33. Rahasia Si Dewa Racun

1.8K 25 0
                                    

Tapi pada saat itulah di dunia persilatan telah tersiar sebuah berita yang menggemparkan: "Kaisar Malam telah muncul kembali!"
Tentu saja berita ini tersiar dari pulau Siang-cun-to, Un Tay-tay pun ikut mendengarnya.
Ketika Sui Leng-kong tersadar kembali dari pingsannya, secara ringkas Un Tay-tay mengisahkan kejadian yang telah berlangsung... bercerita dengan air mata berlinang.
Sui Leng-kong maupun Gi Beng mendengarkan kisah itu dengan air mata mengucur pula.
Terdengar Un Tay-tay berkata lebih lanjut:
"Mereka telah mati, aku merasa tidak berarti hidup seorang diri, sebenarnya aku pun ingin menyusul mereka berdua, tapi...."
Ditatapnya Sui Leng-kong dengan pandangan mendalam, kemudian terusnya:
"Bila kita harus mati dalam keadaan begini, jelas kematian kita sama sekali tidak berharga, paling tidak kita harus melakukan sesuatu terlebih dulu demi mereka, kemudian baru mati. Dengan begitu kematian kita ada nilainya, karena kita mati dengan membawa jasa, maka tidak sia-sia kematian kita ini."
Walaupun perkataan itu seakan ditujukan kepada diri sendiri, tidak disangkal yang menjadi sasaran pembicaraan adalah Sui Leng-kong.
Dengan pandangan sayu Sui Leng-kong memandang setitik cahaya bintang nun di ujung dunia sana, gumamnya:
"Betul, kalau mati pun, harus ada nilainya......aku tidak akan mati dengan percuma."
Diam-diam Un Tay-tay menghela napas, katanya lagi:
"Aku tidak mampu berdiam lebih lama di pulau Siang cun-to, bila aku dipaksa mengendon terus di sana, kalau tidak mati sengsara pasti akan edan jadinya."
Di antara beberapa orang gadis itu, kesedihan yang dialami Gi Beng paling enteng, pikiran dan perasaannya seketika diliputi rasa ingin tahu yang besar.
Sesudah mengedipkan mata berulang kali, tidak tahan dia bertanya:
"Aku dengar orang yang berdiam di pulau Siang cun-to sudah putus hubungan dengan keramaian duniawi, bagaimana ceritanya sehingga Jit ho Nio nio mengizinkan kau pergi meninggalkan pulau itu?"
"Dia tidak pernah menyetujui permintaan¬ku, aku yang pergi sendiri," jawab Un Tay-tay.
Gi Beng membelalakkan matanya lebar-lebar, teriaknya terkejut:
"Oooh, jadi kau melarikan diri? Konon pulau Siang cun-to ibarat sarang naga gua harimau, dengan cara apa kau melarikan diri?"
"Walaupun peraturan yang berlaku di pulau Siang cun-to sangat ketat dan keras, namun belakangan telah terjadi berbagai peristiwa di situ, khususnya ada satu kejadian yang membuat suasana di pulau Siang cun-to jadi kalut."
"Kejadian yang bisa menggemparkan pulau Siang cun-to sudah pasti merupakan satu peristiwa yang luar biasa... aaah! Benar, jangan-jangan gara-gara kedatangan Lui-pian Lojin yang ingin menuntut balas?"
"Lui-pian Lojin terhitung jagoan macam apa? Kenapa nona menganggapnya sebagai manusia luar biasa? Masih mending kalau dia tidak datang, bila berani menginjakkan kakinya di pulau itu, dapat dipastikan dia tidak bakal bisa balik lagi!"
"Lantas lantaran siapa?" tanya Gi Beng dengan kening berkerut, "masa di kolong langit saat ini masih ada jagoan lain yang lebih tangguh ketimbang Lui-pian Lojin? Aaah! Betul, masih ada seorang lagi."
Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, tentu saja dalam hati mereka sudah tahu siapa yang dimaksud.
"Tapi...." kembali Gi Beng berseru, "tapi dia... sudah lama dia tidak pernah muncul."
Walaupun tidak ada yang menyinggung tentang nama tokoh itu, namun Sui Leng-kong pun dapat menebak siapa yang dimaksud, tiba-tiba perasaan gembira dan terharu yang aneh melintas dalam benaknya.
Terdengar Un Tay-tay berkata: "Benar, selama ini Kaisar malam memang tidak pernah tampil di depan umum, hal ini dikarenakan dia sudah dikurung oleh Jit ho Nio nio di dalam sebuah gua di tepi pesisir laut."
Sui Leng-kong tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menjerit kaget, tanyanya dengan suara gemetar:
"Di... ada dimana gua itu? Apakah kau.. kau tahu?"
"Sekalipun tahu juga tidak ada gunanya, karena belum lama berselang Kaisar malam telah berhasil meloloskan diri dari dalam gua itu."
"Jadi dia orang tua sudah muncul kembali dalam dunia persilatan?" seru Gi Beng dengan wajah berubah.
"Aaaai ...." Un Tay-tay menghela napas panjang, "kini dunia persilatan sedang dilanda kekacauan, mana mungkin bisa kekurangan dia?"
"Tidak heran pulau Siang-cun-to menjadi heboh...." gumam Gi Beng, dia berpaling memandang Sui Leng-kong sekejap.
Tampak wajah gadis itu sedang diliputi pergolakan emosi, setengahnya menunjukkan perasaan kecewa dan setengahnya lagi merasa gembira.
Yang membuatnya kecewa adalah setelah sang ayah terjun kembali ke dalam dunia persilatan, keadaannya pasti bagaikan naga sakti yang terbang ke angkasa, sampai kapan lagi dia baru bisa mendengar kabar berita tentang dirinya.
Yang membuatnya gembira adalah ternyata sang ayah masih hidup sehat walafiat di kolong langit, bagaimanapun juga suatu saat nanti mereka pasti punya kesempatan untuk saling berjumpa.
Namun kegembiraan sesaat seketika tenggelam kembali oleh perasaan sedih yang luar biasa, perasaan sedih yang selamanya akan melekat di dalam hatinya.
Thiat Tiong-tong telah pergi!
Selamanya dia tidak akan bisa menyaksikan senyumannya yang lembut dan tegas, selamanya tidak dapat menyaksikan cahaya matanya yang berapi walau terkadang nampak begitu lembut dan halus.
Semua itu sudah terlalu banyak menempati ruang hatinya, dan kini perasaan itu tinggal lembaran kosong, dia menyesal, dia kecewa, karena tiada sesuatu apapun di dunia ini yang bisa menggantikan dan memperbaiki kekosongan hatinya itu.
Padahal bukan hanya dia seorang yang merasakan hal itu, Un Tay-tay, Leng Cing-peng, semuanya ikut merasakan hati yang pedih, perasaan yang hancur lebur, air mata yang berderai....
Pada saat semua orang sedang dirundung kepedihan hati yang membetot sukma, di saat semua orang hampir tak kuasa menahan diri, tiba-tiba terdengar Gi Beng menjerit kaget:
"Ular... ular...."
Walaupun dalam kegelapan malam tidak nampak raut wajahnya, namun bisa diduga wajahnya saat itu pucat-pias bagai mayat, dengan jari tangan yang gemetar dia menuding ke arah batu cadas persis di hadapannya.
Di atas batu cadas, di bawah hio yang masih mengepulkan asap harum, tampak seekor ular kecil yang berbentuk aneh dengan warna yang aneh pula sedang meliukkan tubuhnya, setiap kali menggerakkan badan, sekilas cahaya keemas-emasan segera membias keluar.
Panjang ular itu tidak lebih hanya satu jengkal, tubuhnya sebesar ibu jari, boleh dibilang kecil menggemaskan, namun lidah merahnya yang menjulur keluar masuk justru mendatangkan perasaan seram bagi siapa pun.
Sebenarnya Un Tay-tay ikut terperanjat, namun setelah tahu ular itu hanya seekor ular yang sangat kecil, dengan kening berkerut dia siap mengambil tindakan.
Belum sempat tangannya melancarkan serangan, dengan cepat Sui Leng-kong telah menariknya, bahkan dia sempat merasakan jari tangannya yang gemetar keras, hal yang membuktikan betapa ngeri dan seramnya perasaan gadis itu.
Tergerak perasaan Un Tay-tay, cepat dia berpaling, dilihatnya nona itu sedang membelalak¬kan matanya dengan perasaan ngeri, dengan keheranan dia pun bertanya:
"Ular itu sangat kecil, apa yang kau takuti?"
"Ular itu pasti sangat beracun, jangan kau usik dia," sahut Sui Leng-kong cepat.
Sejak kecil dia memang dibesarkan di wilayah rawa-rawa, tempat yang paling ideal untuk hidup ular berbisa, namun selama ini belum pernah sekalipun dia jumpai ular berbisa dengan bentuk sedemikian aneh dan seramnya.
Dalam pada itu, ular emas itupun hanya melingkarkan tubuhnya di atas batu tanpa bergerak, seakan-akan binatang itu sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap keempat manusia yang berada di hadapannya.
Makin dilihat Gi Beng merasa semakin ketakutan, tanyanya lagi dengan gemetar:
"Ba... bagaimana sekarang?"
Sui Leng-kong memandang sekeliling tempat itu sekejap, kemudian sahutnya:
"Aku percaya ular berbisa ini memiliki kemampuan yang luar biasa, jarang terdapat ular semacam ini walau di tengah hutan belantara sekali pun."
"Ke... kenapa binatang itu bisa muncul di sini?" tanya Gi Beng tergagap.
"Pasti ada orang yang sengaja melepaskannya di sini!" kata Sui Leng-kong.
Gi Beng menarik napas dingin, ketika mendongakkan kepala, segera terlihat olehnya di atas bukit di bawah rindangnya pepohonan, berdiri sesosok bayangan manusia.
"Itu... itu dia, orang... orangnya ada di situ!" teriak Gi Beng dengan hati tercekat.
Terdengar orang yang berada di balik kegelapan itu tertawa dingin, ejeknya:
"Masih untung budak itu luas pengetahu¬annya, kalau tidak, hmmmm... saat ini kalian berempat sudah pergi menghadap raja akhirat."
Orang itu mengenakan topi caping yang terbuat dari bambu dan berjubah pendeta, kalau dilihat sepintas, dia mirip sekali dengan seorang Tosu, sayang di tengah kegelapan malam sulit untuk melihat jelas raut mukanya.
"Kami tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenal pun tidak, kenapa kau... kau melepaskan ular beracun itu untuk mencelakai kami?" tegur Gi Beng.
Kembali orang itu tertawa dingin.
"Betul, kalian empat orang budak cilik memang tidak ada dendam sakit hati dengan Lohu, tapi orang yang sedang kalian tangisi adalah musuh besarku!"
"Maksudmu... maksudmu Thiat Tiong-tong?" tanya Gi Beng tercengang.
Orang itu tertawa seram:
"Thiat Tiong-tong... wahai, Thiat Tiong-tong, kau bajingan laknat, manusia bedebah, kau adalah binatang yang bukan dilahirkan manusia! Kau....."
Sambil bicara, dia mengertak gigi kuat-kuat hingga berbunyi gemerutuk, nada ucapannya dipenuhi rasa benci dan dendam yang merasuk tulang.
Tiba-tiba Leng Cing-peng melompat maju ke depan, teriaknya gemetar:
"Dia sudah mati, buat apa kau masih mengumpatnya? Kau...."
Hawa napsu membunuh mendadak terpancar dari balik mata orang itu, bentaknya:
"Kim-nu, serang!"
Tiba-tiba sekilas cahaya emas berkelebat, suara pembicaraan Leng Cing-peng pun seketika terhenti di tengah jalan.
Sui Leng-kong menyaksikan tubuhnya bergetar keras, kemudian paras mukanya berubah hebat, dia ingin menarik tangannya, namun sayang tak sempat, segera jeritnya kaget:
"Kau... kau tidak apa-apa?"
Di bawah sinar bintang, tampak kain cadar hitam yang menutupi wajah Leng Cing-peng bergelombang tidak beraturan, keempat anggota tubuhnya mulai mengejang keras, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun sayang tidak punya tenaga lagi untuk mengutarakannya keluar.
Ketika berpaling lagi ke arah ular emas itu, ternyata binatang melata itu sudah balik kembali ke atas batu, ternyata hanya sedikit melejitkan tubuhnya, ular itu sudah mematuk tubuh Leng Cing-peng, kecepatan serangannya sungguh luar biasa.
Pucat-pias wajah Sui Leng-kong, baru saja dia bersama Un Tay-tay hendak merangkul tubuhnya, Leng Cing-peng sudah roboh tergeletak di tanah sambil berseru:
"Kau... kau sungguh... sungguh keji!"
Orang itu tertawa seram.
"Hmrnm, siapa suruh kau cari mampus, jangan salahkan aku. Kini Kim-nu sudah meninggalkan bekas gigitan di atas pergelangan tanganmu, berarti tiada obat pemunah lagi di dunia ini yang bisa menolong nyawamu, tunggu saja saatmu bertemu raja akhirat!"
"Ti... tidak salah," kata Leng Cing-peng pula, "aku... aku segera akan bertemu... bertemu dengan Thiat Tiong-tong... kau... kabulkanlah keinginanku ayah...."
Begitu sebutan 'ayah' diucapkan, semua orang terperanjat
"Apa? Dia adalah ayahmu?" tanya Gi Beng setengah menjerit.
"Benar," sahut Leng Cing-peng sambil tertawa sedih.
Kelihatannya bayangan manusia itupun merasa amat terperanjat, tanyanya:
"Si... siapa kau?"
"Putrimu... Leng Cing-peng...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, orang itu sudah membentak keras sambil berlari naik ke atas bukit bagai orang kesurupan, dengan tangan sebelah dia menarik lengan Leng Cing-peng sementara tangan yang lain digunakan untuk merobek kain kerudung wajahnya.
Sinar bintang yang bertaburan di angkasa membiaskan cahayanya menyinari wajah Leng Cing-peng yang pucat-pasi, perempuan itu berdiri dengan wajah senyum tidak senyum, meski air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Tampak sekujur tubuh orang itu gemetar keras, sambil roboh ke tanah teriaknya gemetar:
"Peng-ji... ternyata kau memang Peng-ji...."
Orang itu memiliki kening tinggi dengan hidung bengkok seperti paruh elang.
Dia, tidak lain adalah Leng It-hong!
Sekali lagi sebuah tragedi berlangsung di depan mata. Un Tay-tay, Sui Leng-kong maupun Gi Beng tidak kuasa menahan rasa sedih, semua orang berdiri mematung dengan air mata berlinang, untuk sesaat mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Terdengar Leng Cing-peng berkata lagi sambil tertawa sedih:
"Ayah... biarpun kau tidak bisa mengenali putrimu, tapi... tapi putrimu sudah mengenali suara ayah."
"Ke... kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" bentak Leng It-hong keras.
"Apakah ayah pernah memberi kesempatan kepada putrimu untuk bicara? Setiap kali menyinggung tentang Thiat Tiong-tong, hatimu selalu terbakar oleh rasa benci dan dendam, pernahkah kau mendengarkan suara orang lain?"
Leng It-hong mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, giginya saling beradu hingga menimbulkan suara gemerutuk, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan menjerit keras:
"Thian... oooh, Thian... aku benci... aku sangat benci!"
"Dia sudah mati, apakah kau masih membencinya?" kata Leng Cing-peng.
"Kalau bukan gara-gara dia, tidak akan terjadi peristiwa seperti hari ini... akan kucari mayatnya, akan ku cincang tubuhnya hingga hancur berkeping-keping, aku tidak akan puas sebelum berhasil melumat tubuhnya!"
Di wajah Leng Cing-peng yang pucat-pias tiba-tiba tersungging sekulum senyuman aneh, katanya:
"Sebentar lagi putrimu akan bertemu dengannya."
"Kau... kau berani?" hardik Leng It-hong.
"Putrimu berani... tidak seorang manusia pun di dunia ini yang mampu menghalangi aku lagi... selama hidup belum pernah aku merasakan ketenangan dan kegembiraan seperti saat ini, aku....
Perlahan-lahan dia memejamkan mata, sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya, senyuman yang amat sayu dan mengenaskan
Tiba-tiba nada suaranya berubah jadi sangat halus dan lembut, katanya lagi:
"Coba lihat... coba lihat... dia sedang menggapai kepadaku... apakah kalian telah melihatnya?"
Sekujur tubuh Leng It-hong gemetar keras, gemetar sangat hebat.
"Aaaai! Sayang kalian tidak dapat melihatnya...." bisik Leng Cing-peng lagi, "begitu lembut senyumannya, begitu hangat tawanya ... aaaai! Tidak kusangka, sebelum mati... aku... aku dapat merasakan kegembiraaan ini."
Un Tay-tay yang semenjak tadi sudah bermandikan air mata, kini tak sanggup mengendalikan diri lagi, dia mulai menangis sesenggukan.
"Jangan menangis... jangan mengganggu ketenanganku... coba lihat, kegelapan yang indah makin lama semakin dekat... senyumannya... senyumannya makin lama pun makin mendekat."
Suaranya makin lama semakin lemah dan lirih, dia benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya.
Raut muka Leng It-hong yang kurus kering, kini telah berubah hijau membesi, sinar matanya berubah bagaikan merah darah.
Tiba-tiba dia membalikkan tubuh, berha¬dapan langsung dengan ular emasnya yang memancarkan sinar aneh, tampaknya dia telah melimpahkan semua kesalahan itu pada binatang peliharaannya, menyalahkan ular emasnya.
"Kau... semua ini gara-gara kau!" dengan suara bagaikan raungan binatang liar dia menjerit.
Mendadak dia menggerakkan telapak tangannya dan mencengkeram ular emas itu.
Agaknya si ular emas itupun tidak menyangka, tuan yang selama ini dibela mati-matian malah berbalik melampiaskan rasa dendamnya, dalam gusar dan kagetnya, secepat kilat dia berbalik memagut pergelangan tangan Leng It-hong.
Pagutan ular berbisa ini sangat mengerikan, pagutan yang mematikan!
Leng It-hong merasa ulu hatinya bagai tertusuk jarum tajam, sekujur tubuhnya mengejang keras, cengkeramannya atas ular berbisa itupun semakin bertambah kencang.
Otot hijau yang menonjol dari punggung tangannya yang kurus kering membuat jari jemarinya berubah makin memucat
Pada mulanya ular emas itu masih berusaha meronta, tapi lambat-laun tidak mampu berkutik lagi... perlahan tapi pasti, kepala ular itu tertunduk lemas, sekulum senyum kepuasan yang sadis pun tersungging di ujung bibir Leng It-hong.
Un Tay-tay sekalian merasakan tangan dan kakinya dingin kaku, pemandangan seram yang terpampang di depan mata membuat sekujur tubuh mereka basah kuyup oleh keringat dingin.
Mendadak Leng It-hong membuka tangan¬nya, telapak tangannya sudah robek dan hancur berlepotan darah kental, gigitan ular emas yang kuat bagai jepitan baja telah mengubah telapak tangannya jadi hancuran daging, memusnahkan hasil jerih payahnya selama ini.
Gi Beng tidak tahan melihat kengerian itu, dia menjerit tertahan kemudian roboh tidak sadarkan diri.
Leng It-hong mendongakkan kepala tertawa seram, gelak tertawanya penuh dengan rasa bangga dan puas, seluruh badannya pun mulai berubah hitam pekat, warna hitam yang menyeramkan.
Tanpa terasa Sui Leng-kong berdiri berhimpitan dengan Un Tay-tay, tubuhnya gemetar, hatinya tercekat, kalau bisa mereka ingin membalikkan tubuh kabur sejauh-jauhnya dari tempat itu, sayang sepasang kakinya sudah lemas, sudah tidak mau menurut perintah lagi.
Tawa Leng It-hong bertambah lemah.....makin lama semakin rendah dan berat... badannya gontai sebelum akhirnya roboh terjungkal... roboh lemas persis di atas tubuh putrinya.
Suasana amat hening, tidak terdengar sedikit suara pun, langit hening bagaikan mati, hanya asap hio yang masih menari dan beterbangan, sekalipun begitu, tarian asap hio pun serasa membawa udara kematian yang mengerikan, seperti hawa yang memancar dari malaikat elmaut, berputar di kegelapan malam, siap mencabut nyawa manusia.
Sui Leng-kong dan Un Tay-tay berdiri mematung, sampai ujung jari pun serasa tidak sanggup bergerak, hanya rambut mereka yang masih berkibar karena hembusan angin, satu-satunya kehidupan di tengah kematian.
Angin, tiada hentinya berhembus, daun dan ranting tiada hentinya menjerit, menjerit dipermainkan angin.
Entah berapa lama sudah lewat, dengan tangan yang gemetar Un Tay-tay ingin menarik tubuh Leng It-hong, tubuh yang menindih di atas Leng Cing-peng, gadis yang mengenaskan.
Pada saat itulah mendadak dari sisi tubuhnya telah bertambah dengan sesosok bayangan hitam, bayangan itu muncul tanpa menimbulkan sedikit suara pun, seolah-olah dia adalah roh halus yang muncul dari dasar bumi.
Dengan perasaan terkesiap Un Tay-tay dan Sui Leng-kong membalikkan badan, di bawah cahaya bintang terlihat orang itu berperawakan tinggi besar seperti iblis yang datang dari neraka, tahu-tahu dia sudah berdiri di belakang mereka berdua, orang itu tidak lain adalah sang pendeta pemakan ular.
Jubah pendetanya yang berwarna merah menyala nampak begitu menyolok seram di tengah kegelapan malam yang mencekam, ditatapnya Leng It-hong sekejap dengan pandangan dingin, sinar matanya terasa begitu menyeramkan, seram hingga tidak terlukiskan dengan perkataan.
Un Tay-tay maupun Sui Leng-kong sudah kelewat banyak dibuat terkejut oleh kejadian malam ini, kini mereka tidak sanggup lagi menjerit kaget, yang bisa dilakukan hanya berdiri termangu sambil mengawasi orang itu, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan.
Dengan sorot mata aneh pendeta berbaju merah itu masih mengawasi terus Leng It-hong yang tidak jelas mati hidupnya, sekulum senyuman aneh, penuh misterius dan rasa gembira tiba-tiba tersungging di ujung bibirnya.
Terdengar dia bergumam tiada hentinya:
"Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok (pemakan racun) malang melintang sampai ujung dunia... Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia...."
Perkataan itu diucapkan berulang kali, tapi yang diulang hanya berapa patah kata itu saja.
Walaupun Sui Leng-kong dan Un Tay-tay tidak paham apa yang sedang dimaksud, namun dapat mereka rasakan di balik kata-kata yang pendek itu pasti mengandung satu rahasia yang menakutkan.
Tiba-tiba pendeta berbaju hitam itu berpaling ke arah Un Tay-tay dan Sui Leng-kong, kemudian tanyanya:"Apakah kalian paham dengan perkataanku? Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia...."
Walaupun pendeta itu punya tampang yang menakutkan, kelihatannya tidak bermaksud buruk terhadap Sui Leng-kong dan Un Tay-tay.
Terpaksa Un Tay-tay menggeleng.
"Kami tidak paham."
"Benar, mana mungkin dua orang bocah itu mengerti...jangankan mereka, berapa banyak orang di kolong langit yang mengerti?"
Kelihatannya makin bicara dia semakin bangga, sampai akhirnya tidak kuasa lagi dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Gelak tawanya nyaring bagai guntur yang menggelegar di angkasa, bagaikan juga gulungan ombak yang memecah tepian, membuat daun dan ranting berguguran, membuat gendang telinga Sui Leng-kong serta Un Tay-tay terasa sakit.
Sepeminuman teh kemudian gelak tertawa itu baru melemah, tapi gendang telinga Un Tay-tay serta Sui Leng-kong sudah terasa kaku dan kesemutan, tidak sanggup menangkap suara lain lagi.
Pada saat itulah dari balik remangnya cuaca mendadak terdengar seseorang tertawa dingin sambil menyela:
"Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia... hnnnm, apa susahnya memahami perkataan semacam itu?"
Dari balik kegelapan, terlihat seseorang berjalan keluar dengan langkah yang sangat lamban.
Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju perlente, sekalipun sorot matanya sedikit menyeramkan, meski air mukanya sedikit memucat, namun perawakan tubuhnya lurus bagai sebatang pit.
Begitu tahu siapa yang datang, lagi-lagi Sui Leng-kong menjerit kaget, dia tidak menyangka kalau orang itu adalah Gi Teng, terlebih tidak menyangka kalau Gi Teng bakal muncul secara tiba-tiba pada saat sekarang.
Yang membuatnya tidak habis mengerti adalah darimana Gi Teng tahu tentang rahasia "Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit"?
Pendeta berbaju merah itu pun kelihatan agak tercengang setelah mengetahui yang muncul hanya seorang pemuda, kontan saja ia tertawa dingin.
"Usiamu masih begitu muda, tahu apa kau?"
"Darimana kau tahu kalau aku tidak paham?"
Saat ini bukan hanya wajahnya kelihatan kaku, gerak-geriknya pun nampak kaku macam orang tidak sadar, jawaban yang diucapkan terdengar datar tanpa emosi, jauh berbeda dengan kelincahan dan kegarangannya di waktu biasa.
Un Tay-tay tidak terlalu tercengang kendatipun dia dapat menangkap keanehan dari sikap pemuda ini, sebaliknya Sui Leng-kong kelihatan amat terperanjat.
Dalam pandangan gadis ini, penampilan Gi Teng sekarang seolah bukan berasal dari Gi Teng di hari biasa, dia seperti sudah kehilangan kesadaran, seakan sudah disihir atau ditenung orang lain.
"Kalau memang mengerti, tahukah kau siapa aku?" kembali pendeta berbaju merah itu bertanya.
"Cia tok kaucu (ketua perkumpulan pema¬kan racun), Siang-tok Thaysu!"
Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, pikirnya, "Aaah, ternyata dia adalah jago lihai nomor satu dari golongan Mo kau, Siang-tok Thaysu yang sudah tiga puluh tahun hilang dari dunia persilatan!"
Walaupun Un Tay-tay belum lahir ketika nama besar Siang-tok Thaysu menggetarkan kolong langit, namun bukan satu dua kali dia pernah mendengar nama besar orang ini.
Sekalipun dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kelihaian kungfu Siang-tok Thaysu, namun semua orang yang pernah dijumpai, pasti akan tercekat dan terkesiap hatinya begitu mendengar nama orang itu disebut
Dan kini Un Tay-tay telah saling berhadapan dengan tokoh ampuh yang menggetarkan sungai telaga itu, tidak heran hawa dingin seketika mencekam seluruh tubuhnya.
Terdengar Siang-tok Thaysu berkata lagi dengan kening berkerut:
"Tidak kusangka dengan usiamu yang masih begitu muda, ternyata tahu akan nama Loceng (pendeta tua), coba aku bertanya sekali lagi, apa yang dimaksud dengan tubuh Dewa racun?"
"Tubuh Dewa racun merupakan salah satu dari dua ilmu sakti yang dimiliki perguruan Cia tok kau."
"Benar!"
"Bila Dewa racun sudah terlihat di badan, seluruh tubuhnya akan berubah jadi sangat beracun, sekalipun seorang jago dengan taraf ilmu silat yang sempurna pun akan keracunan hebat bila tersentuh tubuhnya!"
"Benar!" kembali Siang-tok Thaysu manggut manggut.
"Tapi untuk bisa melatih tubuh Dewa racun, seseorang harus mengorbankan dulu nyawa seorang murid Cia tok kau yang sudah memiliki ilmu beracun tingkat lima."
"Benar!"
"Sayangnya anggota perguruan Cia tok kau sangat minim, ini disebabkan karena tidak gampang untuk menjadi pemula yang melatih ilmu beracun ini, bahkan lebih sulit daripada memanjat ke langit, kendatipun begitu, berhasil menguasai ilmu itu maka akan sangat mudah untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Sepanjang sejarah, dari sepuluh orang yang belajar ilmu beracun ini ada sembilan orang di antaranya sudah tewas duluan ketika mulai belajar ilmu itu sehingga amat langka untuk bisa menemukan seorang murid yang memiliki kemampuan racun tingkat lima, itulah sebabnya belum pernah seorang manusia pun yang mampu belajar hingga mencapai taraf Dewa racun dalam badan."
"Betul!" lagi-lagi Siang-tok Thaysu manggut-manggut.
Setelah untuk kesekian kalinya mengatakan "betul", paras mukanya yang semula dingin sadis kini mulai diliputi perasaan tercengang dan rasa tidak percaya, malah nada suaranya pun ikut sedikit berubah.
Dia benar-benar tidak habis mengerti, darimana anak muda di hadapannya ini bukan cuma tahu tentang rahasia "Dewa racun dalam tubuh", bahkan bisa menguraikan secara jelas dan terperinci.
"Tapi kondisi Leng It-hong sekarang justru sudah mencapai taraf Dewa racun dalam tubuh!" ujar Gi Teng lebih jauh.
Begitu perkataan itu diutarakan, bukan hanya ketiga orang pendengar itu saja yang terperanjat, bahkan Un Tay-tay dan Sui Leng-kong pun ikut berubah wajah.
Tidak aneh bila mereka amat terkesiap, baru saja mereka merasa bergidik karena mendengar uraian tentang Dewa racun dalam tubuh, kini diketahui Leng It-hong telah berhasil mencapai tingkatan yang luar biasa itu, mereka tidak menyangka kalau semua ini telah menjadi satu kenyataan.
Terdengar Gi Teng berkata lebih jauh:
"Ini dikarenakan ilmu Ngo tok sin kang yang dipelajari Leng It-hong telah mencapai tingkat kelima, seluruh darah yang beredar dalam tubuhnya telah mengandung racun jahat, selain itu, dia pun setiap hari harus menelan makhluk beracun untuk mengendalikan pengaruh racun yang telah bersarang di tubuhnya, agar tidak perlu menderita siksaan rasa sakit yang luar biasa, maka kandungan racun yang bersarang di tubuhnya pun makin hari makin bertambah berat, meski pukulan beracunnya semakin mematikan, namun siksaan racun di tubuhnya pun ikut bertambah menghebat.
"Sekalipun dengan cara racun melawan racun dia dapat mengatasi kesulitan ini, namun tanpa terjadinya satu peristiwa besar, mustahil dia bisa lolos dari rongrongan racun yang bersarang di tubuhnya, dan sekarang dia telah mengalami perubahan maha besar itu."
Uraian Gi Teng bukan cuma terperinci, bahkan mengalir keluar dengan lancar, seakan dia sedang menceritakan sebuah rahasia pribadinya saja, kejadian ini bukan cuma membuat Siang tok Thaysu amat terperanjat, Sui Leng-kong pun ikut tercengang dibuatnya.
Dia mencoba berpaling, dilihatnya Gi Beng sedang mengawasi Gi Teng dengan mata terbelalak ebar, terbelalak dengan rasa keheranan yang luar biasa.
Ternyata dia sudah sadar semenjak tadi, bahkan ikut mendengarkan uraian itu dengan terpesona, ditinjau dari mimik mukanya, jelas gadis inipun sedang keheranan, darimana kakaknya bisa mengetahui rahasia besar dunia persilatan itu dengan begitu terperincinya.
Diam-diam Sui Leng-kong berpikir, "Kalau Gi Teng bisa mengetahui rahasia besar ini, kenapa Gi Beng tidak tahu? Kalau dibilang mereka memang tidak tahu, kenapa saat ini Gi Teng bisa menguraikan secara terperinci?"
Menghadapi persoalan yang penuh misteri ini, jangankan sekarang dia memang tidak punya waktu untuk memikirkannya, sekalipun dipikir secara cermat pun belum tentu dia mengetahui jawabannya.
Dalam pada itu Gi Teng telah berkata kembali:
"Ular emas itu bukan cuma amat beracun, bahkan memiliki kecerdasan yang luar biasa, binatang itu merupakan salah satu di antara tujuh jenis ular paling beracun yang ada di kolong langit. Berdasarkan rahasia melatih ilmu dari perkumpulan Cia tok kau, setiap hari Leng It-hong wajib menggunakan sari darah dalam tubuhnya untuk memberi makan ular itu, agar ular dan dirinya bisa seia sehati, kalau menurut catatan yang ada dalam kitab pusaka Tok kau mo keng, ular emas itu sudah menjadi kekuatan inti Leng It-hong, sudah menjadi jiwa keduanya. Meski kedengarannya agak tidak masuk akal, bukan berarti teori ini tanpa alasan yang jelas."
Mendengar penjelasan yang lebih mirip dongeng ini, Un Tay-tay, Sui Leng-kong serta Gi Beng bertiga merasa hatinya makin tercekat, tanpa sadar mereka berdiri semakin berhimpitan.
Khususnya Gi Beng, biarpun di waktu biasa dia paling lincah dan terbuka, padahal nyalinya terhitung paling kecil, kini dia berdiri dengan tubuh nyaris menggigil.
Kembali Gi Teng menerangkan:
"Barusan Leng It-hong terpagut oleh ular emas itu, padahal racun dalam tubuhnya sudah mempunyai reaksi yang peka terhadap racun ular emas, ketika dua jenis racun saling bertemu, bukan saja seluruh sifat racun yang ada dalam tubuh Leng It-hong terpancing keluar, bahkan terbentuklah racun yang kekuatannya sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari gabungan kedua racun itu, itulah sebabnya racun yang dimiliki Leng It-hong saat ini sudah meningkat puluhan kali ketimbang kekuatan racun ular emas, bukan hanya pukulannya yang berbisa, setiap pori badan, setiap bulu badannya pun amat beracun dan sangat mematikan.
"Padahal kita semua tahu, ular emas itu termasuk salah satu makhluk paling beracun di kolong langit, sementara racun yang dimiliki Leng It-hong saat ini sudah berpuluh kali lipat lebih dahsyat, kalau setetes liur ular beracun cukup mencabut nyawa seseorang, maka garukan kuku jari Leng It-hong saat ini sudah lebih dari cukup untuk merenggut puluhan nyawa manusia!"
Bicara sampai di sini, dia pun berhenti sejenak untuk tarik napas.
Dalam pada itu Un Tay-tay sekalian sudah menggigil karena ngeri, saking takutnya gigi mereka sampai saling beradu.
"Sekalipun begitu, namun belum cukup untuk membentuk 'Dewa racun dalam tubuh'," kata Gi Teng lebih lanjut, "ini dikarenakan dalam tubuh Leng It-hong masih mengeram racun jahat. Namun jika ada jagoan silat yang tersentuh oleh tubuhnya, bisa dipastikan dia bakal mampus."
Paras muka Siang-tok Thaysu yang semula merah kini telah berubah jadi hijau membesi, tegurnya dengan suara berat:
"Bagaimana caranya supaya berhasil mencapai taraf Dewa racun dalam tubuh? Kau juga tahu?"
"Setiap umat persilatan pasti tahu, bila seseorang sudah keracunan, terlepas seberapa beratnya racun bersarang di tubuh, maka ketika racun itu mulai bekerja, dia pasti memiliki kekuatan sepuluh kali lebih hebat dari keadaan biasa. Padahal racun yang bersarang di tubuh Leng It-hong sekarang jauh lebih berat dari siapa pun, bisa dibayangkan betapa mengerikannya tenaga yang dia keluarkan sewaktu racun itu mulai bekerja.
"Oleh sebab itu asal dia memanfaatkan kelebihan ini, dengan kekuatan pukulan Ngo tok ciang untuk merangsang kekuatan tersembunyi paling akhir yang dia miliki dan mengubah dirinya menjadi sebuah tubuh beracun, lalu dengan menggunakan obat pemabuk dari perguruanmu merubahnya menjadi sesosok boneka hidup, maka jadilah sebuah alat pembunuh yang hanya menuruti perintahmu seorang. Waktu itu biar dia tidak bisa berpikir lagi secara waras, tapi kekuatan ilmu silatnya sepuluh kali lebih hebat dari kungfunya dulu, ditambah racun jahat yang terkandung dalam tubuhnya, siapa yang sanggup menghadapi kalian lagi? Dengan mengandalkan kekuatan ini, kau pun akan malang melintang di kolong langit tanpa tandingan!"
Begitu perkataan itu selesai diucapkan, Un Tay-tay sekalian langsung merasakan detak jantungnya berdebar keras.
Siang-tok Thaysu berdiri termangu bagai patung, sinar tajam tiba-tiba memancar keluar dari matanya, dengan suara keras hardiknya:
"Darimana kau tahu rahasia perkumpulan kami?"
"Berdirilah lebih dekat, akan kuberitahu," sahut Gi Teng cepat.
Siang-tok Thaysu agak ragu sejenak, akhirnya dengan langkah lebar dia berjalan mendekat.
"Lebih dekat lagi!"
Alis mata Siang-tok Thaysu bekernyit, katanya sambil tertawa dingin:
"Biarpun kau sedang merencanakan siasat busuk, jangan sangka aku takut kepadamu?"
Benar saja, kembali dia maju dua langkah.
Pada saat itulah mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melompat keluar dari belakang tubuh Siang-tok Thaysu, begitu cepat gerakan tubuhnya sehingga susah terlihat dengan mata telanjang.
Sui Leng-kong merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu bayangan manusia itu sudah tiba di hadapannya, dalam tangan orang itu tergenggam sepotong baju besar dan batu besar itu sudah siap dihantamkan ke atas batok kepala Leng It-hong.
Un Tay-tay segera menyadari apa yang terjadi, pikirnya:
"Ternyata pemuda itu sejalan dengan orang ini, dia sengaja memberi uraian yang panjang lebar karena tujuannya untuk memecahkan perhatian Siang-tok Thaysu hingga orang ini berkesempatan untuk membunuh Leng It-hong dan melenyapkan ancaman di masa mendatang."
Di sini pikirannya baru lewat, di sebelah sana batu besar sudah dihantamkan ke bawah.
Jika batu itu sampai dihantamkan sungguhan, dapat dipastikan batok kepala Leng It-hong bakal hancur berantakan, berarti nyawa Leng Cing-peng pun tidak bakal tertolong lagi, wajah cantiknya pasti akan berubah jadi gumpalan daging yang hancur.
Waktu itu Siang-tok Thaysu sudah menyadari apa yang terjadi, sambil membentak gusar dia membalikkan tubuh untuk menolong, sayang keadaan sudah tidak sempat lagi.
Pada saat yang kritis itulah mendadak Sui Leng-kong melompat bangun, dia hantam batu besar itu hingga bergeser tiga jengkal ke samping dan... "Blaaam!", diiringi suara keras, batu itu rontok ke tanah, meninggalkan liang yang sangat dalam.
Sui Leng-kong sendiri langsung berdiri melongo selesai melakukan aksinya itu.
Demi Thiat Tiong-tong, tanpa disadari dia menaruh kesan yang cukup baik terhadap Leng Cing-peng, karenanya terlepas hidup atau mati, Sui Leng-kong tidak tega menyaksikan wajah cantiknya hancur oleh pukulan batu raksasa itu, karenanya tanpa berpikir panjang dia pentalkan batu itu dan menyelamatkan nyawa Leng Cing-peng.
Tapi setelah pukulan dilepas, secara tiba-tiba dia baru teringat akan akibat dari tindakannya itu, tidak tahan perasaannya bergidik.
Orang yang melempar batu cadas itu sama sekali tidak menghentikan gerakan tubuhnya, secepat kilat dia melesat lewat dari situ.
Menanti dia berpaling ketika mendengar suara benturan keras, terdengar orang itu menjerit kaget, tampaknya dia tidak menyangka kalau Sui Leng-kong bakal turun tangan menyelamatkan Siang-tok Thaysu dari kesulitan.
Sedikit dia ragu, Siang-tok Thaysu sudah menghadang jalan perginya, dari balik perawakan tubuhnya yang tinggi besar terpancar hawa pembunuhan yang mengerikan.
Bayangan manusia itu melompat tiga depa ke samping, kelihatannya dia sadar kalau sulit kabur dari situ, maka setelah berhenti bergerak, dia langsung berdiri saling berhadapan dengan Siang-tokThaysu dalam posisi siaga penuh.
Ternyata orang itu mengenakan jubah berwarna hitam yang panjangnya menyentuh tanah, dari balik jubahnya yang berkibar terhembus angin, kelihatan jelas perawakan tubuhnya kurus kering, karena bercadar hitam maka sulit untuk melihat raut muka aslinya.
Empat buah mata yang memancarkan sinar setajam pisau belati saling berpandangan tanpa berkedip, tidak ada yang bicara, tidak ada pula yang bergerak.
Namun dari balik keheningan yang mencekam itulah terasa hawa pembunuhan yang makin lama semakin bertambah berat.
Bukan cuma mereka yang terlibat, bahkan Un Tay-tay sekalian yang menonton dari samping arena pun merasa dadanya sesak dan sulit untuk bernapas.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Siang-tok Thaysu berseru:
"Ternyata kau!"
"Sekarang baru tahu?" orang berbaju hitam itu balik bertanya.
Nada suaranya datar tanpa emosi seakan tak ada keistimewaan apapun, tapi begitu perkataan itu selesai diucapkan, terasalah satu tenaga getaran yang amat memekakkan telinga.
"Seharusnya sudah kuduga sejak tadi," kata Siang-tok Thaysu.
"Betul, seharusnya sudah kau duga."
"Kecuali kau, siapa lagi yang mengetahui rahasia perguruanku sedemikian jelasnya? Pemuda itu tidak lebih hanya bonekamu, mewakili kau berbicara."
"Benar, kecuali aku, siapa lagi yang mengetahui rahasiamu? Aku hanya bertemu pemuda itu secara kebetulan, jangankan namanya, siapa marganya pun aku tidak tahu."
Dalam waktu singkat kedua orang itu telah saling berbincang dengan santainya, bukan cuma nadanya datar tanpa emosi, bahkan cara berbicara pun seakan terhadap rekan lama sendiri.
Tapi entah kenapa pembicaraan yang amat biasa itu justru berubah jadi luar biasa ketika muncul dari mulut kedua orang itu.
Oleh karena kedua orang itu merupakan manusia aneh, orang lain menyangka pembicaraan mereka pasti penuh misteri dan keanehan, itulah sebabnya semua orang bertambah tercengang ketika pembicaraan mereka berdua ternyata biasa dan tidak ada yang istimewa.
"Baguslah kalau kau sudah datang," kata Siang-tok Thaysu lagi.
"Betul, memang bagus sekali."
"Kalau begitu jangan pergi dulu!"
"Lebih baik kau saja yang tidak pergi duluan."
"Mana, mana."
"Terima kasih, terima kasih." Tiba-tiba kedua orang itu bicara sungkan, hal ini semakin membuat Sui Leng-kong tercengang.
Di antara mereka hanya Un Tay-tay yang paling berpengalaman, sejak awal dia sudah tahu kalau kedua orang ini bukan saja berakal busuk dan licik, bahkan keji, munafik dan jahat, jelas kedua orang ini saling bermusuhan dan merupakan musuh bebuyutan yang dibenci hingga merasuk ke tulang sumsum, hanya saja kedua belah pihak sama-sama bersikap waspada dan menunggu keteledoran lawan.
Biarpun sepintas kelihatannya kedua orang itu sedang berbincang, padahal secara diam-diam mereka telah menghimpun tenaga dalamnya sambil menunggu kesempatan dan peluang baik, begitu muncul titik kelemahan di tubuh lawan, gempuran mematikan segera akan dilancarkan.
Dalam keadaan seperti ini, seluruh perhatian mereka berdua sudah terpusat jadi satu, bukan saja sudah tidak punya sisa tenaga untuk memperhatikan pembicaraan lawan, bahkan apa yang diucapkan sendiri pun diutarakan sekenanya, oleh sebab itu pembicaraan yang berlangsung pun kelihatan sangat biasa... bahkan omong kosong "Bagus benar tempat ini." "Tinggallah di sini!" Tentu, bersama kau." "Sama-sama, sama-sama." Sui Leng-kong sekalian makin mendengar semakin kebingungan, tapi Un Tay-tay yang pandai melihat keadaan semakin sadar kalau situasi semakin gawat, karena semakin membingungkan bahan pembicaraan kedua orang itu berarti hawa pembunuhan semakin tebal.
Un Tay-tay mulai mengukur jarak, dari tempat dimana dia dan Sui Leng-kong berada, paling tidak masih selisih delapan depa lebih dari posisi manusia berbaju hitam serta Siang-tok Thaysu, berarti bentrokan yang terjadi di antara kedua orang itu, sebesar apapun daya kekuatannya, tidak bakal sampai membuat cidera mereka.
Kini Un Tay-tay boleh merasa lega, dia dapat menonton jalannya pertarungan dengan perasaan tenang, harapannya kini, bentrokan itu bisa terjadi dalam kekuatan yang paling hebat, bahkan semakin dahsyat semakin menguntungkan.
Tampak paras muka Siang-tok Thaysu makin lama kelihatan makin serius, sementara hawa napsu membunuh yang terpancar dari balik mata manusia berbaju hitam itu makin lama semakin menyeramkan.
Tapi anehnya gempuran yang menentukan tidak pernah dilontarkan....
Sampai lama sekali kedua orang itu masih belum juga bergerak.
Kembali lewat beberapa saat... kedua orang itu masih juga berdiam diri.
Un Tay-tay mulai gelisah, pikirnya, "Mereka berdua mau bertahan sampai kapan? Kenapa gempuran yang mematikan belum juga dilontar¬kan?"
Belum selesai ingatan itu melintas, mendadak dadanya terasa sesak seolah tertindih benda yang sangat berat, keempat anggota tubuh pun terasa dingin membeku.
Pada mulanya dia tidak terlalu menaruh perhatian, tapi begitu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, seketika dia merasakan keempat anggota tubuhnya terasa linu dan kaku, sama sekali tidak mampu digerakkan lagi dengan leluasa.
Sekarang dia baru terkejut, cepat tenaga dalamnya dihimpun ke dalam Tan-tian, sayang usahanya kembali gagal, tenaga dalamnya sudah tidak mampu digerakkan lagi, tidak terlukiskan rasa kaget perempuan itu, saking ngerinya hampir saja dia menjerit keras.
Dia mencoba berpaling, sekalipun dalam kegelapan malam, sulit baginya untuk melihat jelas paras muka Sui Leng-kong dan Gi Beng, namun dia dapat menangkap bahwa sepasang biji mata mereka berdua sudah kehilangan cahaya serta gairahnya.
Un Tay-tay hanya berharap kehilangan gairah yang diperlihatkan kedua orang itu hanya disebabkan baru saja menangis, maka setelah berusaha menenangkan diri, bisiknya:
"Kenapa kalian berdua?"
"Kenapa?" Gi Beng balik bertanya dengan wajah tertegun.
"Apakah kalian berdua merasakan tubuhmu kurang sehat?"
Tampaknya Gi Beng sangat keheranan.
"Tidak, aku tidak merasakan apa apa... aaah....."
Mendadak perkataannya terpotong setengah jalan, di bawah cahaya rembulan tampak matanya terbelalak lebar dengan wajah dicekam rasa ngeri bercampur seram.
"Bagaimana?" tanya Un Tay-tay kaget, "apakah merasa ada yang tidak beres?"
"Aku... dadaku terasa... agak sesak, bahkan... panasnya setengah mati... aku... tangan dan kakiku... semuanya linu, kaku dan kesemutan."
Bukan hanya tubuhnya yang gemetar, suaranya pun terdengar gemetar, jelas perasaan-nya sudah dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa
Tidak terlukiskan rasa ngeri Un Tay-tay setelah menyaksikan kenyataan itu, dia mencoba menengok ke arah Sui Leng-kong sambil berbisik:
"Bagaimana perasaanmu nona Sui?"
Sorot mata Sui Leng-kong mulai kalut dan tidak beraturan, jawabnya tergagap, "Sama seperti dia...."
Un Tay-tay berdiri terbelalak, untuk sesaat dia tidak sanggup lagi mengucapkan sepatah kata pun.
"Sebe... sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Gi Beng gelisah.
"Kita... kita semua sudah... sudah keracunan."
Bibirnya terasa mulai kaku dan sakit, untuk mengucapkan perkataan itu dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki.
"Keracunan?" teriak Sui Leng-kong dan Gi Beng hampir berbareng.
"Bukan hanya keracunan, bahkan racun sudah merasuk ke tubuh kita semua."
Gi Beng dan Sui Leng-kong mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak Siang-tok Thaysu maupun orang berbaju hitam itu masih belum juga bergerak, sementara sekeliling tempat itu sudah tidak nampak manusia lain.
Ketika menengok kembali ke arah Gi Teng, terlihat pemuda itu masih berdiri kaku di situ bagaikan sebuah patung, jelas dia tidak mirip orang yang melepaskan racun.
"Sebenarnya racun apa yang dimaksud?" tidak tahan Gi Beng bertanya, "siapa yang telah melepaskan racun?"
Belum sempat Un Tay-tay menjawab, satu ingatan telah melintas dalam benak Sui Leng-kong, seolah teringat akan sesuatu yang sangat menakutkan, dia menjerit:
"Jangan-jangan... jangan-jangan ulah dia?"
Ternyata sorot matanya ditujukan ke arah Siang-tok Thaysu.
"Dia?" seru Gi Beng keheranan, "mana mungkin bisa dia? Betulkah ulah dia?"
"Betul!" sahut Un Tay-tay sambil menghela napas panjang.
"Tapi... dia sama sekali tidak menggerakkan jari tangannya."
"Setiap jago di kolong langit tahu kalau Siang-tok Thaysu adalah jago nomor wahid dalam hal ilmu melepaskan racun, sementara kita justru menunggu dia melepaskan gempuran, aaaai... perbuatan kita bertiga betul-betul sangat dungu," kembali Un Tay-tay menghela napas.
"Masa dalam posisi hanya berdiri tanpa bergerak pun dia mampu melepaskan racun?" teriak Gi Beng terperanjat.
"Benar, yang lebih hebat lagi adalah racun yang dia lepas bukan saja tanpa wujud tanpa bentuk, bahkan mampu membuat korbannya keracunan hebat tanpa dia sadari."
"Menunggu korbannya sadar, dia sudah keracunan hebat," sambung Sui Leng-kong sedih, "kungfunya sudah lenyap separuh bagian, kalau menyadari pada saat seperti ini, keadaan sudah terlambat, sudah tidak berguna lagi."
"Sungguh lihai... sungguh lihai...." gumam Gi Beng terkesiap.
Untuk kesekian kalinya, kembali Un Tay-tay menghela napas panjang.
"Sudah seharusnya kita menduga akan hal itu," katanya, "bagi seorang jago lihai dalam ilmu melepas racun, buat apa dia mesti gunakan ilmu silat?"
"Tidak heran hanya berdiri melulu... dia... ternyata tanpa bergerak pun dia sanggup melancarkan serangan mematikan, aaai... seharusnya sudah kita duga sejak awal, sudah seharusnya kita waspada dan bersiap diri sejak tadi
Makin bicara suaranya makin lirih, semakin tidak bertenaga.
"Sekilas pandang, kedua orang itu seperti lagi berdiri tanpa bergerak, padahal mereka sudah terlibat dalam pertarungan mati hidup, hanya saja orang lain tidak mengetahuinya."
"Apa... apa kau bilang?" tanya Gi Beng sambil berkerut kening.
Un Tay-tay tertegun, teriaknya keras:
"Kau tidak mendengar ana yang kukata¬kan?"
"Kau...." wajah Gi Beng tampak semakin kebingungan.
Un Tay-tay hanya sempat mendengar kata "kau", sedang ucapan berikut sama sekali tidak terdengar lagi, dia hanya melihat bibir Gi Beng sedang bergetar seakan sedang mengucapkan sesuatu, namun sama sekali tidak terdengar suara apapun.
Tidak kuasa lagi ketiga orang perempuan itu tercekam perasaan cemas, takut dan ngeri yang luar biasa, tangan mereka pun tanpa terasa saling bergandengan tangan....
Ternyata telapak tangan mereka terasa dingin bagaikan salju, keringat dingin telah membasahi tangan mereka, bahkan mulai gemetar keras....
Mereka sudah tidak dapat mendengar suara pembicaraan orang, mereka tidak tahu, telinga sendiri atau telinga rekannya yang sudah kehilang¬an fungsi, atau mungkin mereka sudah kehilangan kemampuan untuk berbicara?
Angin kencang berhembus lewat, mengibar¬kan ujung baju yang dikenakan manusia berbaju hitam itu.
Mendadak ujung baju itu terobek sebagian oleh hembusan angin, di balik angin yang berhembus lewat seakan-akan tersembunyi sebilah pisau yang amat tajam, pisau yang menyambar ujung baju dan merobeknya.
Menyusul kemudian ujung baju yang terobek kembali terbelah jadi dua bagian, dari dua bagian berubah jadi empat bagian dan akhirnya terurai jadi benang yang berhelai-helai dan tersebar kemana-mana.
Kembali segulung angin berhembus lewat dan merobek dua lembar ujung baju manusia berbaju hitam itu. Dalam waktu singkat, lagi-lagi lembaran kain itu hancur berkeping dan tersebar ke empat penjuru.
Tidak sampai beberapa saat kemudian seluruh pakaian yang dikenakan manusia berbaju hitam itu sudah berubah jadi hancuran kain yang tidak keruan bentuknya, di sisi kiri robek sebagian, di sisi kanan robek pula sebagian....
Ternyata pakaian yang dikenakan telah berubah jadi lapuk karena terserang racun jahat tanpa wujud tanpa bau itu sehingga tidak mampu menahan hembusan angin, dari sini bisa dibayangkan betapa lihainya sifat racun itu.
Biarpun pakaian yang dikenakan sebagian sudah hancur, manusia berbaju hitam itu masih tetap berdiri tegak bagai sebatang tombak, sorot matanya masih tajam bagaikan kilat, kain kerudung hitam yang dikenakan pun sama sekali tidak nampak rusak atau robek.
Bukan saja sama sekali tidak robek, bahkan selembar kain sutera yang tipis dan halus itu bagaikan sebuah lapisan baja saja, hembusan angin yang lebih kuat pun rasanya tidak mungkin bisa merusak atau menghancurkannya.
Dari sini bisa dilihat betapa lihai dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki manusia berbaju hitam itu!
Jelas seluruh tubuhnya sudah keras bagaikan baja, tidak mempan serangan racun, bahkan di balik kain cadar hitamnya sudah dipenuhi tenaga dalam yang luar biasa untuk melindungi panca inderanya.
Biarpun tubuh mereka berdua sama sekali tidak bergerak, namun pertarungan sengit antara mati dan hidup yang sedang berlangsung sudah cukup mencekam hati setiap penonton yang berada di sekeliling arena.
Dengan perasaan terkesiap, pikir Un Tay-tay, "Mati hidup manusia berbaju hitam ini sudah berada di ujung tanduk dan tinggal masalah waktu, sementara Siang-tok Thaysu sama sekali tidak terancam mara bahaya, kelihatannya pertarungan ini berhasil dia menangkan."
Perlu diketahui, sekalipun Un Tay-tay bertiga tidak kenal siapa gerangan manusia berbaju hitam itu, namun mereka tetap berharap manusia berbaju hitam itulah yang menang, tidak heran mereka mulai kebat-kebit setelah menyaksikan jagoan yang mereka harapkan ternyata tidak ada peluang untuk meraih kemenangan, bahkan cenderung terancam pula jiwanya.
Genggaman tangan mereka bertiga semakin bertambah kencang, telapak tangan Un Tay-tay berada pada urutan yang paling buncit.
Dia dapat merasakan telapak tangan Sui Leng-kong maupun Gi Beng basah dan dingin, seperti dua ekor ikan yang baru saja ditangkap dari dalam air, bahkan gemetar tiada hentinya.
Mendadak dia merasa kedua buah telapak tangan itu sudah bergeser dari atas tangannya, namun ketika Un Tay-tay mencoba memeriksa, dengan jelas dan pasti dia saksikan tangan-tangan itu masih menindih di atas tangannya.
Ternyata apa yang dia saksikan jauh berbeda dengan apa yang bisa dia rasakan di tubuhnya.
Penemuan yang sangat menakutkan ini kontan membuat lambung dan usus Un Tay-tay berkerut kencang, coba kalau dia tidak menggigit bibir dengan sepenuh tenaga, mungkin saat itu juga dia sudah memuntahkan seluruh isi perutnya.
Kembali dia menengok ke arah Gi Beng dan Sui Leng-kong, ternyata pancaran mata mereka mulai membersitkan sinar kekalapan yang aneh, seperti dua ekor kucing liar yang kepanasan di atas atap rumah.
"Blammmm!", Gi Teng sudah roboh terjung¬kal ke atas tanah.
Dia berdiri paling jauh, keracunan pun paling akhir, tapi anehnya ternyata paras muka pemuda itu masih tetap kaku seperti orang mati, bukan saja sama sekali tidak ada perubahan, sampai tubuhnya roboh terjungkal pun mimik mukanya masih tetap tidak berubah.
Keadaan Siang-tok Thaysu masih tetap seperti sedia kala, namun sekarang Un Tay-tay telah menemukan sesuatu yang aneh, dari balik sorot matanya ternyata mulai memancarkan cahaya ketidak tenanganyang aneh dan membingungkan
Kalau dia sudah pegang kendali keadaan, bila kemenangan sudah di pihaknya, kenapa dia menunjukkan sikap tidak tenang yang mem¬bingungkan?
Un Tay-tay semakin keheranan, tidak tahan dia berpaling ke wajah manusia berbaju hitam itu, kini dia baru tahu, ternyata sinar mata orang itu membawa semacam hawa sesat yang aneh sekali.
Dia mencoba memperhatikan dengan lebih seksama lagi, ternyata orang itu memiliki biji mata yang delapan puluh persen lebih besar ketimbang biji mata biasa, warna mata yang seharusnya hitam ternyata orang itu memiliki mata berwarna biru yang terkesan misterius.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, tiba-tiba dia teringat pada sebuah dongeng yang banyak beredar dalam dunia persilatan.
"Orang yang pandai menggunakan ilmu hipnotis, biasanya memiliki sinar mata yang jauh berbeda dari manusia biasa".
Dengan hati tercekat, pikirnya lebih jauh, "Jangan-jangan manusia berbaju hitam itu sedang menggunakan ilmu hipnotis Sit sim ci sut? Kelihatannya saja dia seperti pasrah, sama sekali tidak melakukan perlawanan, rupanya orang itu sedang menggunakan ilmu hipnotisnya untuk mengendalikan jalan pikiran Siang-tok Thaysu!"
Kedua orang tokoh silat ini memang sangat luar biasa, yang satu menyerang dengan mengandalkan ilmu beracunnya yang tanpa wujud tanpa bau, sementara yang lain menggunakan ilmu pembetot sukma Sit sin ci sut yang sudah lama punah dari dunia persilatan untuk mengendalikan pikiran lawan
Sekalipun kedua belah pihak sama-sama tidak bergerak, namun serunya pertempuran yang sedang berlangsung justru sepuluh kali lipat lebih sengit dan berbahaya ketimbang pertarungan biasa.
Asalkan konsentrasi manusia berbaju hitam itu sedikit saja kendor, bisa jadi racun tanpa wujud itu akan memanfaatkan peluang itu untuk menyusup masuk, menyusup ke dalam peredaran darahnya, menyusup dan melumat keselamatan jiwanya.
Sebaliknya bila Siang-tok Thaysu sedikit mengendor konsentrasinya, maka jalan pikirannya segera akan terbetot oleh ilmu hipnotis lawan, selamanya dia akan tenggelam di balik kegelapan yang menakutkan dan tidak mungkin bisa hidup bebas kembali.
Keselamatan jiwa mereka berdua benar-benar berada di ujung tanduk, mati hidup mereka hanya ditentukan dalam sekali tarikan napas, dalam situasi yang demikian kritis dan berbahaya, sudah barang tentu kedua belah pihak sama-sama tidak ingin bergerak secara sembarangan.
Un Tay-tay sendiri mimpi pun tidak menyangka kalau dalam kehidupannya kali ini dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebuah pertempuran maha dahsyat yang tidak pernah didengar, tidak pernah disaksikan sebelumnya.
Yang lebih menakutkan lagi adalah posisi kedua orang itu sekarang ibarat orang yang sudah menunggang di punggung harimau, kecuali salah satu di antara mereka roboh terkapar, siapa pun jangan harap bisa menyudahi pertempuran itu begitu saja.
Oleh sebab itu pertempuran itu bukan saja merupakan pertempuran antara ilmu beracun tanpa wujud melawan ilmu pembetot sukma, bahkan merupakan pula ajang ujian bagi semangat, niat, keberanian serta kesabaran mereka berdua.
Siapa yang lebih teguh niatnya, siapa yang lebih hebat daya tahannya, dialah yang akan memperoleh kesempatan menang paling besar.
Siapa yang tidak mampu menghimpun konsentrasinya, siapa yang muncul rasa takut dan ngeri dalam hatinya, dialah yang bakal musnah dan lenyap dari peredaran dunia....
Walaupun dalam dunia persilatan banyak terjadi pertarungan mati hidup yang menakutkan, tapi belum pernah ada pertarungan yang begini serius, begitu menakutkan seperti pertarungan antara Siang-tok Thaysu melawan manusia berbaju hitam itu sekarang.
Semakin menonton, Un Tay-tay merasa makin tercekat hatinya, makin dipikir semakin ngeri perasaannya... dalam pikiran yang makin kalut itulah mendadak satu ingatan melintas.
Biarpun ingatan itu hanya ibarat secercah cahaya redup di tengah kegelapan yang mencekam, hanya sebuah titik remang di tengah kekalutan yang melanda, namun Un Tay-tay tidak ingin melepaskannya begitu saja, dia segera memegangnya ku at-kuat.
Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan perasaan girang yang meluap, sekali lagi dia membayangkan semua peristiwa yang telah berlangsung, kemudian menganalisanya dengan seksama, "Kepandaian silat yang digunakan kedua orang ini ibarat air raksa yang menyusup ke dalam setiap pori, sudah pasti mereka tidak berani bertindak gegabah atau ceroboh, karena setiap kecerobohan sekecil apapun sudah lebih dari cukup untuk merenggut nyawa mereka, dalam hal ini mestinya mereka berdua jauh lebih paham ketimbang aku. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bila muncul orang ketiga yang ingin mencabut nyawa mereka berdua, bukankah hal ini bisa dilakukan segampang membalikkan tangan? Kenapa aku... aku tidak memanfaatkan kesempatan ini?"
Berpikir sampai di situ, dia tidak berani ayal lagi, cepat tubuhnya meronta dan berusaha bangkit berdiri.
Tapi sayang racun jahat tanpa wujud itu telah melumat habis seluruh kekuatan yang dimilikinya, kendatipun perempuan itu sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, ternyata dia tidak mampu bangkit berdiri.
Un Tay-tay tidak ingin melepaskan setitik harapan hidup yang baru muncul dalam benaknya, setelah mengatur napasnya yang tersengal, sekali lagi dia mencoba meronta bangun, dia gunakan seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya.
Dengan susah payah akhirnya seinci demi seinci dia berhasil bangkit berdiri, tapi sekarang dia baru sadar, ternyata setiap kali dia menggunakan tenaganya maka dari keempat anggota badannya segera muncul rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit bagaikan ditusuk oleh beribu batang jarum tajam.
Dia mengertak gigi kuat-kuat, sekuat tenaga berusaha menahan diri, sekuat tenaga berusaha melawan rasa sakit yang luar biasa.
Sepanjang hidup sudah terlalu banyak siksaan batin serta penderitaan hidup yang pernah dialaminya, siksaan tubuh yang dialaminya saat ini sudah dianggap satu penderitaan kecil, tentu saja dia masih mampu menghadapinya, masih mampu menahan siksaan itu.
Keheningan malam semakin memudar, setitik cahaya fajar mulai muncul di ufuk timur, saat inilah saat paling dingin dalam perjalanan satu hari, tapi Un Tay-tay justru bermandikan peluh, keringat sebesar kacang kedelai membasahi sekujur tubuhnya.
Dengan giginya yang putih bersih dia menggigit bibirnya yang pucat tanpa rona darah, sekalipun dia sedang menahan penderitaan dan rasa sakit yang amat menyiksa, namun pada akhirnya perempuan itu berhasil bangkit berdiri, akhirnya berhasil mengayunkan langkahnya.
Siang-tok Thaysu serta manusia berbaju hitam itu masih belum bergerak, siapa pun seakan tidak sadar kalau di samping mereka telah muncul seorang wanita lemah yang mulai melancarkan serangan, melancarkan ancaman maut yang bisa mematikan mereka.
Seluruh tubuh Un Tay-tay seolah terbakar oleh jilatan api yang membara, jilatan api untuk mempertahankan hidup, jilatan api yang membakar dan memunculkan seluruh kekuatan terpendam yang dimiliki, merubahnya menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang sulit dipercaya oleh siapa pun.
Dengan mengandalkan kekuatan itu dia mencoba menopang tubuhnya, mengarahkan ayunan kakinya melangkah maju ke depan.
Kini dia sudah maju empat langkah, tinggal selangkah lagi tangan kirinya sudah dapat menggapai iga kiri Siang-tok Thaysu, tangan kanannya dapat menyentuh iga kanan manusia berbaju hitam itu.
Bila ujung jarinya berhasil menyentuh tubuh mereka berdua, konsentrasi kedua orang jagoan itu pasti akan terganggu, pada saat konsentrasi mereka terganggu itulah....
Dapat dipastikan racun tanpa wujud milik Siang-tok Thaysu akan segera menyusup masuk ke dalam tubuh manusia berbaju hitam itu, sementara ilmu pembetot sukma milik manusia berbaju hitam itu pasti dapat mengendalikan pula pikiran serta kesadaran Siang-tok Thaysu.
Bila manusia berbaju hitam itu tewas lantaran keracunan, Siang-tok Thaysu juga akan kehilangan kendali, dengan matinya manusia berbaju hitam maka Siang-tok Thaysu bakal menjadi gila, satu akibat yang jauh lebih menakutkan ketimbang kematian.
Sayang... walau tinggal selangkah, ternyata Un Tay-tay tidak sanggup lagi untuk maju ke depan.
Kini kekuatan maupun tenaga dalamnya telah digunakan hingga pada titik terakhir, telah mencapai puncaknya, ibarat seseorang yang hanya berkemampuan memikul beban seberat seribu kati, bila ditambah sekati lagi, niscaya tubuhnya akan segera tumbang.
Langkah terakhir itu bukan saja tidak mampu diselesaikan Un Tay-tay, tiba-tiba tubuh¬nya malah roboh terjungkal ke atas tanah.
Dia sudah mempertaruhkan seluruh kemampuannya, dia pun sudah berusaha menahan semua siksaan dan penderitaan yang terberat, padahal kemenangan sudah berada di depan mata, namun sampai pada saat terakhir dia tidak berhasil mencapai cita-citanya, tidak mampu menyelesaikan keinginannya.
Dalam waktu singkat dia hanya merasakan kesedihan, kegusaran serta rasa kecewa yang luar biasa, perasaan sedih yang tak terlukiskan.
Mendadak hawa panas terasa bergolak di dadanya dan menerjang naik ke atas kepala, wanita itu jatuh tidak sadarkan diri.
Menanti sadar kembali dari pingsannya, Un Tay-tay menyaksikan awan putih telah menyelimuti angkasa.
Sesaat sebelum jatuh tidak sadarkan diri, dia mengira pingsannya bakal berlangsung untuk selamanya, maka dia sedikit tidak percaya ketika dapat mendusin kembali.
Saat itulah terdengar seseorang berseru dari sisi telinganya:
"Bagus, ternyata kau adalah orang pertama yang sadar."
Begitu mendengar suara itu, Un Tay-tay segera mengenalinya sebagai suara Siang-tok Thaysu, kontan jantungnya berdebar keras.
"Aduh celaka!" pekiknya dalam hati.
Ternyata Siang-tok Thaysu tidak kehilangan nyawa dalam pertempuran sengit tadi, malahan sekarang dia sudah terjatuh ke dalam cengkeraman pendeta pemakan ular ini. Sekalipun tidak sampai mati, tapi apa bedanya dengan kematian?
Berpikir sampai di situ, dia merasa kecewa bercampur putus asa, matanya kembali dipejamkan rapat-rapat.
"Kalau sudah sadar, kenapa tidak bangkit berdiri?" terdengar Siang-tok Thaysu menegur lagi.
Sekalipun tidak bicara, namun dalam hati kembali Un Tay-tay berpikir, "Aku sudah kau racuni hingga kepayahan, mana mungkin bisa bangkit kembali? Rupanya kau malah berlagak pilon...."
Mendadak dia merasa pikirannya terang dan segar, pandangan matanya jelas, tanda-tanda mata buram, kehilangan kekuatan seperti apa yang dirasakan sebagai korban keracunan sama sekali hilang tidak berbekas. Dengan perasaan girang, cepat dia bangkit dan duduk.
Rupanya dia sudah dipindahkan ke atas sebuah bukit, sementara Sui Leng-kong, Leng Cing-peng, Gi Beng, Gi Teng dan Leng It-hong masih berbaring di sampingnya, hanya tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati?
Ketika dia melirik kembali ke arah Siang-tok Thaysu, dilihatnya pendeta pemakan ular itu sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon, walaupun dipandang pada siang hari dia tidak seseram kemarin malam, namun paras mukanya tetap kelihatan dingin bagaikan salju.
"Bukankah aku keracunan hebat...." gumam Un Tay-tay terkejut bercampur keheranan.
"Racun yang Loceng gunakan sudah pasti dapat kupunahkan secara gampang," jawab Siang-tok Thaysu dingin.
"Kenapa kau ... kau menolong aku?"
"Kau telah menyelamatkan Loceng, tentu saja Loceng pun menyelamatkan dirimu."
"Aku... aku telah menolongmu?" Un Tay-tay tertegun.
Sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir Siang-tok Thaysu, katanya:
"Ketika tubuhmu roboh terjungkal tadi, kebetulan jatuh persis di sisi kaki musuh Loceng, begitu dia terperanjat, maka tenaga Sinkangnya pun ikut buyar, kalau tidak, belum tentu semudah ini Loceng mampu mengalahkan dirinya."
Un Tay-tay terkesiap, saking kagetnya dia duduk tertegun dengan mata terbelalak dan mulut melongo, sampai lama kemudian dia baru tertawa keras, teriaknya:
"Ternyata aku malah membantumu, membantumu mengusir lawan tangguh...."
Semakin nyaring suara tawanya, makin deras air mata bercucuran membasahi waj ahnya.
"Bukan hanya membantu Loceng saja," ujar Siang-tok Thaysu lebih jauh, "kalau bukan dorongan tanganmu, mungkin tubuh Dewa racun milik Loceng pun sudah musnah terhajar lemparan batu cadas."
"Siapakah manusia berbaju hitam itu?" tanya Un Tay-tay kemudian sambil membesut air mata.
"Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Aku ingin menemukan orang itu, berlutut di hadapannya, minta kepadanya untuk mencincang tubuhku hingga hancur berkeping, kalau tidak, selamanya aku tak bakal hidup tenang."
Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Sekalipun kusebut nama orang itupun belum tentu kau akan mengenalinya, apalagi sekalipun kau dapat menemukan dirinya, mungkin yang kau jumpai tidak lebih hanya sesosok mayat."
Kembali Un Tay-tay tertegun, akhirnya dia tidak sanggup menahan diri lagi, meledaklah isak tangisnya yang amat menyedihkan hati. Selama hidup baru kali ini dia menangis dengan begitu sedihnya.
Siang-tokThaysu segera mendengus dingin.
"Rupanya kau menyesal karena telah menolong Loceng?" tegurnya.
"Benar, lebih baik bunuhlah aku...."
Perlahan Siang-tok Thaysu mendongakkan kepala memandang keatas, kemudian katanya lagi:
"Walaupun Loceng tahu kau memang tidak berniat membantuku, namun sepanjang hidup baru pertama kali ini kuterima pertolongan dari orang lain, bagaimanapun juga hutang budi ini tetap harus ku bayarkan kepadamu."
Un Tay-tay sama sekali tidak menggubris perkataan itu, dia masih mendekam di tanah sambil menangis tersedu-sedu, sepeminuman teh kemudian isak tangisnya baru mulai mereda, lambat-laun kesadarannya pulih kembali, tiba-tiba dia melompat bangun.
Jika berganti Gi Beng atau Im Ceng sekalian, begitu tahu tanpa sengaja mereka telah membantu kaum laknat dan manusia jahat, bisa jadi mereka segera akan menumbukkan kepalanya di dinding untuk bunuh diri.
Tapi Un Tay-tay bukan manusia semacam itu, sekalipun tadi dia menangis sedih karena luapan emosinya, namun kesadaran otaknya jauh mengungguli gejolak emosi, begitu berhasil menguasai diri, teriaknya:
"Baik, kau bilang mau membayar hutang budi ini? Dengan cara apa kau hendak membayarnya?"
"Apapun permintaanmu, asal bisa Loceng lakukan, pasti tidak akan kutampik permintaanmu itu."
"Kau sendiri yang berjanji?"
"Selama hidup Loceng pantang mengobral janji, tapi kau pun mesti ingat, tadi kau hanya dua kali membantu Loceng, maka mulai sekarang Loceng pun hanya akan menuruti permintaanmu sebanyak dua kali."
"Paling tidak kau harus menyelamatkan rekan-rekanku terlebih dulu."
"Baik... tinggal satu permintaan." Sekarang Un Tay-tay baru merasa sedikit lega, bagaimanapun juga dia telah menyelamatkan nyawa beberapa orang rekannya, paling tidak pertolongan ini bisa digunakan untuk menebus dosanya hari ini.
Siapa tahu setelah lewat beberapa saat kemudian Siang-tok Thaysu masih tetap duduk tanpa bergerak.
Un Tay-tay tidak mampu menahan diri lagi, segera tegurnya:
"Kenapa kau belum juga turun tangan?"
Siang-tok Thaysu mendengus dingin.
"Hmmm, kau belum menunjuk siapa yang harus kutolong, bagaimana mungkin Loceng bisa turun tangan?"
Tercekat perasaan Un Tay-tay, jeritnya:
"Menunjuk yang mana? Tentu saja kau harus menolong mereka bertiga."
Dia memang sengaja hanya menyebut tiga orang, karena perempuan ini tahu Leng Cing-peng sudah tidak punya harapan lagi untuk ditolong.
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Ketiga orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku, kenapa Loceng mesti mengobral tenaga menyelamatkan mereka semua?"
"Tapi... bukankah kau telah berjanji?"
"Benar, Loceng memang berjanji akan turun tangan dua kali untuk membayar hutang budi ini, tapi jangan lupa, hanya dua kali, sementara di sini ada tiga orang."
"Jadi kau... kau hanya bersedia menolong dua orang? Begitu? Benar?" suara Un Tay-tay terdengar sedikit gemetar.
Siang-tok Thaysu manggut-manggut, pelan-pelan dia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
"Tapi di sini terdapat tiga orang, kau suruh aku tidak memilih yang mana? Kau... kau... kau biarkan seseorang yang tiada dendam sakit hati denganku harus tewas secara mengenaskan di hadapanmu?"
Sekalipun dia menjerit dengan suara yang mengenaskan, namun paras muka Siang-tok Thaysu tetap kaku bagaikan patung, sama sekali tidak tersentuh perasaannya, bagaimanapun perempuan itu merengek atau memohon, Siang-tok Thaysu tetap berlagak seolah tidak mendengar.
Akhirnya Un Tay-tay jatuh terduduk ke lantai, gumamnya dengan suara gemetar:
"Keji... kau sungguh keji, tidak kusangka hatimu jahat, buas dan beracun, walaupun banyak manusia jahat yang pernah kujumpai selama ini, tapi kau adalah orang pertama...."
Bicara sampai di situ, tiba-tiba satu ingatan kembali melintas dalam benaknya, dengan hati gembira teriaknya:
"Orang pertama, tadi kau bilang 'kau adalah orang pertama yang sadar', itu berarti masih ada orang kedua, orang ketiga yang bakal sadar, padahal kau sudah menyelamatkan mereka semua, hanya sekarang secara sengaja membo¬hongi aku, menakut-nakuti aku, agar aku merengek kepadamu, memohon kepadamu, agar aku semakin berterima kasih kepadamu, bukan-kah begitu? Katakan, bukankah begitu?"
Perlahan-lahan Siang-tok Thaysu membuka matanya kembali, menatapnya dengan sorot mata tajam, sampai lama dan lama kemudian, sekulum senyuman aneh dan misterius kembali tersungging di ujung bibirnya.
Walaupun Un Tay-tay merasa senyuman itu sedikit kalap, sedikit menakutkan, tapi begitu melihat senyuman itu, setitik harapan yang semula masih mengambang, kini terasa makin mantap dan meyakinkan.
Akhirnya Siang-tok Thaysu berkata: "Benar, masih ada orang kedua, orang ketiga yang akan sadar."
Un Tay-tay segera melompat bangun, serunya kegirangan:
"Siapakah dia? Siapakah dia?"
"Orang kedua adalah dia!" kata Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Leng Cing-peng.
"Dia? Dia... bukankah dia sudah tiada harapan lagi!"
Senyuman di ujung bibir Siang-tok Thaysu nampak semakin kentara, sahutnya:
"Jika orang lain tidak sanggup menyelamat¬kan jiwanya, memangnya Loceng pun tidak sanggup? Apalagi dia masih terhitung cucu muridku, tentu saja aku harus menyelamatkan dia."
Kejut bercampur girang mencekam perasa¬an Un Tay-tay, lewat sesaat dia bertanya lagi:
"Lalu siapa... siapa orang ketiga?"
"Dia!" kali ini Siang-tok Thaysu menuding ke arah Leng It-hong.
"Dia?" jerit Un Tay-tay tercekat, "tapi...tapi"
Siang-tok Thaysu mendongakkan kepalanya tertawa seram.
"Tubuh Dewa racun segera akan terwujud" teriaknya, "sekarang Loceng akan menjadi jagoan tidak terkalahkan di kolong langit, akulah yang akan memegang kekuasaan mati hidup setiap umat persilatan, hahaha...."
Semakin tertawa dia semakin bangga, makin tertawa semakin kalap.
Untuk kesekian kalinya Un Tay-tay jatuh terkapar, jatuh untuk tidak mampu berdiri lagi.
Dalam pada itu paras muka Sui Leng-kong, Gi Beng serta Gi Teng telah berubah jadi hijau keabu-abuan, jelas nyawa mereka sudah berada di tepi jurang kematian.
Un Tay-tay sadar, hanya dibutuhkan sepatah kata darinya maka dua orang di antara rekannya akan lolos dari bahaya maut, tapi haruskah dia mengorbankan rekannya yang ketiga? Siapa yang harus dikorbankan?
Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia sanggup buka suara?
Terdengar Siang-tok Thaysu berkata lagi dengan suara dingin:
"Ketiga orang itu sudah keracunan hebat, jika kau terlambat mengambil keputusan untuk menolong yang mana, aku kuatir nyawa mereka sudah keburu melayang lebih dahulu."
Un Tay-tay menarik napas dingin, air mata kembali berlinang membasahi pipinya.
Selama hidup sudah terlalu sering dia mengambil keputusan penting, tapi keputusan yang harus diambil sekarang justru punya keterkaitan yang besar dengan mati hidup sese-orang, dia merasa terjerumus dalam perangkap yang sangat dalam, belum pernah dia jumpai kesulitan yang demikian besarnya seperti sekarang.
Siapa yang harus ditolong? Siapa yang tidak seharusnya ditolong?
Sambil menggigit bibir dia mencoba memberitahu kepada diri sendiri:
"Bagaimanapun juga aku harus menyela¬matkan nyawa Sui Leng-kong, karena dua orang ini sama sekali tidak kukenal, sudahlah, kalau begitu aku tolong salah satu di antara mereka."
Dia berpaling ke arah Gi Beng dan Gi Teng, kemudian bertanya lagi kepada diri sendiri:
"Tapi di antara mereka berdua, siapa yang harus kutolong?"
Dengan termangu dia mengawasi wajah kedua orang itu, dilihat dari raut mukanya, mereka berdua nampak begitu ramah, begitu baik, walaupun berada dalam ketidak berdayaan, setitik harapan masih tersungging di ujung bibir mereka.
Terbayang kembali bagaimana dia harus segera mengambil keputusan, memutuskan nyawa mana di antara mereka berdua yang harus segera ditolong, kembali Un Tay-tay merasakan goncang-an jiwa yang luar biasa, tubuhnya sampai menggigil keras.
Tanggung jawab moral yang terbeban di pundaknya kelewat berat, keputusan yang harus diambil kelewat menyiksa batin.
Sekali lagi dia bertanya kepada diri sendiri:
"Terlepas siapa yang bakal hidup, ketika orang tahu kehidupannya diperoleh dari kematian rekannya, dapatkah dia menerima kenyataan itu? Sanggupkah dia melanjutkan hidup?"
Tanpa sadar sorot matanya kembali dialih¬kan ke wajah Sui Leng-kong.
Di bawah cahaya rembulan, wajah Sui Leng-kong nampak begitu tenang, kelihatan begitu cantik dan menawan....
Kecantikan yang luar biasa, ibarat bidadari yang turun dari kahyangan, kecantikan yang tidak seharusnya hidup di alam dunia.
Un Tay-tay merasa hatinya pedih, pikirnya, "Thiat Tiong-tong telah mati, Im Ceng pun telah mati, cepat atau lambat aku juga bakal mati, apa senangnya dia hidup seorang diri? Membiarkan dia tetap hidup hanya akan membuatnya makin sengsara, makin menderita!"
Sekali lagi dia menengok ke arah Sui Leng¬kong, terlihat gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, bulu matanya yang panjang terkatup pada kelopak matanya yang lembut, seluruh kesedihan, semua penderitaan seolah sudah jauh meninggalkan dirinya.
Un Tay-tay ikut memejamkan matanya.
"Dia persis seperti aku," gumamnya, "hanya akan memperoleh kedamaian dalam kematian, sementara dua orang yang lain perlu hidup terus untuk saling menunjang. Membiarkan dia hidup terus hanya akan menambah penderitaannya, sedang dua orang yang lain masih punya kebahagiaan dan kegembiraan dalam perjalanan hidup mereka, kebahagiaan dan kegembiraan yang mustahil bisa aku maupun dia rasakan lagi."
Sementara dia masih termenung, Siang-tok Thaysu kembali bertanya:
"Sudah kau putuskan?"
"Sudah, sudah kuputuskan!" jawab Un Tay-tay sambil menarik napas panjang.
Cahaya kegembiraan yang aneh kembali terbesit di balik sorot mata Siang-tok Thaysu, dia seolah berharap bisa memperoleh sedikit kepuasan yang? sadis dari balik keputusan yang diambil Un Tay-tay.
Dengan penuh rasa ingin tahu dia ingin segera tahu siapa yang akan dikorbankan Un Tay-tay, rasa ingin tahu kebinatangannya segera menyelimuti seluruh pikiran dan perasaannya. Dengan lantang dia berteriak:
"Siapa? Siapa yang akan kau tolong?" Un Tay-tay masih memejamkan mata, namun dia sudah menuding kedua arah ....
Yang ditunjuk adalah Gi Beng serta Gi Teng, dua bersaudara keluarga Gi.
Setelah Siang-tok Thaysu selesai mencekoki Gi Beng dan Gi Teng dengan obat penawar racun, Un Tay-tay masih duduk kaku tanpa bergerak, dia tetap duduk bagaikan sebuah patung batu, sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak mambuka matanya.
Sambil bertepuk tangan, kata Siang-tok Thaysu:
"Tidak seberapa lama lagi mereka berdua akan segera tersadar kembali."
"Ooh, benarkah?" Un Tay-tay mengangguk dengan wajah linglung, menyahut dengan nada hambar.
Dengan wajah keheranan dan rasa ingin tahu, Siang-tok Thaysu menatap wajahnya, mendadak ujarnya sambil tertawa:
"Loceng sama sekali tidak menyangka kau tidak menyelamatkan gadis itu, sebaliknya malah menyelamatkan pria ini, dapatkah kau menjelas¬kan apa alasanmu memutuskan begitu?"
Un Tay-tay menggetarkan bibirnya, namun tak ada suara yang muncul, dia hanya menggeleng dengan wajah linglung.
Lewat beberapa saat kemudian, akhirnya dia buka suara juga, sahutnya:
"Masa tidak kau lihat, dia mati dengan begitu tenang dan damai, sementara kedua orang ini justru amat berharap bisa hidup terus...."
Sebetulnya dia enggan mengucapkan perkataan itu, namun entah mengapa akhirnya diucapkan juga, dia bahkan tidak bisa membedakan sebetulnya perkataan itu tertuju kepada Siang-tok Thaysu atau justru ditujukan kepada diri sendiri.
Siang-tok Thaysu memandang sekejap Gi Beng serta Gi Teng yang belum sadar, kemudian menengok Sui Leng-kong dan akhirnya meman¬dang wajah Un Tay-tay, tiba-tiba dia mendongak¬kan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Un Tay-tay membuka kembali matanya tapi segera dipejamkan kembali, sekali lagi dia membuka matanya, menengok ke arah Siang-tok Thaysu.
Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri, tegurnya:
"Apa yang kau tertawakan?"
"Padahal wajah ketiga orang itu sama satu dengan lainnya, tapi kau bersikeras mengatakan gadis itu meram dengan tenang sedang dua orang yang lain menderita, bukankah alasan itu hanya kau gunakan untuk mengungkap jalan pemikiran-mu sendiri?"
Perkataan itu bagaikan tusukan jarum tajam, tusukan yang menghujam ke dasar lubuk hati Un Tay-tay.
Tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar keras,
teriaknya:
"Kau... kau ngaco-belo!"
"Hahaha, dulu Loceng pun pernah hidup bergelimpangan dalam keduniawian, rahasia yang ada di dasar hatimu mungkin saja dapat mengela¬bui orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabui diriku."
"Rahasia... rahasia apa yang ada di dasar hatiku?"
"Kau pasti pernah menaruh perasaan iri dan cemburu kepadanya," ujar Siang-tok Thaysu sambil tertawa, "oleh sebab itu kau berharap dia bisa mati, mati dengan tenang? Bebas dari segala penderitaan? Itu semua hanya alasan yang kau buat-buat untuk membohongi diri sendiri."
Gelak tawanya dipenuhi perasaan bangga, sebab dia menganggap berhasil menelanjangi lawannya, lagi-lagi dia memperoleh sebuah kepuasan, kepuasan yang diperoleh secara sadis.
Gelak tawanya bagaikan sebuah cambuk, cambuk berduri yang menderai di tubuh Un Tay-tay, mencambuk hatinya, mencambuk sukmanya hingga sama sekali tak mampu bergerak.
"Benarkah aku iri kepadanya?" terdengar dia bergumam, "benarkah aku cemburu kepada-nya? Kenapa aku harus iri? Kenapa aku harus cemburu?"
Tiba-tiba dia tertawa keras, tertawa seperti orang kalap, jeritnya:
"Aku iri kepadanya? Kenapa aku harus iri kepadanya?"
Gelak tawanya makin lama makin bertam¬bah seram... semakin tidak bisa dibedakan antara tangis dan suara tertawa... akhirnya dia menubruk tubuh Sui Leng-kong, menangis secara kalap, menangis tersedu-sedu.
"Di masa lalu kalian berdua pasti pernah mencintai seorang lelaki yang sama," ujar Siang-tok Thaysu lagi, "dan pria itu ternyata hanya mencintai dia seorang, maka kau membencinya, kau iri kepadanya...."
Walaupun nada suaranya rendah dan berat, namun terdengar begitu tajam, begitu melengking, setiap patah kata bagaikan tusukan jarum yang menghujam hatinya, bila kau berusaha menutupi telingamu dengan tangan, maka dia akan menembus telapak tanganmu dan menyusup masuk ke dalam.
Terdengar dia berkata lagi:
"Kemudian... setelah lewat lama sekali, rasa cintamu terhadap pria itu makin memudar, tapi perasaan benci, perasaan irimu tidak pernah ikut memudar, tahukah kau mengapa bisa begitu?"
"Kau setan...." jerit Un Tay-tay penuh penderitaan, "iblis busuk! Tutup mulutmu!"
Sekali lagi Siang-tok Thaysu tertawa sadis, lanjutnya:
"Karena iri dan benci merupakan luapan emosi yang paling kuat, khususnya di dalam hati seorang wanita, perasaan itu jauh lebih kuat daripada perasaan cinta. Sebab sedalam apapun cinta seorang wanita, perasaan itu gampang berubah, biarpun kau mencintainya secara khusuk namun tidak akan langgeng, sama seperti cinta seorang lelaki, walaupun dapat berlangsung langgeng, namun tidak akan bisa mencintai secara khusus."
"Tolong... jangan kau lanjutkan," pinta Un Tay-tay dengan wajah memelas.
Siang-tok Thaysu menyeringai seram, terusnya:
"Oleh sebab itu seorang pria bisa mencintai banyak wanita pada saat yang bersamaan, namun tidak mungkin bagi seorang wanita, ketika seorang wanita mencintai seorang pria, dia pasti mencintainya hingga tergila-gila, tidak mungkin dia bisa mencintai lelaki kedua. Menanti dia mulai mencintai lelaki kedua, saat itu perasaan cintanya terhadap pria pertama pasti sudah hilang lenyap tidak berbekas."
"Setelah tertawa seram berulang kali, lanjutnya:
"Sayang, rasa dengki, rasa iri, rasa cemburu seorang wanita terhadap wanita lain tidak pernah bisa lenyap untuk selamanya, jika seorang wanita membenci wanita yang lain, maka dia akan membencinya sepanjang masa!"
"Aku tidak mau mendengarkan... tidak mau mendengarkan!" jerit Un Tay-tay sambil berusaha menutupi sepasang telinga dengan tangannya.
Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, tentu saja kau tidak mau mendengarkan, sebab selain kau tahu bahwa teori ini seratus persen benar, kau pun sadar, rasa iri yang kau anggap sudah terlupakan sesungguhnya sudah berakar di dasar hatimu, maka...."
Tiba-tiba Un Tay-tay menjerit keras, sambil membopong tubuh Sui Leng-kong, dia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.
Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, Siang-tok Thaysu kembali tertawa keras, tertawa seperti orang gila. Dia tahu, perbuatannya telah berhasil menghancur lumat-kan perasaan perempuan itu.
Sepanjang hidup, dia baru bisa merasa sangat gembira ketika menyaksikan seorang perempuan hancur lebur hatinya, sebab dahulu, dia pun pernah dibuat hancur lebur hatinya karena ulah seorang wanita....  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang