31. Masa Silam yang Kelam

1.3K 24 1
                                    

Gelak tertawa di halaman luar menembus pintu gerbang dan bergema di ruang belakang.
Ruang belakang merupakan kamar pengantin, tentu saja tempat itu dihias dengan aneka ornamen berwarna merah, Sui Leng-kong dengan mahkota pengantinnya sedang duduk di tepi meja rias.

Perlengkapan maupun perabot yang tersedia di tempat itu tidak kalah dengan perlengkapan perabot yang dimiliki putri tunggal anak pejabat tinggi atau hartawan kaya raya, bahkan perhiasan yang dikenakan pengantin wanita pun merupakan perhiasan mahal yang indah dan menawan.

Tapi sayangnya, di balik kamar pengantin yang indah, megah dan penuh kemewahan itu justru diliputi suasana dingin, sepi dan kedukaan yang mendalam, bahkan wajah sang pengantin yang cantik pun diliputi perasaan sedih serta duka nestapa.

Para dayang yang dikirim keluarga Gi untuk melayani sang pengantin sudah diusir sejak tadi, sebab Sui Leng-kong tidak ingin orang lain mengetahui kepedihan hatinya, terlebih lagi menyaksikan air matanya berlinang.
Gelak tertawa di ruang depan bertambah nyaring, sebentar-sebentar Sui Leng-kong menghentakkan kakinya, sebentar keningnya berkerut-kerut, terkadang dia harus menyumbati telinganya dengan jari tangan....
Makin gembira suara gelak tertawa yang| bergema, semakin pedih perasaannya.
Dari wajah sedihnya yang penuh air mata, tiba-tiba terlintas sebuah tekad yang amat kuat, sesudah menghentakkan kembali kakinya, dia melepas mahkota dari kepalanya, kemudian mem bantingnya ke atas ranjang.
Dia mencoba bercermin, memandang paras muka sendiri yang pucat-pias, memandang sinar mata yang sayu, biarpun pupur dan gincu telah menghiasi wajahnya, namun tidak dapat menutupi kemurungan dan kesayuan dirinya.
Sambil menggigit bibir, akhirnya dia melepas pakaian pengantin yang dikenakan, mengenakan kembali pakaian sehari hari, lalu melompat ke depan jendela dan membukanya lebar-lebar
Cahaya senja memancar masuk dari luar jendela, selapis cahaya keemas-emasan menghiasi seluruhjagad.
Kembali dia menggigit bibir, tubuhnya sudah siap melompat keluar melalui daun jendela.......
Andaikata dia benar-benar melompat keluar saat ini, ibarat burung walet yang terlepas dari sangkar, dia bisa terbang bebas kemana-mana.
Tapi pada saat itulah kembali dia berkerut kening, tubuhnya yang sudah siap melompat keluar kembali diurungkan, dia balik kembali ke depan cermin, berdiri termangu-mangu sambil menghela napas panjang.
Lama kemudian, akhirnya nona itu mengambil keputusan, dengan jari tangannya yang gemetar dia memoles ujung jarinya dengan gincu, kemudian mulai meninggalkan pesan di atas cermin.
"Maafkan aku Toako, aku harus pergi".
Ujung jarinya kelihatan gemetar keras, goresan tulisannya kacau tidak lurus. Tapi tulisan berwarna merah yang tertera di atas cermin nampak begitu menyolok, nampak begitu segar membuat siapa pun yang lewat, pasti akan tertarik untuk memandangnya.
Maka sekali lagi dia mendekati jendela, sekali lagi bersiap melompat keluar....
Andaikata waktu itu dia benar-benar melompat keluar, tragedi yang memilukan hati pun segera akan berakhir.
Tapi... tampaknya nona itu tidak memiliki keberanian untuk melompat keluar, tiba-tiba dia menghela napas panjang dan kembali berdiri termangu.
Sepasang alis matanya berkerut kencang, air matanya jatuh bercucuran, dia merasa serba salah, perasaannya kalut, terjadi pertentangan batin yang hebat, dia tidak sanggup mengambil keputusan ... haruskah kabur? Atau jangan?
Dia benar-benar menderita, benar-benar tersiksa... dia tidak mampu memutuskan pilihannya....
Pada saat itulah dari luar pintu berkumandang lagi suara Im Kian yang harus dan lembut:
"Adikku, sudah selesai kau berdandan? Semua teman sedang menunggumu!"
Sui Leng-kong merasakan tubuhnya bergetar keras, perlahan dia membalikkan tubuh dan sahutnya dengan nada gemetar:
"Aku... aku...."
"Kalau kau sudah selesai berdandan, akan kusuruh mak comblang menjemputmu."
Sui Leng-kong mencoba memejamkan matanya sebentar, lalu menghela napas panjang, sahutnya:
"Suruh mereka menungguku di luar pintu...aku segera ke... keluar."
Diam-diam dia membesut air mata, lalu mengenakan kembali pakaian pengantin.
Sebelum meninggalkan ruangan, dengan sorot mata yang sayu dan pedih ditatapnya sekali lagi tulisan yang tertera di atas cermin ... tulisan itu kabur, tidak terlihat jelas, karena matanya sudah dipenuhi air mata.
Pada akhirnya dia tidak mampu mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan, terpaksa dengan kepala tertunduk dia menerima pilihan nasib yang menimpa dirinya....
Wahai wanita lemah yang hidup di dunia ini, mengapa sebagian besar dari kalian bersikap begitu?
Diambilnya selembar saputangan dan dihapusnya tulisan yang tertera di atas cermin. Di atas saputangan yang putih segera ternoda titik merah bagaikan cucuran darah, seperti juga bunga tho yang berguguran....
Dia tidak ingin memandang lagi wajah sendiri yang sayu, tidak ingin menatap lagi sorot mata sendiri yang penuh kepedihan... segera teriaknya keras:
"Aku sudah siap, kalian boleh masuk!"
Seorang perempuan gemuk dengan wajah berseri segera mengayunkan langkahnya keluar ruangan, sambil bertepuk tangan serunya:
"Pengantin wanita telah datang."
Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan.
Buru-buru Gi Teng melompat bangun, membantu Cu Cau mengancingkan pakaiannya, kemudian katanya sambil tertawa:
"Hengtay, biarpun kau tidak suka terikat segala adat, paling tidak sewaktu upacara perkawinan kau harus bersikap lebih sopan" "Aaah, kendorkan sedikit... baiklah, tiba-tiba Cu Cau menghela napas panjang.
Kembali semua orang dibuat tercengang, bukankah hari ini adalah hari baik, hari perkawinan? Mengapa pengantin lelaki malah menghela napas?
Kembali Cu Cau menghela napas, ujarnya sambil menggeleng:
"Hiante, terus terang aku... aku merasa... aku merasa sedikit gugup, bagiku melangsungkan upacara perkawinan baru pertama kali ini."
Kembali gelak tertawa bergema dalam ruangan, kini semua orang sudah tahu, putra kesayangan Kaisar malam inipun seorang manusia biasa, bahkan seorang manusia biasa yang menarik.
Sambil tertawa Sun Siau-kiau segera mengejek:
"Coba kalian dengar, betapa kasihannya orang ini... dia bilang baru pertama kali... seolah-olah baginya belum cukup satu kali saja... hahaha... betul, kalau sudah berulang kali, dia tidak bakal gugup."
Waktu itu Gi Beng sudah tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk tubuhnya, dengan napas terengah, serunya:
"Dalam sejarah hidup, upacara perkawinan hanya akan dilangsungkan satu kali, memangnya kau ingin dua kali?"
Merah jengah selembar wajah Cu Cau, buru-buru dia berdehem berulang kali.
"Hiante, bagaimana kalau menemani aku?"
"Jangan kuatir, segala sesuatunya biar Siaute yang mendampingi," hibur Gi Teng sambi tertawa.
"Aaah, kau tahu apa?" ejek Gi Beng, "sekali saja belum pernah."
"Itu namanya pengalaman, kalau sekarang sudah berpengalaman, maka tiba giliranku nanti, aku pun tidak bakal gugup."
Seraya berkata dia segera membimbing Cu Cau menuju ke mimbar upacara.
"Hahaha, tidak tahu malu, siapa yang mau kawin dengan bebek dungu macam kau... lain kali... huuuh, lain kalipun belum tentu tiba giliranmu."
"Betul, tepat sekali perkataan itu," sambung Sun Siau-kiau, "yang mendapat giliran berikutnya adalah nona cantik dari keluarga Gi, tentu saja bukan orang lain."
Gi Beng segera mengayunkan tangannya untuk memukul, tapi saking terpingkalnya dia tidak mampu mengayunkan tangannya lagi.
Sementara itu Im Kian sudah muncul sambil membimbing Sui Leng-kong yang mengenakan pakaian pengantin dengan kain penutup kepala berwarna merah.
"Bagus, bagus...." teriak Gi Teng sambil bertepuk tangan, "siapa yang akan bertindak sebagai saksi?"
Sun Siau-kiau segera mendorong suaminya, Che Toa-ho, sambil serunya, "Suruh dia saja, bayangkan kalau dia mengenakan topi tinggi, siapa lagi selain dia yang paling cocok menjadi saksi."
"Betul, memang dia yang paling cocok...."
Akhirnya Che Toa-ho tampil ke depan setelah di tarik dan didorong istrinya.
Che Toa-ho yang pada hari biasa selalu tampil suram dan dingin, ternyata hari ini kelihatan gembira sekali, sahutnya sambil tertawa:
"Baik, biar aku yang maju, kalian harap tenang, sekarang juga upacara perkawinan akan di mulai."
Dalam pada itu Lan hong kiam khek Liu Ji-uh yang selama ini mengamati terus wajah pengantin wanita, tiba-tiba menyela sambil tersenyum:
"Coba lihat penampilan si pengantin wanita, dapat dipastikan dia adalah seorang wanita cantik."
"Kalau bukan wanita cantik, mana pantas mendampingi saudara Cu sebagai seorang Enghiong luar biasa," jawab Liong Kian-sik si jago pedang naga hitam sambil tersenyum pula.
"Eeei, coba lihat," teriak Gi Beng tertawa geli, "aneh tidak, kalau Enci Liu tidak bicara, dia pun tidak bicara, begitu Enci Liu bicara, dia pun ikut-ikutan."
Sementara itu Che Toa-ho dengan suaranya yang parau telah memimpin upacara, teriaknya:
"Persembahan pertama, menyembah langit dan bumi!"
Cu Cau dan Sui Leng-kong sama sama berlutut....
Dengan suara setengah berbisik, tanya Liu Ji-uh:
"Semakin kulihat, wajah pengantin wanita ini makin cantik dan menawan, dia dari keluarga mana dan siapa namanya?"
Sementara Che Toa-ho telah berseru kembali:
"Menyembah leluhur."
Maka sepasang pengantin pun kembali menyembah.
Gi Beng yang sedang berdiri kesemsem baru sadar kembali setelah Liu Ji-uh menarik ujung bajunya, sambil tertawa sahutnya:
"Ooh, siapa pengantin wanita itu? Dia bernama Sui Leng-kong!"
Saat itu Che Toa-ho sudah berteriak lagi:
"Persembahan ketiga" Tiba-tiba dia berhenti berteriak karena bingung harus mengucapkan apa, saat itulah Seng Cun-hau telah menarik tangan Gi Beng sambil menghardik:
"Apa kau bilang? Siapa namanya?"
Gi Beng merasa terkejut, keheranan dan sedikit gugup setelah melihat perubahan wajah orang, sahutnya tergagap:
"Dia... dia bernama... bernama Sui Leng¬kong...."
"Apa?" teriak Seng Cun-hau dengan tubuh gemetar, gumamnya, "Cu Cau... Sui Leng-kong....
Gi Beng semakin tertegun, dia berdiri terbelalak dengan mulut melongo, disangkanya Seng Cun-hau tiba-tiba terserang penyakit ayan atau kumat edannya.
Dalam pada itu Gi Teng telah membisikkan sesuatu ke telinga Che Toa-ho, maka sambil manggut-manggut, kembali Che Toa-ho berteriak:
"Persembahan ketiga...."
Tiba-tiba Seng Cun-hau membentak keras, dia sambar poci arak, kemudian dilemparkan ke arah sepasang pengantin itu.
"Braaaak...!", poci arak itu menimpa meja upacara dan sepasang lilin merah itu pun roboh ke tanah.
Che Toa-ho tertegun, perubahan yang sama sekali tidak terduga itu membuatnya berdiri melongo.
Terjadi kekalutan dan kegaduhan dalam ruang upacara, suasana jadi kalut dan dicekam ketidakpastian.
Dengan wajah berubah, semua yang hadir berteriak keras:
"Seng-toako... apa yang terjadi? Mengapa kau berbuat begitu?"
Gi Teng dan Gi Beng pun saling bertukar pandang, mereka berdua menyangka Seng Cun-hau sudah tahu kalau Im Kian adalah anggota perguruan Tay ki bun hingga ia mengumbar hawa amarahnya.
Dengan satu kali lompatan Cu Cau menerjang ke hadapan Seng Cun-hau, kemudian bentaknya gusar:
"Antara kau dan aku tidak terikat dendam sakit hati, mengapa kau mengacau pada hari perkawinanku ?"
Walaupun pada hari biasa dia selalu berjiwa besar dan tidak gampang tersinggung, akan tetapi pesta perkawinan ini merupakan satu-satunya kejadian besar bagi dirinya, satu kejadian yang sangat menyentuh perasaannya, hingga tidak heran paras mukanya berubah hebat ketika melihat ada orang datang mengacau secara tiba-tiba.
Paras muka Seng Cun-hau yang dasarnya sudah merah, kini berubah semakin merah, jeritnya:
"Aku... aku...."
Kalau pada hari biasa dia selalu tegar dan tenang, ibarat ada gunung yang ambruk di hadapannya pun paras mukanya tidak berubah, sekarang dia begitu panik, dia malah tidak mampu mengucapkan separah kata pun.
Perubahan sikap semacam ini segera mengundang rasa tercengang dan bingung si Naga hitam, Burung hong biru serta Rembulan hijau.
Im Kian telah memburu maju, paras mukanya kelihatan ikut berubah.
"Seng Cun-hau!" terdengar Cu Cau membentak lagi, "sebenarnya apa tujuan perbuatanmu hari ini? Kalau tidak segera kau jelaskan, aku... aku akan...."
"Mau apa kau?" tantang Seng Cun-hau yang nampaknya dicekam rasa gusar yang luar biasa.
Bagaimanapun juga dia terhitung seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak tahan diperlakukan orang secara kasar, apalagi dalam keadaan naik darah, sekalipun ada alasan yang kuat pun dia enggan mengatakan begitu saja.
Hawa amarah yang berkobar dalam benak Cu Cau makin memuncak, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Hahaha, bagus, bagus, kalau memang begitu, biar hari ini kuberi pelajaran kepadamu!"
Di tengah gelak tertawa seram yang memekakkan telinga, secara perlahan dan lembut dia lepaskan sebuah pukulan.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar itu meski kelihatannya halus dan lembut, namun terkandung perubahan yang tiada taranya, jelas merupakan sebuah jurus pamungkas yang menakutkan.
Tanpa berpikir panjang Seng Cun-hau menyambut datangnya pukulan itu, tapi sayang kepandaian silat yang dimiliki orang ini selisih kelewat jauh, di bawah benturan angin pukulan, kelihatannya si jago pedang berhati merah segera akan roboh bersimbah darah.
Seandainya terjadi keadaan seperti ini, dapat dipastikan tujuh jago pedang pelangi tidak bisa berpeluk tangan, bukan saja akan melibatkan diri dalam pertarungan, bahkan kesalah pahaman yang terjadi mungkin tak akan terhapus untuk selamanya.
Sebab di dunia saat ini hanya Seng Cun-hau seorang yang mengetahui rahasia di balik seluk beluk peristiwa itu, seandainya dia tewas, besar kemungkinan tujuh jago pedang pelangi pun akan turut punah dalam pertarungan hari ini, otomatis dalam dunia persilatan kembali akan terjadi pergolakan yang luar biasa, Cu Cau maupun Sui Leng-kong pun akan hidup dalam penderitaan dan siksaan batin... akibat dari peristiwa ini sungguh di luar akal sehat.
Terdengar tujuh jago pedang pelangi menjerit bersama, tidak sempat bagi mereka untuk melakukan pertolongan.
Untung Im Kian sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, begitu mendengar Cu Cau tertawa seram, dia sudah menduga akan terjadi perubahan di luar dugaan.
Belum lagi pukulan dari Cu Cau sempat dilontarkan, Im Kian telah merangkul tubuhnya kuat-kuat sembari berteriak keras:
"Harap kalian berdua jangan berkelahi dulu... harap jangan berkelahi dulu."
"Criiing!", terdengar suara gemerincingan nyaring, si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah melolos pedangnya dari sarung dan berkata dingin:
"Seng-toako, apapun alasanmu, sekarang sudah tidak perlu kau jelaskan lagi."
Orang ini jarang berbicara di waktu biasa, tapi begitu buka suara, setiap perkataannya sangat berbobot.
Biarpun hanya beberapa patah kata yang singkat, namun dia sudah menjelaskan posisinya, yakni baik Seng Cun-hau benar atau salah dengan perbuatannya hari ini, asal rekannya turun tangan, maka dia akan turut melolos pedangnya.
Lan hong kiam khek Liu Ji-uh ikut melesat maju ke depan dan berdiri di belakang suaminya, walaupun dia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun jari tangannya yang halus telah menggenggam gagang pedangnya.
Ui koan kiam khek Che Toa-ho ikut membentak nyaring:
"Siapa saja yang berani mengusik selembar bulu Seng-toako, aku ... aku ...."
Tapi begitu melirik wajah Cu Cau sekejap, seketika itu juga dia menghentikan perkataannya.
Sejujurnya, dalam hati kecilnya dia menaruh perasaan jeri terhadap kemampuan silat yang dimiliki Cu Cau, tapi pada saat dan situasi seperti ini, tidak memberi kesempatan baginya untuk memilih, akhirnya sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia melanjutkan:
"Aku akan mengadu jiwa dengannya."
Bi gwe kiam khek Sun Siau-kiau yang masih dipengaruhi arak malah sudah mencabut pedangnya sambil berteriak:
"Gi Beng, Gi Teng, apakah kalian berdua hanya akan menjadi penonton?"
Tubuhnya maju menerjang meja, kemudian mengobrak-abrik cawan dan hidangan yang tertata di atas meja.
Menyaksikan semua ini Cu Cau kembali mendongakkan kepalanya sambil tertawa seram.
"Bagus, bagus sekali," teriaknya, "jadi kalian ingin mengandalkan jumlah banyak untuk mengembut aku? Bagus, hari ini akan kusaksikan siapa yang lebih tangguh antara aku dengan tujuh jago pedang pelangi?"
"Mau menang kalah, mau mati hidup, semuanya bukan masalah," tukas Liong Kian-sik ketus.
Pada hari biasa dia kelihatan paling dingin dan hambar, padahal orang ini dipenuhi darah panas yang bergolak, begitu selesai mengucapkan perkataan itu, suasana pembunuhan pun seketika menyelimuti seluruh ruangan.
Im Kian berusaha mencegah dan menghalangi niat orang-orang itu, namun dalam keadaan seperti ini, siapa pun enggan menuruti perkataannya, semua orang sudah dipengaruhi emosi, mata mereka sudah berubah jadi merah, kelihatannya pertempuran tak bisa dihindari lagi.
Mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat, kemudian terdengar dia berseru:
"Bila kalian ingin turun tangan, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah Sui Leng¬kong, sang pengantin wanita.
Saat itu kain kerudung mukanya telah ditanggalkan hingga nampak jelas paras mukanya yang pucat-pias bagai mayat, tapi justru karena wajahnya nampak pucat, kecantikan wajahnya kelihatan semakin menggetar sukma.
Entah karena terpengaruh oleh kecantikan wajahnya ataukah terpengaruh oleh nada bicaranya yang dingin menggidikkan, tanpa sadar suasana berubah menjadi tenang kembali.
Kembali Sui Leng-kong berpaling ke arah Cu Cau, bujuknya lembut:
"Bagaimana kalau kau pun duduk dulu?"
Di balik suaranya yang lembut seolah terkandung semacam daya pengaruh yang sukar ditentang, membuat Cu Cau, si jagoan yang tangguh ini tanpa terasa duduk kembali.
Kembali Sui Leng-kong menghela napas sedih, katanya:
"Jago pedang berhati merah Seng Cun-hau bukan orang gegabah yang tidak tahu sopan santun, aku yakin perbuatannya hari ini pasti didasari satu alasan yang kuat, bukankah begitu?"
Menyaksikan sorot mata si nona yang sayu dan penuh kesedihan, tanpa terasa hawa amarah Seng Cun-hau padam sebagian, dia mendongak-kan kepala dan menghela napas panjang, sahutnya:
"Benar, aku terpaksa berbuat begitu karena mempunyai alasan yang kuat."
"Bersediakah kau untuk menjelaskan alasannya?"
"Aku... aku...."
Kalau dilihat dari wajahnya yang dicekam pula oleh perasaan sedih dan duka, dapat diketahui alasan yang hendak dikemukakan sebetulnya merupakan alasan yang tak ingin diungkap, namun dia pun tak mampu menampik permintaan Sui Leng¬kong.
Paras mukanya sebentar menghijau sebentar memerah, akhirnya setelah menghentak-kan kakinya berulang kali, dia pun berkata:
"Sebenarnya aku merasa amat sedih untuk mengungkap rahasia ini, tapi...."
Kembali dia mendongakkan kepala sambil menghela napas panjang, lanjutnya:
"Tapi kalau tidak kuungkap, maka nona Sui dan Cu... Cu-tayhiap pasti akan menyesal sepanjang hidup."
Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu.
Dengan wajah berubah, Im Kian segera berseru:
"Kalau memang begitu, harap Hengtay jelaskan alasannya, kami akan berterima kasih sekali atas kesediaanmu itu."
Dengan wajah serius, Seng Cun-hau berkata:
"Siapa pun boleh menikah dengan nona Sui, tapi Cu-tayhiap ... kau tidak boleh menikah dengannya."
"Omong kosong, memangnya kenapa?" tidak lahan Cu Cau membentak nyaring.
"Karena ... karena ...." sambil menahan amarahnya, Seng Cun-hau menghela napas panjang:
"Aaaai, sebelum kujelaskan alasannya, lebih baik dengarkan dulu ceritaku."
"Baik, berceritalah, kami semua akan mendengarkan dengan tenang."
Dengan kening berkerut sebenarnya Cu Cau ingin membantah, namun setelah mendengar ucapan Sui Leng-kong yang lembut, mau tidak mau terpaksa dia harus menahan diri dan ikut mendengarkan.
Lama sekali Seng Cun-hau tertunduk sedih, tampaknya dia sedang berpikir bagaimana harus mulai dengan ceritanya, kejadian itu kelewat membuatnya sedih hingga untuk sesaat dia merasa tidak sanggup untuk berbicara.
Lebih kurang sepeminuman teh kemudian, akhirnya dia pun mulai mengisahkan cerita yang memedihkan hati itu.
"Dahulu ada... dahulu ada seorang yang tergila-gila belajar silat sejak kecil, tapi dia hanya seorang manusia biasa, manusia dengan bakat apa adanya, maka dari itu walaupun dia berlatih giat siang dan malam, namun hasil yang diperoleh tidak seberapa. Ibu orang itu sangat berharap putranya bisa berhasil, bisa menjadi seekor naga sakti, dia selalu memandang putranya itu bagai manusia berbakat alam, dia berharap suatu saat nanti putranya bisa menjadi seorang pendekar pedang kenamaan.
"Orang itu tidak tega menyaksikan ibunya kecewa, sementara dia sendiri justru tidak mampu melatih diri dengan kepandaian silat yang tangguh, bisa dibayangkan betapa sedih dan tersiksanya batin orang itu, dalam situasi tertekan inilah suatu hari dia memutuskan untuk melatih ilmu Toan¬ coat sin kang (ilmu sakti putus keturunan) yang belum pernah ada yang berani melatihnya."
Baru saja dia bercerita sampai di situ, semua orang sudah tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya hampir berbareng:
"Toan coat sin kang? Besar... besar amat nyali orang ini, berani betul dia melatih ilmu pemutus keturunan itu."
Sebagaimana diketahui, hampir semua yang hadir saat ini merupakan jago-jago tangguh dari dunia persilatan, mereka semua tahu akan asal-usul ilmu Toan coat sin kang ini, mereka pun sadar bila seseorang berlatih ilmu sakti ini, maka dia akan kehilangan kemampuannya untuk meneruskan keturunan, bukan cuma begitu, salah-salah bisa cau hwe jip mo (jalan api menuju neraka) yang berakibat kematian.
Oleh sebab itu walaupun tidak sedikit umat persilatan yang mengetahui cara berlatih Toan coat sin kang, namun belum ada seorang manusia pun yang rela mengorbankan kebahagiaan hidupnya dengan berlatih ilmu itu.
Im Kian menghela napas sedih, ujarnya: "Terkadang cinta seorang ibu yang berlebihan malah akan mencelakakan putranya sendiri, bila orang ini bukan merasa didesak ibunya, mana mungkin dia rela melatih Toan coat sin kang yang membuat dirinya impoten sehingga tidak bisa menghasilkan keturunan!"
"Setelah mengorbankan kejantanannya, apakah orang itu berhasil melatih ilmu silatnya sehingga mencapai tingkat kesempurnaan?" tanya Gi Beng dengan nada gemetar.
Seng Cun-hau termenung sedih beberapa saat lamanya, kemudian baru melanjutkan:
"Bakat yang dimiliki orang ini benar-benar bebal dan goblok, biarpun sudah berlatih tekun hampir tiga tahun lamanya, namun hasilnya tetap nihil... tapi... tapi yang jelas dia sudah mengorbankan kejantanannya, sudah mengorban¬kan kemampuannya untuk menghasilkan keturunan. Ketika tanpa disengaja ibunya mengetahui akan kejadian ini, dalam sedih bercampur kagetnya, disamping dia menggembleng putranya dengan ilmu silat, dia pun buru-buru mengawinkan putranya."
"Waah... bukankah hal ini akan menyengsarakan perempuan itu ...." teriak Gi Beng tanpa sadar, tapi begitu tahu dia sudah salah bicara, buru-buru gadis ini membungkam dengan pipi berubah merah.
Kembali Seng Cun-hau menghela napas panjang.
"Walaupun orang itu tidak ingin merusak masa depan dan kebahagiaan seorang wanita dengan tubuhnya yang cacad, akan tetapi dia pun tidak berani membangkang perintah ibunya. Sebab ibunya selalu menyimpan secercah harapan. Namun... sesudah perkawinan berjalan dua tahun lamanya, bukan saja mereka tidak berputra, bahkan istrinya makin lama semakin layu dan murung.
"Waktu itu perasaan orang itu semakin tertekan dan tersiksa, tapi harapan sang ibu terhadap putranya belum pupus, dia justru melimpahkan tanggung jawab kemandulan itu pada menantunya."
Semua orang menjerit tertahan, Gi Beng pun melelehkan air mata sambil bergumam:
"Kasihan benar perempuan itu, ternyata dia harus mengalami kejadian yang amat tragis!"
Sepasang mata Sun Siau-kiau pun ikut berubah jadi merah, sembari mengucek mata, dengan gemas dia mengumpat:
"Dasar kaum lelaki mau menang sendiri, yang selalu sengsara adalah kita kaum wanita."
"Bee... belum tentu," tukas Che Toa-ho, "ada juga wanita yang...."
"Siapa suruh kau ikut bicara," bentak Sun Siau-kiau sambil mendelik, "bagaimana nasib selanjutnya wanita itu? Apakah dia pun diceraikan oleh mertuanya?"
Raut muka Seng Cun-hau dicekam kesedih¬an yang luar biasa, katanya dengan sedih, "Mereka adalah keluarga persilatan kenamaan dalam dunia persilatan, mana mungkin bisa kawin cerai seenaknya, memangnya tidak kuatir ditertawakan sahabat Kangouw?"
Dengan gemas Gi Beng berseru: "Dia pasti kuatir menantunya menguarkan sebab musabab kejadian itu sehingga...."
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba dengan wajah berubah serunya:
"Dalam situasi seperti ini, jangan-jangan... jangan-jangan ibu orang itu telah membunuh menantunya?"
Seng Cun-hau membungkam diri dengan wajah semakin sedih, walau tidak menjawab, namun dia tidak menyangkal akan hal itu.
Sambil menggertak gigi menahan emosi, jerit Sun Siau-kiau, "Apakah dia berbuat begitu agar putranya bisa kawin lagi?"
"Benar...." Seng Cun-hau tertunduk lesu.
"Apa? Setelah mencelakai satu orang, dia masih ingin mencelakai seorang lagi...." teriak Sun Cun-hau terperanjat, "bila putranya masih punya lengsim, seharusnya dia tolak perkawinan itu."
"Tapi orang itu adalah seorang anak berbakti," ucap Seng Cun-hau pelan, "jangankan Ibunya hanya minta dia menikah lagi, andaikata dia diharuskan mati pun akan dia akan lakukan seketika."
"Apakah berbakti macam begini tidak sedikit kelewatan?" tanya Im Kian sambil menghela napas
"Tiada orang tua tiada dunia," kata Seng Cun-hau serius, "budi yang diberikan ibu kepada kita tiada taranya, sebagai anaknya apakah kita tega membangkang perintahnya?"
Cu Cau tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya:
"Sekalipun berbakti, jelas cara berbakti semacam ini adalah tindakan tolol, setia secara tolol, berbakti secara tolol bukan perbuatan seorang lelaki sejati, sekalipun orang... orang itu menuruti keinginan ibunya, apakah dia lupa kalau perbuatannya justru telah mencelakai nasib seorang wanita? Aku rasa... bukan saja perbuatan semacam ini kelewat tolol, bahkan... bahkan konyol."
Semakin berbicara dia semakin emosi, pada akhirnya orang ini mulai mencaci-maki habis-habisan.
Dengan sedih Sui Leng-kong berkata:
"Sekalipun cara berbakti yang dilakukan orang ini sedikit... sedikit kelewatan, namun aku tetap mengagumi orang berbakti macam dia."
Dengan penuh rasa terima kasih Seng Cun-hau melirik sekejap ke arahnya, berbeda dengan Cu Cau, dia tunjukkan sikap yang lebih gusar, dia tidak habis mengerti kenapa Sui Leng-kong selalu membantu Seng Cun-hau.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau hubungan antara Sui Leng-kong dan Seng Cun-hau sebenarnya amat pelik dan unik... ibu Sui Leng¬kong tidak lain adalah bini Seng Cun-hau.
Sekalipun dalam hati Sui Leng-kong menaruh rasa jengkel terhadap Seng Cun-hau karena dia telah mencelakai kehidupan ibunya, namun dia pun menaruh semacam perasaan dekat yang berbeda dengan perasaannya terhadap orang lain.
Perasaan itu sangat sensitif dan pelik, yang tak mungkin bisa dipahami orang lain....
Akhirnya Seng Cun-hau melanjutkan kembali kisahnya:
"Setelah menikah untuk kedua kalinya, orang itu kuatir ibunya kembali... aaaai, maka dia pun selalu berusaha melindunginya, setiap saat selalu mengintainya, namun betapapun sayang dan perhatiannya orang itu, apa yang mampu dia berikan masih belum sepadan dengan hilangnya masa remaja perempuan itu... dia tidak pernah mampu memberi kepuasan kepadanya, maka lambat-laun kondisi istrinya pun berubah makin murung dan tersiksa."
Ketika menyinggung soal "kepuasan", sebenarnya dia sudah menggunakan perkataan yang paling halus, namun tidak urung merah jengah juga wajah Liu Ji-uh, Gi Beng dan Sun Siau-kiau. Dengan jengkel Sun Siau-kiau berseru: "Mungkin perlindungan yang dilakukan orang itu terhadap bininya sama seperti dia sedang melindungi sesuatu benda berharga atau seekor hinatang peliharaan, pasti tidak ada kasih sayang, tidak ada cumbu rayu, bukankah begitu?"
Bagaimanapun juga dia adalah seorang wanita yang telah menikah, dia cukup memahami kebutuhan seorang wanita sebagai istri seseorang, kalau bukan disebabkan perasaan tidak puas, mustahil wajah perempuan itu akan murung dan berubah sayu.
Seng Cun-hau termenung beberapa saat, setelah menghela napas panjang, sahutnya:
"Benar, oleh karena orang itu menderita cacad, merasa rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri, dia tidak pernah bercumbu rayu dengan bininya, yang dilakukan hanya melindunginya dari kejauhan.
"Dua tahun berlalu tanpa terjadi sesuatu apapun, suatu hari musuh besar kelompok keluarga itu datang menyerang secara besar-besaran, pertempuran sengit pun segera berkobar.
"Menantu orang itu berasal dari keturunan keluarga persilatan kenamaan, ilmu silatnya amat tangguh, apalagi sepasang Wan yo kiam andalan¬nya boleh dibilang jarang ada yang mampu menandingi. Oleh karena keluarga besar diserang orang, tentu saja sebagai menantu dia tidak bisa berpeluk tangan saja, maka dengan mengandalkan sepasang Wan yo kiam, dia bertarung habis-habisan melawan seorang pemuda dari pihak musuh.
"Walaupun sepanjang pertempuran ber¬langsung orang itu sangat menguatirkan keselamatan bininya, karena dia tahu bininya belum banyak pengalaman, namun saat itu dia sendiri sedang dikerubut dua orang musuh sehingga untuk sesaat tidak mampu mengurusi orang lain.
"Betul orang itu memiliki bakat yang pas-pasan sehingga kungfunya tidak mampu mencapai kesempurnaan, namun ilmu silat yang dipelajari¬nya waktu itu sudah cukup matang, sayang ilmu pedangnya yang terbilang cukup mantap tapi kehilangan kemampuannya dalam hal ganas, tepat dan telengas. Dalam keadaan begini, dia hanya mampu bertahan dengan susah payah, hanya mampu mempertahan diri sendiri.
"Untunglah di saat yang kritis, teman-teman dari persekutuan nya datang membantu, sepak terjang kawanan musuh besar itu sungguh aneh dan cara kerjanya juga unik, ketika mengetahui gempurannya tidak berhasil, mereka segera mengundurkan diri secara serentak. Pada saat itulah orang itu mengetahui bininya telah lenyap dari arena pertarungan, dalam cemas dan gelisahnya, orang itupun melakukan pencarian.
"Dia tidak ingin mengganggu ketenangan orang lain, sebab dia cukup tahu ibunya menaruh perasaan curiga terhadap menantunya, kalau dia sampai tahu menantunya telah hilang, bisa dipastikan dia akan melarang orang melakukan pencarian.
"Begitulah, dengan mengandalkan kekuatan sendiri yang amat terbatas, setengah jam kemudian dia baru berhasil sampai di luar sebuah hutan bunga tho... ya, sebuah hutan bunga tho...."
Bicara sampai di sini, paras mukanya nampak lebih sedih dan tertekan, malah nada suaranya terdengar ikut gemetaran, hal ini memperlihatkan kalau kisah lama yang akan diceritakan merupakan satu kejadian besar yang hingga kini pun masih menusuk perasaannya.
Setelah lewat beberapa saat, dia baru melanjutkan kembali kisahnya dengan suara perlahan:
"Hari itu cahaya rembulan menyinari seluruh angkasa, membiaskan bayangan pohon dan menyinari putih bunga yang berguguran... dalam suasana seperti itulah dari balik pepohonan bunga tho justru terdengar... terdengar suara rintihan yang menggetar sukma, biarpun orang itu bukan seorang Kuncu, dia pun tidak termasuk Siaujin, begitu mendengar suara yang membetot sukma, seketika dia menghentikan langkahnya, belum sempat membalikkan badan, suara rintihan di balik pepohonan itu telah berubah menjadi suara panggilan dan teriakan."
Sesungguhnya kisah yang dia ceritakan merupakan satu kejadian yang amat sensitif dan memalukan, tapi justru dia sampaikan dengan nada penuh kesedihan dan amarah yang meluap.
Sementara itu kawanan wanita yang hadir di situ meski wajahnya telah berubah menjadi merah lantaran malu, tidak urung perhatian mereka bersedot juga oleh gaya bicaranya yang penuh emosi itu.
Terdengar Seng Cun-hau berkisah kembali:
"Begitu mendengar suara teriakan itu, orang tadi segera mengenalinya sebagai suara teriakan istrinya, sementara nama yang dipanggil bininya justru adalah nama sang pemuda musuh keluarganya."
Mendengar sampai di sini, kembali semua orang menjerit kaget, kalau sebelumnya rasa simpati mereka tertuju pada sang istri orang itu, maka rasa simpati itu kini beralih kepada orang yang bersangkutan.
Dengan wajah mengejang keras dan suara makin gemetar, Seng Cun-hau bercerita lagi:
"Dalam terkejut, sedih dan gusarnya, orang itu siap menerjang masuk ke dalam hutan bunga tho, tapi baru melangkah tidak seberapa jauh, rasa sedih dan gusarnya telah berubah menjadi rasa penyesalan. Dia sadar semua peristiwa yang terjadi tidak terlepas dari kesalahan sendiri, sekalipun tindakan yang dilakukan istrinya juga salah, akan tetapi bukan seratus persen kesalahannya seorang, karena sang suami pun sebenarnya ikut bertanggung jawab. Berpikir sampai di situ, dia pun merasakan seluruh tubuhnya menjadi lemas, dia tidak punya keberanian lagi untuk menerjang masuk ke dalam hutan, dia malah tergeletak diluar hutan dan tidak sanggup merangkak bangun lagi."
Perlahan-lahan sorot matanya dialihkan keluar jendela, paras mukanya tampak begitu duka, tertekan dan tua.
Keheningan mencekam seluruh ruangan, semua yang hadir ikut merasakan tekanan batin yang berat.
Lama kemudian Sun Siau-kiau baru menghela napas panjang, gumamnya:
"Sekarang aku baru tahu, walaupun bininya menderita, namun dia sendiri jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa."
Setelah menghela napas sedih, lanjutnya:
"Dalam situasi dan keadaan seperti itupun dia masih memikirkan kepentingan orang lain, hal ini membuktikan kebesaran jiwa serta kebajikan hatinya sukar ditandingi oleh siapa pun."
Diam-diam Gi Beng menyeka air matanya, dengan suara parau dia bertanya: "Bagaimana selanjutnya?"
"Walaupun dia merasa penat, walaupun hatinya tersiksa, namun tanpa disadari pandangan matanya tetap dialihkan ke balik hutan, menyaksikan pemandangan di situ, begitu dilihat... dia pun terperangah.
"Ternyata, walaupun nama yang disebut bininya adalah nama sang pemuda musuh besarnya, tapi orang yang sedang begituan dengan bininya... ternyata bukan pemuda itu...."
"Lantas siapa?" tanpa sadar serentak semua orang bertanya.
"Orang yang sedang begituan dengan bininya ternyata adalah seorang tokoh silat maha sakti yang namanya amat tersohor dan sudah dikenal sebagai jagoan romantis.
"Sekalipun usia orang itu sudah terhitung lanjut, namun nama serta kedudukannya tidak tertandingi oleh siapa pun. Orang itu bisa mengenali wajahnya karena di masa mudanya dulu, suatu ketika dia pernah bersua dengan tokoh sakti ini dan kesannya sangat mendalam, karena itu meski sudah berpisah lama, dia masih dapat mengenalinya dalam sekilas pandang. Begitu tahu siapakah tokoh sakti itu, tidak terlukiskan lagi rasa kaget dan tercengangnya orang itu.
"Dia betul-betul tidak habis mengerti kenapa sang pemuda bisa berubah jadi tokoh silat itu, dia pun tidak bisa menduga perubahan apa yang sebenarnya terjadi di situ, untuk sesaat dia malah tertegun. Menanti sadar kembali dari lamunan, dilihatnya tokoh silat itu seolah teringat akan satu hal yang penting, secara tiba-tiba dia pergi dari situ dengan kecepatan luar biasa.
"Perasaan orang itu amat kalut, sedih, gusar, malu dan tercengang bercampur aduk jadi satu, dia tidak bisa merasakan kejut atau getirnya kehidupan waktu itu. Melihat bininya masih tergeletak di tanah dalam keadaan bugil, melihat dia seakan tertidur begitu nyenyak... aaaaai! Perasaan cinta dan benci bercampur aduk dalam benak orang itu, tiba-tiba saja dia melompat bangun dan menyerbu masuk ke dalam hutan...."
"Apakah dia... dia bunuh istrinya?" Gi Bengmenjerit kaget.
Seng Cun-hau menghela napas sedih.
"Waktu itu sebenarnya dia memang ingin menjagal istrinya, tapi ... di saat itulah dalam mimpinya sang istri mengigau, memanggil nama suaminya. Panggilan itu meski lirih namun bagi pendengaran orang itu justru bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong.
"Saat itulah dia baru sadar, sesungguhnya sang istri masih amat mencintainya, hanya saja..¬.karena dia tidak mampu, karena dia impoten, memang tidak sepantasnya dia menyalahkan perbuatan istrinya."
Ketika bicara sampai di situ, mendadak dia menggebrak meja keras-keras, menghancurkan cawan, membuat piring beterbangan, tapi dia tidak peduli, dia membiarkan pecahan cawan melukai tangannya, membiarkan darah segar meleleh keluar dengan derasnya.
Tapi dia seakan tidak merasa sakit, setelah menghela napas panjang dan tertunduk sedih, perlahan lanjutnya:
"Waktu itu dia merasa, kalau toh diri sendiri sudah menanggung begitu besar kesalahan dan dosa, mengapa dia tidak berusaha memaafkan istrinya yang telah serong? Maka tanpa mengucap¬kan sepatah kata pun dia bopong bininya dan diajak pulang, sejak kejadian itu dia tidak pernah lagi mengungkap peristiwa itu kepada siapa pun."
Semua orang terbungkam dalam seribu bahasa, para wanita melelehkan air mata sedih sementara Sui Leng-kong sudah terisak dengan pedihnya, sebab dari kisah cerita itu dia sudah dapat menebak apa yang telah terjadi.
"Ternyata... ternyata orang itu memang seorang lelaki sejati ...." puji Sun Siau-kiau sambil menyeka air mata.
"Sudah selesai ceritanya?" tanya Gi Beng pula.
Dengan air mata membasahi pipi, Seng Cun-hau melanjutkan:
"Sebetulnya aku tidak ingin mengungkit kembali kejadian masa lampau, aku ingin peristiwa itu kukubur selamanya dalam dasar hatiku, siapa tahu lewat beberapa bulan kemudian kujumpai... kujumpai dia... ternyata dia sudah hamil"
Sampai pada akhir cerita, dia tidak bisa menyimpan rahasia lagi dan meluncur kata "aku", begitu sadar akan kesalahan ini, tubuhnya bergetar keras dan seketika terbungkam kembali.
Padahal sekalipun tidak dia sebut pun orang lain sudah menduga akan hal itu, semenjak tadi sorot mata penuh simpati sudah terpancar dari wajah semua orang.
Seng Cun-hau memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya dengan sedih:
"Aku rasa tidak perlu menjelaskan lagi siapakah orang itu, aku yakin kalian sudah bisa menebaknya sendiri."
Semua orang menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya, siapa pun merasa tidak tega untuk memandang wajahnya yang sedih, hanya Cu Cau seorang tetap duduk tidak bergerak, wajahnya menunjukkan pula kepedihan yang luar biasa.
Tiba-tiba Gi Beng berseru:
"Tapi... tapi... apa hubungannya cerita itu dengan Enci Sui?"
"Tahukah kau siapa biniku itu?" tanya Seng Cun-hau.
Gi Beng tertegun, lalu menggeleng.
"Aku tidak tahu...."
"Biniku tidak lain adalah ibu Sui Leng-kong, waktu itu benih yang ada dalam rahimnya tidak lain adalah Sui Leng-kong...."
Sekujur tubuh Sui Leng-kong bergetar keras, sambil mengeluh dia jatuh tidak sadarkan diri.
Dengan air mata bercucuran, cepat Gi Beng memayang tubuhnya.
Sun Siau-kiau kelihatan agak ragu, bisiknya pula:
"Tapi... apa hubungannya dengan Cu ...."
Dia melirik Cu Cau sekejap, mendadak seperti teringat akan sesuatu, jeritnya terperanjat:
"Jangan-jangan... tokoh silat itu adalah... adalah...."
Ketika berpaling lagi ke arah Cu Cau, dia saksikan sepasang mata lelaki itu telah berubah jadi merah darah, tubuhnya gemetar keras, mimik mukanya kelihatan sangat menakutkan.
Sun Siau-kiau terkesiap, buru-buru dia membungkam diri.
"Benar," sahut Seng Cun-hau, "tokoh persilatan itu tidak lain adalah Kaisar malam, jadi Sui Leng-kong sebenarnya saudara kandung Cu Cau, karena itu mereka tidak bisa menikah."
Biarpun semua orang sudah menduga akan kenyataan itu, tidak urung hati mereka bergetar juga setelah mendengar pengakuan itu, Sun Siau-kiau buru-buru memejamkan matanya, dia kuatir dirinya ikut jatuh semaput lantaran kelewat sedih.
Mendadak terdengar Cu Cau berpekik nyaring. Suaranya keras bagai pekikan naga, membuat seluruh jagad bergetar, membuat daun jendela dan ruangan serasa bergoncang keras.
Belum habis dia berpekik, tubuhnya sudah melambung ke udara dan menerobos keluar melalui jendela, hanya dalam dua kali kilatan cahaya saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sebetulnya Im Kian ingin menyusul, tapi keadaan sudah terlambat, terpaksa dia hanya bisa menjejakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas panjang.
Suasana hening mencekam dalam ruangan, tiada orang yang mampu tersenyum lagi, helaan napas, lelehan air mata hampir menyelimuti setiap orang, pondok Cay-seng yang semula dipenuhi gelak tertawa, kini serasa tercekam dalam kemurungan dan kedukaan yang mendalam.
Dengan sedih Seng Cun-hau menundukkan kepala.
"Aku pantas mati," bisiknya, "aku ...."
"Kau tidak perlu menyesal," tukas Im Kian sambil menghela napas pula, "masih untung Hengtay datang tepat waktu sehingga kesalahan tragis tidak sampai terjadi, budi kebaikan ini... aaaai! Terimalah hormatku sebagai tanda terima kasih yang tidak terhingga."
Habis berkata dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut.
Buru-buru Seng Cun-hau ikut berlutut, cucuran air mata makin deras membasahi pipinya.
Semua orang yang menyaksikan kejadian inipun tidak sanggup mengendalikan diri, helaan napas sedih kembali bergema memecah keheningan.
Coba kalau Seng Cun-hau tidak membuat keonaran tanpa sengaja, mungkin saat itu nasi sudah menjadi bubur, keadaan yang lebih tragis pun mungkin sudah terjadi.
Bagaimanapun juga kejadian ini merupakan satu keberuntungan di tengah ketidak beruntungan, sepantasnya hal ini dirayakan dengan gembira, tapi siapa pula yang bisa bergembira dalam situasi seperti ini?
Untuk beberapa saat semua orang tidak tahu harus sedih atau gembira, mereka hanya bisa berdiri mematung dengan wajah termenung.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Sun Siau-kiau tersadar kembali dari lamunannya, dia tarik ujung baju Che Toa-ho dan bisiknya:
"Mari kita pergi!"
"Pergi?" bisik Che Toa-ho bingung.
"Kalau tidak pergi... aku bisa gila."
Che Toa-ho memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian gumamnya:
"Betul, lebih baik pergi dari sini."
Dalam pada itu si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah membangunkan Seng Cun-hau dan berkata:
"Kalau toh sudah tidak ada keramaian lagi di sini, lebih baik kita mohon diri."
"Tapi...." bisik Im Kian.
Sebetulnya dia ingin menahan tamunya, namun setelah membayangkan keadaan saat itu, dimana menahan tamunya berarti hanya akan menambah suasana sedih, maka niat itu segera ditelan kembali.
GiTeng dan Gi Beng saling bertukar pandang sekejap, pikir mereka:
"Bila Seng-toako sampai mengetahui identitas Im-toako yang sebenarnya, mungkin bakal terjadi keributan lagi."
Berpikir sampai di situ, kedua orang itupun berseru hampir berbareng:
"Benar, lebih baik Seng-toako segera pergi!"
"Apakah kalian tidak ikut bersama Toako?" tanya Liong Kian-sik dengan kening berkerut.
"Tentu saja Siaute akan turut serta," jawab Gi Teng sambil menunduk, "hanya saja...."
"Hanya saja Enci Sui... dia...." sambung Gi Heng, "aku tidak tega meninggalkan dia dalam keadaan begini, lebih baik... lebih baik kalian saja yang berangkat duluan, kami akan menyusul belakangan."
"Begitupun baik juga...." sahut Liong Kian-sik setelah berpikir sejenak.
"Tapi Seng-toako hendak kemana? Supaya kami gampang mencarinya."
"Kuil Sang-cing-to-koan di bukit Lau-san!" Seng Cun-hau memandang Im Kian sekejap, kelihatannya dia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ketika disadari kalau banyak bicara pun tidak ada gunanya, setelah menghela napas panjang, dia pun menjura dan mohon diri.
Tidak lama kemudian bayangan tubuh beberapa orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Setelah melakukan perjalanan setanakan nasi lamanya, Sun Siau-kiau yang pertama tidak bisa menahan diri, ujarnya sambil menghela napas:
"Heran, kenapa ada kejadian yang begitu kebetulan? Kenapa Thian selalu mengatur perjalanan nasib seseorang dengan cara yang tidak terduga."
Liong Kian-sik ikut menghela napas.
"Nasib memang mempermainkan manusia, hal semacam ini susah untuk diterangkan dengan akal sehat."
Tiba-tiba Che Toa-ho menimbrung:
"Siaute merasa sedikit heran dengan asal-usul pemilik pondok Cay-seng, aku tidak tahu siapakah dia?"
"Aku yakin dia adalah anggota perguruan Tay ki bun," jawab Seng Cun-hau.
"Dari mana Toako bisa tahu?" teriak semua orang hampir berbareng.
Seng Cun-hau menarik napas panjang, katanya:
"Biarpun aku bodoh dan bebal, namun memiliki kemampuan untuk mengamati perubahan mimik orang, dilihat dari hubungannya yang begitu akrab dengan Sui Leng-kong, bisa kutebak kalau dugaanku tidak bakal salah."
Sun Siau-kiau menghela napas.
"Di waktu biasa," katanya, "aku selalu berpendapat, meskipun kungfuku masih belum mampu menandingi Toako, namun kecerdasanku masih jauh lebih unggul, tapi hari ini aku baru sadar, ternyata Toako adalah orang pandai."
"Toako mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas, tentu saja kami semua bukan tandingannya," kata Liu Ji-uh pula, "di hari biasa, dia memang lebih suka menyembunyikan kelebihannya."
Perkataan ini bukan kata pujian tapi memang berdasarkan kenyataan, sebagaimana diketahui, biarpun Seng Cun-hau bukan termasuk orang pintar, namun caranya berpikir amat cermat, tindak-tanduknya juga tenang, satu kelebihan yang sulit ditandingi rekannya.
"Toako," teriak Che Toa-ho kemudian, "kalau sudah tahu dia adalah anggota perguruan Tay ki bun, kenapa tidak segera turun tangan?"
Pikiran dan jiwa orang ini paling picik, semenjak dikalahkan Thiat Tiong-tong, hingga hari ini dia masih menaruh perasaan dendam.
Kembali Seng Cun-hau menghela napas, sahutnya:
"Biarpun angkatan tua kita mempunyai dendam permusuhan dengan perguruan Tay ki bun, kenyataan hingga sekarang kita pun belum tahu seluk beluk serta latar belakang permusuhan yang sebenarnya."
"Jadi Toako ingin menyudahi saja per¬musuhan ini?"
"Aku hanya berharap permusuhan yang telah berjalan hampir seabad ini bisa disudahi pada generasi kita, apa gunanya saling membunuh? Kenapa kita mesti menyusahkan generasi berikutnya?"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa pedih, lanjutnya:
"Sekalipun aku tidak punya keturunan, namun aku tetap berharap generasi kita berikut bisa hidup aman damai dan sentosa. Sebab ... sebab aku sudah merasakan betapa menderita dan tersiksanya hidup dalam suasana permusuhan, selain itu aku pun yakin banyak anggota perguruan Tay ki bun yang berjiwa ksatria, seperti misalnya Thiat Tiong-tong... aaai, jalan pikirannya persis sama seperti jalan pikiranku."
Che Toa-ho merasa sangat tidak puas setelah mendengar rekannya memuji Thiat Tiong-tong, wajahnya kontan bersungut-sungut.
Liong Kian-sik segera berkata:
"Pemahaman Toako sungguh membuat Siaute merasa kagum, apabila setiap umat persilatan bisa memiliki pandangan macam Toako, dunia pasti akan aman tenteram."
Liu Ji-uh serta Sun Siau-kiau mesti tidak bicara, namun dari mimik mukanya dapat diketahui mereka pun sangat mengagumi jalan pikiran Seng Cun-hau.
"Kalau memang begitu, buat apa kita menyusul ke sana?" seru Che Toa-ho jengkel.
"Kali ini aku mengundang kalian turun gunung, bukan karena berharap Hiante sekalian membantuku dalam pertarungan berdarah," tukas Seng Cun-hau cepat.
"Lantas untuk apa?"
"Aku hanya berharap Hiante sekalian mau memberi dukungan semangat kepada kami, agar perselisihan yang telah berlangsung seabad ini bisa disudahi sampai di sini."
Kemudian setelah menghela napas lagi, lanjutnya:
"Seharusnya Hiante juga tahu, kalau sampai kita membuat generasi berikutnya menderita hanya gara-gara dendam pribadi, kejadian itu merupakan satu tindakan yang sangat keji."
Che Toa-ho berpikir sejenak, akhirnya dia pun menghela napas sambil menundukkan kepala.
Sui Leng-kong telah sadar dari pingsannya, dia masih mendekam dalam pelukan Gi Beng sambil menangis terisak.
Gi Beng tiada hentinya menghibur, namun air mata ikut berlinang membasahi pipinya.
Sambil tertawa paksa, Im Kian berkata:
"Kejadian masa lampau telah berlalu, buat apa Hianmoay masih menangis? Berpikirlah hal positip yang bakal kau peroleh di kemudian hari, dengan begitu aku pun ikut merasa lega."
Perkataan itu mengandung makna yang mendalam, meski orang lain belum tentu paham, namun Sui Leng-kong sangat memahaminya.
Setelah kenyataan membuktikan dia masih bersaudara dengan Cu Cau, berarti cinta kasihnya dengan Thiat Tiong-tong sudah tidak terhambat lagi dengan masalah lain, bila suatu ketika kelak hubungan mereka semakin berkembang, tidak tertutup kemungkinan mereka akan naik ke pelaminan.
Tapi entah mengapa, Sui Leng-kong tetap merasakan hatinya amat sedih, untuk sesaat bagaimana mungkin air matanya bisa berhenti berlinang?
Malam yang kelam akhirnya berlalu dalam suasana sedih bercampur gembira, tanpa terasa fajar telah menyingsing di ufuk timur.
Maka Sui Leng-kong pun menyatakan keinginannya untuk pergi.
Dia ingin mencari Thiat Tiong-tong, dia pun ingin mencari saudara kandungnya, Cu Cau....
Dari dasar hatinya yang paling dalam, dia pun berharap bisa berjumpa dengan ayahnya, ayahnya yang konon merupakan jagoan paling tersohor di kolong langit.
Melihat bujukannya tidak berhasil mence¬gah kepergian gadis itu, dengan sedih Im Kian pun berkata:
"Aaai... sayang aku tidak bisa mendampingi perjalanan adik..."
Bicara sampai di situ, dia pun melirik sekejap ke arah Gi Beng dan Gi Teng.
Buru-buru Gi Teng berseru:
"Kalau begitu biar Siaute yang mewakili Toako mendampingi perjalanannya."
"Benar," ujar Gi Beng pula sambil tertawa, "dengan didampingi kami berdua, tanggung Enci Sui tidak akan menjumpai masalah, Im-toako tidak perlu kuatir lagi."
"Aaah, bila kalian bersedia menemami, tentu saja aku merasa lega," sahut Im Kian berseri.
Setelah berpamitan dan meninggalkan pondok Cay-seng, Gi Teng berdua baru teringat kalau mereka telah menyanggupi permintaan Seng Cun-hau, sekarang masalahnya adalah bagaimana mungkin mereka bisa melakukan dua tugas bersamaan?
Matahari telah memancarkan sinarnya menerangi seluruh jagad.
Dua bersaudara ini hanya berharap sepanjang jalan mereka tidak menjumpai halangan, Sui Leng-kong bisa segera menemukan orang yang dicari dan permusuhan yang telah terjalin di masa lalu lambat-laun bisa dipunahkan.
Sayangnya, perjalanan mereka bertiga tidak mungkin bisa dilalui tanpa masalah.
Kecantikan Sui Leng-kong, kelincahan Gi Beng, kegagahan Gi Teng... banyak menarik perhatian orang.
Menyadari akan hal itu, Gi Teng dan Gi Beng mulai bertindak lebih hati-hati....
Mereka menghindari kereta kuda yang kelewat mewah, mereka pun tidak menunggang kuda, tap, perjalanan ditempuh dengan menunggang sebuah kereta kuda yang amat biasa dan umum.
Maka sementara waktu perjalanan pun bisa ditempuh tanpa banyak kesulitan.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now