Fox And Flower

By nanaanayi

1M 90.9K 19.5K

Historical Naruhina Fanfiction (FOR 18 +) Hidup bersama dan mengabdi dengan orang yang membatai keluarganya a... More

001. Lamaran Membawa Petaka
002. Malam Pembantaian
003. Di Bawah Pohon Ginko
004. Kehancuran Uchiha
005. Saudara
006. Sangkar Emas -1-
007. Sangkar Emas -2-
008. Rubah Emas dan Lotus Ungu
009. Kelopak yang Tersayat
010. Penyatuan
011. Luluh
012. Keegoisan
013. Kebimbangan
014. Bertemu Kembali
015. Keputusan
016. Ancaman
017. Terungkapnya Rahasia
018. Legenda Rubah Emas -1-
019. Legenda Rubah Emas -2-
020. Legenda Rubah Emas -3-
021. Legenda Rubah Emas -4-
022. Legenda Rubah Emas -5-
023. Legenda Rubah Emas -6-
024. Legenda Rubah Emas -7-
025. Legenda Rubah Emas -8-
026. Legenda Rubah Emas -9-
027. Legenda Rubah Emas -10
028. Legenda Rubah Emas -11
029. Legenda Rubah Emas -12
030. Awal dari Semua Kehancuran -1-
031. Awal Dari Semua Kehancuran -2-
032. Awal Dari Semua Kehancuran -3-
033. Awal Dari Semua Kehancuran -4-
034. Terciptanya Dendam -1-
035. Terciptanya Dendam -2-
036. Jalan Pembalasan -1-
037. Jalan Pembalasan -2-
038. Dibawah Cahaya Rembulan
039. Air Mata Sang Jendral -1-
040. Air Mata Sang Jendral -2-
041. Dendam Sang Geisha -1-
042. Dendam Sang Geisha -2-
043. Pernikahan Agung -1-
044. Pernikahan Agung -2-
045. Kembang Api Yang Terbakar -1-
046. Kembang Api Yang Terbakar -2-
047. Pangeran Yang Terbuang -1-
048. Pangeran Yang Terbuang -2-
049. Kelopak Sakura Yang Layu -1-
050. Kelopak Sakura Yang Layu -2-
051. Kebahagiaan Kecil Menuju Bencana Besar -1-
052. Kebahagiaan Kecil Menuju Bencana Besar -2-
053. Mimpi Buruk Bagi Sang Jenderal -1-
054. Mimpi Buruk Bagi Sang Jenderal -2-
055. Kehancuran Itu Akan Terulang -1-
056. Kehancuran Itu Akan Terulang -2-
057. Malaikat Kecil Yang Malang -1-
058. Malaikat Kecil Yang Malang -2-
059. Cinta Yang Tak Pernah Terbalas -1-
060. Cinta Yang Tak Pernah Terbalas -2-
061. Rembulan Hitam Di Langit Kyoto -1-
062. Rembulan Hitam Dilangit Kyoto -2-
063. Pertarungan Pertama -1-
064. Pertarungan Pertama -2-
065. Menjelang Penyerangan -1-
066. Menjelang Penyerangan -2-
067. Tahta Atau Cinta -1-
068. Tahta Atau Cinta -2-
069. Menghitung Hari Menuju Perang -1-
070. Menghitung Hari Menuju Perang -2-
071. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -1-
072. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -2-
073. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -3-
074. Menembus Benteng Kyoto -1-
075. Menembus Benteng Kyoto -2-
076. Menembus Benteng Kyoto -3-
077. Kembalinya Kamakura Bakufu Ke Tangan Uchiha -1-
078. Kembalinya Kamakura Bakufu Ketangan Uchiha -2-
079. Jenderal Baru -1-
080. Jenderal Baru -2-
081. Racun Berwujud Kekuasaan -1-
082. Racun Berwujud Kekuasaan -2-
083. Salju Pertama Menjadi Saksi -1-
084. Salju Pertama Menjadi Saksi -2-
085. Salju Pertama Menjadi Saksi -3-
086. Serangan Dairi -1-
087. Serangan Dairi -2-
088. Serangan Dairi -3-
089. Jatuhnya Dairi -1-
090. Jatuhnya Dairi -2-
091. Binasanya Para Kitsune -1-
092. Binasanya Para Kitsune -2-
093. Cinta Abadi Siluman Rubah Dan Kaisar -1-
094. Cinta Abadi Siluman Rubah dan Kaisar -2-
095. Fitnah Keji -1-
096. Fitnah Keji -2-
097. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -1-
098. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -2-
099. Teman Hidup
100. Darah Sang Guru
101. Ikatan Hati -1-
102. Ikatan Hati -2-
103. Serigala Berbulu Domba -1-
104. Serigala Berbulu Domba-2-
105. Cinta Yang Kembali Dipersatukan -1-
106. Cinta Yang Kembali Dipersatukan -2-
107. Darah Lebih Kental Dari Air -1-
108. Darah Lebih Kental Dari Air -2-
109. Darah Lebih Kental Dari Air -3-
110. Kemalangan Hime -1-
111. Kemalangan Hime -2-
112. Bersatunya Samurai Tangguh Heian -1-
113. Bersatunya Samurai Tangguh Heian -2-
114. Lahirnya Sang Harapan Baru -1-
115. Lahirnya Sang Harapan Baru -2-
116. Menjemput Takhta Tertinggi -1-
117. Menjemput Takhta Tertinggi -2-
118. Menjemput Takhta Tertinggi -3-
119. Sekeping Rindu Untuk Lotus Ungu
120. Kenangan Malam Pembantaian
121. Pergolakkan Batin
122. Ketika Rembulan Memberikan Sinarnya Pada Sang Mentari
123. Merekahnya Lotus Ungu
124. Permaisuri Hati -1-
125. Permaisuri Hati -2-
126. Titik Hitam Di Musim Semi -1-
127. Titik Hitam Di Musim Semi -2-
128. Sayap Yang Dipatahkan -1-
129. Sayap Yang Dipatahkan -2-
130. Awan Gelap Musim Semi -1-
131. Awan Gelap Musim Semi -2-
132. Genderang Perang Tanpa bunyi -1-
133. Genderang Perang Tanpa Bunyi -2-
134. Pesta Kembang Api terakhir -1-
135. Pesta Kembang Api Terakhir -2-
136. Perisai Berduri Sang Kaisar -1-
137. Perisai Berduri Sang Kaisar -2-
138. Duri Dalam Daging -1-
139. Duri Dalam Daging -2-
140. Duri Dalam Daging -3-
141. Ego Sang Bunga -1-
142. Ego Sang Bunga -2-
143. Dinding Tak Kasat Mata -1-
144. Dinding Tak Kasat Mata -2-
145. Angin Racun Musim Gugur -1-
146. Angin Racun Musim Gugur -2-
147. Noda Cinta
148. Terwujudnya Kutukan -1-
149. Terwujudnya Kutukan -2-
150. Permaisuri Yang Terusir -1-
151. Permaisuri Yang Terusir -2-
152. Rindu Tak Sampai
153. Kelopak Terakhir Lotus Ungu
154. Kisah Cinta Yang Tak Lengkap
155. Sesal Tak Bertepi
156. Yang Tanpa Yin
157. Penebusan Dosa
158. Menanti Musim
159. Era Baru -1-
160. Era Baru -2-
Pengumuman

161. Menjemput Takdir

5.6K 471 312
By nanaanayi

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Setting : Edo/Tokugawa Periode

Krakkk

Kepala violetnya terangkat, bersamaan dengan suara patahan kayu yang mengusik lelapnya. Sumire, terjaga dari tidurnya dengan posisi duduk memeluk lutut, ia mendapati jeruji kayu yang mengurungnya terbuka, seseorang baru saja menebas bilah kayu itu dengan katana api nan legendaris, Sumire kenal betul siapa pemilik Katana itu.

"Kau?" Ia bertanya seolah tak percaya apa yang ditangkap oleh iris ametysnya. Seorang pria bersurai terang bagai matahari berdiri di hadapannya.

"Ayo..." Tangan putih pria terulur itu menarik tangannya, Sumire tak punya pilihan selain merangkak keluar dari kerangkeng gerobak itu menerima ajakan pria itu. "Kita mau kemana?!" Ia menarik tangannya ketika telah keluar dari kekangan, sadar bahwa sang pria di hadapannya ini berniat mengajaknya pergi.

"Seperti janjiku... Kita ke desa Kawaguchiko." Ucapan Boruto seolah tak terbantahkan, tangannya kian erat menggenggam pergelangan tangan Sumire, tak akan membiarkannya terlepas kembali. "Aku tak akan membiarkan kau pergi lagi."

Sumire terpaku, menatap dalam pada safir biru di hadapannya. "Aku tak bisa." Memiringkan kepalanya tanpa melepaskan pandangannya dari sang putera pahlawan. Dalam seumur hidupnya Boruto adalah satu-satunya orang yang memperlakukannya dengan baik tanpa ada niatan apapun.

Dulu dia sempat berpikir bahwa Ishiki, ayah angkatnya menyayanginya dengan amat tulus. Namun seiring berjalannya waktu, ia akhirnya menyadari Ishiki hanya menggunakannya untuk membalaskan dendam pribadinya, dengan terus mengungkit kematian orang tuanya. Dendam dalam hatinya dikobarkan oleh hasutan Ishiki, dan kasih sayang Boruto yang memperlakukannya dengan berharga, menghapus semuanya.

"Jika kau tak bisa, aku yang akan memaksamu...." Safir biru itu balas menatap jauh lebih dalam lagi.

"Mengertilah Boruto.... Kita berbeda.... Kau putera dari pahlawan negeri ini, sementara aku...." Kepala violet itu menunduk, menatap tanah pijakannya. "Puteri dari samurai rendahan, dan pengkhianat..."

"Katakan kau tak pernah sedikitpun mencintaiku...." Tangan Boruto menarik dagu Sumire hingga ametys dan safir itu beradu, aku akan melepaskanmu dan membiarkanmu pergi jika kau mengatakan tak ada sedikitpun cinta di hatimu...."

Bibirnya tertutup rapat, air mata meleleh dari ametysnya. "Ku mohon jangan seperti ini..."

"Khe... Kenapa menangis, katakan saja tak pernah ada sedikitpun cinta di hatimu untukku, maka aku akan melepaskanmu...."

Sumire diam terpaku, sudah banyak kebohongan yang ia karang, bukankah tak apa jika harus ia membohongi hatinya sendiri, "aku tak bisa..."

Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Boruto, "kau mencintaiku..."

Sumire menggelengkan kepalanya.

"Gelengan kepalamu bertolak belakang dengan ini," telunjuk putih Boruto menyeka air mata di sudut ametys itu.

Greb

Sumire terperanjat, tubuhnya ditarik paksa masuk ke dalam pelukan Boruto, pria itu benar-benar telah merubah dendamnya menjadi cinta. Mengajarkan kepadanya tentang arti kebersahajaan, bersama Boruto, ia merasa memiliki keluarga.

...

"Kau yakin tak mau ikut ke Tokyo?"

Naruto membuang muka kesal, entah sudah berapa kali sahabat Teme-nya itu mengulang pertanyaan yang sama hari ini. "Kita sudah sama-sama tua Teme, kau tak perlu terus menganggapku seperti anak kecil yang dalam bahaya jika ditinggalkan sendirian di rumah."

"Mintalah pada Kiba untuk menginap di rumah ini saat malam tiba, setidaknya bila kau mati, ada yang akan memberi kabar pada kami, jangan sampai bau bangkaimu menyebar di desa ini." Celetuk Sasuke asal, menutupi ke khawatirannya pada sahabatnya itu.

"Sudah tua tapi terus saja bertengkar..." Sakura menggelengkan kepalanya heran melihat pertengkaran yang selalu terjadi antara dua sahabat ini. "Kita harus segera berangkat Sasuke-kun, Ishihara dan Sarada sudah menunggu kita."

Sasuke menarik nafas pelan, tangannya terangkat dan menyentuh bahu Naruto yang mulai merapuh. "Jangan mati sebelum kami pulang."

"Sial! Kau menyumpahiku!" Tangan berkeriput Naruto menepis pelan tangan Sasuke di bahunya.

...

Senyum tipis terukir di bibir merah kecokelatannya yang mulai mengeriput, ketika kereta yang membawa Sasuke dan Sakura meninggalkan halaman rumah sederhana itu. Ia bersiap untuk berbalik dan masuk ke dalam rumah, angin musim gugur yang begitu menusuk tak lagi mampu di tahan oleh tubuhnya yang sudah termakan usia.

"Naruto-nii..."

Niatan untuk masuk ke dalam rumah ia urungkan ketika suara yang begitu akrab di telinganya menggema. Naruto menoleh, safir birunya mendapati sang adik ipar berdiri di ambang pagar kayu sederhana itu.

...

Suara gemericik teh hijau dari poci yang memenuhi cawan memecah keheningan siang itu, Naruto dan Konohamaru duduk di ruang tamu sederhana kediaman keluarga Namizake itu. "Arigatou..." Ucap Konohamaru sopan usai sang kakak ipar menuangkan teh untuk menjamunya.

"Bagaimana kabar Hitoshi?" Naruto membuka pembicaraan, ia tahu ada niat lain yang ingin disampaikan oleh calon guru besar Shinto Ryu itu, namun suasana yang begitu canggung usai bertahun tak bertemu, membuat Naruto merasa perlu mencairkan suasana agar Konohamaru dengan lancar bisa menyampaikan maksud kedatangannya.

"Hanabi merawatnya dengan baik, menutup semua masa lalunya. Membuat sebuah cerita karangan. Bukankah rantai dendam ini harus diputuskan...? Hitoshi, anak itu sama sekali tak berniat menjadi Samurai Kekaisaran, dia lebih memilih berlatih cara mendidik Samurai muda di Shinto Ryu, seperti Kakashi Sensei, dia ingin mengabdikan hidupnya untuk mendidik generasi samurai baru."

"Yokatta..." Jawab Naruto seraya tersenyum simpul.

"Naruto-nii...., Rantai dendam ini belum sepenuhnya putus." Akhirnya Konohamaru mengawali maksud kedatangannya ke Kawaguchiko.

Alis kuningnya menukik, safir birunya menatap tajam pada sang onix, menuntut sebuah penjelasan.

"Nawaki dan Ishihara sebenarnya melarangku untuk menyampaikan hal ini padamu. Tapi, cepat atau lambat kau harus tahu ini. Karena sekarang puteramu terlibat di dalamnya."

"Jangan bertele-tele Konohamaru." Naruto tak akan bersabar bila itu menyangkut tentang puteranya.

"Boruto, lari bersama seorang gadis anggota kelompok pemberontak Kara."

...

Kuda hitam itu berpacu melambat, menyusuri padang rumput hijau yang mulai menguning akibat musim gugur. Pohon-pohon ginko mulai menggugurkan daun-daunnya yang menguning, menerpa mereka, matahari kian tinggi, namun udara masih terasa sejuk. Dua insan itu saling berpeluk di atas kuda, Boruto sembari mengendalikan kuda hitamnya, memeluk erat gadis violet yang duduk di depannya.

"Apa Kaa-chan memiliki aroma tubuh seperti ini...?" Bibir Boruto lancang mengecup pundak Sumire, gadis itu tersenyum kecut merespon sentuhan sang pemuda.

"Kau hanya terobsesi pada ibumu... Kau tak benar-benar mencintaiku..." Jawabnya dingin. Seketika Sumire tersentak, satu tangan Boruto yang melingkar di pinggang rampingnya mengerat, lebih lancang pemuda itu bahkan kini menyandarkan dagunya pada pundak kecil Sumire.

"Terserah bagaimana kau menilai tentang perasaanku, tapi yang aku tahu aku nyaman bersamamu."

Sumire tersenyum kecut. Seandainya aku bisa mencintaimu semauku... Boruto-kun....

"Kau lihat itu." Telunjuk Boruto menunjuk lurus pada sebuah pintu gerbang belasan meter di hadapan mereka. "Itu adalah Desa Kawaguchiko."

Sumire tersenyum tipis, sulit baginya untuk memahami isi hatinya saat ini. Di satu sisi ia sangat bahagia bisa tiba di desa yang selalu diceritakan oleh Boruto sejak mereka masih kecil, namun di sisi lain, alasan Isshiki melepaskannya untuk kembali pada Boruto, membuatnya merasa takut. "Boruto...." Ia mendongak, menatap pada Boruto di belakangnya.

"Hmmm..." Boruto menjawab lembut.

"Aku tak pantas untuk mendapatkan semua ini...."

...

"Boruto membawa kabur salah seorang gadis anggota Kara." Konohamaru menyelesaikan cerita panjang lebarnya tentang kelompok pemberontak Kara yang diketuai oleh kakak sepupu Toneri itu.

Onix hitamnya menyipit, kala mendapati respon yang ditunjukkan oleh Naruto, pria paruh baya itu hanya tersenyum santai. "Apa kau lupa sesuatu?"

Alis Konohamaru menukik heran, saat Naruto malah mengajukan pertanyaan padanya. "Apa maksudmu, Nii-san?"

"Hahahaha..." Naruto malah tertawa geli ringan. "Kau lupa kisah tentang samurai muda yang melepaskan posisinya sebagai samurai demi untuk menyelamatkan seorang gadis yang berusaha membunuh kakaknya sendiri?"

Wajah tampan guru Shinto Ryu itu seketika memerah, tangan Konohamaru refleks menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Membawa tahanan perguruan melintasi perbatasan?" Sindir Naruto lebih dalam lagi, membuat wajah Konohamaru semakin memanas karena malu.

Naruto tersenyum puas melihat Konohamaru yang diam tak berkutik. "Sama seperti Hanabi, aku yakin gadis itu pasti mengalami kesalahpahaman, ada sesuatu yang lebih pada diri gadis itu, sampai Boruto lari bersamanya."

"Mereka berdua menjadi buronan dinasti, saat ini, Nii-san..." Ucap Konohamaru khawatir, sebagai guru dari Boruto di masa pendidikannya di Shinto Ryu tentu ia sangat mencemaskan Boruto.

"Ishihara hanya ingin Boruto kembali. Itu saja. Dia tak mungkin menganggap Boruto sebagai pengkhianat." Jawab Naruto yakin.

"Aku yakin tentang itu. Tapi gadis itu, aku tak yakin Ishihara akan melepaskannya, dan Boruto tak akan mungkin menerima hukuman untuk gadis itu. Aku takut apa yang terjadi antara kau dan Sasuke-nii akan terulang."

"Pikiranmu terlalu jauh, bocah. Khe..." Naruto terkekeh geli. "Mereka hanya sepasang manusia yang saling mencintai, aku yakin Boruto tak memiliki tempat kembali selain di sini. Pulanglah, biar aku yang mengurus semuanya."

...

Petang menyingsing, matahari mulai kembali ke peraduannya. Sore itu usai kembalinya Konohamaru ke Shinto Ryu, Naruto baru saja menyelesaikan meditasinya, ia duduk di rouka menghadap pada hari terbenam, membiarkan tubuhnya yang masih tegap di usia senja di terpah oleh sang sinar senja.

Sebuah ketukan pintu mengukir senyum di bibirnya yang mulai mengeriput. Ia tahu siapa yang mengetuk pintu rumah sederhana itu. Cepat atau lambat orang yang ia harapkan akan segera datang.

Kelopak mata kecokelatannya terbuka, ia menengadah ke langit. "Kau lihat itu, Hime... Boruto kita kembali, bersama seorang gadis..." Kembali, ia selalu bermonolog seolah sang istri berada di sekitarnya.

...

Srakkk

Pintu geser itu terbuka, di hadapannya berdiri sosok cetak dirinya. Boruto, sang putera berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis yang bersembunyi di balik pundaknya. "Masuklah, nak. Ayah memang sudah menunggumu." Naruto mundur selangkah membiarkan ke duanya masuk.

Ruang sederhana yang disinari lilin temaram itu nampak hening. Ketiga orang yang duduk di atas tatami di ruangan itu sudah cukup lama terdiam, tak ada salah satu dari mereka yang ingin lebih dahulu membuka pembicaraan. Hingga suara gemericik air yang berasal dari teh yang mengucur dari poci ke cawan memecah hening. "Kau tidak ingin mengenalkan siapa gadis yang kau bawa." Suara Naruto menggema memecah keheningan, membuat Sumire dan Boruto sontak mendongak dari posisi menunduk mereka.

Sumire menarik nafas dalam, pandangan ametysnya saling beradu dengan safir biru Boruto. Ia hendak buka mulut, namun genggaman erat tangan Boruto pada tangannya di bawah meja, membuatnya terdiam.

"Tou-chan, aku mohon nikahkan kami berdua." Tanpa ragu Boruto bersuara lantang.

Tanpa sadar senyum tipis terukir di bibir keriputnya, 'Hime, seandainya kau melihat ini.... Boruto kita ingin menikah, dia mencintai seorang gadis....'

"Tou-chan, kenapa kau hanya tersenyum?" Suara Boruto yang terdengar tak sabaran memecahkan lamunan Naruto.

"Kau tak dengar apa yang aku pinta, nak? Aku meminta memperkenalkan gadis ini, bukan tujuanmu membawanya ke sini."

"Dia-"

"Shigaraki Sumire, Desu, Uzumaki-sama...." Belum sempat Boruto menyelesaikan perkataannya, Sumire lebih dahulu buka mulut.

"Dari mana kau berasal?" Suara Naruto mulai terdengar mengintrogasi, mulut Boruto baru saja terbuka untuk menjawab.

"Provinsi Naniwa, aku adalah bagian dari kelompok pemberontak Kara." Jawab Sumire lantang tanpa rasa takut, dan mengurungkan niat Boruto untuk mengarang cerita di hadapan sang ayah, bahwa Sumire adalah budak yang ia bebaskan.

Naruto tersenyum tipis melihat keberanian Sumire. "Nyalimu cukup besar gadis kecil." Naruto seperti melihat ceriminan dirinya dengan versi perempuan, mata gadis itu diliputi dengan kilatan dendam saat menatapnya.

"Tou-chan... Aku bisa jelaskan." Boruto menyela, membuat Sumire menatap ke arah pemuda itu.

"Berhenti membelaku Boruto, tak ada yang perlu ditutupi lagi." Elak Sumire. Sementara Naruto, ia memperhatikan dengan seksama interaksi gadis itu dengan anaknya.

'Kilatan dendam terpancar jelas dari mata gadis itu. Tapi saat dia memandang Boruto... Cara dia menatap Boruto, sama persis seperti caraku menatap Hinata.'

"Hari sudah malam, ku rasa sebaiknya kita istirahat." Naruto berdiri dari posisi duduknya. "Aku sudah tidak muda lagi, jadi sangat mudah lelah. Boruto jika kau ingin tidur bersamaku, kau bisa masuk ke kamarku, dan Sumire kau bisa tidur di kamar itu." Naruto menunjuk pada kamar Tsunade dan Jiraiya yang kini ditempati oleh Sasuke dan Sakura. "Kebetulan paman dan bibi Boruto sedang ke Tokyo. Tapi jika kalian ingin menghabiskan malam berdua, silahkan saja." Naruto berbalik, menuju pintu kamar Minato dan Kushina yang sempat ditempati Hinata, dan kini ditempati oleh dirinya. Ia berjalan masuk ke kamar dan menutup pintu geser itu.

"Kau bisa tidur di kamar itu. Aku akan tidur bersama Tou-chan...." Boruto hendak beranjak dari duduknya, namun tangan Sumire menahan bahunya.

"Boruto... Aku benar-benar takut bila Kara akan menangkapku lagi, atau para Samurai Edo akan menggeledah rumah ini, aku mohon temani aku...." Sumire mengeluarkan jurus andalannya, ia mengiba pada Boruto dengan raut wajah yang amat memelas.

Boruto tersenyum tipis, ia menepuk pucuk kepala Sumire, melihat gadis itu meminta sesuatu padanya membuatnya tak mampu melontarkan penolakan. Ia mengangguk seraya tersenyum.

Sumire tersenyum tipis menanggapi anggukkan Boruto, satu langkah lagi, tujuan utamanya akan terlaksana. 'Aku akan mengirimmu bertemu dengan istrimu, Uzumaki Naruto....' Bisik Sumire dalam hati.

...

Sumire menghela nafasnya dalam ketika ia menoleh ke arah samping futton yang ia tiduri. Boruto benar-benar menjaganya, bahkan pemuda itu terlelap sembari menggenggam erat tangannya.

"Kau pemuda baik..." Tangan putih Sumire mengelus lembut tangan Boruto yang menggenggam tangannya yang lain. "Aku tak pantas untukmu..." Pelan-pelan melepaskan genggaman tangan Boruto pada tangannya, ia meletakkan dengan amat hati-hati tangan pemuda itu disisi tubuhnya, takut bila sewaktu-waktu pemuda itu akan terjaga. "Aku harap, jika kita dilahirkan di kehidupan lain, aku bisa mencintaimu dengan semauku...." Sumire sedikit menunduk, tangannya membelai helaian kuning Boruto di keningnya, ia lalu menunduk mengecup pelan dahi pemuda yang begitu menghargainya.

Tanpa ia sadar, dari balik pintu geser yang sedikit terbuka safir biru lain tengah memperhatikan gerak geriknya.

...

Srakkk

Pintu geser itu terbuka pelan, kaki mungilnya menapakkan satu kakinya di tatami sebuah ruangan. Tak ada penerangan lain di sana selain cahaya sang rembulan yang menyusup dari ventilasi udara yang menjadi satu-satunya sumber penerangan.

Memanfaatkan keadaan gelap gulita, Sumire berjalan mengendap memasuki kamar itu. Sebuah gundukan selimut menjadi tujuannya, dengan pisau belati yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya, ia membulatkan tekadnya.

...

"Tetap tinggal disini Sumire...."

Ishiki, menghalangi tangan Sumire untuk meraih tali kekang kudanya, ia menoleh ke belakang, pasukan Samurai yang mengejar mereka kian dekat. Tapi malah sang ayah angkat tak mengijinkannya menunggang kuda untuk melarikan diri.

"Biarkan mereka menangkapmu."

Dahi Sumire berkerut, apa ia dipersalahkan atas kegagalan penyerangan kali ini, apa Ishiki akan membuangnya begitu saja dengan menyerahkannya pada musuh.

"Kembalilah pada Boruto dan selesaikan dendammu pada Uzumaki Naruto."

Satu kalimat dari Ishiki membuat Sumire tersentak. Ia bahkan sudah lama melupakan tujuannya untuk menghabisi orang yang selama ini ia anggap dalang dari tewasnya kedua orang tuanya.

"Kau tidak dengan mudah melupakan tujuan hidupmu, Sumire.... Kembalilah pada Boruto dan selesaikan tujuan hidupmu, kami akan menjemputmu...."

...

Tangannya terangkat dengan belati di genggamannya, ia duduk berlutut di hadapan gundukan selimut itu, ia menusuk sosok yang bergelung di bawah balutan kain tebal itu.

Srakkkk
Srakkkk

Dengan membabi buta Sumire menusuk gundukan selimut itu, "kau adalah penyebab kemalangan ku!" Suara parau menahan tangisnya terdengar lirih.

Srakkk

"Kau membuat hidupku teracun oleh dendam," kembali Sumire menusuk gundukan selimut itu membabi buta.

Srakkkk

"Kau membuatku tak bisa mencintai dengan bebas orang yang sangat ku cintai!!!!"

Srakkk
Srakkk

Sumire terus menusuk gundukan selimut itu, hingga bulu angsa pengisi bantal dan futton-nya berceceran di tatami.

"Sudah selesai?"

Suara baritone menggema di telinganya, sebuah cahaya memenuhi kamar gelap itu. Cahaya sang rembulan kini bertambah terang dengan cahaya lilin yang dibawa oleh Uzumaki Naruto yang berdiri di ambang pintu.

"Kau!!!" Sumire berteriak tak percaya, ia menoleh ke arah gulungan selimut yang ia tusuk. Gundukan itu benar-benar menyerupai seseorang yang tengah tidur, Naruto sengaja mengaturnya untuk menjebak Sumire.

...

Suara jangkrik menambah keheningan diantara keduanya. Naruto dan Sumire duduk di rouka malam itu, tak ada satu katapun yang keluar dari bibir keduanya.

"Kenapa tak membunuhku? Aku sudah berniat untuk membunuhmu." Sumire akhirnya menyudahi keheningan ini.

Naruto tersenyum miring, tatapannya menuju ke depan. "Membuat satu-satunya tujuan hidupku saat ini membenciku."

Sumire mengalihkan pandangan lurusnya pada hamparan rumput, ia menatap dalam pada mantan Kaisar itu. Sebuah luka yang teramat dalam tercermin disana.

"Sejujurnya, aku lebih suka bila kau benar-benar menusukku tadi."

Dahi Sumire berkerut mendengar penuturan Naruto kembali.

"Kematian jauh lebih indah bagiku saat ini. Tapi aku tak ingin mati di tanganmu, aku tak ingin mengotori cinta puteraku dengan dendam yang pernah menodai cintaku." Naruto tersenyum kecut, pandangannya lurus ke depan. Membayangkan Boruto harus menyimpan dendam atas kematiannya mengingatkan penderitaan yang harus ia tanggung di masa kecilnya.

Sumire menatap Naruto dengan rasa penuh penasaran. Ia sering sekali mendengar Boruto menceritakan bagaimana ayahnya begitu mencintai dan merindukan ibunya yang telah tiada, namun ia tak pernah menyangka bahwa Naruto lebih memilih mati untuk bisa bersama sang istri.

"Kau tentu tahu alasan kematian orang tuamu." Boruto menoleh, menatap lembut pada Sumire, ada kebaikan di mata violet gadis itu, namun ia tahu semua itu tertutupi oleh dendam yang telah ditanamkan pada benaknya sejak ia kecil.

Sumire menghela nafas kasar, ia menatap ke atas menahan tangis. "Aku tahu mereka berpihak pada pengkhianat. Tapi mereka berada di bawah tekanan saat mengikuti para pemberontak itu. Ayahku hanya ingin ibuku yang sedang mengandungku saat itu selamat. Para pemberontak itu mengancam keluarga para samurai di Naniwa yang menolak membelot."

Naruto tersenyum tipis. Mendengar suara lirih Sumire mengingatkannya pada Hinata yang berusaha membela klannya. "Kau tahu penyebab pemberontakan itu terjadi?"

"Kau dan bibimu membantai klan Uchiha dan Hyuuga, mengusir permaisuri dari Klan Ootsutsuki dan puteranya." Sumire menjawab yakin berdasarkan informasi yang ia peroleh dari Ishiki. Selama ini hal tersebutlah yang ia yakini, Ishiki telah menggambarkan sosok bengis Naruto dengan sempurna dalam benaknya.

"Sahabatku seorang Uchiha, dan orang yang paling aku cintai adalah seorang Hyuuga. Kau tahu kenapa aku membantai klan itu?" Uji Naruto, ia berani bertaruh bahwa Sumire hanya mendengar sepihak tentang masa lalunya dari Ishiki.

Sumire diam terpaku. Dia sudah sering mendengar tentang kisah cinta Naruto dan Hinata dari Boruto. Jujur tak pernah terpikir di benaknya bagaimana dua manusia bisa saling mencintai diantara dendam keluarga mereka yang berkecamuk.

"Jauh sebelum aku menjadi seorang Shogun," Naruto menerawang mengingat kembali luka lama yang telah ia kubur rapat-rapat, dan mulai berkisah pada Sumire. "Seseorang telah menyinari kehidupanku yang di penuhi dengan gelapnya dendam dengan cahaya cintanya.... Bahkan hingga cahayanya sendiri meredup..."

...

Naruto tersenyum tipis melihat lelehan air mata yang membasahi pipi putih Sumire. Ia yakin Boruto tak pernah salah memilih, gadis yang ia bawa memiliki kelembutan hati yang tak jauh beda dengan Hinata-nya. Hanya saja dendam yang telah dipupuk di benaknya sejak kecil, mampu mengikis kemurnian hatinya.

"Maafkan aku..." Sumire berujar lirih, ia tak pernah tahu, bahwa sosok keji Naruto muda yang diceritakan oleh Ishiki memiliki latar belakang yang menyedihkan tak jauh berbeda darinya. Hidup sebatang kara dan di didik dengan bayang-bayang dendam masa lalu.

Usai mendengarkan cerita panjang Naruto, hati kecilnya terketuk. Bagaimana Naruto kehilangan cintanya karena dendam yang telah ditanamkan di otaknya sejak kecil, yang membuatnya menaruh curiga pada semua orang di sekitarnya.

"Aku tak memintamu percaya pada ceritaku." Naruto menghapus satu tetes air mata di sudut matanya. "Aku hanya berharap kau tak menyesal, saat kau melepaskan cintamu untuk dendam. Hidup bersama orang yang kau cintai adalah sebuah anugerah yang amat berharga. Kesempatan cinta tak akan datang dua kali." Naruto bangkit dari rouka. "Jangan sampai kau menyesal. Cintailah orang yang cintai dengan semaumu, dengan caramu... Hingga kau tak memiliki lagi alasan untukmu bahagia selain kebahagiaannya."

Srakkk

Pintu geser terbuka, Boruto berdiri di ambangnya. "Apa yang kalian bicarakan selarut ini?" Dahi Boruto berkerut, menandakan ke khawatiran yang ia rasakan, ia takut sang ayah sedang berusaha menjauhkan Sumire dari dirinya dengan penghinaan dan kata-kata kasar.

Naruto tersenyum tipis lalu menepuk bahu sang putera. "Meyakinkan dirinya, bahwa mencintaimu bukanlah suatu kesalahan." Ia berlalu, meninggalkan sang putera bersama gadis yang ia cintai.

Ekor mata Boruto mengikuti langkah sang Ayah. Memastikan Naruto benar-benar masuk ke dalam rumah, ia mendekat pada Sumire, berdiri di hadapan gadis itu. "Ayahku bicara apa saja padamu....?"

Sumire tersenyum tipis, ia berdiri mengikuti Boruto, tangannya mengamit tangan Boruto lalu menggenggamnya. "Kisah cinta Seekor Kitsune dengan Lotus Ungu dinasti ini...."

Dahi Boruto berkerut merasa heran, perlakuan Sumire tiba-tiba menjadi hangat padanya. Biasanya gadis itu selalu berusaha menutupi perasaannya sendiri. "Apa cerita ayahku yang membuatmu menjadi seperti ini?"

Sumire tersenyum tipis lalu menunduk, semburat merah mewarnai pipinya. "Aku tak ingin menyesal." Ia kembali mendongak, menatap Boruto dalam. "Aku tak ingin dendam membuatku melepaskan hal berharga yang Kami-sama titipkan padaku.... Aku hanya ingin mencintaimu semauku.... Tanpa dendam... Tanpa rasa benci... Yang sebenarnya tak aku inginkan."

Iris biru Boruto membulat seketika. "Ulangi." Perintahnya tegas.

"Apa?" Tanya Sumire keheranan.

"Ucapanmu yang tadi."

"Aku tak ingin menyesal...?" Sumire berusaha mengulang kalimatnya.

"Tidak... Bukan itu. Yang selanjutnya." Cecar Boruto.

"Aku tak ingin dendam membuatku melepaskan hal-"

"Bukan!" Potong Boruto cepat. "Ucapan yang selanjutnya!"

"Aku hanya ingin mencintaimu-" sadar Boruto memintanya mengulang kalimat itu, membuat semburat merah kembali mewarnai pipi porselen Sumire.

Boruto tersenyum tipis, ia berlutut lalu memetik bunga di sisi kakinya, bunga liar kecil berwarna ungu, mirip dengan Sumire menurutnya. Tangannya terangkat dan menyematkan bunga itu di telinga Sumire. "Aku juga mencintaimu...."

"Berjanjilah, kau akan menuntunku keluar dari kegelapan ini...." Tangan Sumire menggapai lengan Boruto dan merangkulnya erat.

"Apa yang selama ini ku tunjukkan tak mampu mengetuk pintu hatimu... Hmmm...?"

"Sangat, bukan hanya mengetuk, kau bahkan mendobrak pintu hatiku...." Jawab Sumire lembut, rasa begitu lega, ketika ia dapat mengungkapkan semua isi hatinya yang selama ini ia tutupi.

Boruto mencubit kecil hidung mungil Sumire.

"Terimakasih Boruto-kun...., Boleh aku memanggilmu seperti itu....?" Sumire mendongak, lelehan air mata menggenang di pipi pualamnya. Ia tak pernah mengenal arti kasih sayang, dan Boruto mengajarkan padanya, ia tak pernah memiliki keluarga, dan Boruto mengajaknya membangun keluarga bersamanya.

Kepala pirangnya mengangguk, memberi jawaban pada Sumire atas pertanyaannya. Hati Boruto menghangat mendengar panggilan sayang Sumire untuknya. Gadis itu akhirnya mengakui perasaannya selama ini. Sejak awal Boruto sudah tahu bahwa Sumire memiliki perasaan yang sama padanya.

"Terimakasih Boruto-kun... Terimakasih karena telah mengajarkanku cara mencintai.... Membuatku merasa dicintai.... Terimakasih... Terimakasih.... Terimakasih..." Ia sandarkan kepala ungunya pada montsuki hitam Boruto, mendengarkan detak jantung Boruto yang selalu menangkan untuknya.

...

Dari jendela kamarnya, tanpa mereka sadari sang ayah tengah merekam kebahagiaan mereka. "Kau lihat itu Hime?" Naruto menengadahkan kepalanya ke langit, seolah tengah berbicara dengan belahan jiwanya. "Boruto kita sudah menemukan tempatnya untuk pulang.... Dia sudah memiliki keluarga..... Tugasku sudah selesai, apa aku bisa menyusulmu..."

...

"Setelah menjadi Kaisar, Ayahku tak pernah punya waktu untuk mengurusi para bawahan pemberontak yang melarikan diri. Semua itu adalah ulah Danzo yang masih menyimpan dendam kesumat atas kematian Kaisar Hashirama dan Permaisuri Mito."

Sumire menarik nafas legah kisah yang baru saja diceritakan oleh Naruto tadi malam, pagi ini dilengkapi oleh Boruto.

"Sama seperti Naruto-sama, aku menghabiskan masa kecilku dengan didikan untuk membalas dendam..." Jawab Sumire lirih, sembari menunduk kemudian tersenyum tipis, ia meraih tangan Boruto lalu menggenggamnya erat. "Terimakasih telah menjadi cahaya di dalam gelap ku..."


"Ehem..."

Suara batuk disengaja itu membuat Boruto dan Sumire salah tingkah, mereka melepaskan genggaman tangan, dan nampak kikuk ketika Naruto berada di ambang pintu kamar. Naruto tersenyum tipis melihat keduanya, Boruto tidur semalaman bersama Sumire. Tapi ia menjamin bahwa putera polosnya itu tak akan melewati batasan. Puteranya itu tak seberengsek sepertinya dirinya di masa muda.

"Boleh aku meminjam Boruto sebentar?"

Pertanyaan itu membuat Sumire tertunduk malu, sementara Boruto bangkit dari duduk bersilanya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia berjalan mengikuti sang ayah keluar dari kamar.

...

"Kau terlihat sangat mencintainya." Naruto menengadahkan pandangannya pada langit, angin musim gugur yang menusuk menerpa tubuh rentanya, musim dingin akan segera tiba, dan itu berarti salju pertama akan segera turun.

"Seperti kau mencintai Kaa-chan..." Senyum tipis terukir di bibirnya, dulu ia hanya mendengar kisah cinta orang tuanya dari Ayah dan beberapa sahabat orang tua mereka, namun saat merasakannya sendiri, ia sekarang mengerti, bahwa rintangan yang hadapi untuk hidup bersama Sumire tak sebanding dengan apa yang telah dilalui oleh orang tuanya.

"Seperti iblis dan malaikat..." Naruto terkekeh pelan mengenang masa lalunya bersama mendiang sang istri.

"Aku malaikatnya." Boruto tak tersenyum congkak. Tentu ia merasa di posisi seperti Hinata, mengingat Sumire lah yang diselimuti dendam.

Naruto tersenyum tipis. "Kau benar, aku melihat versi wanita diriku dari mata gadis itu."

"Dia keras kepala." Timpal Boruto.

"Dia tak pernah mengenal cinta... Seperti aku sebelum bertemu dengan ibumu."

"Tou-chan...."

Naruto menoleh, beralih dari pandangannya pada pohon ginko, menatap raut begitu ketakutan pada salinan dirinya.

"Kalian menjadi buronan dinasti."

Satu kalimat yang keluar dari mulut Naruto membuat Boruto diam tertegun. "Ishi-nii dan Nawaki-Jiji tak mungkin melakukan itu padaku." Boruto hampir bangkit dari duduknya di rouka, namun tangan Naruto menarik bahunya.

"Mereka hanya ingin kau kembali, dan Sumire adalah incaran mereka."

"Aku tak akan membiarkan mereka menangkap Sumire." Kilatan kemarahan muncul di mata biru Boruto.

"Hanya ada satu jalan keluar. Kita harus menjadikan Sumire bagian dari keluarga kita. Upacara pemurnian pernikahanmu dengan Sumire harus segera dilangsungkan."

Boruto tertunduk malu mendengar ucapan sang ayah. Namun Naruto malah menghela nafas berat. "Tak sampai disitu. Sumire juga harus membuktikan kesetiaannya pada dinasti."

"Apa maksud Tou-chan?"

"Sumire harus membongkar rencana Kara selanjutnya."

...

Bertahun musim gugur yang ia lalui selama hidupnya, namun baru musim gugur kali ini ia merasakan kehangatan. Ia masih ingat betul musim gugur pertama yang ia lalui di Kyoto, di musim itu sang ibu direnggut paksa dari dirinya dengan cara kejih. Lalu musim gugur ketika ia membina rumah tangga dengan Hinata, serangan besar-besaran terjadi Kyoto, dan ia tak akan melupakan bagaimana Hinata yang tengah mengandung tertawan di istana Kamakura kala itu. Dan musim gugur yang paling menghancurkan hidupnya adalah saat ia mengusir sang Lotus ungu tercintanya karena egonya sendiri. Dan itu adalah musim gugur terakhir dimana ia masih bisa mendengar bagaimana Hinata menyebut namanya.

Namun musim gugur kali ini berbeda,di hadapan safir birunya, Naruto melihat prosesi pernikahan buah cintanya bersama wanita yang paling ia cintai di dunia ini. Pernikahan Boruto berlangsung sederhana di sebuah kuil kecil di desa Kawaguchiko tak ada pengarakan atau upacara perjamuan semewah pernikahannya dengan Hinata. Hanya prosesi pemurnian pernikahan yang menyatukan cinta puteranya dengan sang belahan jiwa. Haori hitam dan shiromuku putih sederhana yang mereka kenakan menjadi saksi terukirnya ikatan sehidup semati itu. Boruto resmi mempersunting Sumire, sahabat tersembunyinya yang selama ini ia cintai dalam diam...


Tangis haru menetes dari safir biru Naruto ketika menyaksikan Boruto dan Sumire telah menyelesaikan upacara san-san Kudo, keduanya bersujud di hadapan sang ayah untuk meminta restu. Naruto yang duduk bersimpuh mengangguk, lalu mengelus ke dua kepala anak dan menantunya.

Naruto menghela nafas berat seraya mengusap kedua kepala anak dan menantunya, ia memejamkan matanya seolah merasakan kehadiran sang istri tercinta disisinya. Kau lihat ini, Hime... Boruto kita telah menemukan teman hidupnya, dia tak akan kesepian lagi. Ada Sumire yang begitu menyayanginya, dan akan selalu setia padanya.... Hime, Tugasku untuk mendampingi Boruto kita mencapai kebahagiaannya telah selesai... Apa aku sudah boleh menyusulmu....?

...

Sebuah pemandangan tak terduga menyambut mereka setelah kembali dari kuil. Pagar rumah sederhana yang dihuni olehnya, pagi itu dipenuhi oleh barisan manusia berpakai zirah. Baik Naruto ataupun Boruto sudah sangat familiar dengan barisan orang-orang itu. Pun dengan Sumire, sebagai penyebab barisan samurai itu berdiri di pintu gerbang rumah mertuanya.

"Aku yakin kalian datang kesini bukan untuk merayakan pernikahan puteraku." Naruto buka suara, dan bersamaan dengan itu barisan samurai tersebut terbagi dua, sekelompok manusia yang amat ia kenal berjalan diantara dua barisan samurai yang terbagi dua itu.

Nawaki berjalan paling dengan, dengan Ishihara dan Sasuke di kanan dan kirinya, sementara di belakangnya nampak Sai mengiring.

Senju Nawaki dan Uchiha Ishihara, dua pejabat tertinggi di dinasti Edo membungkuk sembilan puluh derajat memberi penghormatan pada Naruto.

"Naruto-nii akhirnya kita bisa bertemu lagi..." Sang kaisar menarik tangan kakak sepupunya itu lalu memeluknya erat. "Kau sudah tidak marah padaku lagi...." Sejak kematian Hinata, Nawaki menyimpan rasa bersalah yang begitu besar pada sang kakak sepupu. Ketidaksiapannya menjadi Kaisar diusianya yang masih begitu lugu, membuat Naruto harus menepis impiannya untuk hidup tenang bersama keluarga kecilnya di Kawaguchiko.

Sementara itu Naruto tersenyum tipis, ia menepuk bahu Nawaki penuh bangga. "Anak bodoh... Kau melanjutkan takhta ayahmu dengan baik."

Pelukan terlerai, Nawaki menarik nafas lega. Ia merasa lega, bahwa tak setitik pun kebencian di hati Naruto akibat dirinya yang dulu yang menyodorkan jabatan kaisar sementara pada Naruto. "Aku hanya melanjutkan perjuanganmu Nii-san."

Naruto kembali menepuk pelan bahu Nawaki. Ia menoleh ke arah Ishihara, yang ia ketahui, putera tunggang Uchiha Itachi itu baru beberapa hari lalu melangsungkan pernikahan dengan Sarada, Puteri sahabatnya Uchiha Sasuke. "Bahkan pengantin baru juga ikut untuk memberi selamat pada pernihakan Boruto."

Nawaki dan Ishihara saling melirik. Mencari makna dari pernyataan Naruto. Naruto bukanlah orang yang bodoh, ia hanya sedang berbasa-basi, ia bukannya tidak tahu maksud dan tujuan para samurai datang bersiaga di rumahnya, pun dengan kehadiran sang kaisar dan Jenderal. Ia tahu jelas bahwa Sumire lah yang menjadi incaran mereka.

Boruto yang juga tahu maksud kedatangan para petinggi dan samurai itu ke rumah ayahnya, segera menggenggam tangan Sumire, memberikan istrinya itu jaminan bahwa tak akan ada hal buruk yang terjadi.

"Kalian ingin mengucapkan selamat untuk pernikahan Boruto dan Sumire, bukan?" Tanya Naruto polos sambil menatap pada Ishihara dan Nawaki bergantian.

"Naruto! Kau menikahkan puteramu dengan gadis ini?!" Sasuke berteriak lantang seraya menunjuk ke arah Sumire, ia tahu Ishihara dan Nawaki tentu akan segan pada sahabatnya itu. Hanya dirinya lah satu-satunya orang disini yang bisa menyadarkan Naruto dari keteledorannya.

Naruto tersenyum tipis menanggapi respon Sasuke. "Mereka saling mencintai, bukankah lebih cepat menikah lebih baik?" Jawab Naruto seolah tak tahu apapun.

"Apa kau tak mengetahui identitas gadis ini?" Telunjuk Sasuke menunjuk pada ke arah Sumire. Sementara itu Sumire yang kian terpojok mengeratkan rangkulannya pada lengan sang suami.

"Dia anggota Kara." Jawab Naruto santai.

"Nii-san, bukan maksudku untuk lancang, tapi sebaiknya kau batalkan pernikahan mereka, dan izinkan kami membawa Sumire ke Tokyo." Nawaki berucap lembut, ia tak ingin terjadi kesalahpahaman antara dirinya dengan sang kakak sepupu. Bagaimanapun Boruto adalah keponakannya, namun tindakannya melepaskan bahkan menikahi seorang anggota pemberontak sangat berbanding terbalik dengan kewajibannya sebagai seorang samurai.

"Sumire tak akan kemanapun." Boruto berteriak lantang sembari berdiri di hadapan Sumire menjadi tameng sang istri.

Sumire menggenggam erat lengan suaminya, Boruto tahu gadis itu kini begitu percaya padanya, rasa takut Sumire dapat ia rasakan

Naruto tersenyum tipis. Melihat bagaimana Boruto melindungi Sumire, semakin membuktikan bahwa sang putera telah memilih pilihan yang tepat. Ingatannya kembali pada masa ia menjadi Kaisar sementara, berbagai cara ia lakukan untuk menjaga nama baik Hinata, bahkan tanpa ia sadari hal itu membuat Hinata memiliki banyak musuh. "Biarkan mereka meminta restu pada Hinata terlebih dahulu."

...

Srakkk

Pintu geser sebuah ruangan kecil di sisi kamar Naruto. Naruto membangun sebuah ruangan kecil dengan membagi kamarnya untuk ruangan altar Hinata.

Sebuah lukisan dengan dupa dan guci berisi abu jenazah terpajang disana.

"Itu Ibu Boruto...." Naruto menoleh pada lukisan cantik mendiang sang istri, lalu irisnya turun pada guci yang terletak di depan lukisan.

Tanpa diberitahu pun Sumire sudah tahu, apa isi guci itu. Ia sedikit terperanjat saat tangannya merasakan kehangat, Boruto menggenggam tangannya erat, lalu menariknya masuk.

Kau lihat itu Hime... Boruto kita sudah memiliki keluarga baru sekarang, sudah saatnya kita kembali bersama....

Sumire menyiapkan dupa lalu membakarnya pada lilin merah, dan menusukkannya pada gelas berisi beras di hadapan lukisan Hinata.

"Kaa-chan, dia istriku...." Suara lirih Boruto terdengar pertama. "Aku tak sempat mengenalmu..." Boruto menangkupkan tangannya, "tapi di surat terakhir yang kau tulis untukku, kau berkata..." Ia menarik nafas berat. "Bahwa saat aku menemukan seseorang yang begitu ingin kau lindungi, jangan pernah aku melepaskannya. Dan Sumire... Dia kesepian dan sendiri, aku ingin melengkapi hidupnya, menjaganya dan menjadi keluarganya, menebus semua dosa yang pernah dilakukan pendahuluku atas dendam ini, mengakhiri mata rantai dendam ini dan mengajarkannya tentang indahnya kehidupan tanpa dendam...."

Air bening mengalir dari ametys Sumire, tangannya menumpu pada telapak tangan Boruto yang tertangkup. "Kaa-chan... Terimakasih telah melahirkan Boruto-kun untukku.... Perjuanganmu untuk membawanya ke dunia tak pernah sia-sia.... Aku mohon restui cinta kami... Izinkan aku melengkapi hidupnya dan menjaganya... Belajar arti kehidupan yang dipenuhi cinta darinya....."

Boruto dan Sumire bersujud di hadapan abu dan lukisan Hinata, meminta restu pada sang Lotus ungu untuk kebahagiaan mereka.

...

"Sumire adalah seorang Uzumaki sekarang." Suara Naruto memecahkan keheningan ruang tamu sederhana itu. Naruto, Sasuke, Konohamaru, Hanabi, Sakura, Ishihara dan Nawaki berkumpul di sana, tak lupa Boruto yang duduk di sebelah sang ayah. Sementara Sumire masih berada di ruangan altar Hinata. Boruto melarangnya untuk ikut ke dalam pembicaraan.

"Naruto kau sadar dengan apa yang kau bicarakan? Boruto seorang Saiteki, dan kau menikahkannya dengan seorang pengkhianat." Sasuke buka suara.

"Jangan berkata seolah kisah cinta kita bersih dari pengkhianatan terhadap negeri ini." Jawaban Naruto membuat Sasuke diam mematung, menyadarkan satu-satunya tetuah Uchiha itu akan masa lalunya.

Sasuke menghela nafas berat, Naruto benar ia tak berhak menghakimi Sumire, bagaimanpun ia pernah memiliki status sebagai pemberontak negeri ini..

"Ini berbeda dengan Kau dan Hinata-nee, atau Uchiha-sama dengan Haruno-sama, Nii-san. Sumire di didik sejak kecil atas kebenciannya pada dinasti ini. Sementara kau sejak kecil dibesarkan dengan alasan balas dendam pada klan zalim." Tutur Nawaki sopan.

Naruto menarik nafas dalam. Kecerdasan Hashirama terwariskan sempurna pada karakter Nawaki.

"Maaf menyela Ji-san." Kini Ishihara ikut buka suara. "Sumire adalah mata-mata di Shinto Ryu. Dia mencuri jurus perguruan dan strategi perang kita lalu. mengajarkannya pada Kara."

Dahi Naruto berkerut, ia mendengar Boruto menceritakan awal pertemuannya dengan Sumire. Tapi tidak menjelaskan tentang alasan keberadaan Sumire di Shinto Ryu adalah mencuri jurus dan strategi perang.

"Ini berbeda denganmu yang berada di istana untuk mengikuti Kaa-sama mencuri hati ayahku..." Nawaki menimpali. "Tujuanmu mendekat pada Hinata-nee saat itu adalah murni persahabatan. Boruto belum menceritakan padamu bahwa tujuan Sumire mendekatinya adalah untuk balas dendam?"

Kepala Naruto menoleh pada Boruto, ia merasa ditipu oleh sang putera. "Gadis itu memiliki niat tersembunyi mendekatimu. Ku pikir dia hanya ingin membunuhku dengan mendekatimu lalu kalian bersahabat dan jatuh cinta. Dia mencuri jurus bertahun-tahun."

Srakkkk

Pintu geser terbuka, Sumire berada di ambang pintu. "Apa aku perlu memotong jariku untuk membuktikan kesetiaanku pada dinasti ini." Sumire mengeluarkan belatinya dan mengarahkan pada jempolnya.

Mendengar kalimat itu Hanabi dan Konohamaru saling berpandang, Konohamaru mengangkat jempolnya yang telah raib ditebas oleh Neji sebagai bukti bahwa dia benar berada di pihak pengkhianat kala itu.

"Sumire apa yang kau katakan?!" Boruto naik pitam ia bangkit, merampas pisau belati itu, lalu membuangnya keluar.

"Aku juga pernah melakukan hal itu untuk mengelabui musuh." Konohamaru berdiri lalu menunjukkan jempolnya yang dipotong oleh Neji. Sasuke yang mengetahui hal itu tersenyum tipis.

Sumire menarik nafas pelan, ametysnya memandang sendu pada Boruto. "Suamiku sudah berjanji melindungi dinasti ini lebih dari Ayah mertua." Sumire meraih secarik sapu tangan dari Obi nya. Ia ia menunduk dan menyerahkan sapu tangan itu pada Naruto. "Dimana suamiku meletakkan kesetiannya, maka pada tempat itu pula lah aku mengabdikan diriku."

"Surat dari Kara." Semua pandangan tertuju pada Naruto yang baru selesai membaca surat pada sapu tangan itu.

"Semalam seekor elang pengantar pesan mengantarkan surat ini." Jawab Sumire lirih.

"Saat putih menutupi tepi barat, maka saat itulah merah akan menguasai timur." Naruto membaca surat itu.

"Putih... Salju, saat ini musim gugur itu berarti saat salju pertama turun." Nawaki menarik kesimpulan. "Tepi barat, Kyoto berada di sisi Barat, merah akan menguasai timur...."

"Timur adalah Tokyo." Boruto buka suara. "Tokyo berada di sisi timur, dan merah..."

"Merah adalah darah, mereka akan menggenangi darah di Tokyo, dan datang dari arah Barat yaitu Kyoto saat salju pertama turun." Ishihara menarik kesimpulan akhir, mengukir senyum bangga di bibir Sasuke.

Pria raven itu mendekatkan bibirnya pada sang istri. 'Uchiha adalah yang tercerdas...' Bisiknya pelan.

...

"Kau belum tidur...?" Kepala kuning Naruto menoleh ketika mendapati sang putera sudah duduk di sisinya di samping rouka.

"Entahlah akhir-akhir ini aku malas untuk tidur." Jawab Naruto asal.

"Baka oyaji...." Celetuk Boruto pelan, mendengar umpatan sang putera Naruto terkekeh pelan.

"Hinata jarang sekali datang mimpiku akhir-akhir ini... Aku jadi malas untuk tidur..." Naruto kembali memandang sang rembulan yang mengingatkannya pada sang istri. Rasanya ia begitu lelah untuk menjalani hidup, bertahun ia bertahan tanpa Hinata di sisinya hanya karena tak ingin Boruto hidup sebatang kara.

Boruto memandang sendu wajah lesu sang ayah. "Kau sangat ingin bersamanya... Kenapa tak bunuh diri saja sejak awal...." Terdengar jahat memang, tapi melihat bagaimana derita yang sang ayah pendam selama hidupnya dengan menanggung rindu, membuatnya spontan berbicara asal.

"Aku takut dosa." Naruto terkekeh pelan. "Jika aku mati bunuh diri aku akan berenkarnasi menjadi hewan dan aku tak akan bisa menikah dengan ibumu di kehidupan mendatang."

Boruto terkekeh pelan mendengar jawaban sang ayah.

"Lagi pula...." Naruto kembali buka suara. "Aku sudah merasakan bagaimana hidup sebagai yatim piatu... Aku tak ingin kau merasakannya..... Tugasku adalah mendampingi dan melihatmu menjadi dewasa..."

Boruto diam tertegun, tangannya refleks mengelus pelan bahu sang ayah. "Sejak kecil aku selalu menurutimu...." Ucap Boruto lirih. "Bahkan ketika kau meninggalkanku sendiri di Shinto Ryu. Setelah menikahkanku dengan Sumire, aku boleh meminta sesuatu lagi padamu...."

Dahi Naruto berkerut. "Apapun.... Pinta lah sebanyak apapun pada ayahmu ini, nak..."

"Usai menghalau pemberontakan di Kyoto, aku mohon izinkan aku menjemputmu dari sini. Kau aku, dan Sumire kita harus hidup bersama di Tokyo....."

Naruto tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong..." Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kau sudah menikah, dan memiliki keluarga baru sekarang.... Bagaimana bila kau membunuhku...."

"Baka oyaji!!! Kau juga sudah menjadi gila sekarang, ya!!!" Boruto bangkit dari duduknya. "Pergilah tidur, kau bicara sembarangan karena jarang tidur...." Ia berbalik menuju pintu.

"Nak, kau mau kemana....??? Hahahha...." Naruto berteriak memanggil sang anak, tapi Boruto terus melenggang ke kamarnya untuk menemui pengantinnya. "Hei, kau bersemangat sekali ingin menggarap kebunmu.... Ya... Hahahhhaha...."

...

"Apa kau marah padaku....?" Suara Naruto terdengar begitu lirih, tangannya dengan lembut mengelus guci berisi abu sang istri. "Rasanya sudah lama sekali tak melihatmu di dalam mimpiku..." Ia meraih guci itu dan memeluknya erat, seolah guci itu adalah tubuh mungil Hinata yang amat ia sukai untuk dipeluk.

"Hime....." Ia menyandarkan dagunya pada guci itu lalu kembali bermonolog, seolah sang Lotus ungu berada di dekatnya. "Aku rasa, sudah terlalu lama aku hidup.... Kau tahu rasanya hidup bertahun-tanpa dirimu....???? Itu sangat menyakitkan... Apa aku boleh mengakhiri hukumanku sekarang... Apa aku sudah boleh bersama denganmu....?"

Srakkk

"Bicara dengan abu lagi. Kegilaanmu tak pernah sembuh." Suara celetuk Sasuke terdengar usai pintu geser ruangan altar itu terbuka.

Naruto tersenyum tipis menyadari keberadaan Sasuke disana. "Ketika rinduku telah terobati, maka kegilaan itu akan hilang." Jawabnya tanpa melepaskan pelukannya pada guci itu, sejak kembali ke Kawaguchiko usai pengembaraannya, Naruto tak pernah lagi tidur di kamarnya. Ia lebih memilih menghabiskan malamnya untuk berdoa di altar Hinata, lalu memeluk erat guci abu itu hingga kantuk melanda.

"Kau yakin tidak mau ikut kami ke Kyoto." Sasuke masuk, dan menutup pintu ruangan itu.

Naruto menggeleng pelan. "Kau tahu jawabannya, aku tak akan pernah menginjakkan kakiku di kota itu."

Sasuke tersenyum tipis, ia dan Sakura memutuskan untuk ikut andil dalam pertempuran menghalau pemberontakan, namun satu hal yang memberatkannya, meninggalkan Naruto sendirian di rumah ini. Beberapa hari yang lalu saat ia pergi ke Tokyo untuk menikahkan Sarada dan Ishihara, pikirannya tak lepas dari rasa cemas pada sang sahabat yang harus tinggal sendirian di rumah di usianya yang tak muda lagi.

"Kau mengkhawatirkanku..." Goda Naruto usil, ia tahu Sasuke sahabatnya itu selalu mengkhawatirkan keadaannya, tapi selalu saja tetuah Uchiha itu bersikap seolah tak peduli padanya.

"Mejijikkan..." Tampik Sasuke sembari tersenyum miring.

"Sebelum kau dan Sakura datang kesini aku terbiasa sendiri disini." Naruto mencoba mengurangi ke khawatiran Sasuke.

"Kau sudah tua sekarang, Dobe." Ucapnya kesal seraya membuang muka.

"Kesepian adalah teman terbaikku setelah kepergian Hinata, Teme...."

Sasuke mendecih pelan mendengar ucapan puitis Sasuke.

"Teme."

Sasuke kembali menoleh ketika nama panggilan kesayangan disuarakan sang sahabat. "Bagaimana cara seekor kitsune bunuh diri."

"Kau tidak akan bisa menikahi Hinata di kehidupan lain jika kau bunuh diri. Tapi jika kau benar-benar bernyali, telan saja semua Hoshi no Tama yang kau miliki, tubuhmu akan berubah menjadi rubah raksasa, energi panas dari Hoshi no Tama bukan hanya akan membakar tubuhmu sendiri, tapi semua yang ada di sekitarmu...." Sasuke beranjak dari duduknya menuju pintu.

"Teme."

Ia mengurungkan niatnya ketika panggilan kesayangan sang sahabat menggema. Menoleh sekilas, ia melihat Naruto tersenyum kepadanya, senyuman yang membuat perasaannya menjadi tak nyaman.

"Ketika kau berada di Tokyo nanti, tolong kau awasi Boruto dan Sumire, dattebayo...."

Senyuman lima jari itu... Entah mengapa aku merasa tak akan pernah melihatnya lagi....

...

"Kau yakin tak mau ikut ke Kyoto?" Boruto mengecup pucuk kepala sang istri, baru satu hari usai pernikahan mereka, tapi Boruto harus meninggalkan sang istri.

Sumire menggeleng pelan. "Aku akan menjaga Otou-chan disini...."

Boruto menghela nafas pelan, memandang sang ayah yang berdiri di samping sang istri di gerbang desa. "Kau hanya akan menemaninya, dia lah yang akan menjagamu..." Boruto mencubit gemas hidung sang istri, ia tahu sebesar apa kekuatan sang ayah walau di usia senjanya. Bukan Sumire yang akan menjaga Naruto, tapi justru sebaliknya.

"Tahan sebentar hasratmu...." Naruto terkekeh pelan saat melihat sang putera tak kunjung pergi, ia menepuk pelan bahu tegap pewarisnya itu. Lalu menunjuk pada pasukan berkuda di belakangnya. "Selesaikan tugasmu sebagai seorang samurai lalu kembali dan buatkan aku cucu yang banyak."

Sumire yang mendengar godaan sang ayah mertua menunduk tersipu malu. Sementara Boruto menyeringai bangga. "Aku pergi Baka oyaji...." Ia meraih bahu sang ayah lalu memeluknya erat.

Entah perasaan aneh apa yang tiba-tiba menghinggapi batin Boruto, usai sang ayah menepuk bahunya ia enggan melepaskan pelukan itu. "Sebentar lagi Otou-chan....."

Naruto tersenyum tipis, ia mengeratkan pelukan pada sang putera. Sama halnya dengan Boruto, ia juga merasakan perasaan aneh di dalam benaknya. 'Mengapa aku merasa bahwa setelah ini aku tak akan pernah lagi memelukmu....'

"Boruto!"

Suara Nawaki yang memanggilnya membuat dengan berat hati Boruto melepaskan pelukan dengan sang ayah. Ia mengulurkan tangannya yang terkepal, sebuah kebiasaan mereka ketika akan berpisah atau bertemu, mereka akan saling mengadu tinju pelan.

"Kau selalu membuatku merasa bangga anakku... Terimakasih sudah memilihku menjadi ayahmu..."

"Otou-chan terimakasih sudah menerimaku menjadi puteramu...."

Boruto menoleh sekilas sebelum naik ke atas kudanya, menatap dalam pada wajah sang ayah seolah itu adalah terakhir kalinya ia menatap wajah satu-satunya orang tuanya itu.

"Boruto, kita harus pergi sekarang."

Boruto mengangguk menjawab teguran Ishihara, ia menunggang kudanya lalu kembali menoleh sekilas memandang wajah sang ayah. Tou-chan... Kau harus terus hidup untuk melihat cucumu....

...

Baik Sumire atau Naruto, ke duanya enggan beranjak dari gerbang desa hingga bayangan para rombongan menuju Kyoto itu menjauh, hingga sebuah suara gemuruh tanah memenuhi telinga mereka. Iris Sumire membulat lebar ketika ia menoleh ke asal suara.

Pasukan berkuda dengan jumlah jauh lebih besar dari pasukan yang menuju Kyoto melintas dari kejauhan, dari bendera yang mereka bawa, Sumire kenal betul bendera itu. Itu adalah bendera Kara.

"Ada apa, nak?" Tanya Naruto yang melihat raut ketakutan dari wajah sang menantu.

"Selamat, kau sudah memiliki ayah baru."

Belum sempat Sumire menjawab suara lain muncul dari belakang tubuhnya, ia menoleh dan ketakutan setengah mati. Suara yang begitu ia kenal, suara yang selama ini menghantuinya dengan balas Budi dan kobaran api dendam. Suara Ishiki.

"Jadi kau Ishiki."

Belum usai keterkejutan Sumire dengan kehadiran Ishiki, kini suara menantang Naruto menambah rasa cemasnya. Tangan Naruto menarik tangan Sumire dan membawa sang menantu berlindung di belakang tubuhnya.

"Setelah merampas semuanya dari Toneri, kini kau merampas Puteri kecilku...." Ishiki memasang wajah kecewa palsu. "Tapi itu bukan masalah, Puteri tak tahu terimakasih sepertimu memang seharusnya musnah. Kau kira aku sebodoh itu memberi informasi padamu khe.... Pasukanku dengan jumlah lebih besar sedang mengejar para samurai bodoh itu. Dan dalam sekali serangan, Kaisar, Jenderal, Saiteki bahkan bahkan Uchiha tua itu akan binasah...."

Ishiki belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika ia menyadari Naruto dan Sumire tak ada lagi di hadapannya. "Bakar desa ini!" Perintah Ishiki pada pasukannya.

...

Sumire membuka matanya, ia sempat melihat cahaya menyilaukan dari tubuh sang ayah mertua. Dan kini mereka telah masuk berada di dalam rumah sederhana itu.

"Kita harus menghalau Kara menyerang pasukan Samurai."

Sumire yang masih kebingungan bagaimana caranya ia dan Naruto bisa tiba-tiba masuk ke dalam rumah, melihat gerakan cepat Naruto meraih guci berisi abu Hinata, dan dua buah kantung, satu kantung berisi abu jenazah keluarganya dan satu lagi berisi Hoshi no Tama.

"Tou-chan baru saja berteleportasi tadi.....?" Tanya Sumire bingung. Ia sering mendengar Boruto menceritakan tentang ayahnya yang memiliki darah setengah siluman rubah, dan kekuatan istimewa.

"Kita tak punya banyak waktu untuk bicara..." Naruto menggapai tangan sang menantu dan menariknya keluar dari rumah, "kita harus tiba lebih dahulu pada pasukan samurai sebelum Kara menyerang mereka. Jumlah mereka lebih banyak. Boruto dan yang lainnya tak akan bisa mengalahkannya."

Naruto berhenti sejenak ketika tiba di pekarangan rumah, ia memejamkan matanya dan membetuk gerakan segel dari tangannya dan merapalkan mantra. Sumire kembali diam terpaku ketika sang ayah mertua merentangkan tangan, dalam sekejap desa Kawaguchiko diselimuti kabut. 'Tou-chan memasang segel untuk melindungi desa ini...'

...

Kokuo kuda hitam setia Naruto berpacu cepat menembus asap yang menyegel desa Kawaguchiko bersama dengan Sumire dan Naruto di punggungnya. Sementara itu iris Sumire memandang takjub dari kejauhan bagaimana api dari obor yang dilemparkan pasukan Kara untuk membakar desa Kawaguchiko padam akibat kabut segel yang dibuat oleh sang mertua.

...

"Tou-chan, kenapa kita tidak berteleportasi saja....?" Sumire terkejut ketika di setengah perjalanan Naruto menghentikan Kokuo, lalu turun dari kuda hitam itu, dan membiarkan Sumire di atas punggung kuda itu.

"Kau lihat itu?"

Ametys Sumire mengikuti arah telunjuk Naruto. Betapa terkejutnya ia saat melihat pasukan berkuda dalam jumlah besar hanya berjarak beberapa belas meter dari mereka.

"Pergilah bersama Kokuo, aku akan menghadang mereka....."

"Tou-chan, tapi kau...." Iris violet Sumire berkaca-kaca, walau baru beberapa hari ia mengenal Naruto, tapi pria itu sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri, berbeda jauh dengan Ishiki yang justru membesarkannya bertahun-tahun. "Boruto-kun akan membenciku jika terjadi hal buruk padamu...."

Naruto menggeleng lalu tersenyum tipis. "Boruto tahu apa yang akan membuatku bahagia...." Naruto menengadahkan kepalanya ke langit yang mulai memucat. "Salju pertama akan segera turun. Boruto tahu itu artinya. Pergilah..." Naruto mengerjapkan matanya sembari mengangguk, seolah semua akan baik-baik saja.

Sumire menggeleng cepat dengan linangan air mata di pipinya, membuat Naruto teringat akan kekeras kepalaan sang istri yang tak ingin meninggalkannya sendiri menghalau musuh saat mereka melarikan diri dari istana Kamakura.

"Baiklah jika kau tak percaya aku akan baik saja...." Naruto mengeluarkan semua Hoshi no Tama dari kantung penyimpanannya. "Ini adalah Hoshi no Tama.... Sumber kekuatan para Kitsune. Boruto sudah menceritakan padamu tentang siapa aku...., Bukan?"

Sumire mengangguk cepat.

"Aku akan menelan semua ini..." Naruto menunjukkan semua Hoshi no Tama di telapak tangannya tepat di hadapan wajah Sumire. "Kau tahu betapa kuatnya aku jika menelan semua ini...."

Sumire yang tak pernah mengerti apapun tentang kitsune tersenyum lega, ia mengangguk cepat. Ia menyerahkan guci berisi abu Hinata yang dipeluknya kepada Naruto, lalu menarik tali kekang kuda.

Naruto berjalan mendekat ke arah kepala Kokuo lalu mengelus kepala kuda itu. Ia tersenyum tipis ketika melihat lelehan air mata dari kuda itu. "Tugasmu sudah selesai setelah mengantar menantuku..." Bisiknya pelan pada kuda setianya.

Ia lalu mendongakkan kepalanya dan menatap sendu pada sang menantu yang duduk di atas kuda kesayangannya. "Sumire.... Terimakasih sudah mencintai putera ku...."

...

Bibir merah kecokelatan itu tersenyum lega saat melepas Sumire menyusul sang suami. Tak berselang waktu lama, ia menoleh ke arah datangnya musuh, Naruto menghela nafas berat sembari menatap ke arah guci abu yang di peluknya dengan satu tangan. Tangannya yang lain membuka kepalannya, lalu safir biru menatap pada benda serupa kelereng di hadapannya. Lima Hoshi no Tama di tangannya akan ia telan bersamaan, bercampur menjadi satu dengan kitsune bhi di dalam tubuhnya, yang siap membakar semua organnya.

Naruto menengadahkan kembali kepalanya ke langit. "Aku tak berniat bunuh diri Kami-sama... Hanya mengorbankan diriku untuk dinastiku, menjalankan sumpahku sebagai samurai....."

Tanpa pikir panjang ia menelan ke lima Hoshi no Tama itu. "Uhuk...." Naruto terbatuk kuat, dengan darah menyembur dari mulutnya, tubuhnya mulai terasa terbakar, bersamaan dengan sembilan ekor nya yang berkibar. Rasa sakit itu tak lagi berarti baginya, ia kembali memandang langit, lalu melebarkan gengganan tangannya, sebutir benda putih bagai kapas turun dari langit.

"Aku menepati janjiku, Hime... Aku akan datang saat salju pertama turun......" Bola biru itu mulai berubah menjadi merah, Naruto memejamkan rapat kelopak matanya, ia tersenyum menahan sakit sambil memeluk guci abu sang istri, tubuhnya mulai berubah menjadi wujud rubah raksasa dengan kobaran api besar, pasukan Kara kian mendekat.

...

"Boruto-kunnnnn!!!!!"

"Ada apa Boruto....?"

Ishihara ikut menghentikan laju kudanya ketika melihat Boruto berhenti. "Ada yang memanggilku...." Boruto menoleh, "Sumire!!!!" Benar saja iris birunya menangkap dari kejauhan surai ungu sang istri yang di ikat tinggi berkibar.

Kuda yang di tunggangi Sasuke berhenti ketika mendengar teriakan Sumire, diikuti oleh kuda Nawaki, Konohamaru dan pasukan yang lain.

Boruto, Sasuke, Sakura, Nawaki, Konohamaru, dan Hanabi turun dari kuda lalu berlari ke arah Sumire yang juga turun dari kuda.

"Apa yang terjadi....?" Tanya Boruto khawatir seraya menggenggam lengan Sumire. "Dimana Tou-chan...?"

"Ishiki menipuku, surat yang dia kirimkan padaku adalah jebakan...." Tangan Sumire mengelus lengan Boruto memberikan ketenangan pada sang suami. "Mereka membawa pasukan lebih banyak dan menyerang kalian dari belakang....."

"Dimana Baka Oyaji itu...???" Boruto merancau kesetanan ia berlari mencari sang ayah.

"Otou-chan menghalau musuh..." Jawab Sumire lirih.

Sasuke memejamkan matanya saat mendengar penuturan Sumire. Ia tahu hal itu yang akan dilakukan oleh Sahabat Dobe nya itu, mengorbankan semua yang ia miliki untuk kepentingan bersama, termasuk nyawanya.

Boruto berlari ke belakang untuk menaiki kudanya.

"Boruto-kun tunggu!!!" Suara Sumire menghalaunya, "Tou-chan akan baik-baik saja, dia menelan semua Hoshi no Tama...."

Tanpa Sasuke sadari, air mata merembes dari onix nya ketika mendengar teriakan Sumire. Sekarang ia tahu alasan mengapa ia merasa tak akan pernah melihat senyuman lima jari itu lagi. Dobe akhirnya hutang rindumu telah terbayarkan....

"Pukul mundur semua pasukan." Suara Sasuke bergema lantang di tengah Padang rumput bersamaan dengan usapan Sakura di lengannya, tabib muda itu tahu yang terjadi pada sahabat sang suami. "Tidak akan ada pertempuran lagi." Tambahnya dengan suara bergetar namun tegas. "Naruto telah menyelesaikannya untuk kita...."

Boruto mengikuti arah pandangan sahabat sang ayah. Kobaran api besar menyala dari kejauhan.

"Kobaran api itu adalah tubuh Naruto, dia membakar dirinya bersama para musuh.... Dia menipumu Sumire, agar kau menyusul kami.... Naruto lah telah menyelesaikan peperangan ini...." Tutup Sasuke seraya menarik nafas berat.

"Baka Oyaji!!!!!!" Teriakan Boruto menggema keras bersamaan dengan lututnya yang menabrak tanah, Sumire dengan segera memeluk tubuh sang suami, menjadikan bahunya tempat bersandar dari tangis kehilangan yang pecah. "Sekarang aku benar-benar menjadi yatim piatu......" Ucap Boruto lirih dengan tatapan kosongnya memadang kobaran api itu.

Di sisi lain Sasuke berlutut, ia mencoba bertelepati dengan Naruto untuk terakhir kalinya. Suara cempreng itu menggema di telinganya, mengukir senyum di bibirnya bersamaan dengan air mata dari onixnya yang tertutup rapat.

Menangislah Teme, kau akan merindukanku nanti.... Tapi setelah hari ini berjanjilah kau akan kembali bangkit, menjadi tiang penyangga untuk dinasti berikutnya. Ini adalah waktu yang tepat untuk kita berpisah, Teme.... Rantai dendam ini... Bukankah semua aku yang memulainya, jadi biarlah aku yang mengakhirinya.... Kau tak perlu takut aku akan sendirian lagi sekarang, tak lama lagi aku akan bersama Hime ku... Kau tentu tahu saat inilah yang telah lama aku tunggu....

...

Rasa sakit itu perlahan mulai menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang mulai menuai bersama api, membakar pada pemberontak bersamaa dengan dirinya. Mata merahnya perlahan menjadi biru sebelum tubuh rubah hancur sempurna, menangkap bayangan lembut dalam balutan shiromuku putih nan menawan. Sosok yang mengulurkan tangan padanya persis saat mereka pertama kali saling mengenal. Sosok Murashakiro no Hime nya yang begitu ia rindukan....

Jika di kehidupan ini kita tak di takdirkan untuk bersama, maka izinkan aku untuk membahagiakanmu di kehidupan lain..., Hime ku.....

おわり

Owari

Alhamdulillah akhirnya fic menahun ini mencapai endingnya.....

Rasanya lega sekali setelah sekian tahun akhirnya bisa menyelesaikan fanfic Naruhina bertema Historical pertama dan terakhir saya.....

Fox and Flower adalah sebuah fanfiksi yang tercipta karena kegemaran saya menonton drama Korea bersetting kerajaan.

Cukup miris melihat pairing canon seperti Naruhina tidak punya fanfic bersetting kerajaan. Sebenarnya Nana sudah pernah baca beberapa fic Naruhina bertema kekaisaran. Tapi selalu di tinggalkan begitu saja oleh penulisnya. Dan untuk itulah Nana mencoba mengerjakan Fox and Flower.

Kenapa memilih setting Heian dibanding jaman lain di Jepang? Jawabannya fiksi ini banyak di inspirasi dari dua drama korea bersetting kerajaan Silla dan Goryeo di Korea. Dan setelah mencari informasi lebih lanjut. Jepang sebagai Negara asal Naruto ternyata punya kerajaan dan peradaban yang sama seperti Silla dan Goryeo. Dengan kata lain Heian, adalah sebutan Jepang masa lalu yang berada satu era dengan Silla dan Goryeo.

Nana sengaja mengambil tema dendam dan siluman rubah untuk fic ini agar tidak terlalu jauh dari tema Naruto asli. Mengambil tema samurai juga biar gak terlalu jauh dari profesi Naruto canon sebagai Shinobi. Dan Hinata, Hime kita satu ini emang cocok memerankan wanita Jepang Kuno, dari fisik dan perilakunya.

Butuh waktu dan perjuangan lebih yang saya kerahkan untuk menyelesaikan story' ini. Beralawal dari diupload di Ffn dan menjadi peringkat 1 di pair naruhina, namun saya tarik lagi karena pergolakan besar di batin saya....

Memutuskan pindah ke wattpad di tengah-tengah cerita membuat saya terharu pada perjuangan teman-teman yang sengaja membuat akun wattpad demi untuk membaca cerita ini, bahkan ada yang sampai harus membeli handphone baru....

Beberapa kali ini ingin membiarkan begitu saja cerita ini tanpa ending, tapi saya kembali teringat pada prinsip saya, bahwa saya harus bertanggung jawab pada apa yang saya mulai...

Jadi sekali lagi Nana ucapkan terimakasih sudah mengikuti fic naruhina dengan chapter terbanyak ini. Setelah bertahun lamanya akhirnya Nana bisa menyelesaikan fic ini. Semoga teman-teman puas dengan endingnya ya...

Terimakasih untuk teman-teman yang membantu dalam kelancaran fanfic ini, seperti Kaname-tan yang sudah membuat video music untuk fanfic ini yang saya pasang di multimedia chap awal. Lalu ilustrator yang membuat fan art di fic ini untuk menggambarkan suasana lebih terasa Musasiii dan Nabilla_hime lalu kakak tempat bertukar cerita... sirraagain serta editor setia saya lililala249

Dan teman-teman lain yang ga bisa saya sebutkan namanya.... Saya sangat menyayangi kalian dan semoga kalian bisa terhibur dengan tulisan saya ya.... Salam hangat dari Nana dan pada cast fox and flower ya.....

Akhir kata saya minta tolong testimoni kalian untuk fic ini ya untuk saya baca-baca ulang nanti. Karena komentar-komentar kalian sangat menyenangkan bagi saya. Percayalah komentar-komentar kalian selalu bisa membuat saya tersenyum sendiri....

Berikut testimoni yang Nana harapkan:
1. Part favorit kalian
2. Part paling Menyedihkan menurut kalian.
3. Part paling romantis menurut kalian
3. Kesan-kesan Kalian untuk fic ini...
4. Nana minta doa terbaik dari kalian ya... Karena kita gak pernah tahu doa mana yang dikabulkan Allah... Jadi semakin banyak yang doain semakin banyak kesempatan buat di ijabah.

Terimakasih banyak...

Salam sayang....

Eits....
Eits...

Tapi tunggu dulu sesuai janji Nana punya hadiah spesial untuk kalian....... Scroll terus ya....













































































































おまけ

Omake

"Bantai mereka!!!!"

"Hhhhhhhh...." Nafasnya memburu hebat, tubuhnya dipenuhi oleh keringat yang bercucuran bersamaan dengan kelopak mata putihnya yang terbuka.

Iris bagai mutiara dengan warna lavender itu bergerak memutari seisi ruangan. Ia menarik nafasnya lega, ketika kembali dari alam sadarnya.

Mendudukkan dirinya di atas ranjang ukuran queen size nya, gadis itu menyeka wajahnya sekilas.

"Mimpi itu lagi...." Ia berujar lirih seraya melihat kilau matahari di balik gordennya, sang Surya telah menyapa. "Naruto... Hinata... Zaman Heian... Pembantaian itu.... Mengapa mereka selalu datang dalam mimpiku...."

"Nana-chan...." Suara terdengar dari balik pintu apartement minimalis yang ia huni sejak satu bulan ini, membuatnya turun dari ranjangnya untuk menemui seseorang di balik pintu tersebut.

...

Namaku Mizuki Nana... Aku seorang Florist yang membuka sebuah toko bunga kecil di pusat kota Tokyo.... Tak ada yang khusus dalam hidupku... Kecuali mimpi yang sama yang selalu datang padaku di setiap malam sejak aku berusia tujuh belas tahun, dan terus berlangsung selama enam tahun, hingga sekarang....

Mimpi tentang kisah Cinta pria yang ku panggil Naruto-kun.... Seorang Jenderal dari masa seribu tahun yang lalu, dinasti Heian... Pria dengan surainya yang bagai kelopak matahari dan irisnya yang sebiru lautan namun begitu dalam dan menyimpan banyak misteri....

Bagai sebuah drama aku memerankan sosok yang begitu mirip dengan diriku.... Seorang wanita malang bernama Hyuuga Hinata....

Continue Reading

You'll Also Like

1M 57.6K 59
Siapakah yang akan Kau pilih Sasuke? Istri yang kau nikahi karena cinta? Atau Wanita yang melahirkan benihmu? Atau Wanita yang ingin di jodohkan de...
64.1K 5.6K 15
Gerbang besar desa sudah berada di depan matanya. Ia dengan ragu melangkahkan kakinya untuk masuk. Namun, ada hal yang jauh lebih penting mengenai ke...
369K 30.8K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
70.9K 11.1K 34
Calon istrinya menghilang, katanya melarikan diri. Tapi takdir menuntun wanita itu dengan mudah kembali padanya.