30. Tragedi Manusia

789 21 0
                                    

Paras muka Kaisar Malam hijau membesi, lama kemudian dia baru bertanya:
"Kau serahkan masalah perkawinan Leng kong dengan Cau-ji kepada siapa? Kini orang tersebut berada di mana?"

"Dia adalah Toakoku, Im Kian, saat ini berada di bawah bukit Ong wo san."

"Bukit Ong wo san........" gumam Kaisar Malam, mendadak ia melompat bangun sambil berteriak keras:
"Dengan kecepatan kita berdua, kalau berangkat sekarang, mungkin masih sempat untuk menghalangi terselenggaranya perkawinan itu."

"Jadi Empek akan ikut?" tanya Thiat Tiong-tong kegirangan.

Kaisar malam menghela napas panjang.
"Aaaai, kecuali Jit-ho Nionio yang meminta, sebetulnya tidak ada persoalan lain yang bisa memaksaku meninggalkan gua ini, tapi persoalan itu... persoalan ini....."
Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, serunya keras:
"Bagaimanapun juga demi persoalan ini aku harus berangkat sendiri!"
Kemudian dengan suara keras dia memanggil semua nona yang ada dalam gua agar segera berkumpul.
"Ada apa?" tanya San-san dengan wajah mengantuk:
"Apakah ingin menambah arak?"
"Menambah arak apa? Siapkan perbekalan, aku harus pergi dari sini!"
Begitu mendengar "aku harus pergi", bagaikan disambar petir di siang hari bolong, paras muka kawanan gadis itu berubah hebat.
"Mau pergi... ada urusan apa?" tanya San-san dengan suara gemetar.
"Tentu saja ada urusan penting!"
"U... urusan apa?"
"Sudah, tidak usah banyak tanya," hardik Kaisar malam gusar, "cepat siapkan perbekalan untukku, cepat! Cepat!"
Padahal selama ini dia selalu hidup santai dan tenang, tapi begitu pikirannya kalut ditambah perasaannya amat cemas, wataknya kontan berubah jadi berangasan dan kasar.
Bagaimana mungkin kawanan gadis itu bisa memahami perasaannya?
Sepuluh tahun hidup berdampingan, Kaisar malam selalu bersikap lemah lembut terhadap mereka, sikap itu tidak pernah berubah, tapi sekarang tiba-tiba wataknya berubah seratus delapan puluh derajat, berubah jadi berangasan, kasar dan gampang naik darah, bahkan cara bicara pun amat kasar.
Sampai mimpi pun mereka tidak tahu karena apa sikap lelaki itu berubah drastis, untuk sesaat mereka hanya bisa saling pandang sementara air mata mulai jatuh bercucuran.
Dengan air mata berlinang dan kepala tertunduk, San-san berjalan meninggalkan tempat itu, tapi setibanya di luar pintu, tidak tahan dia berpaling lagi seraya bertanya:
"Setelah... setelah kepergianmu kali ini, apakah kau... kau akan kembali lagi?"
Tidak tega juga perasaan Kaisar malam setelah menyaksikan mimik muka para gadis itu, dia menghela napas panjang.
"Kalian tidak usah kuatir, aku pasti akan balik kemari"
"Kaa... kapan baru balik?" tanya Cui-ji
Kaisar malam berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
"Aku sendiri pun tidak tahu," katanya, "tapi pasti tak akan terlalu lama."
Kawanan gadis itu semakin sedih setelah mendengar dia tidak bersedia mengatakan sampai kapan baru akan balik.
"Apakah kami... kami tidak bisa diajak serta?" tanya San-san kemudian.
"Aaaai... persoalan ini... kalian tidak bisa ikut."
"Kenapa kami tidak boleh ikut? Sebenarnya karena persoalan apa?" air mata San-san berlinang makin deras.
Saat itu pikiran Kaisar malam sedang dicekam kecemasan dan kepanikan, pertanyaan yang bertubi-tubi membuat amarahnya kembali berkobar, tukasnya:
"Sudah, jangan bertanya lagi, pokoknya kalian tidak bisa ikut, tidak usah bertanya lagi kenapa tidak boleh ikut."
Sekujur tubuh kawanan gadis itu gemetar keras, tidak menanti perkataan itu selesai diucapkan, mereka sudah berlari masuk sambil menutupi wajah sendiri, menutupi wajah sambil menangis tersedu-sedu
Mereka sudah melewati belasan tahun kehidupan yang tenang, tenteram dan penuh kegembiraan, pukulan batin yang muncul secara tiba-tiba membuat mereka tidak mampu menahan diri, terlihat ada beberapa orang di antaranya yang berlari dengan tubuh gontai, belum sempat keluar pintu, mereka sudah roboh tak sadarkan diri.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian inipun ikut merasakan hatinya pedih, diam-diam dia menghela napas panjang, dia cukup memahami perasaan orang tua itu, dan dia pun tidak ingin menjelaskan alasan perjalanan ini kepada kawanan wanita itu.
Sementara itu Kaisar malam telah berpaling ke arah lain, berpaling memandang ke arah dinding ruangan, dia tidak lagi memandang ke arah kawanan perempuan itu walau hanya sekejap, namun mimik mukanya nampak sangat pedih, perubahan wajahnya sulit dilukiskan dengan perkataan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar suara getaran yang amat keras bergema di seluruh ruangan, sedemikian kerasnya suara getaran itu membuat seluruh ruang gua itu bergoncang keras, piring mangkuk berjatuhan, bumi serasa bergoyang tiada hentinya.
Dengan wajah berubah, teriak Kaisar malam kaget:
"Apa yang terjadi?"
Cepat dia melompat keluar.
Buru-buru Thiat Tiong-tong menyusul dari belakang, setelah melewati berapa bilik, lamat-lamat mereka mulai mengendus bau mesiu yang sangat menusuk hidung diikuti batu dan pasir yang beterbangan di udara, suasana di situ persis seperti gunung berapi yang meletus.
Tampak San-san, Cu-ji serta Min-ji perlahan-lahan berjalan keluar dari balik asap dan debu, rambut mereka bertiga awut-awutan tidak keruan, paras muka mereka pucat-pias bagai mayat.
"Karena kalian akan meninggalkan kami, maka sekarang jangan harap kau bisa pergi dari sini!" ujar Min-ji sambil tertawa bodoh.
Tidak terlukiskan rasa gusar Kaisar malam menghadapi kejadian ini, dengan rambut berdiri tegak bagai landak, dia cengkeram tubuh san-san, kemudian bentaknya:
"Apa yang terjadi?"
San-san masih tertawa bodoh, sahutnya: "Kami telah meledakkan lorong rahasia ini dengan sisa obat peledak yang digunakan untuk membuka lorong gua ini dulu."
"Apa? Meledakkan lorong rahasia ini?" teriak Kaisar malam dengan hati terperanjat.
"Benar!" sahut Cui-ji sambil tertawa bodoh pula, "seluruh lorong rahasia ini sudah hancur berantakan, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini. Kami telah mengorbankan segala sesuatunya demi kau, maka kau pun harus selamanya menemani kami."
Kaisar malam membentak keras, dia langsung menampar wajah San-san dengan keras.
Tapi San-san masih berdiri bodoh, katanya sambil tertawa:
"Hajarlah, biar dihajar sampai mampus pun jangan harap kau bisa pergi dari sini..."
Tiba-tiba tubuhnya jadi lemas dan segera roboh terjungkal ke tanah.
Kawanan gadis yang lain menjerit kaget, sedang Kaisar malam menghentakkan kakinya berulang kali, di antara sekian orang hanya Thiat Tiong-tong seorang yang tetap menjaga ketenangannya.
Sesudah berpikir sejenak, pemuda itu berteriak keras:
"Sewaktu Siautit masuk kemari tadi, pintu lorong sebelah atas tidak sempat kututup kembali."
"Benar," seru Kaisar malam penuh semangat, "ayo cepat kita ke sana!"
Buru-buru kedua orang itu berlari keluar dari dalam lorong, meninggalkan kawanan gadis yang masih menjerit sambil menangis tersedu-sedu.
Siapa tahu begitu tiba di ujung lorong, mereka lihat satu-satunya pintu keluar yang tersisa pun entah sedari kapan telah ditutup orang.
Kini seluruh lorong gua tercekam dalam kegelapan yang luar biasa, tidak nampak secercah cahaya pun di situ.
Dengan tertutupnya jalan keluar yang tersisa, berarti pupus sudah pengharapan mereka yang terakhir.
Sekalipun Thiat Tiong-tong memiliki tubuh yang keras bagai baja, tidak urung gemetar juga saat itu, dia merasa tangan dan kakinya dingin membeku, sepasang lututnya jadi lemas, nyaris dia jatuh terduduk di tanah.
Tiba-tiba terdengar Kaisar malam membentak nyaring, di tengah bentakan keras, tubuhnya melambung ke udara, secara beruntun dia melepaskan dua buah pukulan langsung yang diarahkan ke pintu keluar gua karang itu.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kedua pukulan yang dilancarkan Kaisar malam dengan segenap tenaga itu, kehebatannya tidak terlukis-kan dengan perkataan.
Terdengar suara getaran yang memekakkan telinga berkumandang di angkasa, dinding karang di sekeliling tempat itu bergoncang keras, suara pantulan yang menusuk pendengaran bagaikan gulungan ombak yang memecah di tepian bergema tiada hentinya.
Hanya suara pantulan yang dihasilkan, sementara batu karang itu sama sekali tidak bergeming, biarpun tenaga pukulan itu sangat hebat, ternyata tetap tidak mampu menandingi kekuatan alam.
Bagaimana mungkin kekuatan manusia bisa menghancurkan batu karang yang sudah terbentuk sejak ribuan tahun berselang dan setiap hari terlatih menerima pukulan ombak dahsyat?
Tubuh Kaisar malam naik turun tiada hentinya, secara beruntun sepasang tangannya melancarkan serangkaian serangan berantai, dalam waktu sekejap, kembali belasan pukulan telah dilontarkan, tapi sayang seluruh kekuatan yang dikerahkan hanya sia-sia belaka.
Sampai pada akhirnya Pa-ong (raja bengis) ini putus asa, setelah mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, dia pun menjatuhkan diri berbaring di atas tanah.
Secercah cahaya api muncul dari belakang lorong, Cui-ji serta Min-ji dengan membawa obor berjalan keluar dari balik tikungan, cahaya api menyinari wajah mereka yang pucat, menyinari butiran air mata yang berlinang, menyinari tubuh Kaisar malam yang telentang melingkar di tanah, menyinari pula rambutnya yang putih beruban serta
wajahnya yang penuh dengan cucuran darah.........
Sekarang jagoan tangguh dari dunia persilatan itu benar-benar sudah runtuh, benar-benar sudah hancur pikirannya, tiada cahaya lagi di kolong langit yang mampu menyinari keputus asaan serta kepedihan yang mencekam perasaannya.
Dengan air mata bercucuran Thiat Tiong-tong berpaling ke arah lain, tidak tega menyaksikan semua itu, dia mengalihkan sinar matanya, mengawasi sejumlah makanan yang berceceran di atas tanah.
Terdengar Cui-ji berkata dengan suara gemetar:
"Lain kali, ketika si nenek datang mengantar makanan lagi, dia pasti akan membukakan pintu rahasia ini untukmu, mohon... kumohon ... janganlah kelewat bersedih hati... mau bukan?"
"Tidak ada lain kali, tidak bakal ada yang datang mengantar makanan lagi," kata Thiat Tiong-tong.
"Ke... kenapa?" tanya Cui-ji, suaranya selain gemetar, juga terdengar sangat parau.
"Sewaktu si nenek datang mengantar nasi semalam, dia telah menjumpai pintu gua dalam keadaan terbuka dan Empek Cu tidak diketahui keberadaannya, dia pasti menyangka dia orang tua telah pergi dari sini."
Setelah menyapu sekejap makanan yang berserakan di tanah, lanjutnya:
"Coba lihat, dia membuang dengan begitu saja makanan yang dibawa, jelas hal ini menunjukkan hatinya sangat terperanjat, bisa jadi dia telah melakukan pencarian di seputar sini, namun akhirnya pulang dengan kecewa, bisa jadi dia pun sekalian menyumbat mati jalan keluar gua ini. Karena menganggap gua ini sudah berada dalam keadaan kosong, tentu saja dia tidak akan datang kemari lagi."
Sebenarnya dia tidak tega untuk meng¬ungkap kenyataan yang memedihkan hati dan penuh dengan keputusasaan ini, namun berhadapan dengan manusia luar biasa macam Kaisar malam, dia berpendapat daripada menyembunyikan kenyataan itu dalam hati, lebih baik mengatakannya secara terus terang.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang memedihkan berkumandang memecahkan keheningan.
"Lebih baik tersumbat semua..." teriak San-san sambil tertawa sedih, "lebih baik selamanya tertutup, selamanya tidak ada lagi yang datang, kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, kalau ingin mati, kita pun harus mati bersama!"
Di tengah suara tertawanya yang mengenaskan, San-san dengan rambut awut-awutan telah muncul diiringi kawanan gadis lainnya, saat itu pipinya merah membengkak, sepasang mata yang indah pun sudah merah bengkak karena menangis, dia memang kelihatan sangat menyedihkan.
Namun bagi pandangan Thiat Tiong-tong, dia sama sekali tidak menaruh perasaan iba terhadap otak dari semua permasalahan ini, sebaliknya api amarah yang luar biasa justru berkecamuk dalam benaknya.
Begitu melihat kemunculan perempuan itu, dengan gusar bentaknya:
"Tahukah kau, karena apa dia orang tua harus pergi dari sini?"
"Kenapa? Kenapa? Katakan, kenapa?" jerit San-san.
"Karena...."
Hanya sepatah kata itu saja yang meluncur keluar dari mulut pemuda itu, dia segera bungkam dan tidak bicara lagi, sebab peristiwa itu memang sangat tragis, bagaimana mungkin dia tega mengutarakannya?
Tiba-tiba Kaisar malam melompat bangun, ditatapnya wajah San-san dengan sorot tajam, katanya:
"Kau ingin tahu kenapa? Baik! Biar aku beritahukan kepadamu."
Saat itu jidatnya yang membentur dinding karang masih mengucurkan darah segar, namun sorot matanya yang penuh keputus asaan dan kemurkaan justru nampak lebih merah ketimbang darah.
Bergidik hati San-san menyaksikan sorot mata yang menakutkan itu, tanpa sadar dia mundur dua langkah.
Dengan suara yang menyeramkan, kembali Kaisar malam melanjutkan:
"Aku harus pergi dari sini karena kalau aku tidak bisa menyusul ke bukit Ong wo san, putri kandungku akan menikah dengan putra kandungku!"
Biarpun perkataan itu diungkap dengan kalimat sederhana, namun di balik kesederhanaan justru tersimpan satu kisah yang sangat tragis, membuat siapa pun yang mendengar, bukan saja segera dapat meresapi, bahkan ikut merasakan kesedihan yang luar biasa.
Kawanan gadis itu tidak kuasa menahan diri lagi, mereka sama-sama menjerit kaget, malah ada beberapa orang di antaranya yang mundur dengan tubuh gontai.
Sambil menutupi mulutnya dengan kedua belah tangan, San-san memandang tertegun ke arah Kaisar malam, lama sekali dia termangu, kemudian baru bisiknya gemetar:
"Kau...."
Baru mengucapkan sepatah kata, lagi-lagi si pembuat keonaran ini roboh tidak sadarkan diri.
Cui-ji maupun Min-ji sudah dibuat termangu saking kagetnya, tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut sambil serunya:
"Kami... kami minta maaf...."
Isak tangis pun segera bergema memenuhi seluruh lorong.
Para gadis yang berada di belakang ikut menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu, dalam waktu singkat suasana di tempat itupun menjadi ramai dengan suara tangisan.
Tiba-tiba Kaisar malam tertawa seram, teriaknya:
"He, apa yang kalian tangisi? Aku tidak menyalahkan kalian... mungkin... mungkin Thian menghukum dosaku dengan kejadian seperti ini...."
Gelak tertawa yang menyeramkan mendadak terputus di tengah jalan, tubuh Kaisar malam yang tinggi besar sekali lagi roboh terjungkal ke tanah.
Buru-buru Thiat Tiong-tong membopong tubuh kakek itu dan cepat membawanya balik ke ruang batu melalui jalan lorong yang berliku-liku.
Suasana dalam ruang batu masih seperti sedia kala, namun kemewahan yang terdapat di situ, kini seolah sudah kehilangan pamornya, yang tersisa waktu itu hanya hawa dingin yang merasuk tulang.
Thiat Tiong-tong dengan sebuah mantel kulit yang mahal harganya menutupi tubuh Kaisar malam yang menggigil.
Semahal apapun mantel kulit itu, mungkin¬kah bisa menangkal hawa dingin yang merasuk tulang? Sebab bukan tubuhnya yang menggigil, tapi hatinya!
Tiba-tiba terdengar lagi jeritan keras yang memilukan hati.
Seketika itu juga paras muka Thiat Tiong-tong berubah, pemuda berhati baja ini tergetar hatinya karena pukulan batin yang diterimanya sudah kelewat berat, dia tidak sanggup lagi menerima pukulan batin lain.
Tapi sayang pukulan batin itu kembali muncul, menyusul suara langkah kawanan gadis yang berlarian mendekat, terdengar mereka meraung keras sambil menangis tersedu:
"Enci ... Enci San-san telah membenturkan kepalanya di atas karang, dia bunuh diri!"
Tubuh Thiat Tiong-tong bergetar, dia jatuh terduduk.
Kawanan gadis itu muncul sambil membopong tubuh San-san, muka gadis itu penuh berlepotan darah, wajahnya yang cantik kini sudah penuh luka.
"Aku bersalah kepadamu... aku bersalah kepadamu...." rintihnya sambil menahan kesakitan.
Dengan gerakan cepat Thiat Tiong-tong melompat bangun, teriaknya lantang:
"Dia belum mati, cepat tolong perempuan itu!"
"Siapa... siapa yang ingin me... menolongku? Aku tidak ingin hidup terus!" bisik San-san sedih.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru pula dengan suara keras:
"Kalau kau tidak ingin hidup, aku pun tidak ingin hidup!"
Ternyata Kaisar malam telah tersadar kembali dan melompat bangun.
Serentak kawanan gadis itu menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, teriak mereka:
"Bunuh... bunuhlah kami semua... kami... kami pun tidak ingin hidup."
Diam-diam Thiat Tiong-tong menggeser badannya, siap mengundurkan diri dari situ.
"Berhenti!" bentak Kaisar malam keras, "siapa suruh kau pergi dari sini?"
"Siautit benar-benar tidak tahan...." kata Thiat Tiong-tong dengan kepala tertunduk.
"Hahaha, semua tragedi terjadi karena ulahmu, sekalipun tidak tahan, kau tetap harus menyaksikannya," kata Kaisar malam sambil tertawa seram.
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Gara-gara ulah Siautit...." bisiknya parau.
"Benar! Kalau kau tidak datang, aku tidak akan mengetahui kejadian ini, kalau tidak tahu, mana mungkin akan merasa sedih seperti sekarang? Hmm, kalau tidak kuganjar dengan hukuman yang setimpal, tidak puas rasanya hatiku."
Sudah jelas perkataan itu bo-cengli, tidak pakai aturan! Tapi dalam situasi dan keadaan seperti ini, Thiat Tiong-tong enggan membantah apalagi mengajaknya berdebat.
Maka dengan kepala tertunduk lesu, jawabnya:
"Apapun yang ingin Empek lakukan, Siautit akan menerima dengan pasrah."
"Sungguh?"
"Bila berbohong, biar Thian menumpas diriku."
"Baik! Aku perintahkan kepadamu, dalam tiga bulan mendatang harus berhasil menguasai seluruh ilmu silat yang kuwariskan kepadamu, kalau gagal, aku segera akan mencabut nyawamu."
Sekali lagi Thiat Tiong-tong tertegun, kagetkah dia? Atau justru kegirangan?
"Selain itu," kembali Kaisar malam membentak, "aku minta kau segera tinggalkan tempat ini tiga bulan kemudian!"
"Siautit pasti akan berusaha...."
"Siapa suruh kau berusaha," tukas Kaisar malam lagi penuh gusar, "aku masih mampu mencarikan jalan untukmu, sekalipun celah lorong ini sudah diledakkan, tidak berarti seratus persen tersumbat mati. Kau anggap waktu selama tiga bulan tidak cukup untuk menggalinya?"
Tidak terlukiskan rasa girang Thiat Tiong-tong, tapi ingatan lain kembali melintas dalam benaknya, terbayang bagaimana pada tiga bulan kemudian Cu Cau sudah menikah dengan Sui Leng¬kong, sekali lagi perasaannya sakit bagaikan diiris-iris dengan pisau.
Dalam pada itu Kaisar malam telah berpaling ke arah kawanan gadis itu sambil berkata dengan suara berat:
"Bila kalian merasa menyesal, gunakanlah waktu selama tiga bulan untuk berusaha membuat terowongan di tengah lorong yang tersumbat."
Setelah berhenti sejenak, kembali sorot matanya dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, ujarnya kata demi kata:
"Sesudah keluar dari sini, aku harap kau segera menemukan Cu Cau dan Sui Leng-kong...."
"Untuk... untuk apa?' tanya Thiat Tiong-tong dengan hati bergetar.
Mendadak Kaisar malam berpaling, teriaknya lantang:
"Bukankah kau telah bersumpah berat, selamanya akan menurut perintahku?"
Di balik teriakan paraunya, terdengar hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati.
Thiat Tiong-tong amat terkejut.
"Benar...." sahutnya, "tapi...."
"Bagus, sekali kau telah bersumpah, selamanya tidak dapat diubah kembali!" tukas Kaisar malam lantang.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia membentak nyaring, suaranya keras bagai guntur yang membelah bumi, sambil melompat bangun dan menatap pemuda itu dengan sorot mata setajam sembilu, dia melanjutkan:
"Aku tidak bisa membiarkan mereka berdua hidup terus di dunia ini, karena itu kuperintahkan kepadamu untuk membantai mereka berdua."
Di tengah jeritan ngeri kawanan gadis itu, Thiat Tiong-tong jatuh tidak sadarkan diri, semaput saking kagetnya!

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now