14. Cinta Seorang Wanita Cantik

1.5K 23 0
                                    

Dengan darah mendidih didada Im Ceng berlarian kencang di tengah hujan angin, dibelakangnya menyusul Ai Thian-hok.
Karena kuatir Un Tay-tay menghalangi niatnya, dia sengaja berlarian hingga keluar dari dusun sebelum menghentikan langkahnya.
"Jadi kau akan bertarung disini?" tegur Ai Thian-hok dingin.
"Benar!" dari sakunya Im Ceng mencabut keluar sebilah pisau kemudian membuat garis lingkaran selebar empat meter keliling.
"Kau tidak merasa garis lingkaran ini kelewat lebar?" kembali Ai Thian-hok mengejek.
"Perduli lingkaran yang kubuat kelewat besar atau kecil, pokoknya hari ini sebelum menang kalah ditentukan, siapa pun jangan harap bisa meninggalkan lingkaran ini barang setengah langkah pun!" ujar Im Ceng gusar.
Ditengah kilauan cahaya tajam, tahu-tahu pisau belati itu sudah menancap diatas tanah.
"Baik, aku akan mengalah tiga jurus untukmu, cepatlah turun tangan!"
"Hahahaha....... Kau sangka aku orang she-Im nkan menyerang orang buta duluan!" Im Ceng tertawa seram.
Mendadak sekujur tubuh Ai Thian-hok gemetar keras, begitu kerasnya hingga rambut panjang yang terurai hingga ke pundak pun ikut bergetar keras, mukanya yang sudah menyeramkan, kini semakin mengerikan hingga mirip setan gentayangan yang muncul ditengah hujan angin.
Si bocah pincang yang kebetulan baru tiba disitu dan mendengar ucapan dari Im Ceng, paras mukanya seketika berubah hebat, serunya sambil menghentakkan kakinya berulang kali:
"Celaka, celaka, kali ini siapa pun tidak ada yang bisa selamatkan dia lagi!"
"Kenapa?" Tanya Un Tay-tay terkejut.
Setelah menghembuskan napas panjang, bisik bocah itu:
"Toako ku paling benci kalau ada orang memakinya buta, selama ini belum pernah ada yang lolos dalam keadaan hidup"
Un Tay-tay terkesiap, ketika menatap wajah Ai Thian-hok yang mengerikan, tanpa terasa hawa dingin menyusup keluar dari lubuk hatinya, untuk sesaat dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba terdengar Im Ceng membentak lantang:
"Bila ada siapa pun berani melangkah masuk ke dalam lingkaran ini untuk membantu Im Ceng, aku orang she-Im segera akan bunuh diri dihadapannya!"
"Bagus sekali" seru Ai Thian-hok dengan suara dalam, "kita tidak perlu berhenti sebelum ada yang mampus!"
Un Tay-tay yang mendengar perkataan itu kembali menghentakkan kakinya berulang kali, keluhnya:
"Heran, kenapa kalian kaum lelaki selalu bersikap aneh, padahal tiada dendam sakit hati apa pun diantara mereka berdua, kenapa harus bertarung sampai mati?"
Si bocah pincang itupun ikut berseru dengan wajah masam:
"Toako, hajar saja dia dengan berapa tonjokkan, buat apa mesti mencabut nyawanya? Dia.....dia toh tidak menganiaya aku......."
"Kalau kau berani cerewet lagi, akan kupotong lidahmu terlebih dulu!" ancam Ai Thian-hok.
Si bocah pincang itu bergidik, sambil merentangkan tangannya tanda menyerah, dia hanya gelengkan kepalanya berulang kali.
Kini Ai Thian-hok telah berdiri saling berhadapan dengan Im Ceng, ditengah hujan angin, pakaian yang mereka kenakan telah basah kuyup, meski kedua belah pihak sama-sama menanti lawannya melancarkan serangan lebih dulu, namun suasana sudah mencapai puncak ketegangan, setiap saat pertarungan dapat berkobar.
Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema mendekat, ternyata Tio Ki-kong dan nona berbaju hijau itu telah menyusul tiba.
"Toa-tia, kau suruh aku membantu pemuda itu?" terdengar nona berbaju hijau itu bertanya.
"Benar, cepatlah tolong dia!"
Nona berbaju hijau itu menghela napas panjang, gumamnya:
"Walaupun aku enggan bertarung melawan kaum lelaki, tapi aku tidak ingin membangkang perintah dari toa-tia"
Perlahan-lahan dia berjalan mendekati garis lingkaran.
Dengan cepat Un Tay-tay menghadang dihadapannya, ujarnya setelah menghela napas:
"Bila kau membantunya, dia akan segera bunuh diri, aku paling paham tentang tabiatnya, apa yang telah diucapkan tidak pernah akan dirubah kembali"
Nona berbaju hijau itu tertegun, dia berpaling menengok Tio Ki-kong sekejap, tapi Tio Ki-kong sendiripun hanya berdiri kaku, sampai lama sekali tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Hei setan cilik" Un Tay-tay berpaling ke arah bocah pincang itu, "benarkah kau sudah kehabisan akal?"
"Satu satunya jalan untuk mencegah pertarungan ini adalah minta kepada orang she-Im itu agar tidak melancarkan serangan duluan, toako ku tidak pernah menyerang duluan"
Belum selesai dia berkata, terlihat Im Ceng sudah menerjang maju sambil melontarkan sebuah pukulan ke depan.
Melihat itu sekali lagi Un Tay-tay menghela napas.
"Aaai, seandainya kau tidak berkata begitu, belum tentu dia akan melancarkan serangan, tapi begitu mendengar perkataanmu, dia pasti akan menyerang duluan"
"Darimana kau bisa mengetahui wataknya itu?" Tanya si bocah pincang itu dengan mata terbelalak.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Im Ceng sudah melancarkan tiga jurus serangan.
Ai Thian-hok berdiri tegak, dia menunggu sampai ke tiga jurus serangan itu selesai dilancarkan, sepasang ujung bajunya baru dikebaskan berulang kali di udara.
Kembali bocah pincang itu berkata:
"Apa yang telah toako katakan, dia pun tidak pernah akan meru bahnya, kalau berjanji akan mengalah tiga jurus, dia tetap akan mengalah sebanyak tiga jurus!"
Selama ini sepasang tangan Ai Thian-hok selalu disembunyikan dibalik bajunya, sepasang lengan bajunya itu berputar bagaikan naga sakti di angkasa, dalam waktu singkat dia pun telah balas melancarkan tiga jurus serangan.
Biarpun ke tiga jurus serangan itu ganas dan dahsyat, ternyata Im Ceng pun hanya menempel¬kan sepasang kepalannya diatas pinggang sambil berkelit kian kemari.
Ketika tiga jurus serangan itu lewat, terdengar Im Ceng membentak keras:
"Aku telah membayar lunas ketiga jurus serangan mu itu!"
Si bocah pincang tertegun melihat hal itu, sementara Un Tay-tay menengok sekejap ke arahnya lalu tertawa ringan.
"Aku mengalah tiga jurus lagi untukmu!" terdengar Ai Thian-hok menghardik.
Betul saja, dia menanti sampai Im Ceng selesai melancarkan tiga jurus serangan sebelum balas melancarkan pukulan.
Hmmm, aku justru akan mengalah lagi untukmu!" teriak Im Ceng gusar.
Ditengah bentakan, Ai Thian-hok telah melancarkan tiga jurus serangan dengan gerakan Siang go peng gwee (Siang-go kabur ke bulan), Hong tiong liu im (angin bergerak awan mengalir) dan Im po jit lay (awan buyar matahari muncul), terasa angin pukulan berpusing dengan dahsyatnya.
Selewat ke tiga jurus serangan itu, semestinya dia harus melanjutkan dengan jurus Gwee gi seng huan (rembulan bergeser bintang berpindah), Kim Jim po hu (roda emas memecah kabut) dan Tiang liong koan jit (bianglala menembusi sang surya), karena rangkaian jurus itu merupakan enam jurus serangan berantai.
Tapi begitu selesai menggunakan jurus Im po jit lay tadi, Ai Thian-hok sama sekali tidak melanjutkan kembali serangannya, dia seolah dengan sengaja mengalah kepada Im Ceng.
Benar saja, kepalan Im Ceng langsung menyambar tiba, serangan keatas mengarah wajah, serangan bawah mengancam lambung, angin pukulan yang menderu-deru membuat ujung jubah Ai Thian-hok beterbangan kencang.
Meski Ai Thian-hok berilmu tinggi pun tidak urung tubuhnya terdesak mundur juga sejauh dua langkah.
Kejadian ini langsung menyulut api amarahnya, wajah yang dingin kaku berubah hebat, bentaknya:
"Sambut lagi ke tiga jurus seranganku ini!"
Gulungan angin pukulan dahsyat segera dilontarkan dari balik lengan bajunya.
Ke tiga jurus serangan ini meski jauh lebih dahsyat, namun dibalik gerak serangan itu dia sengaja membuka garis pertahanannya, khusus¬nya pada jurus serangan yang ke tiga, sepasang lengannya malah dipentangkan lebar sehingga pertahanan dibagian dadanya terbuka sekali.
Siapa tahu Im Ceng tetap tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melontarkan pukulan mautnya, dia bersikeras menunggu sampai ke tiga jurus serangan itu lewat baru melancarkan balasan.
Sewaktu melancarkan serangan pun dia sama sekali tidak memusingkan soal pertahanan, hampir segenap tenaga pukulan yang dimilikinya digunakan untuk menghimpit musuh.
Dalam keadaan seperti ini, kendatipun Ai Thian-hok sangat marah pun tidak ada gunanya, karena dia memang tidak bisa berbuat banyak terhadap pemuda keras kepala ini.
Sekalipun ilmu silat yang dimilikinya jauh lebih unggul ketimbang Im Ceng, tapi jurus serangan yang berulang kali tidak dapat digunakan secara tuntas membuat kemampuan silatnya menderita banyak kerugian, sebaliknya Im Ceng yang nekad justru menyerang jauh lebih girang dan ganas.
Sebagaimana wataknya yang berangasan, kasar dan gampang naik darah, diwaktu biasapun dia tidak pernah memikirkan soal pertahanan apalagi dalam menghadapi pertarungan semacam ini.
Tidak heran kalau untuk sesaat menang kalah sulit ditentukan.
Si bocah pincang yang menonton jalannya pertarungan itu jadi berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tidak tahan dia gelengkan kepalanya sambil tertawa getir.
"Benar-benar watak baunya memuakkan, belum pernah kujumpai orang berwatak sebau itu!" gumamnya.
"Hari ini kau telah menjumpainya bukan?" sahut Un Tay-tay tertawa, "nah, bagi anak kecil macam kau, anggap saja menambah pengetahuanmu!"
Sekalipun senyuman masih menghiasi bibir¬nya, padahal dalam hatinya perempuan ini merasa tegang sekali.
Ke tiga jurus serangan yang dilancarkan Ai Thian-hok kian lama kian bertambah susah untuk dihadapi, Im Ceng harus mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menghindar-kan diri, meski beruntung dapat lolos dari ancaman, tidak urung butiran keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Waktu itu Bi lek Hwee serta Hay Tay-sau telah menyusul tiba disitu, mereka berdua pun ikut tercekat setelah menyaksikan jalannya pertarungan.
Tiba-tiba terdengar Ai Thian-hok berpekik nyaring, sepasang tangannya yang selama ini disembunyikan dibalik lengan baju, tiba-tiba keluar dan secepat kilat melepaskan tiga pukulan.
Kalau tadi deraan angin dari lengan bajunya sudah dahsyat, maka angin pukulan yang dilepaskan saat ini jauh lebih hebat lagi.
Im Ceng berhasil menghindar dari pukulan yang pertama, tapi pukulan ke dua sempat menyambar ujung bahunya, membuat dia terpental ke belakang dan harus berjumpalitan berapa kali agar tidak roboh terjengkang.
Ai Thian-hok tidak melanjutkan dengan serangan ke tiga, bahkan dia sengaja membuka pertahanan tubuh bagian bawahnya.
Jika Im Ceng gunakan kesempatan itu untuk menyerang dari tengah udara, kendatipun belum tentu bisa unggul, paling tidak dia masih bisa merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Tapi dasar kepala batu, dia lebih baik mati konyol daripada memanfaatkan kesempatan itu, sambil menggigit bibir dia meluncur turun ke bawah.
Tatkala tubuhnya menyentuh permukaan tanah, hawa murninya yang kalut belum sempat dihimpun kembali, saat itulah sepasang tangan Ai Thian-hok menyerang dengan jurus Bai jut to hay (mendorong keluar tumpahan samudra) sudah menyodok kearah lambungnya.
Buru-buru Im Ceng berusaha menjejakkan kakinya untuk melambung kembali ke udara, sayang Ai Thian-hok tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berganti napas, angin pukulan yang kuat seketika menghantam tubuhnya, membuat dia roboh terjengkang ke tanah.
Tanpa terasa jeritan kaget bergema dari sisi arena.
Baru saja Ai Thian-hok menggerakkan langkahnya, Un Tay-tay segera berteriak keras:
"Sekarang giliran dia......."
Sambil tertawa dingin Ai Thian-hok segera membatalkan langkahnya.
Im Ceng yang terjengkang ke tanah cepat merangkak bangun, biarpun dia menggertak gigi menahan rasa sakit, namun noda darah terlihat membasahi ujung bibirnya.
"Pemuda ini betul-betul kepala batu!" gumam Hay Tay-sau sambil menghela napas.
Bi lek Hwee ikut menggeleng pula sambil menghela napas.
"Aku tidak menyangka Perguruan Tay ki bun memiliki murid sekeras itu, kelihatannya dia jauh lebih kepala batu ketimbang watakku!"
Si bocah pincang turut bergumam pula:
"Sudah banyak tahun toakoku tidak pernah menggunakan sepasang tangannya, tapi kali ini dia dipaksa untuk menggunakannya, meskipun dia kalah, seharusnya dia kalah dengan bangga"
"Kalah yaa kalah, apanya yang perlu menjadi bangga!" seru Un Tay-tay sambil melotot.
Im Ceng dengan langkah sempoyongan dan sepasang mata merah membara, selangkah demi melangkah mendekati Ai Thian-hok, lengan kirinya tampak terkulai ke bawah, jelas luka dibahu kanannya cukup parah.
Sekalipun terluka, semangatnya sama sekali tidak berkurang, begitu tiba dihadapan Ai Thian-hok, bentaknya:
"Hati hati kau!"
Dia mengayunkan tangannya dan langsung disodokkan ke depan.
Biarpun pukulan ini sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, sayang tenaga yang dimiliki sudah teramat minim, sekalipun pihak lawan tidak pandai silat pun, belum tentu serangan ini sebut dapat merobohkan dirinya.
Tentu saja secara mudah Ai Thian-hok berhasil menghindarkan diri dari ke tiga serangan itu.
"Apakah ke tiga jurus serangan berikut masih akan kau lancarkan?" terdengar Hay Tay-sau menegur dengan suara keras.
Ai Thian-hok tidak menanggapi, wajahnya tetap hambar tanpa perubahan apapun.
"Tua bangka sialan" umpat Hay Tay-sau gusar, "lebih baik bertarung satu babak dulu melawanku sebelum bicara lain"
Baru saja dia hendak menggerakkan tubuh-nya, tiba-tiba Im Ceng berpaling seraya mengancam:
"Kalau kau berani maju membantu, sekarang juga aku akan bunuh diri dihadapanmu"
"Tapi jurus keduanya tidak mungkin bisa kau hindari!" seru Hay Tay-sau cemas.
Im Ceng tertawa seram.
"Dari mana kau tahu kalau aku tidak sanggup menghindari..... sekali pun tidak mampu ku¬hindari, apa urusannya denganmu!"
Kemudian sambil membusungkan dada, hardiknya:
"Orang she-Ai, ayoh maju!"
"Hmm, memandang kau sebagai seorang lelaki, kuberi waktu lagi bagimu untuk mengatur napas" kata Ai Thian-hok dingin.
Kontan Im Ceng mendelik, tapi sebelum dia menjawab, Un Tay-tay sudah berteriak lebih dahulu:
"Im lote, kau tidak boleh mati, uangmu sebesar satu juta lima ratus ribu tahil perak masih berada ditanganku, dan lagi kau..... kau masih begitu muda, masih banyak waktu bagimu untuk menikmati keduniawian, biarlah orang lain membantumu, boleh bukan? Setelah ini aku.....aku pasti akan baik-baik melayanimu........"
Ucapan tersebut disampaikan dengan nada pedih dan penuh kepiluan, tapi Im Ceng jangan lagi menuruti, menengok sekejap ke arahnya pun tidak.
"Jadi.... Jadi kau tidak menyukai aku?" kembali Un Tay-tay berseru, "tahukah kau betapa sukaku kepadamu, bila kau mati, apa..... apa yang harus kuperbuat?"
Perkataan sendu yang disampaikan ditengah hujan angin begini, betul-betul membuat perasaan siapa pun merasa iba.
Paras muka Im Ceng turut berubah, tiba-tiba dia muntahkan darah segar, tapi segera teriaknya:
"Aku telah mengatur napasku, kenapa kau belum juga turun tangan?"
Otot wajah Ai Thian-hok nampak mengejang keras, ujarnya perlahan:
"Tadi kau mengatakan buta, apakah sedang mengumpatku?"
"Bukan mengumpatmu, bukan mengumpat¬mu, yang dia maki bukan kau!" buru-buru Un Tay-tay berteriak.
Baru habis perempuan itu menjerit, Im Ceng dengan nada berat telah berteriak:
"Kau memang buta, tentu saja kau yang ku¬maki!"
Paras muka Ai Thian-hok berubah makin suram, kembali tegurnya:
"Apakah sekarang kau siap menarik kembali ucapanmu?"
"Aku toh tidak salah bicara, kau memang buta" teriak Im Ceng semakin gusar, kemudian sambil bertepuk dada lanjutnya, "perkataan seorang lelaki yang telah diucapkan, sampai mati pun tidak akan ditarik balik!"
"Baik........" Ai Thian-hok menarik napas panjang, perlahan-lahan dia mengangkat tangan¬nya.
Butir air mata tanpa terasa bercucuran membasahi pipi Un Tay-tay, teriaknya sambil menghentakkan kaki:
"Kenapa kau..... kau begitu bodoh, apa....apa salahnya menarik balik perkataanmu tadi, bila kau mencabut makianmu, dia tidak bakal mencelakaimu lagi!"
"Hahahahaha......" Im Ceng mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, "bagi seorang lelaki sejati, hidup tidak menyesal kenapa harus takut menghadapi mati! Hari ini bisa melihat kau menangis, hatiku sudah teramat gembira. Hei orang she-Ai, cepat turun tangan!"
Begitu dia selesai bicara, telapak tangan Ai Thian-hok telah tiba dihadapannya, begitu cepat gerak serangan yang dilancarkan, dalam waktu singkat dia sudah melepaskan tiga jurus pukulan.
"Blaaaam!" sekali lagi bahu kanan Im Ceng termakan sebuah pukulan.
Begitu kuat dan kerasnya pukulan tersebut, kontan tubuh pemuda itu mencelat ke belakang dan terguling di tanah.
Keadaan yang begitu mengenaskan membuat para penonton tidak tega untuk menyaksikannya lebih lanjut, sebagian diantara mereka segera pejamkan mata atau membuang pandangan kearah lain.
Tapi Im Ceng memang bandel, kembali dia merangkak bangun dan bergerak mendekati Ai Thian-hok.
"Kau masih ingin bertarung terus?" tegur Ai Thian-hok dengan wajah sedikit berubah.
"Belum pernah ada anggota Perguruan Tay ki bun yang minta ampun kepada orang lain!" sahut Im Ceng dengan napas tersengkal.
Telapak tangannya bergerak ke depan meng¬gunakan jurus Sin liong tam jiau (naga sakti pentangkan cakar), tapi sayang sepasang bahunya sudah terluka hingga sulit baginya untuk mengangkat lengannya.
Tidak heran kalau serangan itu dilancarkan sangat lambat, tidak ubahnya seperti seorang kakek yang sedang memberikan sesuatu benda kepada seorang bocah bayi, serangan yang mustahil dapat mengenai sasarannya.
Semua orang menghela napas sedih, melihat Im ceng sudah tidak sanggup mengangkat lengannya, jelas sudah mustahil baginya untuk menyelesaikan ke tiga juru sserangannya.
Akhirnya setelah bersusah payah Im Ceng berhasil juga mengangkat lengannya, tangan itu inci demi inci diangkat keatas, inci demi inci mendekati A i Thian-hok... mendadak, "Plaaaak!" ternyata serangan dari Im Ceng itu bersarang telak di wajah Ai Thian-hok.
.....Sebagaimana diketahui, sepasang mata Ai Thian-hok sama sekali buta, selama ini dia hanya mengandalkan suara angin untuk menentukan gerak serangan lawan, tapi kali ini, serangan dari Im ceng dilakukan sangat lamban, bahkan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun.
Ai Thian-hok sangka dia sudah tidak mampu mengangkat lengannya lagi hingga sama sekali tidak berjaga, selain itu diapun merasa susah untuk melanjutkan pertarungan itu, sehingga akhirnya pukulan itu malah bersarang telak.
Dalam waktu singkat semua orang dibuat terkesima dan termangu untuk berapa saat lamanya.
Im Ceng sendiripun nampak agak tertegun, tapi kemudian dia tertawa tergelak, teriaknya:
"Hei orang she-Ai, akhirnya aku...aku berhasil menghajarmu..."
Tiba-tiba hawa murninya buyar, dia pun roboh tidak sadarkan diri.
Un Tay-tay tidak tahu harus terkejut atau gembira, cepat dia menubruk maju ke depan.
Hay Tay-sau pun ikut tertawa keras, bentak-nya:
"Ai Thian-hok, apakah kau masih punya muka untuk melanjutkan pertarungan ini? Kalau bernyali, ayoh tarung melawan aku!"
Tapi Ai Thian-hok hanya berdiri kaku ditempat, dia seolah tidak mendengar tantangan itu.
Diatas wajah Tio Ki-kong yang penuh bekas luka bacokan, lamat-lamat muncul juga cahaya merah, sambil berpaling ke arah nona berbaju hijau itu, katanya:
"Demi anak muda semacam ini, apakah cukup berharga bagimu untuk turun tangan?"
Diatas wajah si nona berbaju hijau yang putih pucat, kini muncul pula cahaya merah karena luapan emosi, tiba-tiba teriaknya keras:
"Ai Thian-hok, beranikah kau menerima berapa jurus serangan dari aku Liu Ho-ie?"
Bi lek Hwee sendiripun merasakan napasnya tidak teratur, saat itu dia ikut berkata pula:
"Meskipun lohu bermusuhan dengan Perguru¬an Tay ki bun, namun hari inipun aku akan bertarung juga demi dirinya!"
Akan tetapi Ai Thian-hok masih tetap berdiri kaku tanpa bergerak, dia membiarkan air hujan dan angin menerpa wajahnya, raut muka yang semula dingin kaku kini berubah semakin dingin, sama sekali tidak nampak secerca cahaya kehangatan sedikit pun.
Bergidik perasaan hati bocah pincang itu setelah melihat perubahan mimik muka toakonya yang menyeramkan, tidak tahan panggilnya dengan nada gemetar:
"Toako......."
Perlahan-lahan Ai Thian-hok mendongakkan kepalanya, kemudian sambil menggapai bisiknya: "Kemari kau!"
Dengan wajah getir bocah pincang itu berjalan mendekat, katanya dengan nada gemetar:
"Toako, kau..... bila kau enggan bertarung melawan mereka, siaute bersedia menggantikan posisimu"
"Tidak usah banyak bicara lagi" tukas Ai Thian-hok sambil tertawa pedih, "berdiri dihadapanku"
Dengan perasaan sangsi selangkah demi selangkah bocah pincang itu maju mendekat.
Mendadak Ai Thian-hok membenahi pakaian¬nya kemudian menjatuhkan diri berlutut dihadapannya dan menyembah berapakali.
Tindakan yang sama sekali diluar dugaan ini bukan saja membuat bocah pincang itu terbelalak dengan mulut melongo, orang lain pun ikut terperanjat dibuatnya.
Setelah tertegun berapa saat akhirnya bocah pincang itu turut berlutut pula dengan air mata bercucuran, serunya gemetar:
"Toako, kau......apa yang kau lakukan?"
"Sembah sujudku ini kutujukan untuk suhu, tolong sampaikan kepada dia orang tua, katakan, tecu Ai Thian-hok sudah tidak bisa membalas budi kebaikannya lagi"
"Toako, kau.....kau......." bocah pincang itu semakin terkesiap.
Ai Thian-hok tertawa getir.
"Setelah hidup malang melintang dalam dunia persilatan, hari ini wajahku telah kena dihajar orang tanpa terasa, apakah aku masih punya muka untuk hidup terus di dunia ini?"
"Tapi......tapi..... toako, kau toh berhasil melukainya terlebih dulu!"
Ai Thian-hok melompat bangun dari tanah, dengan wajah berat tukasnya:
"Keputusanku sudah bulat, kau tidak usah banyak bicara lagi, tolong sampaikan juga kepada semua saudara yang lain, katakan kalau toako mohon diri terlebih dulu!"
Bocah pincang itu mendekap ditanah sambil menangis tersedu sedu, begitu sedihnya bocah itu membuat kawanan jago lain pun ikut terharu.
Pada saat itulah mendadak dari kejauhan muncul sesosok bayangan manusia, orang itu berhenti ditempat kegelapan dan segera menyem¬bunyikan diri.
Sayang waktu itu semua orang sedang berdiri terperanjat hingga tidak seorang pun yang menyadari akan kehadirannya.
Terdengar Ai Thian-hok tertawa tergelak berulang kali, kemudian ujarnya lantang:
"Orang she-Im itu bisa memandang kematian sebagai hal yang lumrah, kenapa aku Ai Thian-hok tidak bisa? Kiu-te, jangan lupa, disaat seorang lelaki sejati menjelang ajal, dia harus mati sebagai seorang enghiong!"
Selesai bicara ia segera mengayunkan telapak tangannya siap dihantamkan keatas ubun ubun sendiri.
Sambil menangis terisak bocah pincang itu segera menubruk ke depan, memeluk pinggangnya kuat-kuat, membuat toakonya mundur berapa langkah dengan terhuyung, kemudian teriaknya keras:
"Toako, kau tidak boleh mati......."
Tiba tiba Hay Tay-sau ikut berteriak lantang:
"Memangnya kau anggap mati dalam keadaan begini merupakan kematian seorang enghiong? Huuuh, kalau memang bernyali, ayoh lanjutkan hidupmu, tahukah kau masih ada berapa banyak orang yang ingin menantangmu bertarung?"
Ai Thian-hok menangkap sepasang lengan bocah pincang itu, sambil berusaha melepaskan cengkeramannya, dia menghardik:
"Kiu-te, lepaskan tanganmu!"
Tapi sampai mati pun bocah pincang itu enggan melepaskan cengkeramannya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan sana terdengar seseorang tertawa dingin.
Lalu terdengar seseorang dengan nada sinis menjengek:
"Buat apa kalian membujuknya? Manusia buta macam dia memang tidak berarti hidup terus di dunia ini, kenapa tidak biarkan dia pergi mampus saja!"
Semua orang terperanjat, terlebih Ai Thian-hok, dengan tubuh bergetar keras dan wajah berubah hebat, bentaknya:
"Siapa yang berani mencaci maki aku?"
Sesosok bayangan manusia tampak berdiri berapa meter dari arena pertarungan, berdiri di tengah hujan angin, sahutnya sambil tertawa dingin:
"Kalau aku sedang mengumpatmu lantas kenapa? Hahahaha..... kau tidak lebih cuma seorang lelaki buta yang hampir mampus"
Waktu itu malam sudah kelap, ditambah hujan angin sedang ber langsung membuat suasana diseputar sana cukup gelap, siapa pun tidak ada yang melihat jelas siapa gerangan orang itu?
Sekujur tubuh Ai Thian-hok gemetar keras, tiba-tiba teriaknya:
"Kemari kau, sekalipun aku ingin mati, paling tidak aku baru mati setelah berhasil membunuh¬mu!"
"Bagaimana kalau kau tidak sanggup membu¬nuhku?" jengek bayangan itu sambil tertawa dingin.
"Sehari aku tidak mampu membunuhmu, sehari pula aku orang she-Ai tidak akan mati!" teriak Ai Thian-hok gusar.
Tiba-tiba dia kebaskan sepasang lengan baju¬nya dan melesat ke arah bayangan manusia itu dengan kecepatan tinggi.
Bayangan manusia itu segera tertawa tergelak.
"Hahahaha......kau tidak bakal sanggup membunuhku!"
Kata terakhir diucapkan dari tempat yang cukup jauh, namun Ai Thian-hok bagaikan bayangan tubuh saja, mengintil ketat dibelakangnya.
"Toako,......" bocah pincang itu segera berteriak keras, "toako........"
Cepat dia menyusul dari belakang.
"Entah siapakah orang itu" kata Hay Tay-sau kemudian sambil tertawa, "dia betul betul sangat hebat, hanya menggunakan beberapa patah kata saja telah berhasil selamatkan selembar nyawa Ai Thian-hok dari kematian!"
"Apakah kita perlu menyusulnya?" tanya Bi Lek-hwee.
Mengawasi kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad, Hay Tay-sau gelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak mungkin terkejar, tidak mungkin terkejar....."
Dalam pada itu Un Tay-tay telah membopong tubuh Im Ceng dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Semua orang mengikuti dibelakangnya tanpa bicara, perasaan hati mereka rata-rata berat dan murung.
Setelah memasuki perkampungan dan tiba dipintu gerbang kedai tukang besi, mereka tidak menemukan kereta kuda disitu, sang kusir yang tahu gelagat tidak menguntungkan juga ikut raib dari sana.
Air muka Un Tay-tay yang murung nampak sedikit berubah, gumamnya tanpa terasa:
"Ba.....bagaimana sekarang?"
"Lebih baik nona tetap tinggal disini......" Bu Ceng hiong mengusulkan.
"Biar aku periksakan keadaan lukanya" kata Liu ho-ie, si nona berbaju hijau itu pula.
Ketika Un Tay-tay mencoba menengok, orang yang berada dalam pelukannya memejamkan matanya dengan wajah pucat pasi, sekilas pandangnya seolah sudah tidak bernapas lagi.
Rasa sedih yang berkecamuk dalam benaknya membuat air mata perempuan itu bercucuran tanpa terasa, butiran air mata meleleh dari pipinya dan jatuh membasahi sepasang mata Im Ceng yang ter tutup rapat.
Begitu basah oleh air mata, mendadak terdengar Im Ceng merintih perlahan lalu membuka kembali mulanya.
Secara lamat-lamat dia merasa ada sesosok bayangan manusia sedang berdiri dihadapannya, bayangan itu semula kabur tapi lambat laun makin bertambah jelas........ saat itulah Liu Ho-ie sedang berdiri dihadapannya sambil memeriksa keadaan luka yang dideritanya.
Begitu melihat jelas paras muka perempuan itu, Im Ceng segera meronta bangun sambil berteriak:
"Dia......dia.......dia adalah orang Han hong po, Tay-tay......cepat.... cepat pergi dari sini......."
Dia tidak pernah melupakan paras muka Liu Ho-ie yang dingin tanpa perubahan mimik itu, tapi dia hanya teringat kalau perempuan berwajah dingin ini adalah anggota benteng Han hong po yang hendak menginterogasi dirinya.
Tio Kie-kong yang kebetulan berjalan masuk buru-buru menjelaskan sambil menghela napas:
"Kongcu, kau salah paham, hari itu........."
Tapi sayang waktu itu Im Ceng yang sedang terluka dalam berada dalam keadaan setengah sadar, bukan saja dia tidak mendengar penjelasan itu, sebaliknya malah berteriak sambil meronta dalam pelukan Un Tay-tay:
"Bagus......bagus, Han hong po, aku akan beradu jiwa denganmu.... aku akan beradu jiwa!"
Tangannya mulai memukul kian kemari diimbangi tendangan yang membabi buta, seolah olah dia memang siap beradu jiwa.
Un Tay-tay memeluknya semakin kencang, serunya dengan air mata bercucuran:
"Baik, kita pergi, kita pergi........"
Dia segera bangkit berdiri dan berlarian dibawah hujan angin sambil membopong pemuda itu.
Melihat itu Tio Kie-kong menghentakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas, teriaknya:
"Ini.....ini.......Ho-ji, kita kejar......."
"Toa-tia tidak usah kuatir" tukas Liu Ho-ie sambil memandang dingin bayangan tubuh yang makin menjauh itu, "dia tidak bakalan mampus!"
Selesai bicara dia membalikkan tubuh dan masuk kembali ke dalam kamarnya.
Hay Tay-sau serta Bi Lek-hwee hanya bisa saling bertukar pandangan tanpa bicara, mereka mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang.
Fajar sudah mulai nampak menyingsing diufuk timur, suara ayam berkokok pun lamat lamat kedengaran memecahkan keheningan, hujan angin semalaman suntuk pun berakhir juga.
Un Tay-tay berlarian dengan sepenuh tenaga sambil membopong tubuh Im Ceng.
Sepanjang jalan tiada hentinya dia menengok keadaan orang yang berada dalam pelukannya, mengawasi pemuda yang masih tidak sadarkan diri itu, untuk pertama kalinya dia menyadari kalau anak muda yang tergila-gila kepadanya itu ternyata seorang lelaki baja yang berhati sekeras batu karang.
Untuk sesaat dia merasa sedih bercampur menyesal, dulu dia sudah menyia-nyiakan cinta kasih pemuda ini, perempuan itu tidak tahu, apakah dikemudian hari masih ada kesempatan baginya untuk membayar hutangnya ini?
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, akhirnya terlihat cahaya terang mulai muncul di langit timur, tapi suasana disekelilingnya terasa tetap hening dan sepi, dengus napas Un Tay-tay mulai berat dan tersengkal-sengkal.
Selama tahun terakhir dia lebih banyak memperhatikan keindahan tubuh ketimbang kehebatan kungfunya, tidak heran kalau saat ini dia sudah kehabisan tenaga.
Sekalipun begitu dia sama sekali tidak memperlambat langkahnya, perempuan itu ingin secepatnya tiba di rumah dan mengobati luka yang diderita Im Ceng, bila dapat menolong pemuda itu, apalah artinya kelelahan dan kehabisan tenaga baginya?
Permukaan tanah makin lama semakin tinggi, kini mereka sudah berada di daerah pegunngan.
Sepertanak nasi kemudian mereka sudah tiba di dataran rata diatas perbukitan itu, dibalik hutan yang lebat lamat-lamat terlihat cahaya lentera memancar keluar dari remangnya cuaca.
Sambil menghembuskan napas lega Un Tay-tay bergerak menuju ke dalam hutan itu.
Ditengah hutan terdapat sebuah bangunan rumah, sekilas mirip sebuah kuil, inilah tempat persembunyian yang digunakan Un Tay-tay untuk menghindari pencarian orang, memang jarang orang luar yang mengetahui letak tempat ini.
Perempuan ini selain pintar, diapun memiliki kemampuan luar biasa yang jarang dimiliki orang lain.
Hanya dalam waktu yang relatip singkat bukan saja dia berhasil menemukan tempat itu, bahkan telah mengubah kuil bobrok itu menjadi sebuah tempat tinggal yang nyaman, malah dia sempat pula membeli dua orang dayang yang jujur dan setia.
Satu-satunya persoalan yang membuat dia menyesal adalah masalah kusir kereta itu.......
Tapi begitu dia menerobos masuk ke dalam hutan, sorot matanya segera terhenti pada sebuah kereta kuda yang diparkir persis didepan pintu rumahnya, kereta mewah miliknya!
Dengan perasaan girang ia pun berpikir:
"Ooh, ternyata kusir itu tidak sabar menunggu hingga balik duluan kemari!"
Maka tanpa sempat berteriak memanggil dayangnya, dia langsung menerobos masuk ke dalam.
Cahaya lentera masih menyinari ruangan, sambil mengatur napasnya yang tersengkal Un Tay-tay pun berteriak memanggil:
"Ying-ji, Yan-ji, apakah kalian belum tidur? cepat siapkan air panas..."
Sambil berteriak dia menerobos masuk ke dalam ruangan, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya berdiri terbelalak, dibawah sinar lentera, tampak ke dua orang dayang setianya sudah mati membujur kaku dilantai.
Tidak ada benda yang berantakan dalam ruangan, tapi dua gumpalan darah masih nampak mengembang, seakan peristiwa berdarah ini belum luma terjadi.
Un Tay-tay merasakan hatinya bergidik, tidak tahan dia bersin berulang kali, pikirnya:
"Jangan-jangan Suto Siau berhasil menemukan tempat ini?"
"Blaaaam!" mendadak pintu ruangan tertutup kembali.
Telapak tangan Un Tay-tay sudah basah oleh keringat dingin, untuk sesaat dia tidak berani membalikkan tubuhnya, tiba-tiba dia mendengar suara dengus napas yang berat bergema dari arah belakang.
Tergopoh-gopoh dia lari maju berapa langkah hingga tiba disudut dinding, kemudian dengan cepat membalikkan tubuh, berdiri dengan menempelkan punggungnya diatas dinding yang dingin dan mendongakkan kepalanya.
Seorang pemuda berpakaian kusut berdiri dengan menempel dipintu, tangannya menggeng¬gam sebilah pisau belati, mukanya penuh dicekam perasaan gugup, panik dan takut.
Begitu sepasang mata mereka saling bertemu, kedua orang itu sama-sama terperanjat sambil menjerit tertahan:
"Aaah, rupanya kau!"
Un Tay-tay kenal dengan pemuda berpakaian lusuh itu, begitu pula dengan pemuda itu.
Ternyata lelaki dengan pakaian yang amat kusut ini tidak lain adalah Sim Si-pek!
Walaupun dia ditendang Hay Tay-sau hingga tercebur ke sungai, ternyata nyawanya tidak sampai tamat, setelah bersusah payah mencapai daratan, diapun mulai melarikan diri terbirit-birit.
Dalam keadaan yang mengenaskan, mula-mula dia ingin mencari dulu rumah penduduk, mencari pakaian kering dan makanan.
Apa mau dikata ternyata dia tiba di perkampungan pandai besi itu, maka dicarilah rumah penduduk yang terbesar, pemuda itu berniat merampas pakaian, uang dan hidangan yang tersedia disana.
Siapa tahu begitu melongok lewat jendela, dia saksikan Hay Tay-sau sedang duduk sambil meneguk arak, kejadian ini membuatnya terkesiap dan ketakutan setengah mati.
Dalam keadaan begini dia tidak berani bergerak lagi, dengan tubuh gemetar cepat dia menyelinap ke balik kegelapan dan menyem-bunyikan diri.
Kemudian datang Un Tay-tay sekalian dan terjadilah keributan, semua peristiwa itu dapat dia ikuti dari balik kegelapan dengan jelas, perasaan hatinya sempat terkesiap ketika mendengar Un Tay-tay datang bersama adik seperguruan Thiat Tiong-tong, masih untung malam itu hujan angin sedang berlangsung hingga kehadirannya disana sama sekali tidak diketahui siapa pun.
Menanti semua orang mengejar Ai Thian-hok dan Im Ceng yang hendak bertarung, dia baru secara diam-diam melompat keluar dari tempat persembunyian, merampas kereta kuda dan melarikan diri.
Tapi rasa lapar, kaget, kedinginan dan letih yang menyiksa dirinya membuat dia tidak mampu mcnguasahi diri lagi, setelah menempuh perjalanan berapa saat diapun jatuh tidak sadarkan diri dalam ruang kereta.
Kedua ekor kuda penghela kereta itu memang kuda-kuda jempolan, biarpun tidak dikendalikan orang, mereka dapat berjalan balik ke tempat semula secara otomatis, maka Sim Si-pek pun dibawa menuju ke tempat tinggal Un Tay-tay.
Ketika tersadar kembali dari pingsannya, Sim Si-pek menjumpai kereta itu sudah diparkir didepan pintu rumah, karena tidak ada tujuan lain maka dia pun menerobos masuk ke dalam gedung itu, disitu dia menjumpai ada dua orang dayang tersebut.
Tentu saja dayang-dayang itu menjerit kaget, maka tanpa banyak bicara dia membunuh mereka berdua, mimpi pun dia tidak menyangka secara tiba-tiba Un Tay-tay bakal muncul pula disitu.
Un Tay-tay sendiripun tidak menyangka murid Hek Seng-thian bisa muncul di tempat persem¬bunyiannya, begitu berhasil mengen-dalikan rasa kiigetnya diapun menegur:
"Kenapa kau datang kemari? Bahkan membunuh ke dua orang dayangku?"
Sim Si-pek memandang perempuan itu sekejap, buru-buru dia menjura dan menyahut dengan senyuman dibuat-buat:
"Mana berani keponakan membunuh dayang duri bibi, sewaktu tiba disini aku jumpai mereka sudah mati"
Un Tay-tay tahu kalau dia sedang bohong, tapi tidak berusaha untuk mengungkapnya, setelah mengiakan diapun membaringkan Im Ceng keatas bangku.
Kemudian dengan senyum dikulum perlahan dia menghampiri Sim Si-pek, katanya sambil tertawa:
"Kenapa pakaianmu begitu kusut dan menge¬naskan, bagaimana kalau bibi mencarikan pakaian kering untukmu?"
Sim Si-pek berpikir sejenak kemudian tertawa dingin, pikirnya:
"Tampaknya dia sembunyikan golok dibalik senyuman, berarti sekarang juga dia ingin membunuhku"
Perlu diketahui, tindakan Suto Siau yang menyimpan bini muda ditempat lain meski berhasil mengelabuhi istrinya, bukan berarti bisa mengelabuhi rekan-rekannya, malah dia sering mengundang Hek Seng-thian sekalian minum arak ditempat tinggal Un Tay-tay, tentu saja dalam setiap kunjungan Sim Si-pek selalu turut serta bersama gurunya, oleh sebab itu boleh dibilang dia sangat mengetahui watak istri muda Suto Siau ini.
Maka tidak menanti Un Tay-tay datang mendekat, dia sudah berkelit berapa langkah ke belakang, katanya lagi sambil tertawa:
"Tecu mendapat perintah guru untuk menyampaikan salam kepada bibi, mana berani merepotkanmu dengan pekerjaan sepele...."
Dalam hati kecilnya Un Tay-tay merasa terkesiap, tapi perasaan itu tidak ditampilkan diwajahnya, malah sambil tertawa merdu kata-nya:
"Suhumu menyuruh kau datang menjenguk? Kenapa dia tidak datang sendiri? Apa takut Suto Siau cemburu?"
Sekalipun dia pintar dan pandai menyesuaikan diri, namun mimpi pun tidak menyangka kalau waktu itu Sim Sin-pek telah menghianati Hek Seng-Ihian, karenanya meski senyuman masih tersungging diujung bibir, jantungnya justru berdebar keras.
Sambil berusaha membaca situasi, kembali Sim Sin-pek menyahut seraya bertanya:
"Guru minta keponakan datang lebih awal, maksudnya untuk meninjau dulu apakah ada tempat disini, sebentar dia orang tua akan menyusul kemari"
Tampaknya dia bermaksud menggunakan kata ancaman itu untuk mengendalikan Un Tay-tay, agar tidak berani melancarkan serangan kepadanya.
Un Tay-tay mengerlingkan matanya berulang kali, katanya sambil tertawa manja:
"Aaah, siapa bilang tidak ada tempat? Aduh, tentu saja disini amat leluasa untuk menampung kalian semua, cepatlah pulang dan suruh dia kemari!"
Dalam hati Sim Sin-pek tertawa dingin, pikirnya:
"Asal kaki depanku pergi dari sini, mungkin kaupun akan mengikuti jejakku kabur dari tempat Ini. Hmmm! Biarpun kau terhitung pintar, tapi jangan disangka aku Sim Sin-pek pun orang bodoh, mana mungkin akan kulepaskan kesempatan baik ini dengan begitu saja!"
Maka sambil tertawa katanya:
"Tapi aku lihat tempat tinggal bibi kurang leluasa, masa siautit berani melaporkan kepada suhu?"
"Waaah, dimana letak ketidak leluasaan itu?" Sambil melirik Im Ceng yang tidak sadarkan diri di bangku sekejap, kata Sim Sin-pek:
"Siautit kenal juga dengan murid dari Perguruan Tay ki bun ini, setelah disini melihat kehadirannya, masa siautit berani membohongi guru?"
"Aduh mak, kau maksudkan dia?" Un Tay-tay tertawa cekikikan, "cepat pulang dan beritahu kepada Hek Seng-thian, katakan kalau aku sudah bosan dengan dia dan kini bermaksud menyerah¬kan kembali kepadanya"
"Sungguh?"
"Setiap kali bertemu, sepasang mata suhumu tiada hentinya memperhatikan gerak-gerikku, memangnya aku tidak tahu apa maksud dia mengirim kau kemari? Paling-paling juga lantaran ingin...... ingin berbuat begituan denganku!"
Sim Sin-pek mmutar biji matanya berulang kali, lalu katanya sambil tertawa:
"Siapa sih yang tidak tertarik dengan perempuan cantik macam bibi? Siapa pun tentu ingin berbuat begituan setelah berjumpa dengan-mu"
"Bagaimana dengan kau? ingin begituan tidak?" Tanya Un Tay-tay sambil membusungkan dadanya dan tertawa genit.
Saat itu seluruh pakaian yang dikenakan basah kuyup oleh air hujan hingga nyaris menempel lekat ditubuhnya, dibawah cahaya lentera, tampak jelas setiap lekukan tubuhnya yang montok dan menggiurkan itu.
Sim Sin-pek tidak kuasa menahan dirinya, ditatapnya setiap lekukan tubuh perempuan itu dengan mata melotot, kemudian sembari diam diam menelan air liur katanya jengah:
"Siautit pun termasuk orang lelaki, siapa bilang tidak ingin? Aku ingin sekali.....cuma tidak berani!"
Kembali Un Tay-tay mengerling genit, sesudah memperhatikan Sim Sin-pek berapa saat, tangan¬nya mulai meraba ke pakaiannya dan perlahan-lahan melepaskan kancing bajunya, satu......dua.......
Gerak geriknya dilakukan begitu halus, begitu lembut dan begitu naluri, membuat mata orang urakan tidak melihat gerak tangannya yang sedang melepas kancing, membuat perhatian orang seratus persen tertuju pada pakaiannya yang mulai melorot ke bawah kaki.........
Tiba-tiba dia membuka lebar seluruh pakaiannya, tubuh bugilnya yang putih, lembut dan montok seketika tampil dihadapan Sim Sin-pek.
"Apakah sekarang kau masih tidak berani?" tanyanya lembut.
Sim Sin-pek berdiri terkesima, berdiri terbelalak dengan mulut melongo, dia hanya merasa biji tenggorokannya naik turun......
"Kemarilah, apa lagi yang kau tunggu?" bisik Un Tay tay sambil mengerling nakal.
Perlahan-lahan Sim Sin-pek melangkah maju ke depan, seakan sama sekali tidak mampu membangkang, dia maju mendekat dengan wajah iri kesima.
Senyuman Un Tay-tay semakin menggiurkan, lapi didalam hati dia mulai mengghitung langkah kakinya:
"Selangkah, dua langkah......asal kau maju tiga langkah lagi, maju dua langkah lagi........"
Sementara itu Sim Sin-pek yang melangkah maju dengan wajah terkesima pun secara diam-diam menghitung pula langkah kaki sendiri:
"Selangkah, dua langkah....... aku cukup maju selangkah lagi...... hahahaha... Un Tay-tay, permainan busukmu mungkin bisa membohongi orang lain, namun jangan harap bisa menipuku, selama ini kau tidak berani turun tangan sebaliknya malah memikatku dengan cara begini, jelas hal ini dikarenakan kau sudah kehabisan tenaga bukan? Kau ingin aku masuk perangkap? Huuuh, baiklah, aku akan gunakan siasat untuk kontra siasat busukmu itu......."
Sekali lagi dia awasi tubuh bugil yang indah lagi montok itu, kemudian bukannya maju dia malah mundur satu langkah.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now