18. Barisan Bidadari Telanjang

1.9K 28 0
                                    

Ai Thian-hok masih duduk bersila di dalam rumah gubuk dengan wajah hambar, tanpa perasaan.
"Ai-heng!" Thiat Tiong-tong menyapa sambil menghela napas pelan, "Sui Leng-kong telah dibawa kabur orang, mari kita segera berangkat, dengan begitu kita tidak akan kehilangan jejak mereka, cuma...... apakah saudara Ai masih sanggup bergerak?"
"Kenapa kau bicara dengan setengah berbisik? Aku tidak mendengar apa yang kau katakan" sahut Ai Thian-hok dengan wajah bingung.
Ucapan itu disampaikan dengan nada sangat keras, bagaikan orang yang sedang berteriak.
Thiat Tiong-tong terkesiap, pikirnya kaget:
"Jangan-jangan.. .gendang telinganya terluka?"
Padahal selama ini dia mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk menggantikan matanya yang buta, jika sekarang telinganya jadi tuli, boleh dibilang dia menjadi cacad total, seorang tokoh sakti pun menjadi manusia yang tidak berdaya.
Thiat Tiong-tong merasakan tangan kakinya jadi lemas, nyaris dia tidak sanggup berdiri tegak.
Tiba-tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, sambil mencengkeram bahu anak muda itu katanya dengan suara gemetar:
"Kenapa kau tidak berbicara, apakah...apakah aku sudah tidak.....tidak bisa mendengar lagi....."
Lantaran daya pendengarannya melemah, dengan sendirinya nada suaranya bertambah nyaring dan keras.
Thiat Tiong-tong menyaksikan raut mukanya kaku sedikit mengejang, wajah panik dan ketakutan yang terpampang saat itu belum pernah terlihat sebelumnya.
Biasanya meski berada dalam kondisi yang amat kritis pun dia tidak pernah berubah muka, tapi sekarang paras mukanya telah mengalami perubahan yang luar biasa, hal ini membuktikan kalau menjadi tuli merupakan satu kenyataan yang jauh lebih menyiksa ketimbang mati dibunuh.
Thiat Tiong-tong merasa sedih sekali, terpaksa sambil menyerakkan suaranya dia menjawab:
"Tenggorokan siaute agak sakit, mungkin suaraku jadi parau lantaran kecapaian selama berapa hari belakangan, mana mungkin saudara Ai tidak bisa mendengar"
Ai Thian-hok menghembuskan napas lega, senyuman kembali menghiasi wajahnya.
"Anak muda memang tidak tahan uji" katanya, "baru mendapat siksaan begitu tenggorokan sudah jadi serak, masih mending kakakmu....."
Thiat Tiong-tong merasakan air mata mengembang dalam kelopak matanya, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa keras sambil menyahut:
"Yaa.. tentu saja, siapa yang mampu menan¬dingi saudara Ai!"
"Tadi kau bilang hendak mengejar seseorang?"
"Benar!"
"Kalau begitu mari kita segera berangkat, biarpun loko terluka namun tidak akan mengganggu, aku masih sanggup melakukan perjalanan"
"Justru siaute yang merasa agak tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan" kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa paksa.
"Kalau begitu biar aku tuntun dirimu" Thiat Tiong-tong segera membesut air matanya dan melangkah keluar dari situ sambil merangkul bahu Ai Thian-hok, tapi baru keluar dari rumah gubuk itu, air matanya telah jatuh berlinang.
Melakukan pengejaran seorang diripun belum tentu berhasil menyusul manusia aneh itu, apalagi sekarang harus disertai Ai Thian-hok yang nyaris cacad total, boleh dibilang jauh lebih sulit daripada naik ke langit.
Hingga sekarang dia masih belum mengetahui asal-usul manusia aneh itu, bila gagal menyelidiki asal usulnya, mungkin sepanjang masa sulit baginya untuk menyelamatkan Sui Leng-kong.
Tapi bagaimana pula dengan Ai Thian-hok? Apakah harus ditinggalkan seorang diri?
Cahaya fajar mulai muncul diujung langit, hujan angin pun sudah berhenti sejak tadi.
Di tengah cahaya fajar yang redup, mereka berdua menelusuri jalan perbukitan yang penuh lumpur, melihat sisajejak kaki yang tertinggal diatas lumpur, diam-diam Thiat Tiong-tong merasa amat girang.
Siapa tahu ketika tiba disebuah persimpangan, tiba-tiba jejak kaki itu menjadi kacau dan semakin sulit dilihat, dengan perasaan terkejut Thiat Tiong-tong berusaha berjongkok sambil meneliti arah yang dituju, sayang dia tidak berhasil menemukan sesuatu.
Ai Thian-hok yang menunggu berapa saat tiba-tiba bertanya:
"Apakah Yin......Yin Ping melakukan perjalanan bersama orang yang sedang kau kejar?"
Suara pertanyaan itu sangat nyaring hingga bergaung diseluruh perbukitan, namun dia sendiri sama sekali tidak mendengar apa apa.
"Benar"
"Kalau begitu dia melalui jalanan yang ini!" Sambil berkata dia menuju ke arah sebelah kiri. Thiat Tiong-tong terkejut bercampur keheran¬an, pikirnya:
"Selain tuli diapun buta, aneh, darimana bisa tahu arah yang digunakan Yin Ping?"
Setelah berjalan sesaat, tak tahan dia pun menyatakan keheranannya.
Sambil tersenyum sahut Ai Thian-hok:
"Bau harum yang tersebar dari tubuh Yin Ping sangat tebal, bau itu masih tersisa di udara fajar yang bersih, jadi gampang untuk dilacak jejaknya, coba kalau berada ditempat keramaian, belum tentu aku dapat mengendus bau harumnya itu"
Disamping kagum, Thiat Tiong-tong pun merasa amat terharu, setelah menempuh perjalanan berapa saat lagi lambat laun mereka sudah menuruni tanah perbukitan, matahari semakin tinggi di angkasa dan memancarkan cahaya emasnya menyinari seluruh jagad.
Sayang bayangan tubuh manusia aneh beserta Yin Ping sekalian sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Pada saat itulah dari kejauhan sana, dari balik pepohonan hutan bergema suara keleningan merdu, disusul kemudian muncul seorang penjaja makanan yang membawa sebuah poci.
"Sekarang ke arah mana kita harus pergi?" tanya Thiat Tiong-tong kemudian.
Sambil tertawa getir Ai Thian-hok menggeleng, sahutnya:
"Udara diseputar sini lembab dan berbau tanah, aku tidak bisa mengendus bau harumnya lagi"
Thiat Tiong-tong menghela napas sedih, sambil berdiri mematung, dia mulai membayangkan kembali sikap mesra yang diperlihatkan Sui Leng¬kong selama ini, dia tidak bisa membayangkan apa jadinya bila gagal menemukan kembali gadis tersebut.
Mungkin dia sendiri sanggup menjalani kehidupan yang penuh penderitaan dan siksaan hidup, tapi bagaimana dengan Sui Leng-kong? Mampukah dia melewati hari-harinya dalam kenangan serta kerinduan?
Suara keleningan kian lama kian bertambah dekat, seorang penjaja makanan dengan tangan kiri membawa keranjang, tangan kanan mem-bawa poci arak berjalan mendekat, keleningan yang terikat diatas keranjang makanan berbunyi tiada hentinya. Penjaja makanan itu mulai berteriak:
"Daging sapi, arak putih, harum, sedap.... murah......."
Perlu diketahui, tempat dimana mereka berada sekarang adalah tempat yang termasuk daerah wisata, banyak orang yang pagi-pagi naik gunung untuk bersembahyang, sehingga tidak heran kalau sejak fajar sudah ada penjaja makanan yang berkeliling.
Tergerak hati Thiat Tiong-tong menyaksikan penjaja makanan itu, segera bisiknya:
"Saudara Ai, tunggu sebentar, biar aku tengok dulu keadaan didepan sana"
Dengan langkah lebar dia menghampiri penjaja makanan itu, mengeluarkan uang dan memberi arak serta daging.
Dengan senyuman ramah penjaja makanan itu melayani pesanannya, tapi tujuan utama Thiat Tiong-tong bukan untuk membeli arak, maka diapun mencari keterangan apakah melihat ada rombongan orang yang baru lewat dari situ.
Dia kuatir Ai Thian-hok menaruh curiga, oleh sebab itu diajaknya penjaja makanan itu menyingkir agak jauh.
Penjaja makanan itu menatapnya berapa saat, lalu menjawab:
"Tidak ada"
Jawaban tersebut seketika membuat Thiat Tiong-tong sangat kecewa, diam-diam dia menghela napas dan tidak berminat lagi untuk membeli arak.
Tiba tiba penjaja makanan itu bertanya lagi:
"Apakah toaya bermarga Thiat?"
"Dari mana kau bisa tahu?" dengan perasaan terperanjat Thiat Tiong-tong bertanya.
"Apakah toaya punya lima tahil perak?" kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa.
Thiat Tiong-tong tahu, pertanyaan itu pasti ada alasannya, maka tanpa banyak cakap dia merogoh ke dalam sakunya mengeluarkan sekeping perak dan diperlihatkan dihadapan orang itu.
Dengan mata terbelalak penjaja makanan itu mengawasi kepingan uang ditangan pemuda itu, akhirnya dia merogoh ke dalam keranjangnya, membongkar barang dagangannya dan mengeluarkan selembar daun selebar telapak tangan dari dasar keranjang itu.
Dalam sekilas pandang Thiat Tiong-tong dapat melihat kalau daun lebar itu berisi penuh dengan ukiran tulisan.
Kembali penjaja makanan itu bertanya sambil tertawa:
"Daun ini harganya lima tahil perak, apakah toaya berninat untuk membelinya?"
Andaikata berganti orang lain, mereka pasti menganggap penjaja makanan itu sudah sinting karena memikirkan uang dan pergi meninggalkan¬nya.
Tapi Thiat Tiong-tong yang teliti dan sangat berhati-hati dapat menduga kalau ukiran diatas daun pasti berisikan tulisan, satu ingatan segera melintas lewat, tegurnya:
"Darimana kau dapatkan daun itu?"
Penjaja makanan itu tidak menjawab, dia hanya mengawasi uang ditangan pemuda itu sambil tertawa cengar cengir.
Thiat Tiong-tong tersenyum, dia melemparkan kepingan perak itu ke dalam keranjang makanan¬nya.
Dengan kegirangan penjaja makanan itu berkata:
"Tadi ada sebuah kereta kuda yang sangat indah dan mewah melalui hutan ini, pelancong kaya semacam ini tidak mungkin akan membeli daganganku maka pada mulanya aku tidak menaruh perhatian"
Setelah menyembunyikan kepingan perak tadi ke balik tumpukan barang dagangannya, kembali dia melanjutkan:
"Siapa tahu kereta kuda yang paling belakang tiba-tiba berhenti, katanya mau membeli daging sapi. Suara itu merdu, manis dan enak didengar, buru-buru aku pun berlari mendekat, dari dalam kereta segera terdengar ada suara lelaki yang berkata sambil tertawa" "setelah hidup selama banyak tahun dalam kuil, tidak heran kalau kau jadi rakus makanan, mungkin kecuali kau, tidak ada orang lain yang sudi makan daging semacam itu". Maka dia pun minta aku mengiriskan daging, tapi harus dipotong tipis-tipis. Aku tahu ini pesanan istimewa maka daging kuiris setipis mungkin. Siapa tahu tatkala aku sedang mengiris daging itulah, telingaku secara tiba-tiba menang¬kap lagi suara bisikan yang manis dan merdu"
"Apa yang dia katakan?" tidak tahan Thiat Tiong-tong menukas.
"Dia minta aku menunggu di persimpangan jalan ini, bila melihat ada seorang pemuda bertanya kepadaku apakah melihat ada serombongan manusia lewat disini, maka aku disuruh menjual daun itu kepadanya dengan harga lima tahil perak. Suara bisikan itu seakan bergema dari sisi telingaku, padahal disitu tidak ada orang, baru aku merasa terperanjat sambil mengangkat kepala, kulihat ada seseorang menampakkan diri dari balik jendela dan memandang kearahku sambil tertawa, aku duga pasti dialah yang barusan berbicara denganku!"
Thiat Tiong-tong tahu, suara bisikan itu pasti disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara, diam-diam pikirnya dengan keheranan:
"Tenaga dalam Sui Leng-kong tidak hebat, dia belum mampu menggunakan ilmu menyampai-kan suara, jangan-jangan yang memberi kisikan adalah Yin Ping?"
Terdengar penjaja makanan itu berkata lagi sambil tertawa:
"Wajah itu benar benar amat cantik, bahkan jauh lebih cantik daripada bidadari dari kahyangan, saking kesemsemnya hampir saja jari tangan ini kuiris sendiri. Ketika melihat aku berdiri terpesona, diapun mengeluarkan sekeping uang perak serta selembar daun ini dan menyerahkannya kepadaku, tapi aku tetap tidak percaya, masa ada orang mau membeli daun ini seharga lima tahil perak!"
Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menyambut daun itu, pikirnya:
"Dia tahu kalau aku pasti akan mencari berita diseputar sini, juga tahu kalau penjaja makanan itu pasti akan mencoba beradu untung dengan menunggu ditempat ini, bila Sui Leng-kong bisa berpikir begitu, Yin Ping pasti bisa menduga pula ke situ, aneh, tapi kenapa dia harus meninggalkan pesan secara rahasia bahkan menyampaikan dengan ilmu menyampaikan suara? Jelas dia berbuat begitu lantaran kuatir ketahuan manusia aneh itu. Pesan apa yang dia tinggalkan pada daun itu?"
Berpikir sampai disini, dia segera periksa daun itu dengan seksama, benar juga segera terbaca beberapa tulisan disitu, tulisan itu berbunyi:
"Bila ingin bertemu kembali, cepat berangkat ke kaki bukit Lau-san di Lu-tang, hati-hati!"
Setelah membacanya berulang kali, Thiat Tiong-tong merasakan darah panas bergolak dirongga dadanya, dengan kegirangan dia berpikir:
"Aku....... aku punya harapan untuk berjumpa lagi dengan Sui Leng-kong..."
Dia tahu bawah bukit Lau-san pasti merupakan tempat tinggal si manusia aneh itu, pikirnya lebih jauh:
"Kenapa Yin Ping mau memberitahukan rahasia ini kepadaku? Untuk mengukir tulisan diatas daun pun sudah banyak menguras pikiran dan tenaganya, jangan-jangan dia berbuat demikian karena kasihan aku berpisah dengan Sui Leng¬kong?"
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, seakan sadar akan sesuatu, pikirnya lebih jauh:
"Aaah, benar, bagaimanapun dia sudah punya umur, sudah waktu baginya untuk memikirkan masa tuanya nanti, tentu dia berniat hidup berdampingan dengan manusia aneh itu hingga kakek nenek, tapi kuatir kehadiran Sui Leng-kong akan menyingkirkan dia dari pandangan orang itu. Maka dia membantuku untuk merampas balik Sui Leng-kong. Aaaai! Yin Ping wahai Yin Ping, kecerdasan otakmu memangjauh diatas siapa pun*
Sementara dia masih melamun, penjaja makanan itu sudah melarikan diri dari situ, kelihatannya dia kuatir Thiat Tiong-tong menyesal, maka sehabis menyembunyikan uang perak itu, dia mengambil langkah seribu.
Perlahan-lahan Ai Thian-hok berjalan men¬dekat, cepat Thiat Tiong-tong menyongsong keda¬tangannya, dia menyangka rekannya datang mencari berita, siapa tahu Ai Thian-hok sama sekali tidak menunjukkan kecurigaannya.
Tanpa ragu lagi, dia segera membimbing Ai Thian-hok dan beranjak pergi dari situ.
"Saudaraku, kita mau ke mana? Apa perlu aku temani?" tanya Ai Thian-hok kemudian.
Dengan sedih Thiat Tiong-tong berpikir: "Walaupun keikut sertaannya akan menjadi beban bagiku, tapi apakah aku tega membiarkan dia pergi seorang diri? Lagipula.......akupun tidak tahu Kiu cu Kui bo saat ini berada dimana"
Berpikir begitu, sambil tertawa tergelak sahutnya:
"Siaute sadar, perjalanan kali ini penuh dengan rintangan dan kesulitan, dengan pengalaman dan pengetahuan siaute yang begitu cetek, jelas merupakan satu masalah besar. Bila Ai-heng bersedia, bantulah aku sekali ini!"
"Baik, mari kita berangkat!" sahut Ai Thian-hok sambil tersenyum.
Selain terharu, Thiat Tiong-tong pun menghela napas sedih, sepanjang perjalanan dia selalu berusaha mengelabuhi rekannya, dia takut Ai Thian-hok jadi bosan hidup gara-gara mengetahui telinganya sudah mulai tuli.
Ternyata Ai Thian-hok seakan tidak menyadari akan hal itu, sepanjang perjalanan dia selalu mencari kesempatan untuk menuturkan semua pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia persilatan kepada anak muda tersebut.
Suatu hari tibalah mereka di kota Cu-shia diwilayah Lu-tang, jaraknya dengan bukit Lau-san sudah tidak terlalu jauh lagi.
Saat itu udara terasa hangat, aneka bunga mekar dengan indahnya, sudah hampir setahun pemuda itu meninggalkan Perguruan Tay ki bun.
Membayangkan kembali semua pengalaman¬nya selama ini, Thiat Tiong-tong tidak tahu haruskah merasa sedih atau gembira, walaupun dia sudah banyak mengucurkan darah dan keringat demi perguruan, diapun tidak tahu apakah semua perbuatannya bisa dimaklumi gurunya atau tidak.
Bagaimana pula keadaan saudara perguruan lainnya selama setahun ini? Bagaimana pula dengan keadaan luka yang diderita Im Ceng? Biarpun ada Un Tay-tay yang melindunginya, namun dia tetap merasa amat kuatir.
Apalagi dihati kecilnya masih menyimpan sebuah rahasia yang amat besar, setiap menjelang tengah malam, disaat sepi manusia, dia seringkah bergumam seorang diri:
"Waktunya sudah hampir tiba, jangan lupa....jangan sampai lupa....."
Setibanya di kota Cu-shia, walaupun dihati kecilnya Thiat Tiong-tong ingin melanjutkan kembali perjalanannya, namun lantaran kuatir Ai Thian-hok kelewat lelah, maka menjelang senja dia pun mencari tempat penginapan untuk beristirahat, berdua dia duduk terpekur sambil minum arak.
Ketika malam semakin kelam, selera minum kedua orang itu makin meningkat, siapa pun enggan kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Selama ini Thiat Tiong-tong selalu berusaha untuk bicara keras, agar Ai Thian-hok dapat menangkap pembicaraannya secara jelas, akibat¬nya saat ini tenggorokannya benar-benar sedikit agak parau.
Setiap kali Ai Thian-hok tidak dapat menangkap isi pembicaraan secara jelas, Thiat Tiong-tong selalu berseru sambil tertawa:
"Tenggorokan siaute memang semakin parau, bayangkan, kemarin sewaktu minta air, jarak tiga meter pun orang tidak mendengar teriakanku, tentu nya toako juga makin pusing bukan untuk menangkap ucapanku?"
Ai Thian-hok tersenyum tanpa menjawab, lewat sesaat kemudian tiba-tiba setitik air mata membasahi kelopak matanya.
Melihat itu dengan terperanjat Thiat Tiong-tong bertanya:
"Toa.....toako, kenapa kau bersedih hati?"
Ai Thian-hok duduk tanpa bergerak, sampai lama kemudian ia baru berkata pelan:
"Saudaraku yang bodoh, memangnya kau sangka toako benar-benar tidak tahu?"
"Toako, apa yang kau ketahui?"
"Berulang kali kau minta aku membantumu, membimbingmu, padahal kau tidak tega mening¬galkan diriku bukan? Padahal kau kasihan kepada toako lantaran sudah buta, tuli lagi bukan?"
Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong bergetar keras, air mata kembali jatuh bercucuran, sambil memegang bahu Ai Thian-hok kuat-kuat, ujarnya gemetar:
"Toako, kau......sejak kapan kau tahu akan hal ini?"
"Sewaktu tiba di kaki bukit, toako sudah mengetahuinya!" sahut Ai Thian-hok sambil menghela napas.
Kemudian setelah tertawa pedih, lanjutnya: "Kau tidak menyangka bukan, meski toako sudah buta lagi tuli, namun masih mampu berdiri tegak, mampu berjalan, masih punya selera makan, tidur dengan nyenyak?"
Thiat Tiong-tong hanya mengawasi raut mukanya yang kaku itu dengan termangu, dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, dalam waktu sesaat pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.
Bukan saja seluruh kemewahan dan keindahan dunia tidak bisa dilihat dan dinikmati lagi, kedudukan terhormat dalam dunia persilatan, nama harum diantara umat persilatan pun harus dia tinggalkan untuk selamanya.
Seandainya dia hanya seseorang yang pasrah pada nasib, mungkin keadaan jauh agak mendingan, tapi dia adalah seorang jagoan sejati yang besar ambisinya dan tinggi cita-citanya, mungkinkah dia sanggup menghadapi pukulan batin ini?
Tapi kenyataannya sekarang, pukulan batin yang belum tentu dapat dihadapi siapa pun tidak sampai merobohkan dirinya, ia masih dapat bertahan dengan tenang, bersikap seakan tidak pernah terjadi sesuatu, bukan hanya orang lain saja, bahkan Thiat Tiong-tong sendiripun tidak menyangka.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya terdengar Ai Thian-hok berkata kembali:
"Saudaraku, kau jangan lupa, keteguhan batin seorang lelaki terbentuk karena tempaan penderitaan dan siksaan, biarkan saja tubuh berubah jadi cacad, biarkan saja tubuh dan phisikmu berubah tidak berguna, yang penting hatimu belum menjadi cacad, pikiranmu masih berguna, itu semua sudah lebih dari cukup"
"Aaaa, kelihatannya memang gampang, padahal sulit untuk dilakukan" pikir Thiat Tiong-tong didalam hati, "berapa orang sih di dunia ini yang sanggup melakukan hal tersebut?"
Sekalipun perasaan hatinya amat pedih, namun diliputi perasaan kagum yang tidak terhingga.
Tiba-tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, setelah menghela napas panjang, ujarnya:
"Waktu sudah larut malam, mari kita tidur!"
Sewaktu kembali, tubuhnya berjalan sangat tegak.
Malam itu Thiat Tiong-tong tidak dapat tidur nyenyak, hingga fajar menjelang tiba dia baru bisa terlelap tidur.
Ketika dia mendusin dari tidurnya, Ai Thian-hok telah pergi dari situ sambil meninggalkan sebuah surat yang ditindihkan dibawah sebuah kotak kecil dari kayu.
Tulisan diatas kertas sangat kacau dan susah dibaca, namun secara lamat-lamat masih bisa terbaca:
"Meski belajar pedang susah, ternyata men¬dapat kawan sejati jauh lebih susah, memperoleh seorang adik macam kau membuat aku rela mati, oleh sebab itu aku tidak ingin membuat susah kau, sepanjang-panjangnya jalanan akhirnya akan tiba diujungnya juga, mungkin mulai kini aku akan berkelana ke ujung dunia dan entah sampai kapan baru bersua kembali.
"Sebuah kotak kayu yang sudah banyak tahun kusimpan kuberikan sebagai kenangan, semoga hiante tidak usah mencariku lagi"
Membaca surat itu sambil memegang kotak kayu kecil, Thiat Tiong-tong merasakan seluruh tubuhnya gemetar keras, rasa sedih menyelimuti seluruh perasaan hatinya.

Pendekar Panji Sakti - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang