalahan, orang semacam ini tidak nanti akan tebalkan muka dengan berjaga gengsi.
Karena sangat bisa menerima kenyataan, maka kendatipun hawa amarah masih membara dalam dadanya, terpaksa dia harus menahan diri.
Manusia aneh itu berpaling dan memandang¬nya sekejap, kembali dia tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha..... apakah kalian berdua merasa amat tersiksa dan tidak berani bicara banyak lantaran kungfu yang pinceng miliki kelewat tangguh?"
Thiat Tiong-tong segera berpaling ke arah Ai Thian-hok, dalam dugaannya tidak mungkin orang itu akan mengakuinya.
Siapa tahu Ai Thian-hok dengan lantang segera mengakui:
"Benar!"
Seketika Thiat Tiong-tong tertegun, tanpa terasa timbul perasaan kagum dihati kecilnya:
"Nah, beginilah gaya seorang lelaki sejati, tidak malu dia menjadi seorang pendekar hebat!"
Terdengar manusia aneh itu tertawa tergelak.
"Sebetulnya kalian berdua tidak usah bersedih hati, sebab kungfu sehebat tadi hanya pinceng kuasai dua tiga jurus belaka, itupun dapat belajar dari mencuri!"
Ai Thian-hok termenung berapa saat lamanya, kemudian menjawab:
"Biar cuma dua tiga jurus, sebetulnya sudah lebih dari cukup, siapa lagi manusia di dunia ini yang mampu menghadapinya!"
"Betul!" sambung Thiat Tiong-tong pula sambil menghela napas.
Dia telah membayangkan kungfu dari jago-jago persilatan yang pernah dijumpainya selama ini, dan rasanya memang tidak seorangpun sanggup menghindarkan diri dari jurus serangan aneh itu. Manusia aneh itu segera tertawa tergelak.
"Hahahaha.......padahal banyak sekali jagoan di kolong langit yang sanggup mengungguli pinceng, malah ada tiga sampai lima orang yang mampu merobohkan aku hanya dalam satu gebrakan"
"Sungguh?" seru Ai Thian-hok dengan wajah berubah.
"Buat apa pinceng berbohong?" "Tapi menurut apa yang kudengar, jagoan nomor wahid di kolong langit...."
"Menurut apa yang kau ketahui, ada berapa banyak jagoan kelas satu?" tukas manusia aneh itu.
Setelah termenung sejenak sahut Ai Thian-hok:
"Tujuh partai besar dunia persilatan sudah memiliki sejarah yang panjang, kendatipun ciangbunjin dari ke tujuh partai sudah lama menutup diri, namun mereka semua terhitung jagoan kelas satu dalam dunia persilatan"
"Betul, masih ada yang lain?"
"Lu Ji-long dari Kwan-gwa, meski tidak pernah masuk perbatasan namun nama pendekarnya sudah lama menghebohkan dunia persilatan, kemudian keluarga Su dari Thay-gwan, Cu bu kiam dari Kanglam, Giok Na-cha dari Siong-yang, Tham It-lui dari Ho pan. Meski kungfu ke empat partai ini lebih mengutamakan tehnik, namun kepiawian mereka sangat luar biasa. Jika ilmu silat Giok-Nacha dari Siong-yang lebih mengutamakan kelincahan serta kecepatan berganti jurus, maka keluarga Tham dari Ho-pan lebih mengutamakan ilmu tendangan, mereka mendapat julukan 'Seutas cambuk dari Sin-kui, mengungguli dewa hidup', kehebatannya tidak terbantahkan!"
"Betul. Beberapa orang itu memang patut disebut jagoan kelas satu!"
"Ilmu Pat-ki-si dari perguruan Lak-hap di An-hui, ilmu pukulan mayat hidup keluarga Yan dari Seng-ciu, ilmu pedang Hui hong Wu liu kiam dari bukit Pa-san semuanya memiliki kelebihan yang tidak boleh dianggap enteng" sambung Ai Thian-hok lebih lanjut.
Biarpun dihari biasa dia jarang bicara, tapi begitu menyinggung masalah ilmu silat, ternyata pengetahuannya yang sangat luas.
Kembali lanjutnya setelah menarik napas panjang:
"Selain itu masih ada lagi Thiat hiat dari Perguruan Tay ki bun yang paling misterius jejaknya dan paling ganas ilmu pukulannya, anak murid mereka pun rata-rata memiliki kungfu yang hebat!"
Mendengar orang itu menyinggung soal perguruannya, tanpa terasa Thiat Tiong-tong merasakan semangatnya berkobar kembali.
"Betul" terdengar manusia aneh itu menghela napas panjang, "Thiat hiat Tay ki bun memang sempat menghebohkan dunia persilatan, bahkan tiada tandingan dikolong langit, tapi sayang........"
"Tapi sayang apa?" tanpa terasa Thiat Tiong-tong bertanya.
Manusia aneh itu meliriknya sekejap, kemu¬dian baru melanjutkan:
"Tapi sayang ilmu silat Perguruan Tay ki bun sudah banyak yang punah, kungfu yang dimiliki anak muridnya sekarang paling banter hanya satu dua persen dibandingkan para cianpwee nya dulu"
Tergerak hati Thiat Tiong-tong setelah mendengar perkataan itu, tapi sebelum ia sempat berbicara, Ai Thian-hok sudah berkata duluan:
"Walaupun ilmu silat dari Perguruan Tay ki bun cukup tangguh, namun ilmu silat dari Ngo hok lian huan, lima keluarga turun temurun yang bermusuhan dengan mereka pun terhitung sangat hebat, ilmu pukulan tenaga yin dari Leng It-hong khusus diciptakan untuk menghadapi ciangbunjin dari Perguruan Tay ki bun, akibatnya jarang sekali dia menampilkan kungfu simpanannya itu. Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu merupakan pasangan kerjasama yang hebat, lalu siang-seng-piau-ki boleh dibilang juga jarang ada yang menandingi kehebatannya"
"Hmm, kalau main keroyok apa hebatnya? Biar menangpun tidak gagah" dengus orang aneh itu.
Ai Thian-hok tidak menanggapi, ujarnya lebih jauh:
"Kalau berbicara soal senjata rahasia, peluru api dari Bi lek tong maupun jarum Thian li ciam milik Seng Toa-nio terhitung jagoan nomor wahid dalam dunia persilatan"
"Cari kemenangan dengan andalkan amgi? itu lebih parah!"
"Seng Toa-nio memang termashur, namun kalah jauh bila dibandingkan putranya, Seng Cun-hau, putranya ini merupakan salah satu anggota dalam deretan kelompok Jay hong kun kiam (kelompok pedang pelangi), dia menjadi tenar berbareng dengan Ang-eng (elang merah), Bi-gwat (rembulan hijau), Mo-liong (naga hitam), Lan-hong (angin biru), Ui-koan (mahkota kuning) dan Cui-yan (walet hijau pupus), walaupun ke tujuh orang ini usianya rata-rata masih muda, tenaga dalamnya masih terbatas, namun ilmu pedangnya cukup meyakinkan, asal ditempa berapa saat lagi, tidak sulit bagi mereka untuk menjadi jago kenamaan"
"Betul" manusia aneh itu manggut manggut, "analisamu memang sangat tepat, masih ada yang lain?"
Thiat Tiong-tong yang berada disamping tidak bisa menahan diri lagi, selanya:
"Kiu cu Kui bo beserta murid muridnya memiliki kungfu yang hebat, namanya termasuk dalam deretan nomor wahid dan boleh dibilang merupakan jagoan tangguh saat ini, kenapa kau lupa menyinggungnya?"
"Betul, betul" seru manusia aneh itu sambil bertepuk tangan, "pada tiga puluh tahun berselang, ilmu silat yang dimiliki Yin Gi sudah terhitung hebat, aku percaya tiga puluh tahun kemudian kungfunya pasti jauh lebih maju"
"Siapa itu Yin Gi?" tanya Thiat Tiong-tong tercengang.
Ternyata meski nama besar Kiu cu Kui bo termashur dalam dunia persilatan, namun nama aslinya Yin Gi jarang diketahui orang, bagaimana Ai Thian-hok tidak kaget setelah mendengar manusia aneh itu mampu menyebut nama gurunya secara tepat?
Terdengar manusia aneh itu tertawa terkekeh kekeh.
"Ooh rupanya kau murid Kui bo? Biarpun pinceng tahu namanya tapi tidak kenal dengan orangnya!"
Dari senyuman orang yang kelewat dipaksakan, lalu mendengar manusia aneh itu buru-buru melamur, Thiat Tiong-tong tahu dibalik kesemua¬nya itu pasti ada teka teki yang tidak beres.
Tampaknya Ai Thian-hok pun tidak bisa menebak rahasia dibalik manusia aneh itu, setelah termenung sejenak ujarnya:
"Aku rasa tidak ada jagoan lagi dalam dunia persilatan yang lebih tangguh ketimbang nama-nama tadi"
"Hahahaha...... menurut pendapatmu bagai¬mana dengan kungfu yang pinceng miliki?" tiba-tiba manusia aneh itu bertanya sambil tertawa tergelak.
Ai Thian-hok menghela napas panjang.
"Kecuali ketujuh ciangbunjin dari tujuh partai besar serta guruku yang memiliki ilmu silat sangat hebat, mungkin kemampuanmu pun susah dicari¬kan tandingannya dalam dunia persilatan"
"Hahahaha..... terima kasih, terima kasih......" seru manusia aneh itu tertawa tergelak.
Tiba tiba dia berhenti tertawa, dengan serius lanjutnya:
"Tapi kami semua tidak akan mampu menandingi sebuah ujung jari saja milik seseorang!"
"Siapa dia?" tanya Ai Thian-hok terperanjat.
Sebelum manusia aneh itu menjawab, mendadak Thiat Tiong-tong menyela:
"Ruyung guntur merontokkan bintang dan hujan, peluru angin memutuskan sukma, thaysu, kau pernah mendengar ucapan ini?"
Berubah paras muka manusia aneh itu, serunya sambil menatap tajam wajah anak muda itu:
"Kau kenal dengan mereka berdua?"
Dari perubahan mimik muka manusia aneh itu, Thiat Tiong-tong dapat menduga kalau ke dua orang yang disebut pasti memiliki asal-usul yang luar biasa, tidak tahan diapun menghela napas panjang.
"Cayhe sendiripun hanya sempat mendengar nama itu dari cerita orang"
"Kau ingin tahu soal ke dua orang itu?"
"Kalau thaysu bersedia menerangkan, tentu saja cayhe siap mendengarkan"
Manusia aneh itu berpikir sebentar, kemudian ujarnya:
"Kalau ingin mendengar kisahnya, ayoh ikut aku masuk ke dalam"
Selesai bicara diapun beranjak menuju ke ke tiga rumah pondokan itu.
Tanpa terasa Thiat Tiong-tong dan Ai Thian-hok mengikuti dari belakang.
Sekarang Thiat Tiong-tong baru dapat melihat dengan jelas tulisan yang tertera diatas papan nama ilu:
"Kuil siau-lim-sie kecil"
Melihat tulisan ini anak muda tersebut kontan merasa terkejut, keheranan bercampur geli, pikirnya nambil tertawa getir:
"Aneh betul manusia ini, masa ke tiga rumah pondokannya juga disebut Kuil Siau-lim-sie kecil, entah bagaimana reaksi para pendeta Siau-lim jika membaca tulisan itu?"
Tapi pikiran lain segera melintas, mendadak tningat olehnya kalau tempat itu letaknya di belakang bukit Siong-san, jaraknya dengan kuil Siau-lim-sie tidak terlampau jauh, kalau dilihat dari keberanian manusia aneh ini mencantumkan nama tersebut, bisa diduga kalau kemungkinan besar dia mempunyai hubungan yang akrab dengan kuil tersebut.
Ruangan di bangunan tengah cukup besar dan luas, tapi sayang acak-acakan, semua barang nyaris ditumpuk menjadi satu, dari buku, pedang, catur, khiem sampai sumpit, mangkuk, kuali, semuanya berada di satu tempat yang sama.
Disudut sebelah kiri terdapat rak kayu tempat buku, didalam rak itu berjajar berapa jilid kitab sementara diatas rak terpampang tulisan besar yang berbunyi:
"Cong keng khek" (ruang penyimpan kitab).
Disamping rak buku itu tergeletak berapa batang golok dan pedang yang dianggapnya sebagai ruang Lohan.
Diruang bagian tengah terdapat sebuah meja bobrok, diatas meja terletak sepasang lampu minyak, sedang dibagian tengahnya terpampang tulisan "Toa hiong po tien".
Sementara disudut kanan ruangan terdapat sebuah anglo kecil, diatas anglo terdapat kuali yang mengepulkan uap panas, bau harum semerbak memancar keluar dari kuali itu, rupanya disitulah letak dapur.
Menyaksikan kesemuanya itu Thiat Tiong-tong merasa heran, kaget bercampur geli, hampir semua ruangan yang ada di kuil Siau-lim, terdapat pula disitu, hanya saja bukan cuma kadarnya yang begitu rendah, pada hakekatnya bikin orang merasa geli saja.
Manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, katanya:
"Tempo hari, setelah pinceng diusir dari perguruan maka akupun membangun kui Siau¬ lim-sie kecil-kecilan disini sebagai pertanda protes, bagaimana menurut pendapatmu?"
Thiat Tiong-tong hanya bisa mengiakan, karena dia memang tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanku.
Mendadak dengan wajah serius manusia aneh itu berkata lagi:
"Kalian harus tahu, kendatipun pinceng makan daging minum arak, namun Buddha tetap berada dalam hatiku, selama Buddha masih berada dalam hatiku, maka apa salahnya bila kupandang tempat ini sebagai kuil Siau-lim-sie kecil-kecilan?"
Dari kata gurauan, Thiat Tiong-tong dapat menangkap makna lain dari perkataannya itu, maka sahutnya sambil tertawa:
"Perkataan thaysu betul juga, Bodhi bukan terletak pada pohonnya melainkan rasa percaya dihati, jika kita mau bersungguh hati maka semuanya pasti bermakna"
"Bagus, bagus sekali, pandangan yang tepat.." manusia aneh itu segera bertepuk tangan sambil tertawa.
"Boleh tahu siapa saja yang menurut thaysu betul-betul tokoh silat yang luar biasa itu?"
"Boleh saja bila kau berharap pinceng menceritakan kisah besar ini, cuma kalianpun mesti jelaskan dulu peristiwa yang sedang kalian berdua lakukan, kalau tidak pinceng betul-betul bisa mati karena sesak napas"
Thiat Tiong-tong tahu watak orang ini selain aneh, rasa ingin tahunya juga sangat besar, terpaksa diapun menghela napas panjang, katanya:
"Sebenarnya antara aku dengan Ai thayhiap tidak ada dendam sakit hati atau permusuhan apapun, hanya saja........"
Secara ringkas diapun menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kendatipun penjelasan itu seolah ditujukan kepada manusia aneh itu, padahal yang benar dia ingin memberi penjelasan kepada Ai Thian-hok, agar orang itupun mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Didalam ruangan itu hanya terdapat sebuah bangku bobrok, itupun sudah ditempati manusia aneh itu, terpaksa Thiat Tiong-tong harus berbicara sambil berjalan mondar-mandir, diam-diam diapun mengawasi perubahan wajah dari Ai Thian-hok.
Ketika menyaksikan paras muka Ai Thian-hok berubah jadi sedih, seakan sudah merasa tenteram dan dingin perasaannya, sama sekali enggan mencari gara-gara lagi, diam-diam pemuda itu merasa kegirangan.
Tiba-tiba terdengar manusia aneh itu mem¬bentak nyaring, tubuhnya melompat bangun dari atas bangku lalu menubruk ke arah Thiat Tiong-tong sambil merentangkan sepasang lengannya.
Dengan perasaan kaget bercampur terkesiap, buru-buru anak muda itu mundur sejauh tiga langkah.
Terdengar manusia aneh itu berkata dengan nada berat:
"Kalian boleh berkeliaran ke mana pun dalam kuil Siau-lim-sie kecil ini, tapi jangan sekali-kali kalian sentuh pintu ke ruangan tersebut"
Rupanya sewaktu berjalan mondar mandir tadi, tanpa disadari Thiat Tiong-tong telah bersandar disebuah pintu yang ada disisi kiri.
Mendengar peringatan itu, dengan perasaan heran anak muda itu berpikir:
"Apa anehnya dengan ruangan ini?"
Tapi dia memang sudah terbiasa pandai mengendalikan diri, walaupun wajahnya sama sekali tidak berubah, sambil melanjutkan penuturannya diam diam dia mulai awasi pintu sempit itu dengan lebih seksama.
Pintu itu tertutup rapat dan sama sekali tidak ada celahnya sehingga tidak nampak apa isinya, hingga dia selesai bercerita pun pemuda itu tetap tidak berhasil menemukan apa-apa.
Waktu itu si manusia aneh tadi sudah balik dan duduk kembali di bangkunya, sambil mengipasi anglo kecilnya kembali dia berkata sambil tertawa keras:
"Beruntung kalian berdua tiba disini, kalau sampai bertarung habis-habisan, bukankah kejadian ini malah akan meninggalkan rasa penyesalan?"
Paras muka Ai Thian-hok masih tetap tanpa perasaan, dia tidak menanggapi perkataan itu, hanya tanyanya dengan nada dingin:
"Siapa saja yang menjagoi dunia persilatan selama ini?"
"Ruyung guntur merontokkan bintang dan hujan, peluru angin memutuskan sukma.........." gumam manusia aneh itu sambil memejamkan matanya.
Mendadak dia membuka matanya kembali dan melanjutkan:
"Hek Seng-thian, Pek Seng-bu maupun Bi gwat kiam khek sudah menjadi jagoan tenar dikolong langit saat ini, tahukah kalian berdua siapa guru mereka semua?"
Thiat Tiong-tong ingin memberi kesempatan kepada Ai Thian-hok untuk berbicara, sebab dia tahu kalau banyak bicara maka ke inginannya untuk tetap hidup akan semakin tumbuh, oleh sebab itu meski dia tahu jawabannya namun tetap tutup mulut.
Benar saja, Ai Thian-hok segera menjawab:
"Walaupun Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu mengaku kalau kungfu mereka berasal dari warisan keluarga, padahal yang benar mereka mempelajari ilmu silatnya dari Kok thian seng, seorang begal budiman yang tersohor namanya dimasa lalu!"
"Betul, walaupun Kok Thian-seng memiliki kungfu yang sangat hebat, sayang nama dan pamornya kurang sedap, itulah sebabnya Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu enggan mengaku sebagai muridnya!"
"Aku dengar Bi gwat kiam-khek selain berwajah cantik, hatinya telengas, orang ini berasal dari aliran lurus, hanya sayang memiliki watak yang tidak berbeda dengan gurunya, Gwat-hoa Siancu!"
"Betul sekali, tidak nyana kau sangat menguasahi kejadian-kejadian lama. Tapi tahu-kah kau bagaimana nasib selanjutnya dari Kok thian-seng serta Gwat-hoa siancu?"
"Kedua orang ini satu hidup di selatan yang lain hidup di utara, boleh dibilang saat itu tiada tandingannya, tapi justru disaat nama mereka terorbit hingga puncaknya, tiba-tiba kabar berita¬nya hilang lenyap tidak berbekas, oleh sebab itu Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Bi-gwat kiam-khek hanya sempat mempelajari tiga puluh persen kemampuan guru-gurunya, banyak berita dan dugaan yang kemudian muncul dan beredar dalam dunia persilatan karena hilangnya ke dua tokoh ini, ada yang bilang mereka berdua telah pulang ke langit barat........."
Setelah merandek sejenak dan termangu, dengan wajah agak berubah gumam Ai Thian-hok lebih jauh:
"Ruyung guntur merontokkan bintang dan hujan, peluru angin memutuskan sukma.........."
Manusia aneh itu ikut menghela napas.
"Itulah dia, kejadian yang benar adalah Kok Thian-seng serta Gwat-hoa siancu telah dipecundangi oleh si Ruyung guntur dan Peluru angin, meski tidak jelas bagaimana nasibnya, namun aku duga lebih banyak bahayanya ketimbang selamat!"
Thiat Tiong-tong merasa tercekat hatinya, dia tahu Kok thian-seng dan Gwat-hoa siancu adalah jago-jago yang tanpa tandingan selama puluhan tahun, tidak disangka ternyata mereka telah dikalahkan orang.
Sebagaimana diketahui, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Bi-gwat kiam-khek yang baru menguasahi tiga bagian kungfu gurunya saja sudah dapat menjagoi kolong langit, bisa dibayangkan betapa lihaynya Kok Thian-seng dan Gwat-hoa siancu itu.
Agak berubah juga paras muka Ai Thian-hok, lewat sesaat kemudian dia baru berkata lagi:
"Heran, kenapa cayhe tidak pernah dengar orang membicarakan soal si Ruyung guntur dan Peluru angin?"
Manusia aneh itu menghela napas panjang.
"Kalau Kui-bo saja enggan menyinggung nama busuk ke dua orang malaikat buas itu, mana berani orang lain membicarakannya?"
Berubah hebat paras muka Ai Thian-hok, dia segera membungkam diri dalam seribu bahasa.
Thiat Tiong-tong pun merasakan hatinya terkesiap, pikirnya:
"Jika Seng Toa-nio sampai bisa mengundang ke dua orang itu untuk menghadapi Perguruan Tay ki bun, bukankah nasib kami semua bakal habis secara tragis?"
Dalam pada itu si orang aneh itu sudah membuka penutup kualinya untuk memeriksa apakah masakannya sudah matang, kemudian ujarnya pula:
"Biarpun ilmu silat yang dimiliki Ruyung guntur dan Peluru angin sangat hebat, namun mereka pun amat takut terhadap seseorang"
"Siapa dia?" tanya Ai Thian-hok dengan tubuh tergetar.
Manusia aneh itu tidak menjawab, hanya gumamnya:
"Bila kau bergerak, hujan angin bagai langit gelap, guntur kilat jalan beriring. Bila kau tenang, langit cerah bagai cermin, bintang bersinar rembulan bercahaya!"
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Ai Thian-hok melongo.
Manusia aneh itu seolah tidak mendengar, dengan mata terpejam gumamnyalebih jauh:
"Ombak samudra serasa suram, bukit dan pepohonan serasa tidak berwarna, sebagai pimpinan dari semua kehidupan, kepentingan umum harus diutamakan!"
Tiba-tiba dia membuka matanya kembali, dengan sorot mata setajam bintang malam tanyanya:
"Kau pernah mendengar pantun dari Bi lok bu?"
"Apa hubungannya Bi lok-bu dengan jago jago hebat dalam dunia persilatan?" batin Ai Thian-hok.
Manusia aneh itu tertawa tergelak, katanya:
"Justru isi dari Bi lok-bu menceritakan berapa tokoh aneh dalam dunia persilatan, makna yang terkandung dalam setiap patah katanya memang susah untuk diterangkan secara ringkas"
Thiat Tiong-tong maupun Ai Thian-hok meski merupakan jago silat yang pandai mengendalikan emosi dan jalan pikirannya, tidak urung dibuat keheranan juga oleh ungkapan tersebut, tanpa terasa dengan perasaan ingin tahu tanyanya:
"Makna apa? Siapa pula tokoh silat yang dimaksud?"
Manusia aneh itu mengambil semangkuk daging yang sudah matang dari kuali kemudian berkata:
"Pantun itu sebenarnya berisi pujian terhadap keindahan alam jagad, tapi sejak puluhan tahun berselang seseorang telah menggunakan potongan bait syait itu untuk melukiskan beberapa orang tokoh silat, kata-kata tersebut adalah: tokoh silat yang menghebohkan dunia jagad, semuanya terhimpun dalam Bi-lok-bu!"
Ketika mengendus bau harum semerbak dari daging rebus itu, Thiat Tiong-tong serta Ai Thian-hok segera merasa perutnya jadi lapar, tapi lantaran tuan rumah tidak mengundang mereka untuk bersantap, tentu saja mereka tidak bisa mengambil Hendiri hidangan yang ada.
Tampak manusia aneh itu bangkit berdiri, sambil membawa mangkuk berisi daging katanya lagi sambil tertawa:
"Biar pinceng hantar dulu mangkuk berisi daging ini kemudian baru kita lanjutkan pembica¬raan"
Thiat Tiong-tong tertegun, meski ingin men¬dengar secepatnya namun diapun tidak dapat berbuat apa-apa.
Perlahan-lahan dia berjalan menuju ke pintu sempit itu, berjalan dengan sangat hati-hati, seolah kuatir kalau kuah daging itu tumpah dari mangkuk, senyuman yang semula menghiasi wajahnya kini sudah lenyap, mimik mukanya berubah jadi sangat serius.
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, pikir-nya: "Entah siapa yang berada disitu? Kenapa sikap manusia aneh itu jadi begitu hormat dan serius?" Ai Thian-hok tidak bisa melihat, tapi dengan telinganya dia berusaha mendengarkan dengan seksama.
Begitu tiba di depan pintu ruangan, mendadak manusia aneh itu berbisik lirih:
"Meong.....meong....." ternyata dia menirukan suara kucing.
Thiat Tiong-tong semakin keheranan, pikir-nya:
"Masa dalam ruangan itu hanya berisi kucing?"
Tampak manusia aneh itu dengan sangat hati-hati mendorong pintu ruangan dan berjalan masuk, serunya sambil tertawa:
"Kau........"
Mendadak terdengar jeritan kaget bergema memecahkan keheningan disusul suara mangkuk yang pecah, terlihat daging kuah itu berhamburan diatas tanah..
Disusul kemudian, "Blaaaam!" pintu ruangan dibuka lebar.
Tanpa sadar Thiat Tiong-tong melongok ke dalam, ternyata dibalik pintu merupakan sebuah ruangan kecil, biar kecil namun peralatannya sangat lengkap, ada pembaringan, ada kaca berhias, diatas ranjang bertumpuk pakaian, disisi cermin terlihat sisir kayu wanita, bahkan diatas sisir masih tertinggal berapa helai rambut.
Waktu itu orang aneh tersebut masih berdiri disisi cermin dengan wajah terperanjat, tertegun dan melongo, bagaikan orang yang tersambar petir saja.
Siapa yang menyangka didalam kuil Siau-lim-sie kecil ternyata terdapat kamar tidur wanita, kenyataan ini benar-benar membuat orang terkesima.
Tapi ruangan mungil itu dalam keadaan kosong, tidak nampak bayangan manusia atau makhluk lainnya, kain tirai yang bergoyang terhembus angin hanya membiaskan dinding dibaliknya.
Dengan ketajaman mata Thiat Tiong-tong, sekali pandang dia sudah tahu kalau dinding itu terbuat dari tembaga hijau, hanya sebagai kamuflase maka diluarnya ditambah dengan lapisan kapur dan tanah hingga orang yang tidak berpengalaman akan menyangka ruangan itu hanya sebuah ruangan biasa.
Tapi siapa pun yang tersekap dalam ruangan itu, jangan harap dia bisa lolos dengan mudah.
Dengan wajah kebingungan manusia aneh itu celingukan kian kemari, gumamnya:
"Ke mana dia pergi, ke mana dia pergi........"
Tiba-tiba dia menjumpai sebuah liang disudut ruangan, liang itu menjorok jauh ke dalam tanah.
Sambil membentak dia segera menendang ranjang itu hingga tersingkir, ternyata bawah ranjang sudah dipenuhi dengan tumpukan tanah.
Tampaknya orang yang berada dalam ruangan Itu telah menyusun rencana pelarian yang matang, secara diam-diam dia telah menggali lorong bawah tanah, untuk menampung tanah bekas galiannya maka dia sembunyikan dibawah kolong ranjang.
Thiat Tiong-tong hanya bisa berdiri melongo dengan penuh tanda tanya.
Terdengar manusia aneh itu berteriak lagi:
"Dia telah pergi, dia....... bahkan dia pun mengajak serta Ping-nu......."
Mendadak dia melompat kehadapan Thiat Tiong-tong, mencengkeram bahunya dan pinta-nya: "Bila kau bersedia membantuku, dikemudian hari aku pasti tidak akan melupakan kebaikan-mu!"
"Katakan saja!" jawab pemuda itu tergagap.
"Dia telah melarikan diri, bakal terjadi keonaran besar diluar sana, bagaimana pun pinceng harus membekuknya kembali, untuk sementara tolong urusi tempatku ini!"
Dia tidak menunggu pemuda itu bersedia atau tidak, begitu selesai bicara tubuhnya langsung menerobos masuk ke dalam liang bawah tanah itu.
Menanti Thiat Tiong-tong menyusul ke sana, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas.
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong hanya bisa berdiri tertegun dimuka lorong bawah tanah, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Terdengar Ai Thian-hok berkata:
"Kini hatiku sudah sangat kecewa, ambisiku telah padam dan aku tidak ingin kembali ke dunia keramaian, aku bisa mewakilimu untuk merawat tempat ini, jika ingin pergi, pergilah!"
Thiat Tiong-tong tertawa pedih, dia membalik¬kan tubuh sambil berjalan balik, bisiknya:
"Soal kejadian semalam........"
"Yang sudah lewat biarlah lewat, apa gunanya dibicarakan lagi" tukas Ai Thian-hok cepat, "dengan kemampuan silat yang kumiliki, andaikata diumpat si ruyung guntur atau peluru angin pun aku tidak bisa berbuat apa kecuali menelan ludah!"
Thiat Tiong-tong tahu kalau jalan pikirannya sudah terbuka, saat ini dia tidak tahu harus gembira atau terharu?
Belum sempat menjawab sesuatu, tiba-tiba dia jumpai ada sepucuk surat tertindih dibawah meja hias, surat itu tidak ditemukan manusia aneh itu karena saat tadi dia sedang panik bercampur kaget.
Surat itu berbunyi begini:
"Akhirnya aku peroleh kebebasan, tidak mungkin kau bisa temukan jejakku, matikan saja niatmu itu, kau menderita lantaran aku, tapi semuanya itu atas keikhlasanmu sendiri, rasain!
Tertanda: Yin Ping"
Walaupun surat itu ditujukan untuk manusia aneh itu, tapi Thiat Tiong-tong tahu Ai Thian-hok pasti mengetahui latar belakang dari semua kejadian itu, maka sewaktu menemukan surat tadi dia sengaja membacanya agak keras.
Benar saja, paras muka Ai Thian-hok yang semula tenang seketika berubah hebat setelah mendengar nama "Yin Ping" disebut, jeritnya keras:
"Yin Ping, Yin Ping........ ternyata dia berada disini!"
"Siapa itu Yin Ping?" pikir Thiat Tiong-tong keheranan, satu ingatan melintas dalam benak-nya, segera teriaknya:
"Yin..... Yin Ping...... jangan jangan dia ada hubungannya dengan gurumu....."
"Benar, Yin Ping adalah sam-moay guruku!" jawab Ai Thian-hok perlahan, wajahnya yang semula dingin hambar, segera terlintas perasaan ngeri, geram bercampur dendam.
Thiat Tiong-tong tahu orang ini aneh watak-nya dan sudah terbiasa hidup menyendiri, dia menganggap kematian sebagai sesuatu hal yang lumrah, tapi kenyataannya saat ini dia justru menunjukkan rasa takut dan seram yang tebal, dibalik kesemuanya itu jelas terdapat alasan tertentu.
Semakin dipikir dia merasa semakin keheran¬an, ujarnya kemudian:
"Tidak aneh kalau manusia aneh itu mengetahui nama asli Kiu cu Kui -bo, ternyata dia pun punya hubungan dengan adiknya......."
Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraa, lanjutnya:
"Aku dengar gurumu punya tiga bersaudara, dulu mereka tersohor karena kecantikan wajahnya bahkan selalu mengembara bersama, kemu-dian kenapa masing-masing berjalan secara terpisah?"
Ai Thian-hok hanya mendengus tanpa menjawab.
Thiat Tiong-tong tahu, dia pasti mengetahui rahasia dibalik kejadian ini, maka dengan nada menyelidik katanya:
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya diantara tiga bersaudara keluarga Yin, adik ke tiga dibilang tercantik tapi juga terkeji......"
Belum selesai dia berbicara, mendadak terdengar suara seorang wanita yang halus lembut berkumandang datang diiringi suara tertawanya yang merdu.
"Terima kasih atas pujianmu, tapi aku tidak berani menerima semua pujian itu.....!"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang manis dan merdu, jangankan lelaki lain, Thiat Tiong-tong yang berhati baja dan susah tergoda pun tidak urung goyah juga perasaan hatinya setelah mendengar ucapan tadi.
Dia celingukan kian kemari namun empat penjuru sepi tidak nampak sesosok bayangan manusia pun, jangan lagi sang pembicara, darimana asal suara itupun tidak ketahuan olehnya, hal mana membuat Thiat Tiong-tong amat terperanjat, bahkan paras muka Ai Thian-hok pun ikut berubah.
Kedua orang itu hanya bisa mengepal tinjunya tanpa bersuara, ditengah keheningan yang mencekam itulah tiba-tiba dari balik almari kayu kecil disisi meja rias berkumandang suara Kemerutuk yang nyaring.
Kemudian diikuti pintu almari terbuka perlahan, dan muncullah sebuah tangan yang halus lembut dengan jari jemari yang panjang, lentik dan indah.
Thiat Tiong-tong tidak pernah menyangka kalau didunia ini ternyata terdapat jari tangan sedemikian indahnya, terlebih tidak mengira kalau dari balik sebuah almari kecil bisa menerobos keluar tubuh seseorang, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri mematung saking kagetnya.
Pintu almari itu terbuka makin lebar, suara lertawa yang bergema dari balik almari pun semakin menggetarkan sukma.
Tiba-tiba terdengar Ai Thian-hok membentak nyaring, secepat kilat dia menghadang dihadapan Thiat Tiong-tong dan menghalangi pandangannya, kemudian dengan nada gemetar teriaknya:
"Cepat berpaling ke arah lain, jangan kau pandang perempuan itu!"
Teriakan panik, kaget bercampur ngeri itu belum pernah didengar Thiat Tiong-tong sebelumnya, untuk sesaat dia hanya berdiri tertegun.
Menanti dia siap membalikkan tubuh, terdengar perempuan yang berada dalam almari itu sudah berkata sambil tertawa merdu:
"Keponakanku, kau tidak perlu takut, aku sudah mengerudungi wajahku hingga meski terlihat pun juga tidak menjadi masalah"
Ditengah pembicaraan, terendus bau harum semerbak yang tebal dari balik almari.
Disusul kemudian, Thiat Tiong-tong hanya merasakan matanya jadi kabur, tahu-tahu dalam ruangan telah bertambah dengan seorang wanita cantik bergaun merah yang bertubuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan berambut disanggul tinggi.
Dia mengenakan kain kerudung merah diwajahnya, meski tersamar namun masih dapat terlihat kecantikan wajahnya yang menggiuran, kecantikan wanita ini sungguh mengejutkan bagaikan menyaksikan sekuntum bunga indah yang muncul dari balik kabut.
Kain cadar tipis itu membuat wajah cantiknya nampak makin misterius, semakin memiliki daya tarik yang luar biasa, membuat setiap orang tanpa sadar semakin ingin melihat, ingin tahu sejauh mana kecantikan wajah perempuan itu dari balik kain cadarnya.
Thiat Tiong-tong merasakan sorot matanya seolah tidak bisa dikendalikan, seakan ingin sekali melihat wajah perempuan itu, dia tidak mampu melawan hasratnya yang besar untuk menatap wajahnya. Hal ini membuat hatinya terkesiap, pikirnya:
"Almari itu amat kecil lagi sempit, jangankan orang dewasa, seorang bocah pun belum tentu mampu bersembunyi disitu, tapi nyatanya dia dapat bersembunyi disana, ini membuktikan kalau ilmu penyusut tulangnya Sut-kut-hoat sudah mencapai tingkatan yang luar biasa!"
Ketika mencoba berpaling ke arah rekannya, kembali dia tertegun. Ternyata Ai Thian-hok sendiripun berdiri mematung ditempatnya, sama sekali tidak bergerak.
Perempuan cantik itu masih saja tertawa merdu, setelah mengerling pada Thiat Tiong-tong sekejap, tiba-tiba dia menghadap ke arah Ai Thian-hok Kembari menyapa:
"Sudah lama tidak bertemu, baik-baikkan kau?"
Meski Ai Thian-hok berusaha keras mengen¬dalikan gejolak emosinya, tidak urung ujung jarinya krlihatan mulai gemetar keras.
Kembali perempuan cantik itu mengerling sekejap kesekeliling ruangan, katanya lebih jauh sambil tertawa:
"Rupanya si goblok telah pergi, melihat lorong bawah tanah yang kugali, dia sangka aku sudah kubur lewat terowongan itu, hahahaha..... siapa sangka aku justru masih tetap tinggal disini, biar dia mau menebakpun tidak bisa, mau ditemukan pun tidak dapat. Hey, menurut kau, cerdik tidak tindakan yang telah dilakukan enso cilikmu ini?"
"Benar benar seorang perempuan licik!" batin Thiat Tiong-tong dengan hati tercekat.
Dia tahu, perempuan inilah Yin Ping, tapi dia tidak menyangka kalau penampilan perempuan ini justru nampak jauh lebih muda ketimbang Kiu cu Kui bo.
Ai Thian-hok masih berdiri tanpa bergerak, butiran keringat telah membasahi jidatnya.
Dengan selembar saputangan yang diambil dari sakunya, Yin Ping menyeka peluh dijidatnya itu, kemudian setelah menowel pipinya kembali dia bei kata sambil tertawa:
"Bocah bodoh, kenapa berdiri termangu? Kenapa tidak memanggil enso mu?"
Ai Thian-hok masih tidak bicara, tidak bergerak maupun melawan, dia seakan benar-benar tertegun dibuatnya.
Sementara Thiat Tiong-tong masih tercengang bercampur keheranan, tiba-tiba terlihat Yin Ping berpaling ke arahnya dan berseru sambil tertawa:
"Hei, tolonglah aku, betulkan letak pemba¬ringan itu, mau bukan?"
Ucapannya merdu, senyumannya manis, penuh daya pikat, membuat orang lain merasa tidak tega untuk menampik permintaannya. Benar saja, Thiat Tiong-tong benar-benar membantunya menggeser pembaringan itu dan diletakkan pada posisi yang benar.
"Dasar bocah pintar........" kembali Yin Ping berkata sambil tertawa, dia segera melepaskan Ai Thian-hok dan duduk diatas ranjang.
Langkah tubuhnya halus dan lembut, goyangan pinggulnya menawan, setiap gerakan, setiap tingkah polanya seakan mengandung daya pikat yang luar biasa, tidak tahan kembali Thiat Tiong-tong menengok ke arahnya.
"Bocah bodoh, apa yang kau lihat?" tegur perempuan itu sambil tertawa.
Merah jengah selembar wajah anak muda itu, buru-buru dia berpaling ke arah lain.
"Bagaimana kalau kulepas kain cadarku ini, agar kau bisa melihat wajahku lebih jelas?" kembali Yin Ping berkata sambil tertawa.
Baru saja Thiat Tiong-tong ingin mengucap-kan kata "baiklah", mendadak terdengar Ai Thian-hok membentak nyaring:
"Kau tidak boleh melihat wajahnya!"
Suara bentakan itu sangat parau, paras mukanya berubah sangat menakutkan.
Yin Ping segera tertawa terkekeh kekeh.
"Hahahaha..... oya, aku hampir lupa beritahu kepadamu, setiap lelaki yang pernah melihat wajahku, akan kucongkel matanya hingga buta, agar dalam benaknya selalu tersimpan kesan wajahku, tapi jangan kuatir, meski sedang mencongkel matamu, kau tidak akan merasa tersiksa atau kesakitan, menderita sedikitpun tidak, bayangkan sendiri betapa baiknya hatiku bukan?"
Semua perkataan itu disampaikan dengan tutur kata yang lembut dan mesra, seakan dia sedang menceritakan satu kejadian yang penuh dengan kelembutan dan kehangatan, seperti juga seorang kekasih yang sedang mengutarakan isi hatinya.
Kontan saja Thiat Tiong-tong merasakan hawa dingin muncul dari lubuk hatinya, membuat dia tercekat, membuat dia merinding.
Sambil mempermainkan ujung bajunya dengan jari tangan yang lentik, kembali Yin Ping berkata:
"Kalau memang ingin melihat wajahku, lihat¬lah, sekalipun berakibat buta matanya, toh cukup berharga untuk dilakukannya"
Suaranya yang begitu merdu dan indah, wajahnya yang begitu cantik, bau harum yang begitu memikat, benar-benar membuat orang rela menjadi buta asal dapat memandang sekejap saja ke tuahnya.
Thiat Tiong-tong sudah merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya, sementara jari tangan Yin Ping yang lentik sudah mulai menyingkap ujung cadarnya, memperlihatkan sedikit dagunya yang putih halus bagai pahatan pualam.
Ai Thian-hok bermandikan keringat dingin, walaupun sepasang matanya telah buta, namun dia seolah dapat menyaksikan kejadian saat itu, karena dulu dia sendiripun pernah mengalami peristiwa semacam ini.
Tanpa terasa dalam benaknya terlintas kembali semua kejadian lama yang pernah dia alami.........
Saat itu adalah sebuah malam yang indah, seorang perempuan cantik dengan mengenakan kain sutera yang tipis berjalan menghampiri seorang pemuda, wajahnya mengenakan sebuah cadar tipis.
"Kau ingin melihat?" dia bertanya lembut.
Telapak tangan pemuda itu sudah basah oleh peluh dingin, akhirnya dengan gemetar dia meng¬angguk, maka pemuda itupun menyaksikan selembar wajah yang membuatnya tidak pernah melupakan untuk selamanya.
Semenjak saat itu, selamanya dia tidak dapat melihat lagi benda-benda lain!
Mungkinkah sejarah akan berulang kembali?
Dia tahu Yin Ping sedang mendekati Thiat Tiong-tong selangkah demi selangkah, daya pikat yang terpancar dari tubuhnya memang sulit untuk dilawan.
Tiba-tiba terdengar Thiat Tiong-tong berkata dengan nada dingin :
"Seandainya kau lebih muda dua, tiga puluh tahun, aku pasti akan melihatnya, sayang kau sudah tua, sudah jadi nenek tua, sekalipun memiliki ilmu awet muda, tapi kalau dibayangkan justru amat memuakkan!"
Sekujur tubuh Yin Ping gemetar keras, senyuman diwajahnya lenyap seketika, kali ini giliran dia yang jadi tertegun! Mimpi pun dia tidak menyangka kalau pemuda itu ternyata begitu dingin, perasaannya begitu beku dan perkataan-nya begitu tajam.
Tidak tahan Ai Thian-hok ikut membesut butiran keringat yang membasahi jidatnya, diam-diam dia menghela napas, pikirnya:
"Perasaan pemuda ini benar-benar terbuat dari batu cadas dan baja, kalau tidak, mana mungkin dia bisa melawan godaan!"
Hanya orang yang pernah mengalami peristiwa itu yang tahu, betapa besar dan hebatnya daya pikat yang dimiliki Yin Ping, juga hanya mereka yang tahu betapa misterius, betapa kuatnya rangsangan yang terpancar keluar dari kerlingan mata dibalik kain cadarnya.
Yin Ping sendiripun dibuat kelabakan, daya pikat yang misterius ibarat lapisan baja yang melindungi tubuhnya, tapi sekarang lapisan baja itu berhasil ditembusi secara gampang oleh tusukan Thiat Tiong-tong yang dingin dan sinis.
Dia semakin kalut, Thiat Tiong-tong justru semakin tenang, kembali ujarnya sambil tertawa dingin:
"Waktu berlalu bagaikan air yang mengalir, selamanya tidak akan balik kembali, tahukah kau, selanjutnya kau sudah tidak mampu memikat orang lain lagi?"
Yin Ping mundur berapa langkah, duduk kembali ditepi pembaringan.
"Aku anjurkan kepadamu, lebih baik pergilah dari sini, makin jauh makin baik" kata Thiat Tiong-tong lebih lanjut, "bukan saja tempat ini sudah tidak cocok untuk menampung dirimu, bahkan diseluruh kolong langit sudah tidak ada tempat lagi untukmu!"
Diam-diam Ai Thian-hok bersorak gembira, seluruh dendam, sakit hati dan kebencian yang dipendamnya selama banyak tahun seolah sudah terlampiaskan.
Tidak seorang korban buta ditangan Yin Ping yang pernah menuntut balas kepada perempuan itu, karena kebutaan mereka disebabkan kerelaan dan keikhlasan sendiri, tapi sekarang, Thiat Tiong-tong telah mewakili orang orang itu untuk membuat pembalasan.
Siapa sangka tiba-tiba saja Yin Ping tertawa cekikikan, katanya:
"Anak baik, bagus sekali perkataanmu, ternyata ada orang berani mengumpatku dengan kata muak, satu kejadian yang belum pernah kubayangkan sebelumnya!"
"Aku justru kuatir dikemudian hari akan semakin banyak orang yang akan memakimu dengan kata-kata tersebut!"
"Aduh, tidak kusangka ciciku bisa menerima seorang murid yang begitu bagus macam dia!"
"Orang itu murid Perguruan Tay ki bun!" sela Ai Thian-hok tiba-tiba.
Kali ini paras muka Yin Ping yang berubah hebat, gumamnya:
"Tay ki bun....Tay ki bun....hehehe... sayang¬nya semua anggota Perguruan Tay ki bun hanya punya ayah tidak punya ibu!"
Thiat Tiong-tong merasakan telinganya mendengung keras, tubuhnya bergetar bagai tersambar petir dan guntur, hawa panas bergelora dalam rongga dadanya, dengan suara gemetar dia berteriak:
"Apa......apa kau bilang?"
"Bukankah apa yang kukatakan telah kau dengar dengan sangat jelas?" ejek Yin Ping sambil tertawa cekikikan, saking kerasnya dia tertawa sampai tubuhnya pun ikut bergoyang.
Thiat Tiong-tong tidak dapat menjaga ketenangan hatinya lagi, tapi semakin dia kehilangan kendali, tertawa Yin Ping semakin menggetarkan hati.
Dengan penuh amarah Thiat Tiong-tong membentak:
"Jika kau berani bicara sembarangan lagi......".
"Kalau dibilang kau beribu, coba tunjukkan di mana ibumu?" ejek Yin Ping lagi sambil tertawa lerkekeh.
Tubuh Thiat Tiong-tong mulai gontai, akhirnya dia jatuh terduduk diatas bangku.
Ternyata tujuan utama dari Perguruan Tay ki bun adalah balas dendam, lantaran kuatir kasih sayang seorang ibu dapat memperlemah semangat inang anak didiknya, maka sejak dilahirkan setiap anggota perguruan sudah dipisahkan dari kasih sayang seorang ibu, bahkan sejak dapat berjalan mereka sudah mendapat pendidikan ketat untuk belajar silat, hingga boleh dibilang mereka tidak kenal macam apakah kasih sayang seorang ibu, malah tidak tahu bagaimana wajah ibunya.
Yin Ping sengaja menghela napas panjang, katanya lagi sambil tertawa:
"Seekor anak domba saja merasakan kasih sayang induknya, tapi sayang anggota Perguruan Tay ki bun tidak ada yang tahu dimanakah ibu mereka, benar-benar lebih mengenaskan nasibnya ketimbang seekor binatang......"
"Tutup mulut!" bentak Thiat Tiong-tong sewot.
"Aah, betul, aku benar-benar minta maaf, padahal hanya iseng saja menyinggung soal itu, aku tidak bermaksud melukai hatimu"
"Darimana kau bisa mengetahui masalah tentang Perguruan Tay ki bun?"
"Bila kau ingin tahu darimana aku bisa mengetahui kesemuanya ini, lebih baik pulang dulu dan tanyakan kepada........."
Mendadak terdengar suara ketukan pintu yang amat ramai berkumandang dari luar rumah.
Lalu terdengar suara seorang wanita berseru dengan napas tersengkal:
"Adakah seseorang dalam rumah? Bolehkah aku masuk untuk bersembunyi?"
Nada suaranya panik dan penuh ketakutan, tapi Thiat Tiong-tong merasa sangat mengenal suara itu.
Perasaan hatinya tercekat, untuk sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa, mendengarkan perkataan Yin Ping dulu sampai selesai baru keluar membuka pintu atau buka pintu dulu tanpa menggubris perkataan perempuan ini.
Siapa tahu Yin Ping hanya tersenyum dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Thiat Tiong-tong merasakan otaknya sangat kalut, tanpa membuang waktu lagi dia melompat keluar ruangan menuju ke pintu depan.
Terdengar Yin Ping yang berada dibelakangnya kembali memuji sambil tertawa:
"Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bocah ini!"
Ketika menengok ke luar, dia menjumpai ada seorang wanita yang menggendong tubuh seseorang berdiri di depan pintu, perempuan itu tiada hentinya menengok ke belakang dengan wajah gelisah bercampur cemas.
Ternyata mereka tidak lain adalah Un Tay-tay dan Im Ceng.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongOnde as histórias ganham vida. Descobre agora