22. Keunikan di Balik Pukulan

2.1K 32 0
                                    

Li Lok-yang duduk disudut ruangan sambil mengawasi seluruh ruangan, dia saksikan Sui Leng¬kong masih bersandar dipelukan perempuan bercadar itu, bukan saja posisi tubuhnya sama sekali tidak berubah, bahkan sepasang matanya sama sekali tidak berkedip.
Gerakan tubuh Coh Sam-nio masih seperti seutas benang perak yang bergerak cepat kesana kemari, biarpun lelaki raksasa itu tidak sanggup menyusulnya, tapi gerakan tubuhnya sama sekali tidak mengendor kendatipun sudah ratusan kali dia mengitari ruangan itu sambil mengayunkan kapak raksasanya, tubuhnya masih tegar bagaikan baja, seakan-akan dia tidak pernah mengenal arti dari kelelahan.
Pertarungan antara Hong Lo-su melawan manusia aneh itu kembali berlangsung empat, lima puluh gebrakan.
Sambil tertawa aneh Hong Lo-su pun berseru:
"Dua puluh jurus, yaa, dua puluh jurus lagi sudah cukup!"
"Baik, aku akan menghitungnya untukmu" kata Coh Sam-nio sambil tertawa, "satu, dua...... aaah, jurus siang hong jiu (sepasang puncak tangan)mu sangat bagus......empat, ehmm, hampir sudah....."
Biarpun sedang menghitung, perempuan itu sama sekali tidak menghentikan gerakan tubuh¬nya, semakin lambat gerak serangan dari manusia aneh itu, paras mukanya pun ikut makin serius.
"Sebelas......dua belas....... aaah, celaka, dua puluh jurus masih tidak cukup. Hey Hong Lo-su, bagaimana kalau kubantu dengan satu jurus serangan!"
Kebetulan waktu itu tubuhnya sedang bergerak lewat dari sisi manusia aneh itu, tangan kirinya segera dikebaskan, ke lima ujung jari tangannya yang runcing langsung mengancam tubuh lawan.
Tampak ibu jari dan jari telunjuknya ditekuk membentuk satu lingkaran, sementara jari tengah, jari manis dan kelingkingnya setengah dipentang, mengancam tiga buah jalan darah penting dibawah iga musuh.
Pada saat yang bersamaan Hong Lo-su dengan kelima jari tangannya yang mirip cakar burung mencengkeram ke arah dada lawan.
Manusia aneh itu sadar, seandainya dia sampai dicengkeram ke lima jari tangan itu, niscaya dadanya akan berlubang tembus sampai ke tulang, apalagi jika terkena sambaran tiga jari tangan Coh Sam nio, dapat dipastikan dia akan terluka parah.
Disaat yang kritis itulah tiba-tiba terlihat dia menarik tubuhnya ke belakang, tidak jelas bagaimana caranya, tahu-tahu jubah lebarnya itulah dilepas dari tubuh dan dikebaskan ke muka bagaikan selapis awan mendung yang menyelimuti angkasa.
Biarpun pun hanya sebuah baju blacu, namun ditangannya benda itu sudah berubah menjadi sebuah senjata yang dipenuhi tenaga dalam.
Hong Lo-su tidak berani bertindak gegabah, segera membentak:
"Jurus bagus!"
Sambil membalikkan tubuh, dia menyingkir ke samping.
"Ternyata hebat juga!" seru Coh Sam-nio pula sambil tertawa, sambil memutar pinggang kembali pergelangan tangannya digetarkan, jari tengah, jari manis dan kelingkingnya ditarik balik sementara ibu jarinya mendadak berganti arah dan cepat menyentil keluar.
Sekalipun jari tangannya tidak pernah menyentuh tubuh manusia aneh itu, tapi......"Wessss!" ternyata muncul segulung hawa murni dari ujung jarinya langsung mengancam jalan darah thay yang hiat di atas kening lawan.
Manusia aneh itu bergetar keras, bahunya terasa dingin, rupanya angin serangan itu menimbulkan sebuah mulut luka yang memanjang, darah segar bercucuran dari luka itu.
"Haaaah.... Sian thian ceng khie!" pekiknya terperanjat.
"Benar sekali, rupanya kau mengerti juga kwalitas barang!" jengek Coh Sam-nio sambil tertawa, waktu itu tubuh lawannya lagi-lagi sudah ngeloyor pergi.
Mendadak terasa segulung angin kencang bagaikan bukit thay-san menindih kepala langsung menghantam kepala manusia aneh itu, rupanya si lelaki raksasa itu telah menghadang jalan lewatnya sambil menghadiahkan sebuah bacokan.
Merasa betapa dahsyatnya bacokan tersebut, manusia aneh itu tidak berani menyambut keras melawan keras, cepat dia mengegos ke samping.
"Hey, jangan lupa masih ada aku!" mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan berkuman¬dang dari belakang, ternyata Hong Lo-su telah menyusup tiba sambil melepaskan satu pukulan.
Dalam posisi demikian, seandainya dia ingin menghindari serangan tersebut maka tubuhnya akan terjerumus dalam bacokan maut kapak raksasa itu, posisi yang demikian gawat seketika membuat hati semua orang tercekat.
Manusia aneh itu tidak jadi kalut menghadapi kejadian tersebut, tanpa menimbulkan sedikit suara pun dia lepaskan sebuah tendangan ke depan sementara jubah ditangannya langsung menggulung ke atas senjata kapak lawan.
Dengan kelembutan jubah itu dia hadapi sifat keras senjata kapak lawan, ternyata lilitannya berhasil mengunci gerakan senjata itu.
Dengan geram lelaki raksasa itu berusaha membetot balik senjatanya, namun gagal.
Jubah itu sudah terbetot hingga lurus menegang, tiba-tiba tampak sekilas cahaya perak berkelebat lewat, jubah itu seketika terbelah jadi dua, baik lelaki raksasa itu maupun si manusia aneh sama-sama terhuyung mundur satu langkah.
Hong Lo-su yang baru saja lolos dari tendangan maut manusia aneh itu segera melihat datangnya peluang bagus, begitu menjumpai tubuh lawan terhuyung mundur, sambil menyeringai seram dia membentak:
"Inilah jurus ke sembilan belas!" Sepasang kepalannya di ayunkan berbareng kedepan.
Tatkala melihat manusia aneh itu lagi-lagi terancam pukulan maut, diantara kawanan jago yang hadir ada yang bersorak girang, ada yang menjerit kaget, ada pula yang segera pejamkan matanya, tidak tega untuk menyaksikan lebih jauh.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara pekikan keras bergema bagaikan suara guntur:
"Hong Lo-su, kau berani!"
Seorang pemuda berbaju hitam telah munculdari balik tirai hitam, siapa lagi orang ini kalau bukan Thiat Tiong-tong?
Biarpun Hong Lo-su tidak takut langit tidak takut bumi, tidak urung wajahnya berubah juga, kepalan tangannya yang hampir menyentuh tubuh manusia aneh itu segera ditarik balik lagi.
Jeritan kaget kembali bergema diseluruh ruangan, ada yang berteriak girang, ada pula yang mengeluh kecewa, yang sedang berdiri seketika terduduk saking kagetnya sementara yang sedang duduk bersentak berdiri saking terperanjatnya.
"Kau belum mati........." jerit mereka hampir berbareng.
"Aaah, kau belum mati!" teriak Sui Leng-kong pula kegirangan.
Tapi saking kegirangannya, belum sempat nona itu berdiri tegak, lagi-lagi tubuhnya roboh lemas, ternyata dia kembali jatuh pingsan.
Diantara sekian jago yang hadir disitu, hanya Coh Sam-nio seorang yang tidak berani menghentikan gerakan tubuhnya, sebab si lelaki raksasa dengan kapak mautnya masih mengejar ketat di belakangnya.
Si kapak sakti ini hanya tahu melaksanakan perintah Hong Lo-su, kecuali titah darinya, perkataan siapa pun tidak akan dia gubris.
Thiat Tiong-tong berjalan menuju ke tengah ruangan dengan langkah lebar, sikapnya amat santai seolah tidak pernah terjadi sesuatu, bukan saja tidak nampak bekas terluka malahan sinar wajahnya kelihatan jauh lebih cerah dan ber¬cahaya.
"Hey anak muda, bukankah kau sudah terhajar pukulan maut dari Kapak sakti? Kenapa masih bisa muncul dengan langkah lebar?" teriak Hong Lo-su sambil mengucak matanya, "boleh tahu apa alasannya?"
Kemudian sambil memberi tanda, hardiknya:
"Hey raksasa, hentikan ulahmu!"
Kapak sakti segera menyahut dan menghenti¬kan langkahnya.
Thiat Tiong-tong tidak menanggapi pertanyaan itu, sebaliknya dia balik menegur:
"Paman Sim adalah seorang enghiong hohan, Kenapa kau buat dia seperti patung, apa yang terjadi? Cepatjelaskan!"
"Kurangajar amat kau si bocah busuk" Hong Lo ¬su tertawa seram, "Hong toaya sedang bertanya kepadamu, semestinya jawab dulu dengan sopan, kini malah berani badik bertanya!"
"Hmmm, jika hari ini kau mau mengaku terus terang apa yang telah kau lakukan terhadap paman Sim kemudian memulihkan kembali kesadarannya, mungkin urusan akan kusudahi sampai disini, jika tidak, hmmm! Hmmm!"
Mendengar ucapan anak muda itu, Coh Sam-nio segera berteriak sambil bertepuk tangan:
"Hahahaha..... banyak amat kejadian aneh ditahun ini, ternyata ada juga anak muda yang berani bicara macam begitu terhadap Hong Lo-su, hebat, hebat sekali!"
"Kalau tidak kenapa?" terdengar Hong Lo-su meraung gusar.
"Kalau tidak, akan kuberi pertunjukkan menarik untukmu!" ancam Thiat Tiong-tong, lalu sambil berpaling ke arah Coh Sam-nio tambahnya, "hey kau, jika nona Sui tidak segera kau kembalikan kepadaku, hmmm! Tunggu saja bagianmu!"
Diam-diam para jago mengusap keringat dingin, luapan pemuda itu sama artinya sudah bosan hidup, bahkan manusia aneh itu pun diam-diam ikut mengguatirkan keselamatannya, dia bersiap turun tangan menolong.
Siapa tahu Hong Lo-su maupun Coh Sam-nio hanya saling bertukar pandangan sekejap, bukan saja tidak gusar, gejala naik darah pun tidak kelihatan.
Rupanya kedua orang ini adalah manusia manusia licik yang banyak pengalaman, mereka sudah keheranan ketika tahu Thiat Tiong-tong tidak mampus, kecurigaannya makin tebal setelah melihat kepongahan yang ditunjukkan pemuda itu, mereka tahu pemuda itu berani bersikap garang karena punya backing yang kuat, sedang backingnya justru merupakan orang yang paling mereka takuti.
Tanpa terasa sorot mata mereka berulang kali melirik ke balik tirai hitam, ketika tidak menjumpai sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan, kedua orang itu makin tercengang dibuatnya.
Akhirnya Coh Sam-nio tidak dapat menahan diri, segera menegur:
"Bocah busuk ini kelewat tidak tahu adat, Hong Lo-su, lebih baik berilah sedikit pelajaran kepadanya!"
"Hahahaha......." Hong Lo-su tertawa tergelak, "selama ada Sam-nio disini, mana berani siaute bertindak lancang"
Dengan suara lantang kembali Thiat Tiong-tong berseru:
"Pertanyaan yang kuajukan kepada kalian berdua lebih baik segera dijawab dan dilaksanakan, kalau tidak, jangan salahkan aku tidak sungkan lagi!"
Alis matanya mulai berkerenyit menunjukkan muka gusar, tampangnya kelihatan angker menakutkan.
Li Kiam-pek merasa kagum bercampur ter¬kesan menyaksikan hal itu, kalau bisa diapun ingin turut menunjukkan kebolehannya.
Sementara Hek Seng-thian sekalian meski licik dan banyak akal, namun sejak berulang kali dipermainkan pemuda itu, mereka sudah memben¬cinya hingga merasuk tulang, melihat lagaknya sekarang, mereka masih mengira pemuda itu sedang membuat tipu muslihat.
Diam-diam Suto Siau menarik tangan Hek Seng-ihian sambil bisiknya:
"Kelihatannya Hong locianpwee belum tahu seluk beluk pemuda bangsat itu hingga kena gertak, padahal kita tahu dengan jelas sampai dimana kemampuan kungfu bajingan itu"
"Betul" Hek Seng-thian mengiakan, "sudah berulang kali bajingan itu menipu kita, kali ini kita tidak boleh sampai tertipu lagi. Saudara Suto, kau yang akan maju duluan atau aku?"
Belum sempat Suto Siau menjawab, terdengar Neng Toa-nio telah berseru duluan:
"Hong locianpwee, jika kau tidak sudi bertarung melawan monyet itu, biar aku saja yang memberi pelajaran kepadanya, agar dia tahu apa artinya menghormati angkatan tua!"
Ternyata sejak tadi dia sudah merasa mendongkol bercampur gusar terhadap Thiat Tiong-tong.
Melihat ada yang mau menggantikan posisi mereka, tentu saja Hong Lo-su serta Coh Sam-nio jadi kegirangan setengah mati, serentak mereka menyahut:
"Bagus sekali!"
Sambil menghentakkan toyanya Seng Toa-nio melompat maju ke depan, Seng Cun-hau yang membuntuti dari belakangnya buru-buru berseru:
"Ibu, biarlah ananda saja yang maju!"
Kuatir ibunya menghadapi mara bahaya, cepat dia mendahului ibunya.
Siapa tahu Seng Toa-nio memang ibarat jahe, makin tua makin pedas, teriaknya:
"Tidak, kali ini kau jangan ikut campur!"
Lagi-lagi dia menerobos maju mendahului putranya, dengan toya disilangkan di depan dada tantangnya:
"Ayoh maju!"
Seng Cun-hau panik bercampur cemas, sambil menengok ke arah Thiat Tiong-tong pintanya: "Thiat-heng......."
Biarpun dia tidak melanjutkan kata-katanya, namun kerdipan matanya sudah mengartikan kalau dia minta Thiat Tiong-tong mengampuni ibunya.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, diapun mengangguk.
"Ayoh maju, apa lagi yang kau tunggu?" terdengar Coh Sam-nio berteriak keras.
"Tidak usah menunggu!" jawab Seng Toa-nio sambil mengayunkan toyanya melancarkan satu sapuan.
Jangan dilihat dia sudah tua, ternyata tenaga¬nya sama sekali tidak tua, ketika toyanya menyapu keluar, lamat-lamat terdengar suara gemuruh angin dan guntur yang kencang.
Secara beruntun Thiat Tiong-tong mengalah sebanyak tiga jurus, sambil menghela napas pikirnya:
"Memandang wajah anakmu, biarlah hari ini kuampuni nyawa mu satu kali!"
Secara sembarangan diapun balas melancar¬kan berapa buah pukulan.
Bila dibandingkan dulu, tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari semula, biarpun berapa buah pukulan itu dilancarkan sekenanya namun terasa kalau kekuatan pukulannya jauh diatas kemampuannya dulu.
"Bangsat, rupanya kepandaianmu maju pesat!" bentak Seng Toa-nio keras.
Dia tidak tahu kalau tenaga dalam Thiat Tiong-long sudah mencapai tingkatan yang menakutkan, maka dia sama sekali tidak jeri, kembali toyanya dihantamkan keatas kepala lawan.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong membalik tangannya sambil mencengkeram, belum sempat semua orang melihat jurus apa yang dia gunakan, tahu-tahu ujung toya Seng Toa-nio telah ditangkapnya kuat-kuat.
Hanya manusia aneh itu yang tahu, jurus itu tidak lain adalah jurus silat yang tertera diatas dinding.
Dalam waktu singkat Seng Toa-nio merasakan segulung tenaga yang sangat kuat merembes masuk melalui toyanya, sadar kalau dia tidak akan mampu melawan kekuatan tersebut dengan perasaan kaget dia siap melepaskan senjata andalannya.
Siapa tahu pada saat yang bersamaan Thiat Tiong-tong mengendorkan juga tangannya, hanya saja sisa kekuatan yang berada dalam toya itu belum hilang sama sekali, Seng Toa-nio merasakan pergelangan tangannya sakit sekali, tidak ampun senjata toya itu segera terlepas dan jatuh ke tanah.
"Kenapa Seng Toa-nio?" ejek Thiat Tiong-tong sambil tersenyum, "tiba-tiba kejang otot?"
Biarpun Seng Toa-nio makin tua rasa ingin menangnya makin menjadi, namun dia cukup pandai membaca situasi, sadar kalau kemampuan-nya mustahil bisa menghadapi lawan, cepat dia manfaatkan kesempatan itu untuk mengundurkan diri.
Sengaja gumamnya berulang kali:
"Aaai, sudah tua, sudah tua..... sudah tidak berguna lagi......."
Kemudian sambil memungut kembali toyanya kembali dia berkata:
"Bagaimana? Mau diteruskan lagi pertarungan nya?"
Satu pertanyaan yang mencerminkan keraguan hatinya, menunjuk kan ketidak yakinan dirinya, andaikata dia benar-benar mau bertarung terus, buat apa mesti mengajukan pertanyaan semacam itu?
Buru-buru Seng Cun-hau maju melerai sambil membujuk:
"Ibu, lebih baik kau beristirahat dulu!"
Tentu saja dia tahu apa yang telah terjadi, tanpa terasa dia melirik sekejap ke arah Thiat Tiong-tong dengan senyum terima kasih.
Thiat Tiong-tong membalas dengan senyuman pula, biar tidak berkata-kata namun senyuman itu sudah menunjukkan perasaan kagum masing-masing orang kepada lawannya.
Suto Siau sekalian walaupun termasuk orang licik dan banyak akal, agaknya mereka belum tahu kalau Seng Toa-nio sudah menderita kerugian, sebab sampai matipun mereka tidak mengira kalau tenaga dalam yang dimiliki Thiat Tiong-tong sudah mencapai puncak kesempurnaan.
"Biar aku orang she-Hek beri pelajaran yang setimpal kepada bangsat ini" teriak Hek Seng-thian lantang.
Waktu itu Hong Lo-su maupun Coh Sam-nio sedang merasa sangsi, sebab mereka belum bisa melihat ampuh tidaknya kepandaian silat yang dimiliki Thiat Tiong-tong, mendengar ucapan tersebut segera serunya dengan girang:
"Bagus, cepat kasih pelajaran kepadanya!"
"Thiat Tiong-tong" seru Hek Seng-thian kemudian, "kendatipun kau licik dan banyak akal, kali ini akan kuhadapi dirimu dengan bersungguh hati, akan kulihat permainan busuk apa lagi yang bisa kau lakukan!"
Thiat Tiong-tong segera merasakan semangat¬nya bangkit kembali, pikirnya:
"Bila arwah leluhur perguruan mengetahui, saksikanlah muridmu akan membantai musuh besar pertama perguruan kita ini!"
Sambil berpikir dia maju selangkah, bentaknya dengan suara berat:
"Kalau pingin menghantar kematianmu, ayohlah cepat turun tangan!"
Tampak Hek Seng-thian mulai melangkah maju kedepan, biarpun wajahnya masih memper¬lihatkan perasaan bangga namun langkahnya berat dan sangat berhati-hati.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Thiat Tiang tong, sambil mengendalikan hawa amarah yang membara di dadanya, dia berpikir:
"Aaah keliru besar, saat ini suhu maupun susiok tidak hadir disini, bila aku langsung membunuhnya, tentu kelewat enak buat bajingan ini, ke dua tidak akan melampiaskan rasa benci dan dendam suhu serta susiok terhadapnya, lagipula aku tidak boleh 'menggebuk rumput mengejutkan ular', jadi merangsang Suto Siau sekalian untuk merancang siasat busuk lain"
Melihat perubahan wajah anak muda itu, Hek Seng thian sangka lawannya takut kepadanya, semangat dan keberaniannya kontan meningkat, sambil tertawa terbahak katanya:
"Kalau aku mengalah tiga jurus, belum tentu kau bersedia menerimanya, lihat serangan!"
Jurus serangannya sungguh amat cepat, begitu dilancarkan, dalam waktu singkat dia telah melepaskan dua jurus serangan berantai.
Hmm, biar aku saja yang mengalah tiga jurus untukmu" jengek Thiat Tiong-tong dingin.
Betul saja, dia sama sekali tidak membalas, secara beruntun pemuda itu menghindarkan diri dari ke tiga jurus serangan lawan.
Sebagaimana diketahui dia telah berlatih tekun mempelajari jurus serangan yang tertera diatas dinding ruangan, selama tujuh hari, kemajuan dan manfaat yang diraihnya boleh dibilang luar biasa, jurus yang tertera diatas dinding itu kebanyakan berupa jurus bertahan dan jurus menghindar, itulah sebabnya tidak sulit bagi Thiat Tiong-tong untuk menghindari ke tiga jurus serangan lawan.
Padahal serangan dari Hek Seng-thian amat cepat dan ganas, sayangnya jangan lagi melukai lawan, menyentuh ujung bajunya pun tidak mampu.
Bagi Hong Lo-su sekalian yang berilmu tinggi, gerakan itu masih tidak seberapa. Berbeda dengan Suto Siau sekalian, diam-diam mereka terkesiap dibuatnya, terlebih bagi Li Kiam-pek, tidak tahan dia berseru memuji.
Cukup banyak pengalaman Hek Seng-thian dalam menghadapi pelbagai pertarungan, meski saat ini dia merasa terperanjat namun tidak membuatnya panik, cepat telapak tangannya dibalik kemudian serangkaian serangan dahsyat kembali dilontarkan.
Thiat Tiong-tong memang berniat mengguna¬kan lawannya itu sebagai pasangan berlatih, khususnya mempraktekkan ilmu silat yang berhasil dipelajari dari dinding ruangan, semua gerakan mengunci, membendung, menghindar, melejit nyaris dikeluarkan semua, selama pertarungan berlangsung boleh dibilang dia hanya bertahan sambil menghindar, tidak setengah jurus serangan pun yang dilancarkan.
Sebagaimana diketahui, jurus silat itu khusus dirancang untuk menghadapi barisan tujuh dewi yang tangguh, dengan sendirinya sangat berlebihan ketika menghadapi Hek Seng-thian.
Puluhan gebrakan kemudian tampak serangan yang dilancarkan Hek Seng-thian makin lama makin bertambah cepat, peluh pun mulai bercucuran membasahi jidatnya, kelihatan sekali kalau dia mulai gugup bercampur panik menghadapi gerakan labuh lawan yang aneh.
Tiba-tiba terdengar Suto Siau berseru keras:
"Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu selalu turun tangan bersama, sekalipun menghadapi musuh dalam jumlah yang lebih banyak pun tidak pernah mengubah kebiasaan. Hari ini tidak seharusnya Hek tayhiap maju seorang diri, bukan begitu Pekji-te?"
Walaupun perkataan itu ditujukan kepada Pek Seng bu, namun karena suaranya lantang, boleh dihilang hampir semua yang hadir ikut men¬dengarnya, jelas dia bermaksud mengambil kesempatan bagi Pek Seng-bu untuk turun tangan.
Tidak menunggu sampai ucapan itu selesai diutarakan, Pek Seng-bu sudah melompat maju sambil berseru:
"Tepat sekali perkataan itu"
Dengan sekali lompatan dia sudah terjun ke arena pertarungan dan melepaskan pukulan maut.
Kembali Suto Siau berkata sambil tertawa:
"Sayang ditempat dan saat seperti ini sulit bagi bocah keparat itu mencari bantuan, padahal semakin banyak yang terlibat pertarungan, kehebatan kungfu dua bintang putih dan hitam baru nampak kehebatannya!"
Dia tahu, dengan posisi manusia aneh itu mustahil baginya untuk melibatkan diri dalam pertarungan ini, Li Lok-yang sebagai jagoan yang sangat hati-hati tidak mungkin akan terlibat pula di dalam air keruh, oleh sebab itu perkataan tersebut tampaknya sengaja tertuju pada Li Kiam-pek seorang.
Benar saja, kelihatannya Li Kiam-pek memang ada niat untuk melibatkan diri dalam pertarungan itu, namun setelah mengamati berapa saat, kembali dia mengurungkan niatnya.
Tampak olehnya meski dikerubuti dua jagoan tangguh, namun Thiat Tiong-tong masih dapat bertahan dengan santainya, bukan saja tidak melancarkan serangan balasan, bahkan dia seolah sedang mempermainkan ke dua orang lawannya itu.
Kenyataan ini bukan saja membuat Li Kiam-pek keheranan, kawanan jago lain pun mulai tercengang dibuatnya.
Sebagaimana diketahui, kerja sama antara Hek Seng-thian dengan Pek Seng-bu boleh dibilang sangat hebat dan serasi, bukan saja jurus serangan mereka saling mengisi bahkan manusia macam Liong bun ngo pa (lima manusia bengis dari pintu naga) yang begitu hebatpun keok ditangan mereka, apa yang dikatakan Suto Siau memang bukan bualan saja.
Tapi kenyataannya sekarang, Thiat Tiong-tong, seorang pemuda tidak ternama, bukan saja mampu menghadapi serangan mereka berdua bahkan sama sekali tidak melacarkan serangan balasan, sampai setua ini belum pernah Suto Siau sekalian menyaksikan ketangguhan ilmu silat semacam ini, tidak heran bila mereka mulai terperangah dan melongo dibuatnya.
Diam-diam Suto Siau berpikir:
"Jarang ada jagoan yang peroleh kemajuan pesat dalam waktu sedemikian singkat, bila hari ini tidak berusaha melenyapkannya, berapa lama kemudian kami semua pasti akan dibikin kerepotan!"
Berpikir begitu, tiba-tiba teriaknya keras:
"Lima rejeki (ngo-hok) selalu bersekutu dan mati hidup bersama, aku Suto Siau tidak bisa membiarkan dua saudaraku bertarung sendirian..."
Meskipun perkataan itu seolah sedang ber¬gumam seorang diri, dalam kenyataan memang sengaja ditujukan kepada semua orang.
Kontan Li Kiam-pek mengumpat dengan gusar:
"Oooh... sampai disitukah kehebatan Ngo hok beng (persekutuan lima rejeki), rupanya kalian tidak lebih hanya kelompok yang mencari kemenangan dengan andalkan jumlah banyak"
Suto Siau berlagak seolah tidak mendengar, sambil melompat maju teriaknya keras:
"Hek toako, Pek jiko, beristiralaht dulu kalian berdua, biar siaute yang kasih pelajaran kepada bangsat ini!"
Dia tahu Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tidak bakalan mundur dari arena pertarungan, maka sambil berteriak dia pun melepaskan berapa jurus serangan ke arah Thiat Tiong-tong.
Betul saja, baik Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tidak ada yang berniat mundur, sebaliknya jurus serangan yang dilancarkan malah jauh lebih gencar dan ganas.
"Huuh, jagoan macam apaan itu!" teriak Li Kiam-pek gusar.
Sambil menggulung bajunya dia siap terjun kearena, tapi segera dicegah oleh Li Lok-yang sambil berbisik:
"Kita saksikan dulu kebolehannya, andaikata tidak sanggup, belum terlambat untuk menolong¬nya"
Menanti Li Kiam-pek menengok kembali ke arena, terlihat olehnya meski sudah ketambahan satu orang ternyata situasi pertarungan sama sekali tidak berubah.
Kalau semula Thiat Tiong-tong harus berjongkok sambil berkelit ke sana kemari sebelum lolos dari ancaman lawan, mana sekarang langkah kakinya bertambah kacau, dia seakan-akan sempoyongan kesana-kemari, gerakannya makin lemas tidak bertenaga, macam orang yang mengidap penyakit parah, tapi anehnya betapapun dahsyat dan hebatnya serangan lawan, asal dia menggerakkan tubuhnya, semua ancaman hilang lenyap seketika.
Terkadang pihak lawan tiga orang dengan enam kepalan melancarkan serangan berbareng, pukulan dari enam buah tangan yang tampaknya segera akan mengenai sasaran dan mustahil dihindari lagi itu, hanya dengan satu geseran kaki saja, semua ancaman terhindar dengan begitu saja.
Dengan mata terbelalak saking kagetnya gumam Li Kiam-pek:
"Ilmu pukulan apaan ini?"
"Itulah Ping wi mo ciang (ilmu pukulan penyakitan)!"
"Apa.....apa yang disebut Ping wi mo ciang?"
"Salah satu ilmu pukulan yang tertera diatas dinding"
Li Kiam-pek terbelalak tidak habis mengerti, sementara Coh Sam-nio, Hong Lo-su maupun perempuan bercadar sekalian tanpa terasa berpaling dan mengawasi sekejap gerakan jurus yang tertera diatas dinding.
Tapi beberapa orang itu hanya memperhatikan berapa kejap kemudian bersama-sama berpaling lagi ke arah lain.
Sambil tertawa dingin manusia aneh itu segera mengejek:
"Aku tahu kalian adalah jago-jago ternama yang tinggi statusnya, sekalipun mukanya cukup tebal pun tidak bakalan mencuri belajar ilmu pukulanku itu, kalau bukan begitu, masa akan kukatakan secara terbuka!"
"Kau memang sangat cerdik" ucap Coh Sam-nio sambil tertawa.
"Betul" Hong Lo-su menimpali, "aku toh tidak ingin menderita sakit, buat apa mesti mempelajari ilmu penyakitan!"
"Hahahaha.... kau ngerti apa" seru manusia aneh itu sambil tertawa tergelak, "padahal ilmu penyakitan ini diambil dari........."
Mendadak dia tersentak kaget, sadar kalau ucapan Hong Lo-su bermaksud menjebaknya agar menerangkan lebih banyak tentang ilmu pukulan itu, seketika dia membungkam diri.
Tidak wajar bagi seseorang dengan ilmu silat dan status seperti Hong Lo-su untuk mengucapkan perkataan yang tidak berbobot macam begitu.
Kali ini Hong Lo-su yang tertawa tergelak.
"Hahahaha...... rupanya kau cerdik sekali!" pujinya.
Ternyata ilmu pukulan penyakitan ini mengambil makna dari perkataan yang berbunyi 'bidadari langit menyebar bunga, tiada sentuhan yang meninggalkan noda', artinya gerakan dari jurus serangan itu mirip hujan bunga yang datang dari langit, tapi jangan harap ada sekuntum kelopak bunga pun yang bisa menyentuhnya.
Ilmu penyakitan merupakan ilmu tandingan dari barisan bidadari, kelebihan dari ilmu pukulan itu adalah mengandalkan jumlah yang sedikit untuk mengendalikan yang banyak, dengan ketenangan mengatasi gerakan, biarpun harus menghadapi kerubutan musuh seorang diri, ketangguhannya justru semakin berkembang.
Thiat Tiong-tong telah mempelajarinya secara tekun selama tujuh hari, boleh dibilang seluruh inti sari dari ilmu pukulan itu sudah diingatnya tanpa disadari, yang tersisa sekarang hanya membiasakan diri dalam perubahan setiap gerakan.
Andaikata sejak awal Hek Seng-thian, Pek Seng-bu dan Suto Siau turun tangan berbareng, Thiat Tiong-tong yang belum terlalu hapal menggunakan jurus serangan itu niscaya akan menderita kekalahan total.
Tapi pada awal pertarungan justru hanya Hek Seng-thian seorang yang turun tangan, hal ini sama artinya memberi pasangan berlatih bagi Thiat Tiong-tong untuk membiasakan diri dengan gerak serangan barunya.
Menanti Thiat Tiong-tong sudah mulai terbiasa dengan jurus barunya, lagi lagi muncul Pek Seng-bu yang menjadi sasaran latihannya.
Menanti Suto Siau terjun ke arena pertempur¬an, bukan saja Thiat Tiong-tong sudah mampu menahan serangan ke tiga orang itu, bahkan diapun telah berhasil memahami banyak inti perubahan dari jurus serangan barunya dan menggunakan rahasia ilmu penyakitan itu dengan sebaik-baiknya.
Maka gerakan tubuhnya dari berkelit kian kemari pun berubah menjadi berdiri tenang, sekalipun begitu, semua serangan lawan tidak satu pun yang mampu menyentuhnya.
Setelah menyaksikan berapa saat, terdengar Hong Lo-su berkata sambil tertawa dingin:
"Benar, ilmu pukulan ini memang agak aneh, tapi aku rasa hanya bocah bodoh yang cocok mempelajari ilmu pukulan semacam ini"
Bertarung melawan orang hanya mengandal¬kan pertahanan tanpa menyerang, bagaimana mungkin bisa meraih kemenangan? Tampaknya itulah yang dimaksud Hong Lo-su.
Manusia aneh itu segera tertawa, sahutnya:
"Sabar dulu, tunggu saja saat pertunjukan!"
Belum selesai dia berseru, terdengar Suto Siau kembali berteriak:
"Seng Toa-nio, keponakan Seng, memangnya kedatangan kalian berdua hari ini hanya untuk menonton keramaian?"
Baru saja Seng Cun-hau hendak menampik dengan berdalih 'mencari kemenangan dengan andalkan jumlah banyak bukan watakku', siapa tahu Seng Toa-nio telah melompat maju duluan.
Rupanya sejak menderita kerugian tadi, Seng Toa-nio selalu merasa jengkel bercampur gusar, ketika mendengar teriakan tadi diapun berpikir:
"Dengan empat melawan satu, masa tidak mampu menjagal bocah busuk itu!"
Maka sambil mengayunkan toyanya, dia langsung menghantam batok kepala Thiat Tiong-tong.
Menanti Seng Cun-hau berusaha mencegah, keadaan sudah terlambat.
Terdengar Suto Siau kembali berseru sambil tertawa:
"Seng Toa-nio, kau khusus menyerang dari jarak jauh sementara kami akan menyerang dari jarak dekat, kita kepung dia dari kiri, kanan, atas, bawah, jauh dan dekat, saksikan saja nanti mau kabur ke mana lagi bocah keparat ini!"
Ke empat orang itu segera merasakan semangatnya bangkit kembali, bentaknya hampir berbareng:
"Mau kabur kemana kau!"
Perlu diketahui, ke empat orang itu merupakan tokoh tokoh kenamaan didalam dunia persilatan, tindakan main keroyoknya sudah terhitung perbuatan yang sangat memalukan, andaikata kerubutan itu gagal merobohkan Thiat Tiong-tong, jelas kejadian itu akan semakin menghancurkan reputasi mereka semua.
itulah sebabnya ke empat orang ini bertekad untuk membinasakan Thiat Tiong-tong secepatnya untuk selamatkan reputasi sendiri, tidak heran kalau serangan yang dilancarkan pun terhitung jurus jurus ganas dan telengas yang sangat mematikan.
Dengan satu langkah sempoyongan tubuh Thiat Tiong-tong seolah jatuh terjerembab ke tanah, tapi begitu pukulan dan sambaran toya lawan menyambar lewat dari tubuhnya, mendadak dia sapu tubuh Hek Seng-thian dengan tangan kirinya, menyusul kemudian mengunci jurus serangan dari Pek Seng-bu, sementara telapak kanannya menahan toya Seng Toa-nio dengan satu dorongan ke atas, satu dorongan lemah yang seolah-olah tanpa disertai tenaga.
Namun begitu terkena dorongan lemah itu, toya Seng Toa-nio langsung berganti sasaran dan menghantam ke arah Suto Siau serta Hek Seng-thian.
Tenaga serangan dari toya itu pada dasarnya sudah sangat kuat, ketika ditambah dengan tenaga dorongan dari Thiat Tiong-tong kali ini, kekuatan¬nya jadi sangat mengerikan.
Suto Siau dan Hek Seng-thian tahu kehebatan serangan itu, mereka tidak berani menerima dengan kekerasan, tergopoh-gopoh ke dua orang itu melompat mundur hampir tujuh meter jauhnya.
"Hei, apa apaan kau ini!" umpat Hek Seng-thian gusar.
Merah padam selembar wajah Seng Toa-nio, untuk sesaat dia tidak mampu berkata-kata.
Suto Siau sadar, serangan itu bukan timbul atas kemauan Seng Toa-nio pribadi, cepat tukasnya:
"Sudah, jangan banyak bicara, ayoh kita serang lagi"
Kini mereka bertiga semakin membenci Thiat Tiong-tong, dengan garang kawanan jago itu kembali meluruk maju melakukan pengerubutan.
Sambil tertawa tergelak manusia aneh itu berseru:
"Hahahaha...... sudah tahu bukan sekarang, inilah kehebatan dari taktik dengan sedikit mengungguli banyak, dengan bertahan mematah¬kan serangan. Siapa bilang ilmu pukulan ini tidak bisa meraih kemenangan?"
Tampaknya diapun sudah meniru cara Suto Siau, walaupun perkataan tersebut seolah sedang mengejek Hong Lo-su, padahal dia sedang memberi petunjuk kepada Thiat Tiong-tong.
Pada dasarnya pemuda itu memang cerdas dan punya daya tangkap yang mengagumkan, begitu mendengar ucapan tersebut, dia segera memahami maksudnya.
Saat itu Pek Seng-bu dengan jurus Tok coa sin hiat (ular beracun mencari liang) sedang menyerang tiba, Thiat Tiong-tong segera membalik tangan kirinya sambil melepaskan serangan balasan, ketika tenaga dalamnya disalurkan, gerak serangan dari Pek Seng-bu tanpa disadari berbelok sasaran dan secara kebetulan menghadang ancaman toya dari Seng Toa-nio.
Dengan perasaan kaget kedua orang itu cepat buyarkan serangannya, kebetulan tangan kiri Thiat Tiong-tong sudah menempel diujung toya Seng Toa-nio, begitu dihisap sambil mendorong, toya maut dari Seng Toa-nio itu langsung menyapu ke tubuh Suto Siau.
Pada saat yang bersamaan tangan kanan Thiat Tiong-tong berhasil juga menggiring pukulan dari Hek Seng-thian untuk menghantam tubuh Suto Siau.
Ketika Suto Siau melihat ayunan toya Seng Toa-nio serta pukulan Hek Seng-thian ternyata ditujukan ke tubuhnya, dalam kaget dan ngerinya tanpa berpikir panjang lagi dengan jurus Ya be hun cong (kuda liar merentangkan bulu) dia balas menggempur ke dua orang rekannya.
"Blaaamm!" diiringi benturan keras Suto Siau telah saling beradu pukulan dengan Hek Seng-thian hingga masing-masing mundur berapa langkah, Seng Toa-nio sendiri mesti tergopoh-gopoh menarik kembali serangannya, tidak urung ujung senjata itu menyapu juga diatas bahu Suto Siau.
Sapuan itu cukup dahsyat, akibatnya Suto Siau menjerit kesakitan, tubuhnya roboh terjungkal, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, rasa sakit yang luar biasa terasa hingga merasuk ke tulang sumsum.
Para jago tidak menyangka kalau jurus serangan yang dimiliki Thiat Tiong-tong ternyata begitu hebat, tanpa melakukan serangan nyatanya dia sanggup memaksa ke empat orang lawannya saling membunuh bahkan satu diantaranya roboh terluka, kenyataan ini bukan saja membuat semua orang terkesiap bahkan cukup menggelikan.
Li Kiam-pek tidak sanggup menahan diri lagi, sambil bertepuk tangan tertawa terbahak-bahak teriaknya:
"Hei, kalau toh merasa rikuh lantaran empat orang mengerubuti satu orang, tidak perlu kalian saling gontok-gontokan sendiri!"
Sambil mengggigit bibir menahan sakit, Suto Siau segera melompat bangun, serunya:
"Aku tidak apa-apa, jangan kita dikerjai bajingan ini"
Dengan wajah hijau membesi kembali ke empat orang itu maju melancarkan serangannya.
Tapi saat itu Thiat Tiong-tong telah berhasil menguasahi inti sari dari ilmu pukulan tersebut, bukan saja dia semakin percaya diri, semangat pun semakin berkobar, dia cukup menggunakan tehnik membendung, menangkis dan menggiring, ke empat musuhnya telah berhasil dipancing untuk saling menyerang dan saling gontok gontokan sendiri.
Melihat itu manusia aneh tersebut tertawa terbahak-bahak, teriaknya:
"Hahahaha..... betul, betul sekali, begitulah intinya, kalau tadi kau sudah mampu berlatih hingga taraf ini, tanpa melepas pakaian pun barisan tujuh bidadari pasti dapat kau jebol"
Sekarang Thiat Tiong-tong baru tahu, ternyata beginilah caranya untuk menjebol pertahanan ilmu barisan tujuh bidadari, membayangkan kembali bagaimana dia harus melepaskan pakaian yang di kenakan, tidak tahan merah padam selembar wajahnya.
"Terima kasih cianpwee atas petunjukmu!" serunya tanpa terasa.
"Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku, terima kasih saja pada dirimu sendiri!" tukas manusia aneh itu.
Tanya jawab yang berlangsung antara kedua orang ini hanya dipahami oleh mereka berdua, para jago lainnya hanya berdiri kebingungan tidak habis mengerti.
Dalam pada itu jurus serangan yang digunakan Suto Siau berempat kian lama kian bertambah lemah, oleh karena semua serangan yang mereka gunakan dalam kenyataan sebagian besar tertuju pada orang sendiri, maka siapa pun tidak berani lagi menggunakan jurus mematikan.
Tiba-tiba Seng Toa-nio menghentakkan kakinya sambil membuang senjata toyanya ke lantai, teriaknya:
"Hei bocah busuk, ternyata kau punya ilmu hitam!"
Kemudian tanpa membuang waktu dia membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Kini dalam arena tinggal Hek Seng-thian serta Suto Siau berdua, sedang Suto Siau sudah terluka bahunya, kendatipun serangan masih dilancarkan namun hati kecil mereka benar-benar sudah dibuat tergidik dan pecah nyalinya.
Mendadak terdengar Hong Lo-su menjengek:
"Cara begini juga dianggap berkelahi? Huuuh, sungguh memalukan!"
Begitu perkataan terakhir diucapkan, tubuh¬nya yang kurus kering bagaikan bambu itu sudah meluncur ke depan, tidak jelas bagaimana cara-nya, terdengar dua kali jeritan ngeri bergema, tahu tahu tubuh Suto Siau dan Hek Seng-thian sudah terlempar keluar.
Masih untung lemparan itu menggunakan tenaga yang sangat diperhitungkan, Suto Siau maupun Hek Seng-thian berhasil hinggap ditanah tanpa cedera, kedua orang jagoan itu hanya bisa saling bertukar pandangan, siapa pun tidak bisa mengutarakan bagaimana perasaan hatinya sekarang.
Dengan sorot mata tajam Hong Lo-su memperhatikan Thiat Tiong-tong berapa kejap, katanya kemudian:
"Heehehe...... ternyata dalam dunia persilatan telah muncul seorang jagoan muda, kenapa aku Hong Lo-su bisa tidak tahu? Sungguh memalukan!"
"Anda terlalu memuji!" sahut Thiat Tiong-tong singkat.
"Hmm, kalau berita ini sampai tersiar keluar, aku bisa malu dibuatnya" ujar Hong Lo-su lebih jauh dengan nada dingin, "tampaknya hari ini aku mesti membunuhmu, agar dalam dunia persilatan tidak pernah ada manusia macam kau!"
Berbicara sampai disini diapun mendongakkan kepalanya dengan perasaan bangga dan tertawa terbahak-bahak.
"Kalau memang mau begitu, silahkan turun tangan!" tantang Thiat Tiong-tong sambil tersenyum.
Diam-diam Hong Lo-su terkejut juga melihat kemampuan pemuda itu mengendalikan diri, dia tidak menyangka ejekannya sama sekali tidak memancing kemarahan lawan.
Setelah mengamati kembali berapa kejap, pujinya:
"Luar biasa........luar biasa!"
"Hei apanya yang luar biasa?" ejek Coh Sam-nio.
"Coba lihat tampangnya, tidak salah jadi pentolan Khong tong pay, selewat berapa tahun lagi, bukankah dia akan muncul sebagai Kaisar malam ke dua? Aaai, kita mesti menjagalnya hari ini"
"Kau berani? Kau tidak malu?" kembali Coh Sam nio mengejek sambil tertawa.
Hong Lo-su tertawa terkekeh.
"Kau sangka aku tidak tahu kalau dirimu lebih berhasrat menjagalnya ketimbang aku? Bocah busukk, kalau sampai si peluru angin sambaran petir pun ingin menggorok lehermu, lebih baik bunuh diri saja"
"Kalau memang begitu, apa salahnya kalau kalian berdua maju bersama!" kata Thiat Tiong-tong.
"Huuuh, kalau hanya mengandalkan sedikit kemampuanmu itu mah baru cukup menghadapi berapa gelintir boanpwee yang tidak becus.... kalau ingin menghadapi kami berdua.......hmmm, hmmm, percumalah!"
"Sudah, tidak usah banyak bicara lagi, kalau ingin bertarung, cepat turun tangan!" tukas Thiat Tiong-tong cepat. Kendatipun hatinya kebat kebit juga, perasaan itu sama sekali tidak ditampilkan keluar.
"Celaka" pikir Hong Lo-su setelah melihat ketenangan lawannya, "kalau dilihat gayanya yang sangat tenang, jangan-jangan dia masih memiliki kepandaian simpanan?"
Tiba-tiba dia tertawa tergelak, serunya:
"Bocah busuk, kalau Hong Lo-su mesti ber¬tarung sendiri denganmu, itu mah namanya yang tua menganiaya yang muda.....begini saja, muridku, coba kau mewakili aku untuk memberi sedikit pelajaran kepada cecunguk ini"
Rupanya orang ini termasuk orang yang menganiaya kaum lemah tapi takut menghadapi yang kuat, dia tidak pernah mau bertarung jika sama sekali tidak yakin menang.
"Betul" seru Coh Sam-nio kembali mengejek, "kalau muridnya keok nanti, gurunya baru maju"
Siucay muda itu benar-benar ganas, begitu diperintahkan untuk menyerang, dia langsung menerjang ke muka sambil melepaskan pukulan, dalam waktu singkat dia telah melancarkan tujuh buah pukulan berantai.
"Hahahaha.... kalau gurunya lambat seperti orang penyakitan, muridnya justru cepat macam orang kebelet" teriak Coh Sam-nio sambil tertawa, "hahaha..... tidak kusangka bocah muda itu pun ingin jadi pemimpin"
Biarpun serangan yang dilancarkan pemuda siucay itu cepat, gerakan tubuh Thiat Tiong-tong jauh lebih cepat, begitu pergelangan tangannya digetarkan, dia sudah berganti tiga jurus serangan, dua tangkisan ditambah satu tendangan.
"Sebuah gerakan yang hebat" puji semua jago tanpa terasa.
Pertarungan pun berlangsung makin lama semakin bertambah cepat, begitu cepatnya hingga membuat pandangan mata semua orang jadi kabur.
Hong Lo-su melirik Coh Sam-nio sekejap, katanya kemudian sambil tertawa seram:
"Hei, kita tidak usah berbincang soal lain, coba lihat, lewat berapa tahun kemudian, julukanmu sebagai si sambaran petir harus kau serahkan kepada orang itu"
Coh Sam-nio segera menarik wajahnya, senyuman yang semula menghiasi bibirnya hilang lenyap seketika.
Hong Lo-su yang berulang kali diejek perem¬puan itu tanpa bisa menjawab, sekarang menjadi sangat bangga setelah melihat lawannya dibuat membungkam diri, sekali lagi dia tertawa terbahak bahak.
Cepat Hong Lo-su mengalihkan perhatiannya ke tengah arena, begitu mengetahui keadaan yang sesungguhnya, seketika gelak tertawanya jadi melemah.
Sebagaimana diketahui, ilmu pukulan penyakitan yang diyakini Thiat Tiong-tong merupakan ilmu yang khusus diciptakan untuk menjebol ilmu barisan tujuh bidadari, sekarang pemuda itu berhasil menguasahi seluruh inti sari dan rahasia ilmu pukulan itu, secara otomatis diapun sangat memahami gerakan jurus yang digunakan ke tujuh bidadari didalam barisannya.
Sekarang jurus serangan yang digunakan sudah bukan jurus pertahanan lagi, dia mulai melancarkan serangan balasan dengan gaya melepaskan baju lawan, kendatipun dia tidak benar-benar melucuti pakaian musuh, namun sasaran dan gerakan yang digunakan justru amat pas dan disertai perubahan yang diluar dugaan.
Biarpun biasanya jurus serangan itu digunakan oleh tujuh orang sekaligus, tapi Thiat Tiong-tong justru berhasil menggabungkannya menjadi satu, malah kecepatannya berapa kali lipat diatas kecepatan kawanan gadis itu.
Kini gerak serangannya ibarat serangan yang dilakukan beberapa orang secara bersama-sama, biarpun ada serangan yang lebih awal dan lebih belakangan, namun ketika mendekati sasaran justru seolah serangan yang datang secara serentak.
Siucay muda itu sendiri meski berasal dari perguruan kenamaan, mimpipun dia tidak mengira kalau dikolong langit terdapat gerakan jurus sedemikian anehnya, terpaksa dia harus meng¬andalkan ilmu meringankan tubuh untuk berkelit kian kemari..
Hingga detik itu, walaupun serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong amat cepat, dalam hal ilmu meringankan tubuh dia masih belum mampu melampaui musuhnya, padahal sebelum ini ilmu meringankan tubuh merupakan kepandaian andalannya.
Setelah memperoleh kemajuan yang pesat dalam tenaga dalam serta ilmu silatnya, ilmu meringankan tubuh malah sebaliknya menjadi bagian yang terlemah, itulah sebabnya walaupun berhasil merebut posisi diatas angin, untuk sesaat lamanya belum berhasil mengendalikan lawan.
Kembali manusia aneh itu berkata dengan lambat:
"Bertahan tanpa menyerang, kelembekan menimbulkan kerugian, menyerang tanpa bertahan, keberangasan menimbulkan kerugian. Mau menyerang atau bertahan, diam dan gerak harus saling mengisi, kemenangan tentu bisa diraih"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Thiat Tiong-tong, tangan kanannya dari dalam berputar setengah busur ke arah luar, lima jarinya dipentangkan lebar, sementara tangan kirinya bagaikan ranting bunga yang lembut menggiring serangan lawan bergerak ke arah luar kemdian memunahkannya.
Tiba-tiba siucay muda itu merasakan tenaga dalamnya hilang lenyap tidak berbekas disusul datangnya ancaman serangan dari lawan, dalam terperanjatnya buru-buru dia merangkap sepasang kepalannya sambil dihentak keluar.
Jurus serangan ini dari posisi menyerang berubah jadi posisi bertahan, kekuatannya luar biasa dan sangat tepat sasaran. Hong Lo-su kontan bertepuk tangan dan berseru sambil tertawa:
"Hahahaha.... muridku, bagus sekali jurus Jian kun it kie (gempuran alam semesta) mu itu!"
Belum selesai dia tertawa, tampak tangan kanan Thiat Tiong-tong menyusut sambil menggiring, tahu-tahu tenaga musuh yang amat dahsyat itu berhasil digiring ke samping, ketika tangan kirinya berputar dari kanan ke arah kiri, sepasang iga lawan mulah berada dalam ancaman maut.
Dua serangan yang digabung jadi satu ini lagi lagi merupakan penggabungan jurus serangan ilmu penyakitan serta barisan tujuh bidadari, satu ancaman yang sangat berbahaya.
Terhuyung-huyung siucay muda itu mundur berapa langkah, peluh dingin bercucuran memba¬sahi wajahnya, sementara paras muka Hong Lo-su ikut berubah hebat.
Terdengar manusia aneh itu tertawa terbahak bahak, teriaknya:
"Ooh, ternyata murid peluru angin cuma begitu kemampuannya!"
Paras muka siucay muda itu dari pucat berubah jadi menghijau, dari hijau berubah jadi merah, tiba-tiba dia membentak nyaring, kepalan-nya disodok ke depan diikuti serudukan tubuhnya, rasa malu bercampur marah membuat pemuda siucay itu jadi nekad dan berniat adu jiwa
Kembali satu ingatan melintas lewat dalam benak Thiat Tiong-tong, dia tidak menghindar, tidak berkelit ataupun menangkis, sambil melangkah maju dia sambut datangnya serangan lawan dengan ke dua telapak tangannya.
Ternyata saking asyiknya bertarung, dia sudah lupa untuk menyembunyikan kehebatannya, kini dia berhasrat untuk menjajal tenaga dalamnya.
Melihat tindakan pemuda itu, paras muka para jago berubah hebat, manusia aneh itu pun menjerit kaget:
"Celaka!"
Dia tahu tenaga dalam yang dimiliki Thiat Tiong-tong tidak terhitung tangguh, bagaimana mungkin dia sanggup menghadapi murid andalan dari perguruan peluru angin?
Sadar kalau sudah tidak mungkin lagi mencegah terjadinya bentrokan itu, manusia aneh itu hanya bisa menghentakkan kakinya dengan gegetun, diam-diam dia mengomel, Thiat Tiong-tong betul- betul tidak tahu diri, bukannya menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk mengarahkan lawan, sebaliknya malah mengambil resiko besar.....
Siapa tahu belum selesai ingatan tersebut melintas........
"Blaaaam!" terjadi benturan keras yang mnnekikkan telinga menyusul jerit kesakitan seseorang, sesosok bayangan manusia mencelat ke tengah udara mengikuti semburan darah segar yang ber ceceran kemana-mana.
Ternyata Thiat Tiong-tong masih berdiri tegak dengan sorot mata bersinar tajam, kenyataan ini bukan saja diluar dugaan manusia aneh itu, para jago yang hadir di arena pun sama-sama terkesiap dibuatnya.
Diam-dam manusia aneh itu berpikir:
"Jurus serangannya mengalami kemajuan pesat lantaran dia telah mempelajari rahasia jurus diatas dinding ruangan, tapi......kenapa tenaga dalamnya pun mengalami kemajuan sepesat ini? Apa yang telah terjadi?"
Alasan tersebut bukan saja tidak dipahami olehnya, bahkan terpikir pun tidak.
Dalam pada itu siucay muda tadi sudah terkapar tidak sadarkan diri, darah segar membasahi seluruh tubuhnya.
Hong Lo-su tahu kalau muridnya terluka parah, tapi dia melirik sekejap pun tidak.
"Tidak kau tengok keadaan dari murid kesayanganmu itu?" ejek Coh Sam-nio sambil tertawa.
Hong Lo-su mendengus dingin.
"Hmmm, ilmu tenaga dalam perguruan kami hebat dan luar biasa, tapi dia enggan mempelajari¬nya, yang diajari justru ilmu sebangsa beradu nyawa, manusia macam begini memang pantas untuk mampus, buat apa ditengok lagi!"
"Kejam amat guru semacam ini" pikir Thiat Tiong-tong, "hanya manusia sebangsa Sim Sin-pek yang cocok menjadi muridnya!"
Ketika menengok ke sekeliling tempat itu, dia baru sadar ternyata Sim Sin-pek sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.
Padahal belum lama berselang dia masih menjumpai orang itu, kenapa tahu-tahu dia sudah lenyap tidak berbekas?
Diam-diam dia terperanjat, sebab dia sadar walaupun kungfu yang dimiliki Sim Sin-pek tidak terhitung tinggi, namun kelicikan dan kebusukan hatinya betul-betul menakutkan.
Pada saat itulah mendadak terdengar manusia aneh itu membentak keras:
"Celaka!"
Menyusul kemudian terasa segulung angin pukulan lunak yang berhawa dingin menyergap tiba tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Thiat Tiong-tong terkesiap, sadar kalau ia sedang dibohongi Hong Lo-su, dalam kagetnya cepat dia mundur beberapa langkah, kemudian tanpa menggubris keadaan disekelilingnya lagi dia duduk bersila ditanah.
Terdengar manusia aneh itu berteriak gusar:
"Sungguh memalukan, kau sebagai seorang ketua perguruan besar, ternyata perbuatanmu lebih busuk dari seorang kurcaci, kau tidak malu dengan perlakukan busukmu itu?"
Terdengar Hong Lo-su tertawa seram.
"Hehehehe.....aku Hong Lo-su tidak lebih hanya ingin menjajal kemampuannya, kalau sudah berani muncul dalam dunia persilatan, mata mesti awas dan telinga mesti perhatikan empat arah delapan penjuru, siapa suruh dia begitu tidak becus?"
Menyusul perkataan itu terasa angin pukulan menderu-deru, tampaknya kedua orang itu sudah terlibat dalam pertarungan yang amat seru.
Thiat Tiong-tong merasa terkejut bercampur gusur, dia pun merasa sangat menyesal dan malu, tapi saat ini tubuhnya seolah terjerumus ke dalam liang salju yang amat dingin, bukan saja sekujur tubuhnya gemetar keras, bahkan saking kedingin¬an nya sepasang gigi saling beradu tiada hentinya.
"Sungguh lihay ilmu pukulan Kiu yu im hong miliknya......" demikian ia berpikir.
Dalam keadaan begini, anak muda itu tidak berani berpikir yang lain lagi, kini dia hanya berharap bisa secepatnya memaksa keluar pengaruh hawa dingin dari tubuhnya, cepat dia bersemedi mengatur pernapasan.
Dia mengatakan tidak berani berpikir, tapi mana mungkin anak muda itu bisa tidak berpikir? Mula-mula dia teringat bagaimana sang hujin sedang menantinya didalam sampan, lalu teringat bagaimana dia sudah terluka sementara situasi di arena pertempuran sudah nampak jelas hasilnya, di mana manusia aneh itu kemungkinan besar terancam jiwanya, kemudian teringat pula bagaimana Suto Siau sekalian yang sedang menanti kesempatan untuk membalas dendam, dalam posisi begini, mana mungkin dia bisa bersemedi dengan tenang?
Tiba-tiba terdengar Coh Sam-nio berkata sambil tertawa:
"Kungfu yang dimliki Hong Lo-su memang tidak hebat, dia bisanya cuma main bokong, dengan kungfu macam begini mana mungkin kau bisa menandingi sang pangeran? Kelihatannya aku mesti membantu dia"
Sekalipun umpatannya tertuju kepada manusia aneh itu, jurus serangannya justru diarahkan ke tubuh manusia aneh.
"Hahahaha......" Hong Lo-su tertawa terbahak, "makian yang bagus, makian yang bagus........"
Ke dua orang tokoh ampuh ini segera bekerja sama melancarkan serangan secara bertubi-tubi, mereka berniat menghabisi dulu manusia aneh itu sebelum tokoh lihay yang ada didalam gua itu munculkan diri.
Dengan satu melawan dua, belasan gebrakan kemudian manusia aneh itu sudah terjerumus ke dalam posisi yang amat berbahaya.
Dalam pada itu Sui Leng-kong berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, rupanya perempuan bercadar itu kuatir si nona kelewat terpukul batinnya maka dia totok jalan darah tidurnya agar gadis itu dapat berisitrahat dengan tenang.
Si siucay muda itu masih tergeletak tidak sadarkan diri, sedang lelaki raksasa bertelanjang kaki berdiri kaku dengan mata melotot.
Suto Siau dan Hek Seng-thian saling bertukar pandangan sekejap, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kedua orang itu mulai menggeserkan tubuhnya bergerak menghampiri Thiat Tiong-tong yang masih duduk bersemedi.
Ketika mendengar ada suara langkah kaki menghampirinya, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau Suto Siau sekalian sedang berniat membo¬kongnya, waktu itu dia sama sekali tidak bertenaga untuk melakukan perlawanan, maka sambil menghela napas pikirnya:
"Aaai, sudahlah!"
Disaat yang kritis itulah mendadak terdengar seorang perempuan bercadar menghardik keras:
"Hey, apa yang hendak kalian berdua lakukan?"
"Aaah, tidak melakukan apa-apa!" sahut Suto Siau cepat sambil tertawa.
"Kalau tidak melakukan apa-apa, lebih baik diam diri ditempat, jangan bergerak sembarangan!"
Dalam hati Suto Siau mengumpat habis-habisan, dia tahu bila kesempatan baik ini terbuang percuma maka jangan harap mereka punya peluang lagi untuk membuat perhitungan dengan Thiat Tiong-tong.
Sekalipun begitu, mereka tidak berani ber¬tindak gegabah, sebab mereka tahu kepandaian silat yang dimiliki perempuan bercadar itu masih jauh diatas kemampuan mereka, oleh sebab itu meski dalam hati mereka memendam rasa benci dan dendam namun senyuman paksa tetap ditampilkan diatas wajah.
Baru saja Thiat Tiong-tong menghembuskan napas lega, tiba-tiba dari sisi telinganya terdengar seseorang berbisik:
"Cepat atur pernapasanmu!"
Menyusul kemudian terasa ada sebuah telapak tangan menempel diatas punggungnya.
Rupanya sewaktu mengundurkan diri tadi, secara kebetulan dia mundur ke tengah kerumunan perempuan bercadar itu, telapak tangan yang membantunya sekarang tidak lain berasal dari perempuan bercadar itu.
Dalam waktu singkat dia merasa ada segulung hawa panas mengalir masuk melalui punggungnya kemudian membaur dengan tenaga dalamnya dan berputar mengitari tubuh.
Perlu diketahui, tenaga dalam yang dimilikinya termasuk aliran hawa Yang, itulah sebabnya ketika sang Hujin mengalirkan tenaga dalamnya, dengan cepat hawa murni itu terserap ke dalam tubuhnya.
Dengan tenaga dalam yang dimilikinya waktu itu, sesungguhnya sudah lebih dari cukup baginya untuk mengusir hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya, apalagi dengan dibantunya tenaga dalam oleh perempuan bercadar itu, dalam waktu singkat asap putih telah mengepul keluar dari ubun-ubunnya.
Suto Siau sekalian yang menyaksikan kejadian itu merasa terkejut bercampur gusar, mereka tahu sesaat kemudian hawa dingin beracun akan tersapu bersih dari tubuh anak muda itu, yang membuat mereka gemas adalah kenapa perempuan bercadar itu membantunya?
Tidak selang berapa saat kemudian Thiat Tiong-tong telah dua kali menjalankan hawa murninya mengelilingi seluruh tubuh, kini paras mukanya telah berubah jadi merah segar, tapi rasa tercengang melintas dalam benaknya:
"Aneh, kenapa perempuan bercadar itu membantuku?"
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, terdengar seseorang kembali berbisik:
"Kau tidak usah terkejut maupun keheranan, kaupun tidak perlu banyak bertanya, asal kau menyusul ke pulau Siang cun to, segala sesuatu¬nya akan jelas dengan sendirinya"
Dengan sekali lompatan Thiat Tiong-tong bangkit berdiri, dia ingin bertanya lagi, tapi kawanan perempuan bercadar itu telah duduk mematung, karena wajahnya bercadar, tidak jelas bagaimana mimik muka mereka saat itu.
"Pulau Siang-cun-to......... pulau Siang-cun-to........."
Secara lamat-lamat Thiat Tiong-tong merasa seolah pernah mendengar nama pulau itu, namun lupa mendengar dari siapa dan ditempat mana, melihat sikap kawanan perempuan bercadar itu, dia tidak berani banyak bertanya lagi.
Ketika menengok kembali ke arena pertarungan, dia jumpai manusia aneh itu sudah basah kuyup bermandikan keringat, posisinya amat berbahaya dan jiwanya dalam keadaan kritis.
Melihat itu Thiat Tiong-tong segera membentak gusar:
"Hong Lo-su, buktikan kalau kau mampu melukai aku!"
Tidak terlukiskan rasa kaget Hong Lo-su melihat kemunculan anak muda itu, belum sempat berpikir lebih jauh, Thiat Tiong-tong sudah melesat maju ke depan, tangan kirinya membabat ke samping sementara tangan kanannya menusuk lurus kemuka, dalam waktu sekejap dia sudah melepaskan dua jurus serangan kilat.
Manusia aneh itu seketika merasakan semangatnya bangkit kembali, tapi saat ini tenaga dalamnya telah menderita kerugian besar, walaupun Hong Lo-su berhasil disingkirkan oleh serangan maut Thiat Tiong-tong, namun dia tetap kewalahan menghadapi gempuran Coh Sam-nio.
Bagaikan sambaran petir tubuh Coh Sam-nio gentayangan disekeliling tubuhnya, sebentar ke sana sebentar kemari, bagaikan sukma gentayangan saja perempuan itu menempel ketat disisi tubuh manusia aneh itu.
Tiba-tiba dia berseru sambil tertawa:
"Hong Lo-su, si raksasa mu sudah mampus?"
Saat itu Hong Lo-su masih dicekam perasaan kaget bercampur ragu, dia tidak menyangka secepat itu Thiat Tiong-tong dapat memulihkan kembali kekuatannya, karena sangsi diapun tidak berani menyerang pemuda itu secara sembarangan.
Ketika mendengar teriakan Coh Sam-nio, dengan perasaan girang segera hardiknya:
"Kapak sakti, ada dimana kau? Cepat bantu aku membantai bajingan ini!"
Lelaki raksasa itu mengiakan dan langsung maju menyerbu sambil mengayunkan kapak raksasanya.
Kembali Hong Lo-su berseru sambil tertawa seram:
"Untuk menghadapi manusia macam kau, tidak perlu aku mengerubuti kalian berdua!"
Cepat tubuhnya melejit ke samping, lagi-lagi dia membantu Coh Sam-nio menyerang manusia aneh itu.
Bagaikan banteng terluka lelaki raksasa itu menerjang maju ke depan, kapak raksasanya diayunkan kesan kemari melancarkan serangan ke tubuh Thiat Tiong-tong secara bertubi tubi.
Thiat Tiong-tong cemas bercampur kaget, dengan nada gemetar serunya:
"Paman Sim....... paman Sim...... kau......kau........."
Kendatipun dia memiliki kemampuan yang luar biasa dengan jurus serangan yang mematikan pun mustahil bagi pemuda ini untuk menghadapi paman Sim nya, padahal serangan kapak maut dari manusia raksasa itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus mematikan, asal Thiat Tiong-tong terbentur sedikit saja, niscaya tubuhnya akan hancur lebur dan nyawanya melayang.
Dalam pertarungan ini jelas posisi Thiat Tiong-tong sangat dirugikan.
Sambil bertepuk tangan dan tertawa tergelak Suto Siau mengejek:
"Horee.......bagus, bagus sekali, keponakan dan paman saling gontok-gontokan sendiri, sungguh sebuah pertunjukkan yang menarik!"
Semakin Thiat Tiong-tong merasa panik bercampur cemas, jurus serangannya makin bertambah kacau, dipihak lain keadaan manusia aneh itu lebih mengenaskan lagi, dalam sepuluh gebrakan yang berlangsung dia tidak mampu melepaskan sebuah jurus serangan balasan pun.
Jago pedang berhati merah Seng Cun-hau tidak tega menyaksikan keadaan itu, cepat dia buang muka ke arah lain, sementara Li Lok-yang ayah beranak meski pingin turun tangan membantu, apa mau dikata kungfu mereka kelewat cetek, punya kemauan tidak punya kekuatan, tentu saja mereka tidak berani bertindak sembarangan.
Dalam keadaan seperti inilah tiba-tiba dari balik tirai hitam berkumandang suara tertawa yang manis lagi lembut, kemudian terdengar seseorang berkata:
"Sebelum aku turun tangan, siapa yang berani turun tangan secara sembarangan!"
Biarpun suaranya lembut, halus dan sedap didengar namun reaksinya justru melebihi suara guntur yang menggelegar disiang hari bolong, membuat hati semua orang tercekat.
Dengan cepat Hong Lo-su dan Coh Sam-nio berjumpalitan di udara sambil mundur sejauh berapa kaki, dengan suara keras Hong Lo-su segera menghardik:
"Kapak sakti, ada dimana kau? Cepat hentikan seranganmu!"
Waktu itu lelaki raksasa tersebut sedang mengayunkan kapaknya setengah jalan, begitu mendengar bentakan, seketika itu juga dia menghentikan bacokannya, coba lengannya tidak memiliki tenaga luar biasa, mustahil dia mampu melakukan hal itu.
Dalam waktu singkat perhatian semua orang tertuju ke satu arah, belasan pasang mata bersama-sama memandang ke balik tirai hitam itu, tidak seorangpun berani berisik atau bersuara.
Hanya Thiat Tiong-tong seorang yang diam-diam menghela napas, dia tahu tenaga dalam yang dimiliki hujin itu sudah nyaris punah, apa yang bisa dilakukan perempuan itu paling hanya menggertak dari balik tirai dan mustahil berani menampilkan diri.
Siapa tahu tirai hitam itu mendadak disingkap orang, dari balik ruangan muncullah tubuh seseorang.
Dia mengenakan jubah panjang hingga ke lantai, rambutnya disanggul tinggi, matanya bening bagai kaca, pinggangnya ramping bagai ranting pohon liu, wajahnya cantik jelita bak bidadari yang turun dari kahyangan, selain cantik, perempuan itu anggun dan penuh wibawa, membuat siapa pun tidak berani menatap wajahnya kelewat lama.
Diiringi jeritan tertahan serentak semua jago bangkit berdiri, manusia aneh itu segera menjatuhkan diri berlutut, sementara kawanan perempuan bercadar yang selama ini hanya duduk pun serentak bangkit berdiri.
Terlebih Thiat Tiong-tong, dia nyaris tidak percaya dengan apayang dilihatnya.
Yang membuat semua orang terkejut adalah wajahnya yang sama sekali tidak nampak tua atau keriputan kendatipun nyonya ini sudah puluhan tahun hidup mengasingkan diri, andaikata tenaga dalamnya tidak mencapai puncak kesempurnaan, darimana mungkin dia bisa tampil awet muda?
Sebaliknya yang membuat Thiat Tiong-tong kaget adalah penampilan nyonya ini, jelas penampilannya sewaktu bersua tadi bukan begini, kenapa secara tiba-tiba wajahnya berubah awet muda dan cantik?
Semakin dipikir dia semakin tidak habis mengerti, akhirnya setelah memandang lagi berapa kejap, dia tidak berani memandang lebih jauh, buru-buru anak muda ini jatuhkan diri berlutut.
"Coh Sam-nio" dengan suara lembut Hujin itu menegur, "lama tidak bersua, apakah kau masih berada dalam keadaan baik?"
"Berkat berkah dari hujin!" sahut Coh Sam-nio sambil tundukan kepalanya rendah-rendah.
Kalau diwaktu biasa dia pandai bicara, maka sekarang, untuk menyampaikan berapa patah kata pun dibutuhkan tenaga ekstra.
"Bagaimana dengan Hong Lo-su?" kembali Hujin itu menegur.
"Berkat......berkat........" sebetulnya Hong Lo-su ingin meniru jawaban dari Coh Sam-nio, namun kata berikut ternyata tidak sanggup dia ucapkan.
"Siapa yang barusan bertarung? Rasanya bukan kalian berdua bukan?" kata hujin itu tertawa.
"Ooh bu....bukan...." buru-buru Hong Lo-su menyahut.
"Aku percaya para dewi dibawah pimpinan Jit ho (Ratu matahari) tidak akan berani bertindak sembrono!"
"Ucapan hujin tepat sekali" jawab perempuan bercadar itu cepat.
Meskipun jawaban itu disampaikan dengan nada datar dan tenang, namun gerak-gerik mereka mulai menunjukkan sikap tidak tenang.
Sambil menarik wajahnya kembali sang hujin berpaling ke arah Suto Siau sekalian, tegurnya ketus:
"Berarti kalian?"
"Bu......bukan......." jawab Suto Siau gelagapan, saking gugup dan takutnya dia tidak sanggup bicara lebih jauh karena sepasang giginya terlanjur saling beradu.
"Kalau memang tidak ada yang berkelahi, berarti aku sudah salah mendengar" ujar nyonya itu lembut.
Semua orang menundukkan kepalanya tanpa bersuara, tidak ada yang berani mengatakan "hujin tidak salah dengar", apalagi mengatakan" hujin telah salah dengar".
Setelah tertawa hambar, nyonya itu berkata lagi:
"Hong Lo-su, Coh Sam-nio, sudah banyak tahun tidak bersua, rasanya kalian telah berhasil mempelajari berapa jurus baru, apakah hari ini ingin mempamerkan kelebihan kalian itu?"
"Hong Lo-su yang ingin kemari, siaumoay tidak tahu masalahnya!" buru-buru Coh Sam-nio menghindar.
Hong Lo-su jadi terperanjat, teriaknya panik:
"Kau.......kau........."
Dalam kaget dan gusarnya meski dia ingin menyangkal, namun saking paniknya bukan saja tidak mampu berkata-kata bahkan seluruh otot hijaunya pada menonjol keluar.
Kembali nyonya itu menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
"Setelah datang kemari, tentunya kalian enggan pulang dengan tangan hampa bukan? Tapi akupun percaya kalian tidak ingin bertarung melawanku, bagaimana baiknya sekarang?"
Semua orang membungkam, tidak seorangpun berani bersuara.
Setelah termenung berapa saat kembali nyonya itu berkata:
"Begini saja, biar kusuruh Thiat Tiong-tong yang baru hari ini kuterima sebagai muridku untuk melayani kalian barang satu dua jurus, bagaimana?"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya lagi sambil tertawa:
"Tentu saja dia masih bukan tandingan kalian karena baru hari ini kuajarkan ilmu silat kepada¬nya, harap kalian jangan melukainya"
Ketika semua orang mendengar Thiat Tiong-tong yang baru sehari belajar silat darinya ternyata sudah memiliki kepandaian sehebat itu, diam-diam merasa terkejut bercampur ngeri.
"Tiong-tong!" terdengar nyonya itu berseru, "ayoh bangun. Layani kedua orang cianpwee ini barang satu dua jurus"
Thiat Tiong-tong menyahut dan segera bangkit berdiri, kini dia merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tenaga segar, apalagi mendengar nyonya yang cantik bagai bidadari itu memanggil¬nya sebagai murid, rasa gembiranya tidak terlukiskan dengan perkataan.
Hong Lo-su segera berpikir:
"Kalau muridnya saja sudah begini ampuh apalagi gurunya, sekalipun aku mampu mengalahkan muridnya, kalau sampai gurunya maju sendiri, bukankah bakal habis riwayatku"
Setelah melirik Coh Sam-nio sekejap, mendadak dia mendekap perut sendiri sambil berteriak keras:
"Aduh celaka, perutku sakit..... aku mau.......mau.........."
Sembari berteriak dia segera kabur sipat kuping meninggalkan tempat itu.
"Dasar manusia tidak becus!" diam-diam Coh Sam nio mengumpat.
Terdengar sang hujin berkata sambil tertawa:
"Kalau Hong Lo-su sedang sakit perut, kau minta pelajaran dari Coh Sam-nio saja!"
"Aaah hujin sedang bergurau" buru-buru Coh Sam-nio berkata, "mana berani siaumoay bertarung melawan keponakan Thiat"
Bagaimana pun dia jauh lebih berani ketimbang Hong Lo-su, sesudah tertawa paksa, ujarnya lebih jauh:
"Sebetulnya siaumoay ingin menemani hujin berapa saat lagi, apa daya......aaai, biarlah siaumoay mohon diri lebih dulu"
Walaupun dia masih mampu berbicara, namun begitu selesai berkata tubuhnya sudah kabur dari ruangan itu.
Kawanan perempuan bercadar itu pun saling memberi tanda, setelah membaringkan Sui Leng¬ kong ke lantai, tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka ikut mengundurkan diri dari situ.
Melihat semua orang sudah kabur, Suto Siau sekalian tentu saja tidak berani bercokol lebih lama disitu, dengan sempoyongan mereka kabur terbirit-birit meninggalkan ruangan itu.
Dari kejauhan terdengar Hong Lo-su berteriak keras:
"Kapak sakti, berada dimana kau?"
"Siap!" sahut lelaki raksasa itu sambil siap berlalu.
"Paman Sim, tunggu sebentar" dengan perasa¬an terkesiap Thiat Tiong-tong menghadang jalan perginya.
Siapa tahu lelaki raksasa itu langsung membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah bacokan maut, mau tidak mau terpaksa Thiat Tiong-tong harus berkelit ke samping.
Begitu dia menghindar, lelaki raksasa itupun berlari meninggalkan ruangan.
Thiat Tiong-tong sangat menguatirkan keselamatan saudara seperguruannya ini, dia tidak rela membiarkan pamannya terjatuh ke tangan Hong Lo-su, baru saja siap melakukan pengejaran......
"Tiong-tong, balik kemari" tiba-tiba terdengar nyonya itu berseru.
Biarpun hanya berapa patah kata namun mendatangkan daya pengaruh yang luar biasa bagi Thiat Tiong-tong, seketika itu juga dia berhenti.
"Kau tetap tinggal disini, biar aku yang berjaga-jaga diluar" manusia aneh itu segera berbisik.
"Tapi........"
"Kalian berdua tetap tinggal disini........" perintah sang hujin cepat.
Baru selesai bicara, peluh telah membasahi seluruh tubuhnya, tidak ampun perempuan itu roboh lemas ke tanah.
"Ibu, kenapa......kenapa kau?" manusia aneh itu menjerit kaget.
"Hujin, kau.....kau......." Thiat Tiong-tong menjerit pula tertahan.
Ditengah teriakan kaget kedua orang itu segera lari mendekat.
Tampak nyonya itu tergeletak dengan wajah pucat pias bagai mayat, napasnya sangat lemah dan tinggal satu dua diantara tenggorokannya, dia sudah berada dalam keadaan sekarat.
Tanpa membuang waktu Thiat Tiong-tong maupun manusia aneh itu segera menempelkan telapak tangannya diatas jalan darah penting ditubuh sang hujin dan menyalurkan hawa murninya.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga gabungan kedua orang ini, sekalipun nyonya itu tidak mampu lagi menyerap tenaga murni tersebut, namun berapa saat kemudian paras mukanya nampak jauh lebih cerah.
Sambil membuka matanya dan tertawa pedih, bisik nyonya itu:
"Setelah tenaga sinkang ku buyar, raut wajahku lambat laun pulih kembali seperti sedia kala, tapi aku tahu inilah secercah cahaya terakhirku sebelum padam, tidak lama lagi aku akan meninggalkan dunia ini!"
Thiat Tiong-tong mengerti apa yang dimaksud, lain dengan manusia aneh itu, dia dibuat kebingungan dan tidak habis mengerti oleh perkataan ibunya. Waktu itu sebetulnya dia pingin bertanya: "Tenaga sinkang apa? Kenapa bisa buyar?" namun dalam suasana begini, mana mungkin dia mampu mengutarakannya keluar? Terdengar nyonya itu berkata lagi:
"Kalian berdua tidak usah bersedih hati, Thian menghendaki kematianku dalam keadaan seperti ini sudah merupakan satu kemurahan yang luar biasa, aku berharap dikemudian hari kalian bisa saling menganggap sebagai saudara sendiri"
Kedua orang itu, yang satu adalah putra kandung darah dagingnya sendiri, sementara yang lain adalah orang yang mewarisi seluruh jerih payahnya, seluruh hasil karya latihan tekunnya selama banyak tahun.
Thiat Tiong-tong saling berpandangan sekejap dengan manusia aneh itu, dengan sedih mereka saling mengangguk.
Dengus napas nyonya itu mulai memburu, ujarnya lagi:
"Sementara waktu meski Coh Sam-nio dan Hong Lo-su kabur karena takut kepadaku, tapi mereka berdua adalah orang yang banyak curiga, tidak mungkin mereka akan pergi dengan begitu saja, tidak lama kemudian pasti akan balik lagi kemari"
"Ibu tidak usah kuatir, ananda sekalian yakin masih mampu membendungnya" sahut manusia aneh itu cepat.
Nyonya itu menggeleng, ujarnya sambil tertawa sedih:
"Saat ini kalian berdua masih bukan tandingan mereka berdua, tidak usah beradu nyawa, aku masih membutuhkan kalian berdua untuk melanjutkan generasi"
Thiat Tiong-tong serta manusia aneh itu menundukkan kepalanya, mereka tidak berani banyak bicara lagi.
Terdengar nyonya itu berkata lebih jauh:
"Coba kalian berdua perhatikan lukisan yang tertera di dinding sekeliling ruangan ini, diantara pemandangan alam yang sangat indah, disitulah tempat aku dikebumikan, ditempat itu masih...... masih terdapat pula banyak rahasia, bukan saja Coh Sam-nio dan Hong Lo-su selalu ingin mengetahuinya, orang lain pun.. uhuuh..uhuuu.....kalian berdua harus berjanji kepadaku, kalian....kalian harus menunggu...... menunggu selama dua puluh hari sebelum keluar dari situ...... uhuuu uhuuu.....jangan bertarung... bertarung lagi dengan Hong........"
Bukan saja dia batuk semakin keras, napasnya pun semakin sesak hingga susah untuk melanjutkan kembali perkataannya.
Dalam keadaan dan situasi seperti ini betapapun sulitnya persoalan, biarpun diancam dengan golok atau kapak, terpaksa mereka harus mengabulkan permintaannya itu.
Dengan sedih kedua orang itu mengiakan.
Nyonya itu berkata lagi:
"Selama hidup aku..... aku telah malang melintang di kolong langit, sebelum mati bisa.....bisa mendapat pewaris, aku.... aku akan mati dengan mata meram, tapi..... tapi masih ada.......masih ada........."
Buru-buru Thiat Tiong-tong dan manusia aneh itu menyalurkan tenaga murninya untuk menunjang perempuan itu.
Setelah menghela napas nyonya itu berkata lagi:
"Aku tidak bisa banyak bicara lagi, kalian perhatikan....... perhatikan lukisan itu....perhatikan diujung jalan buntu, jangan lupa.....rahasia dari.....dari pakaian pengantin dari......dari Perguruan Tay ki bun........ budi atau dendam hanya...... hanya ayahmu seorang yang...... yang tahu..... dia belum mati...... belum mati hingga kini.......dia bisa membohongimu......jangan harap bisa membohongi aku.........."
Perlahan-lahan sekulum senyuman tersung¬ging diujung bibirnya.
"Apa? Ayah belum mati?" teriak manusia aneh itu terperanjat, "berada dimana dia........"
Tapi ucapannya segera terpotong ditengah jalan, mendadak matanya terbelalak lebar, mulutnya melongo besar.... tiba-tiba kedua orang itu menangis tersedu-sedu, ternyata sebelum menyelesaikan perkataannya, nyonya itu sudah pergi menghadap ke langit barat, berangkat dengan diiringi sekulum senyuman.
Nyonya itu pergi dengan wajah yang tetap cantik dan menawan hati, matanya terpejam rapat, walaupun Thian telah mencabut kembali nyawanya namun tidak merenggut kecantikan wajahnya yang rupawan.
Bagaimana pun Thiat Tiong-tong serta manusia aneh itu adalah manusia luar biasa, kesedihan yang luar biasa tidak membuat mereka kehilangan akal dan kecerdasan, sambil menahan rasa sedih manusia aneh itu segera membopong jenasah ibunya.
Thiat Tiong-tong membalikkan tubuhnya membopong Sui Leng-kong, sementara siucay muda itu masih tergeletak tidak sadarkan diri, tidak seorangpun yang memperdulikan nasibnya.
Manusia aneh itu menghela napas panjang, dari dalam saku dia mengambil sebungkus obat dan dilempar ke samping tubuhnya, kemudian dia baru berkata:
"Saudaraku, mari ikut aku"
Panggilan "saudaraku" itu seketika membuat Thiat Tiong-tong terharu, gejolak perasaan dalam dadanya nyaris membuatnya tidak mampu mengendalikan diri, sampai sesaat kemudian dia buru menyusul di belakangnya.
Kedua orang itu menutup kembali pintu batu, melewati lorong rahasia dan balik lagi ke tepi kolam dengan pemandangan alam yang indah, saat itu sampan sudah bersandar ditepian, walaupun tirai halus masih berkibar seperti sedia kala, namun pemiliknya sudah pergi jauh diujung langit sana.
Setelah naik keatas sampan, Thiat Tiong-tong menyembunyikan kitab pusaka itu ke dalam sakunya, kemudian mereka berdua mulai meneliti lukisan yang terbentang diatas dinding ruangan.
Tampak empat penjuru merupakan bukit nan hijau dengan pepohonan yang rindang diantara mega berwarna putih, lukisan itu tidak mirip pemandangan di alam manusia melainkan pemandangan diatas langit, sebuah sungai kecil mengalir tenang diantara pepohonan dan awan.
Kedua orang itu merupakan orang yang berotak cerdas dan luar biasa, mereka cukup mengerti apa yang dimaksudkan dengan "perhatikan diujung jalan buntu", maka perhatian mereka mulai ditujukan ke arah aliran sungai itu, kemudian menelusuri ke bawah, melewati pepohonan, mengelilingi bangunan pagoda lalu dari sudut bangunan berputar berliku-liku sampai suatu ujung yang tiba-tiba lenyap tidak berbekas, ujung itu merupakan sebuah bukit tinggi dengan lapisan awan yang sangat tebal.
Kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, mereka tahu, "perhatikan diujung jalan buntu" yang dimaksud sang hujin pastilah tempat diseputar sana.
Tapi dinding batu diseputar sana kelihatan rata berkilat, sama sekali tidak nampak tombol rahasia atau sesuatu benda yang mencurigakan, kendati kedua orang ini cerdas dan tajam matanya, tidak urung untuk sesaat dibuat kebingungan juga.
Mereka mencoba mendayung sampan itu lebih mendekati dinding batu, namun belum berhasil juga menemukan sesuatu pertanda.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong berkata:
"Lukisan disekeliling dinding ini tampak indah dan sangat hidup kecuali lukisan yang menggambarkan aliran sungai itu, coba lihat lukisan dibagian itu kelihatan kaku dan mati, sama sekali tidak menarik, nampaknya bukan berasal dari hasil karya seseorang yang sama"
"Betul juga perkataanmu itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres dibalik kesemuanya ini" sahut manusia aneh itu, "Cuma........"
Belum selesai dia berkata, mendadak tampak Thiat Tiong-tong mengambil air kolam kemudian diguyurkan keatas dinding batu itu, ketika air mengalir sepanjang dinding, mendadak terlihat warna diseputar lukisan sungai itu berubah warna dan muncullah riak air yang bersisik, seakan dalam air terdapat ikan yang sedang berenang.
Lukisan semacam inilah baru mirip lukisan seorang seniman hebat, sementara lukisan pepohonan yang ada dibawah bukit itu mendadak lenyap tidak berbekas setelah terkena guyuran air, kini muncullah sebuah pintu berwarna kuning emas, diatas pintu terlukis dua buah gelang lembaga, diantara gelang itu terlihat pula berapa bulatan kecil.
Thiat Tiong-tong sangat kegirangan, segera serunya:
"Tidak heran kalau lukisan diseputar aliran sungai nampak kaku dan mati, ternyata ada orang yang telah menambahkan warna lain untuk menutupi lukisan asli, kalau begitu rahasianya pasti berada disini"
Manusia aneh itu menghela napas panjang, pujinya:
"Aaai, tidak kusangka selain bernyali besar dan pemberani, kau pun sangat teliti dan cermat, bisa jadi kunci rahasia untuk membuka pintu rahasia tersebut terletak pada ke dua gelang tembaga itu"
"Benar, kau punya pisau belati?"
Manusia aneh itu menggeleng, dengan kening berkerut Thiat Tiong-tong berpikir sejenak, tiba-tiba dia mencabut sebatang tusuk konde emas dari rambut Sui Leng-kong kemudian melakukan guratan melingkar diseputar gelang tembaga itu.
Tapi tidak nampak sesuatu gejala pun kendatipun sudah mengguratnya berapa saat.
Tiba-tiba terdengar manusia aneh itu berkata:
"Biasanya yang lurus akan berubah jadi kebalikan, coba kau gurat dengan berlawanan arah jam"
Thiat Tiong-tong menurut dan menggurat berlawanan jarum jam, benar saja diantara dinding batu segera berkumandang suara gemerincing nyaring.
Menyusul kemudian diatas dinding batu dengan lukisan pintu itu mulai bergerak ke samping dan muncullah sebuah liang gua setinggi satu setengah meter.
Tidak terlukiskan rasa girang kedua orang itu, tanpa ragu lagi mereka segera menerobos masuk ke dalam liang gua itu.
Siapa tahu begitu didorong dari arah dalam, pintu itu segera merapat kembali bahkan sama sekali tidak meninggalkan bekas, terutama ketika noda air sudah mengering, pintu emas itu lenyap seketika, dalam keadaan begini siapa pun jangan harap bisa menemukan sesuatu pertanda.
Dibelakang dinding merupakan sebuah lorong, meski sempit namun tidak terlalu panjang, diujung lorong merupakan sebuah ruang batu yang sangat lebar, mutiara sebesar kelengkeng tersebar disekeliling ruangan dan memancarkan sinar yang sangat terang.
Andaikata ditempat lain Thiat Tiong-tong menjumpai ruangan semacam ini, niscaya dia akan keheranan dibuatnya, karena dia cukup mengerti akan keunikan dan kehebatan tuan rumah disini, oleh sebab itu semua keanehan yang ada disana sudah berada dalam dugaannya.
Ditengah ruangan tersedia dua buah peti mati yang ternyata terbuat dari tembaga hijau, ketika tersorot sinar terang dari mutiara-mutiara itu, terlihat dengan jelas garis-garis pahatan yang tertera diatas peti mati itu.
Kecuali dua buah peti mati tembaga, didalam ruangan pun tersedia lengkap aneka perabot layaknya rumah tinggal seorang bangsawan kaya raya, ada meja, bangku, almari, khiem, catur, buku, lukisan serta perlengkapan lainnya, bahkan setiap benda yang tersedia terbuat dari bahan berkwalitas nomor satu.
Kain tirai halus melapisi sisi ruangan lain, indah, mewah dan sangat mentereng.
Justru kehadiran ke dua buah peti mati tembaga ditengah ruang batu itulah membuat suasana disitu terasa aneh dan penuh kemisteriusan.
Manusia aneh itu telah membuka tutup peti mati dan membaringkan jenasah ibunya ke dalam, air mata telah membasahi seluruh wajahnya, meski tangisannya tidak bersuara namun nampak jelas betapa sedihnya orang itu.
Sementara itu Thiat Tiong-tong pun telah menyadarkan kembali Sui Leng-kong, secara ringkas dia menceritakan pengalamannya selama ini, Sui Leng-kong kaget bercampur tercengang, dia pun girang bercampur sedih.
Akhirnya mereka bertiga pun berlutut didepan peti mati itu dan melakukan penghormatan terakhir.
Dalam suasana sedih ke tiga orang itu hanya berlutut didepan peti mati tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya, sampai entah berapa lama kemudian, mungkin satu hari sudah lewat, mereka bertiga baru merasa lapar bercampur dahaga, saat ituiah mereka baru menjumpai kalau didalam gua tersedia aneka macam jinsom dan benda mestika lainnya yang bisa digunakan untuk menangsal perut.
Tapi mereka kesulitan menemukan air minum, disaat sedang kebingungan kembali mereka bertiga menemukan berapa puluh guci arak wangi. Asal ada arak berarti masalah dahaga pun dapat teratasi pula.
Hagi Thiat Tiong-tong biar minum seribu cawan pun tidak masalah, apalagi manusia aneh itu, dengan takaran minumnya yang luar biasa mereka hanya minum terus tanpa bicara.
Hanya Sui Leng-kong seorang yang kepayahan, baru secawan, paras mukanya telah berubah jadi merah padam.
"Arak ini benar-benar keras!" tiba-tiba manusia aneh itu bergumam.
Dalam seharian penuh, mereka bertiga sama sekali tidak berbicara, kali ini merupakan kali pertama dia berbicara, namun selesai bergumam lagi-lagi dia membungkam diri.
Sebetulnya Sui Leng-kong enggan untuk minum arak lagi, tapi rasa dahaga yang luar biasa memaksanya secara diam-diam meneguk lagi dua cawan.
Sampai lama kemudian Thiat Tiong-tong baru buka suara, tanyanya:
"Toa.......toako, boleh tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Cu bernama Cau"
"Boleh tahu toako adalah........"
"Putra kaisar malam"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, ujarnya lebih jauh:
"Sudah siaute duga sejak awal, hanya saja....."
Ketika menyaksikan wajahnya hijau membesi lantaran rasa duka yang mendalam, tidak tahan dia pun menghentikan perkataannya dan tidak bicara lagi.
Cu Cau sama sekali tidak menghentikan tegukan araknya, secawan demi secawan dia minum terus tiada hentinya, tiba-tiba sambil tertawa tergelak ujarnya:
"Putra kaisar malam, sebuah julukan yang keren bukan?"
Kembali dia menenggak tiga cawan arak, mendadak sambil membuang cawannya dia mulai menangis tersedu-sedu.
Thiat Tiong-tong sadar, kendatipun lelaki itu berusaha tampil dengan wajah senyuman, sesungguhnya banyak kedukaan yang dia alami, pikirnya:
"Lebih baik biarkan saja dia menangis sepuasnya"
Karena berpendapat begitu diapun tidak berusaha membujuk atau menghibur.
Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas perlahan, bisiknya:
"Menangislah, menangislah sepuasnya, kalau bisa kepedihan didalam hati, keluarkan saja semuanya lewat tangisan......."
Cu Cau tidak menggubris, dengan tangannya menepuk diatas bahu tiba-tiba dia bersenandung lantang:
"Jalan kesana, jalan kemari, yang dicari hanya bunga dan pohon liu, jalan kesana, jalan kemari, lidak lepas dari cawan emas berisi arak, hahahaha......cawan emas berisi arak!"
Sebetulnya Thiat Tiong-tong ingin menghibur¬nya, tapi ingatan lain segera melintas lewat:
"Kami bertiga sama-sama sedang murung dan sedih, apa salahnya menggunakan kesempatan ini untuk minum sampai mabuk"
Berpikir begitu, sambil tertawa nyaring dia pun mulai meneguk arak cawan demi cawan.
"Saudara cilik" kata Cu Cau kemudian, "perselisihan kita dimasa lampau tidak perlu disinggung kembali, sejak kini kita adalah saudara, bukan begitu.....? baik, asal kau mengangguk, mari kita habiskan secawan arak ini"
Kembali ke dua orang itu menghabiskan secawan arak.
Mendadak Cu Cau berkata lagi:
"Saudara cilik, tahukah kau betapa sedihnya perasaan koko..... hahaha.....ayoh minum secawan lagi"
Begitulah sambil meneguk arak, Cu Cau tiada hentinya bersenandung sambil berteriak keras.
Sui Leng-kong menghela napas panjang, bisiknya:
"Hanya seorang pendekar sejati yang bisa menangis bisa bersenandung semau hati, biar romantis asal berhati lurus dia tetap seorang pendekar, Cu.....Cu toako, aku kagum kepadamu"
"Kau.....kau memanggil toako kepadaku?" bisik Cu Cau.
"Karena Thiat Tiong-tong memanggilmu begitu, tentu saja aku pun akan melakukan hal yang sama"
"Aaaai, ternyata kau memanggil aku toako lantaran dia?"
"Tidak, sebutan toako muncul dari hati sanubariku sendiri"
"Tampaknya kau sama sekali tidak menaruh kesan jelek terhadapku"
"Sejak awal sudah kuketahui kalau kau memang orang baik" kata Sui Leng-kong agak mabuk, kemudian sambil menuding ke arah Thiat Tiong-tong lanjutnya, "bila tidak ada dia, mungkin saja..... mungkin saja aku dapat mencintaimu"
"Bagus! Bagus! Kalau kau bisa, kenapa aku tidak........." teriak Cu Cau sambil tertawa keras, tapi gelak tertawanya lambat laun makin sirna, sehabis meneguk lagi berapa cawan arak kembali dia menangis tersedu sambil bersenandung:
"Ingin bertanya, takut bertanya, bertanya hanya menambah kepedihan, ketika musim semi menyelimuti kolam, kupu dan bangau saling bersua, kenapa tiada kesempatan untuk bertautan......."
Dengan sedikit mabuk sahut Sui Leng-kong:
"Kalau memang takut bertanya, mengapa masih bertanya?"
Menyaksikan betapa terpikatnya Cu Cau terhadap Sui Leng-kong, diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, katanya tiba-tiba:
"Adik Leng-kong, aku tahu kau memang sangat baik terhadapku"
"jadi kau..... kau benar-benar tahu?" tanya Sui Leng-kong kegirangan.
"Benar, tapi perasaan kita berdua hanya terbatas hubungan antara kakak dan adik, jangan lupa kau adalah adikku"
Ketika mengucapkan kata-kata tersebut, dia sendiripun mengeluh didalam hati, mengapa nasib selalu mempermainkan orang.
Perlu diketahui, peraturan adat waktu itu masih berlalu sangat ketat, antara saudara Tong pun dilarang untuk mengikat tali perkawinan.
Isak tangis Sui Leng-kong semakin menjadi, jeritnya:
"Tidak, aku tidak mau jadi adikmu, aku tidak mau jadi adikmu!"
Tiba-tiba serunya kepada Cu Cau:
"Maukah kau menerima aku sebagai adikmu?"
"Tidak, aku tidak mau kau menjadi adikku!" tampik Cu Cau.
"Kenapa?"
"Kenapa pula kau tidak mau jadi adiknya?"
Sui Leng-kong tertegun, akhirnya setelah menghela napas uj arnya:
"Betul, betul, ternyata alasannya sama........"
Lama sekali dia termangu, kelopak matanya terasa makin lama semakin berat sebelum akhirnya dia tertidur nyenyak.
Dalam pada itu Cu Cau hanya memandang kejahuan dengan pandangan mendelong, dalam waktu sekejap dia seolah telah berubah semakin tua.
Thiat Tiong-tong tidak tega untuk memandang lebih jauh, cepat dia membalikkan tubuh dan mulai membolak-balik buku yang ada dimeja.
Kini didalam hatinya sudah mengambil keputusan, dia bertekad untuk menjodohkan Sui Leng-kong dengan Cu Cau, pertama karena lelaki itu belum hilang jiwa pendekarnya, ke dua untuk membalas budi kebaikan ibunya yang telah tiada.
Begitu mengambil keputusan, Thiat Tiong-tong tidak mau berpikir lebih jauh lagi kendatipun perasaan hatinya amat pedih, dia mulai memeriksa kitab yang ada dimeja, ternyata isinya hanya kitab kitab syair dan sejarah.
Mendadak dia jumpai sejilid kitab tipis yang bersambul kain kuning terselip diantara kitab pujangga, ketika dibuka terbacanya berapa huruf yang berbunyi:
"Wan Siu-tin dari Hangciu, tahun Kengcu bulan satu tanggal delapan.
Kho siok-cu dari Siokciu, tahun Kengcu bulan satu tanggal sepuluh........"
Ternyata isinya adalah deretan nama perempuan serta saat terjadinya pertemuan, tanpa keterangan lain.
Diam-diam Thiat Tiong-tong keheranan, ketika membalik ke halaman dua, terbacalah:
"Sui Ji-song dari Ho-pan, Tahun Kengcu bulan empat tanggal enam belas"
Kontan saja Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, cepat dia sembunyikan kitab itu ke dalam sakunya, sementara hatinya berdebar keras, dia tidak mengira kalau nama Sui Ji-song tercantum pula disitu, khususnya dia tidak ingin Sui Leng-kong melihat akan hal itu.
Pada saat itulah mendadak terjadi goncangan keras diatas dinding batu diikuti suara ledakan, meski suaranya tidak terlalu keras namun tidak lama kemudian hawa panas dan pengab mulai menyelimuti ruangan dalam.
Baru saja Thiat Tiong-tong mengernyitkan alis matanya, terdengar Cu Cau berseru:
"Saudaraku, terima ini!"
Ternyata diapun sedang membalik balik tumpukan buku dan menemukan sejilid kitab ilmu pedang yang ditulis ibunya, maka sambil dilempar ke arah Thiat Tiong-tong katanya:
"Kitab itu berisi ilmu pedang Siau hiang kiam hoat, pelajari baik-baik!"
Sudah cukup lama Thiat Tiong-tong tahu kalau dalam dunia persilatan terdapat sebuah ilmu pedang itmpuh yang bernama Siau hiang (penyayat harum), konon ilmu tersebut sudah lama punah, tidak nyana aku justru mendapatkannya hari ini.
Dalam kaget bercampur girangnya dia berseru:
"Toako, bagaimana dengan kau?"
Cu Cau tertawa pedih, ujarnya:
"Ilmu pedang Siau hiang kiam sut meng¬utamakan kecepatan gerak dan perubahan jurus, kecepatannya tiada duanya dikolong langit, dengan kelincahan pergelangan tanganmu, cocok sekali untuk mempelajari kepandaian semacam ini, sedang aku........ aaaai, aku sudah tidak berniat belajar pedang lagi"
Sambil duduk kembali dia meneguk arak, terkadang sambil memegangi peti mati dia menangis tersedu-sedu, kadangkala dia bersenandung sambil tertawa terbahak-bahak.
Sui Leng-kong sendiri meski tidak berani mabuk lagi namun dia pun tidak pernah betul-betul sadar, hanya Thiat Tiong-tong seorang yang masih berkobar semangatnya, dia tidak ingin membuang waktu dengan percuma, maka waktunya benar-benar dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu pedang itu.
Entah berapa lama sudah lewat, menurut perhitungan Thiat Tiong-tong kalau bukan dua puluh hari paling tidak setengah bulan sudah lewat, maka diapun berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Saat itulah Cu Cau baru membenahi pakaiannya sambil bangkit berdiri, mereka bertiga saling berpandangan dengan murung, tampak raut muka rekannya kelihatan jauh lebih kucal dan lusuh.
Maka setelah bersama-sama menyembah dihadapan peti mati, mereka pun bersama-sama meninggalkan tempat itu.
Membuka pintu batu dari arah dalam ternyata jauh lebih mudah, namun Thiat Tiong-tong segera merasakan tangannya menyentuh bebatuan yang panas, padahal seharusnya batuan disitu dingin, satu ingatan melintas dalam benaknya.
Dalam waktu singkat pintu sudah terbuka lebar, mereka bertiga pun secara beruntun keluar dari gua, tapi dengan cepat mereka semua berdiri tertegun.
Air kolam yang semula hijau bening kini sudah mengering setengah, dinding batu sekitar ruangan yang hijau penuh lumut sekarang sudah hangus hitam, sampan ditengah kolam lenyap tidak berbekas, sebagai gantinya tersisa berapa keping kayu hangus yang terapung diatas permukaan air.
Dalam sekilas pandang mereka bertiga tahu kalau kebakaran dahsyat baru saja padam ditempat itu, buru-buru mereka keluar dari lorong rahasia, sepanjang mata memandang yang terlihat hanya kayu hangus serta puing yang berserakan dimana-mana.
Semua keindahan, semua kemegahan dan kemewahan telah punah tidak berbekas, yang tersisa kini hanya sebuah bangunan batu, bangunan kosong yang berdiri sendu dihembus angin barat.
Keluar dari bangunan batu, aneka bunga, tanah berumput, pohon liu, maupun jembatan kecil kini tersisa seonggok abu, tempat indah bak surgawi yang dulu menyelimuti tempat itu, kini hilang lenyap tidak berbekas bahkan suasananya jauh lebih mengenaskan ketimbang neraka gersang.
Untuk sesaat semua orang berdiri tertegun, berdiri melongo, seolah tidak percaya dengan pandangan mata sendiri.
Mendadak Cu Cau menepuk bahunya dan menegur sambil tertawa:
"Saudara cilik, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku ingin tahu siapa yang telah melakukan perbuatan keji ini!" bisik Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
"Memangnya kau kuatir dia akan bersembunyi sepanjang masa, buat apa mesti disedihkan" sahut Cu Cau cepat.
Kemudian setelah mendongakkan kepalanya tertawa lantang, katanya lebih jauh:
"Apalagi semua benda itu hanya benda duniawi, dibakar habis pun tidak jadi masalah, toh tempat ini dibangun oleh manusia, harta pun dikumpulkan manusia, dia bisa membakarnya sampai habis, memangnya aku tidak bisa membangunnya kembali? Hahahaha.... saudara cilik, yang penting kita punya kemampuan, apa susahnya untuk mengumpulkan kembali harta yang tercecer"
Melihat betapa lapangnya pikiran dan hati lelaki ini, kontan Thiat Tiong-tong menaruh kesan yang sangat baik terhadapnya, kembali dia berpikir:
"Jika adik Leng-kong bisa memperoleh suami macam dia, aku akan lega sekali, cuma......."
Tiba-tiba serunya sambil tertawa:
"Dengan memberanikan diri siaute ingin menasehati satu dua patah kata kepada toako"
"Katakan saja!"
"Toako, dalam segala hal kau sangat mengagumkan, hanya sifat pemogoranmu yang bikin orang tidak tahan"
"Hahahaha......orang suka pemogoran disaat dia masih muda, apalagi aku......." mendadak dia menarik kembali senyumannya, "kalau tidak menjumpai kekasih hati yang mencocoki, apa yang bisa kuperbuat selain cari kesenangan di luar...."
"Berarti jika toako sudah menemukan gadis yang mencocoki hatimu maka kau tidak akan main perempuan lagi?"
"Betul, bila aku sudah menemukan gadis yang cocok maka sejak itu tidak akan bermain perempuan lagi......hei, kenapa kau bertanya begitu?"
"Aaah tidak apa-apa......." sahut Thiat Tiong-tong samon tertawa, "bagus, bagus sekali!
Tanpa membuang waktu lagi dia berjalan dulu keluar dari lembah.
Diluar lembah masih merupakan sebuah dunia yang tenang dan penuh kedamaian, tiba-tiba Thiat Tiong-tong memaksa Cu Cau untuk duduk diatas sebuah batu gunung, kemudian ujarnya:
"Toako, harap menerima tiga kali sembah sujudku"
"Aaah, tidak ada urusan apa-apa kenapa kau mesti bersujud kepadaku?" kata Cu Cau tertawa.
Dengan wajah serius sahut Thiat Tiong-tong:
"Sujudku yang pertama untuk berterima kasih atas budi kebaikan dari ibunda, sujud ke dua karena toako mau menerima aku sebagai saudara......"
Sambil bicara dia sudah mulai bersujud.
Sekilas perasaan sedih melintas diwajah Cu Cau, tapi sebentar kemudian dia sudah berkata lagi sambil tertawa:
"Baiklah, dua persembahanmu akan toako terima semua, tapi untuk apa sujudmu yang ke tiga?"
"Siaute mohon toako mau berkunjung ke sebuah rumah gubuk dibawah bukit Ong wo san yang disebut gubuk cay seng cau gwa (tumbuh lagi diladang lain) untuk menjumpai seseorang, tolong sampaikan surat siaute kepadanya"
Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat yang tampaknya telah dipersiapkan semenjak masih berada dalam ruang rahasia tadi.
"Itu mah gampang, kenapa kau mesti bersujud kepadaku?" tanya Cu Cau.
"Siaute berharap toako mau memandangnya sebagai saudara sendiri serta merawat dirinya, tapi siaute berani jamin orang ini adalah seorang lelaki luar biasa di dunia ini!"
"Kalau dibilang dia adalah seorang lelaki luar biasa, biar kau tidak bicara apapun surat ini pasti akan kusampaikan"
"Terima kasih toako" sekali lagi Thiat Tiong-tong bersujud dihadapan lelaki itu.
Kemudian sambil menarik tangan Sui Leng¬kong, ujarnya pula:
"Adik Leng-kong, aku pun ingin memohon sesuatu kepadamu, apakah kau bersedia menga¬bulkan?"
Sui Leng-kong menghela napas panjang.
"Aaai.... apa pun permintaanmu, yang baik atau yang jelek, asal sudah kau sampaikan maka aku pasti akan mengabulkannya"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, ujarnya cepat:
"Aku minta kau mengikuti Cu toako menuju ke bukit Ong wo san, minta kepadamu untuk bersikap baik terhadap Cu toako, juga bersikap baik terhadap orang yang berada di rumah gubuk itu"
Berubah paras muka Sui Leng-kong, katanya perlahan:
"Karena sudah kau sampaikan, aku pasti akan mengabulkan, tapi...... tapi.....jangan kau sangka aku tidak memahami niatmu"
"Apa yang kau pahami?" tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa paksa.
"Aku tidak ambil perduli apa yang kau pikirkan" ucap Sui Leng-kong sepatah demi sepatah, "asal kau tahu saja, apa pun yang bakal terjadi aku tidak bakal kawin dengan orang lain dalam hidupku kali ini kecuali dengan kau seorang"
Biarpun perkataan itu disampaikan secara tegas namun wajahnya masih tenang tanpa emosi, jelas entah sudah berapa kali perkataan itu diucapkan olehnya didalam hati.
Berubah paras muka Thiat Tiong-tong.
"Tapi......tapi.... kau.....aku......."
Sui Leng-kong tertawa hambar, tukasnya:
"Akupun tahu saudara itu tidak mungkin jadi suami istri, aku hanya menyesal kenapa nasibku begini jelek, aku bertekad selama hidup tidak akan menikah.....Cu toako, mari kita berangkat!"
Dari sikap serta mimik mukanya, Thiat Tiong-tong tahu kalau gadis itu tidak akan mengubah keputusannya walau dalam keadaan seperti apa pun, dia merasa sedih bercampur murung, cepat pemuda itu membuang wajahnya ke arah lain.
Tampak Cu Cau berdiri sambil bergendong tangan, wajahnya senyum tidak senyum, andaikata dia bukan manusia luar biasa, batinnya pasti akan tersiksa setelah mendengar perkataan dari Sui Leng-kong itu.
Setelah menghela napas sedih kata Thiat Tiong-tong lagi:
"Toako, kau..... sebenarnya kau hidup santai dan penuh kecerian, gara-gara siaute, sekarang kau mesti berkelana dalam dunia persilatan!"
Padahal bukan perkataan itu yang ingin disampaikan, hanya saja setelah ucapan itu sampai di bibir, dia tidak tega untuk mengucap-kannya.
Cu Cau tertawa, sahutnya:
"Aku memang sudah lama berniat berkelana dalam dunia persilatan, ingin melihat dunia sambil menambah pengalaman, inilah kesempatan baik untukku, hanya saja....aku tetap merasa keheranan"
"Apa yang toako herankan?"
"Kau minta aku menuju ke bukit Ong wo san, sementara kau sendiri hendak ke mana?"
"Sebetulnya siaute yang punya janji di bukit Ong wo san, apa daya saat ini siaute mempunyai persoalan lain yang jauh lebih penting sehingga mau lidak mau harus minta toako......"
"Apakah urusan pentingmu itu tidak bisa kau utarakan?"
Thiat Tiong-tong tertawa pedih, ujarnya:
"Persoalan ini panjang untuk diceritakan....tapi siaute berjanji, begitu urusan itu selesai pasti akan segera menyusul ke sana dan bertemu kembali dengan toako dan adik Leng-kong"
"Sudahlah, kalau kau enggan membicarakannya, tidak usah disinggung lagi, yang penting aku tetap mempercayaimu!"
sambil bangkit berdiri serunya:
"Baik, Sui Leng-kong, kita berangkat!"
Tanpa membuang waktu dia segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu diikuti Sui Leng-kong di belakangnya.
Hingga bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, Sui Leng-kong tidak pernah berpaling walau sekejappun.
Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, dia tahu bila Sui Leng-kong masih mau berpaling, urusan agak mendingan. Dalam kenyataan dia sama sekali tidak menengok, hal ini menunjukkan kalau rasa sedihnya sudah mencapai puncak tertinggi.
Diam-diam dia menghela napas, gumamnya:
"Toako, Leng-kong, bukannya aku enggan membicarakan urusan penting itu, aku justru kuatir bila kuutarakan maka kalian berdua tidak bakalan meninggalkan diriku lagi, semoga sejak kini kalian berdua bisa hidup bahagia..... bila beruntung aku berhasil menyelesaikan ke dua tugasku itu, kita masih punya kesempatan untuk bersua lagi dikemudian hari, sebaliknya bila aku gagal......berarti....."
Perlahan dia mengangkat tangannya sambil menggosok matanya, lalu selangkah demi selangkah berjalan menelusuri jalan bukit menuju ke bawah gunung.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now