Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
"HIMEEEEE!!!!"
Jantungnya berdetak lebih cepat, darah dalam tubuhnya berdesir lebih cepat, tubuh itu. Tubuh lemah yang sangat ingin dia peluk, hampir jatuh merosot dari rouka. Tampak Konohamaru bergerak lebih cepat, mengambil alih bayi kecil yang merupakan cetak salinan dirinya. Namun saat pria muda itu hendak menyentuh Lotus Ungunya, sang kaisar menyentak kasar, hingga Konohamaru bergeser.
Semua mata di rumah sederhana itu membola, seseorang yang tak mereka sangka datang, kini berdiri di hadapan mereka. Naruto mengangkat tubuh Hinata yang begitu dingin dan ringan, ia duduk di rouka dengan memangku tubuh rapuh itu.
"Hei...." Satu tangan ia pergunakan untuk menyangga punggung kesayangannya itu, agar tetap berada dalam peluknya, sementara tangan lainnya menepuk pelan pipi yang memucat dan dingin itu. "Aku datang, Hime...." Bisiknya pelan. "Bangun, lihat dan buka matamu, aku ada di hadapanmu..." Ia mengecup sepasang kelopak mata pucat itu, tak ada jawaban dari sana, bahkan deru nafas hangat pun tak berhembus, sang Kaisar tengah membohongi dirinya sendiri.
"Na...Naruto....," Sakura tergagap, berusaha mendekat. "Izinkan aku memeriksa Hinata..."
Kepala kuningnya tertoleh, kilatan amarah terpancar dari safir biru itu. "Sejak kapan Hinata Sakit....?" Tanyanya menusuk.
"Aku yang melarangnya untuk memberitahumu!" Sasuke maju menjadi tameng untuk sang istri. "Hinata melarang kami untuk memberi tahu semua orang. Sakura berniat memberi tahumu, tapi aku melarangnya untuk ikut campur." Belanya.
Naruto tersenyum kecut, ia kembali menatap wajah pucat dingin itu. "Kenapa kau selalu merahasiakan penderitaanmu padaku, hmm...?" Tangan sewarna madu itu mengusap pipi putih yang dingin itu, namun tak ada jawaban.
"Izinkan aku memeriksanya..." Sakura turun dari rouka, berlutut di hadapan Naruto dan meraih tangan Hinata, iris gioknya bergerak gelisah ketika denyut nadi tak ia rasakan dari pergelangan tangan itu. Tangannya beralih pada leher putih nan jenjang itu.
"Dia baik-baik saja bukan...?!" Tanya Naruto panik.
Sakura terdiam, tangannya menjauh dari tubuh Hinata. Air mata merembes dari giok hijaunya, "hiks..." Ia terisak sambil menutup mulutnya.
"Berhenti menangis! Katakan apa yang terjadi padanya?!" Cecar Naruto kasar.
Tak tahan sang istri dibentak Sasuke turun dari rouka, mengerti arti tangisan Sakura, Sasuke memeluk sang istri. "Hinata telah pergi meninggalkan kita...."
"Hinata-nee/Nee-sama!!!"
Isakan Sakura mengundang tangis Tomoyo dan Hanabi, mereka berpelukan seraya memekik tak percaya. Suara tangis pecah, membuat gendang telinga Naruto seakan pecah.
"Diam!!! Siapa menyuruh kalian menangis....!!!!" Naruto mengeratkan pelukannya pada tubuh dingin Hinata. "Hime, kau tak akan kemanapun, kau berjanji tak akan pergi, hmm..." Ia menggesekkan pipi tannya pada pipi putih dingin itu. Tak ada jawaban. "A...aku... Sudah datang... Kau menungguku, 'kan...?" Ia mulai meracau, menarik tangan Hinata dan mengalungkan di lehernya, "kau berkata ingin memelukku.... Peluk aku Hime..... Peluk aku semaumu....." Ia memeluk Hinata membuat seolah mereka saling memeluk. "Aku tak akan kemanapun..." Ia menggeleng tak terima, satu tangannya menepuk pelan pipi dingin itu. "Kau ingin kita tinggal disini, 'kan? Itu akan terjadi, kita akan tinggal disini, bersama Boruto.... Hime ku mohon bangunlah...." Ia menyatukan dahinya dengan dahi dingin Hinata, air matanya meleleh, menyatu dengan air mata Hinata yang telah membeku.
"Aku mohon bangunlah, kau boleh memarahiku, memukulku, atau bahkan membunuhku.... Tapi jangan diam seperti ini...." Dadanya menjadi sesak, rentetan kematian kedua orang tua, nenek kakek, dan paman bibinya kembali berputar sempurna di kepalanya. "Bangun Hime... Bangun, kumohon...." Hidung mereka bergesekan. "Salju pertama turun, kita selalu menatapnya bersama, bukan? bangun Hime.... Bangun.... Ku mohon...." Isakan itu sia-sia, Hinata tak akan pernah bisa mendengarnya, Naruto larut dalam penyesalan mendalam yang menggerogoti batinnya.
Kepedihan atas kepergianmu
Dan kepedihan atas ketidakhadiranmu
Lalu kepedihan dari cemoohan dunia
Apa yang harus kulakukan?
Aku datang mendekat
Namun tetap ada Jarak
Kisah cinta kita tetap tidak lengkap
Cinta kita tidak mencapai tujuan
Lihatlah seberapa jauh aku datang
Ada warna, ada cahaya,
Bila kau di sampingku
Diatas pasir.. terlihat sesuatu deperti namaku
Kau menulisnya lalu menghilang Meninggalkanku
Kisah kita belumlah lengkap
Buka matamu, ku mohon...
Kisah kita belum lengkap Hime...
...
Fajar menyingsing, sang mulai menampakkan sinarnya redup usai hujan salju, Kokok ayam mulai menggema di kaki Fuji Yama. Namun hawa dingin masih meliputi disana. Naruto masih memeluk erat tubuh tak bernyawa itu, menyandarkan kepala lemah mermahkotakan indigo itu pada dada bidangnya, ia mengecup pucuk kepala yang masih harum itu.
"Sudah puas bermain-mainnya, hm?" Jempol beruratnya mengusap lembut pipi dingin itu. "Ini sudah pagi, bangunlah Hime... Berhenti berpura-pura..." Ia mengecup pipi pucat itu, namun tak ada jawaban. "Bangunlah kau harus menyusui Boruto, sayang...."
"Naruto..." Sebuah tepukan singgah di bahunya, kepalanya menoleh, menatap si pemilik tangan. Menatap tak suka pada Kakashi yang ia anggap sebagai pengganggu. "Kita harus memandikan Hinata...."
"Dia tak perlu mandi..." Naruto menggeleng menolak, lalu menempelkan pipinya pada surai kelam Hinata. "Dia sedang sakit, hari begitu dingin, dia tak perlu mandi."
Kakashi menarik nafas dalam, menatap langit-langit menahan tangis. Tak ada siapapun yang sanggup membujuk Naruto, membuat dirinya harus turun tangan sebagai satu-satunya orang yang paling tua disini. "Naruto, kita harus segera mengkremasi Hinata."
"Sensei, tarik kata-katamu." Safir biru Naruto menatap nyalang.
"Naruto... Hinata sudah tiada.... Biarkan dia beristirahat dengan tenang...." Sakura berdiri di hadapan Naruto sambil terisak.
"Tutup mulutmu, Hinata tak akan kemanapun!"
"Belum puas kau menyiskanya, hm?" Suara Hanabi terdengar sakratis. "Bahkan setelah dia tiadapun kau tak memperlakukannya sebagaimana mestinya, kau tak mau melihat dia beristirahat dengan tenang?"
Ucapan tajam Hanabi bagai tamparan baginya, ia tersenyum kecut, sambil menatap wajah pucat sang istri. "Jadi kau benar-benar meninggalkanku, hm....? Kau jahat.... Begini caramu menghukumku..." Bisiknya lembut. "Berulang kali kau lolos dari maut... Ku mohon sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya...." Tangan Tan itu kembali menggenggam tangan putih yang mendingin itu, menyalurkan rasa hangat, namun sia-sia, raga itu tak lagi bernyawa.
"Tenno-sama..." Tomoyo berlutut di hadapan Naruto. "Aku tak pernah meminta apapun padamu.... Ku mohon izinkan Hinata-nee, istirahat dengan tenang..." Gadis itu menangkupkan tangannya di hadapan Naruto.
"Biar aku sendiri yang memandikan Hinata."
...
"Naruto, sudah saatnya kau mengkremasi Hinata...."
Tatapannya kosong, ucapan Kakashi tak mampu mengalihkan pandangannya dari wajah pucat Hinata yang memucat. Tubuh Hinata dibaringkan di atas tumpukan kayu, seluruh tubuhnya yang mengenakan nagajuban putih di tutupi sehelai kain, dan menyisakan wajahnya yang masih terbuka.
"Aku tak bisa..." Ucapnya lirih.
"Nee-sama sudah tidak memiliki ayah lagi, juga kakak laki-laki, puteranya bahkan belum bisa berjalan, disini hanya kau berhak mengkremasi Nee-sama..." Lagi-lagi ucapan Hanabi menusuk batinnya yang telah terluka.
Naruto tersenyum kecut, ia mendekat pada tubuh tak berdaya Hinata, mengecup lembut kening dan kelopak matanya. "Kau tunggulah aku...."
Tangannya menerima obor dari Kakashi, dari sudut tumpukan kayu ia mengalirkan api itu, perlahan api berkobar menutupi tumpukan kayu, dan menenggelamkan tubuh lotus ungunya. "Bukankah sudah ku katakan, bahwa maut sekalipun tak bisa merenggutmu tanpa seizin ku... Tunggu aku... Hime....." Ia berlari sekencang mungkin ketika api berkobar besar. Berusaha masuk ke dalam kobaran api itu untuk menyusul sang belahan jiwa.
Namun sia-sia. "Naruto!!!!" Sasuke yang mengetahui hal itu lebih dahulu berlari mendekat, menghalangi Naruto yang berniat terjun ke dalam kobaran api.
Tubuhnya meronta tidak terima, Sasuke kualahan memeluk tubuh Naruto dari belakang dibantu oleh Konohamaru, disusul oleh Kakashi yang langsung menotok tengkuknya. Perlahan safir birunya meredup, kobaran api itu kian besar, dan ia tak bisa menggapainya... Tangannya mencoba meraih, namun kesadarannya raib.
Air mata ada di hati ku.
Takdir kita yang belum selesai
Tapi harus berakhir di sini.
Bahkan kita telah hidup dalam air mata.
Seperti angin yang tersebar
Ku coba menemukannya.
Namun aku tak bisa menemukan caranya
Tujuan yang jauh.
Aku tak bisa meraihnya
Hati ku melepas mu pergi
Aku mengirim mu pergi seperti ini.
Seperti kelopak yang jatuh
Kasih ku yang malang
Kita harus berakhir seperti ini.
つづく
Tsudzuku