3. Hidup Susah Mati Mudah

2.4K 39 1
                                    

Kabut fajar menyelimuti seluruh permukaan bumi, pagi hari menjelang tiba, kegelapan malam pun pelan pelan bergeser ke ujung dunia.

Memandang bayangan punggung Tio Ki-kong yang lenyap dibalik kabut, sekulum senyuman pedih menghiasi ujung bibir Thiat Tiong-tong, gumamnya:

"Sam-te, selamat tinggal!"

Mendadak terlihat Tio Ki-kong membalikkan tubuh sambil menjatuhkan diri berlutut, sepatah demi sepatah katanya:

"Tio Ki-kong bukan lelaki yang gampang berlutut, aku hanya menyembah kepada seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan kesetia kawanan, sekarang aku berlutut kepadamu bukan lantaran kau adalah keturunan dari Thiat locianpwee......."

Meskipun pada permulaan kata dia masih berbicara dengan suara berat, tapi pada akhirnya dia mulai sesenggukan dan tidak sanggup melanjutkan lagi kata-katanya.

Thiat Tiong-tong ikut berlutut, katanya pula:
"Siaute tidak bisa bicara banyak, aku hanya menyesal kenapa baru sekarang kenal dengan seorang sahabat macam saudara Tio!"

Kemudian sambil mengangkat wajahnya, dia melanjutkan dengan nada lantang:

"Saudara Tio, nyawa saudaraku telah kuserahkan ketanganmu, semoga kau bisa selamatkan jiwanya. Saudara Tio! Cepat berangkat!"

Tio Ki-kong membentak lirih kemudian berlalu dari situ dengan cepat, tidak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

Thiat Tiong-tong mulai duduk bersila, darah dan air hujan yang menggenangi seluruh permu-kaan beriak ketika terhembus angin fajar, tiga sosok mayat yang berjajar disitu pun sudah mulai membeku.

Pemuda itu tahu, sebentar lagi musuh tangguh segera akan menggeledah sampai disitu, tapi pikirannya tetap kosong, perasaannya tetap hamba, sebab "kematian" bukan jalan yang dia pilih.

Tadi sebetulnya dia bisa memilih jalan "kehidupan", dia bisa meletakkan "kehidupan" sendiri di atas "kematian" Im Ceng, tapi dia telah mengabaikan jalan "kehidupan" bagi diri sendiri dan sambil tersenyum memilih jalan "kematian", karena merupakan pilihan sendiri maka sekarang dia tidak nampak terlalu sedih, tidak terlalu pedih dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

"Ayoh kemarilah!" sambil membusungkan dada dia berseru, "Thiat Tiong-tong sudah menanti disini!"

Diambilnya sebuah busur dan berapa batang anak panah, lalu memusatkan perhatian ke depan.

Walaupun waktu berlalu amat cepat, namun dalam perasaannya justru amat panjang dan lama.

Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang ringan bergerak mendekat, seseorang berbisik lirih:
"Coba dicari sekitar sana, bangsat itu sudah terluka parah, delapan puluh persen sulit untuk hidup terus!"

"Masih untung kalau dia mati" sahut rekan-nya, "kalau hidup malah lebih mengenaskan"

Orang yang pertama kembali menghela napas: "Yaa, terkadang mati lebih enak daripada hidup, kalau aku jadi dia, lebih baik mati lebih awal karena jauh lebih nyaman dan tidak tersiksa"

Dalam keheningan yang mencekam tanah perbukitan itu, bisikan yang lirih pun berubah jadi nyaring dan jelas terdengar.

Thiat Tiong-tong terkesiap, batinnya: "Benarkah hidup susah mati gampang? Hidup susah mati gampang?"

......Thiat Tiong-tong, kau tidak boleh lari dari kenyataan, kau tidak boleh mati, selama masih ada harapan untuk hidup, kau harus berjuang terus untuk mempertahankannya!

Sejak dulu hingga kini, banyak orang mencari mati untuk menghindari penderitaan dan tanggung jawab, tahukah mereka bahwa keputusan untuk mempertahankan hidup sebenarnya jauh lebih berani, jauh lebih perkasa daripada menghadapi kematian?

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang