36. Badai di Padang Rumput

1.2K 21 0
                                    

Pintu gua menuju ke markas besar perguruan Tay ki bun sebenarnya terletak sangat rahasia dan tertutup rapat, tapi suara pekikan nyaring yang berkumandang saat itu justru bersumber dari luar gua, begitu nyaring suaranya membuat semua orang merasa bergetar, membuat gendang telinga semua orang terasa sakit.
"Sungguh amat sempurna tenaga dalam yang dimiliki orang ini!" batin Un Tay-tay dengan perasaan terkesiap.
Baru saja ingatan itu melintas, pikiran lain kembali menyelimuti perasaannya, dia teringat kembali suara pekikan panjang Lui-pian Lojin sewaktu menggetarkan pintu gerbang kuil Siau-lim-si tempo hari, pikirnya, "Jangan-jangan yang datang adalah Lui-pian Lojin? Tapi kenapa pula dia berpekik nyaring seorang diri di luar sana?"
Apa yang sebenarnya terjadi? Un Tay-tay tidak perlu berpikir lebih jauh karena segera diperoleh jawabannya.
Selesai berpekik nyaring, Lui-pian Lojin berseru:
"Hei, manusia yang bersembunyi dalam gua, cepat menggelinding keluar!"
Semua orang terperanjat, tiba-tiba Im Gi melompat bangun, dengan satu gerakan cepat dia tampar wajah Thiat Cing-su dengan keras.
Dengan perasaan kaget bercampur ketakutan, teriak Thiat Cing-su gemetar:
"Kau... kau orang tua
"Kalau bukan gara-gara kau membocorkan jejak kita, mana mungkin dia bisa menemukan kita di sini?" teriak Im Gi gusar.
Pucat keabu-abuan wajah Thiat Cing-su saking takutnya, bibirnya gemetar keras seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
"Samte, segera laksanakan hukum perguru¬an..." tukas Im Gi lagi.
Baru saja dia menyebut soal hukuman, suara pekikan yang bergema di luar gua kembali sudah berkumandang.
"Kenapa kalian belum juga menggelinding keluar?" teriak Lui-pian Lojin dari luar gua, "hemmm... hemmm .... Lohu sudah menduga di balik padang rumput pasti bersembunyi sesuatu, percuma saja kalian bersembunyi terus...."
Begitu mendengar perkataan itu, Im Kiu-siau segera menghembuskan napas lega, ujarnya sambil menghela napas:
"Ternyata dia belum berhasil menemukan jejak kita, saat ini dia baru menaruh curiga saja, pekikan nyaring yang dia lakukan tak lebih hanya gertak sambal belaka, untuk menakut-nakuti kita."
Diam-diam Thiat Cing-su ikut menghem¬buskan napas lega, dia berdiri sambil menunduk¬kan kepala.
Im Gi berdiri mematung dengan sepasang kepalannya menggenggam kencang, wajahnya nampak tersiksa dan penuh penderitaan.
Melihat mimik muka orang tua itu, Un Tay-tay ikut menghela napas, pikirnya, "Kelihatannya orang tua ini mulai menyesal karena salah menghajar Thiat Cing-su, tapi dengan tabiatnya yang keras.... Aaaai, dia lebih suka batinnya tersiksa ketimbang menghibur orang lain, orang macam begini tak nanti mau mengakui kesalahan sendiri"
Ternyata dugaannya keliru, tiba-tiba Im Gi dengan tangan gemetar keras mulai membelai kepala Thiat Cing-su.
Pemuda ini lahir dalam perguruan Tay ki bun, tumbuh dewasa di Tay ki bun, selama dua puluh tahun belum pernah ia lihat Ciang bunjin melakukan tindakan seperti ini, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dibuatnya.
Dia sangka Ciang bunjin ingin menghukum dirinya lagi, tubuhnya gemetar keras saking takutnya, meski begitu dia tetap berdiri di tempat sambil mengertak gigi, sama sekali tidak berani menghindar.
Im Gi semakin tersiksa batinnya setelah melihat kejadian ini, sambil menghela napas panjang, katanya:
"Kau tak usah takut, nak, aku... aku hanya....Aaaai!"
Setelah menghentakkan kaki berulang kali, lanjutnya:
"Aku telah salah bersikap terhadap saudara tuamu, kini sudah seharusnya aku bersikap lebih baik terhadapmu, tapi... aaai! Watak kerasku tidak pernah bisa berubah."
Perkataan semacam inipun belum pernah didengar Thiat Cing-su sebelumnya, dia nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri, wajah-nya segera menampilkan perasaan terkejut bercampur gembira.
Sepasang mata Im Gi pun menampilkan cahaya berkilat, dadanya nampak naik turun tidak beraturan, lewat beberapa saat kemudian akhirnya dia berkata kembali:
"Nak, aku telah salah menuduhmu... kau jangan membenciku."
Thiat Cing-su segera menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah, katanya dengan suara parau:
"Sudah sepantasnya bila kau orang tua melakukan suatu tindakan terhadap anak-anak, kau tidak usah berkata begitu... setelah ananda mendengar perkataan kau orang tua hari ini, sekalipun harus segera mati pun aku... aku tetap merasa gembira...."
Pemuda keras kepala yang sebenarnya mempunyai watak keras bagaikan seekor kerbau ini kontan mengucurkan air mata sehabis mendengar perkataan itu.
Im Gi berdiri mematung bagaikan sebuah arca, diam-diam dia melelehkan juga air matanya, air mata sedih.
Sementara Im Kiu-siau diam-diam manggut manggut, dia ikut terharu menyaksikan adegan itu, sedang Im Ting-ting mengawasi wajah ayahnya dengan penuh rasa hormat, sikapnya begitu santun seakan sedang memandang malaikat dari langit.
Un Tay-tay sendiri pun ikut terhanyut oleh suasana itu, untuk sesaat dia tak tahu haruskah merasa sedih, girang, manis atau getir?
"Berubah, berubah ...." gumamnya dalam hati, "akhirnya orang tua ini berubah juga, tapi apa alasannya hingga orang tua yang keras kepala ini tiba-tiba berubah?"
Terdengar Im Gi berkata dengan suara perlahan:
"Kini anggota Thiat hiat tay ki bun tinggal kita berempat, mulai sekarang sampai hari kematianku, aku pasti akan bersikap baik kepada kalian, karena...."
Mendadak dia melengos ke arah lain sambil memejamkan mata, setelah mengatur napas beberapa saat, akhirnya dia berhasil juga menahan air matanya yang nyaris meleleh keluar. Katanya dengan sedih:
"Karena mulai sekarang, keadaan kita akan semakin sulit, kehidupan kita pun akan lebih sengsara ketimbang dulu, penderitaan yang harus kalian terima sudah lebih dari cukup...."
"Toako, lebih baik pergilah beristirahat dulu!" bujuk Im Kiu-siau sambil menghela napas. Im Gi tertawa getir.
"Bagaimanapun juga, aku harus menyampaikan dulu perkataan ini," katanya.
"Tapi... tapi... biar tidak Toako katakan pun, kami semua sudah tahu."
"Kau tahu... aaai! Tahukah kau, dalam menghadapi pertarungan yang sudah di depan mata, berapa besar kemungkinan kita untuk meraih kemenangan? Nyaris boleh dikata tanpa harapan
Tiba-tiba nada suaranya berubah penuh emosi, lanjutnya:
"Tapi mustahil bagi kita untuk menghindari pertarungan itu, biar tahu bukan tandingannya pun kita tetap akan bertarung sampai titik darah penghabisan. Inilah kewajiban yang harus kita berempat laksanakan sebagai anggota Thiat hiat-Tay ki bun yang penuh semangat...."
"Bukan berempat, tapi berlima!" mendadak Un Tay-tay menyela.
Perkataan itu kontan membuat paras muka hn Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting maupun Thiat Cing-su berubah hebat.
"Siapa bilang kau anggota perguruan Tay ki bun?" hardik Im Gi.
"Aku adalah bini Im Ceng, tentu saja termasuk anggota perguruan Tay ki bun, semasa hidupnya dulu Im Ceng belum mengucurkan darahnya demi perguruan Tay ki bun, apa salahnya sekarang aku mewakilinya berjuang."
"Kau sungguh akan melakukannya?" Im Gi menatap tajam wajahnya sampai lama sekali sebelum bertanya.
Un Tay-tay tertawa sendu, sahutnya:
"Kalau bukan lantaran ingin berbuat begitu, mungkin sejak dulu aku sudah menyusul Im Ceng ke alam baka!"
Baru saja ia bicara sampai di situ, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sudah mengucurkan air mata.
Im Gi sendiri pun seketika terpengaruh oleh gejolak emosinya, serunya:
"Kau pasti sudah mengetahui apa yang barusan kukatakan, perguruan Thi (Thiat) hiat tay ki bun bakal memasuki masa yang paling sengsara dan tersiksa, apakah kau sanggup menerima pen-deritaan semacam itu?"
"Kalau kuatir sengsara, aku sudah bunuh diri sejak dulu."
Tiba-tiba Im Gi melototkan sepasang matanya, bentaknya:
"Kau benar-benar rela mengorbankan nyawa demi perguruan Tay ki bun?"
"Un Tay-tay hidup sebagai anggota perguruan Tay ki bun, mati pun ingin jadi setan perguruan Tay ki bun."
"Apakah kau tahu apa arti Thiat-hiat (darah baja) dari perguruan kami?"
Mula-mula Un Tay-tay tertegun, tapi dengan cepat dia menyadari apa artinya, tanpa banyak bicara dia sambar golok milik Im Ting-ting yang terjatuh di tanah dan langsung dibabatkan ke atas bahu sendiri.
Dimana mata golok menyambar, percikan darah segera menyembur kemana-mana.
Tanpa berubah wajahnya, bahkan berkerut kening pun tidak, Un Tay-tay menyahut lantang:
"Inilah arti Thiat-hiat!"
Baru selesai dia bicara, Im Ting-ting sudah memburu maju dan menegur dengan suara gemetar:
"Enso... kau... kau sangat menderita."
Kembali Un Tay-tay tertawa getir.
"Setelah mendengar sebutan Enso darimu, biar lebih sengsara pun apa artinya?"
Dengan pandangan mata yang lembut, ditatapnya luka di atas dada Im Ting-ting, sebalik¬nya Im Ting-ting memperhatikan pula luka di bahunya.
Luka yang diderita kedua orang ini tidak terlampau parah, tapi babatan yang telah mereka lakukan bukan saja memperlihatkan keberanian serta tekad mereka yang melebihi orang lain, bahkan disertai pula kobaran emosi yang membara.
Mendadak Im Gi mendongakkan kepala dan tertawa keras, gumamnya:
"Perempuan hebat! Perempuan bagus! Hanya perempuan dengan semangat semacam ini yang pantas menjadi anggota Thiat hiat tay ki bun kami. Biarpun nasib perguruan sedang mengenaskan, tidak disangka justru dapat bertemu perempuan bersemangat macam kalian."
"Di masa lampau, ananda pun sudah banyak melakukan kesalahan," bisik Un Tay-tay lirih.
"Manusia bukan nabi, siapa sih yang tidak pernah melakukan kesalahan? Kesalahan di masa lampau tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting mulai sekarang tidak melakukan tindakan yang melanggar peraturan perguruan."
Pada saat itulah suara pekikan panjang kembali bergema memekakkan telinga, bahkan berasal dari suatu tempat yang dekat sekali dari tempat mereka.
Terdengar Lui-pian Lojin berteriak:
"Jadi kalian benar-benar tidak mau keluar? Baiklah, Lohu sendiri pun tidak berminat tetap tinggal di padang rumput ini, akan Lohu hitung sampai empat, jika kalian belum mau keluar juga, Lohu segera akan membakar habis padang rumput ini... akan kulihat tokoh macam apakah kalian?"
Setelah berhenti sejenak, dengan suara menggelegar bagai guntur dia mulai menghitung:
"Satu...."
Apabila padang rumput itu sampai dibakar, maka dapat dipastikan kebakaran hebat akan melanda tempat itu, sekali kebakaran terjadi, siapa pun tidak akan mampu menyelamatkannya, terlebih tidak seorang pun mampu bersembunyi lagi di balik rerumputan.
Berubah hebat paras muka Im Kiu-siau, katanya:
"Celaka, didengar dari suara menggelegar yang memekakkan telinga, jelas orang ini memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, biasanya orang semacam ini akan melaksanakan ancaman-nya bila tidak dituruti."
"Jadi kalian belum tahu siapakah orang itu?" tanya Un Tay-tay.
"Sudah cukup lama kami bersembunyi di balik padang rumput, baru semalam kami mendapat tahu Suto Siau sekalian telah tiba di sini, tapi kami tidak mengira mereka memiliki jago silat setangguh ini, kami pun tidak tahu siapa gerangan orang itu?"
"Dia tidak lain adalah Lui-pian Lojin!" bisik Un Tay-tay sambil menarik napas panjang.
Begitu mendengar nama itu, sekujur tubuh Im Gi sekalian gemetar keras.
Dengan wajah berubah, kata Im Kiu-siau:
"Rupanya tokoh silat yang di masa lalu hanya mendengar namanya dari cerita dongeng, kini sudah bermunculan di depan mata, bahkan sejalan dengan Suto Siau sekalian?"
"Aaaai... panjang untuk diceritakan sebab musabab di balik semua itu, tapi ananda yakin kawanan jago tangguh itu sedikit banyak pasti tersangkut urusan dendam dengan perguruan Tay ki bun kita."
Baru bicara sampai disitu, kembali suara hitungan menggelegar:
"Dua...."
Sambil menundukkan kepala, Im Kiu-siau menghela napas.
"Apabila Lui-pian Lojin sejalan dengan Suto Siau sekalian, berarti harapan menang bagi kita semakin tipis, kini apa yang harus kita lakukan? Toako, silakan menurunkan perintah."
Im Gi ragu-ragu sejenak, kemudian serunya:
"Terjang...keluar!"
Biar hanya kata yang singkat, namun terkandung perasaan gusar, sedih dan putus asa yang kental.
Sambil mengertak gigi, ujar Im Kiu-siau pula:
"Daripada kita semua dipaksa keluar oleh kobaran api, lebih baik sekarang juga kita menyerbu keluar, toh sama-sama bakal mati, kenapa tidak mati dalam kondisi yang lebih gagah."
Sambil tertawa Im Gi menggeleng, tukasnya:
"Bagus! Kau memang tidak malu menjadi Samteku."
Un Tay-tay tidak menyangka Im Kiu-siau yang begitu lembut penampilannya ternyata memiliki semangat begitu gagah, diam-diam dia merasa kagum.
Dalam pada itu Im Kiu-siau telah melirik sekejap ke arah perempuan itu, kemudian katanya sambil menghela napas:
"Hanya saja... nona... nona Un, kau baru bergabung dengan perguruan kami, tapi kini harus berhadapan dengan situasi yang sangat tidak mengenakkan, kau... apakah kau tidak sangat menderita?"
"Kenapa mesti dirisaukan? Belum tentu kita bakal mati dalam pertarungan hari ini."
"Kalau bukan mati dalam pertarungan, memangnya kita mesti menyerah?" sela Im Gi gusar.
Buru-buru Un Tay-tay berseru:
"Ananda bukan bermaksud begitu, walaupun saat ini Lui-pian Lojin berada satu rombongan dengan Suto Siau sekalian, namun ananda punya akal untuk memecah belah mereka menjadi beberapa kelompok."
Kejut bercampur girang hati Im Gi sehabis mendengar perkataan itu, katanya:
"Asal Lui-pian Lojin bersedia tidak mencampuri urusan ini, kekuatan kita masih lebih dari cukup untuk bertarung melawan Suto Siau sekalian... tapi bagaimana caramu?"
Belum sempat Un Tay-tay menjawab, suara hitungan di luar telah bergema lagi:
"Tiga...."
Dengan perasaan terkejut Im Gi segera berseru:
"Waktu sudah tidak banyak lagi, cepat katakan caramu itu!"
"Di balik akal yang hendak ananda laksana¬kan, masih terkandung hubungan yang sangat pelik, persoalan ini tak mungkin bisa dijelaskan dalam sepatah dua patah kata, tapi ananda yakin akal ini tak bakalan meleset."
"Lantas apa yang harus kami lakukan?" tanya Im Gi dengan kening berkerut.
"Ananda tidak berani bicara."
"Urusan telah berkembang jadi begini, kenapa kau tidak berani menjelaskan?" seru Im Gi gusar.
Un Tay-tay menundukkan kepala semakin rendah, katanya:
"Ananda hanya berharap kau orang tua diam, apapun yang akan kukatakan, apapun yang hendak kulakukan, harap kau orang tua tidak melakukan tindakan apapun."
Belum selesai dia memberi penjelasan, Im Gi lelah menunjukkan kemurkaan yang luar biasa, bentaknya:
"Jadi kau suruh kami menjadi bonekamu?"
Buru-buru Im Kiu-siau menimbrung:
"Biarpun kita baru saja bertemu dengan bocah ini, tapi dapat kulihat kecerdasannya tidak berada di bawah Tiong-tong, aku percaya dia pasti punya alasan yang kuat sebelum mengucapkan perkataan itu."
"Tapi... bagaimana mungkin perguruan Tay ki bun kita...."
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Asal Tay ki bun masih punya kesempatan untuk menuntut balas, biarpun hari ini kita harus tersiksa dan menerima penghinaan pun, semuanya berharga untuk dilakukan, apalagi bocah ini sudah menjadi anggota perguruan kita."
Im Gi terbungkam beberapa saat, akhirnya sambil menghentakkan kaki, dia berseru:
"Kalau begitu, baiklah!"
Dalam pada itu suara hitungan telah bergema lagi dari luar gua:
"Empat...."
Tidak membuang waktu, Un Tay-tay segera melejit dan meluncur keluar dari gua dengan kecepatan luar biasa.
Dia kurang menguasai situasi jalan dalam lorong gua itu, sepanjang perjalanan entah sudah beberapa kali tubuhnya dibuat lecet oleh gesekan batu cadas, namun perempuan itu sama sekali tidak merasa sakit, dengan cepat dia berlari keluar dari mulut gua sambil berteriak keras:
"Kami sudah keluar!"
Di antara rerumputan yang bergelombang karena hembusan angin, suasana terasa hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun di sana.
"Bagus!" mendadak terdengar gelak tertawa Lui-pian Lojin bergema kembali, "akhirnya muncul juga... hehehe... kalian selalu berkeras mengata¬kan padang rumput ini tidak ada penghuninya, masih untung Lohu orang yang banyak curiga, coba lihat, buktinya ada orangnya bukan?"
Di tengah gelak tertawanya, terlihat sesosok bayangan manusia melayang keluar dari balik rerumputan.
Rumput yang tumbuh di sana tingginya melampaui manusia, apalagi tangkainya kecil dan sangat lentur, bukan sembarang manusia dapat meluncur melalui atas rerumputan itu dengan mudah, dari sini bisa diketahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu benar-benar luar biasa.
Tampak bayangan manusia itu bergerak di atas rerumputan bagaikan sedang berjalan di tanah datar, tanpa dipandang raut mukanya lagi juga Un Tay-tay segera tahu orang yang muncul adalah Lui-pian Lojin.
Lui-pian Lojin pun nampak sangat terperanjat setelah mengetahui yang muncul adalah Un Tay-tay, begitu tubuhnya meluncur turun ke atas tanah, teriaknya keras:
"Aaaah, ternyata kau!"
"Kau masih mengenali aku?" tegur Un Tay-tay sambil tertawa.
Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kau adalah bakal menantu yang kupilih sendiri, tentu saja aku masih mengenali-mu, tapi... bukankah kau berada di pulau Siang cun-to? kenapa bisa muncul di sini?"
"Terus terang aku tidak kerasan tinggal di pulau Siang cun-to, di situ hidup menyendiri dan selalu kesepian, aku benar-benar tidak betah, karena itu aku... aku pun diam-diam minggat."
"Bagus! Bagus sekali! Memang tepat kau minggat dari situ!" Lui-pian Lojin kembali tertawa tergelak.
Pada saat itulah dari balik rerumputan kembali terdengar suara manusia.
Un Tay-tay segera memutar biji matanya, ujarnya cepat:
"Saat ini aku mempunyai banyak masalah yang ingin kubicarakan dengan kau orang tua, tapi... tapi aku tidak ingin didengar orang lain, menurut kau bagaimana baiknya?"
Tidak sampai perempuan itu menyelesaikan perkataannya, Lui-pian Lojin telah membentak nyaring:
"Balik, balik semua!"
Dari balik rerumputan segera terdengar suara orang menyahut, tidak lama kemudian suara berisik itu sudah semakin menjauh.
Sepeninggal suara itu, kembali dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Un Tay-tay, sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya, ujarnya:
"Biarpun kau telah berbuat tidak pantas terhadapku, namun aku masih tetap menyukaimu, sebab setelah kuperhatikan lebih seksama, kecuali kau, rasanya di kolong langit saat ini belum ada orang kedua yang lebih pantas menjadi menantu-ku, hanya saja... apakah sekarang kau sudah berubah pikiran?"
Un Tay-tay mengerling genit.
"Tentu saja aku sangat gembira bisa menjadi menantumu," katanya, "tapi sebelum itu aku ingin tahu dulu, apakah kau orang tua pun bersedia melenyapkan musuh besarku dan melindungi sahabat-sahabatku?"
"Tentu saja aku bersedia," sahut Lui-pian Lojin kegirangan, "bila kau menjadi menantuku, berarti musuhmu adalah musuh Lohu juga, sahabatmu pun akan menjadi sahabatku."
Baru selesai ia bicara, tiba-tiba dilihatnya Im Gi dan rombongan berjalan keluar dari balik gua dengan langkah lebar, paras mukanya seketika berubah, dengan sorot mata setajam sembilu, tegurnya:
"Siapakah orang-orang itu?"
"Mereka adalah sahabatku," sahut Un Tay-tay sambil tersenyum.
"Oooh," Lui-pian Lojin tertawa tertahan, "budak kecil, rupanya kau sudah sedia payung sebelum hujan, kalau memang mereka adalah sahabatmu, tentu saja Lohu pun tidak akan menyusahkan mereka... tapi paling tidak suruhlah mereka datang mendekat dan memberi hormat kepadaku."
Sembari berkata dia mengawasi tajam wajah Im Gi.
Sementara itu Im Gi dengan sorot mata yang tajam sedang mengawasi pula dirinya... biarpun sinar mata itu sangat tajam, namun hawa membunuh pada diri Im Gi justru jauh lebih mengerikan.
Dua orang kakek yang sama-sama garang dan penuh wibawa saling berhadapan dengan sinar mata tajam, walaupun yang seorang berpakaian perlente sementara yang lain berbaju rombeng, namun kewibawaan serta keangkeran yang terpancar tidak jauh berbeda.
Oleh karena kedua orang ini sama-sama berstatus seorang ketua perguruan, tidak heran penampilan mereka sama-sama keras dan kaku, begitu sinar mata mereka saling beradu, terjadilah gesekan hebat seolah-olah menimbulkan percikan bunga api.
Dengan satu gerakan cepat Lui-pian Lojin langsung meluruk maju ke hadapan Im Gi.
Sedemikian cepat gerakan tubuhnya, mem¬buat siapa pun yang melihat merasa terperanjat, namun paras muka Im Gi yang kaku bagaikan sebuah baja itu sama sekali tidak berubah, bahkan sepasang matanya pun sama sekali tidak berkedip.
Begitu tiba di hadapan Im Gi, dengan suara garang Lui-pian Lojin segera menghardik:
"He, aku suruh kau memberi hormat kepadaku, dengar tidak?"
Dada Im Gi kelihatan naik turun menahan emosi, dia tetap membungkam.
"He, jangan-jangan si tua bangka ini tuli?" kembali Lui-pian Lojin menegur dengan gusar.
Tiba-tiba Im Gi balas membentak:
"Kenapa Lohu mesti memberi hormat kepadamu?"
Bentakan itu sungguh dahsyat, suaranya keras bagaikan guntur yang membelah bumi di siang liari bolong, bukan saja membuat semua orang terkejut, bahkan Lui-pian Lojin pun ikut terperanjat.
Sesaat kemudian, dengan penuh amarah dia membentak:
"Kalau kau enggan memberi hormat, Lohu akan memberi pelajaran kepadamu."
Sepanjang hidup, jarang ada orang berani turun tangan melawannya, ini disebabkan sekalipun orang lain tidak mengetahui identitas-nya, paling tidak mereka dibuat keder oleh penampilannya yang angker.
Apalagi dilihat dari sorot matanya yang tajam bagai sembilu serta nada suaranya yang keras bagai bunyi genta, orang langsung tahu dia memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.
Tapi kini, bukan saja Im Gi tidak dibuat keder, malahan dengan suara lantang segera menyahut:
"Coba saja!"
Begitu selesai bicara, sebuah gempuran sedahsyat sambaran guntur telah dilontarkan, meski jurus serangan yang digunakan tidak terlalu istimewa, namun tenaga pukulannya benar-benar menakutkan.
Dengan perasaan terperanjat Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, bentaknya:
"Tua bangka, berani amat kau turun tangan, sudah tahu siapakah Lohu?"
"Coba kalau bukan Lui-pian, kau tidak pantas bertarung melawanku," Im Gi balas menghardik.
Di satu pihak kedua orang tua itu sudah saling berhadapan sambil saling mengancam, di pihak lain Im Kiu-siau tiada hentinya memberi kode kedipan mata kepada Un Tay-tay dan memintanya untuk mencegah pertarungan antara kedua orang itu.
Siapa tahu Un Tay-tay berlagak seolah tidak melihat, dia hanya menonton sambil tersenyum.
Tidak terlukiskan rasa kaget, gusar dan panik yang dirasakan Im Kiu-siau, namun dia pun tidak berani turun tangan membantu....
Ketika Im Gi sedang bertarung melawan seseorang, sampai mati pun dia enggan menerima bantuan dari orang lain.
Tentu saja Im Kiu-siau tidak tahu Un Tay-tay sesungguhnya sudah mengenal sangat jelas watak Lui-pian Lojin, orang ini lebih suka dihadapi secara kekerasan ketimbang cara halus, orang semacam ini memang perlu ditaklukkan oleh kekerasan watak manusia macam Im Gi.
Perempuan inipun tahu, walaupun kungfu yang dimiliki Im Gi masih bukan tandingan Lui-pian Lojin, namun wataknya yang keras kepala dan berangasan sama sekali tidak di bawah kekerasan watak kakek cambuk geledek ini.
Jiwa keras orang-orang Thiat hiat tay ki bun memang tiada duanya di kolong langit.
Benar saja, begitu Im Gi selesai membentak, Lui-pian Lojin malah mendongakkan kepala dan lertawa terbahak-bahak, tertawa keras yang membuat orang-orang perguruan Tay ki bun lertegun.
Terdengar Lui-pian Lojin berkata:
"Pepatah mengatakan, burung rajawali tidak akan berkelompok dengan burung walet, Kilin tidak akan berkawan dengan rase, ternyata teman-teman Un Tay-tay memang bukan bangsa kurcaci."
Kemudian sambil menepuk bahu Im Gi, katanya pula:
"Mari, mari, mari, kita dua orang tua bangkotan memang pantas saling berkenalan, ayo ikut aku, kita harus meneguk beberapa cawan arak dan minum sampai mabuk."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, mendadak tanyanya:
"Bukankah kau orang tua memiliki sebuah buli-buli?"
"Benar," sahut Lui-pian Lojin setelah tertegun sejenak.
"Apakah buli-bulimu saat ini berisi arak?"
"Kalau tidak berisi arak, buat apa Lohu menggembol buli-buli kosong?"
"Mana buli-bulimu itu?"
"Eeei, budak cilik, pertanyaanmu makin lama terasa makin aneh, mana mungkin Lohu meniru gaya orang sinting yang tiap hari memegang buli-buli arak di tangan, buli-buliku tentu saja kugantung di atas dinding, tapi kenapa kau mesti menanyakan persoalan ini?"
Sekalipun sudah cukup lama berkenalan, namun dia masih belum bisa menebak maksud di balik pertanyaan Un Tay-tay itu.
Un Tay-tay hanya mengedipkan matanya berulang kali dan tersenyum tanpa menjawab.
"Kalau kau ingin mengatakan sesuatu, kenapa tidak kau katakan segera?" tanya Lui-pian Lojin lagi keheranan.
"Aku masih belum bisa menjelaskan sekarang."
"Harus menunggu sampai kapan?"
"Sampai bertemu dengan Seng Toa-nio."
Lui-pian Lojin menggelengkan kepala berulang kali sambil tertawa.
"Dasar budak yang banyak akal," serunya, "terkadang Lohu pun bisa kau tipu habis-habisan, sudah, tidak usah menggubris dia lagi, ayo kita teguk tiga cawan arak."
Sekali lagi dia menepuk bahu Im Gi, lalu membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Memandang bayangan punggungnya, Im Gi pada sangsi sejenak, tapi akhirnya dia mengikut dari belakang dengan langkah lebar.
Kedua orang ini bukan saja memiliki perawakan tubuh yang sama, gaya, watak maupun penampilannya pun tidak banyak berbeda, jadi tidak aneh kalau mereka berdua saling tertarik.
Bedanya, Lui-pian Lojin selalu hidup santai dan mengembara dalam dunia persilatan sebagai orang yang latah, dia tidak pernah memandang sebelah mata pun terhadap umat persilatan di dunia, karena itu sikapnya lebih terbuka dan seenaknya.
Berbeda dengan Im Gi yang mesti memikul dendam kesumat perguruan, bertanggung jawab atas keselamatan serta keutuhan perguruan Tay-ki-hun, dalam keadaan seperti ini, tidak aneh dia selalu tampil serius dan jarang sekali tertawa.
Begitulah, rombongan manusia itu berangkat menerobos masuk ke balik padang rumput, sepanjang jalan hanya rerumputan lebat yang terbentang di depan mata, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan langkahnya sambil memasang telinga mendengar¬kan sesuatu, paras mukanya seketika berubah jadi serius, agaknya dia berhasil mendengar sesuatu suara yang mencurigakan.
Diam-diam Un Tay-tay tertawa geli, pikirnya, Mana mungkin ada seseorang di situ? Jangankan manusia, bayangan setan pun mungkin tidak ada, tidak heran semua orang mengatakan sepanjang hari dia hanya curiga melulu.
Berpikir sampai di situ, tidak tahan serunya:
"Kau...."
Tapi belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, tahu-tahu mulutnya sudah dibekap oleh Lui-pian Lojin.
Terdengar kakek itu berbisik di sisi telinganya:
"Di sana ada manusia yang sangat mencurigakan, entah apa yang sedang mereka bicarakan, ayo kita tengok ke situ."
Dia baru saja berbicara dengan mengguna¬kan ilmu Coan im ji bit (ilmu menyampaikan gelombang suara), sebuah kepandaian tingkat tinggi dalam dunia persilatan, kecuali Un Tay-tay, siapa pun tidak mendengar apa yang sedang dia katakan.
Pada saat bersamaan, kembali dia berbisik pula ke telinga semua orang yang lain:
"Harap kalian menunggu sejenak di sini, jangan bicara, jangan bergerak, Lohu segera akan balik lagi kemari."
Suara itu meski dikirim dengan ilmu menyampaikan gelombang suara, namun setiap patah kata dapat didengar Im Gi sekalian dengan jelas sekali.
Tanpa terasa Im Gi saling bertukar pandang sekejap dengan Im Kiu-siau, dengan perasaan kagum, pikirnya:
"Sebuah kepandaian yang sangat hebat, ternyata nama besarnya bukan nama kosong belaka, tapi sekeliling tempat ini sepi tidak nampak bayangan manusia pun, kenapa secara tiba-tiba dia mengajak pergi Un Tay-tay? Apa yang hendak dia perbuat?"
Sebaliknya Un Tay-tay juga sedang berpikir, "Mana mungkin ada yang sedang berbicara di situ? Mungkin orang tua ini salah dengar, mendingan tidak usah ke sana!"
Tapi lantaran mulutnya dibekap, maka perkataan itu tidak mungkin diucapkan keluar.
Pada saat itulah terasa tubuhnya sudah melayang meninggalkan permukaan tanah, hanya dalam dua tiga kali lompatan saja mereka sudah meninggalkan Im Gi dan rombongan sejauh belasan kaki lebih.
Gerakan tubuh Lui-pian Lojin sama sekali tidak menimbulkan suara, selain ringan juga sangat cepat, baru saja Un Tay-tay mengagumi kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mendadak dari sisi kiri dia mendengar ada suara seperti orang sedang berbicara.
Ternyata Lui-pian Lojin memang tidak salah mendengar, di tempat itu benar-benar ada orang sedang berkasak-kusuk, yang hebat adalah suara pembicaraan itu sangat lirih bagaikan suara bisikan serangga, namun dia yang berada sejauh dua puluhan kaki masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Un Tay-tay semakin kagum, pikirnya, "Siapa lagi yang sedang berbincang? Jangan-jangan Suto piau sekalian pun sedang merundingkan siasat buruk? Wah, kalau dia pun mengundang Hek Seng-thian untuk mencelakai Seng Toa-nio, ini baru hebat namanya!"
Tampak paras muka Lui-pian Lojin berubah jadi serius, agaknya dia sedang menguping pembicaraan yang sedang berlangsung.
Un Tay-tay mencoba ikut mendengarkan, sayang dia hanya mampu menangkap suara pembicaraan yang kabur, sama sekali tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.
Dalam gelisahnya, satu ingatan cerdas melintas dalam benaknya, cepat dia menempelkan telinganya ke atas permukaan tanah, kebetulan kedua orang yang berada di seberang sana pun sedang berbicara sambil menempelkan tubuh ke tanah, dengan begitu dia dapat mengikuti jalannya pembicaraan itu dengan jelas.
Terdengar salah satu di antaranya sedang berkata:
"Setelah berada di tempat yang begini rahasia, sekalipun ada orang lain, rasanya kita pasti akan mengetahui kehadirannya, kenapa Hengtai masih harus berbicara sambil berbaring di tanah? Apakah Hengtai tidak merasa tindakanmu kelewat berlebihan?"
Kalau didengar dari logat bicaranya, orang itu seharusnya seorang anak muda, tapi Un Tay-tay belum pernah mendengar nada suara orang ini sehingga dia tidak dapat menebak siapa gerangan orangitu.
Terdengar seseorang yang lain segera menjawab:
"Saudara Liong, kau tidak tahu, ketajaman pendengaran ayahku luar biasa hebatnya, aku berani bilang kehebatannya tiada duanya di kolong langit, bila kita bersikap sedikit gegabah saja, biarpun dia berada puluhan kaki jauhnya dari posisi kita, suara pembicaraan kita berdua pasti dapat kedengaran olehnya."
Begitu mendengar suara orang ini, Un Tay-tay betul-betul dibuat tertegun, mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang yang sedang berkasak-kusuk saat ini ternyata tidak lain adalah putra Lui-pian Lojin sendiri.
Sebenarnya dia mempunyai rahasia apa? Kenapa harus bicara secara sembunyi-sembunyi di tempat itu? Kenapa dia harus mengelabui ayahnya? Manusia macam apa pula pemuda marga Liong itu?
Sementara itu pemuda she Liong itu sudah bertanya kembali:
"Apakah persoalan yang hendak Hengtai sampaikan kepada Siaute tidak boleh diketahui ayahmu?"
"Betul, ayahku memang tidak boleh tahu."
Diam-diam Un Tay-tay mencoba melirik sekejap, terlihat olehnya Lui-pian Lojin sedang berdiri dengan wajah penuh amarah.
Walaupun timbul rasa ingin tahu di hati kecilnya, tidak urung Un Tay-tay mulai kuatir juga atas keselamatan pemuda itu, bagaimanapun juga pemuda ini pernah membantu dia dan Im Ceng, dia merasa berhutang budi kepadanya.
Terdengar pemuda she Liong itu menghela napas, ujarnya:
"Walaupun Siaute kurang tahu persoalan apa yang membuat Hengtai harus mengelabui ayahmu, tapi asalkan Siaute dapat menyumbang¬kan sedikit tenaga bagi Hengtai, Siaute pasti akan melakukannya."
"Sebetulnya Siaute hanya ingin menanya¬kan satu hal kepada Hengtai."
"Soal apa?" kelihatannya pemuda she Liong itu agak keheranan.
Kembali putra Lui-pian Lojin menghela napas.
"Persoalan ini sudah tersimpan lama dalam hati kecilku, persoalan yang membuat Siaute makan lidak enak tidur pun tidak nyenyak, apa mau dikata justru Siaute tidak sanggup menyelesaikan sendiri persoalan ini."
"Katakan saja Hengtai."
"Belakangan, nama besar tujuh pedang pelangi sudah tersohor di seantero jagad, khususnya nama besar Hek liong lan hong (angin biru naga hitam) yang sudah dikenal sampai kemana-mana, karena itulah Siaute ingin mencari tahu kabar seseorang."
Kini Un Tay-tay baru tahu pemuda she Liong itu ternyata tidak lain adalah salah satu tokoh penting dalam kelompok tujuh pedang pelangi... si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik.
"Kabar siapa yang ingin Hengtai ketahui?"
"Orang itu adalah seorang wanita, sahabat karib Siaute di masa lalu, tapi selama beberapa tahun belakangan Siaute justru kehilangan jejaknya, bahkan sama sekali tidak kuketahui kabar beritanya lagi."
"Kalau toh dia adalah sahabat Hengtai, kenapa Hengtai bisa kehilangan jejaknya?" tanya Liong Kian-sik keheranan.
Untuk kesekian kalinya putra Lui-pian menghela napas panjang.
"Aaaai! Bicara sejujurnya, antara dia dan aku sebenarnya sudah terikat tali perkawinan, apa lacur... aaai! Ibunya tidak pernah akur dengan ayahku, maka...."
"Maka perkawinan kalian pun terhalang?"
"Tepat sekali, dalam sedih dan kecewanya dia pergi meninggalkan aku, aaai! Yang paling kusesali adalah tidak seharusnya dia pergi tanpa pamit, bahkan memberi kabar pun tidak, selama ini dia pun tidak pernah berkirim surat kepadaku, aaai... dengan wataknya yang keras kepala, dapat dipastikan banyak penderitaan dan kesedihan yang harus dia alami dalam dunia persilatan."
Di balik nada suaranya yang rendah dan berat, masih terselip perasaan cinta yang mendalam.
Diam-diam Un Tay-tay berpikir, "Tidak aneh dia enggan mengawini aku, ternyata dia sudah mempunyai kekasih hati, hanya saja... sikap dan tindakan yang diambil perempuan itu memang sedikit kelewatan, selain pergi tanpa pamit, dia pun enggan mengirim kabar, sementara pemuda ini... walaupun hatinya dibuat sedih, kecewa dan gelisah, namun sama sekali tidak menggerutu ataupun menyalahkan perempuan itu, sebaliknya dia justru menaruh rasa kuatir terhadapnya, dari sini bisa disimpulkan bahwa pemuda ini memang seorang lelaki yang romantis... aaaai, lelaki yang begitu teguh memegang rasa cintanya."
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa timbul perasaan kasihan dan simpatik yang sangat mendalam terhadap putra Lui-pian ini, selain itu dia pun dibuat trenyuh, orang lain masih ada yang dirindukan, sementara dia sendiri? Kini dia harus hidup sebatang kara bagaikan sukma gentayangan, jangankan orang yang dicintai, seseorang yang pantas dipikirkan dan dirindukan pun tidak ada.
Tampaknya Liong Kian-sik pun dibuat sangat terharu oleh ucapan itu, setelah termenung beberapa saat, kembali dia bertanya:
"Boleh aku tahu siapa nama nona itu?"
"Dia adalah putri Yan-yu (si Hujan gerimis) Hoa Ji-nio!"
"Aaah, rupanya putri Yan-yu Hoa Ji-nio!"
"Betul, apakah belakangan Hengtai pernah mendengar orang persilatan menyinggung tentang nama orang ini?"
"Tidak, tidak pernah."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Kalau memang dia putri Hoa Ji-nio apalagi kekasih Hengtai, kepandaian silat maupun status sosialnya jelas tidak perlu diragukan lagi, bila nona semacam ini terjun ke dalam dunia persilatan, aku yakin tidak sampai dua bulan nama besarnya akan menggetarkan sungai, telaga, tapi hingga hari ini Siaute belum pernah mendengar orang menyinggung nama ini, jadi aku kira...."
"Dengan tabiatnya yang keras, tidak mungkin dia betah hidup menyendiri di tengah gunung yang terpencil dan jauh dari pergaulan," tukas putra Lui-pian cepat, "Siaute sudah lama bergaul dengannya, berdasarkan hal ini aku yakin dia bakal berganti nama andai terjun ke dalam dunia persilatan, bila dia... dia sudah melangkah keluar rumah, dapat dipastikan dia pun tidak ingin ditemukan kembali oleh ibunya, Hoa Ji-nio."
"Waah, kalau dia sudah berganti nama, hal ini semakin susah lagi," keluh Liong Kian-sik sambil menghela napas.
"Hengtai, coba kau pikir lagi dengan seksama, apakah belakangan dalam dunia persilatan pernah muncul seorang gadis yang gemar mengenakan baju berwarna hijau, berilmu silat tinggi dan berwajah dingin, kaku dan angkuh?"
"Rasanya tidak ada," sahut Liong Kian-sik setelah berpikir sejenak.
Dengan perasaan kecewa putra Lui-pian menghela napas panjang.
"Sepanjang tahun Siaute selalu mengikuti ayahku, meski hatiku gelisah, namun kurang leluasa bagiku untuk pergi sendiri mencari jejaknya, aku berharap bila Hengtai berkelana dalam dunia persilatan, tolong bantu aku memperhatikan soal ini, untuk itu Siaute mengucapkan banyak terima kasih... aaaai! Sekalipun Siaute beruntung menjadi putra Lui-pian, tapi... tapi... justru karena itu aku tidak memiliki seorang sahabat pun
Semacam perasaan kesepian yang mendalam terlintas di balik perkataannya itu.
Tiba-tiba Un Tay-tay teringat akan sesuatu, dia jadi terbayang kembali wajah nona berbaju hijau yang meski berwajah cantik namun dinginnya bagaikan es, nona yang pernah dijumpai di dusun tukang besi.
Dengan perasaan girang segera pikirnya, "Bukankah nona berbaju hijau itu cantik tapi dingin dan angkuh? Bukankah dia gemar mengenakan baju hijau dan berilmu tinggi? Jangan-jangan dia adalah... Hoa Ling-ling, putri Hoa Ji-nio yang sedang dia cari?"
Dalam pada itu Liong Kian-sik telah berkata:
"Pesan dari Hengtai pasti akan Siaute perhatikan."
"Kalau begitu Siaute ucapkan banyak terima kasih, Hengtai, bila....."
"Belum selesaikah pembicaraanmu?" tiba-tbia Lui-pian Lojin menghardik dengan suara berat.
Tidak terlukiskan rasa kaget kedua orang yang berada di balik semak itu, dengan hati tercekat mereka berdua segera melompat bangun.
"Ayah... rupanya... rupanya kau?" seru putra Lui-pian tergagap.
"Apa lagi yang kau tanyakan? Cepat kemari!" hentak Lui-pian Lojin lagi.
Rerumputan disingkap orang, dengan kepala tertunduk Liong Kian-sik dan putra Lui-pian berjalan keluar.
Diam-diam Un Tay-tay merasakan jantung¬nya berdebar keras, dia ikut menguatirkan keselamatan kedua orang itu.
Tampak Lui-pian Lojin menatap tajam wajah putranya, kemudian bertanya perlahan:
"Kau masih memikirkan dia?"
"Benar ayah," jawab pemuda itu tertunduk lesu.
"Dia pergi tanpa pamit, selama ini menulis secarik kertas pun tidak pernah, bahkan Hoa Ji-nio menganggap kau seperti ular berbisa, tapi kenyataannya, kau masih memikirkan dia?"
"Benar ayah," kembali sahut putra Lui-pian sambil menggigit bibir.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Hahaha, bagus, Lui Siau-tiau wahai Lui Siau-tiau, tidak kusangka kau memang benar-benar seorang lelaki romantis sejati, aku sungguh merasa kagum kepadamu."
Un Tay-tay dapat menangkap rasa gusar yang luar biasa di balik gelak tawa seram kakek itu, Lui Siau-tiau, putra Lui-pian itu tertunduk semakin rendah, dia makin tidak berani bicara.
Mendadak Lui-pian Lojin berhenti tertawa, bentaknya:
"Cepat berlutut!"
Lui Siau-tiau tidak berani membantah, cepat dia berlutut. Terpaksa Liong Kian-sik ikut menemaninya.
Sambil menuding ke arah Un Tay-tay, kembali Lui-pian Lojin berseru:
"Sudah kau lihat dia?"
"Sudah, ananda sedang keheranan...."
"Apa yang kau herankan? Ingat, dia adalah binimu, sejak hari ini kau tidak boleh memikirkan dia lagi, kecuali dia ini, siapa pun tidak boleh kau pikirkan lagi!"
Berubah hebat paras muka Lui Siau-tiau, serunya:
"Tapi dia... dia adalah...."
"Apa?" tukas Lui-pian Lojin gusar, "kau tidak usah mencampuri urusan lain, cepat berdiri dan ikut aku, berani membantah sepatah kata saja, akan kupatahkan kakimu!"
Habis berkata dia segera membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Lui Siau-tiau masih berlutut, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi dengan cepat Un Tay-tay menarik bajunya sambil mengerling sekejap memberi tanda, Lui Siau-tiau tertegun, namun akhirnya dia bangkit berdiri.
Sambil memiringkan kepala, Un Tay-tay mengangkat tangannya dan digoyang sekejap, setelah menuding diri sendiri, dia manggut-manggut.
Melihat itu Lui Siau-tiau kegirangan. Un Tay-tay pun sambil tersenyum beranjak pergi dari situ.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now