27. Antara Mati dan Hidup

1.4K 28 0
                                    

Im Ceng telah naik ke puncak tebing, telah tiba ditanah lapang, dalam pandangan pertama dia saksikan seorang wanita berbaju hijau yang bertubuh ramping sedang berdiri membelakanginya, berdiri sambil bergendong tangan dan memandang lautan bebas nun dikejauhan sana.

Perawakan tubuh perempuan itu tidak tinggi besar, bentuknya tidak aneh, pakaian yang dikenakan pun tidak kelewat mencolok, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya boleh dibilang tidak satupun yang kelihatan menarik perhatian orang.

Tapi dari sekian banyak orang yang hadir diatas puncak bukit, justru dalam pandangan pertama Im Ceng sudah tertarik kepadanya, dari balik tubuh seorang wanita yang sangat sederhana seakan mengandung daya tarik yang luar biasa besarnya.

Padahal kawanan gadis yang berdiri disisinya rata-rata merupakan kawanan wanita berparas cantik jelita, tapi cukup bayangan punggung perempuan itu sudah dapat mengalahkan pamor dari kecantikan wajah kawanan gadis lainnya.
Biarpun hingga detik itu Im Ceng belum menyaksikan raut mukanya, namun dia yakin kalau perempuan itu tidak lain adalah Jit ho Nio nio penguasa Pulau Siang cun-to.
Tokoh maha sakti yang selama ini dibayangkan bagaikan seorang tokoh dunia dongeng, sekarang telah muncul hidup hidup di depan mata, sedikit banyak bergolak juga perasaan hati Im Ceng.
Perempuan itu berdiri sambil bergendong tangan, ke sepuluh jari tangannya putih lagi halus, satu gejolak perasaan yang aneh kembali timbul dalam hatinya, anak muda itu tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan semacam itu dalam hatinya.
Sesudah memberi hormat kata Im Ceng:
"Murid Perguruan Tay ki bun memberi hormat kepada Jit ho Nio nio!"
"Atas perintah siapa kau datang kemari?"
Biarpun nada suaranya dingin lagi kaku, sayang jari tangannya kelihatan gemetar keras, ini menunjukkan kalau sedang terjadi gejolak perasaan dalam hatinya.
"Tecu mendapat perintah dari Siau-lim Bu si Thaysu untuk datang berkunjung"
Tiba-tiba Jit ho Nio nio membentak keras:
"Kalau betul kedatanganmu atas perintah Bu si Thaysu, sudah sepantasnya kalau kau menghadap sebagai anggota Siau-lim-pay, mengerti?"
Im Ceng tertegun, dia tidak habis mengerti kenapa tiba-tiba perempuan itu naik pitam, terpaksa diapun mengiakan.
"Untuk urusan apa Bu si Thaysu perintahkan kau datang kemari?" tegur Jit ho Nio nio.
"Bu-si Thaysu bilang, sudah cukup lama dunia persilatan dilanda kekalutan, sudah waktunya memberi ketenangan dan waktu istirahat bagi rekan-rekan persilatan, gara-gara keruwetan tersebut boleh dikata sudah puluhan tahun lamanya seluruh jago persilatan dilibatkan dalam kasus tersebut, kini sudah saatnya untuk melakukan satu penyelesaian, harap Nio Nio berbesar hati dengan memikirkan penderitaan orang banyak, khususnya bagi mereka yang harus hidup terlunta karena dikejar pembalasan, sehingga terkadang untuk mengubur jenasah kerabatnya pun tidak sempat. Hukuman mereka sudah lebih dari cukup, oleh karena itu dimohon Nio Nio mau mengampuni mereka yang pantas diampuni dengan secepatnya menyelesaikan keruwetan itu........"
"Tutup mulut!" tiba-tiba Jit ho Nio nio mem¬bentak nyaring.
Kepalan tangannya nampak semakin kencang, bahkan tubuhnya pun tidak tahan untuk gemetar keras, tegurnya lagi:
"Kurangajar, kaupun ingin menasehati aku?"
"Tecu tidak berani, semua perkataan yang disampaikan adalah perkataan dari Bu-si Thaysu, tecu hanya mengulangi perkataan itu tanpa mengurangi sepatah kata pun. Mengenai apa kasus yang dimaksud, tecu tidak tahu menahu"
Kembali Jit ho Nio nio mendengus dingin, nampak rasa gusarnya belum mereda, ujarnya:
"Hmmm, apakah Bu si Thaysu tidak merasa kelewat tinggi menilai kemampuan diri sendiri? Hmm, atas dasar apa dia ingin mencampuri urusan ini!"
Menyaksikan sikap perempuan itu, meski Im Ceng merasa kaget bercampur keheranan, namun dia tidak berani banyak bertanya, pemuda itu hanya berdiri membungkam dengan kepala tertunduk.
Kembali berapa saat sudah lewat, tampaknya hawa amarah Jit ho Nio nio sudah mulai mereda, namun dia belum juga berpaling, ujarnya dingin:
"Jadi tujuan kedatanganmu hanya untuk menyampaikan beberapa kata itu saja?"
"Benar, hanya berapa patah kata itu saja"
"Kalau begitu sampaikan kepadanya, bukan aku yang menanam bibit sebab dalam kasus ini maka bukan aku pula yang akan menyelesaikannya, selama ini aku tidak ingin mencampuri urusan tersebut, dikemudian hari pun aku tetap tidak akan mencampurinya"
Bicara punya bicara, nada suaranya kembali dicekam luapan emosi, katanya lebih lanjut:
"Bila Bu si Thaysu ingin menyelesaikan persoalan ini, tidak ada salahnya kalau dia selesaikan sendiri, tidak usah mencari diriku lagi"
"Baik!"
Saat itulah Im Ceng baru berpaling sambil memandang Un Tay-tay sekejap, waktu itu Un Tay-tay pun dengan air mata berlinang sedang melirik ke arahnya secara sembunyi-sembunyi.
Ketika sepasang mata mereka saling bertemu, tiba-tiba dua baris air mata jatuh bercucuran membasahi wajah perempuan itu.
Dari balik sorot matanya yang sayu, dari balik pandangan matanya yang penuh penderitaan, penuh rasa sedih, dia seakan sedang memohon kepada Im Ceng:
"Pergilah, cepat pergi dari sini, jangan mengurusi diriku lagi........."
Tampaknya kedua orang ini sudah memiliki hubungan batin yang amat kental, hanya cukup memandang sekejap, Im Ceng segera paham kalau Jit ho Nio nio telah menampik permohonan Un Tay-tay, satu perasaan pedih bercampur gusar tiba-tiba menyelimuti perasaan hatinya.
Begitu melihat perubahan wajah sang pemuda disertai kilatan cahaya mata yang buas, Un Tay-tay segera mengerti apa yang hendak dilakukan kekasih hatinya, dengan perasaan terperanjat segera teriaknya gemetar:
"Jangan...... jangan kau lakukan...... jangan bertindak disini......."
Sayangnya, begitu Im Ceng terpengaruh gejolak emosi, jangan lagi manusia biasa, dewa pun sulit untuk mencegahnya.
Belum selesai Un Tay-tay berkata, sambil membusungkan dada Im Ceng telah membentak nyaring:
"Murid Tay ki bun Im Ceng masih ada satu persoalan yang ingin disampaikan!"
"Berani amat kau menyebut diri sebagai murid Perguruan Tay ki bun!" hardik Jit ho Nio nio penuh amarah.
Im Ceng tertawa lantang, sahutnya: "Aku telah menyampaikan urusan yang menyangkut kepentingan Siau-lim-pay, dengan sendirinya harus tampil dengan identitasku yang Nebenarnya, hidup sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, matipun tetap menjadi setan Perguruan Tay ki bun, kenapa aku tidak berani mengakui sebagai murid Perguruan Tay ki bun? Aku tahu kungfu yang kami miliki memang masih ketinggalan jauh bila dibandingkan kemampuan-mu, tapi soal nama, dimana pun kami sebut nama besar Perguruan Tay ki bun, nama ini jauh lebih cemerlang ketimbang nama Pulau Siang cun-to!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Jit ho Nio nio lelah mendengar perkataan itu, teriaknya lengking:
"Kau.......kau berani.........."
Dengan air mata bercucuran cepat Un Tay-tay menjatuhkan diri berlutut dibawah kaki perempuan itu, rengeknya:
"Nio Nio..... dia..... dia masih kanak-kanak, harap Nio Nio tidak menanggapinya dengan serius"
Jit ho Nio nio tertawa dingin. "Hmmm, ulahnya masih belum pantas membuat aku naik darah........" katanya, "baiklah, sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, apa yang hendak kau sampaikan?"
"Aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh Un Tay-tay tidak bersedia tinggal disini, apa alasannya kau memaksa dia untuk tetap tinggal disini? Apakah tindakanmu inipun pantas disebut menolong orang yang kesusahan?"
"Siapa yang paksa dia untuk tetap tinggal disini?" tegur Jit ho Nio nio.
Im Ceng tertegun, seketika itu juga hawa amarahnya mereda setengah, tahu kalau dugaan¬nya keliru, tingkah lakunya jadi serba salah, ucapnya agak tergagap:
"Kalau memang begitu, Tay-tay, ayoh kita pergi!"
"Siapa yang mengijinkan kau membawanya pergi?" kembali Jit ho Nio nio menegur ketus.
Sekali lagi Im Ceng tertegun, tapi kemudian dengan wajah penuh kegusaran teriaknya:
"Bukankah kau bilang tidak akan menahan¬nya? Kini kaupun melarangnya pergi, rupanya kau sedang mempermainkan aku?"
"Mau kemana pun dia pergi, aku tidak bakalan melarangnya, tapi kalau pergi bersamamu, hmmm! Jangan harap!"
"Kenapa?" teriak Im Ceng gusar.
"Bila dia ingin menikah. Sekalipun harus kawin dengan seorang berandal kota atau seorang pekerja kasar pun aku akan mendukungnya, tapi kalau ingin menikah dengan anggota Perguruan Tay ki bun..... hmmm, jangan harap aku akan mengijinkan!"
"Kenapa?" bentakan Im Ceng semakin nyaring.
"Karena setiap pria yang bergabung dalam Perguruan Tay ki bun adalah binatang yang tidak berperasaan dan tidak setia kawan!"
Kontan Im Ceng melompat bangun, umpatnya pernuh amarah:
"Ken.......siapa yang bilang begitu?"
Walaupun dia tidak berani mengucapkan kata "kentut", namun orang yang berani mencak-mencak kegusaran dihadapan Jit ho Nio nio pun boleh dibilang tak ada ke duanya.
Pucat pias wajah kawanan gadis yang berada disekeliling tempat itu, mereka tahu, Jit ho Nio nio pasti tidak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Siapa tahu bukan saja Jit ho Nio nio sama sekali tidak turun tangan, berpaling pun tidak, malah ujarnya kepada Un Tay-tay:
"Bila saat ini kau ingin pergi, aku pun tidak akan menahanmu!"
"Nio Nio, aku........" isak tangis Un Tay-tay makin menjadi.
"Tapi sebelum meninggalkan tempat ini, kau harus angkat sumpah berat, selama hidup tidak pernah akan berbicara sepatah kata lagi dengan anggota Perguruan Tay ki bun!"
"Aku....... aku........." tiba-tiba Un Tay-tay menangis tersedu.
"Kenapa? Kau tidak sanggup?"
"Aku.....aku akan tetap tinggal disini" bisik Un Tay-tay lirih.
"Kalau ingin tinggal disini, kau justru harus mengangkat sumpah yang lebih berat lagi, sejak hari ini hingga akhir jaman kau tidak boleh lagi memikirkan anggota Perguruan Tay ki bun"
Tubuh Un Tay-tay gemetar makin keras, dengan suara gemetar bisiknya:
"Ini......ini........."
Tiba-tiba dia mendekam diatas tanah sambil menangis tersedu sedu, terusnya:
"Aku tidak bisa kalau tidak memikirkan dia, aku benar-benar tidak bisa, tidak memikirkan dia!"
"Hanya orang berhati setenang air yang cocok berdiam di Pulau Siang cun-to" ujar Jit ho Nio nio dingin, "bila kau masih memikirkan dia, berarti tidak ada tempat bagimu untuk tetap tinggal di pulau ini!"
Ketika berbicara sampai disini, bukan saja Im Ceng merasa gusar bercampur sedih, bahkan kawanan gadis penghuni Pulau Siang-cun-to pun merasa bahwa sikap yang diperlihatkan Jit ho Nio nio hari ini sedikit kelewatan dan tidak berperasaan, tanpa terasa timbul perasaan simpatik mereka terhadap Un Tay-tay, malah tidak sedikit diantara mereka yang meneteskan air mata.
Sambil meninju permukaan tanah dan menangis tersedu, kembali Un Tay-tay merengek:
"Nio Nio, mana mungkin kau bisa memaksa orang untuk melakukan perbuatan yang tidak mungkin dilakukan, kau.......lebih baik biarkan aku mati saja!"
"Hmm... tampaknya memang lebih baik kau mati saja!" sela Jit ho Nio nio dingin.
Habis sudah kesabaran Im Ceng, dengan suara menggeledek teriaknya:
"Dendam sakit hati apa yang terjalin antara kau dengan Perguruan Tay ki bun kami........"
Ditengah bentakan keras tubuhnya melam¬bung ke udara dan langsung melepaskan satu pukulan ke punggung Jit ho Nio nio.
Kawanan gadis yang berada diseputar sana sama-sama menjerit kaget, paras muka mereka berubah hebat.
"Hmm! Kau berani kurangajar kepadaku!" jengek Jit ho Nio nio dingin.
Telapak tangannya langsung berbalik melaku¬kan satu gerakan, seolah tumbuh mata di punggungnya, tanpa berpaling ujung bajunya langsung menyapu ke atas dada Im Ceng.
Belum sempat telapak tangannya menyentuh tubuh lawan, Im Ceng sudah merasakan datangnya segulung kekuatan dahsyat yang menghantam tubuhnya, dia tidak mampu membendung apalagi menghindar, diiringi jeritan tertahan tubuhnya mencelat ke udara dan terpental sejauh tiga kaki dari posisi semula.
Baru saja Un Tay-tay siap menggerakkan tubuhnya sambil menjerit kaget, kembali Jit ho Nio nio mengebaskan ujung bajunya, kali ini dia menyambar jalan darah Cian cing hiat dibahunya, kontak gadis itu tergeletak kaku dan tidak sanggup bergerak lagi.
Biarpun ilmu silat Im Ceng masih jauh ketinggalan dibandingkan kepandaian orang, bukan berarti dia menyerah dengan begitu saja, keberanian serta kenekadannya memang patut diacungi jempol.
Begitu roboh ke tanah cepat dia melompat bangun dan untuk kedua kalinya menerjang maju lagi ke depan.
Ketika Jit ho Nio nio kembali mengebaskan ujung bajunya, untuk kesekian kali pula Im Ceng jatuh bangun, tapi tiga lima kali sudah berlalu, bukan saja dia tidak mampu melepaskan satu jurus serangan balasan bahkan makin mencelat, tubuhnya terpental makin jauh dan berat.
Sekarang dia baru tahu, Jit ho Nio nio yang disebut tokoh paling sakti dalam dunia persilatan memang benar-benar memiliki kepandaian silat yang tidak terkirakan, sekalipun dia berlatih sepuluh tahun lagi pun belum tentu kemampuan¬nya sanggup menandingi lawan.
Menyadari akan kenyataan itu, Im Ceng merasa putus asa dan patah arang, dia mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Hmm, baru memiliki ilmu silat secetek itu sudah ingin pamer kekuatan" jengek Jit ho Nio nio dingin, "boleh saja bila kau ingin selamatkan nyawanya, asal kau sudah mampus, dia pasti akan hidup tenang. Hanya saja.......aku rasa belum tentu kau memiliki keberanian untuk melakukan-nya"
Mendadak Im Ceng mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, teriaknya:
"Ternyata kau hanya menginginkan kematian-ku? Itu mah gampang, aku orang she-Im memang sudah bosan untuk hidup terus!"
Sejak kematian Thiat Tiong-tong, dia memang sudah putus asa, kepedihan dan kemarahan yang dialaminya sekarang telah berubah menjadi kekecewaan, dia semakin merasa kalau hidup itu tidak berarti lagi.
Perlu diketahui Im Ceng adalah seorang pemuda yang berjiwa berangasan cepat naik darah dan temperamen, ketika pikirannya sedang diliputi emosi, sering dia tidak perdulikan mati hidup, apalagi dalam keadaan seperti saat ini dia semakin nekad dan tidak ambil perduli soal mati hidupnya lagi.
Ditengah gelak tertawa yang menyeramkan, tubuhnya melejit ke udara dan segera mencebur¬kan diri ke dalam jurang yang sangat dalam itu.
Siapa tahu Jit ho Nio nio segera mengebaskan ujung bajunya lagi dan segera mencegah tindakan nekadnyaitu.
"Sampai ingin matipun kau masih mengha¬langiku?" teriak Im Ceng gusar.
"Dibawah jurang ini merupakan samudra luas, belum tentu kau akan mampus bisa tercebut ke situ, bila betul-betul ingin mati, lebih baik melompat saja dari sebelah sana" kata Jit ho Nio nio dingin.
Dia bicara tanpa berpaling, apalagi memandang ke arahnya.
Sambil tertawa keras kembali Im Ceng berkata: "Un Tay-tay, biarpun selama hidup aku tidak dapat mendampingimu, tapi setelah mati nanti tidak akan ada orang yang bisa menghalangiku untuk bertemu lagi denganmu. Jiko, tunggu kedatanganku........."
Belum selesai dia tertawa, tubuhnya sudah meluncur ke dalam jurang, dari kejauhan sana hanya terdengar suara gelak tertawanya yang penuh diliputi rasa gusar bercampur kepedihan.
Setengah hari berselang Im Ceng telah menghajar Thiat Tiong-tong hingga tercebur ke dalam jurang, setengah hari kemudian dia sendiri yang terjun ke dalam jurang, dia tahu dengan kematiannya ini bukan saja telah selamatkan jiwa Un Tay-tay, diapun bisa mencuci bersih dosa serta rasa penyesalannya, perasaan hatinya sesaat sebelum mati pasti sangat tenteram.
Tapi mana mungkin dia menyangka kalau dengan kematiannya itu justru mereka yang hidup akan merasakan penderitaaan dan siksaan yang lebih parah?
Apalagi ke dua orang murid Thiat-hiat Tay ki bun ini merupakan dua jago tangguh yang paling berbakat dan paling cemerlang masa depannya.
Sekalipun perangai kedua orang itu berbeda, namun yang satu adalah jago yang tidak panik meski menghadapi bahaya, selalu banyak akal untuk menghadapi situasi, sementara yang lain adalah seorang jago yang penuh dengan semangat kependekaran.
Tapi kini, secara beruntun dalam seharian mereka harus mati susul-menyusul, berbicara bagi perkembangan dunia persilatan, jelas kejadian ini merupakan satu kehilangan besar, karena masih ada begitu banyak beban serta tanggung jawab yang harus mereka selesaikan.
Waktu itu, walaupun Un Tay-tay sama sekati tidak mampu bergerak namun perasaan hatinya sudah hancur lebur, dengan sorot mata basah oleh air mata dia tatap wajah Jit ho Nio nio, menatap dengan pandangan sedih, gusar bercampur dendam, perasaan yang tidak dapat diurai oleh siapa pun.
Tiba-tiba Jit ho Nio nio berpaling, ternyata wajahnya yang pucat telah dibasahi air mata, perlahan-lahan ujarnya:
"Hantar Un Tay-tay ke ruang Liu im koan, rawat dia secara baik-baik"
Dari balik nada ucapannya, kedengaran rasa perhatian serta sayang yang sangat mendalam.
Saat itu, andaikata memungkinkan, Un Tay-tay ingin sekali mengumpat:
"Kalau kau sudah memaksanya hingga bunuh diri, buat apa mesti mengucurkan air mata?"
Sayang tubuhnya tidak mampu bergerak, mulutnya tidak mampu berbicara hingga tidak sepatah kata pun sempat meluncur keluar.
Dua orang gadis berjalan mendekat dan membopongnya, tanpa mampu melawan tubuhnya dibopong orang dan dibawa turun bukit.
Menanti bayangan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan, tiba-tiba Jit ho Nio nio men¬dongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang, gumamnya dengan getir:
"Tidak kusangka ternyata dalam Perguruan Tay ki bun masih terdapat lelaki yang rela mati demi cinta............"
Bekas air mata belum mengering dari wajahnya namun sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya, tidak jelas dia sedang bersedih hati? Atau merasa girang? Mungkin tidak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa menebak suara hatinya.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now