Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Tangan putih itu meremas erat telapak tangan yang bertumpu pada tangannya, emerald Sakura berusaha beradu pandang dengan onix hitam milik suaminya, namun gagal. Mata hitam gagak Sasuke beradu tajam dengan Aquamarine milik Inoichi. "Bukankah, kita akan mengembalikan kejayaan klan kita kembali, ne, Tsuma..."
Tatapan itu, tatapan penuh ambisi itu Sakura temukan dari onix hitam Sasuke yang beradu pandang pada emerald miliknya, lengkap dengan sunggingan senyum miring penuh makna. Alis Sakura menukik menanggapi ucapan sang suami, meminta sebuah penjelasan.
Kepala Sasuke yang tertoleh pada Sakura, kembali terarah pada Inoichi. "Kenapa wajah anda begitu ketakutan, Yamanaka-sama?" Sasuke tersenyum mengejek. "Bukankah hal ini yang ingin anda dengar, bangkitnya kembali klan pengkhianat?"
Sai, Ino, Shikamaru, Temari, bahkan Sakura terperanjat mendengar penuturan Sang Jenderal Samurai.
"Khe..." Sasuke mendengus tanpa dosa lalu tersenyum miring. "Kalian takut...?" Pandangannya mengedar pada seisi penghuni teras barat. "Jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda. Hahaha..."
Teras itu terasa hening, hanya suara tawa Sasuke yang memenuhinya. Mereka terdiam, bagaimana mungkin Sasuke mempermainkan hal yang begitu berpengaruh bagi dinasti ini. Jelas bahwa kepercayaan para tetua pada dirinya belumlah sempurna, dan lelucon itu hanya akan membuat rumor yang beredar di Kyoto semakin besar.
"Sasuke-kun hentikan, itu bukan bahan lelucon." Suara Sakura menghentikan tawa Sasuke.
"Ada apa, Tsuma? Apa kau tak percaya padaku?" Tanya Sasuke sembari menunjuk hidungnya sediri tanpa rasa bersalah. "Bukankah itu yang Anda dan para tetuah inginkan, Yamanaka-sama? Agar klan kalian menjadi penopang pemerintahan baru, kalian ingin tetap berada di belakang kekuasaan Kaisar sama seperti di masa pemerintahan Mendiang Kaisar Hashirama?" Sasuke bangkit dari zabuton yang ia duduki, langkah kakinya menuju pintu masuk ke dalam valiliun Kokiden, diikuti oleh sang istri.
Namun langkah Samurai terakhir Uchiha itu terhenti, ia mengarahkan pandangannya pada Inoichi yang sibuk dengan poci teh di tangannya. "Aku pernah merasakan kerasnya hidup di tahanan bawah tanah."
Ino dan Temari tersentak mendengar Sasuke kembali buka mulut, Bungsu Uchiha ini memang jarang buka mulut, namun sekali ia berbicara maka ucapannya akan setajam katana. Sementar Sai dan Shikamaru telah bersiap dengan kemungkinan adu mulut Inoichi dengan pria raven ini.
"Aku seorang Samurai, dan pernah merasakan menjadi tahanan, juga mantan pemberontak. Pasti menjadi hal sulit bagi kalian untuk mempercayaiku. Namun aku tak akan membuktikan apapun. Satu hal yang perlu anda ingat Yamanaka-sama, aku bukan lah anjing siapapun, termasuk anjing bagi klanku sendiri."
Brakkk
Gebrakkan meja itu menggema, setelah Sasuke dan Sakura pergi dari teras barat, Inoichi mengepal kuat tangannya. Amarah membuncah dalam darahnya, wajahnya memerah seolah pembuluh darahnya telah memenuhi isi kepalanya. Ia dipermalukan, di hadapan anak dan menantunya oleh seorang mantan pengkhianat.
...
"Tou-sama sudah keterlaluan." Ino bangkit dari posisi duduknya setelah kepergian Sakura dan Sasuke, wajah wanita yang telah berganti marga menjadi Shimura itu seperti telah dicoreng dengan kotoran ternak akibat perilaku mertua dan Ayahnya yang telah membuat kekacauan di istana.
Wanita bersurai kuning itu tanpa basa-basi, atau tata krama ninggrat yang selama ini ia pelajari berjalan dihadapan sang ayah dengan mengakat tinggi uchikake yang ia kenakan agar leluasa untuk berjalan. Melewati begitu saja sang ayah, disusul oleh sang suami, Ino meninggalkan ayahnya sendirian di teras barat istana Kokiden.
"CK mendokusai..." Decakkan kesal terdengar keras dari mulut Shikamaru, pria dengan surai hitam yang diikat seperti nanas itupun bangkit dari duduknya, seraya memberikan isyarat mata pada sang istri untuk mengikutinya berdiri. "Semakin tua kalian semakin menyusahkan saja." Umpatnya seraya berjalan menuju pintu keluar.
...
"Nee-sama belum sadar?" Naruto baru saja menapakkan kakinya keluar dari kamar mewah warisan sang paman, saat Hanabi telah berdiri di hadapannya.
"Kau boleh masuk, tapi jangan mengganggunya." Jawab Naruto sekenanya.
"Khe..." Hanabi mendengus remeh saat Naruto melaluinya. "Apa harga diri anda begitu berharga Tenno-sama hingga nyawa seseorang yang rela mengorbankan hidupnya demi anda menjadi tak berharga."
Naruto tak sedikitpun menoleh, namun ucapan Hanabi mampu membuat langkahnya terhenti. "Hinata membutuhkan istirahat yang cukup, tak perlu banyak orang di sisinya."
"Kau seolah paling tahu apa yang dibutuhkan oleh kakakku..." Hanabi bersilat silat lidah dengan sang kaisar. "Satu pekan tak berada disisinya, tak cukupkah hukuman baginya yang telah menjatuhkan harga dirimu."
"Hinata adalah seorang permaisuri, ia harus belajar bagaimana cara seorang permaisuri bersikap." Tak bergeming, Naruto seolah enggan membatalkan niatnya untuk kembali ke Chodoin dan bermalam disana. "Seperti dia yang memintaku menerima takhta ini, maka aku-pun akan mendidiknya agar pantas berada di posisi ini." Kaki tegap sang Kaisar terus berjalan, tanpa menoleh kebelakang. Kenangan, perjuangan yang mereka lalui bersama seolah sirnah bersamaan dengan ego yang kini bersarang di hatinya.
...
"Apa maksud dari ucapanmu di Kokiden tadi?"
Sasuke mengenakan montsuki-nya yang tersingkap di bagian punggungnya dan otomatis menghentikan kegiatan Sakura yang tengah menggosok punggungnya. "Apa aku terlihat seperti akan melakukan pemberontakkan?" Sasuke tersenyum tipis, tangan putihnya lalu terulur membelai pipi putih Sakura.
"Entahlah," jawab Sakura lesu seraya melepaskan telapak tangan sang Jenderal dari pipinya.
"Kau meragukan ku?"
"Kau sulit untuk ditebak Sasuke-kun..." Sakura menghela nafas lalu merapikan mangkuk matsu yang baru saja ia pergunakan untuk memijat punggung Sasuke. Ia lalu beranjak dan berjalan menuju pintu.
"Berhati-hatilah Sakura." Ucapan sang suami sontak berhasil membuat wanita musim semi itu menghentikan langkahnya. "Keluarga kita berada dalam pengawasan mereka." Dahi Sakura berkerut menanggapi ucapan ambigu sang suami.
"Suminasen, Hidenka-sama..." Suara seorang dayang mengurungkan niatnya untuk kembali menghampiri sang suami.
"Ada apa?" Sakura menjawab salam sang dayang yang berada di balik pintu.
"Kogo-sama sudah siuman, dan Tomoyo-sama berada di luar untuk menjemput anda."
...
Senyum kecut itu kembali tersungging dari bibir mungilnya, mutiara lavendernya menatap sekeliling kamar mewah dengan dominasi warna ungu muda. Ia seolah kembali ke masa lalu, satu tahun lalu, hari pembantaian klannya, dan ia terbangun di kamar mewah dengan nuansa yang sama, dan juga sendirian.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu megah itu memecah hening, bersamaan dengan buyarnya lamunan Hinata. "Masuk..." Permaisuri sementara itu menjawab lembut ketukan tersebut.
Gadis bersurai cokelat dengan warna bola mata serupa miliknya masuk diiringi beberapa dayang di belakangnya. Di tangannya Hanabi nampak membawa nampan bertumpukan mangkuk keramik, mungkin itu sup atau obat. "Anda sudah puas tertidur Kogo-sama..., Hanabi tersenyum lembut seraya meletakkan nampan itu di meja keramik di sisi ranjang.
Para dayang yang berada di belakang Hanabi meletakkan beberapa nampan dan peti kecil yang mereka bawa di atas meja yang lebih besar di sisi kamar dan sebagian lagi di lantai, mereka lalu keluar setelah menyelesaikan tugas mereka.
"Apa Boruto rewel?"
Hanabi tak menggubris ucapan Hinata, ia langsung duduk di tepian ranjang lalu memapah Hinata untuk duduk bersandar pada kepala ranjang. "Tidak..." Jawab Hanabi seraya meraih mangkuk lalu menyuapkan isinya ke mulut Hinata.
"Dia belum minum susu sejak tadi siang...." Hinata menepis pelan sendok keramik yang terarah ke mulutnya.
Hanabi menghela nafas dan setengah kesal, ia letakkan mangkuk keramik berisi rebusan ginseng itu kembali keatas meja. "Kau benar-benar ibu yang baik Onee-sama bahkan saat kau sadar hal yang pertama kau tanyakan adalah anakmu...."
"Kau akan tahu rasanya nanti..." Jawab Hinata pelan seraya menggamit telapak tangan sang adik.
"Sakura-nee membuatkannya susu sapi murni..." Jawab Hanabi pelan seraya kembali meraih mangkuk obat buatan Sakura.
"Dia masih terlalu kecil untuk meminum susu sapi..." Jawab Hinata sedih, kakinya sontak menapaki lantai tanpa alas.
"Berhenti disana Kogo-sama..." Suara Sakura mengurungkan niatnya. "Putera mu sudah tertidur pulas... Aku baru menidurkannya tadi..."
Hinata menghela nafas lega, lalu kembali menaikkan kakinya ke atas ranjang. "Hanabi, bisa kau bawa Boruto kemari..." Pinta Hinata dengan wajah memelas pada sang adik.
Hanabi mengangguk seraya beranjak dari ranjang, dan Sakura yang kini duduk di tepian ranjang menggantikan Hanabi.
...
"Kau pingsan." Jawab Sakura sekenanya seraya mencampur sesuatu di mangkok kecil.
"Aku tahu," Hinata menjawab lesu sambil meremas selimut yang menutupi pahanya.
"Dan Kaisar Baka itu yang menggendongmu ke sini." Jawab Sakura seraya melirikkan matanya pada Obi nagajuban yang dikenakan Hinata.
"Lalu dimana Naruto-kun sekarang...?" Jawab Hinata penuh semangat, sembari melepaskan ikatan pada baju tidur putihnya.
"Aku dengar dari dayang-dayang yang bergosip, dia kembali ke Chodo-in," Sakura menjawab seraya membalurkan salep racikannya pada bagian perut Hinata. "Bekas lukamu sudah mulai pudar. Kau tak perlu main kucing-kucingan dengan Naruto jika ingin berhubungan dengannya. Tapi terlalu berbahaya jika kau harus kembali mengandung. Kau harus tetap menelan pil pencegah kehamilan itu."
Hinata tersenyum kecut, rasanya ucapan yang Sakura yang menyatakan bekas luka akibat siksaan Akatsuki pada rahimnya sudah pudar baru saja menjadi pengobat atas kekecewaannya mendengar Naruto kembali ke Chodo-in. Tapi mendengar Sakura berkata bahwa ia masih harus menelan pil pencegah kehamilan, membuat batinnya kembali runtuh.
"Kau harus memberi tahu Naruto, Hinata. Cepat atau lambat ia harus tahu bahwa kau tak bisa memberinya keturunan kembali."
"Sakura..." Hinata tiba-tiba menggamit tangan Sakura seraya menatap wanita merah muda itu dengan memelas. "Aku ingin meminta bantuanmu dan Sasuke-san."
...
"Khe, kau nampak, begitu gelisah, Dobe."
Kepala kuning itu terangkat saat panggilan 'mesra' itu menggema di telinganya. "Kenapa kau berada disini? Pulanglah, monster merah jambu itu bisa mengamuk jika kau tak pulang malam ini." Tanggap Naruto sekenanya sambil kembali fokus pada dekrit pembangunan istana klan Hyuuga yang telah ia siapkan.
"Kau mencemaskan ya?" Sasuke seolah membaca isi pikiran sahabat kuningnya. "Dia sudah siuman, kau tak tahu itu."
Kepala Naruto terangkat kembali, dan senyuman lega tersungging di bibirnya tanpa ia sadari.
"Ke-dobe-an mu tampak sangat jelas jika kau tersenyum seperti itu." Ejek Sasuke seraya mendecih ringan.
Naruto menipiskan senyumannya, lalu menggulung dekrit itu. "Sakura berada di Dairi untuk memeriksanya." Sulit bagi batin Naruto untuk tidak tergelitik menanyakan keadaan wanita tercintanya.
"Kau tidak memata-matainya dengan Indra keenam mu?"
"Hoshi no Tama milik Nawaki tidak sekuat milikku, aku tak bisa menggunakannya semauku seperti kitsune-bi milikku."
"Kau mau ku bantu menanamkannya kembali ke tubuhmu?" Sasuke ikut duduk bersila di hadapan Naruto, ia menampakkan wajah yang begitu serius, atau mungkin rasa bersalah yang amat dalam. Mengingat Naruto terlepas dari Hoshi no Tama apinya akibat dari perbuatannya yang membawa Akatsuki masuk kedalam gerbang Kyoto.
Naruto tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Sedikit kekuatan dari Hoshi no Tama milik Nawaki sudah cukup untuk melindungi kami. Lagi pula, aku tak ingin terlalu memata-matai Hinata, saat berada di istana Kamakura, aku terlalu banyak mengekangnya."
"Pulanglah Naruto, Hinata sangat merindukanmu." Nasihat Sasuke dengan senyuman dinginnya.
...
"Duduklah." Pintu geser itu terbuka bersamaan dengan dua orang sepuh yang berdiri di ambang pintu.
"Kau yakin anak dan menantumu tak ada di rumah?" Orang tua dengan surai pirang yang mulai memudar itu duduk bersila, bersamaan dengan orang tua lain dengan rambut hitam yang mulai beruban. Keduanya duduk bersila di hadapan meja petak lebar yang disuguhi beraneka makanan dan minuman
Sang tuan rumah, pria dengan bekas luka tebasan katana di wajahnya itu tersenyum miring. "Shikamaru dan Temari, sedang berada di kediaman keluarga Sabaku, Gaara akan kembali ke Goryeo besok."
Dua pria sepuh itu tersenyum penuh kemenangan.
"Bagaimana dengan mata-mata yang kau kirim ke Tang, Danzo?" Tanya pria tua bersurai pirang pudar, Inoichi.
"Budak itu belum terlihat. Dia masih dalam keadaan hamil, mungkin masih bersembunyi sampai ia melahirkan. Apa rencanamu Shikaku dengan mencari budak jalang itu."
Pria sepuh dengan bekas luka di wajahnya itu tersenyum simpul, otak cerdasnya yang melebihi kecerdasan otak Shikamaru mulai bekerja. "Budak itu tak ikut kembali ke Kyoto. Sementara menurut Kakashi, ia ikut bersama Naruto dan Hinata saat perjalanan dimana Hinata diculik Akatsuki."
"Bisa saja dia mati bersama Neji." Sanggah Inoichi. Namun ditampik gelengan oleh Shikaku. Ia terlalu cerdas di usia senjanya.
"Pekerjaku yang membeli sutera di Tang melaporkan telah melihatnya di dermaga." Jawab Shikaku dengan penuh keyakinan.
"Budak itu terlibat dalam penculikan Hinata?" Tebak Inoichi dan dibenarkan dengan anggukkan Shikaku.
"Budak itu pernah bekerja untuk Toneri, di istana Naniwa. Bisa saja dia menjual tubuhnya pada Neji untuk menjadi mata-mata mereka agar bisa kembali ke Tang. Dan memberitahukan persembunyian Naruto dan Hinata pada Akatsuki."
"Sepertinya Naruto lupa akan satu dendamnya, bukankah dia sangat menyayangi Hyuuga kotor itu." Umpat Danzo seraya menenggak sake yang telah disediakan Shikaku.
"Tugas kita untuk membangkitkan kembali dendam itu." Inoichi meraih kacang rebus yang tersaji di piring. "Sambil menunggu budak itu ditemukan, kita bisa kembali mengingatkan memory Naruto tentang budak itu."
Anggukkan menjadi jawaban Shikaku, "dan dengan dendam itu pula akan membuat kebencian sang Lotus ungu kembali tumbuh pada pria tercintanya yang kembali menjadi iblis akibat dendam."
"Naruto dengan ego tingginya untuk membalas dendam, dan Hinata dengan bodohnya menjadi wanita sok suci, Hahahaha..." Danzo terbahak-terbahak saat berhasil membaca siasat Shikaku.
"Dan rencanamu untuk mengajukan Oboro sebagai permaisuri berjalan mulus." Tebak Inoichi sambil melirik pada Danzo.
Danzo tersenyum penuh kemenangan sembari mengangguk. "Shimura, Nara dan Yamanaka akan kembali menjadi klan disamping keluarga kaisar, tanpa ada gangguan Uchiha dan Hyuuga."
Dahi Shikaku berkerut nampak memikirkan sesuatu. "Kita harus menemukan cara untuk menyingkirkan para Uchiha itu."
"Kau benar Shikaku." Danzo meletakkan pocinya. "Kini giliran klan Shimura untuk memiliki Kamakura bakufu. Aku akan menjadikan Sai seorang Shogun."
"Besan kau sungguh cerdas...." Inoichi yang mulai mabuk memeluk Danzo.
Sementara Shikaku ia hanya tersenyum sambil menggeleng melihat kedua temannya yang mulai mabuk. Jika Danzo dan Inoichi menginginkan Kamakura Bakufu di bawah kepimpinan Sai, maka Shikaku berbeda, ia hanya menginginkan keponakannya Nara Oboro untuk menjadi permaisuri menggantikan Hinata untuk memperkuat posisi klan Nara. Ia telah berhasil meletakkan Shikamaru sebagai Perdana menteri, tangan kanan kaisar. Tinggal selangkah lagi, menempatkan satu orang Nara lagi ke sisi untuk memperkuat klannya di tanah Heian.
つづく
Tsudzuku
Hai hai sesuai janji Fox and flower update lagi....
Aku mau tanya nih kalian biasanya vote dulu terus storynya dibaca nanti, atau vote langsung baca sampai abis chapter? Comment di bawah ya