Tidak banyak yang mereka semua diskusikan. Hanya beberapa pembahasan kecil, waktupun berlalu dengan cepat. Sekarang sudah pukul 9 malam yang artinya mereka hanya belajar bersama 40 menit saja.
"Maaf, ya, guys." Netta berujar tidak enak, beberapa menit yang lalu Sonya menelepon dirinya dan menyuruh Netta untuk pulang sesegera mungkin.
Elisha hanya tersenyum menatap wajah tak enak Netta. "It's okay, selagi ada yang mengkhawatirkan lo, why not?"
Netta terkekeh canggung untuk menutupi senyum masam yang hendak timbul ini. Mengkhawatirkan ya? Cih, Sonya hanya mengkhawatirkan nilai dirinya. Heh, Netta tidak akan geeran.
"Lo tenang aja, gue bakal nyuruh anjing gue buat mengantarkan lo pulang," ucapnya. Netta mengangguk, tidak mungkin ia menolak saat sedang tidak memiliki transportasi lain.
Lagipula, jika Netta memesan ojek online, ia tidak yakin akan pulang tepat waktu. Mungkin saja, anak buah Elisha mempunyai kemampuan menyetir yang handal. Hal itu pasti meringankan waktu, bukan?
"Thanks, Elisha!" ujar Netta berterimakasih lalu berjalan mengikuti salah satu anak buah Elisha.
Elisha masih tersenyum lalu menumpukan wajahnya dengan telapak tangan kanannya. "Bagaimana kalau kita menikmati cemilan malam?"
Nia mendengar itu seketika menegang, gadis itu meneguk ludahnya. Makan cemilan di malam hari harus ia hindari jika tetap ingin memiliki berat badan yang ideal.
Entah pelayan Elisha yang gerak cepat banget, atau memang sudah dilatih untuk handal, tiba-tiba saja banyak pelayan wanita muda yang membawa banyak junk food.
Tadi katanya makan cemilan! Kok malah memakan makanan berkalori, sih!? Elisha kira Nia sanggup menolaknya!? Nia tidak ingin mati di kediaman orang.
Sean memutar bola matanya, "Kita diskusi atau dinner?" Sindiran halus itu mampu membuat Elisha terkekeh pelan. Pemuda itu terlalu frontal.
Gadis itu mengerdikan bahu dengan wajah mengejek, "Ketua kelompok lagi nggak ada, kita diskusi santai aja biar Buketu nggak ketinggalan," jelas gadis itu dengan wajah tenang dan anggun sekali.
Yazen hanya menatap semua anggotanya dengan raut datar, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca referensi yang dibawa oleh Netta sebelumnya.
Sedangkan Ana dan Nia memakan makanannya dengan pelan. Keringat dingin entah mengapa keluar dari pelipis Nia lain halnya dengan Ana yang tampak biasa-biasa saja menikmati makanannya.
"Udah habis aja makanan lo, Nia?" ucap Elisha tersenyum miring membuat Nia mengangguk kikuk. Ia langsung memakan semuanya dengan cepat karena ...
"Em ... gue boleh ke toilet?" tanya Nia menatap Elisha dengan senyum canggung. Elisha terkekeh, "Of course, keluar aja nanti ada yang mengantar lo."
Netta berdiri dari duduknya lalu keluar dan mendapati seorang pelayan yang menunduk, "Ada yang saya bantu, Nona?" tanyanya dengan raut datar.
Ya ... perlu diketahui, mereka ini sepertinya hanya memiliki wajah datar saja saat bekerja.
"Antar saya ke toilet."
Elisha menyunggingkan senyum lalu menatap ketiga orang yang duduk tenang di kursinya.
"Na, gue ada cerita, nih," ujar Elisha tiba-tiba. Ana yang masih mengunyah segera menoleh. "Cerita apa?" tanyanya kentara sekali kalau ia sedang bingung.
Elisha melemaskan otot-otot tubuhnya bersamaan dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat.
"Dulu, ada seorang putri cantik yang terkurung di sebuah kastil terkutuk. Suatu hari, seorang pangeran datang ..." Elisha menjeda kalimatnya lalu menyeringai.
Tidak ada yang mengetahui, kalau tangannya bergetar. Mungkin wajahnya terlihat santai dan tenang, tapi percayalah dadanya terasa sesak.
"... dan terluka. Pangeran itu berjanji akan melepaskan dirinya dari kastil namun pangeran itu tidak pernah datang sampai ... putri itu tewas karena kutukan."
Ya, memang begitu, kan? Gadis itu sudah tewas. Gadis yang terkurung karena keegoisan Elisha. Gadis itu telah mati, dan Elisha penyebabnya.
Tubuh Sean membeku, lalu ia menatap Elisha yang sedang menatapnya datar. Tatapan mereka beradu selama beberapa detik sampai suara tawa Elisha mengalihkan perhatian.
Gadis tertawa renyah lalu kembali menatap Ana, seakan-akan tatapannya kepada Sean tadi tidak ada apa-apanya.
"Harusnya waktu itu Putri itu tau kalau omongan pria hanya ada di mulut saja." Gadis itu tersenyum miris tapi wajahnya terlihat santai dan tenang.
"Dengan begitu, gadis itu tidak akan mati sia-sia karena menunggu seorang anak laki-laki saja," sambungnya.
Ana terdiam, entah hanya perasaannya saja, omongan Elisha terdengar begitu bermakna. Ia mengatakan itu seakan-akan dirinya yang mengalaminya.
Berpura-pura tidak mengerti apa-apa, Ana mengangguk, "Kasihan sekali Putri itu. Pangeran yang terluka itu melupakan dirinya saat sudah sembuh," ucapnya menatap Elisha dalam mencoba melihat reaksi gadis dihadapannya.
"Itu sebabnya jangan biarkan luka lo sembuh begitu saja," ujarnya masih dengan nada tenang. Sial! Ana tidak bisa melihat hal aneh dari wajahnya yang tenang itu.
Ana sudah terlanjur penasaran dengan apa yang terjadi pada Elisha. Tapi apa? Elisha terlalu tenang untuk dicurigai. Gadis itu tidak menampilkan banyak ekspresi bermakna.
Sean menatap Elisha lamat-lamat. Seakan-akan ada sesuatu yang menariknya untuk terus penasaran. "Tapi, ada baiknya melupakan luka, bukan? Lo nggak akan mengingat semua rasa sakit."
Elisha menatap pemuda itu lalu menaikkan alisnya, "Apa yang lo pikirkan?" sindirnya dengan senyum mengejek.
"Setiap korban harus di tanyai keterangan, bukan? Apa yang terjadi kalau korban melupakan luka dan bersikap biasa-biasa saja?" Elisha tersenyum miring sambil bersedekap dada.
"Bagaimana investigasi berjalan? Dan ... bagaimana kalau tidak ada saksi, tujuan mencari pelaku lebih penting, bukan?"
Sean mengatakan hal itu seakan-akan dirinya bukan salah satu orang yang berusaha mengingat masa lalu. Elisha tau, kalau pemuda itu amnesia.
Pemuda itu, Sean, terdiam karena tidak mampu berkata-kata lagi. Ia menatap Elisha lagi saat gadis itu mulai bersuara, "Luka akan meninggalkan bekas yang mengingatkan sang empu akan kejadian itu."
Elisha tersenyum kecut melihat perubahan ekspresi Sean. Pemuda itu membeku ditempat, seakan-akan dirinya menyinggung sesuatu.
"Gue ke toilet dulu," ucapnya lalu berlalu begitu saja.
Sean memejamkan matanya, kepalanya tiba-tiba pusing. Sedikit meringis ia memijit pelipisnya. Kalimat Elisha sebelumnya seakan-akan membangkitkan sesuatu dari dirinya.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Jemarinya gemetaran dan jantungnya berpacu cepat saat mengingat sesuatu, bahwa ia memiliki luka memanjang di punggungnya.
Tubuhnya lemas sekali, apalagi potongan-potongan kejadian di masa lalu tiba-tiba muncul dengan tidak berurutan membuat Sean semakin pusing.
"Tanda itu akan berbekas seumur hidupmu, kau akan mengingatnya selamanya dan selalu teringat dengan janjimu yaitu ... mengeluarkan ku dari sini."
***
Saat keluar dari ruangan belajar, Elisha memegang dadanya yang tiba-tiba sesak. Sesak karena ia harus mengatasi serangan panik yang tiba-tiba.
"Elena sudah mati, di sini hanya ada gue," gumamnya kecil.
Nafasnya memburu dengan keluarnya berbutir-butir keringat dingin. Mengatur pernapasannya sebentar lalu ia tersenyum miris.
Setelah merasa lebih tenang, gadis berambut panjang itu berjalan mendekati seorang pelayan yang sedang menyusun buah-buahan dengan indah.
"Di mana Nia saat ini?" Elisha menatap seorang pelayan muda. Pelayan itu menjawab, "Sedang di antar Nona Rina ke toilet kamar tamu bawah," ucapnya membuat Elisha mengangguk kecil.
Tanpa banyak kata lagi, ia berjalan ke sebuah kamar yang di maksud wanita muda tadi. Elisha tersenyum miring lalu berdiri didepan pintu toilet yang tertutup.
Huwek
Uhuk ... uhuk ...
Huwk
Elisha bersedekap dada lalu mengerutkan keningnya saat mendengar suara air dan samar-samar orang yang sedang muntah. "Sudah gue duga," ucap gadis itu lalu membalikkan badannya dan keluar dari kamar itu.
***
Netta sedari tadi terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya yang kembali sakit. Ia meringis kecil, entah mengapa selalu saja begini.
Tubuhnya tremor, ia takut kalau driinya sakit. Berbulan-bulan seperti ini tapi belum juga sembuh sanggup membuat Netta stress berkepanjangan.
"Terimakasih," ucapnya sambil tersenyum kecil saat mobil yang ditumpanginya berhenti didepan rumahnya.
Tanpa banyak kata-kata lagi, Netta memasuki rumah dan menatap seorang wanita yang duduk di sofa menunggu dirinya.
"Lama!" desis Sonya. Netta hanya tersenyum masam lalu mau tidak mau menatap mamanya. "Rumah teman aku jauh, Ma. Tadi aja nyasar dulu," ujarnya.
Sonya berdecih lalu menatap anaknya dengan pandangan remeh membuat Netta yang merasakan itu berdecak kecil.
"Mending nanti-nanti nggak usah kerja kelompok lagi! Kamu kerjakan aja tugasnya secara mandiri, nggak usah sama teman-teman," perintahnya mutlak.
Netta mengepalkan tangannya, ia menatap mamanya tidak suka. "Baik, aku nggak bakal mengerjakan tugas kelompok lagi," ujarnya membuat Sonya tersenyum lebar.
Netta yang menatap ekspresi mamanya hanya terkekeh sinis, "Asal mama yang ngerjain tugas aku. Kata mama kan mama pinter banget, rajin pula, jadi, mending mama melukis mural buat aku, terus bikin video dimana mama jadi aktrisnya, penulisnya, sutradara, dan semuanya mama kerjain sendiri." Netta berujar seperti itu.
Sonya mengepalkan tangannya lalu ia berteriak lantang tetapi tidak dihiraukan oleh Netta. Gadis itu tetap berjalan ke kamar tanpa mengindahkan ucapan-ucapan dari mamanya.
"Netta! Kamu kurang ajar!"
"Berani membantah saat ini, hah!?"
"Dasar anak tidak tau untung!"
"Mama cuma minta kamu belajar, nggak lebih! Cuma itu, masa nggak bisa!"