37. Rejeki dan Bencana

1.5K 28 0
                                    

Seonggok api unggun menyala di dalam sebuah ruang gua yang gelap, lidah api yang bergoyang terhembus angin menambah suasana misterius dalam gua itu.
Seng Toa-nio, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu duduk berkerumun di sekeliling api unggun, ketiga orang itu tidak bicara maupun bergerak, mereka hanya mengawasi jilatan api dengan termangu.
Jago pedang angin biru Liu Ji-wu duduk dengan kepala menengadah, kening berkerut seakan sedang memikirkan sesuatu... dia sedang berpikir, ada apa Lui Siau-tiau mengajak keluar suaminya, apa yang sedang mereka lakukan?
Biarpun di dalam gua terdapat empat orang, namun suasana terasa sangat hening dan tak terdengar sedikit suara pun.
Di sudut ruang gua terlihat tumpukan beberapa karung goni, tampaknya karung berisi rangsum, sementara di atas sebuah batu yang cekung tergeletak sebuah buli-buli arak besar berwarna merah darah.
Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia, Seng Toa-nio segera berseru:
"Aaah, mereka sudah kembali!"
Dengan cepat Liu Ji-wu berpaling ke arah mulut gua, betul saja yang muncul memang suami kesayangannya, cuma orang yang berjalan masuk paling dulu adalah Lui-pian Lojin serta Un Tay-tay.
Di belakangnya mengikut Im Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Liong Kian-sik serta Lui Siau-tiau berenam. Wajah keenam orang ini semuanya murung dan dingin bagaikan es.
Begitu melihat kemunculan Un Tay-tay, Seng Toa-nio kelihatan terkejut sekali, hatinya semakin tercekat setelah menyaksikan semua kekuatan perguruan Tay ki bun muncul di situ, saking kagetnya dia seakan merasa nyawanya ikut terbang.
Dengan cepat ketiga orang itu melompat bangun, berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, untuk sesaat mereka tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Orang-orang perguruan Tay ki bun sebenarnya sudah menduga mereka pasti berada di situ, namun begitu saling berhadapan dengan musuh bebuyutannya, tidak kuasa lagi darah mereka terasa mendidih, wajah berubah hebat.
Terlihat dada Im Gi naik turun tidak beraturan, mukanya merah padam bagai orang mabuk, sinar berapi-api memancar keluar dari balik matanya, dia butuh mengeluarkan banyak tenaga untuk bisa menahan diri dan tidak turun tangan secara gegabah.
"He, apa yang terjadi?" tegur Lui-pian Lojin dengan mata berkilat.
Cepat Seng Toa-nio berseru:
"Kenapa mereka bisa...
"Orang-orang itu seru Hek Seng-thian.
"Kenapa kau orang tua...." teriak Pek Seng-bu pula.
Karena mereka bertiga berebut bicara, perkataan yang terucap pun jadi berbaur menjadi satu, akibatnya perkataan dari ketiga orang itu tidak dapat didengar dengan jelas.
"Semuanya tutup mulut!" bentak Lui-pian lojin gusar.
Kemudian sambil berpaling ke arah Un Tay-tay, katanya:
"Kau saja yang bicara!"
Bukan menjawab, sebaliknya Un Tay-tay malah balik bertanya:
"Apakah kau orang tua sudah lupa dengan apa yang telah kau katakan tadi?"
"Mana mungkin Lohu lupa...." sahut Lui-pian Lojin gusar, "cepat jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?"
Un Tay-tay tersenyum, dengan jari jemari¬nya yang ramping bagai ujung pisau dia menuding ke arah Seng Toa-nio sekalian dan sepatah demi sepatah kata ujarnya:
"Merekalah musuh besarku, bukankah kau orang tua berjanji akan membantu ananda untuk melenyapkan mereka!"
Semua orang semakin terkesiap sehabis mendengar ucapan itu, tidak terkecuali para jago perguruan Tay ki bun, sebab hingga kini mereka masih belum bisa meraba hubungan apa yang sebenarnya terjalin antara Un Tay-tay dengan Lui-pian Lojin?
Paras muka Seng Toa-nio bertiga berubah, kembali mereka mundur beberapa langkah.
"Jadi mereka... mereka adalah musuh besarmu?" seru Lui-pian Lojin setelah termangu beberapa saat.
"Tepat sekali, kenapa kau orang tua belum juga turun tangan?"
Timbul perasaan serba salah salah di wajah Lui-pian Lojin, dengan posisi dan kedudukannya saat ini, bagaimana mungkin dia bisa turun tangan keji terhadap orang yang sudah berhari-hari berkumpul bersamanya?
Dengan suara gemetar Hek Seng-thian segera berseru:
"Sudah cukup lama Boanpwe mengikuti kau orang tua, selama inipun aku selalu bersikap hormat dan menurut atas semua perintahmu. Tidak seharusnya kau membantu orang-orang perguruan Tay ki bun untuk menghadapi kami."
Tiba-tiba Lui-pian Lojin berpaling, ditatapnya Im Gi lekat-lekat, kemudian tegurnya:
"Jadi kau bermarga Im?"
"Benar," jawab Im Gi dengan suara berat.
"Hahaha, seharusnya bisa kuduga sejak awal, kecuali Ciang bunjin dari Thiat hiat tay ki bun, siapa lagi manusia di kolong langit saat ini yang memiliki jiwa dan kegagahan macam kau!"
"Apakah kau akan menuruti perkataan orang di kanan kirimu dengan mengabaikan janji?" sela Un Tay-tay dengan nada sedih, "apa yang telah kau kabulkan, semestinya dilakukan terlebih dulu, masalah lain bisa dibicarakan nanti saja."
"Soal ini...." dengan perasaan serba salah Lui-pian Lojin mengelus jenggotnya.
Tiba-tiba dia tertawa tergelak, terusnya:
"Hahaha, saat ini kau toh belum menjadi menantuku, apa salahnya aku baru membantumu turun tangan setelah kau menjadi menantuku nanti, sedang saat ini... Lohu tidak bisa membantumu."
Un Tay-tay tertegun, baru saja akan mengucapkan sesuatu, mendadak terlihat olehnya buli-buli merah itu, akhirnya dia urung bicara lebih jauh.
Sementara itu Hek Seng-thian telah berseru kegirangan:
"Tepat sekali, asalkan kau orang tua tidak membantunya, maka kami pun...."
"Selama Lohu tidak turun tangan, siapa pun yang berada di sini tidak boleh turun tangan! Mengerti?" hardik Lui-pian Lojin gusar, "semuanya duduk, saksikan Lohu meneguk beberapa cawan arak bersama Im-ciangbunjin."
Im Gi mengepalkan sepasang tinjunya kuat-kuat sambil berdiri mematung, saat itulah Lui-pian Lojin telah mengambil buli-buli yang berisi arak.
"Arak itu tidak boleh diminum!" tiba-tiba Un Tay-tay berteriak.
"Apa maksudmu?" tanya Lui-pian Lojin gusar.
"Bila kau orang tua ingin minum arak ini, ada baiknya suruh Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian mencicipi seteguk lebih dulu."
Perempuan ini yakin Seng Toa-nio serta Hek Seng-thian pasti sudah melakukan perbuatan busuknya di kala semua orang tidak berada di tempat.
Dengan kening berkerut Lui-pian Lojin berpaling dan menatap tajam wajah Seng Toa-nio maupun Hek Seng-thian.
Tidak terlukiskan rasa takut Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian waktu itu, paras mukanya berubah pucat pasi, tubuhnya menggigil keras.
Berkilat sorot mata Lui-pian Lojin, selangkah demi selangkah dia berjalan menghampiri mereka, langkahnya selain berat juga terasa sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di hadapan mereka berdua.
Dalam keadaan begini, Seng Toa-nio maupun Hek Seng-thian sudah tidak sanggup berdiri tegak lagi, tubuh mereka gontai seolah-olah setiap saat bakal roboh terjengkang.
Perlahan-lahan Lui-pian Lojin menyodorkan buli-buli araknya, mendadak dia membentak:
"Ayo, minum satu teguk!"
Hek Seng-thian bermandikan keringat dingin, dia tergagap sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Dengan menggunakan segenap kekuatan dan berupaya semampu mungkin dia membuka mulutnya, apa lacur, perkataan yang diutarakan justru tidak berwujud perkataan, siapa pun tidak idayang tahu perkataan apa yang dia ucapkan
"Ayo, diminum!" bentak Lui-pian Lojin lagi.
"Blukkk!", mendadak tubuh Hek Seng-thian roboh terjungkal ke tanah, tapi sebelum mencium lantai tubuhnya sudah dicengkeram lebih dulu oleh Lui-pian Lojin sembari hardiknya lagi:
"Mau minum tidak?"
Pertanyaan itu diulang sampai beberapa kali, namun Hek Seng-thian tidak juga menyahut, keempat anggota tubuhnya lemas terkulai, badannya sama sekali tidak bergerak, ternyata dia sudah jatuh pingsan saking takutnya.
"Budak anjing yang tidak berguna!" maki Lui-pian Lojin gusar, dengan satu ayunan dia lemparkan tubuh Hek Seng-thian keluar.
"Blaaamm!", tubuhnya menumbuk di atas dinding batu dan tidak bergerak lagi.
Pek Seng-bu seperti ingin maju menolong, namun setelah melirik Lui-pian Lojin sekejap dia tidak berani melanjutkan langkahnya.
Kini Lui-pian Lojin menyodorkan buli-buli arak itu ke hadapan Seng Toa-nio, bentaknya:
"Kau saja yang minum!"
Pucat pasi wajah Seng Toa-nio.
"Boanpwe tidak berani...." sahutnya tergagap.
"Kenapa tidak berani?" tukas Lui-pian Lojin gusar, "apakah kau tahu arak ini beracun? Jangan-jangan kau yang meracuni arak ini? Bicara! Ayo, cepat mengaku!"
"Mana berani Boanpwe meracuni arak milik Cianpwe?"
"Kalau memang arak ini tidak beracun, coba minumlah satu tegukan."
"Boanpwe tidak berani mencicipi arak milik Cianpwe."
"Kentut!" umpat orang tua itu gusar, "hari ini kau harus meneguk habis arak ini, tidak mau pun tetap harus diminum!"
Sambil berkata dia melemparkan buli-buli arak itu ke hadapan Seng Toa-nio, lanjutnya:
"Akan kuhitung sampai tiga, kalau tidak kau habiskan, akan kucabut nyawamu!"
Dari sikap maupun perubahan wajah kedua orang itu, semua orang segera tahu Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian pasti sudah mencampuri arak itu dengan racun, dalam keadaan begini, siapa lagi yang berani tampil ke depan membantu Seng Toa-nio bicara.
Dengan sorot mata mohon dikasihani Seng Toa-nio mencoba menengok ke orang lain, tapi semua orang segera berlagak seolah tidak melihat, apalagi Pek Seng-bu, dia sudah berdiri jauh-jauh dari arena, bahkan berusaha tampil seolah tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini.
"Satu...." Lui-pian Lojin mulai menghitung.
Seng Toa-nio mencoba memandang ke empat penjuru, teriaknya dengan suara parau:
"Aku sudah tua, badanku lemah, tidak kuat lagi meneguk arak keras. Kian-sik, Seng-bu, memandang wajah Cun-hau, tolong wakili aku meneguk arak itu!"
Tampaknya Liong Kian-sik tidak sanggup menahan diri lagi, baru saja tubuhnya bergerak, Liu Ji-wu telah menarik lengannya kuat-kuat, sekalipun dia terhitung seorang pendekar wanita, namun rasa setia kawannya tidak terlalu mendalam, bagaimanapun dia tidak tega membiarkan kekasih hatinya mewakili orang lain meneguk arak beracun.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar hembusan ujung baju tersampuk angin, terlihat seseorang berlari masuk ke dalam ruang gua dengan langkah lebar.
Orang itu berwajah merah, beralis tebal dan berperawakan tinggi besar, rupanya Seng Cun-hau lelah muncul persis pada saatnya.
Kelihatannya dia sudah mendengar semua pembicaraan semenjak masih berada di mulut gua, itulah sebabnya dia berlari masuk dengan sepenuh tenaga.
Kini dengan napas tersengal dia berlari mendekat, merampas buli-buli arak itu dan teriaknya:
"Biar aku yang mewakili ibu meneguk arak ini."
Berubah paras muka Seng Toa-nio, serunya kaget:
"Kau... kau tidak boleh meneguknya...." Tapi belum selesai dia berkata, Seng Cun-h iu telah meneguk dua tiga tegukan isi buli-buli itu, menyaksikan hal ini Seng Toa-nio menjerit keras dan roboh tidak sadarkan diri.
Pada saat itulah kembali muncul seorang, dia adalah Che Toa-ho, tapi lantaran semua orang sedang memusatkan perhatian pada Seng Cun-hau, maka tidak seorang pun yang memperhatikan kehadirannya.
Tubuh Seng Cun-hau berdiri tegak bagaikan sebatang toya, tiada penderitaan di wajahnya, tiada pula rasa ngeri atau takut, yang tertinggal hanya perasaan sedih, malu dan menyesal yang mendalam.
Dengan termangu Un Tay-tay memperhati¬kan wajahnya, tidak kuasa lagi dia berkeluh sambil menghela napas:
"Dasar bodoh... dasar bodoh... kenapa kau memaksa diri meneguk arak itu...."
"Kenapa kau harus meneguk arak itu?" bentak Lui-pian Lojin pula.
"Karena ibuku enggan meneguknya, maka Tecu harus mewakilinya."
"Apakah kau tahu arak ini beracun?"
Kembali Seng Cun-hau tertawa pedih.
"Apalagi kalau arak ini benar-benar beracun, Tecu wajib meneguknya," dia berkata, "dilahirkan sebagai putranya, sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti kepadanya, aku rasa tindakanku ini sangat lumrah."
Im Gi yang selama ini hanya berdiri kaku tiba-tiba ikut menghela napas, ujarnya:
"Orang bilang jago pedang berhati merah adalah seorang pendekar yang sangat berbakti, ternyata berita itu bukan berita kosong... Cing-su, Ting-ting, mulai hari ini dan seterusnya, kalian tidak boleh menyusahkan orang ini."
"Tapi dia... dia pun...." kata Thiat Cing-su tergagap.
"Selama hidup, Lohu paling menghormati lelaki yang berbakti dan orang yang setia," tukas Im Gi keras, "aku melarang anggota perguruan Tay ki bun memusuhi manusia setia dan berbakti, aku harap kalian semua mengingatnya baik-baik!"
"Bagus... ucapan yang bagus!" Lui-pian Lojin ikut manggut-manggut.
Seng Cun-hau berpaling memandang Im Gi, sepasang matanya nampak mulai berkaca-kaca, ujarnya sedih:
"Bicara soal tiong (setia) dan gi (setia kawan), Cayhe masih jauh tertinggal dibandingkan Thiat Tiong-tong, hanya sayang... hanya sayang aku tidak berjodoh bertemu lagi dengannya."
Mengungkit kembali soal Thiat Tiong-tong, semua anggota perguruan Tay ki bun kembali tercekam dalam kepedihan mendalam.
"Thiat Tiong-tong?" seru Lui-pian Lojin, "aku rasa dia pasti seorang Enghiong."
"Betul," sahut Un Tay-tay, "darimana kau orangtua tahu tentang dirinya?"
"Biarpun Lohu tidak tahu tentang dia, namun kalau dia bukan seorang Enghiong, mana mungkin musuhnya pun memuji kehebatannya? Dimanakah dia sekarang?"
Dengan sedih Un Tay-tay berdiam diri, sementara anggota perguruan Tay ki bun yang lain tertunduk lesu.
"Jangan-jangan dia sudah mati?" agak berubah wajah Lui-pian Lojin.
"Betul!" dengan sedih Im Gi manggut-manggut, kemudian menghela napas panjang.
Lui-pian Lojin segera menghentakkan kaki berulang kali, kembali dia berpaling ke arah Seng Cun-hau dan bentaknya gusar:
"Heran, kenapa para jago muda yang ada dalam dunia persilatan saat ini tidak berumur panjang? Sebaliknya kawanan manusia kurcaci yang tidak tahu malu justru dibiarkan hidup sampai tua...."
Kelihatannya dia sangat emosi, dadanya naik turun tidak beraturan, untuk sesaat hanya terdengar suara napas yang berat dan memburu dari orangtua itu.
"Aaah, tidak benar!" mendadak terdengar Liu Ji-uh berseru tertahan.
"Apanya yang tidak benar?" tanya Lui-pian lojin dengan kening berkerut.
Sambil memandang ke arah Seng Cun-hau, kembali Liu Ji-uh berkata:
"Bila bibi Seng berniat mencelakai Lui-locianpwe, semestinya racun yang dia campurkan ke dalam arak adalah racun yang paling ganas....."
"Seharusnya begitu," kata Lui-pian Lojin sambil tertawa seram:
"kalau racunnya tidak keras, mana mungkin dia bisa mencelakai aku?"
"Kalau begitu, sepantasnya racun itu sudah mulai bekerja begitu Seng-toako meneguk arak beracun dari buli-buli," tukas Liu Ji-uh lagi, "tapi kenyataan hingga sekarang Seng-toako masih dalam keadaan baik-baik."
Semua orang segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Seng Cun-hau, betul saja, paras mukanya masih nampak merah bersinar, sorot matanya berkilat tajam, sama sekali tidak nampak gejala keracunan.
"Kalau begitu arak itu tidak beracun?" tanya Lui-pian Lojin dengan wajah berubah, sinar matanya segera beralih ke wajah Un Tay-tay.
"Tapi... tapi...." Un Tay-tay sendiri pun merasa terkejut bercampur heran.
"Hmm! Apa lagi yang bisa kau ucapkan?" tukas Lui-pian Lojin gusar, "Sana, segera menyingkir ke samping. Kalau lain kali kau berani bicara sembarangan lagi, Lohu pasti akan memberi pelajaran kepadamu!"
Sikapnya terhadap Un Tay-tay memang sama sekali berbeda... andaikata orang lain yang berbuat begitu, sekalipun dia adalah putranya, mungkin saat ini dia sudah turun tangan memberi pelajaran, tidak mungkin menunggu sampai lain kali.
Sekalipun begitu, kejadian itu cukup membuat Un Tay-tay merasa sesak napas dan serba salah.
Seng Cun-hau menghembuskan napas lega, kini dia menghampiri ibunya dan memayangnya bangun, begitu juga dengan Pek Seng-bu, dia tidak bersembunyi lagi di sudut gua dan segera membangunkan Hek Seng-thian.
Suasana yang semula tegang pun berangsur mengendor kembali, Lui-pian Lojin sekali lagi mengambil buli-buli berisi araknya, tapi sebelum diteguk, kembali dia mengawasi Seng Cun-hau beberapa kejap, agaknya dia ingin memastikan apakah lelaki itu keracunan atau tidak.
Setelah yakin aman, Lui-pian Lojin baru meneguk arak dalam buli-buli itu, kemudian dia sodorkan buli-buli tadi ke hadapan Im Gi dan bertanya sambil tertawa:
"Bagaimana?"
Im Gi tidak menjawab, disambutnya buli-buli itu, kemudian meneguknya, kemudian dia melirik sekejap ke arah Im Kiu-siau.
Sambil tertawa Im Kiu-siau menyambutnya dan ikut meneguk pula.
Un Tay-tay sendiri meski tidak percaya arak itu tidak beracun, namun setelah menyaksikan paras muka Seng Cun-hau, mau tidak mau dia lurus mempercayainya juga, kendatipun hati kecilnya sangat gelisah, namun dia tidak berani banyak bicara lagi.
"Ananda juga ingin meneguk arak itu," ujar Lui Siau-tiau sambil tertawa.
Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kepandaianku yang lain enggan dipelajari, kemampuan minum arakku justru sudah kau pelajari dengan sempurna, baiklah, si rakus cilik, kau boleh minum satu tegukan," katanya.
Sambil tersenyum Lui Siau-tiau menerima buli-buli itu dan meneguknya, kemudian secara diam-diam dia sodorkan buli-buli itu ke hadapan Liong Kian-sik, maka Liong Kian-sik pun ikut minum satu tegukan.
Jago persilatan mana yang tidak suka arak? Melihat orang lain meneguknya dengan nikmat, siapa pun tidak tahan untuk ikut minum, menanti Liong Kian-sik selesai meneguknya, isi arak dalam buli-buli itu sudah tidak tersisa lagi.
"Waah, gede amat mulut orang ini," teriak Lui-pian Lojin sambil tertawa, "hanya sayang...."
"Celaka!!" mendadak terdengar Liu Ji-uh berteriak lagi.
"Apa yang terjadi?" tegur Lui-pian Lojin dengan kening berkerut.
"Kenapa Che... Che sam-ko berubah jadi begini?" seru Liu Ji-uh dengan wajah memucat.
Kembali sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Che Toa-ho.
Waktu itu Che Toa-ho sudah tidak sanggup berdiri tegak lagi, dia berdiri sambil bersandar di dinding batu, mukanya yang kurus kering kini sudah berubah hitam pekat, sinar matanya sama sekali tidak bercahaya lagi.
Semua yang hadir boleh dibilang merupa¬kan jago persilatan yang sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, sekilas pandang saja semua orang tahu apa yang terjadi.
Paras muka Seng Cun-hau maupun Liong Kian-sik seketika berubah hebat.
"Apakah dia... dia keracunan?" tanya Liu Ji-uh tergagap.
"Tidak disangkal lagi, dia pasti keracunan!" sahut Lui Siau-tiau dengan suara berat.
"Tapi... tapi apa yang telah terjadi? Yang minum arak beracun tidak keracunan, yang tidak minum justru keracunan, darimana datangnya racun itu?"
Lui-pian Lojin termenung sambil berpikir sebentar, kemudian tanyanya:
"Apakah sepanjang perjalanan, kalian berdua telah menjumpai sesuatu? Kenapa Suto Siau dan Sun Siau-kiau sekalian hingga kini belum sampai di sini?"
"Sewaktu dalam perjalanan tadi, Tecu sekalian memang telah berjumpa dengan satu kejadian aneh," sahut Seng Cun-hau cepat, "gara-gara terhadang peristiwa yang barusan terjadi, hampir saja Tecu lupa melaporkan."
"Kalau begitu cepat katakan."
"Biasanya Tecu selalu menempuh perjalan¬an bersama Siau-kiau sekalian, berhubung kali ini Tecu dan Toa-ho ada urusan lain, maka kami minta Siau-kiau melakukan perjalanan bersama dua bersaudara Gi...."
"Siapa pula dua bersaudara Gi itu?" bentak Lui-pian Lojin.
"Mereka adalah saudara satu persekutuan dengan Tecu, mereka datang terlambat karena ada urusan lain...."
"Hmm!" Lui-pian Lojin mendengus, "lanjutkan!"
"Tecu bisa datang lebih cepat karena sebelumnya sudah mengantar Cianpwe datang kemari lebih dulu, sedangkan Siau-kiau sekalian harus mengikuti petunjuk rahasia yang ditinggalkan, itulah sebabnya Tecu bisa sampai di sini lebih dulu."
Mendengar sampai di situ, satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, pikirnya, "Tak heran Suto Siau dan Sun Siau-kiau sekalian belum sampai di sini, mereka tidak tahu kalau petunjuk jalan sudah kukacaukan, biar ditunggu sehari semalam lagi pun belum tentu mereka dapat menemukan lorong rahasia ini"
Biarpun dalam hati merasa geli, tentu saja dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar Seng Cun-hau berkata lebih lanjut:
"Sewaktu Tecu dan Toa-ho berjalan separoh jalan, tiba-tiba dari sisi jalan di balik hutan melompat keluar seorang Thauwto berbaju merah, tanpa sebab dia langsung menghadang jalan pergi kami...."
"Seorang Thauwto berbaju merah?" berubah paras muka Lui-pian Lojin, "apakah kungfunya sangat hebat?"
"Kehebatan ilmu silat yang dimiliki orang ini sungguh menggidikkan hati, biarpun Tecu dan Toa-ho sudah beberapa kali berganti gerakan tubuh, usaha kami untuk berkelit darinya selalu gagal, terpaksa kami pun menegur, mengapa dia menghadang jalan pergi kami?"
"Benar, apa alasannya menghadang jalan pergi kalian?"seru Liu Ji-uh pula.
"Thauwto berbaju merah itu hanya mengucapkan sepatah kata, "Ikuti aku!" dengan perasaan apa boleh buat Tecu berdua pun mengintil di belakangnya, setiba di dalam hutan, kami menemukan lagi kejadian lain yang lebih mencengangkan!"
Kelihatannya apa yang terlihat waktu itu memang satu kejadian yang mencengangkan, sebab ketika bercerita sampai di situ, paras mukanya kembali berubah.
Tidak tahan Lui Siau-tiau serta Liong Kian-sik bertanya hampir bersamaan:
"Kejadian aneh apa?"
Seng Cun-hau menghembuskan napas panjang, katanya:
"Kejadian itu adalah...."
Ternyata sewaktu Seng Cun-hau dan Che Toa-ho masuk ke dalam hutan, mereka lihat ada seseorang tergantung di atas dahan pohon, orang itu berkulit hitam bagai baja dan mengenakan celana pendek.
Di bawah pohon itu berdiri seorang gadis dengan rambut awut-awutan dan wajah penuh air mata, dilihat lagaknya, dia mirip seorang gadis yang tidak waras otaknya, dengan sebatang rotan tidak hentinya dia melecuti tubuh orang yang tergantung di atas pohon.
Yang aneh, setiap kali dia melecuti tubuh orang itu, air matanya kembali bercucuran, jelas hatinya amat sedih dan tersiksa, namun pecutnya masih tidak hentinya dicambukkan ke tubuh orang itu, bahkan caranya memukul pun tanpa belas kasihan.
Yang lebih aneh lagi, orang yang tergantung di atas pohon itu meski tubuhnya sudah kaku dan matanya terbelalak lebar, namun setiap kali rotan itu mencambuk tubuhnya, dia sama sekali tidak terlihat kesakitan atau menderita.
Biarpun Seng Cun-hau dan Che Toa-ho udah lama berkelana dalam dunia persilatan, tidak urung mereka dibuat tertegun juga setelah menyaksikan kejadian ini, untuk sesaat mereka hanya bisa saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Lewat beberapa saat kemudian, akhirnya Seng Cun-hau bertanya:
"Thaysu, apakah kau ada petunjuk? Sebenarnya karena persoalan apa kau membawa kami kemari? Maaf, Cayhe berdua masih ada urusan lain, kami harus segera pergi dari sini."
"Kalau ingin pergi dari sini gampang sekali, setiap saat aku bisa membebaskan kalian, cuma kalian berdua harus menyanggupi dulu satu permintaanku."
"Soal apa? Asal...."
"Persoalan ini sama sekali tidak merugikan kalian berdua," tukas Thauwto berbaju merah itu.
"Kalau memang begitu, silakan Thaysu memberi petunjuk."
"Asal kalian berdua mau menggunakan seluruh tenaga dalam yang kalian miliki dan menghantam dengan keras tubuh orang yang tergantung di atas pohon itu, setiap saat kalian boleh pergi."
Permintaan ini jauh di luar dugaan Seng Cun-hau serta Che Toa-ho, kedua orang itu malah melongo.
Sesaat kemudian kembali Seng Cun-hau berkata:
"Cayhe tidak punya dendam sakit hati dengan orang ini, mana tega aku melukainya? Lagipula dia sudah Thaysu tangkap, kenapa bukan Thaysu sendiri yang turun tangan?"
"Kau tahu apa hubunganku dengannya?"
"Tentu saja musuh besarnya."
"Keliru, dia adalah satu-satunya muridku."
Sekali lagi Seng Cun-hau tertegun, tanyanya keheranan:
"Apakah dia telah melanggar peraturan perguruan? Kalau memang begitu, seharusnya Thaysulah yang melaksanakan hukuman itu, kenapa mesti Cayhe yang turun tangan?"
Bukan menjawab, Thauwto berbaju merah itu malah balik bertanya:
"Tahukah kau, siapa gadis yang sedang melecutinya sekarang?"
Senyuman misterius yang selalu tersung¬ging di ujung bibirnya kini nampak semakin kentara dan jelas.
"Kalau soal ini... Cayhe semakin tidak bisa menebak."
"Gadis itu adalah putrinya," ujar Thauwto berbaju merah itu.
Tidak terlukiskan rasa terperanjat Seng Cun-hau serta Che Toa-ho, mereka berdua sampai berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan
Sambil tersenyum, kembali Thauwto berbaju merah itu berkata:
"Dari sini bisa dibuktikan permintaanku kepada kalian bukan muncul atas niat jahat, apa lagi yang kalian pertimbangkan? Ayo, cepatlah turun tangan."
Che Toa-ho tertegun beberapa saat, gumamnya:
"Kalau sampai putrinya pun menghajar dia, kenapa tidak kita lakukan?"
Betul saja, dia segera meluncur maju ke depan dan langsung melepaskan sebuah pukulan dengan sepenuh tenaga.
Dia bukanlah seorang jagoan tanpa nama, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan luar biasanya serangan itu. Meski badan orang itu terlempar karena tenaga getaran, ternyata dia sama sekali tidak menunjukkan kesakitan.
Menyaksikan keadaan itu, otomatis Seng Cun-hau tidak bisa menghindar lagi, terpaksa dia pun melepaskan sebuah pukulan.
Ketika Seng Cun-hau bercerita sampai di sini, paras muka semua orang berubah hebat... bagaimanapun peristiwa ini penuh mengandung keanehan, kecurigaan dan kemisteriusan yang membuat orang susah untuk menduga.
Terdengar Seng Cun-hau menghela napas panjang, kembali ujarnya:
"Setelah Tecu melepaskan sebuah pukulan, betul saja, Thauwto berbaju merah itu benar-benar melepaskan Tecu berdua, tapi... tapi sampai sekarang pun Tecu belum bisa menduga apa maksud dan tujuannya berbuat begitu?"
Dengan kening berkerut Lui-pian Lojin termenung sambil berpikir, kalau dia saja tidak inggup menjawab, tentu saja orang lain semakin tidak sanggup menjawab persoalan itu.
Dalam pada itu Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian telah mendusin dari pingsannya, mereka berdua hanya duduk tertegun, tertegun karena kaget bercampur takut.
Di bawah cahaya api, tampak peluh sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, bibirnya gemetar seperti ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak berani bicara.
Melirik sekejap wajah perempuan itu, Lui-pian Lojin segera menegur:
"Apa yang ingin kau katakan?"
Un Tay-tay menarik napas dingin, gumamnya:
"Tubuh Dewa racun."
Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin, cepat dia menarik ujung bajunya sambil membentak nyaring:
"Apa kau bilang? Coba ulangi sekali lagi."
"Tubuh Dewa racun!" sepatah demi sepatah Un Tay-tay berucap.
Mendadak sekujur badan Lui-pian Lojin gemetar keras, perlahan dia mengendorkan tangannya, lalu mundur sejauh tiga langkah, sepasang matanya melotot, rambutnya bergetar seperti dihembus angin, gumamnya:
"Tubuh Dewa racun... betul, tubuh Dewa racun, seharusnya sudah terpikir olehku sejak tadi."
Tiba-tiba dia membalikkan badannya menghadap ke arah Seng Cun-hau, lanjutnya:
"Apakah Thauwto berbaju merah itu berperawakan tinggi dengan kepala yang amat besar, selain kepalanya bahkan sepasang alis mata pun berwarna merah darah?"
"Betul, tapi... darimana Cianpwe tahu?" tanya Seng Cun-hau keheranan.
"Lohu kenal orang ini."
"Siapakah dia?"
"Dia adalah rasul dari selaksa racun, Siang-lok Thaysu."
Beberapa patah kata itu begitu diucapkan, setiap patah kata seolah mempunyai berat ribuan kati, membuat semua orang merasa tertindih, sesak napas, mukanya mengejang dan tidak sanggup htrkata-kata.
Mendadak Lui-pian Lojin menghentakkan kaki ke atas tanah, serunya:
"Lohu tidak tahu sejak kapan "tubuh Dewa Racun" berhasil terbentuk, tapi kalau memang "tubuh Dewa racun" sudah terbentuk, ini bahaya jadinya, aku ... aku pun tidak tahu bagaimana baiknya?"
Ketika semua orang menyaksikan Lui-pian lojn yang terhitung seorang jagoan ampuh dan tidak pernah takut terhadap masalah apapun kini menunjukkan perasaan ngeri dan kaget yang luar biasa setelah mendengar tentang "tubuh Dewa Racun", tidak urung semua orang pun ikut terkesiap dan merasa ngeri.
"Sebenarnya apa yang disebut "tubuh Dewa Racun?" tidak tahan Seng Cun-hau bertanya.
Lui-pian Lojin memandang sekeliling tempat itu sekejap, kemudian sahutnya dengan suara dalam:
"Tubuh Dewa racun merupakan dewa dari segala racun, kedahsyatan racun yang terkandung tiada taranya, barang siapa tersentuh oleh tubuhnya, maka tanpa sadar dia akan keracunan hebat, sebab racun itu tanpa wujud, tanpa bentuk maupun tanpa rasa."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Liu Ji-uh menjerit kaget, menjerit sekeras-kerasnya. Ternyata tubuh Liong Kian-sik secara mendadak mengejang keras, kemudian roboh terjungkal ke tanah.
Dengan satu gerakan cepat Lui-pian Lojin melompat ke depan, lalu bagaikan sambaran petir secara beruntun dia totok delapan belas jalan darah penting di nadi sebelah kiri Lui Siau-tiau dan Liong Kian-sik.
Im Gi dan Im Kiu-siau ikut menjatuhkan diri bersila, raut muka mereka mengejang kencang.
Dengan kecepatan luar biasa Lui-pian Lojin melayang di hadapan kedua orang itu, kembali tangan kiri dan kanannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia telah menotok pula jalan darah penting di tubuh mereka berdua.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu singkat, seketika suasana dalam ruang gua itu kacau-balau, Pek Seng-bu, Hek Seng-thian maupun Seng Toa-nio serentak melompat bangun dan berdiri saling berdempetan.
Che Toa-ho dengan buih meleleh dari mulutnya sudah berada dalam keadaan tidak sadar semenjak tadi, sementara Thiat Cing-su dan Im Ting-ting berdiri dengan air mata berlinang.
Lama sekali Lui-pian Lojin berdiri mematung, akhirnya dia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, dengan sorot mata berapi-api penuh amarah, ditatapnya wajah Seng Toa-nio sekalian tanpa berkedip.
"Arak itu beracun...." gumam Un Tay-tay dengan suara gemetar, "ternyata dalam arak itu benar-benar beracun."
"Kalau... kalau arak itu beracun, kenapa aku tidak keracunan?" tanya Seng Cun-hau.
"Aku sendiri pun kurang jelas, mungkin saja karena dalam tubuhmu sudah terdapat racun dari "tubuh Dewa racun", maka sehabis meneguk arak beracun itu terjadi bentrok antara racun yang itu dengan racun yang lain, akibatnya semua racun tidak bisa bekerja lagi. Gara-gara bencana, kau malah mendapat keberuntungan, hanya sayang....."
Dia memandang sekejap ke arah Lui-pian lojin ayah beranak serta dua bersaudara Im, kemudian dengan sedih menutup mulutnya kembali.
Seng Cun-hau berdiri termangu, rasa sedih dan duka yang mendalam menghiasi wajahnya, gumamnya:
"Kalau begitu, justru akulah yang telah mencelakai mereka."
Sementara itu terdengar suara isak tangis Liu Ji-uh yang amat memilukan hati bergema memecah keheningan, perempuan itu hanya meratapi Liong Kian-sik tanpa mempedulikan yang lain.
Menyaksikan Lui Siau-tiau, Im Gi serta Im Kiu-siau yang duduk kaku bagaikan patung, kontan saja dia merasa amat sedih, dengan perasaan hancur-lebur, teriaknya:
"Aku pantas mati! Aku pantas mati!"
Ketika selesai mengucapkan perkataan yang terakhir, darah segar menyembur keluar dari mulutnya, seketika lelaki itu roboh terkapar ke tanah dan tidak sadarkan diri.
Diam-diam Un Tay-tay mencoba untuk melakukan analisa, dalam liang gua saat itu tinggal tujuh orang yang belum keracunan, mereka adalah Seng Toa-nio, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Liu Ji-uh serta dirinya.
Dari ketujuh orang itu, tiga di antaranya merupakan musuh besar yang cukup tangguh, berdasarkan analisa yang dia buat, dengan kepandaian silat yang dimiliki keempat orang yang ada sekarang, betapapun hebatnya kungfu yang dimilikinya, rasanya masih bukan tandingan lawan.
Apalagi posisi Liu Ji-uh masih tanda tanya besar, apakah dia musuh atau sahabat? Sampai sekarang dia tidak tahu.
Sedangkan Im Ting-ting serta Thiat Cing-su masih berada dalam kondisi sedih dan terpukul batinnya, kesadaran mereka jelas terganggu, hal ini akan menyebabkan kehebatan ilmu silat mereka pun melemah.
Menyadari situasi yang sangat tidak menguntungkan, perasaan bergidik seketika menyelimuti hatinya, kini dia hanya bisa berdoa, berharap Lui-pian Lojin dapat mengendalikan racun yang bersarang dalam tubuhnya dan tidak ikut roboh.
Benar saja, Lui-pian Lojin berhasil memper¬tahankan diri, dia tidak sampai roboh terjungkal.
Waktu itu Seng Toa-nio, Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu sudah merasa kegirangan setengah mati, sedemikian girangnya hingga sulit untuk melukiskan perasaan mereka.
Semula mereka berharap hanya Lui-pian Lojin seorang yang roboh keracunan, seorang pun sudah membuat meraka amat puas, siapa tahu kenyataan bicara lain, bukan saja orang tua itu berhasil mereka racuni, bahkan dua bersaudara Im yang merupakan musuh bebuyutan pun ikut keracunan.
Sudah lama mereka berupaya melenyapkan musuh bebuyutannya itu dari muka bumi, tapi usahanya tidak pernah berhasil, sebaliknya setiap tahun mereka harus menghadapi sergapan mematikan dari sisa kekuatan perguruan Tay ki bun.
Maka begitu rancangan mereka membuahkan hasil yang di luar dugaan, bisa dibayangkan betapa girangnya orang-orang itu, nyaris mereka bertiga tertawa terbahak-bahak saking gembiranya.
Tapi begitu mereka bertiga menyaksikan tubuh Lui-pian Lojin yang masih berdiri tegar, perasaan girang yang berkecamuk dalam benak mereka seketika lenyap tidak berbekas.
Sebetulnya sejak tadi mereka bertiga sudah siap menerkam ke depan, namun berhubung Lui-pian Lojin masih berdiri tegar, maka mereka jadi ragu untuk melancarkan serangan, bagi mereka bertiga, pengorbanan sebesar apapun tetap akan mereka bayar asalkan Lui-pian Lojin roboh terjungkal.
Kenyataan bukan saja Lui-pian Lojin tidak loboh, sebaliknya selangkah demi selangkah justru berjalan menghampiri mereka.
Perasaan bergidik bercampur ngeri seketika berkecamuk dalam benak Seng Toa-nio bertiga, tanpa sadar mereka mundur terus berulang kali, mundur hingga punggung mereka menempel di dinding batu yang dingin
"Benarkah kalian yang meracuni arakku? Katakan! Racun apa yang kalian gunakan?" hardik Lui-pian Lojin dengan mata berapi-api.
Seng Toa-nio tertawa terkekeh. "Racun apa? Aduh mak, aku sudah lupa jengeknya.
Walaupun dia ingin sekali memperdengar¬kan suara gelak tertawa penuh kebanggaan, namun di bawah ancaman serius Lui-pian Lojin, dia betul-betul tidak mampu tertawa, yang muncul justru suara aneh mirip suara katak yang sedang meraung.
Tapi berada dalam situasi dan keadaan seperti ini, suara semacam itu justru terdengar sangat menyeramkan, suara yang membuat bulu roma berdiri.
Lui-pian Lojin mengepal tinjunya semakin kencang, kembali hardiknya:
"Mau bicara tidak?"
Suara bentakan yang menggelegar bagai bunyi geledek itu kini terdengar agak sumbang, hal ini menunjukkan bahwa meski dia berhasil mengendalikan bekerjanya racun dengan meng¬andalkan tenaga dalam hasil latihannya selama puluhan tahun, namun racun jahat itu sudah mulai merasuk ke dalam isi perutnya.
Akibat susupan racun jahat, tubuhnya yang kekar bagai terbuat dari baja dan kekuatannya yang dahsyat bagai guntur membelah bumi itu mulai terkikis oleh pengaruh racun yang tidak berwujud itu dan mulai melemah.
Nyali Seng Toa-nio bertambah besar, ejeknya:
"Kalau aku tidak bicara, kau mau apa?"
"Kalau tidak mau bicara, kucabut nyawa¬mu!"
"Memangnya setelah aku katakan, kau akan membebaskan diriku begitu saja? Hehehe, omongan yang cuma bisa membohongi anak kecil pun ingin kau gunakan untuk membohongi aku?"
Un Tay-tay tahu, bila Lui-pian Lojin dapat segera mengetahui sifat racun yang mengeram dalam tubuhnya, kemungkinan besar dia akan segera menemukan obat penawarnya, bila ditunda lebih lama lagi, apabila racun sudah menyerang makin ke dalam, sulit baginya untuk menyelamat¬kan jiwa.
Sayang perempun ini hanya bisa panik, dia sendiri pun tidak berdaya menghadapi situasi seperti ini.
Sambil menyeringai licik, kembali Seng Toa-nio berkata:
"Apalagi saat ini kau sedang menggunakan seluruh kekuatanmu untuk mendesak keluar racun yang mengeram di dalam tubuh, mana mungkin memiliki sisa kekuatan untuk menyerangku? Hmmm, padahal kau tahu dengan jelas, bila berani menggunakan hawa murnimu secara sembarangan, kau segera akan mati keracunan."
"Sekalipun harus mengalami nasib tragis, akan kugunakan sisa kekuatan yang Lohu miliki untuk menggempur kalian bertiga hingga hancur lebur! Kalau tidak percaya, ayo, segera majulah untuk mencoba."
Seng Toa-nio tertawa tergelak.
"Hahaha, kalau aku bertiga turun tangan bersama, memangnya kau berani menyerang? Hehehe, lagi pula buat apa kami mesti bersusah payah menggempurmu? Bukankah lebih enak menunggu kau mati keracunan sebelum turun tangan?"
Perkataannya ini memang merupakan titik kelemahan yang dimiliki setiap manusia... siapa pun, sebelum tiba pada saat yang paling kritis, mereka tidak akan melepaskan setiap harapan yang ada untuk mempertahankan hidup.
Paras muka Lui-pian Lojin sebentar berubah merah sebentar berubah hijau, sepasang kepalannya yang menggenggam kencang terlihat gemetar saking emosi, tapi dia tidak berani turun tangan secara gegabah. Saat ini keselamatan jiwanya sudah menyangkut keselamatan banyak orang, jika dia sampai tertimpa sesuatu, dapat dipastikan nyawa orang lain pun akan turut melayang.
Mendadak Liu Ji-uh menjatuhkan diri berlutut, pintanya dengan gemetar:
"Seng Toa-nio, aku mohon kepadamu, katakanlah racun apa yang telah kau gunakan, kami suami istri tidak ada dendam sakit hati denganmu, kenapa... kenapa kau harus mencabut nyawanya?"
Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"Waaah... waaah... waaaah... Lan hong kiam khek yang selalu tampil angkuh pun hari ini memohon kepada orang lain? Bila tahu bakal ada kejadian begini, kenapa sejak dulu kau tidak bersikap lebih sopan kepadaku?"
Liu Ji-uh menggigit bibirnya kencang-kencang, sekuat tenaga dia berusaha menahan penghinaan, rasa sedih dan gusar yang berkecamuk... sebetulnya perbuatan semacam ini tidak nanti akan dia lakukan, tapi hari ini, demi orang yang dicintainya, dia tidak segan untuk mengorbankan segalanya.
Dengan kepala tertunduk, kembali ujarnya gemetar:
"Bagaimanapun kumohon kau orang tua bersedia menyelamatkan jiwanya, selama... selama hidup aku tidak akan melupakan budi kebaikan¬mu."
Seng Toa-nio menatapnya sekejap, tiba-tiba dia tertawa seram, dari balik matanya terpancar sinar kebencian, kedengkian dan rasa iri yang mendekati kalap.
"Woow, sepasang suami istri yang begitu mesra," ejeknya sambil menyeringai seram, "demi dia, kau benar-benar rela mengorbankan segala¬nya? Kau benar-benar mencintainya dengan sepenuh hati?"
"Asal dia bisa hidup, aku... aku rela mati!" dengan kepala tertunduk dan air berlinang Liu Ji-uh menyahut.
Biarpun hanya sepatah kata yang sederhana, namun terkandung rasa cinta yang tidak terkirakan
Cinta kasih yang begitu dalam, begitu mesra dan kuat, sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan hati manusia sekeras baja sekalipun.
Tapi sorot mata kedengkian yang mencorong keluar dari balik mata Seng Toa-nio justru nampak bertambah mengental, mimik mukanya semakin mendekati gila, berteriak sambil menye-ringai seram:
"Sebetulnya aku berniat menolongnya, tapi setelah menyaksikan cinta kasih kalian berdua yang begitu mendalam, aku justru tidak ingin menolongnya... aku... aku akan berdiri di sisi kalian dan menikmati penderitaan yang dia alami, akan kusaksikan dengan perlahan bagaimana dia mati karena tersiksa dan menderita."
"Ke... kenapa kau harus berbuat begitu?" keluh Liu Ji-uh sedih.
Seng Toa-nio mengalihkan sorot matanya yang penuh kebencian ke tempat jauh, lama kemudian dia baru menjawab:
"Karena selama hidup aku paling benci menyaksikan suami istri yang bisa hidup bahagia, bisa hidup saling mencintai macam kalian, aku... aku benci, kenapa suami istri yang lain bisa hidup saling mencintai, bisa hidup penuh kebahagiaan sementara kehidupan suami istri dalam keluarga Heng justru amburadul dan berantakan tidak keruan, aku... aku benci dan menyesal kenapa tidak mampu memporak-porandakan kehidupan suami istri di dunia ini yang hidup saling mencintai."
Liu Ji-uh gemetar keras, ucapan itu sangat memukul perasaan hatinya, diiringi jeritan tertahan dia roboh terjungkal.
Dengan geram Lui-pian Lojin segera mengumpat:
"Kau... dasar perempuan busuk berhati keji, sekalipun Thian telah mengganjar kau putus keturunan, rasanya masih belum cukup untuk menebus semua dosa dan kejahatan yang pernah kau lakukan."
Seng Toa-nio semakin naik pitam, jeritnya:
"Betul, aku keluarga Seng memang putus keturunan! Tapi bagaimana dengan keluarga Lui kalian? Toh kau pun bakal putus keturunan... hahaha... kalian ayah beranak sudah terkena Coat cing hoa tok (racun bunga pemutus cinta), memangnya masih ingin hidup terus?"
"Coat cing hoa?" jerit Lui-pian Lojin terkesiap.
Terdorong oleh rasa sakit, sedih dan emosi yang meluap, secara tidak sengaja Seng Toa-nio telah menyebutkan nama racun yang digunakan, kini mau mungkir pun sudah terlambat, maka sahutnya keras:
"Betul! Aku memang menggunakan racun Coat cing hoa! Bunga pemutus cinta milik tokoh sakti yang disebut orang sebagai Bong tiong Siancu (dewi dalam impian), kau tentu pernah dengar nama ini bukan? Kau pun tahu bukan racun dari bunga ini tak ada penawarnya?"
Dia kuatir Lui-pian Lojin dalam keputus-asaannya tiba-tiba melancarkan serangan memati¬kan kepadanya, maka secara diam-diam dia himpun tenaga dalamnya dan bersiap sedia.
Siapa tahu pukulan itu memang kelewat berat, bahkan Lui-pian Lojin sendiri pun tidak sanggup menerima kenyataan itu... tidak tahan lagi dia jatuh terduduk ke tanah, untuk sesaat diahanya bisa duduk termangu.
Un Tay-tay pun tidak kalah kagetnya, kini pihaknya boleh dibilang sudah menderita kekalahan lotal, tidak seorang pun di kolong langit yang sanggup menyelamatkan mereka.
Lui-pian Lojin yang nama besarnya meng¬getarkan sungai telaga, kini keselamatan jiwanya sudah di ujung tanduk, sementara tujuh jago pedang pelangi yang tersohor pun sudah tercerai-berai. Tapi yang paling memedihkan hati adalah para tokoh Thiat hiat tay ki bun yang selama ini berusaha menghindar dari kepunahan, kini justru sudah dihadapkan pada pilihan yang paling tragis.
Siapa pernah menduga, racun arak dalam ebuah buli-buli kecil ternyata memiliki kekuatan penghancur yang demikian dahsyatnya, siapa pula yang pernah menduga seorang tokoh maha sakti dunia persilatan, harus kehilangan nyawa di tangan manusia kurcaci, Siaujin tidak tahu malu macam Seng Toa-nio, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu... kalau dibilang inilah kemauan takdir, maka kemauan takdir ini betul-betul keji dan sangat tiagis.
Dengan perasaan hampa Lui-pian Lojin bergumam:
"Racun bunga pemutus cinta merupakan benda paling beracun di alam semesta, racun tubuh Dewa racun justru merupakan racun paling jahat ciptaan manusia... yang satu merupakan benda paling beracun di alam semesta, sedang yang lain merupakan benda paling beracun ciptaan manusia, bila dua jenis racun saling bertemu, hanya racun Coat cing hoa yang bisa mengatasi Tok-sin, dan hanya Tok-sin yang bisa mengendalikan racun Coat cing hoa... tapi... tapi... kenapa semuanya bisa terjadi begitu kebetulan? Kenapa keduanya bisa muncul bersamaan?"
"Hahaha ...." Seng Toa-nio tertawa seram, "kalau bukan sangat kebetulan, mana mungkin aku bisa mencelakaimu?"
Mendadak Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan bertanya:
"Coat cing hoa disebut juga dewi dalam impian, ini disebabkan bunga itu tumbuh di suatu tempat yang sulit ditemukan, darimana kau memperoleh benda beracun ini?"
Seng Toa-nio kembali tertawa terkekeh.
"Hahaha, dewi dalam impian! Sebuah nama yang tepat sekali, ketika kau berniat berjumpa dewi dalam impian, kau justru tidak pernah bermimpi, sebaliknya ketika kau tidak berhasrat menjumpainya, sang dewi justru muncul dalam impianmu... Coat cing hoa, sesuai dengan nama dewi dalam impian, tentu saja begitu pula kenyataan."
"Tapi kami harus berterima kasih kepadamu," kata Hek Seng-thian pula, "kalau bukan gara-gara kau, tidak mungkin bisa kami peroleh bunga langka itu."
"Berterima kasih kepadaku?"
"Betul, harus berterima kasih kepadamu, kalau bukan gara-gara kau memaksa kami melakukan pemeriksaan di sekeliling sini, mustahil kami bisa tiba di tanah berawa-rawa yang begitu rahasia letaknya, apa mau dikata, ternyata Coat cing hoa yang diimpikan setiap orang itu justru tumbuh di tengah tanah berawa-rawa itu."
"Tanah berawa-rawa?" seru Un Tay-tay tertahan, satu ingatan segera melintas dalam benaknya.
Dia segera teringat kembali tanah berawa dimana dia kebumikan Sui Leng-kong di tengah tumpukan bunga, dia pun teringat bunga-bunga bercahaya aneh yang tumbuh memenuhi tanah berawa itu.
Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian mem¬bentak gusar:
"Buat apa banyak bicara lagi dengannya? Biar kucabut nyawanya, agar semua Enghiong di kolong langit tahu Lui-pian Lojin tewas di tangan siapa."
Belum selesai bicara, dia sudah melolos pedang yang tersoreng di pinggang Seng Cun-hau dan menerkam ke depan, di antara kilatan cahaya pedang bagaikan sambaran petir, dia langsung menusuk tenggorokan Lui-pian Lojin.
Un Tay-tay sadar, biarpun Lui-pian Lojin memiliki kepandaian silat yang amat dahsyat pun sulit rasanya menangkis atau meloloskan diri, di tengah jeritan kaget, dia siap menerkam ke depan untuk membendung serangan itu.
Siapa tahu belum sempat dia bergerak, terdengar Lui-pian Lojin membentak nyaring, tangannya dikebaskan ke depan, di antara alunan ujung bajunya yang melayang bagai segulung awan, dia sudah menyongsong datangnya cahaya pedang itu.
Biarpun hanya selembar ujung baju yang tipis dan ringan, saat itu justru memiliki kekuatan ribuan kati.
Hek Seng-thian merasakan tangannya bergetar keras, dadanya terasa panas sekali, segulung kekuatan yang sukar dibendung telah menumbuk dadanya, menyusul tubuhnya mencelat jauh ke belakang.
Cahaya hijau berkelebat, pedangnya sudah terpental hingga meluncur keluar dari mulut gua.
Berubah hebat paras muka Seng Toa-nio serta Pek Seng-bu.
Tampak Hek Seng-thian berjumpalitan beherapa kali di tengah udara sebelum melayang turun ke bawah, lagi-lagi dia mundur beberapa langkah dengan sempoyongan sebelum akhirnya berdiri tegak dengan menempel dinding.
Paras mukanya saat itu pucat-pias seperti mayat, pedang dalam genggamannya sudah mencelat entah kemana, masih untung ketika melancarkan serangan tadi dia masih menyisihkan jalan mundur bagi dirinya, bagaimanapun dia masih tetap menaruh rasa jeri dan ngeri terhadap Lui-pian Lojin, kalau tidak, mungkin nyawanya saat itu sudah melayang meninggalkan raga.
Dalam keadaan seperti ini, pecah sudah nyali orang itu, jangankan melancarkan serangan, bergerak pun tidak berani lagi.
Ulat berkaki seribu tidak pernah mati kaku... kehebatan Lui-pian Lojin memang sungguh mengagumkan, sekalipun sudah keracunan, namun serangannya masih dahsyat dan mematikan... gempuran ini sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan perasaan setiap orang.
Lui-pian Lojin sendiri pun agak kepayahan sehabis melancarkan gempuran itu, dia berdiri dengan napas terengah-engah.
"Kematian sudah di depan mata, buat apa kau ngotot ingin mengadu nyawa?" ejek Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
"Hmm! Sekalipun hari ini Lohu harus tewas di tempat ini, tidak nanti kubiarkan kalian budak-budak busuk yang tidak tahu malu menyentuh seujung bajuku, selembar rambutku!"
"Hahaha, bagus, bagus sekali," kembali Seng Toa-nio tertawa terkekeh, "kami tidak akan menyentuhmu, akan kubiarkan kau mampus dengan sendirinya, tapi bila kau sudah mampus, kami akan mencincang tubuhmu hingga hancur, akan kucabik-cabik tubuhmu, meludahi wajahmu... hmmmm, bisa apa kau? Memangnya waktu itu kau sanggup menghalangi ulah kami?"
Suara tertawanya begitu menyeramkan, seperti jeritan kuntilanak dari dalam kubur.
Saking gusarnya sepasang gigi Lui-pian Lojin gemerutuk keras, hampir saja dia mempertaruhkan jiwanya untuk melancarkan gempuran terakhir, untung saja niat itu segera diurungkan.
Berkilat sepasang mata Pek Seng-bu, katanya pula sambil tertawa dingin:
"Kalau sudah marah, kenapa tidak segera turun tangan? Apa lagi yang kau tunggu? Memangnya menunggu orang lain datang menyelamatkan dirimu?"
"Sayang letak tempat ini kelewat rahasia," sambung Seng Toa-nio sinis, "tidak mungkin orang lain bisa menemukan tempat ini, sudahlah, tak usah bermimpi lagi, tidak nanti ada orang datang me nolongmu."
"Yang lebih menggelikan lagi adalah tempat ini kau pilih sendiri," Pek Seng-bu menambahkan lagi, "kau anggap dirimu seorang jagoan nomor wahid di kolong langit, tidak tahunya kau justru memilih tempat ini untuk mengubur mayat sendiri."
"Hehehe ... apalagi racun Coat cing hoa memang tidak mungkin dipunahkan oleh siapa pun, tidak seorang pun sanggup menyelamatkan jiwamu lagi, meski ada orang yang muncul sekarang, belum tentu dia mampu menolong dirimu."
Tanya jawab yang dilakukan kedua orang ini dipenuhi sindiran, ejekan serta umpatan, mereka sangka perbuatan itu pasti akan membuat Lui-pian loin semakin emosi, semakin naik darah.
Siapa tahu bukan saja Lui-pian Lojin sama sekali tidak menggubris, dia justru menundukkan kepala sambil memejamkan mata.
Orang tua yang pernah menggetarkan sungai telaga ini memang memiliki kemampuan yang luar biasa, sekalipun nyawanya di ujung tanduk, namun dia masih bersikeras mempertahankan pendiriannya dengan kukuh.
Sebelum mencapai titik darah terakhir, dia tidak akan melepaskan setiap kesempatan untuk mempertahankan hidup, sekalipun dadanya hampir meledak karena terpengaruh emosi, dia tetap mengertak gigi sambil menahan diri.
Un Tay-tay yang mendengar pembicaraan kedua orang itu, justru timbul perasaan menyesal di hati kecilnya.
Dia menyesal kenapa memutar balikkan petunjuk jalan rahasia yang ditinggalkan sepanjang jalan, andaikata dia tidak berbuat begitu, kemungkinan besar Gi Beng, Gi Teng serta Sun Siau-kiau telah menyusul ke situ, kendatipun mereka tidak sanggup memunahkan racun jahat itu, paling tidak dengan kekuatan mereka masih bisa menyelamatkan nyawa Thiat Cing-su serta Im Ting-ting.
Dia sadar, begitu tenaga dalam yang dimiliki Lui-pian Lojin punah terkikis oleh pengaruh racun, tubuhnya segera akan roboh terkapar, dalam keadaan demikian tidak nanti Seng Toa-nio sekalian akan melepaskan Thiat Cing-su dan Im Ting-ting begitu saja.
Padahal robohnya Lui-pian Lojin sudah tinggal menghitung waktu.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa sorot mata Un Tay-tay dialihkan ke wajah Thiat Cing-su serta Im Ting-ting, di balik sorot matanya terpancar perasaan sayang, kasihan serta rasa sesal yang mendalam.
Waktu itu Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sedang berlutut mematung di samping Im Gi serta Im Kiu-siau yang tidak sadarkan diri, wajah mereka basah oleh air mata, wajah mereka pun diliputi perasaan sedih, gusar dan rasa dendam yang mendalam.
Keempat buah mata mereka mengawasi terus wajah Seng Toa-nio dengan sinar berapi-api, sekalipun cahaya api seolah sudah membakar mata mereka berdua, namun sepasang muda-mudi ini masih mampu mengendalikan diri, tidak melakukan tindakan secara gegabah.
Un Tay-tay benar-benar menaruh perasaan sayang terhadap mereka berdua di samping rasa kagum yang luar biasa... biar masih muda, namun mereka sanggup mengendalikan perasaan, satu sikap yang patut dikagumi.
Siksaan, penderitaan, cambukan serta pelatihan yang ber langsung bertahun-tahun telah menciptakan ketegaran yang luar biasa bagi setiap anggota Thiat hiat tay ki bun, membuat mereka sanggup bertahan, sanggup menahan diri.
Oleh sebab itu walaupun usia Thiat Cing-su dan Im Ting-ting masih muda, mereka sudah mempelajari bagaimana mengendalikan diri, bagaimana bersikap tegar, bagaimana harus mempertahankan hidup dan sebelum mencapai kesempatan terakhir tidak akan mengadu nyawa.
Perlahan-lahan Pek Seng-bu mengalihkan sinar matanya menatap kedua orang itu, tiba-tiba ejeknya pula sambil tertawa dingin:
"Apa lagi yang kalian nantikan? Kenapa belum turun tangan juga?"
Sambil tertawa dingin Seng Toa-nio menimpali:
"Orang bilang anggota perguruan Tay ki bun adalah jago berdarah panas berhati baja, ternyata kalian berdua tidak lebih hanya budak lemah yang takut mampus, baiklah, bila kalian takut mati, cepat berlutut dan minta ampun."
"Kalau kalian tidak berlutut minta ampun, aku...."
Belum selesai Pek Seng-bu berbicara, mendadak Thiat Cing-su membentak nyaring:
"Tutup mulut anjingmu!"
"Hahaha, kalau tidak tutup mulut, mau apa kau?" ejek Seng Toa-nio sambil tertawa terkekeh.
Tiba-tiba Thiat Cing-su melompat bangun, jeritnya dengan suara parau:
"Aku... aku...."
"Mau apa?" Seng Toa-nio tertawa dingin, "memangnya kau masih berani turun tangan? Ayo, kemari... cepat kemari... cepat atau lambat toh bakal mampus, apa lagi yang mesti kau takuti?"
Thiat Cing-su menggigit bibir hingga berdarah, dia mengepal sepasang tinjunya kencang kencang.
"Kau... kau sudah lupa nasehat ayah?" bisik Im Ting-ting pedih.
Thiat Cing-su menjerit keras, sekali lagi dia menjatuhkan diri berlutut.
"Lelaki lemah! Manusia yang tidak berguna!" ejek Seng Toa-nio sambil tertawa sinis, "ternyata kau tidak berani, baiklah, bagaimanapun toh kau bakalan mampus, apa salahnya kuberi sedikit kesempatan lagi bagimu untuk hidup?"
Berkilat sepasang mata Pek Seng-bu, mendadak ujarnya sambil tertawa dingin:
"Gampang sekali kalau kita ingin dia segera mati."
Seng Toa-nio melirik Lui-pian Lojin sekejap, bisiknya:
"Tapi... dia... dia...."
Dengan kening berkerut Pek Seng-bu memberi kode dengan gerakan tangan, Un Tay-tay yang melihat gerakan tangan itu segera berpikir,
Aduh celaka! Dia hendak menggunakan senjata rahasia.
Sementara ingatan itu melintas, sambil tertawa Seng Toa-nio telah berkata:
"Betul, memang seharusnya kita berbuat begitu, hampir saja aku lupa!"
Cepat tangannya merogoh ke dalam saku dan mengambil segenggam jarum Thian li ciam yang sangat mematikan.
Kebetulan waktu itu Seng Cun-hau baru sadar dari pingsannya, melihat tindakan yang dilakukan ibunya, cepat dia menggelinding ke depan dan mencengkeram tangan perempuan tua itu sambil teriaknya:
"Tidak boleh, kau tidak boleh berbuat begitu."
"Kenapa tidak boleh," Seng Toa-nio menyeringai seram, "ketika anggota perguruan Tay ki bun ingin membunuh kami, perbuatan apapun sanggup mereka lakukan, kenapa kita tidak boleh? Lepas tangan... cepat lepas tangan!"
Namun mati-matian Seng Cun-hau meng¬genggam tangan ibunya dan tidak mau dilepas, pintanya:
"Aku mohon, aku mohon kau orang tua...."
"Binatang yang tidak berbakti!" umpat Seng Toa-nio penuh amarah, "sudah kupelihara kau dengan susah payah hingga dewasa, sekarang malah membantu orang lain memohon kepadaku, enyah kau dari sini!"
Dengan penuh amarah dia melontarkan sebuah tendangan ke tubuh Seng Cun-hau.
Sambil menggigit bibir menahan rasa sakit, Seng Cun-hau tetap menggengam tangan ibunya dan tidak mau dilepas.
Seng Toa-nio makin gusar, makinya:
"Dasar binatang, anakjadah!"
Sambil memaki kalang kabut, kembali dia melepaskan tendangan berulang kali.
Seng Cun-hau tidak berani berkelit, dia pun tidak berani membalas, darah segar mulai bercucuran membasahi ujung bibirnya, air mukanya berubah semakin pucat, lambat-laun tubuhnya bertambah lemas dan mulai gontai tidak menentu.
Agaknya Pek Seng-bu tidak tega menyaksikan siksaan itu, buru-buru bujuknya sambil tertawa:
"Enso, sudahlah, biar dia lepas tangan, kenapa mesti...."
"Hmm, kalau tidak kubunuh anak jadah ini, percuma dia dibiarkan hidup!" teriak Seng Toa-nio gusar.
Lagi-lagi dia melepaskan dua kali tendangan dan satu pukulan.
Akhirnya Seng Cun-hau tidak kuasa menahan diri lagi, dia mundur sempoyongan hingga ke sudut gua, lalu jatuh terperosok ke bawah.
Menggunakan peluang itu Un Tay-tay menyelinap ke samping Thiat Cing-su dan Im Ting-ting, mereka bertiga mengepal tinjunya kuat-kuat... kini keadaan sudah semakin gawat, situasi sudah berada di ujung tanduk, terpaksa mereka harus bersiap mengadu jiwa.
"Binatang kecil, serahkan nyawamu!" bentak Seng Toa-nio sambil tertawa seram.
Di tengah teriakan keras, telapak tangan-nya diayunkan ke depan...
Mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar, sekilas cahaya tajam tahu-tahu sudah meluncur masuk dari luar gua bagaikan bianglala membelah angkasa:
"Triing!", diiringi dentingan nyaring, sebuah benda sudah terpantek di dinding batu.
Ternyata sebilah pedang telah menembus batu cadas, hal ini membuktikan betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki pelempar pedang itu.
Walaupun saat itu Seng Toa-nio telah mengayunkan tangannya, namun rasa kaget membuat dia seakan lupa melepaskan Thian li ciam, begitu pula dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Seng Cun-hau, Un Tay-tay... hampir semua yang ada dalam gua berdiri terperana.
Malahan Lui-pian Lojin pun membuka kembali sepasang matanya, memandang keluar gua dengan pandangan terperanjat.
Untuk sesaat suasana dalam gua terasa hening, sepi, tidak terdengar sedikit suara pun.
"Siapa di luar?" akhirnya Seng Toa-nio tidak mampu menahan diri dan segera menegur.
Tiada jawaban dari luar gua, di tengah keheningan hanya terdengar suara langkah kaki yang sangat berat bergerak mendekat... makin lama semakin dekat.
Suara langkah kaki tunggal, tapi dalam uasana dan keadaan seperti ini justru memiliki daya pengaruh membetot sukma, membuat hati siapa pun tercekat, bergidik.
Langkah kaki itu semakin mendekat, semakin nyaring.
Semua orang merasakan jantungnya berdebar keras, makin lama berdetak makin kencang, hampir semuanya membelalakkan mata, mengawasi mulut gua tanpa berkedip.
Akhirnya sesosok bayangan manusia tinggi kekar, mengikuti suara langkah yang berat dan nyaring, muncul dari balik kegelapan, semakin mendekati orang-orang itu....
Mendadak langkah itu berhenti, tiba-tiba saja bayangan manusia itu berhenti di tengah kegelapan.
Jilatan api obor sulit menjangkau tempatnya berdiri, tidak seorang pun dapat melihat raut mukanya dengan jelas, mereka hanya merasa semacam hawa sesat yang menggidikkan hati seolah terpancar keluar dari tubuh orang itu.
Dua kali Seng Toa-nio menggerakkan mulutnya, namun tidak sepotong suara pun yang muncul.
Saat itulah sebuah suara yang dingin membetot sukma berkumandang dari balik kegelapan.
Terdengar orang itu berkata perlahan:
"Bagus sekali, ternyata di sini ada orang... bagus sekali, ternyata Lui-pian Lojin pun hadir di sini... inilah yang dinamakan mencari sampai sepatu bobrok tidak ketemu, justru ditemukan tanpa sengaja."
"Si... siapa kau?" tanya Lui-pian Lojin.
Bayangan manusia itu tertawa.
"Lui-pian Lojin yang menggetarkan sungai telaga ternyata tidak sanggup mengenali suara sahabat lama yang baru berpisah beberapa tahun, sungguh kejadian yang aneh."
Mendadak bibir Lui-pian Lojin mengejang keras, tubuhnya ikut bergetar kencang, seolah badannya secara tiba-tiba dililit seekor ular berbisa yang dingin dan menyeramkan.
Sampai lama dan lama sekali, dia baru menghembuskan napas panjang:
"Ternyata kau
"Benar, memang aku."
"Mau apa kau datang kemari?"
"Tentu saja mencari dirimu," jawab bayangan manusia itu dengan suara menyeramkan.
"Darimana kau ... kau bisa menemukan tempat ini?"
Bayangan manusia itu tertawa.
"Bagaimana caraku menemukan tempat ini? Sebuah pengalaman yang sangat menarik, sebenarnya aku hanya tahu daerah seputar bukit Lau-san, aku hanya tahu tempat itu lebat dan penuh dengan tebing curam, walaupun sudah mencari berhari-hari, aku belum juga menemukan jejakmu, sampai akhirnya tadi tanpa sengaja kutemukan dua orang yang mencurigakan sedang mencari sesuatu di balik semak...."
"Dua orang macam apa?" tak tahan Lui-pian lojin bertanya.
"Yang satu berusia empat puluh tahunan, berwajah licik dan penuh senyuman busuk, sedang yang lain masih muda tapi tampangnya licik dan jahat, hehehe... kelihatannya mereka berdua bukan manusia baik-baik."
Sekalipun orang itu menggambarkan secara singkat, namun semua tahu siapakah kedua orang yang dimaksud.
"Hmm, mereka pastilah Suto Siau dan Sim sun-pek, dua orang budak laknat," kata Lui-pian lojin gusar.
Kembali bayangan manusia itu tertawa.
"Walaupun aku tidak kenal siapakah mereka, namun setelah melihat gerak-geriknya, timbul perasaan ingin tahuku, maka secara diam-diam aku menguntit dari belakang, ternyata di balik semak terdapat beberapa biji buah catur, tampaknya benda itu dipergunakan sebagai kode rahasia petunjuk jalan. Melihat cara kerja mereka yang begitu rahasia dan misterius, aku semakin ingin tahu apa gerangan yang hendak mereka lakukan."
"Selama kau menguntit di belakang mereka, apakah mereka tidak menyadari?"
"Huuh, kalau hanya mengandalkan kemampuan mereka berdua, mana mungkin bisa menangkap gerak-gerikku. Hmmm ... hmmmm! Kecuali kau, siapa lagi manusia di kolong langit saat ini yang bisa tahu jejakku?"
"Manusia mampus! Betul-betul dua orang mampus!" maki Lui-pian Lojin gusar.
"Sepanjang jalan aku mengikuti terus sampai di luar dinding tebing, akhirnya kedua orang itu menghentikan perjalanan, tidak usah ditanya pun sudah jelas kalau telah tiba di tempat tujuan, tapi kedua orang itu masih nampak ragu, yang muda bertanya:
"Aneh, kenapa penunjuk jalan mengarah¬kan kita ke dasar jurang?"
Mendengar sampai di sini, Lui-pian Lojin pun ikut merasa keheranan.
Kecuali Un Tay-tay yang menggeser posisi petunjuk jalan, hampir semua orang yang hadir dalam gua itu merasa tercengang dan tidak habis mengerti.
Terdengar bayangan manusia itu berkata lagi:
"Kedua orang itupun mulai berunding, sampai akhirnya lelaki berwajah licik itu berkata, "Seharusnya tempat persembunyian yang dipilih tua bangka itu sangat rahasia dan tersembunyi letaknya, kemungkinan besar letaknya di dasar jurang, apapun yang terjadi kita harus berusaha untuk menuruninya"
Setelah tertawa tergelak, terusnya:
"Waktu itu aku pun merasa tercengang bercampur keheranan, siapa yang mereka sebut si "tua bangka" itu, hahaha... sekarang aku baru tahu, ternyata tua bangka yang dimaksud adalah kau."
"Kenapa kau tidak mengikuti mereka berdua turun ke dasar jurang?" tanya Lui-pian Lojin gusar.
"Kau mesti menyalahkan kedua orang itu, tampaknya mereka punya niat jahat, sebelum turun kebawah, arah jalan telah mereka alihkan ke posisi yang lain, yaitu menunjuk ke dinding bukit sebelah ini.
"Sebelum bergerak turun, pemuda itu sempat berkata sambil tertawa, "Asal kita pindah arah petunjuk jalan ini, kawanan manusia dungu itu bakal mengenaskan nasibnya!". Maka sambil Tertawa licik mereka berdua pun merangkak turun kebawah. Aku tidak ingin jejakku ketahuan mereka, maka aku pun menunggu dulu berapa saat."
Un Tay-tay yang mengikuti pembicaraan itu diam-diam menghela napas, pikirnya, "Ternyata segala sesuatunya sudah ditentukan oleh takdir, tidak kusangka arah petunjuk jalan yang sudah kurubah, kini dirubah lagi oleh orang lain dan menunjuk ke arah yang betul."
Terdengar bayangan manusia itu kembali berkata:
"Siapa tahu baru saja aku menunggu beberapa saat, tiba-tiba muncul lagi dua orang gadis dan seorang pemuda, mereka berjalan sambil bergurau...."
"Aaah, mereka adalah Sun Siau-kiau, Gi Beng dan Gi Teng," tidak tahan Un Tay-tay berseru, kalau mereka bertiga sudah sampai di sini, kenapa tidak nampak batang hidungnya? Mereka bertiga kini... kini berada dimana?"
Bayangan manusia itu tidak menjawab, dia berkata lebih lanjut:
"Ternyata mereka bertiga pun sedang mencari petunjuk jalan, kusangka kali ini mereka bakal salah alamat, siapa tahu kejadian di dunia ini memang aneh dan mukjizat, yang salah ternyata benar, yang benar ternyata malah salah. Setelah mencari setengah harian, akhirnya ketiga orang itu berhasil menemukan lorong rahasia ini, kalau bukan lantaran mereka bertiga, mana mungkin aku bisa menemukan padang rumput yang sangat langka seperti ini, kalau bukan lantaran pedang itu menancap di luar gua, mana mungkin aku tahu di balik padang rumput yang luas dan lebat ternyata terdapat sebuah gua yang begini rahasia?"
Bicara sampai di sini, tidak tahan lagi dia tertawa terbahak-bahak.
Semua orang mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, siapa pun tidak menyangka kedua kejadian yang tidak sengaja justru mendatangkan perubahan yang luar biasa besarnya, bahkan akan merubah segala sesuatu¬nya.
Di tengah keheningan yang mencekam, akhirnya selangkah demi selangkah bayangan manusia itu muncul.
Di bawah cahaya api, terlihat dia mengena¬kan jubah berwarna merah darah dan berwajah merah bagaikan kobaran api.
"Siang-tok Thaysu!" begitu melihat wajah¬nya, semua orang menjerit kaget.
Terdengar Un Tay-tay berteriak keras:
"Kau telah apakan Gi Beng bertiga? Kau sudah turun tangan menyelamatkan mereka bersaudara, tidak sepantasnya kau mencelakai mereka sampai mati."
"Hmmm, hanya andalkan kemampuan mereka bertiga masih belum pantas bagiku untuk mencabut nyawanya," sahut Siang-tok Thaysu dingin, "saat ini mereka bertiga masih hidup, hanya untuk sementara waktu tidak mampu bergerak."
Kemudian sambil memandang Seng Cun-hau dan Che Toa-ho yang tergeletak di sudut gua, kembali ujarnya sambil tertawa seram:
"Tidak kusangka dua orang kelinci percobaan yang telah membantu aku menjajal tubuh Dewa racun masih berada di sini, tapi ... kenapa sampai sekarang kalian belum mampus?"
Sekali lagi dia memandang sekejap orang orang yang keracunan dalam gua itu, mendadak wajahnya berubah, cepat dia berjongkok, memeriksa kelopak mata Lui Siau-tiau dan mengawasi¬nya beberapa saat.
Tiba-tiba paras mukanya berubah makin hebat, teriaknya tertahan:
"Coat cing hoa... Coat cing hoa! Siapa yang telah membuat racun dari Coat cing hoa? Orang she Lui, jangan-jangan kau pun sudah terkena racun Coat cing hoa?"
Lui-pian Lojin hanya mendengus dingin.
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu membentak:
"Dewa racun ada dimana?"
Baru selesai dia berteriak, sesosok bayangan manusia bagaikan sukma gentayangan telah muncul di hadapan semua orang.
Sekujur tubuhnya kaku bagai baja, muka¬nya kaku, sorot matanya tajam bagaikan dua kaitan yang siap membetot sukma siapa pun.
Kelihatannya tubuh orang itu sudah kaku secara keseluruhan, bukan saja tidak bisa ditekuk, bahkan caranya bergerak sangat bebal dan kaku,
Biarpun begitu, gerakan tubuhnya cepat tanpa menimbulkan suara apapun, dalam satu kelebatan tahu-tahu sudah muncul di depan semua orang.
Hawa dingin yang menggidikkan hati seketika muncul dari dasar kaki semua orang dan mencekam perasaan siapa pun, namun semua orang berusaha membuka matanya lebar-lebar, siapa pun ingin melihat macam apakah makhluk aneh itu.
Namun begitu memandang, sorot mata mereka seolah sudah melekat di tubuh orang itu dan tak mampu digeser kembali.
Seng Toa-nio memandang beberapa saat, tiba-tiba dengan perasaan bergidik, bisiknya lirih:
"Leng It-hong!"
Siang-tok Thaysu tertawa seram.
"Leng It-hong sudah mampus, yang muncul sekarang hanya tubuh kasarnya...."
Setelah mundur setengah langkah, dia tepuk punggung Dewa racun itu sambil menghardik nyaring:
"Dewa racun, dengarkan perintah."
Begitu tapukan itu dilontarkan, tubuh si Dewa racun segera bergetar aneh, jelas dibalik tepukan itu tersembunyi daya pengaruh yang luar biasa, daya pengaruh yang bisa mengendalikan pikiran Dewa racun.
Terdengar Siang-tok Thaysu berseru dengan suara dalam:
"Tubuh Dewa racun muncul, tiada tandingan di kolong langit, perguruan pemakan racun, malang melintang di sungai telaga... Dewa racun, cepat bunuh semua orang yang berada dalam gua ini! Jangan pedulikan lelaki perempuan, tua muda, semuanya bantai sampai ludes, jangan biarkan seorang pun tetap hidup... pergi!"
Sambil berkata dia mundur sejauh tujuh langkah lebih, sementara si Dewa racun perlahan-lahan mengangkat sepasang tangannya.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang