Prince Of Sea [REVISI]

By Lalaterbang

264K 14.3K 643

Tentang kami, makhluk yang hidup di dasar laut. Dan tentang dia, seorang gadis manusia. [ R E V I S I ] Per... More

Prologue
CAST
Halaman 1 : Awal Sekolah
Halaman 2 : Bertemu Gadis Barbie
Halaman 3 : Setetes Kejujuran
Halaman 4 : Kehidupan Baru
Halaman 5 : Neptune
Halaman 7 : Siren Terkutuk
Halaman 8 : Hiduplah Bersamaku!
Halaman 9 : Okta
Halaman 18 : Terlalu Menyakitkan
Halaman 19 : Terlalu Menyakitkan (2)
Halaman 20 : Kekuatan Marcel
Halaman 21 : Belanja Bersama Marcel
Halaman 22 : Janjimu, Janjiku Untukmu
Halaman 23 : Latihan Basket
Halaman 24 : Serpihan Penyesalan
Halaman 25 : Sparing Basket
Halaman 26 : Me and My Imagination
Halaman 27 : Terulangnya Rasa Sakit
Halaman 28 : Aku Menangkapmu
Halaman 29 : Mengejutkan
Halaman 30 : Karma
Halaman 31 : Chiko's Birthday Party
Halaman 32 : Chiko's Brithday Party (2)
Halaman 33 : Dia Menyayangimu
Halaman 34 :Janji Untuk Selamat
Halaman 35 : Perjalananku
Halaman 36 : Sherina
Halaman 37 : Penolakan
Halaman 38 : Belajar Berjalan, Hm?
Halaman 39 : Inilah Alasanku Untuk Menjauhimu
Halaman 40 : He's a CEO?
Halaman 41 : My New Friend
Halaman 42 : Mr. Forn's Family
Halaman 43 : A Mr. Forn Mission
Halaman 44 : Pertemuan
Halaman 45 : Menemukan Dirimu
Halaman 46 : Bellanzi Reina Demelish
Halaman 47 : Hai Nona, Kita Bertemu Kembali
Q/A PART 2
Halaman 48 : Aku (tidak) Baik-Baik Saja
Halaman 49 : Kejutan
Halaman 50 : Kebahagiaan Dalam Duka
Halaman 51 : Aku Bahagia
Halaman 52 : Jangan Menangis
Halaman 53 : Melewatkan Kesempatan

Epilogue

3.2K 117 4
By Lalaterbang

Aku kecil tidak menyadari siapa yang tertidur dibawah tanah dekat pohon rindang. Siur-siur semerbak angin menghempas rambut coklatku, membelai setiap kulit tubuhku. Kini aku sedang berada di daratan, tempat manusia tinggal.

Aku kecil seorang gadis penurut, usia enam tahun. Selalu hobi memeluk tubuh Mama yang harum bunga teratai. Berbeda dengan Papa yang selalu menampakkan wajah serius tapi selalu tersenyum hangat untuk aku dan Mama.

Mama bilang, kita akan bertemu seseorang spesial, begitu pula Papa yang mengangguk setuju. Aku kecil begitu polos, dimana orang spesial itu? Mengapa kita hanya mendatangi gundukan tanah berumput didekat pohon rindang?

"Ayo, Calla, sapa Pamanmu." Mama berusaha tersenyum meski air mata terus membasahi pipinya. Saat itu aku hendak menangis, siapa yang telah menyakiti Mamaku!? 

Papa tersenyum. Ini senyum kedua setelah kami tiba disini. Dia menuntunku mendekat pada gundukan tanah berumput, berjongkok, menyabut  rumput liar yang tumbuh panjang. Aku memegang setangkai bunga lily, menaruh di atas gundukan tanah, menatapnya kosong.

"Hei, kamu siapa? Mama suruh aku sebut kamu Paman Tampan. Tapi Paman ada dimana? Paman sedang bermain petak umpet denganku? Aku jago sekali bermain petak umpet dengan Sierra, dia lumba-lumba yang pintar."

Mama terkekeh. Aku berhasil membuat Mama tersenyum kembali, aku senang, berbalik memeluk Mama.

"Kata Mama, Paman Tampan itu asyik, pandai bergurau. Kita bisa bermain bersama. Tidak seperti Papa yang selalu cemberut setiap saat. Paman tau? Bahkan pengawal selalu menunduk jika berhadapan dengan Papa."

Sekarang Papa menatapku kaget dengan ekspresi yang dibuat-buat, menyebalkan, tapi aku kecil tertawa melihatnya. Sebenarnya aku memuji Papa secara tidak langsung, dia pemimpin hebat. Kalau aku besar, aku ingin memiliki pasangan seperti Papa.

Papa dan Mama berbicara lagi dengan Paman Tampan, sesekali menyeka air mata, tersenyum getir, seolah-olah mereka kehilangan seorang yang sangat berharga. Aku yakin, orang yang dikubur di sana tengah bersedih, melihat tangis Papa dan Mama.

"Calla, sini Papa gendong. Kita pulang ya, kasian adik kamu dititip Kakek Coast." Papa mengangkat tubuh kecilku dengan mudah, diikuti Mama yang berjalan dibelakang.

Aku kecil menyadari bahwa ada seseorang yang bersandar dibawah pohon rindang, menangis, melambaikan tangan padaku. Aku menepuk pundak Papa, menunjuk kearah pohon rindang, berseru semangat.

"Papa! Ada orang di sana!"

Sontak Mama menoleh, menggelengkan kepala.
Papa yang menggendongku juga berbalik melihat pohon rindang itu tetap sama, sepi dan sejuk, tidak ada siapa-siapa di sana. Papa menepuk-nepuk punggungku, berkata bahwa itu hanya khayalanku saja.

Mereka benar tidak menyadari kalau seseorang yang bersandar dibawah pohon rindang sekarang terkekeh, menyeka sisa air mata di ujung matanya. Mengatakan 'Terima kasih untuk bunganya' sambil melambaikan tangan lagi.

Aku kecil hanya bisa tersenyum, membalas lambaian tangan orang itu ketika kami semakin menjauh dari pohon rindang. Papa dan Mama menggeleng, memaklumi apa yang baru saja aku perbuat.

Dan aku kecil tidak menyadari bahwa aku dapat melihat makhluk tak kasat mata.

✺✺✺

Kami tiba di rumah Kakek Coast. Papa membawa benda besar—Mama menyebutnya mobil—berwarna hitam mengkilat. Kakek menyambut kami dengan ramah, tersenyum lebar, menampakkan garis-garis kerutan diwajahnya.

"Kalian sudah sampai. Bagaimana perjalanannya?"

"Perjalanan kami baik, Ayah." Mama menggenggam tanganku, masuk ke dalam rumah bersama Kakek Coast. Sedangkan Papa sibuk memasukkan benda besar ke dalam garasi.

Sagara, adik laki-lakiku yang masih berusia empat tahun, memang selalu begitu. Dia hobi tidur, makan, tidak aneh untuk sebagian besar balita di seluruh dunia, tapi tidak mustahil bagi Sagara, pendiam, tidak pernah absen menonton berita bersama Papa, atau jarang menangis ketika Mama lupa untuk memberi ASI.

"Apakah Ayah sudah menjual rumah itu? Aku melihat sebuah mobil terparkir didalamnya." Mama memulai percakapan meski tangannya tidak lepas dari Sagara. Hei, dia Mamaku juga!

Coast mengangguk. "Itu memang sulit, Putriku. Kamu tau sendiri, didalam rumah itu banyak bangkai manusia, penuh darah. Siapa yang berani membersihkan rumah penuh potongan daging manusia? Butuh waktu yang lama sampai seorang pemuda menawarkan diri. Tentu Ayah memberinya sejumlah uang fantastis karena dia mampu membersihkan dengan kinclong!"

Vale merinding, membayangkan mayat-mayat tersebut. "Bagaimana dengan mayatnya? Dia juga sanggup untuk melakukan itu, aku tidak terlalu yakin."

"Justru karena itulah Ayah memberinya banyak uang. Jangankan mayat yang ada didalamnya, satu rumah bersih, tidak bau amis. Ketika datang padaku, dia sedang dalam keadaan mendesak, ibunya harus menjalankan operasi bulan itu."

"Hayoo, dimana para jagoan Papa?" Papa datang dengan tangan terbuka, menyambut pelukan hangat dari kami.

Aku berlari, berseru Papa dengan semangat. Sagara malah asyik dipangkuan Mama, dia menggeleng, sangat tidak suka pelukan Papa. Kalau Mama tidak menyuruhnya, mungkin Sagara memilih untuk tetap diam.

Papa tersenyum lagi. Ini senyuman ketiga. Menggendong kami berdua dengan amat mudahnya. Menghampiri Mama dan Kakek Coast di ruang tamu.

"Hei, para jagoan Papa. Perempuan itu milik Papa tau, jangan diambil. Papa tidak suka berbagi!" Bisik Papa pada kami berdua sambil menunjuk Mama dengan dagunya. Aku terkekeh, Sagara menggeleng tidak setuju.

Mama paling cantik kalau sedang tersenyum. Buktinya aku, Papa, dan Sagara tersipu malu setelah diberikan senyuman kecil Mama untuk kami.

"Ayah, aku ingin melihat rumah itu untuk terakhir kalinya, boleh? Di sana terdapat sisa foto keluargaku, satu-satunya yang aku punya."

"Ayah setuju. Bagaimana dengan anda, Yang Mulia Neptune?" Kakek Coast menunduk hormat menghadap Sea.

Sea menggeleng, sungkan. "Paman tidak, ah, maksudku Ayah tidak perlu memanggilku seperti itu. Kita berada di daratan, aku tidak punya jabatan apapun di sini, kita setara, Ayah. Lalu, Vale, apa kamu tidak merasa trauma jika kembali ke rumah itu?"

Vale menggeleng. "Tidak. Sekalian kita bertamu pada pemilik rumah baru, Pa."

"Oke. Besok kita akan pergi ke sana. Sagara ingin ikut?" Tanya Papa. Sagara menggeleng.

"Kalau Ayah, bagaimana?" Tanya Papa lagi. Coast menggeleng pelang.

"Ayah di rumah saja, jagain Sagara. Kalian bersenang-senanglah."

"Calla, mau ikut, Nak?" Gantian Mama bertanya. Aku mengangguk kencang, sangat setuju. Melirik Papa yang tengah menggelengkan kepala, mengode 'Jangan ikut, jangan ikut, di rumah saja'. Jangan harap bisa mengambil Mamaku, wahai Papa!

"Ayah," Ucap Sea tiba-tiba. Mengedipkan sebelah matanya pada Coast. "Ini malam jum'at."

Seakan tau apa yang Sea katakan, Coast tertawa lantang. Vale tersipu malu, suaminya ini sungguh.

"Astaga! Cucu-cucu Kakek yang cantik dan ganteng, mau ikut Kakek beli es krim? Disana ada perosotan dan mandi bolanya juga, seru lho."

Aku kecil mengangguk kencang disertai anggukan Sagara—tidak pernah menyia-nyiakan makanan, eh, maksudnya kesempatan. Padahal Papa sekuat tenaga menahan tawa dibalik telapak tangannya.

Aku dan Sagara dituntun Kakek menaiki benda besar. Tubuh kami semakin menjauh, aku melihat jelas Papa memeluk Mama hingga jatuh di sofa. Sontak aku kecil menjerit kaget, berniat menolong Mama, tapi tanganku digenggam Kakek Coast kuat-kuat, mencegahku untuk masuk ke dalam rumah.

"Tidak apa Calla, jangan khawatir. Kedua orang tuamu ingin berolahraga bersama." Bisik Kakek Coast, setengah terkekeh.

Aku kecil bingung, mengiyakan apa saja yang Kakek Coast katakan. Memang ada olahraga menjelang malam?

✺✺✺

Hari ketiga kami berada di daratan. Seperti biasa, aku bangun dan sarapan bersama Sagara dan Kakek Coast, kebetulan kami belum makan sejak enam hari yang lalu. Kakek Coast memang orang tua yang rajin. Pagi-pagi buta Kakek telah bangun sekedar olahraga pagi di halaman depan lalu membereskan rumah dan mengolah rumput laut.

Kami sekeluarga jarang sekali main ke daratan. Kadang sebulan satu kali, tiga bulan satu kali, enam bulan satu kali, atau satu tahun tidak sama sekali. Papa sangat sibuk sekali mengingat dia adalah pemimpin laut, untunglah ada waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Mama juga begitu, sibuk berkeliling lautan, mengecek setiap tanaman laut yang rusak akibat ulah manusia.

Aku kecil begitu mandiri, tidak melulu minta ditemani Papa dan Mama. Aku sadar, aku seorang Putri kerajaan, harus belajar giat agar kelak membantu seluruh Siren dilautan ini.

Sagara bersendawa kencang. Sudah empat mangkuk rumput laut habis dimakan olehnya. "Kak, Mama dimana?"

Aku menaikkan pundak. "Kakak tidak tau."

Sagara mengangguk lemah. Matanya sudah mengedip pelan, mengantuk, padahal masih terlalu pagi untuk tidur kembali.

"Kakek, Sagara ngantuk!"

Kakek Coast mengangguk. Melepaskan celemek ditubuhnya, menaruh piring bersih yang telah dicuci kedalam rak, menghampiri kami di meja makan.

"Hei, Nona kecil. Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?"

Aku mengangguk lemah, tidak semangat. "Kakek, Papa dan Mama ada dimana? Mereka bilang, kita akan pergi ke suatu tempat hari ini."

Meski sudah tua, Kakek Coast telaten membersihkan peralatan makan di atas meja, mengangkat tubuh Sagara dalam gendongnya, menepuk-nepuk tubuhnya yang setengah tidur.

"Mungkin tidak untuk pagi ini, Calla. Kakek tidak tau, boleh jadi nanti sore. Kamu tau, orang tuamu pasti kelelahan setelah olahraga bersama kemarin malam. Kakek antar adikmu ke kamar dulu ya. Kalau sudah selesai makan, taruh mangkuknya di tempat cuci piring, oke?"

Aku mengangguk lagi. Kakek Coast benar, mungkin semalam Mama dan Papa kelelahan. Aku kecil hanya mendengus pasrah, tidak tau apa yang harus aku lakukan di pagi ini.

"Hei, Calla." Seorang anak perempuan sebaya denganku datang. Namanya Clarissa, anak perempuan cantik berasal dari Belanda. Dia penunggu rumah ini.

Aku diam saja menatap mangkuk dihadapanku sambil memainkan sendoknya.

"Nee, kamu tidak boleh seperti ini, Calla. Dulu kita main bersama. Sekarang kamu seperti tidak melihatku!" Clarissa kesal. Mengerucutkan bibir mungilnya, lucu.

"Baiklah. Kita akan bermain, jika kamu memberitahuku apa yang kemarin Mama dan Papa lakukan." Ucapku mantap.

"Kamu benar ingin dengar? Ini sedikit aneh, Calla. Aku tidak yakin."

Aku menaikan pundak. "Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku."

Clarissa menggapai tanganku meski tangannya menembus ke kulitku. Dia tidak nyata, aku tahu. Sejak satu tahun yang lalu aku baru menyadari makhluk seperti mereka. Yang merayap di atas dinding atau melata seperti ular. Aku cukup bersikap tidak peduli saja.

"Ya, ya. Aku akan bilang, tapi kamu janji akan dengar ceritaku, ya?"

"Oke."

"Sebenarnya aku lihat Mama Papa kamu disini, tidak lihat sampai kamar mereka karena daerah itu bukan tempatku. Disini mereka saling menyatukan bibir dan mengeluarkan suara aneh. Mamamu ingin menjerit kesakitan, aku tidak yakin, karena setelah itu dia tersenyum senang."

Aku mengangguk. Yang pasti Papa tidak menyakiti Mama.

"Setelah itu aku tidak tau. Papamu bawa Mamamu ke kamar. Aku tidak tertarik melihatnya. Lebih baik aku disini menunggu Moeder datang." Ucapnya sembari duduk di kursi sebelahku.

Namanya Clarissa Rosc, usia enam tahun. Dia seorang makhluk tak kasat mata yang menunggu Moeder—ibunya yang tidak pernah kembali pulang. Di rumah ini dia terus berjalan bolak balik, menatap cemas, apakah ibuku baik-baik saja?

Pertemuan pertama kami tidak baik. Dia terus mengikutiku kemanapun aku berada di rumah ini. Makhluk seperti ini memang suka meminta tolong tapi berbeda dengan Clarissa yang ingin berteman denganku. Wajah yang dia tunjukkan padaku cantik, rambut blonde yang terkepang dua, membawa boneka perempuan. Namun wajah aslinya cukup, ugh, buruk. Kepalanya hancur, kedua tangan dan kakinya terbalik, jemarinya tidak ada.

Biar aku ceritakan sedikit mengenai Clarissa, temanku.

Tanggal 9 Maret 1942, tepatnya satu hari setelah serangan militer Jepang pada penjajah Belanda di Indonesia. Saat itu banyak pembunuhan warga Belanda yang masih menetap di Indonesia, Jepang tidak membiarkan seseorang tinggal di Indonesia kecuali orang pribumi. Mereka dibantai habis-habisan.

Marga Rosc memang keluarga terpandang di Belanda yang memilih tinggal di Indonesia. Mereka tidak tau menahu mengapa Jepang datang, semua kejadian ini mendadak. Meskipun Rosc kaya, mereka juga panik, berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri.

"Moeder? Kenapa Moeder cemas?" Tanya Clarissa, putri keluarga Rosc, usia enam tahun.

"Clarissa, kamu harus ikuti kata Moeder ya. Kamu harus bersembunyi disini. Jangan keluar! Jangan keluar..." Sang ibu menarik tangan anaknya kencang menuju lemari baju, menutupi hampir seluruh tubuh Clarissa dengan baju.

"Tapi—" Belum sempat Clarissa bertanya alasan, ibu terlebih dulu menutup lemari kuat-kuat dengan tangan gemetar. Peluh membasahi dahi wanita berkepala dua ini.

Clarissa menurut. Masih untung ada boneka di pelukannya, ia tidak terlalu takut. Tiba-tiba di luar terdengar suara tembakan, teriakan laki-laki keras, dan derap langkah banyak orang.

Dua hari berlalu. Clarissa sudah tidak kuat, hampir kehabisan oksigen. Ada seseorang yang menjarah kamar Clarissa di lantai dua, membuka lemari, menemukan anak perempuan pucat pasi. Dia mengangkat tubuh mungil Clarissa, menarik ujung bibirnya keatas.

"Moeder dimana? Kamu melihat Moederku?"

"Ya. Dia tunggu kamu dibawah." Prajurit Jepang ini seorang Komandan, tentu saja dia mengerti bahasa Indonesia meski kaku.

Walaupun tidak makan dan minum selama dua hari, Clarissa kembali bersemangat. Menganggukkan kepala, tanda senang. Dia mengikuti langkah orang asing di hadapannya.

"Kita harus turun." Ujar Komandan di tepi tangga.

Clarissa kecil begitu polos, mengikuti segala arahan orang Jepang itu tanpa menolak. Dia menuruni tangga yang cukup panjang. Belum dua anak tangga yang dia pijak, tubuhnya didorong dari samping, melayang dari lantai dua dan jatuh dilantai dasar. Hal terakhir yang ia tau, lantai dasar penuh mayat, darah, dan orang-orang yang persis seperti dia—Komandan yang sedang tersenyum menang.

"Calla!" Teriak Clarissa kencang membuat Calla sadar, mengedipkan matanya perlahan.

"Apa!?" Sunggut aku kesal.

"Aku sudah panggil kamu dua kali, kamu tidak dengar!"

"Iya. Sekarang kenapa?"

Clarissa mendekat padaku, berbisik. "Kakek itu lihat kamu dari tadi."

Kakek Coast berada di tempat cuci piring, menatapku heran lalu tersenyum ketika aku berbalik melihatnya. "Calla bicara dengan siapa?"

Aku menunjuk Clarissa. "Dia temanku, Clarissa."

"Teman?" Kakek Coast menyatukan alis. Dia menghampiriku, menatap hampa kursi yang diduduki Clarissa. "Kakek hanya ingin berpesan pada Calla. Jangan menuruti keinginan mereka ya, nanti kamu akan terjerat dengan mereka selamanya. Mengerti?"

Aku kecil paham betul apa yang dikatakan Kakek Coast. Besok-besok, aku bahkan tidak menyangka, pesan yang Kakek sampaikan menjadi kenyataan. Menjalin ikatan dengan mereka, selamanya.

✺✺✺

Pukul empat sore. Papa dan Mama telah bersiap membawa parcel di gengaman. Pamit pada Kakek Coast, pergi mengendarai benda besar yang mengkilat. Sebelumnya Papa dan Mama meminta maaf padaku karena terlambat bangun. Mereka menjanjikan dua batang cokelat jika aku memaafkan mereka. Aku setuju.

Hampir setengah jam benda besar melaju. Kami sampai di sebuah mansion besar bercat putih gading. Di sana terdapat benda besar lainnya dengan bentuk agak aneh berwarna abu-abu gelap. Bel berbunyi, seorang pria tampan datang menyambut kami dengan baik.

Kami dipersilahkan masuk. Nuansa hitam putih memenuhi seluruh ruangan. Rumah ini harum khas laki-laki. Papa dan Mama berbincang bersama pemilik rumah di ruang tamu. Mereka bercakap panjang, berkeliling rumah, melihat hal berbeda di rumah ini.

"Siapa gadis kecil ini? Boleh aku tau namanya?" Tanya pemilik rumah sembari tersenyum.

Mama melepas genggaman tangannya, menyuruhku untuk berkenalan. "Dia anak kami. Namanya Calla Lily."

"Boleh aku menggendongnya?" Tanya pemilik rumah lagi. Papa dan Mama mengangguk, menganggap pemilik rumah sangat ramah sekali.

Deg. Ketika pria itu mulai menggendongku, jantungku berdegup lebih cepat. Aku kecil tidak terlalu mengerti, hanya tau pemilik rumah ini sangat tampan dan baik hati.

"Boleh kami melihat kamar ini? Bagaimana dengan barang-barang yang ada didalamnya, apakah anda masih menyimpannya?" Tanya Mama.

Pemilik rumah tersenyum hangat. Aku kecil cukup tau, kalau senyum pria ini sangat menawan. "Kebetulan aku belum menyentuh ruangan ini. Aku banyak sekali pekerjaan sampai lupa untuk memeriksa setiap ruangan."

"Jadi kami boleh masuk ke dalam Azuel?" Papa bertanya. Sedikit berharap-harap cemas jika pemilik rumah bernama Azuel tidak mengijinkan.

Azuel tersenyum lalu mengangguk. "Silahkan, masuk. Aku akan menunggu diluar ruangan bersama Calla. Kamu ingin menemaniku?"

Papa dan Mama terkekeh. Aku lantas mengangguk kecil.

"Kalau begitu, Calla tunggu disini ya. Mama ingin ambil suatu barang." Mama dan Papa yang dibalik pintu salah satu ruangan.

Azuel menatapku lekat. Dia mengelus rambutku sambil memamerkan senyumnya yang indah. Pria berperawakan tinggi besar, berkulit putih, matanya tajam, dan berlengan kekar.

"Halo, ikan kecil. Akhirnya kita bertemu."

Deg. Ini kali kedua jantungku berdetak hebat. Ucapan pemilik rumah membuatku mematung, gemetar ketakutan. Aku tidak tau alasannya apa. Yang aku tau pasti aura pria ini kuat, sangat mengintimidasi. Dan satu hal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa tidak ada makhluk tak kasat mata satupun di rumah ini?

Aku kecil tidak menyadari bahwa aku telah melanggar pesan Kakek Coast. Dia menjeratku, sementara aku begitu dini untuk mengetahui semua kenyataan ini. Setelah pulang dari rumah itu, Mama dan Papa bahkan tidak mengetahui kalau anaknya tengah diamati hingga waktunya tiba.

✺✺✺

Hai semua! Ada yang rindu dengan Lala?

Sedikit informasi mengenai cerita ini. Jadi, banyak sekali komentar yang Lala baca tentang kelanjutan cerita, jawaban Lala "Tentu saja". Lala akan membuat sequel cerita ini berjudul 'MERMAN 2 : Demon's Mate'.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1441H.
Minal 'aidzin wal fai'dzin, mohon maaf lahir dan batin.

JANGAN LUPA VOTE & COMMENT 🤗
Sampai jumpa di Sequel Merman : Prince Of Sea!


Salam hangat

Lalaterbang

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 250K 32
"Seperti halnya sang Putri Tidur dalam cerita dongeng Anak-anak, yang harus mendapat ciuman magis dari sang Pangeran, cinta sejatinya, agar terbangun...
9.9M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
176K 2.7K 9
Dia adalah alpha dari Snow Moon Pack. Dia dituntut menjadi alpha di umurnya yang masih muda. Dia adalah alpha yang dingin, tegas, dan elegan. Ya, dia...
1.5M 113K 34
Ia melihat seekor serigala yang terluka, Menjadi putri dari dokter di gerombolannya memacu dirinya untuk menyelamatkan serigala itu, dan itu yang ia...