Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Apakah kau mendengar aku bicara sendiri tentang kesedihanku?
Ucapanku menyalahkanmu, Naruto-kun, nama yang menyakitikan saat kusebut
Terkadang saat kau tersenyum dalam pikiranku
Aku tak akan bisa memimilih perasaan untukmu
Jangan lupakan aku....
Tolong ingatlah aku...
Meskipun perpisahan hanya sekali namun mengapa kerinduan ada banyak sekali?
Sekalipun aku tak pernah melupakanmu, aku mencintaimu
Apakah kau tak merasakannya?
Maaf, aku meninggalkanmu mengingkari janji kita
Dalam nafasku masih tertinggal namamu
Jangan lupakan aku...
Tolong ingatlah aku....
Meskipun perpisahan hanya sekali namun mengapa kerinduan ada banyak sekali?
Sekalipun aku tak pernah melupakanmu, aku mencintaimu...
...
"Hinata-nee...."
Hinata buru-buru melipat surat yang baru saja ia tulis, menghapus lelehan air mata di pipi pualamnya, tak membiarkan siapapun melihat jejak-jejak kesedihan disana. Sudah hampir satu musim ia berada di desa ini, rindu kian menggerogoti batinnya, dan semua itu sampaikan hanya melalui surat untuk sang belahan jiwa yang tak pernah terbalas.
"Masuk..." Jawab Hinata lembut, ketika telah memastikan tak ada jejak air mata di pipinya.
Srakk
Pintu geser itu terbuka, Tomoyo berdiri di ambang pintu. "Ada surat untuk anda..." Ucapnya berat.
"Apa Naruto-kun membalas suratku...?" Ia berdiri begitu semangat, dan hal itu membuat batin Tomoyo semakin pilu.
Gadis berkepang dua itu menggeleng. "Dari Sakura-sama..."
Hinata tersenyum kecut, ia menerima surat itu, dan membacanya cepat. Senyum terukir dibibir Hinata ketika ada dua lembar surat, surat pertama dari Shinto Ryu yang dititipkan pada Sakura, dan surat kedua adalah dari Sakura sendiri.
"Kau bisa meninggalkan aku sendiri," ucap Hinata lirih.
Tak lama setelah kepergian Tomoyo, Hinata membuka surat dari Shinto Ryu. Rasa bahagia dan sedih menyelimutinya seketika ketika membaca surat dari Hanabi.
Teruntuk Nee-sama Tercinta...
Bagaimana kehidupanmu di istana...
Hinata tertawa getir saat membaca kalimat pembuka dari Hanabi, ia memang melarang siapapun untuk memberi kabar pada adiknya bahwa dirinya dikirim ke pengasingan. Termasuk surat yang dikirim untuknya pun diterima oleh Sakura di Dairi dan kirim melalui istana.
Aku punya kabar baik sekaligus kabar buruk untukmu...
Dahi Hinata berkerut membaca kalimat selanjutnya.
Beberapa bulan yang lalu aku dinyatakan hamil, dan tak lama setelah itu aku kehilangannya.
Senyum yang sempat terukir di bibir Hinata, berganti dengan lengkungan penuh kekecewaan.
Mungkin ini hukuman yang Kami-sama kirimkan untukku... Aku tak akan pernah bisa punya anak....
Aku yang pernah ingin menghabisimu dalam keadaan mengandung, kini harus menerima balasannya....
Tapi tak apa... Bukankah ada Boruto yang bisa menjadi anakku juga...
Nee-sama aku harap kau berbahagia disana... Para tetua busuk itu telah mendapat hukuman yang sepadan... Aku harap kau bersama Kaisar selalu diberkati oleh Kami-sama...
Air mata meleleh begitu deras dari mutiara lavendernya, ia memeluk erat surat itu. "Inikah hukuman yang harus aku bayar atas dosa telah menikahi orang yang membunuh ayahku ..."
Ia menatap langit-langit, membaca surat selanjutnya.
Hinata, ku harap kau baik-baik saja....
Puteramu sudah bisa duduk saat ini, dia tumbuh menjadi anak yang menggemaskan....
Senyuman bersamaan dengan lelehan air mata terukir di wajah cantiknya. "Boruto-kun, Kaa-chan sangat merindukanmu..." Hinata meraih pakaian Boruto yang ia bawa, memeluknya erat dan menghirup aroma bayinya yang menguar disana.
Surat-suratmu sudah aku titipkan pada Shikamaru untuk diletakkan di ruangan Naruto... Dia melakukannya, tapi sampai saat ini aku tak kunjung mendapatkan balasannya...
Maaf Hinata aku tak bisa berbuat banyak, Naruto benar-benar menjadi mengerikan setelah kepergian mu, ada Ishihara dan Sarada yang harus aku lindungi disini.... Ku harap kau mengerti....
Hinata tersenyum getir, "sebegitu bencinyakah dirimu padaku Naruto-kun... Hingga surat-suratku pun tak Sudi kau balas.... Aku merindukanmu...."
Jika aku menghilang seperti ini
Jika ku tidak akan mekar
Jika aku hanya melihatmu
Mungkin baiknya jika aku hidup tanpa mata
Tanpa melihat, aku melihatmu
Tanpa mendengarkan, aku mendengarmu
Napasmu melegakanku, seperti bunga angin
Aku ingin menghubungimu, tapi aku tidak bisa
Aku ingin memelukmu, tapi aku tidak bisa melakukannya
Ujung jari mu telah sampai di hati ku
Apakah Naruto-kun tahu setelah lama, malam yang panjang
Bahwa cinta kita tersenyum dalam air mata
Aku ingin menangkapmu, tapi aku tidak bisa
Aku ingin menghubungi mu, tapi aku tidak bisa
Aku dihidupkan kembali ke dalam hatimu, seperti bunga angin
Tanpa melihat, aku melihatmu
Tanpa mendengarkan, aku mendengarmu
Terguncang dalam angin
Terhempas ke dalam hatimu...
Naruto-kun aku merindukanmu...
...
"Tak ada surat pribadi untukku?" Tanya Naruto dingin saat Shikamaru meletakkan tumpukan gulungan di mejanya.
Perdana Menteri berkuncir nanas itu menggeleng pelan. Ia berdusta.
"Kirimkan mata-mata ke Kawaguchiko."
...
Kau bertanya padaku seberapa dalam aku mencintaimu?
Sebesar apa aku mencintaimu
Perasaanku ini sungguh-sungguh
Begitu juga dengan cintaku
Bulan mewakili hatiku
Kau bertanya padaku seberapa dalam aku mencintaimu
Seberapa besar aku mencintaimu
Perasaanku tak akan berpindah
Cintaku tak kan berubah
B
ulan mewakili hatiku
Sebuah kecupan lembut
Sudah menyentuh hatiku
Sebuah perasaan yang mendalam
Membuatku memikirkanmu hingga sekarang
Kau bertanya padaku seberapa dalam aku mencintaimu
Seberapa besar aku mencintaimu
Kau memikirkannya
Kau memperhatikannya
Bulan mewakili hatiku
Hinata melipat surat ke sekian yang ia tulis, ia akan menitipkannya pada Tomoyo besok untuk dikirimkan melalui Kasim. Walau puluhan surat telah ia tulis dan tak mendapatkan balasan dari sang suami, tetapi hal itu sama sekali tak membuatnya berhenti untuk mengirimkan kabar pada sang suami.
Ia beranjak dari meja rendahnya lalu meraih haori hitam yang tergantung di dinding, jubah Naruto yang ia bawa diam-diam untuk jadi pengobat rindunya. Udara akhir musim gugur begitu menusuk, tak hanya untuk melapisi nagajuban nya, dengan memakai jubah Naruto saat tidur, ia dapat merasakan aroma tubuh pria tercintanya itu, ia merasa seperti Naruto memeluknya ketika ia terlelap. "Oyasuminasai... Anata..."
...
"Hinata-nee, aku sudah menitipkan suratnya pada Shino-san yang bertugas mengirimkan surat dari balai desa."
Hinata tersenyum tipis seraya bangkit dari duduknya, ia baru saja selesai menyusui putera Neji. "Kau jaga Hitoshi, sebentar, aku ingin pergi ke sungai Kakita." Jawab Hinata tenang seraya mengenakan haori milik Naruto.
Tomoyo mengerutkan dahinya. "Hinata-nee, disana bebatuannya licin, apa lagi di musim gugur seperti ini... Pergilah bersama Kiba-san..."
...
Kaki berlapis geta itu menapaki bebatuan di tepian sungai yang menerima aliran dari mata air gunung Fuji itu. Hinata mengedarkan pandangannya, menyusuri sungai ini mengingatkan kenangannya ketika bersama Naruto saat hubungan mereka mulai membaik usai pembantaian.
Ia ingat kala itu, dirinya yang tengah hamil muda hampir terpeleset, namun dengan sigap Naruto memeluknya. "Berhati-hatilah, ada nyawa kecil yang kau tanggung sekarang...." Hinata tersenyum kecil ketika mengingat kembali kata-kata yang kala itu Naruto ucapkan padanya. Pria itu begitu memperhatikannya kala itu. "Seharusnya kau, aku dan Boruto, kita berada di sini... Menikmati kedamaian ini..."
Impianku yang menyedihkan
Aku hanya ingin mencintaimu semauku...
Andai aku bukan seorang Hyuuga dan kau bukan seorang Namikaze atau Uzumaki... Apa mungkin kita bisa saling mencintai tanpa ada bayang-bayang dendam di antara kita....
Lamunan Hinata membuatnya enggan berhati-hati, ia menginjak bagian licin bebatuan, hingga dirinya hampir terjungkal ke belakang. "Akkhhh..."
Untung dengan sigap, Kiba yang berjalan di belakang menangkap tubuhnya. "Berhati-hatilah, Kogo-sama..."
Hinata mengangguk, ia tak boleh dalam posisi seperti ini bersama seorang pria, berusaha kembali berdiri, namun... "Akhhh..." Perut bawahnya di hantam rasa sakit yang luar biasa, "uhukkk..." Ia terbatuk kencang, dan darah segar keluar dari sana disertai pandangannya mulai memburam.
"Kogo-sama...." Kiba dengan sigap menggendong sang permaisuri, tanpa mereka ketahui seorang mata-mata tengah mengintai mereka dari belakang.
...
"Sial!!!!"
Naruto melempar batu pada kolam itu, membuyarkan pantulan refleksi dari dalam sana, bukan hanya mengutus mata-mata, ia bahkan mengintai Hinata melalui Hoshi no Tama nya. Namun karena emosinya ia tak enggan melihat pantulan dari kolam itu sampai selesai.
"Aku baru saja akan menjemputmu, tampaknya kau sedang berbahagia dengan Kasim disana. Khe... Lanjutkan lah hukumanmu, Hime..."
...
"Ngghhh, Naruto-kun...."
Tomoyo menempelkan saputangan lembab untuk mengompres kening Hinata, sudah satu pekan Hinata tak sadarkan diri, dan ia terus menggumamkan nama Naruto, menandakan betapa besar kerinduan yang ia pendam untuk orang yang amat ia cintai.
"Hinata-nee...." Tomoyo menepuk pelan pipi gembul Hinata, nona-nya itu sudah satu pekan tak sadarkan diri, dan tak ada satupun tabib di desa ini yang bisa membuatnya siuman.
"Ngghhhh..." Hinata melenguh pelan, kelopak matanya bergerak gelisah dan tak lama terbuka. "Tomoyo...." Ucapnya lirih.
"Hontou ni Arigatou, Kami-sama...." Tomoyo menggenggam tangan Hinata, ia bersyukur Hinata masih diberikan kehidupan oleh sang pencipta.
"Berapa lama aku tidak sadar...?" Ucapnya lemah.
"Satu pekan Hinata-nee... Satu pekan...." Tomoyo menangis sendu.
Hinata tersenyum tipis, ia melihat ke arah jendela, buliran putih menyerupai kapas turun dari langit. "Wah salju pertama, ya...." Hinata mencoba duduk untuk melihat salju pertama. Ia menoleh, menatap dalam pada Tomoyo. "Apa ada surat untukku dari Kyoto?"
Tomoyo kembali menunduk, sejak tak sadarkan diri hanya nama Naruto yang Hinata sebut, ia selalu menanyakan balasan suratnya, namun hanya gelengan yang selalu Tomoyo jawab, seperti kali ini.
Hinata tersenyum tipis, ia kembali menatap salju pertama. "Tak apa aku akan selalu menunggunya, sampai kapanpun...." Ingatannya kembali melayang ke masa kecil yang ia lalui.
Salju pertama sekali menjadi saksi kisah cinta mereka, mereka selalu duduk di teras kuil Inari untuk menanti salju pertama, pun tahun lalu, ketika mereka terkurung di istana Kamakura akibat serangan Sasuke. "Ah... Salju pertama biasanya para rubah akan turun gunung....." Hinata mencoba berdiri, dan Tomoyo pun membantunya.
...
Hinata tersenyum tipis, benar saja ketika ia duduk di ruang depan seekor rubah putih duduk di rouka menanti manusia berbaik hati yang mau memberikannya makanan. "Tomoyo, tolong siapkan makanan..."
Tangan lembutnya mengangkat rubah kecil itu, membawanya masuk dan mendudukkannya di hadapan meja, seraya Tomoyo menyediakan makanan. Tomoyo undur diri ketika semua makanan telah tersaji, namun tak meninggalkan begitu saja dari pintu geser Tomoyo menitikan air mata ketika Hinata mengajak rubah itu berbicara
"Kitsune-chan... Apa kau tinggal di Fuji Yama...?" Hinata berbicara walau tahu bahwa si rubah tak akan menanggapinya. Rubah itu hanya terus mengunyah daging rebus di dalam mangkuk. "Kau pasti mengenal Naruto-kun... Ibu mu pasti menceritakan tentang kehebatannya....."
Tomoyo berlari ke dalam kamar, ia tak kuasa, ia meraih kertas dan kuas, ia mulai menulis surat tentang keadaan kesehatan Hinata yang semakin memburuk untuk dikirimkan pada Sakura.
...
Aku ingin bahagia untuk sekali
Tapi itu membuatmu menangis
Naruto-kun jika aku tak terlahir sebagai seorang Hyuuga apa aku bisa mencintaimu dengan bebas?
Jika dirimu bukan seorang Namikaze atau Uzumaki, akankah kau mencintaiku tanpa prasangka....
Ketika matahari terbenam
Kau akan menghilang
Sehingga aku akan menempatkanmu di mataku
Ketika kegelapan datang
Aku harus melupakanmu
Aku harus melepaskanmu seperti ini
Aku akan datang padamu
Saat nafasmu memanggilku kembali
Aku tidak akan pernah lupa
Memandangimu, hatiku berdebar
Naruto-kun kau pernah berjanji saat kita kabur dari istana untuk merayakan shogatsmu matsuri. Saat itu kau berlari lebih dahulu dan meninggalkanku di belakang...
Kau berjanji, bila kau meninggalkan aku lagi, kau akan menoleh, dan menjemputku dengan cepat, tak apa mungkin kau lupa...
Suatu hari, kita akan bertemu lagi
Itu akan menjadi hari yang paling bahagia
Aku akan datang padamu seperti salju pertama turun
Kita akan berpegangan tangan dan berbahagia...
Berjanjilah....
Ketika kita bertemu lagi suatu hari nanti
Jangan pernah katakan selamat tinggal.
Bibir pucat Hinata tersenyum tipis, ia lalu meletakkan kuasnya, memandang lembaran surat ke sekian yang ia tulis. "Apa ini akan menjadi surat terakhirku, Naruto-kun..."
...
"Hinata-nee!!!!" Tomoyo terperanjat bukan main, pagi ini ia baru kembali dari kediaman Shino untuk menitipkan surat, dan alangkah terkejutnya dia saat kembali dan mendapati Hinata terkapar tak sadarkan diri.
...
"Terimakasih..." Sakura menerima surat itu dari Shino dan membawanya masuk. Ada dua amplop cokelat disana, satu surat amplop yang ditempeli kelopak bunga lotus ungu, seperti biasa itu surat Hinata untuk Naruto, namun ada surat lain yang tak biasa. Ia buru-buru membuka surat itu.
Bola mata gioknya bergerak cepat membaca surat itu, ia tak buang waktu langsung berlari ke Chodo-in.
...
"Kau tidak bisa masuk!" Shikamaru berdiri di depan pintu aula Chodo-in ketika Sakura mencoba menerobos.
"Ini hal penting Shika..." Ucap Sakura terengah.
"Naruto sedang sibuk, kau bisa dibunuhnya." Ucap Shikamaru enteng.
"Tolong sampaikan surat ini pada Naruto," Sakura menyerahkan amplop dengan hiasan kelopak bunga lotus ungu itu. "Dan tolong sampaikan padanya, Hinata sakit keras...."
...
Shikamaru memasuki ruang kerja Naruto di paviliun Daigokuden, ia mendapati kepala Naruto yang tergeletak pada meja, dan meracau tidak jelas. Seperti biasa, Naruto mabuk.
"Naruto, ada surat untukmu..." Shikamaru meletakan satu surat.
"Hime.... Mana janjimu...."
Ia mengurungkan niatnya untuk meninggalkan Naruto, Kaisar itu meracau memanggil permaisurinya.
"Kau berkata tak akan meninggalkanku sekalipun aku mengusirmu...."
Alis Shikamaru berkerut, rasa iba muncul dalam benaknya. Setelah ayahnya meninggal Shikamaru nampak acuh pada Naruto, tapi kali ini entah kenapa ia justru merasa kasihan. Naruto terpisah jauh dari satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ia kembali, memindahkan semua surat dari Hinata yang sengaja ia tumpuk di bawah surat resmi, ke tumpukan paling atas.
...
"Apa yang ia katakan?" Sakura masih menanti Shikamaru di depan pintu, dan langsung memberikan pertanyaan padanya.
"Dia mabuk." Jawab Shika singkat.
Sakura berbalik, mengambil langkah seribu kembali ke Dairi.
...
Malam itu juga Sakura dengan menggendong Boruto di punggungnya memacu kuda kencang menuju Kawaguchiko. "Bersabarlah Boruto, kita akan bertemu dengan Kaa-chan...."
...
"Suatu saat jika aku tertinggal lagi, jangan sampai Naruto-kun melupakan lagi bahwa kau meninggalkanku..., menolehlah dan jemput aku dengan cepat seperti tadi... Jangan sampai Naruto-kun terlambat..."
"Hhhhhhh....." Naruto terengah hebat ia terbangun dari tidurnya, kalimat yang Hinata ucapkan ketika mereka merayakan festival Shogatsu Matsuri, merasuki alam mimpinya. "Sial." Ia mengumpat kesal seraya mengusap kasar wajahnya.
Srakkkk
Pintu geser itu terbuka, dan Sai berdiri disana. "Naruto, Sakura kabur dari istana dan membawa puteramu."
"Apa?!" Naruto berdiri naik pitam.
Brakkkk
Bersamaan dengan itu ia membalik meja di hadapannya meluapkan emosi.
"Hhhhhh.." ia terengah menahan emosi sembari berkacak pinggang, namun sesuatu mencuri atensi safir birunya, tumpukan surat beramplop cokelat yang ditempeli kelopak bunga lotus ungu. Ciri khas surat yang Hinata tulis.
つづく
Tsudzuku