21. Aliran Silat Sejati

1.5K 27 2
                                    

Selama hidup belum pernah kawanan jago itu menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang begitu hebat, mereka hanya mendengar suara deruan angin yang saling menyambar melalui sisi tubuh, membuat ujung baju mereka berkibar, hingga pada akhirnya tubuh Coh Sam-nio berubah jadi sekilas cahaya perak yang berputar diantara dua bayangan abu-abu, sulit untuk dibedakan lagi mana bayangan tubuh dan mana cahaya.
Lama-kelamaan para jago merasakan matanya mulai berkunang-kunang dan kepala terasa pening, akhirnya mereka pejamkan mata dan tidak berani melihat lagi.
Sementara si kapak raksasa itu hanya berdiri dengan mata melotot dan mimik muka hambar, sekalipun matanya terbelalak lebar padahal tidak ada bayangan apapun yang terlihat olehnya.
Coh Sam-nio masih berputar sambil tertawa merdu, sedang napas Hong Lo-su kedengaran mulai tersengkal, sampai pada akhirnya suara gelak tertawa itu semakin nyaring sedang suara napas yang tersengkal pun makin keras.
Akhirnya Hong Lo-su menghentikan langkah¬nya sambil berkata:
"Aku tidak.....tidak akan mengejar lagi"
"Bagaimana? Mengaku kalah?" tanya Coh Sam-nio.
"Andai tubuhku kecil pendek macam kau, belum tentu ilmu meringankan tubuhku kalah dari kau"
Dalam pada itu si manusia aneh itu pun turut menghentikan pengejarannya, dengan dada naik turun karena tersengkal, ujarnya pula:
"Sehebat apa pun ilmu meringankan tubuh seseorang, paling juga dipakai untuk menyela¬matkan diri, apa hebatnya!"
Coh Sam-nio tertawa, sambil berkelebat lewat dari sisi tubuhnya, dia tepuk bahu lelaki itu dan berkata:
"Jika ingin beradu ilmu adu nyawa, kenapa tidak mencari Hong Lo-su? Bukankah dia sedang mengincar nyawamu!"
"Aku memang sedang mencarinya!" bentak manusia aneh itu nyaring, secepat kilat dia lancarkan tiga jurus pukulan.
Hong Lo-su tertawa seram.
"Hehehehe.... akupun sedang mencari kau, asal berhasil menangkap dirimu, masa aku kuatir tidak bisa mendapatkan si pemakai baju pengantin?"
Selama pembicaraan berlangsung, kedua orang itu sudah saling menggempur sebanyak belasan jurus.
"Kalian berdua boleh bertarung sepuasnya, biar aku yang menengok ke dalam!" seru Coh Sam-nio sambil tertawa.
Dia melompat ke depan dan langsung menye¬linap masuk ke balik tirai berwarna hitam itu.
"Celaka" pekik Hong Lo-su, "rupanya dia ingin mencari keuntungan!"
Setelah melepaskan tiga gempuran keras, tubuhnya mundur ke belakang dan siap menyusul Coh Sam-nio.
Pada saat itulah Coh Sam-nio yang baru saja menyelinap masuk, kini sudah muncul kembali dengan wajah berubah hebat, begitu melihat Hong Lo-su sedang menyelinap masuk, cepat dia berkelit ke samping dan serunya sambil tertawa:
"Kau ingin masuk ke dalam? Silahkan!"
"Dasar siluman rase" umpat Hong Lo-su setengah bergumam, "permainan busuk apa lagi yang sedang kau lakukan?"
Walaupun dihati kecilnya sudah muncul kecurigaan, tidak urung tubuhnya tetap menye¬linap masuk.
Manusia aneh itu seketika menghentikan langkahnya dengan sorot mata berkilat, tampaknya dia sudah menduga apa yang telah terjadi.
Benar saja, terdengar Hong Lo-su menjerit kaget kemudian kabur keluar dengan wajah berubah, dengan mata melotot besar dan menuding ke balik tirai, gumamnya:
"Ternyata dia......dia belum mati"
"Aaai, toh sudah kubilang, jangan kedalam, siapa suruh kau bersikeras ingin masuk juga" Coh Sam-nio menghela napas panjang.
Kebetulan waktu itu Sui Leng-kong baru mendusin dari pingsannya, begitu mendengar perkataan itu segera jeritnya kegirangan:
"Jadi dia.....dia belum mati?"
"Adik kecil" kata Coh Sam-nio, "lelaki mu mah susah untuk hidup lagi, yang kami maksudkan adalah orang lain, belum tentu kau kenal dengan orang itu"
Ucapan "susah untuk hidup lagi" diterima Sui Leng-kong bagaikan sambaran petir, kontan dia jatuh pingsan lagi.
Dalam pada itu Hong Lo-su telah berteriak lagi dengan suaranya yang parau:
"Hujin, kalau memang kau belum mati, kenapa tidak segera munculkan diri untuk bertemu?"
Dari balik tirai hitam segera berkumandang suara aneh yang lembut, halus, manis dan indah, menjawab sepatah demi sepatah kata:
"Betul, aku memang belum mati, apakah kau ingin bertemu aku?"
"Aku...... aku......." Hong Lo-su bersin berulang kali dengan tubuh menggigil.
Melihat itu Coh Sam-nio segera menyindir sambil tertawa dingin:
"Dasar manusia tidak berguna, percuma dihari biasa kau menyebut dirimu sebagai enghiong"
Sambil membusungkan dada Hong Lo-su segera berteriak lagi:
"Benar, cayhe memang ingin bertemu hujin"
"Tunggu saja sejenak, aku segera akan munculkan diri, siapa tahu sekalian kubawa benda yang kalian inginkan, jangan pergi dulu"
"Tentu saja kami tidak akan pergi!" sahut Hong Lo-su cepat.
Lain dimulut lain dalam kenyataan, tanpa sadar kakinya makin lama semakin bergeser keluar pintu.
Meskipun dia merasa berat hati untuk mening¬galkan tempat itu, namun dalam kenyataan dia merasa ketakutan setengah mati terhadap orang diatas sampan itu.
Perempuan kecil pendek bercadar hitam itu diam-diam mendekati Coh Sam-nio, lalu bisiknya:
"Apa......apakah dia?"
"Betul, memang dia!" jawab Coh Sam-nio sambil kabur keluar ruangan.
Perempuan bercadar itu segera merasakan tubuhnya bergetar keras, baru saja dia membalik¬kan tubuh siap kabur dari situ, mendadak manusia aneh itu sudah menghadang di depan pintu sambil menegur:
"Ibuku minta kalian tetap tinggal disini, siapa yang berani pergi?"
"Siapa bilang aku mau pergi?" teriak Hong Lo-su dengan mata melotot.
Benar saja, dia segera mengambil tempat duduk, kemudian sambil melirik ke arah Coh Sam-nio, sindirnya:
"Coh Sam-nio, kau hendak kabur?"
"Hmm, kalau kau tidak kabur, kenapa aku mesti pergi"
Meskipun kedua orang itu masih berbicara sok gagah, padahal semangat mereka betul-betul sudah runtuh.
Manusia aneh itu sendiripun merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya dengan perasaan girang:
"Asal ibu mau keluar, sementara Thiat Tiong-tong sudah mampus, jelas kenyataan ini sangat menguntungkan posisiku"
Andai dia tahu keadaan yang sebenarnya, mungkin manusia aneh itu tidak akan menghalangi kepergian Hong Lo-su serta Coh Sam-nio, sebab perkataan dari ibunya tadi sesungguhnya hanya bertujuan mengusir mereka pergi dari tempat itu.
Waktu itu suasana didalam ruangan berubah jadi hening sepi tidak kedengaran sedikit suara pun, yang paling merasa takut dan kuatir adalah Suto Siau sekalian, bukan saja mereka tidak tahu duduknya persoalan, bahkan tidak bisa menduga untung rugi yang bakal menimpa mereka.
Rupanya Thiat Tiong-tong meski ilmu silatnya tidak terlampau hebat, namun reaksi serta kecerdasan otaknya boleh dibilang luar biasa.
Ketika melihat pukulan yang menghantam dadanya susah dihindari lagi, dia segera manfaat¬kan kesempatan itu untuk melompat mundur sambil menjatuhkan diri ke tanah.
Sayang tenaga pukulan dari si Kapak sakti memang kelewat kuat dan dahsyat, kendatipun sudah menghindar toh dia tetap terhantam hingga mencelat.
Begitu tubuhnya mencelat sejauh empat depa, dia segera menerobos ke balik tirai hitam dan tercebur ke dalam kolam.
Waktu itu kesadarannya belum punah, seandainya berganti orang lain dia pasti tidak berani menggunakan tenaganya lagi dan membiarkan tubuhnya tercebur ke dalam kolam.
Berbeda dengan Thiat Tiong-tong, dengan pertaruhkan keselamatan jiwanya dia segera menghimpun sisa kekuatan yang dimilikinya dan berusaha keras melejit ke samping, maka ketika terjatuh ke bawah, tubuhnya persis terjatuh diatas sampan itu.
Begitu memuntahkan darah segar, anak muda itupun jatuh tidak sadarkan diri.
Menanti dia mendusin kembali, hidungnya segera mengendus bau harum semerbak yang menyegarkan seluruh tubuhnya.
Dia tidak tahu kalau bau harum itu berasal dari dupa mestika yang khusus didatangkan dari negeri Thian-tok (India) yang disebut Thian say than.
Konon bagi orang yang sedang berlatih tenaga dalam bila mengendus bau dupa ini maka kemajuan yang dialami bakal pesat, bila seseorang sedang terluka dalam yang parah pun dapat segera mendusin dari pingsannya.
Baru saja Thiat Tiong-tong tersadar dari pingsannya, tiba-tiba dari sisi telinganya terdengar seseorang berkata:
"Dalam keadaan terluka parah kau masih tidak segan menggunakan sisa kekuatan yang dimiliki agar terjatuh tepat diatas sampan, apakah kau mempunyai sesuatu tujuan?"
Suara itu lembut, halus dan indah, satu keindahan yang tiada keduanya dikolong langit, Thiat Tiong-tong pernah mendengar sebelumnya, tahu kalau orang yang menegurnya adalah ibunda dari manusia aneh itu, dia merasa terkejut bercampur girang.
Terkejut karena tidak menyangka kalau tindakannya yang sengaja menjatuhkan diri keatas sampan ternyata dapat ditebak orang, buru-buru katanya:
"Isi perut boanpwee sudah terluka parah"
Baru bicara sepatah kata, napasnya sudah tersengkal-sengkal, maka setelah menarik napas baru lanjutnya:
"Bila tidak ada yang menolong, boanpwee pasti tewas setelah tercebur ke air, padahal usiaku masih muda, aku tidak ingin cepat mati"
Kembali suara lembut itu bertanya:
"Bukankah kau tahu kalau tubuhmu tercebur ke dalam air, belum tentu aku mau menolong, tapi bila terjatuh dihadapanku, mau tidak mau aku harus menolong?"
"Harap hujin maklum, walaupun luka dalam yang boanpwee derita sangat parah, namun dengan kemampuan yang hujin miliki, kau pasti bisa selamatkan jiwaku, itulah sebabnya boanpwee mengharapkan begitu"
"Kelihatannya kau bicara jujur........" selesai mengucapkan perkataan itu, dia tidak berbicara lagi.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan kerongkongannya sangat kering dan dadanya sesak sehabis mengucapkan kata-kata itu, setelah pejamkan mata dan beristirahat sejenak dia baru membuka matanya kembali, dia ingin melihat bagaimana tampang wajah nyonya ini.
Kalau didengar dari suaranya yang halus lembut, dia sangka nyonya ini pasti memiliki wajah yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, siapa sangka, begitu dipandang seketika itu juga hatinya terperanjat.
Dibawah remang remangnya cahaya redup, asap dupa yang mengepul tipis dan lapisan kain hitam yang mengelilingi sampan, tampak hujin itu duduk bersila diatas sebuah bantal untuk bersemedi, tubuhnya telah menyusut kecil hingga tinggal seonggok kerangka, kulit mukanya kuning kehitam-hitaman dan tinggal kulit pembungkus tulang, rambutnya sudah pada rontok sehingga nyaris gundul kelimis, keempat anggota tubuhnya pun kurus kecil seperti anggota tubuh seorang bayi, yang paling menonjol hanya kulit perutnya yang bulat menonjol keluar.
Begitu aneh dan menyeramkan penampilan perempuan ini, membuat siapa pun yang melihatnya pasti akan berubah muka dan menjerit kaget.
Tapi Thiat Tiong-tong tidak terbiasa berubah muka, walaupun perasaan terkejut mencekam perasaan hatinya namun sama sekali tidak di tampilkan keluar, diam-diam dia menghela napas sambil pikirnya:
"Dimasa lampau hujin ini pasti cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, tampangnya berubah aneh pasti lantaran melatih sesuatu ilmu sakti, tidak heran kalau dia enggan bertemu siapa pun"
Berpikir sampai disitu, perasaan iba dan simpatik segera menyelimuti hatinya, perasaan itupun tanpa sadar diperlihatkan keluar.
Hujin itu hanya membuka sedikit sepasang matanya, dia sama sekali tidak berbicara.
Thiat Tiong-tong hanya memandangnya dua kejap dan tidak berani menengok wajahnya lagi, dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, disamping bantal bersemedi terdapat sebuah anglo untuk dupa, disampingnya terdapat sejilid kitab tipis, diatas kitab itu tertulis: "Aliran silat sejati, Kia ie sinkang"
Hatinya kontan tergerak, dia merasa nama ilmu silat itu sangat aneh, pikirnya:
"Tidak heran kalau Hong Lo-su berkoar-koar menginginkan orang yang mengenakan pakaian penganten, tampaknya kitab pusaka inilah yang dimaksud, Kia ie sinkang, ilmu sakti baju pengantin"
Baru selesai dia berpikir, terdengar hujin itu bertanya lagi:
"Siapa namamu, apakah kau berasal dari Perguruan Tay ki bun?"
Dalam hati Thiat Tiong-tong merasa keheranan, darimana dia bisa mengetahui asal usulnya, namun segera mengiakan dengan hormat.
"Biarpun masih muda, ternyata kau bisa menaruh simpatik terhadap kesepian yang dialami orang lain, tidak gampang untuk bersikap begitu" kembali hujin itu berkata.
Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasa terperanjat, kini dia baru sadar, rupanya semua pembicaraan¬nya dengan Li Lok-yang sewaktu berada di luar gua tadi telah terdengar oleh hujin ini dengan sangat jelas.
"Kenapa kau tidak nampak ketakutan setelah melihat wjahku?" lagi-lagi hujin itu bertanya.
"Boanpwee tidak pernah kenal takut, apalagi hujin sangat cerdas dan memiliki kemampuan yang luar biasa, apalah arti dari kulit luar, apa pula arti dari sebuah penampilan, bagi boanpwee yang tersisa hanya rasa hormat dan kagum"
Secerca kehangatan melintas diwajah sang hujin yang dingin kaku, pelan-pelan katanya:
"Biarpun kecantikan atau keburukan kulit wajah seseorang tidak sebanding dengan kecerdasan dan kemampuan, tapi ada berapa banyak manusia di dunia ini yang tidak menilai seseorang dari penampilannya!"
Thiat Tiong-tong tidak berani menanggapi, napasnya saja yang kedengaran makin terengah.
"Kalau masih mampu bergerak, merangkaklah mendekat" perintah hujin itu lembut.
"Apakah hujin bersedia memberi pertolongan?" tanya pemuda itu kegirangan.
"Bila tidak menderita luka parah yang mengancam keselamatan jiwa, tidak mungkin kau berani menerobos kemari, sekarang kau sudah muncul dihadapanku, ini berarti diantara kita berdua memang berjodoh, paling tidak sudah sepantasnya bila kuselamatkan nyawamu"
Dengan kegirangan Thiat Tiong-tong meng¬ucapkan terima kasih kemudian berusaha keras merangkak maju mendekati perempuan itu, tapi lukanya memang kelewat parah, sewaktu berbicara pun banyak mengeluarkan tenaga, walaupun jarak yang berapa meter saja baginya seakan sedang melalui bukit dan jurangyang amatjauh.
Hujin itu sama sekali tidak membantunya untuk merangkak mendekat, dia hanya mengawasi dari kejauhan, mendadak bisiknya:
"Ada yang datang!"
Walaupun tidak mendengar sesuatu namun tidak tahan Thiat Tiong-tong menengok juga, dari balik kain sutera hitam benar saja dia saksikan sesosok bayangan manusia berwarna perak sedang menyelinap masuk.
Dia tahu orang itu tidak lain adalah Coh Sam-nio, kembali hatinya tercekat.
Waktu itu Coh Sam-nio sendinpun amat terkejut setelah melihat asap tipis yang muncul dari balik sampan, seketika dia menghentikan tubuhnya disisi kolam sembari menegur:
"Siapa yang berada diatas sampan?"
Hujin itu tidak menjawab, tiba-tiba dia meniup asap tipis yang berada diatas sampan itu, sekilas cahaya putih segera menyambar keluar dari balik tirai dan bagaikan segulung hawa pedang langsung menyergap ke tubuh Coh Sam-nio.
Terdengar Coh Sam-nio menjerit kaget, tanpa mengucapkan sepatah katapun buru-buru dia mundur keluar.
Ketika Hong Lo-su menyelinap masuk pula ke situ, sang hujin dengan menggunakan cara yang sama, meniupkan segulung asap putih untuk memukul mundur sang pendatang.
Hong Lo-su sambil menjerit ketakutan segera melarikan diri pula dari tempat itu.
Tidak terlukiskan rasa kagum Thiat Tiong-tong menyaksikan kesemuanya itu, pikirnya:
"Entah sampai kapan aku baru bisa melatih kemampuanku hingga taraf setangguh itu"
Tampak sang nyonya sedang pasang telinga mendengarkan sesuatu, mimik wajahnya kelihatan amat serius.
Lewat berapa saat kemudian baru terdengar suara aneh Hong Lo-su berkumandang dari luar sana:
"Kalau toh hujin belum mati........"
Berikut terjadilah tanya jawab yang semuanya bisa diikuti dan didengar Thiat Tiong-tong dengan sangat jelas.
Lewat berapa saat kemudian terdengar manusia aneh itu berkata:
"Kalau ibuku minta kalian tetap ditempat, siapa yang berani pergi dari sini!"
Begitu mendengar perkataan putranya, dengan wajah berubah sang hujin segera mengumpat:
"Anak sialan! Aku lagi berusaha menakut-nakuti mereka agar pergi, dia malah sengaja menahan mereka semua"
"Kenapa hujin........"
Belum habis Thiat Tiong-tong bertanya, nyonya itu sudah menukas:
"Bukankah aku sudah berniat menolongmu? Kenapa melihat kau merangkak dengan susah payah, aku sama sekali tidak berniat menolong?"
Sambil berkata dia membuka matanya, memandang pemuda itu dengan sorot mata setajam cahaya lentera.
"Jangan-jangan..... hujin sudah tidak mampu bergerak?" tanya Thiat Tiong-tong terperanjat.
"Benar"
Pemuda itu segera menghembuskan napas dingin, bisiknya:
"Soal ini........soal ini........"
"Persoalan ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, kemarilah, kita bicarakan lagi setelah lukamu sembuh nanti"
Tidak selang berapa saat kemudian Thiat Tiong-tong sudah merangkak tiba dihadapannya.
Perlahan-lahan nyonya itu menempelkan telapak tangan kirinya diatas jidat Thiat Tiong-tong lalu menyalurkan tenaga dalamnya menembusi nadi dan mengikuti aliran darah menuju ke jalan darah penting di jantung, sementara tangan kanannya ditempelkan diatas jalan darah Siang-ci-hiat.
Terasa telapak tangan itu makin lama semakin panas, menyusul gerakan tadi pemuda itu merasakan sekujur tubuhnya jadi panas sekali.
Sebetulnya waktu itu dia sudah amat lemah, lelah dan kehabisan tenaga, namun begitu merasakan mengalirnya tenaga baru, seketika itu juga semua keluhan tadi hilang tidak berbekas.
Lewat berapa saat kemudian tenaga aliran yang semula tenang dan lembut tiba-tiba berubah jadi dua gumpalan bara api yang membuat anak muda itu merasakan sekujur tubuhnya seakan menggelembung besar dan hampir meledak, kerongkongannya terasa mengering, matanya berubah jadi merah membara.
Dalam terkejutnya buru-buru dia kerahkan tenaga dalamnya untuk melawan, mendadak teringat olehnya kalau saat itu sedang berada dalam keadaan terluka parah, darimana datangnya kekuatan untuk melawan?
Belum habis pikiran itu melintas, dia merasakan tumbuhnya satu kekuatan baru dari pusatnya. Ternyata tenaga dalam yang disalurkan nyonya tadi kini telah berubah menjadi kekuatan miliknya.
Dalam terkejut bercampur girangnya tanpa berpikir lebih jauh kenapa tenaga dalam nyonya itu bisa begitu cepat melebur dan menyatu dengan tenaga dalam milik sendiri, buru-buru Thiat Tiong-tong mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha memunahkan kekuatan hawa panas itu.
Lewat berapa saat kemudian bukan saja hawa panas itu tidak lenyap malah sebaliknya makin lama semakin bertambah kuat.
Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba Thiat Tiong-tong merasa bahwa hawa murni yang ada didalam tubuhnya bukan saja dapat melebur hawa panas tadi menjadi kekuatan, bahkan semakin cepat datangnya hawa panas itu, makin cepat pula dia berhasil melebur kekuatan itu.
Kini hawa murni yang berada dalam tubuh Thiat Tiong-tong dari lemah berubah jadi kuat, bagaikan bola salju yang menggelinding dari puncak bukit, makin ke bawah bola salju itu semakin membesar.
Diantara asap dupa yang mengepul, tampak paras muka nyonya itu dari kuning kehitam-hitaman berubah jadi kuning kemerah-merahan, lalu dari kemeraan berubah jadi pucat, perut bagian bawahnya yang semula membuncit makin lama makin mengempes dan mengecil.
Ternyata tenaga dalamnya yang sudah dilatih hampir belasan tahun lamanya itu kini mengalir masuk ke dalam tubuh Thiat Tiong-tong bagaikan bendungan sungai yang jebol, bukan saja mengalir deras bahkan sama sekali tidak terbendung lagi.
Berapa jam sudah lewat tanpa terasa, kawanan jago itu masih menunggu di dalam ruangan.
Sui Leng-kong bersandar dalam pelukan seorang perempuan bercadar sambil memandang langit langit ruangan dengan mata mendelong, tiada air mata lagi disudut matanya, air mata seolah sudah mengering.
Si kapak sakti berdiri kaku dengan kapak masih terhunus, namun tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Li Kiam-pek berjalan mondar mandir macam semut kepanasan, kelihatannya dia sudah habis kesabarannya sementara Li Lok-yang tetap duduk ditempat tanpa bereaksi.
Suto Sau dan rombongannya ada yang duduk menunggu ada pula yang berdiri, semua orang memperlihatkan perasaan tidak tenang, sedang si siucay muda itu mengumpulkan buah-buahan dan makanan dari sekitar sana, sayang tidak seorang pun yang berselera untuk bersantap.
Manusia aneh itu sendiri mesti tidak menun¬jukkan perubahan sikap namun perasaan hatinya sangat tidak tenang, pikirnya:
"Bukankah ibu sudah berjanji akan keluar, kenapa sampai sekarang belum juga menampak¬kan diri?"
Hong Lo-su maupun Coh Sam-nio berdiri dimuka dinding batu sambil bergendong tangan, mereka berdua sedang mengawasi jurus silat yang terukir diatas dinding dan nampaknya sudah dibuat kesemsem.
"Bagus....... bagus, ternyata memang jurus bagus" terdengar Coh Sam-nio bergumam tiada hentinya.
Meski dia sedang memuji padahal matanya tidak mengawasi dengan seksama, hanya pikirnya diam-diam:
"Walaupun makhluk perempuan itu tidak menampakkan diri, tapi jika ditinjau dari kemampuannya mengirim asap bagaikan pedang, jelas kungfunya telah mengalami kemajuan yang amat pesat, apa yang mesti kulakukan bila mereka ibu dan anak mengerubuti aku bersama? Kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan saat ini untuk bekerja sama dengan Hong Lo-su untuk menjagal dulu si makhluk kecil itu?"
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa dia melirik sekejap ke arah rekannya,.
Waktu itu Hong Lo-su pun sedang mengawasi dinding sambil tertawa seram:
"Hebat, hebat, benar-benar jurus yang hebat!"
Sedang dihati kecilnya ia berpikir:
"Dari pada ibu beranak turun tangan bersama, ada baiknya kujagal dulu si bajingan cilik ini, tapi....... aku tidak yakin dengan kekuatanku seorang........"
Berpikir sampai disitu diapun mengalihkan sorot matanya ke arah Coh Sam-nio.
Dalam waktu singkat sorot mata mereka telah saling berpandangan, meski hanya sekilas namun ke dua belah pihak segera mengerti apa yang dipikirkan lawannya.
Sambil menghela napas Coh Sam-nio pun berkata:
"Aaai, pangeran cilik, kenapa ibunda mu belum juga menampakkan diri?"
"Bila kau tidak sabaran, kenapa tidak ditanya¬kan langsung kepada dia orang tua?" jengek sang pangeran.
"Aaai, kalau aku mah tidak berani bertanya, Hong Lo-su, kau saja yang pergi bertanya" Hong Lo-su tertawa terkekeh, potongnya: "Dia langsung marah begitu bertemu aku, lebih baik kau saja, wajahmu toh jauh lebih sedap dipandang"
Sembari berkata, selangkah demi selangkah mereka berjalan menghampiri manusia aneh itu.
Paras muka manusia aneh itu sama sekali tidak berubah, dia seolah tidak menyadari akan hal itu, tiba-tiba tegurnya sambil tertawa:
"Kalian tidak sabar menunggu, ada apa, ingin berkelahi dulu denganku?"
Coh Sam-nio serta Hong Lo-su seketika berdiri tertegun, tapi dengan cepat Coh Sam-nio berkata seraya tertawa:
"Pangeran, ternyata kau pintar sekali, dugaan-mu lagi-lagi tepat, Hong Lo-su ingin menjagal dirimu terlebih dulu!"
"Dasar siluman rase" diam-diam Hong Lo-su mengumpat, "lagi lagi dia mengumpankan diriku, tapi, bagaimana pun bocah keparat ini memang harus disingkirkan, daripada semakin kerepotan bila makhluk tua itu sudah munculkan diri nanti"
Maka sambil tertawa seram ujarnya:
"Menjagal mah tidak berani, tidak ada salahnya bukan kalau kita berkelahi sambil membuang waktu!"
Ujung bajunya segera dikebaskan keluar, segulung angin puyuh langsung menghantam ke tubuh manusia aneh itu.
"Hati-hati pangeran" teriak Coh Sam-nio sambil tertawa, "angin dingin Hong Lo-su sangat lihay, eeei Hong Lo-su, kau pun mesti hati-hati, kepalan Si hoa kun (ilmu pukulan mempermainkan bunga) sang pangeran tidak boleh dipandang enteng"
Sementara pembicaraan berlangsung, Hong Lo-su sudah terlibat pertarungan seru melawan manusia aneh itu, setiap pukulan yang dilepaskan selalu disertai selapis hawa dingin yang menggidikkan, hawa dingin yang lebih tajam dari pada sayatan pisau tajam.
Adapun jurus serangan yang digunakan manusia aneh itu enteng dan lincah, lembut seolah-olah tidak bertenaga.
Dengan wajah penuh senyum sebentar dia menowel dagu Hong Lo-su, sebentar mencubit pipinya, dia seakan sedang menggoda seorang wanita saja.
"Wah, ternyata ilmu pukulan mempermainkan bunga miliknya memang sangat hebat" pikir Li Kiam-pek diam-diam sambil tertawa geli.
Li Lok-yang yang menyaksikan pertarungan itupun merasa amat terkejut, pikirnya:
"Ilmu pukulan ini benar-benar sangat lihay, bukan saja sasarannya aneh, bikin orang sama sekali tidak terduga bahkan memiliki perubahan yang begitu rumit dan sakti"
Tiba-tiba terdengar Coh Sam-nio berseru sambil tertawa:
"Hong Lo-su, kelihatannya sang pangeran sudah tertarik kepadamu, coba lihat, dia sedang menjahilimu habis-habisan, lebih baik kawin saja dengannya"
Tidak terlukiskan rasa gemas Hong Lo-su, saking jengkelnya dia sampai menggertak gigi kuat kuat.
"Sialan!" umpatnya, "kau si nenek busuk enak-enakan, malah suruh aku yang kerepotan. Kapak sakti, kau berada dimana?"
"Siap!" sahut kapak sakti cepat.
Dengan gerakan burung hong pentang sayap Hong Lo-su melepaskan gempuran ke arah manusia aneh itu dengan tangan kanannya sementara jari tangan kirinya menuding ke arah Coh Sam-nio sambil membentak keras:
"Cepat ajak dia berkelahi"
"Baik!" jawab kapak sakti cepat, senjata kapak raksasanya langsung dibacokkan ke depan.
"Kurang ajar" umpat Coh Sam-nio sambil tertawa, "tidak heran kalau Lui lotoa mengatakan kalau Hong Lo-su bukan orang jahat melainkan orang sinting, tapi masa kau tidak bisa berpikir, memangnya monyet besar ini mampu menyentuh¬ku!"
Tubuhnya berkelebat cepat menghindarkan diri dari bacokan maut itu, tapi si kapak sakti segera mau dengan langkah lebar, sambil mengejar terus sepanjang jalan dia melepaskan beberapa kali bacokan.
Biarpun kapak saktinya menakutkan dan tenaga serangannya mengerikan, namun bagai¬mana mungkin dia mampu melukai Coh Sam-nio yang tersohor karena ilmu meringankan tubuhnya yang nomor wahid.
Yang merasakan akibatnya justru Suto Siau sekalian, begitu melihat lelaki raksasa itu mengayunkan kapaknya, cepat mereka kabur sipat kuping.
Si kapak sakti sama sekali tidak ambil perduli siapa yang dijumpai, dengan mata melotot besar dia langsung menghadiahkan sebuah bacokan maut begitu bertemu orang yang menghalangi jalan perginya.
Ditengah kekacauan terdengar Hong Lo-su tertawa terbahak-bahak, serunya:
"Nah begini baru ramai namanya....... aduh, serangan hebat"
Sambil memutar tubuh, dia lepaskan sebuah jurus serangan balasan.
"Ayoh monyet besar" teriak Coh Sam-nio pula sambil tertawa, "cepatan sedikit......"
Tiba-tiba dia melepaskan sebuah bacokan kilat ke arah Hong Lo-su, menanti lawannya berkelit, perempuan itu kembali berlari menjauh.
Kontan Hong Lo-su mencaci maki kalang kabut.
"Sudah, tidak usah mengumpat lagi" jengek Coh Sam-nio, "aku selalu bertindak adil...."
Kali ini dia melejit balik sambil melepaskan tiga buah pukulan secara berantai.
Tampak tubuhnya bergerak lincah, sebentar bergeser ke kanan melepaskan satu pukulan ke arah Hong Lo-su, sebentar kemudian menendang si manusia aneh itu, bedanya serangan ke arah Hong Lo-su dilakukan perlahan sebaliknya serangan kepada manusia aneh itu jauh lebih berat.
Hong Lo-su bukan orang bodoh, tentu saja diapun tahu kalau secara diam-diam perempuan itu sedang membantunya, dengan hati girang pikirnya:
"Tidak kusangka nenek busuk ini banyak akalnyajuga!"
Saat itu senyuman sudah sirna dari wajah manusia aneh itu, jelas dia mulai kepayahan menghadapi kerubutan dua orang tokoh sakti itu.
Dengan semangat berkobar Hong Lo-su segera berseru:
"Selewat lima puluh gebrakan lagi, akan ku¬suruh kau roboh ke tanah!"
"Tidak mungkin dalam lima puluh gebrakan" sela Coh Sam-nio sambil tertawa, "paling tidak butuh tujuh puluh gebrakan lagi!"
Li Lok-yang cukup berpengalaman dalam hal pertarungan, dia pun dapat melihat dengan jelas kalau manusia aneh itu tidak mungkin mampu bertahan tujuh puluh gebrakan lagi.
Pertarungan antara jago tangguh selalu dilakukan dengan gerakan cepat, dalam waktu singkat enam puluh gebrakan sudah lewat, sebagai jago kawakan dia mulai membuat perhitungan, andaikata tujuh puluh gebrakan kemudian manusia aneh itu kalah, apa yang harus mereka ayah beranak lakukan?
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong merasakan hawa panas yang mengalir keluar dari telapak tangan perempuan itu tiba-tiba berhenti ditengah jalan, ketika dia mencoba untuk mengatur pernapasan, bukan saja seluruh lukanya telah sembuh malahan tenaga dalamnya mengalami kemajuan yang amat pesat.
Dalam kejut bercampur girangnya diapun berseru:
"Terima kasih banyak hujin!"
Tapi begitu membuka mata, betapa terpe¬ranjatnya anak muda ini, ternyata sang nyonya duduk sambil pejamkan mata, peluh sebesar kacang kedele membasahi seluruh jidatnya, air mukanya pucat pasi bagaikan mayat.
Dengan hati tercekat buru buru Thiat Tiong-tong berseru:
"Boanpwee tidak tahu kalau tenaga dalam hujin bakal menderita kerugian yang separah ini, tahu begini, boanpwee tidak akan berani memohon kepada hujin!"
Waktu itu napas sang nyonya tersengkal sengkal, tapi perutnya yang semula membuncit kini sudah rata kembali.
Sampai lama kemudian dia baru bergumam sambil tertawa:
"Aku mengerti sekarang...... aku mengerti sekarang......"
Biarpun nada suaranya tetap manis dan indah, namun suaranya berubah jadi amat lemah.
"Nyonya, apa yang kau pahami?" tanya Thiat Tiong-tong keheranan.
"Persoalan pelik yang membelengguku selama belasan tahun baru hari ini berhasil kupahami........dupa dalam hiolo telah padam, coba kau tekan hiolo itu hingga gepeng!"
"Boan....boanpwee tidak punya kemampuan untuk berbuat begitu!"
"Dicoba saja!"
Thiat Tiong-tong tidak berani membangkang, dengan ragu diambilnya hiolo tersebut.
Hiolo itu tingginya satu setengah meter dan terbuat dari tembaga, bukan saja berat bobotnya, lapisannya pun keras dan susah dirusak dengan senjata.
Sambil tertawa getir pikir pemuda itu: "Tampaknya nyonya ini menilai kelewat tinggi kemampuan tenaga dalamku"
Maka dengan sekuat tenaga dia tekan hiolo tembaga itu, dalam perkiraannya hiolo tersebut bakal patah jadi dua bagian.
Siapa tahu begitu dia tekan, hiolo yang keras dan kuat itu seketika tertindih hingga gepeng.
Thiat Tiong-tong benar-benar terperanjat, saking kagetnya dia sampai melongo dan berdiri terbelalak, memadang hiolo yang gepeng itu hampir saja dia tidak percaya dengan pandangan mata sendiri.
"Bila kau ingin membuat gepeng hiolo ini dihari biasa, mungkin susahnya seperti memanjat ke langit, tahukah kau apa sebabnya hari ini dapat kau lakukan segampang membalikkan tangan?" tanya sang nyonya.
"Boan......boanpwee tidak tahu!"
"Ini disebabkan karena tenaga dalam yang telah kulatih dengan susah payah selama puluhan tahun telah habis kau hisap, kesempurnaan tenaga dalam yang kau miliki saat ini kendatipun belum sampai tiada duanya dikolong langit, namun tidak banyak jagoan dalam dunia persilatan dewasa ini yang mampu menandingi kehebatanmu"
Thiat Tiong-tong semakin tertegun, dia tidak tahu harus bersedih hati atau merasa girang. Lama setelah berdiri termangu dengan keringat bercucuran, tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut sembari berkata:
"Boanpwee pantas mati, boanpwee tidak tahu........."
"Ehmm, ketika mendengar berita yang luar biasa ini kau bukan saja tidak gembira, sebaliknya malah gugup dan menyesal, ini membuktikan kalau kau masih punya liangsim, padahal........aaaai, semua kejadian adalah kehendak Thian, kau tidak perlu menyesal"
"Tapi.....tapi gara-gara boanpwee, tenaga dalam milik hujin telah......telah kuhisap semua, bagaimana.......bagaimana mungkin boanpwee bisa.....bisa bersikap tenang......."
Nyonya itu tertawa.
"Alasan dibalik semua kejadian ini sangat aneh" ucapnya, "bahkan aku sendiripun semula tidak tahu apa sebabnya, aaai, tapi untung sekarang aku sudah paham!"
"Boleh.....boleh aku bertanya kenapa hujin....."
"Semenjak enam belas tahun berselang, ilmu sakti yang kulatih adalah ilmu dari aliran sejati, Kia ie sinkang, ilmu sakti baju pengantin. Walaupun sejak awal sudah kuketahui kalau ilmu ini maha sakti, maha susah dilatih dan sangat mendalam, namun aku sadar, seandainya ilmu tersebut berhasil kupelajari maka aku akan menjadi jagoan yang tiada duanya dikolong langit. Aku pun tahu, kedua orang cousu pendiri Perguruan Tay ki bun pun bisa menjagoi kolong langit lantaran sempat mempelajari ilmu maha sakti ini. Itulah sebabnya aku pun mengambil keputusan nekad, meninggalkan semua keduniawian dan secara khusuk mempelajari ilmu sakti ini"
Tiba-tiba saja Thiat Tiong-tong jadi teringat dengan perkataan dari manusia aneh tadi, tidak lahan selanya:
"Be.....benarkah kitab pusaka ilmu maha sakti itu secara sengaja dihilangkan oleh mendiang pendiri Perguruan Tay ki bun?"
Dia betul-betul tidak habis mengerti, kenapa mendiang leluhurnya harus menghilangkan kitab maha sakti itu secara sengaja, bukankah kitab tersebut berisikan ilmu sakti yang tiada tanding¬annya dikolong langit?
Hanya saja dia tidak tahu bagaimana harus mengajukan pertanyaan itu.
Terdengar sang nyonya menjawab:
"Betul......... sejak berlatih ilmu sakti itu, aku sudah sadar kalau ada gelagat tidak beres, sebab begitu aku mulai melatih diri, tiba-tiba saja tenaga murniku berubah seolah mengering, susah dialirkan dan susah dihimpun, tapi aku tidak ambil perduli dengan gejala tersebut, aku nekad tetap melatihnya. Siapa tahu kendatipun tenaga murniku makin dilatih semakin bertambah dahsyat, namun setiap kali berusaha menyalurkan tenaga dalam, aku selalu merasakan penderitaan yang luar biasa, setiap kali hawa murniku mengalir, akan kurasakan rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit seolah-olah ditusuk dengan beribu batang jarum tajam"
Setelah menghela napas, lanjutnya:
"Penderitaan itu jauh lebih tersiksa ketimbang penderitaan macam apa pun yang ada di dunia ini, bila kuhentikan latihanku, tenaga dalamku segera akan membuyar, penderitaan dikala buyarnya tenaga dalam betul betul tidak tertahankan oleh siapa pun. Itulah sebabnya walaupun aku sadar bahwa gejala ini mirip orang yang menghisap madat, makin dihisap semakin ketagihan namun aku terpaksa harus berlatihnya terus. Begitu tenaga murniku bertambah kuat, siksaan yang kuterima pun bertambah berat, dalam keadaan begini terpaksa kuhimpun tenaga dalam itu dibawah Tan-tian, tidak kubiarkan hawa murni itu mengalir kemana-mana, akibatnya tubuh bagian bawahku mulai kehilangan tenaga sebelum akhirnya lumpuh total"
Thiat Tiong-tong hanya berdiri melongo dengan mata terbelalak semakin besar, tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan, walau begitu, sekarang dia sudah tahu apa sebabnya perut sang nyonya kelihatan buncit dan membesar.
Terdengar nyonya itu berkata lagi:
"Biarpun tenaga murniku semakin bertambah kuat dan dahsyat, tapi apa gunanya bila tidak bisa kugunakan? Bayangkan saja, ketika aku mesti menghimpun tenaga dalam untuk menghadapi lawan, namun aku harus merasakan juga siksaan yang luar biasa seperti ditusuk jarum, mana mungkin bisa kukembangkan jurus silatku untuk bertarung? Waktu itu aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, kusangka aku telah salah berlatih. Bila meninjau dari nama ilmu tersebut, ilmu baju pengantin, sampai sekarangpun aku tidak tahu kenapa bisa disebut begitu meski aku mengerti apa yang disebut sebagai ilmu aliran sejati" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Ilmu aliran sejati berarti ilmu yang ber¬kembang atas kesadaran diri, atau dengan perkataan lain, semakin aku menyadari akan keadaan yang sejati, semakin sukses kupelajari ilmu tersebut. Sayangnya biar sudah belasan tahun, biarpun sudah kupikirkan siang malam, aku belum juga mengerti kata kunci itu, sebaliknya semakin kupikirkan aku semakin goblok, semakin menderita!"
Thiat Tiong-tong ikut menghela napas panjang, namun dia tidak berani berkomentar, dia tidak tahu apa yang mesti diu capkan.
Nyonya itu berkata lebih jauh:
"Ketika melihat kau terluka parah, ketika melihat kejujuran serta kepolosanmu, walaupun timbul perasaan ibaku untuk mengobati dan menyelamatkan jiwamu, namun akupun ingin melihat bagaimana reaksimu ketika kusalurkan tenaga dalam hasil latihanku ke dalam tubuhmu, kalau bukan ingin menjadikan dirimu sebagai kelinci percobaan, kenapa aku mesti bersusah payah dengan menahan penderitaan membantu mengobatimu, apalagi kita bukan sanak bukan keluarga"
Thiat Tiong-tong menundukkan kepalanya, tidak berani komentar.
Kembali nyonya itu berkata:
"Siapa tahu ketika hawa murniku mengalir ke dalam tubuhmu, ternyata kau tidak menunjukkan reaksi apa pun, dalam herannya akupun menambah kekuatan hawa murniku. Pada saat itulah kau mulai menghisap tenaga dalamku, ketika aku mencoba melawan ternyata kedua jenis tenaga dalam itu berasal dari sumber yang sama, itulah sebabnya hawa murniku langsung melebur menjadi satu dengan tenaga dalammu dan mulai terhisap tanpa bisa dicegah lagi, menanti aku menyadari akan hal ini, mau kutarik balik tenaga dalamku pun sudah tidak mungkin lagi"
"Aaah, rupanya begitu!" pikir Thiat Tiong-tong seolah baru menyadarinya.
Selama pembicaraan berlangsung, nyonya itu nampak sangat kelelahan, peluh membasahi hampir seluruh tubuhnya.
Tapi dia tampil lebih gembira, lebih ramah dan santai, dengan napas tersengkal lanjutnya:
"Begitu kehilangan tenaga dalamku, akhirnya akupun menyadari akan semua masalahku, sekarang aku benar-benar amat gembira!" Perlahan-lahan lanjutnya:
"Sekarang aku baru mengerti, kenapa ilmu sakti ini disebut ilmu sakti baju pengantin. Rupanya yang dimaksudkan adalah membuatkan baju pengantin untuk dikenakan pada orang lain, bila baju pengantin telah selesai dijahit, orang lainlah yang akan mengenakannya, sementara si tukang jahit meski sudah bersusah payah dan merasakan berbagai siksaan dan penderitaan, namun sayang dirinya bukan sang pengantin.
Artinya ilmu sakti ini memang khusus dilatih untuk dinikmati orang lain, biarpun sang pelatih penuh penderitaan namun dia pribadi tidak akan menikmatinya. Tidak heran pihak Perguruan Tay ki bun membuang jauh-jauh kepandaian sakti itu"
Semakin mendengar Thiat Tiong-tong merasa semakin tercengang, kini peluh telah membasahi seluruh tubuhnya.
Sinar kegusaran melintas dari balik mata nyonya itu, tapi sejenak kemudian dia sudah berkata lagi sambil tertawa:
"Akupun mengerti sekarang kenapa ilmu tersebut disebut aliran sejati, rupanya arti dari pemahaman itu sendiripun khusus ditujukan bagi orang lain!"
"Tapi..... tapi.... kenapa tenaga sakti itu men¬datangkan penderitaan ditubuh hujin sementara setibanya ditubuh boanpwee justru.....justru....."
Nyonya itu menghela napas panjang.
"Mungkin hal ini disebabkan tenaga sakti ini kelewat keras dan kuat" katanya, "tapi setelah melalui pelatihanku selama belasan tahun, ketika menyusup ke dalam tubuhmu maka hawa panas-nya telah hilang lenyap, selain itu mungkin juga karena berasal dari aliran yang sama maka tenaga murni itu segera membaur secara alami"
Berbicara sampai disini diapun pejamkan mata tanpa bicara lagi, sementara tempat duduknya telah basah kuyup oleh peluh yang bercucuran makin deras dari tubuhnya.
Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri bersujud, bisiknya:
"Budi kebaikan yang nyonya berikan benar-benar tidak terhingga, boanpwee... boanpwee tidak tahu bagaimana harus membalasnya........"
Bicara sampai disini dia jadi sesenggukan dan tidak sanggup melanjutkan lagi.
Dia bisa membayangkan betapa sedih dan menyesalnya nyonya itu, terutama ketika secara tiba-tiba menjumpai tenaga dalam yang dilatihnya dengan susah payah selama belasan tahun, berpindah tangan dengan begitu saja ke tubuh orang lain.
Nyonya itu tertawa pedih, ujarnya:
"Dalam peristiwa ini, kau tidak berniat dan akupun tidak sengaja, bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan dirimu, hanya saja......hanya saja aku nilai ilmu sakti itu benar-benar kelewat kejam dan tidak berperasaan"
"Boanpwee....... boanpwee........" Thiat Tiong-tong tidak sanggup menahan diri lagi, air mata menetes keluar saking sedihnya.
Nyonya itu menghela napas panjang, katanya:
"Semuanya ini karena kehendak Thian........
ilmu tersebut memang milik Perguruan Tay ki bun sementara kaupun murid Tay ki bun, mungkin Thian memang menghendaki Perguruan Tay ki bun bangkit kembali seperti semula hingga mengirimmu datang kemari, coba kalau bukan kejadian ini, biar kau berlatih tiga puluh tahun lagipun belum tentu bisa menuntut balas atas atas dendam kesumatmu"
Thiat Tiong-tong yang mendengar perkataan itu jadi keheranan, pikirnya:
"Kungfu yang dimiliki Suto Siau sekalian tidak terlalu tangguh, kenapa dia bilang biar berlatih tiga puluh tahun lagipun belum tentu bisa menuntut balas?"
Tapi dalam keadaan begini dia tidak ingin berpikir terlalu jauh, sembari bersujud kembali katanya:
"Budi kebaikan hujin tidak akan boanpwee lupakan untuk selamanya, hujin, bila kau tidak memberi kesempatan kepada boanpwee untuk membalas budi kebaikan ini, boanpwee bisa menyesal sepanjang hidup"
"Dalam kejadian ini, tidak ada masalah balas budi atau tidak dan kaupun tidak perlu menyinggungnya lagi, cuma......bila kau bersedia melakukan berapa pekerjaan bagiku, aku pasti akan sangat berterima kasih!"
"Katakan saja hujin, biar harus terjun ke lautan api pun pasti akan kulaksanakan!"
Nyonyaitu menghela napas panjang, ujarnya:
"Diantara berapa orang gadis anak buah putraku itu ada seorang nona yang buta matanya, selama banyak tahun dialah yang menghantar makanan untukku, aaai, agar bisa mengirim makanan untukku dan tahu kalau aku tidak ingin diketahui orang lain, dengan ikhlas dia telah membutai mata sendiri. Aku harap kau bisa temukan gadis itu dan sampaikan rasa terima kasihku yang tidak terhingga kepadanya"
"Biar harus naik ke langit atau masuk ke bumi pun boanpwee pasti akan mencarinya sampai ketemu"
Nyonya itu termenung berapa saat lamanya, kemudian setelah menghela napas katanya lagi:
"Walaupun putraku tidak berbakti, bagai¬manapun akulah yang melahirkan dia, aaai, perseteruanku dengan ayahnya mungkin membuat posisinya terjepit hingga melahirkan sikap semacam itu, sekarang tenaga dalammu jauh melebihi dia, aku berharap kau bisa menjaga keselamatannya, jangan biarkan dia tewas di bunuh orang"
"Boanpwee pasti akan menghormati dia sebagai kakakku dan berusaha mengajaknya melakukan kebajikan"
"Anak baik..... anak baik......." nyonya itu tersenyum.
Lewat sesaat kemudian kembali ujarnya: "Bawalah kitab pusaka 'aliran sejati, ilmu sakti baju pengantin' ini dan tolong hadiahkan kepada seseorang"
Berkilat sepasang matanya, sinar penuh kebencian dan rasa dendam.
Thiat Tiong-tong merasakan hatinya tercekat, tanyanya tanpa terasa:
"Di....dihadiahkan kepada siapa?"
Dia tahu, jika kitab pusaka itu dihadiahkan kepada orang lain, maka hal ini ibarat sedang membunuh orang itu, membunuhnya secara keji.
"Hadiahkan kepada seseorang yang pernah kau jumpai, orang yang paling serakah, paling egois, paling kejam dan tidak pernah mau berpikir untuk orang lain"
Sebenarnya Thiat Tiong-tong merasa kuatir bila kitab pusaka itu harus dihadiahkan kepada seseorang yang baik dan bijaksana, dia baru merasa lega setelan mendengar perkataan itu.
"Boanpwee siap melaksanakan!" ujarnya sambil menghembuskan napas lega.
Kalau disuruh menyerahkan kitab itu kepada orang baik, Thiat Tiong-tong memang merasa tidak tega, tapi kalau dihadiahkan kepada orang keji yang kemaruk dan egois, dengan senang hati dia akan melaksanakannya.
Kembali nyonya itu berkata:
"Aku telah menyiapkan sepucuk surat yang kuselipkan didalam kitab pusaka itu, ketika kau sudah bertekad akan menyerahkan kitab tersebut kepada seseorang, tidak ada salahnya buka surat itu dan baca dulu isinya"
"Baik!"
"Aaaai.... akhirnya keinginanku kesampaian juga" kata sang nyonya sambil menghela napas, "tapi aku ingin sekali bertemu dengan anak durhakaku itu, bersediakah kau memanggilnya untukku?
"Boanpwee segera laksanakan!"
"Tapi jangan biarkan orang ke tiga memasuki sampan ku ini barang selangkah pun" kata nyonya itu lagi dengan mata berkilat, "aku..aku tidak ingin orang lain menyaksikan keadaanku sekarang!"
Dengan hormat Thiat Tiong-tong menyahut
Kembali nyonya itu pejamkan matanya, meski dia kelihatan sangat lelah namun wajahnya justru tampil lebih tenang.  

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang