Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Aku hanya seorang anak yang terkucilkan dan terbuang, mencuri roti di pasar untuk menyambung hidup, menanti kereta yang membawa ayahku yang menunggu hukuman matinya....
Kau datang, menawarkan air, membasahi tenggorokanku yang bagai menelan duri...
Aku seorang anak terkucilkan yang bermain seruling di ayunan di depan gerbang istana...
Kesepian, hanya berteman dendam...
Kau datang mengulurkan pertemanan, membuatmu merasa berharga....
Membuatku merasa berarti....
Namun apa yang kuberi...
Hanya karena kau terlahir sebagai seorang Hyuuga aku merampas kebahagiaanmu, mempermainkan perasaanmu....
Kau memaafkanku, membangun keluarga bersamaku walau nyawa kau pertaruhkan untuk melahirkan penerus ku....
Namun apa yang kuberi...
Hanya karena kau terlahir sebagai seorang Hyuuga aku meragukan cinta tulusmu....
Kini kau tiba pada batas lelahmu...
Meninggalkanku kembali sendiri...
Berteman sepi...
Kau mengajarkan aku bagaimana mencintai....
Kau mengajarkan aku bagaimana hidup...
Tapi kau lupa mengajarkan ku satu hal...
Kau tidak pernah mengajariku cara melupakanmu...
...
Kepalanya berdenyut kuat, safir biru di balik kelopak mata kecokelatan itu bergerak gelisah, hingga sebuah tepukan di rahang tegasnya membuat matanya terbuka sempurna.
Langit-langit rumah sederhana itu menyambut pandangnya, kilau cahaya matahari pagi menyambutnya dari jendela besar.
Naruto mendudukkan dirinya di atas futton, memandang sekelilingnya, ia berada di rumah kelahirannya. Tersenyum kecut, ia menyadari kehadirannya di tempat ini. "Kau benar-benar pergi ya..." Ucapnya lirih.
Srakk
Pintu geser itu terbuka, dan seketika membuat safir biru itu membola.
"Hinata!" Ia terperanjat melihat sosok cantik dengan nagajuban putih yang berdiri di ambang pintu.
Senyuman lembut itu menyapanya, semua itu hanya mimpi, kepergiannya hanya mimpi. Naruto masih bisa melihat bunganya itu.
"Kau sudah bangun, Anata..." Suara lembut itu melantun di telinganya, membuat semua ini seolah nyata. Ia mengangguk cepat, bangkit dari pembaringannya menghampiri wanita tersayangnya.
"Hime...." Hangat, tak ada lagi tangan dingin ketika ia menggenggam tangan lembut itu. "Hime kau disini..." Sebuah tarikan halus ia lakukan, membawa tubuh ringkih yang terus mendapat siksaan itu ke dalam pelukannya.
Hati Naruto menghangat ketika elusan lembut di punggungnya terasa nyata, dan dagu lancip itu berpaut pada pundak kekarnya. "Aku tak akan kemanapun..." Tangan lembut Hinata menyentuh dada kiri Naruto. "Aku akan selalu disini selamanya..." Tambahnya seraya menepuk pelan dada Naruto.
Pelukan itu mengerat, Naruto tak akan lagi melepaskannya, ia tak akan membiarkan kembali Hinatanya pergi.
"Naruto-kun... Berjanjilah...."
"Apapun itu akan aku penuhi Hime..."
"Berjanjilah untuk tetap berbahagia... Berjanjilah untuk menjalani kehidupan dengan tenang, tanpa dendam..."
"Aku akan selalu bahagia bila kau berada di sampingku..."
"Perpisahan hanya terjadi pada mata, Naruto-kun... Bagi yang saling mencinta... Perpisahan itu tak akan pernah ada..."
"Kau tak boleh pergi... Tak boleh...." Naruto menggeleng kuat, menggesekkan hidungnya pada pucuk kepala yang menguarkan wangi bunga lotus.
"Akan ada saat dimana kau dan aku akan berjumpa kembali... Hatimu akan menuntunnya, kau hanya perlu mengikutinya...." Hinata mengelus lembut dada berlapis montsuki hitam itu.
"Kita akan berjumpa saat salju pertama kali turun...." Ucap mereka bersamaan, pelukan keduanya semakin erat, namun tubuh si wanita tiba-tiba seolah terurai di bawa terpaan angin, menjadi kelopak-kelopak lotus ungu yang dibawa terbang oleh angin.
...
Kelopak mata cokelatnya terbuka paksa, ia menatap langit-langit, masih berada di tempat yang sama, ia menoleh ke arah pintu. Namun tak mendapati apapun di sana, satu benda menjadi jawaban atas tanyanya, sebuah guci berukir nama Uzumaki Hinata. Guci penyimpan abu Lotus Ungunya. Hinata benar-benar pergi meninggalkan dirinya, ia beringsut, membawa guci itu ke dalam pelukannya.
"Beristirahatlah dengan tenang, sayang... Kau tak perlu lagi merasakan sakit karena aku... Kelak bila kita terlahir kembali hanya akan ada tawa yang ku ukir di wajahmu." Ia memeluk erat guci itu sambil mengecupnya lembut
Sebelum aku memilikimu aku tak tahu...
jika dunia yang ku tinggali begitu indah...
Dengan hembusan sebuah napas kecil kau menyentuhku.
Kau adalah sebuah cinta yang memanggilku tanpa rasa takut
Dalam sebuah kegelapan abadi....
Dalam penantian panjang itu....
Mencintai iblis sepertiku...
Kau turun seperti sinar matahari....
Sebelum aku melepasmu pergi aku tak tahu
jika dunia yang Ku tinggali begitu sunyi.
Bunga-bunga indah mekar dan layu di sini.
Musim yang adalah dirimu tak kan datang lagi.
Aku serakah...
Aku ingin hidup dan menjadi tua bersamamu...
Memegang tangan keriputmu
dan mengatakan betapa hangatnya hidupku....
Perjumpaan kita yang begitu singkat
Adalah satu anugerah untukku
...
"Rahim Hinata rusak... Aku baru mengetahuinya saat kalian pergi ke Kyoto untuk menjatuhkan Toneri. Hinata terus memintaku merahasiakan ini, bahkan sampai akhir hidupnya..."
Tatapan pandangannya kosong menatap bulir demi bulir salju dari jendela besar itu. Tangannya masih memeluk erat guci abu jenazah berlapis jubah bulu putih yang Hinata kenakan ketika menghembuskan nafas terakhirnya, hidungnya tak henti menghirup aroma wangi bung yang masih menguar di sana.
Penjelasan Sakura ketika ia baru memperoleh kesadarannya, terus terngiang di kepalanya. "Berapa banyak lagi deritamu yang tak ku ketahui Hime...? Bagaimana aku bisa membantumu bila kau tak pernah berkelu padaku, ah... Sudahlah... Kau memang tak pernah mau menjadi beban untukku, walau bagiku kau sama sekali bukan beban untukku.... Kau sedang apa disana, hmmm....? Apa kau juga merindukanku... Kau selalu merindukanku, bukan?" Ia memeluk erat guci berlapis jubah itu. "Kenapa kerinduan itu baru terasa sekarang, Hime....?" Naruto bersandar pada dinding tatapan kosongnya menghasilkan air mata yang mengalir deras. "Kenapa tak saat itu, aku merasakan serindu ini..." Ia menenggelamkan wajahnya pada jubah putih itu, tenggelam dalam kesedihannya, tanpa tahu dari balik pintu geser ada banyak mata yang memandangnya iba. "Hime... Aku rindu..."
"Hampir satu bulan... Tapi dia masih terus seperti itu...." Sakura menutup pintu geser itu perlahan.
"Dia seperti tak ingin melanjutkan hidup..." Balas Konohamaru.
Sasuke tersenyum mengerti. "Dia terlalu sering kehilangan, tapi rasa sakitnya kali ini jauh lebih parah."
"Semua keluarganya pergi karena pembantaian orang lain. Tapi Nee-sama ku, pergi karena keegoisan dia sendiri." Ucap Hanabi dingin.
"Posisi Kaisar sedang kosong, aku takut pemberontak akan memanfaatkan ini, bila Naruto terus seperti ini." Kakashi tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini, tapi pada kenyataannya posisi Naruto tak bisa ditinggalkan begitu saja.
"Kita pernah memaksanya naik takhta, aku takut kali ini ia akan benar-benar mundur." Konohamaru tertunduk lesu.
...
Srakkk
Naruto kembali membuang pandangnya ke arah jendela ketika pintu itu terbuka, masih tersisa secuil harap di benaknya bahwa sang istrilah yang akan datang menghampirinya.
"Makanlah Naruto." Sakura menghidangkan nampan berisi makanan di hadapannya. Namun ia hanya menatap ke jendela besar itu.
"Sampai kapan kau mau seperti ini?" Sakura hendak melangkah keluar kamar, namun niatnya untuk mengutarakan isi hatinya tak dapat dibendung.
Naruto menoleh, menatap ke arah Sakura.
"Kau pikir Hinata akan bahagia disana melihatmu seperti ini." Wanita musim semi itu tertawa kecil. "Kau masih memiliki Boruto, dia sudah kehilangan ibunya, haruskah ia merasakan menjadi yatim piatu walau masih memiliki seorang ayah..." Ia berlalu meninggalkan Naruto yang mencerna ucapannya.
Naruto tersentak. Ucapan Sakura menampar keras benaknya. Hinata yang begitu menyayangi Boruto, haruskah ia kembali melakukan kesalahan. Larut dalam kesedihannya dan membiarkan Boruto merasakan apa yang pernah ia rasakan semasa kecil.
Ia tersenyum tipis menatap bulir salju yang turun. "Aku tahu kau tak suka melihatku seperti ini, 'kan. Hime?"
...
Pagi itu kicau burung terdengar merdu di kaki gunung Fuji. Sakura membuka matanya, dan menatap ke sisi tempat tidurnya. Sasuke tertidur lelap di sampingnya.
"Apa kau lelah?" Pria raven itu terbangun dan membelai kepala merah mudanya. Ia tahu sejak kematian Hinata, istrinya itu bekerja keras di rumah ini, ia menyusui tiga bayi sekaligus. Belum lagi memantau kesehatan Naruto yang bagai orang ilang akal.
Beruntung Hanabi dan Tomoyo masih berada di rumah ini, mereka membantu Sakura merawat Boruto dan Hitoshi, sementara dirinya merawat Sarada yang diantarkan ke Kawaguchiko beberapa hari setelah kematian Hinata.
Sakura tersenyum lembut menanggapi pertanyaan sang suami. "Naruto yang paling lelah disini."
Sasuke menarik nafas berat, ia mendudukkan dirinya di atas futton. "Sebentar lagi musim semi..." Onixnya memandang buliran salju yang kian sedikit.
"Harusnya hari ini Hinata kembali ke istana...."
...
"Seharusnya hari ini adalah akhir hukumanmu, hmm..." Tangannya mengelus lembut guci abu jenazah itu. "Tapi nyatanya hari ini adalah hari pertama aku menjalani hukuman, kembali ke istana tanpamu."
...
Srakk
Pintu geser kamar Naruto terbuka, seisi penghuni rumah itu terperanjat ketika melihat sang tuan rumah keluar dengan pakaian rapi. Naruto langsung mendudukkan dirinya di futton di hadapan meja. "Bagaimana kalau hari ini kita kembali ke Kyoto."
Dahi Sasuke berkerut mendengar ucapan Naruto. Ia seolah tak percaya.
"Tak usah memaksakan diri." Kakashi angkat bicara.
Naruto menarik nafasnya pelan. Ia tersenyum tipis. "Aku harus menyelesaikan tugasku..."
Kakashi tersenyum tipis. "Kau bersedia kembali menjabat?"
"Untuk waktu yang singkat..." Jawabnya lirih. "Aku harus menyelesaikan apa yang telah aku mulai."
...
Gerbang istana Heian terbuka, kuda sang kaisar memimpin di depan. Tak ada ekspresi, Naruto hanya memandang lurus ke depan ketika ia turun dari kudanya. Istana Chodo-in langsung menjadi tujuannya, iris birunya menatap pada Shikamaru dan Sai yang berdiri di tangga istana, membungkuk sembilan puluh derajat memberinya salam.
"Keii o arawashimasu, Tenno-sama..." Ucap mereka berdua bersamaan.
Safir biru Naruto menatap lekat pada keduanya. Ingatannya kembali menerawang,
"Apa ada surat pribadi untukku?"
"Tidak ada Tenno-sama..."
Berulang kali ia bertanya pada Sai dan Shikamaru, namun jawaban nihil yang selalu ia dapat. "Masuk ke ruanganku, ada yang ingin aku bicarakan." Ucapnya dingin.
Kiba seorang Kasim yang bertugas menjaga rumah di Kawaguchiko, menyusul, menyerahkan sebuah guci pada Naruto. Melihat Naruto memeluk guci, Sai dan Shikamaru saling berpandang, mereka menoleh ke belakang, Sakura dan Tomoyo kembali bersama Hanabi turun bersamaan dari kereta sambil menggendong bayi. Namun seseorang tak dapat mereka temukan kehadirannya. Sang permaisuri.
"Hinata sudah tiada." Satu kalimat dingin yang keluar dari mulut Naruto berhasil membuat keduanya terperanjat.
...
Baik Sai ataupun Shikamaru telah siap menerima apapun hukuman yang akan dijatuhkan pada mereka, mengingat merekalah penghambat surat-surat Hinata sampai pada Naruto.
Sasuke yang tiba terakhir kali menceritakan kronologis kematian Hinata beberapa saat lalu sebelum mereka masuk ke ruangan ini. "Kami turut berduka cita, Tenno-sama..." Shikamaru membuka mulut lebih dahulu.
Naruto masih terfokus pada gulungan dan kuasnya. Ia tersenyum tipis tanpa menoleh, menahan amarah yang meronta di dalam dadanya.
"Naruto-kun Berjanjilah untuk tetap berbahagia... Berjanjilah untuk menjalani kehidupan dengan tenang, tanpa dendam..."
Kalimat Hinata yang datang dalam mimpinya tepat satu hari setelah kematiannya, kembali terngiang di telinganya.
Krakk
Bunyi patahan kuas akibat remasan tangan tannya, berhasil membuat si tenang Shikamaru mengusap tengkuk gusar, sementara Sai mencoba tersenyum canggung.
Naruto menahan nafasnya. "Permaisuri Heian sudah mangkat. Jangan paksa aku mencari permaisuri baru." Ucapnya tenang. "Tulis sebuah dekrit untuk membatalkan penetapanku sebagai Kaisar seumur hidup. Cabut status tahan luar untuk Uchiha Sasuke, dan copot gelar pangeran pada puteraku."
Dahi Shikamaru berkerut, kematian Hinata membawa dampak besar pada pemerintahan.
"Lanjutkan lagi pembagunan istana Hyuuga, dan jadikan tempat itu sebagai panti asuhan untuk anak-anak samurai korban perang."
Shikamaru mengangguk, otak cerdasnya mengingat tiap kata yang terlontar dari mulut sang kaisar.
"Sai kau kembali pada posisimu sebagai Saiteki. Sasuke telah kembali, semua tugas berjalan seperti biasa." Naruto bangkit, menuju kamar pribadinya di paviliun Daigokuden. Namun langkahnya terhenti. "Dan satu lagi, mulai malam ini aku akan tinggal di paviliun Daigokuden. Sasuke dan Sakura akan tinggal di paviliun Reikeiden."
...
Hari berlalu, berganti pekan, satu musim telah ia lalui tanpa belahan jiwanya. Tak ada satu hari pun yang Naruto lalui untuk bersantai, setiap pagi dia akan berdoa di kuil untuk Hinata-nya.
'Aku selalu ingat ketika kau berdoa di pagi hari....'
Naruto menangkup kedua tangannya, ia telah selesai merapalkan mantra, namun enggan membuka kedua kelopak matanya, ingatan tentang Hinata kembali menari indah dalam benaknya.
'Aku akan memelukmu dari belakang tepat setelah kau menyelesaikan doa.... Dan bertanya, 'sudah selesai?'
Hime... Kau ingat saat kematian Shion, kau selalu berdoa untuknya...
Kau bertanya mengapa aku tak berdoa...
Tidak... Aku tidak ingin meminta apapun pada Kami-sama.... Karena kau adalah jawaban dari doaku....
Tapi hari ini aku berdoa Hime... Aku berdoa agar Kami-sama mengampuni semua dosaku, dan Sudi menjadikanmu sebagai istriku lagi di kehidupan mendatang....
Hime... Kenangan tentangmu datang berulang kali... ....
Tapi kali ini aku harap kaulah yang datang...
Bila saat itu telah tiba, niatanmu untuk meninggalkanku, jangan pernah terpikir lagi olehmu....
Aku harap kau lah yang datang....
Tanyakan padaku bagaimana bila hidup tanpa hati....
Yin dan Yang yang saling melengkapi akan kehilangan keseimbangannya bila salah satunya lenyap....
Tanyakan padaku bagaimana bila hidup tanpa hati...
Siang yang begitu terang kurasakan amat menyilaukan, malam seakan menjadi begitu panjang untukku....
Tanyakan padaku bagaimana bila hidup tanpa hati...
Ketidak hadiran mu menyiksaku.... Ku harap ini adalah kehilangan terakhir yang aku rasakan ...
Kenangan-kenangan tentangmu terus datang....
Tapi yang ku harapkan adalah kedatanganmu....
つづく
Tsudzuku