9. Pembicaraan di Kuil Terpencil

1.8K 31 2
                                    

Di balik hutan terlihat ada sebuah kuil, Un Tay-tay dan bocah pincang itu sudah berhenti jauh di depan kuil bobrok itu.

"Adikku, kau mesti ingat baik-baik" ujar Un Tay-tay kemudian dengan suara ringan, "ada sementara wanita meski tubuhnya kotor namun dia memiliki jiwa yang sangat bersih, meskipun dia mencelakai orang, namun ini semua disebabkan orang-orang itu memang tidak tahu diri, masih belum pantas menjadi lelaki, oleh sebab itu apa yang akan terjadi dikemudian hari, kau harus menjadi seorang lelaki sejati, mengerti?"

Dengan perasaan setengah mengerti setengah tidak bocah pincang itu manggut-manggut.

"Bila aku telah memperoleh kediaman tetap pasti akan datang mengabarimu" kata Un Tay-tay lagi, "sekarang kau cepatlah pergi!"

Dengan sangat penurut bocah pincang itu membalikkan tubuh, tiba-tiba dia berpaling lagi seraya bertanya:
"Kenapa sih kau bisa menyukai aku? Hingga sekarang aku masih tidak habis mengerti, bersediakah kau memberitahukan kepadaku?"

Un Tay-tay tersenyum.

"Karena kau menyukai aku dengan bersungguh hati, tidak punya pikiran dan niat lain, maka akupun menyukaimu"

Bocah pincang itu tertegun berapa saat, kemudian sambil bersorak-sorai baru beranjak pergi dari situ.

Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, kembali Un Tay-tay berdiri termangu, akhirnya setelah menarik napas panjang, sambil menenteng peti itu dia berjalan menuju ke arah kuil dengan langkah lebar.

Kuil itu sudah lama terlantar, dua belah pintu gerbangnya juga entah sudah sejak kapan dicuri orang sebagai bahan bakar, tanaman ilalang tumbuh liar disepanjang halaman, daun kering berserakan memenuhi lantai, apalagi ketika terhembus angin malam, segera menimbulkan suara gemersik yang ramai.

Ketika suara itu dipadukan dengan suara jendela yang bergoyang, terciptalah sebuah irama malam yang sendu.

Setelah melalui halaman kuil yang dipenuhi daun kering, menaiki undak-undakan batu yang dilapisi lumut dan menembusi kosen pintu yang dipenuhi sarang laba laba, sampailah perempuan itu dalam ruang kuil yang bobrok, lembab dan gelap.

Seketika itu juga Un Tay-tay mengendus bau busuk yang tajam berhembus keluar dari ruang kuil, suasana disana benar-benar mengenaskan, meja altar tampak sudah sangat bobrok, kain tirai robek sana sini, entah sudah berapa lama tidak pernah dijamah para jemaahnya.
Ditengah hembusan angin malam, hawa dingin terasa semakin menggigilkan tubuh, angin yang berhembus masuk melalui jendela, menggoyangkan kain tirai yang bobrok, ternyata ruang kuil itu kosong tidak berpenghuni.

Un Tay-tay mulai ragu, pikirnya penuh curiga:

"Jangan-jangan aku dibohongi setan cilik itu?"

Tapi baru lewat ingatan tersebut, dia sudah mendengar suara napas orang yang lirih berkumandang keluar dari bawah meja altar bobrok itu.

Dia agak sangsi tapi kemudian melanjutkan hngkahnya, per lahan-lahan menyingkap taplak meja altar dan melongok ke bawah... Benar saja, dia menyaksikan Im Ceng sedang tertidur di situ.

Menyaksikan hal ini, tidak tahan Un Tay-tay menghela napas, pikirnya:

"Aaai, suhengnya begitu hati-hati dan selalu waspada, sementara sutenya begitu sembrono, biarpun sangat lelah, tidak seharusnya dia tidur di tempat seperti ini!"

Dia benar-benar tidak habis mengerti, kenapa dua orang. seperguruan ternyata memiliki tabiat yang jauh berbeda, Thiat Tiong-tong cekatan dan penuh waspada, berada dalam situasi sekritis apa pun, bukan saja mampu melindungi diri bahkan masih sempat menolong orang lain.

Sebaliknya Im Ceng begitu berangasan, emosinya sangat tinggi dan sepak terjangnya begitu sembrono, sekalipun dia berdarah panas dan selalu ingin membela hal hal yang tidak adil, tapi dia justru tidak mengerti bagaimana harus menata diri, bagaimana harus memikirkan diri sendiri.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now