Fox And Flower

By nanaanayi

1M 90.9K 19.5K

Historical Naruhina Fanfiction (FOR 18 +) Hidup bersama dan mengabdi dengan orang yang membatai keluarganya a... More

001. Lamaran Membawa Petaka
002. Malam Pembantaian
003. Di Bawah Pohon Ginko
004. Kehancuran Uchiha
005. Saudara
006. Sangkar Emas -1-
007. Sangkar Emas -2-
008. Rubah Emas dan Lotus Ungu
009. Kelopak yang Tersayat
010. Penyatuan
011. Luluh
012. Keegoisan
013. Kebimbangan
014. Bertemu Kembali
015. Keputusan
016. Ancaman
017. Terungkapnya Rahasia
018. Legenda Rubah Emas -1-
019. Legenda Rubah Emas -2-
020. Legenda Rubah Emas -3-
021. Legenda Rubah Emas -4-
022. Legenda Rubah Emas -5-
023. Legenda Rubah Emas -6-
024. Legenda Rubah Emas -7-
025. Legenda Rubah Emas -8-
026. Legenda Rubah Emas -9-
027. Legenda Rubah Emas -10
028. Legenda Rubah Emas -11
029. Legenda Rubah Emas -12
030. Awal dari Semua Kehancuran -1-
031. Awal Dari Semua Kehancuran -2-
032. Awal Dari Semua Kehancuran -3-
033. Awal Dari Semua Kehancuran -4-
034. Terciptanya Dendam -1-
035. Terciptanya Dendam -2-
036. Jalan Pembalasan -1-
037. Jalan Pembalasan -2-
038. Dibawah Cahaya Rembulan
039. Air Mata Sang Jendral -1-
040. Air Mata Sang Jendral -2-
041. Dendam Sang Geisha -1-
042. Dendam Sang Geisha -2-
043. Pernikahan Agung -1-
044. Pernikahan Agung -2-
045. Kembang Api Yang Terbakar -1-
046. Kembang Api Yang Terbakar -2-
047. Pangeran Yang Terbuang -1-
048. Pangeran Yang Terbuang -2-
049. Kelopak Sakura Yang Layu -1-
050. Kelopak Sakura Yang Layu -2-
051. Kebahagiaan Kecil Menuju Bencana Besar -1-
052. Kebahagiaan Kecil Menuju Bencana Besar -2-
053. Mimpi Buruk Bagi Sang Jenderal -1-
054. Mimpi Buruk Bagi Sang Jenderal -2-
055. Kehancuran Itu Akan Terulang -1-
056. Kehancuran Itu Akan Terulang -2-
057. Malaikat Kecil Yang Malang -1-
058. Malaikat Kecil Yang Malang -2-
059. Cinta Yang Tak Pernah Terbalas -1-
060. Cinta Yang Tak Pernah Terbalas -2-
061. Rembulan Hitam Di Langit Kyoto -1-
062. Rembulan Hitam Dilangit Kyoto -2-
063. Pertarungan Pertama -1-
064. Pertarungan Pertama -2-
065. Menjelang Penyerangan -1-
066. Menjelang Penyerangan -2-
067. Tahta Atau Cinta -1-
068. Tahta Atau Cinta -2-
069. Menghitung Hari Menuju Perang -1-
070. Menghitung Hari Menuju Perang -2-
071. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -1-
072. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -2-
073. Penyerangan Pertama, Jebakan Naniwa -3-
074. Menembus Benteng Kyoto -1-
075. Menembus Benteng Kyoto -2-
076. Menembus Benteng Kyoto -3-
077. Kembalinya Kamakura Bakufu Ke Tangan Uchiha -1-
078. Kembalinya Kamakura Bakufu Ketangan Uchiha -2-
079. Jenderal Baru -1-
080. Jenderal Baru -2-
081. Racun Berwujud Kekuasaan -1-
082. Racun Berwujud Kekuasaan -2-
083. Salju Pertama Menjadi Saksi -1-
084. Salju Pertama Menjadi Saksi -2-
085. Salju Pertama Menjadi Saksi -3-
086. Serangan Dairi -1-
087. Serangan Dairi -2-
088. Serangan Dairi -3-
089. Jatuhnya Dairi -1-
090. Jatuhnya Dairi -2-
091. Binasanya Para Kitsune -1-
092. Binasanya Para Kitsune -2-
093. Cinta Abadi Siluman Rubah Dan Kaisar -1-
094. Cinta Abadi Siluman Rubah dan Kaisar -2-
095. Fitnah Keji -1-
096. Fitnah Keji -2-
097. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -1-
098. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -2-
099. Teman Hidup
100. Darah Sang Guru
101. Ikatan Hati -1-
102. Ikatan Hati -2-
103. Serigala Berbulu Domba -1-
104. Serigala Berbulu Domba-2-
105. Cinta Yang Kembali Dipersatukan -1-
106. Cinta Yang Kembali Dipersatukan -2-
107. Darah Lebih Kental Dari Air -1-
108. Darah Lebih Kental Dari Air -2-
109. Darah Lebih Kental Dari Air -3-
110. Kemalangan Hime -1-
111. Kemalangan Hime -2-
112. Bersatunya Samurai Tangguh Heian -1-
113. Bersatunya Samurai Tangguh Heian -2-
114. Lahirnya Sang Harapan Baru -1-
115. Lahirnya Sang Harapan Baru -2-
116. Menjemput Takhta Tertinggi -1-
117. Menjemput Takhta Tertinggi -2-
118. Menjemput Takhta Tertinggi -3-
119. Sekeping Rindu Untuk Lotus Ungu
120. Kenangan Malam Pembantaian
121. Pergolakkan Batin
122. Ketika Rembulan Memberikan Sinarnya Pada Sang Mentari
123. Merekahnya Lotus Ungu
124. Permaisuri Hati -1-
125. Permaisuri Hati -2-
126. Titik Hitam Di Musim Semi -1-
127. Titik Hitam Di Musim Semi -2-
128. Sayap Yang Dipatahkan -1-
129. Sayap Yang Dipatahkan -2-
131. Awan Gelap Musim Semi -2-
132. Genderang Perang Tanpa bunyi -1-
133. Genderang Perang Tanpa Bunyi -2-
134. Pesta Kembang Api terakhir -1-
135. Pesta Kembang Api Terakhir -2-
136. Perisai Berduri Sang Kaisar -1-
137. Perisai Berduri Sang Kaisar -2-
138. Duri Dalam Daging -1-
139. Duri Dalam Daging -2-
140. Duri Dalam Daging -3-
141. Ego Sang Bunga -1-
142. Ego Sang Bunga -2-
143. Dinding Tak Kasat Mata -1-
144. Dinding Tak Kasat Mata -2-
145. Angin Racun Musim Gugur -1-
146. Angin Racun Musim Gugur -2-
147. Noda Cinta
148. Terwujudnya Kutukan -1-
149. Terwujudnya Kutukan -2-
150. Permaisuri Yang Terusir -1-
151. Permaisuri Yang Terusir -2-
152. Rindu Tak Sampai
153. Kelopak Terakhir Lotus Ungu
154. Kisah Cinta Yang Tak Lengkap
155. Sesal Tak Bertepi
156. Yang Tanpa Yin
157. Penebusan Dosa
158. Menanti Musim
159. Era Baru -1-
160. Era Baru -2-
161. Menjemput Takdir
Pengumuman

130. Awan Gelap Musim Semi -1-

5.7K 518 196
By nanaanayi

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Setting : Heian/Kamakura Periode

"Gomenasai..." Begitu lembut bibir mungilnya berbisik, dengan sisa-sisa tenaga, terbata ia sampaikan risalah hatinya, nafasnya kian sesak, semakin sedikit udara yang dapat ia hirup. Kerongkongannya tercekat saat batang leher kecilnya dicekik tanpa ampun, oleh orang yang paling ia cintai di dunia ini.

Air mata bening itu mengalir deras dari mutiara lavendernya, ia terus berupaya menghirup udara dari celah-celah kerongkongan yang tengah dicekik sang suami. Bola mata ungu muda sendu itu mengiba pada sang pencekik, ia memohon sebuah pengampunan, namun orang itu tak kunjung melonggarkan cekikannya.

Wajah putih pualam Hinata memerah, ia sudah tak berdaya lagi, pasokan udara yang masuk ke dalam paru-parunya kian menipis, membuat kesempatannya untuk bernafas semakin tercekat. Pandangannya mulai memburam, kesadarannya mulai menipis, namun perlahan, udara sejuk mengisi kerongkongannya. Naruto, pria yang tengah mencekiknya itu perlahan melonggarkan cengkraman tangan besarnya pada sang Lotus Ungu.

Perlahan udara segar mulai mengisi kerongkongannya, namun berbanding terbalik dengan matanya. Mata yang teduh bagai mutiara lavender itu melehkan begitu banyak air mata.

Tubuhnya mundur beberapa langkah, Naruto mendorong pelan tubuh mungil itu hingga menjauh darinya, namun sebaliknya, Hinata malah mendekat pada sosok yang baru saja hendak menghabisi nyawanya. "Naruto-kun..." Tangannya mencoba menggapai rahang tegas milik pria tersayangnya, namun apa yang terjadi, bentakan kasar yang ia peroleh.

"Tutup mulutmu!" Satu kalimat dari bibir Naruto cukup untuk membungkam mulut mungil Hinata, bibir mungilnya bergetar, air mata kian mengalir deras di pipi pualamnya, seiring berlalunya sang suami.

"Hiks... Hiks..." Hinata meletakkan tangan di dadanya, ia mulai terisak pelan seiring sang suami yang meninggalkan dirinya. "Tidak berdarah... Tapi mengapa begitu sakit....?"

...

Seorang pelayan wanita membungkuk sopan ketika pintu geser kediaman mewah klan Shimura itu terbuka, sang tuan muda memasuki ruang tamu rumah mewah itu. Onix hitamnya memandang pada satu tujuan, pria sepuh yang amat ia hormati itu tengah menenggak sake, entah mengapa pandangan Sai tiba-tiba berputar malas melihat kelakuan sang ayah.

"Sai, kau tak mengucap salam?" Danzo tersenyum menyambut kedatangan putera semata wayangnya.

"Tadaima." Sai menyusulkan ucapan salamnya seraya membungkuk sejenak, ia kembali berdiri dan menggulirkan pandangannya pada seorang wanita yang memasuki ruangan dengan pintu yang ia masuki tadi.

"Sai-kun, okaerinasai..." Ino, wanita bersurai kuning yang berdiri memimpin barisan pelayan pengantar makan malam itu menyapa riang sang suami.

Sai mengangguk sekilas, "Ino bisa kita keluar sebentar." Wakil dari Jenderal itu menghampiri sang istri lalu menarik lengannya pelan.

"Tapi ini sudah waktunya makan malam." Ino mencoba menolak, bukannya ia tidak mau, tapi keberadaan Danzo di ruangan inilah yang membuatnya sungkan, aquamarinenya melirik pada sang ayah mertua, memberi kode pada sang suami.

"Otou-sama," Sai berbalik kehadapan sang ayah dan membungkuk sembilan puluh derajat. "Aku mohon diri untuk berbicara masalah pribadi dengan istriku." Izin Sai pada sang ayah.

Danzo mengangguk pelan seraya tersenyum, dan tanpa buang waktu Sai langsung menarik sang istri keluar dari ruangan itu.

...

"Apa yang sebenarnya terjadi di Kokiden?" Sai yang baru menginjakkan kakinya di gazebo taman itu langsung mengajukan pertanyaan pada sang istri.

Ino menghela nafas pelan. "Tou-sama memaksa ikut ke Kokiden siang ini dan dia kembali membuat ulah."

Sai mengusap wajahnya kasar, ia mencoba mencari ketenangan. "Apa saja dia katakan?" Kembali Sai berlakon seolah ia tengah mengintrogasi sang istri.

Ino mulai menceritakan tiap detil yang ia dengar tadi siang di pavilun permaisuri itu, dan Sai ia tak mampu membendung rasa kesalnya. Sore ini ketika ia baru saja keluar dari ruang kerja Kamakura Bakufu di Chodo-in, telinganya sudah panas dengan gosip murahan yang berada diantara para dayang dan pegawai pemerintahan.

Istana Dairi adalah tempat dimana setiap penghuninya harus berbicara hati-hati, setiap kali penghuninya akan berbicara tentang hal pribadi, ada baiknya untuk memerintahkan para dayang untuk keluar. Kejadian di teras Kokiden tadi siang terjadi di depan umum, gosip itu berhembus bagai angin, begitu cepat dan setiap orang pasti akan mengetahuinya. Dayang istana adalah penyebar gosip terbaik di Heian.

"Pada intinya, sekarang Tou-sama menunjukkan terang-terangan ketidak berpihakannya pada Kamakura Bakufu di tangan Shogun yang baru, dan pada Kogo-sama..." Ino menyelesaikan jawaban yang diminta sang suami.

Sai kembali menghela nafas panjang. "Aku tahu dia begitu terpukul atas mangkatnya Kaisar Hashirama dan Permaisuri Mito, selama kalian mengungsi di Shinto Ryu, Tou-sama dan para tetuah lainnya masih bertahan disini dan memasang muka dua sebagai pendukung para pemberontak demi membuka jalan pada kami."

"Aku juga merasa begitu, ketakutan Tou-sama dan para tetua lainnya akan klan Hyuuga dan Uchiha, beralasan. Sasuke dan Neji pernah melakukan pemberontakan pada dinasti ini." Ino melirik ke arah bulan, ia bingung bagaimana harus bersikap, ia kasihan dengan Hinata yang mendapat cercaan keji dan terpaksa berlutut pada sang ayah mertua demi agar tak terulangnya pertumpahan darah, namun di sisi lain ia tak dapat mengalahkan ayah mertuanya. Tak bisa dipungkiri ia pun masih trauma akan perang saudara yang tempo hari terjadi, keberadaan Sasuke dan Hinata begitu dekat dengan pemerintahan menimbulkan perasaan was-was pada dirinya.

Dahi Sai berkerut, ia bisa menangkap pandangan sang istri tendang perang dingin yang kini terjadi. "Jika sampai Otou-sama melakukan reaksi berlebihan pada Hyuuga dan Uchiha, aku takut Sasuke akan merasa disisihkan, besar kemungkinan pertikaian akan kembali terulang. Dendam tidak akan pernah selesai jika para pelakunya terus merasa menjadi korban. Jika Tou-sama masih menyimpan dendam atas mangkatnya Kaisar dan Permaisuri terdahulu, maka rantai setan ini tak akan pernah terputus."

...

"Hinata berlutut di hadapan ayah Sai."

Satu kalimat menjadi penutup makan malam Sasuke malam itu. Tenggakkannya pada satu cawan teh itu terhenti paksa, onix hitamnya mengarah pada wanita musim semi yang berstatus sebagai istrinya itu. "Terjadi sesuatu di Dairi." Sasuke tersenyum miring, ia tidak sedang menebak atau menanyakan tentang kejadian diceritakan Sakura dalam satu kalimatnya. Ia sedang memastikan apa yang ia curigai.

Sakura mengangguk pelan, "dia mempermalukan Hinata di hadapan banyak orang...." Ucapan Sakura terhenti, ia mengigit bibir bawahnya untuk memilah kata, takut apa bila kalimat yang akan keluar dari bibirnya akan menyinggung sang suami.

"Danzo?" Sasuke kembali memastikan.

Kembali anggukan pelan menjadi jawaban Sakura. "Apa lagi yang ia katakan."

Bibir Sakura bergetar, sebisa mungkin ia tak ingin menutupi kebenaran ini dari sang suami, akan tetapi satu hal yang ia takuti, bila jenderal samurai itu tersulut emosinya. "Tentang Uchiha, Hyuuga, dan Haruno."

"Mereka meragukan kesetiaan kita pada Heian?" Onix Sasuke begitu tajam mengintimidasi emerald-nya, membuat Sakura mau tidak mau harus mengiyakan pertanyaan suaminya. Tak ada pilihan lain cepat atau lambat Sasuke harus mengetahui kebenaran ini.

Jauh dari yang Sakura perkirakan, sang suami hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya. Pria itu mengelus sekilas puncak kepala merah mudanya lalu berlalu begitu saja.

...

Wanita itu duduk di tepian ranjang sambil memeluk mahluk mungil yang dengan taruhan nyawa ia bawa untuk melihat dunia yang kejam ini. Bayi kecil itu nampak nyenyak terlelap dalam dekapan sang ibu, tanpa mengetahui sepasang mutiara lavender yang menatap wajah damainya, tengah bergelimang air mata.

Tes

Satu tetes butiran air bening itu membasahi pipi mungil sang bayi. Boruto menggeliat tak nyaman saat menyadari air mata sang ibu juga jatuh di pipinya, ia meronta tak tenang, lalu menangis saat menyadari pipi tembamnya basah karena air mata sang ibu.

"Ssstttt, Boru, jangan menangis nak, sayang... Kaa-chan disini...." Satu tangannya ia pergunakan dengan cepat untuk menghapus air matanya, lalu menghapus setitik air di pipi putera kesayangannya itu. Dengan telaten dan lembut, Hinata kembali menimang sang bayi sambil berdiri. Menempelkan pipi tembam nan lembutnya pada pipi tembam memerah sang putera

Namun tak kunjung berhenti, Boruto bayi kecil itu seolah mengerti lara yang dialami oleh sang ibu. "Boru-kun.... Katakan Kaa-chan harus apa.....?"

...

Sinar matahari dipenuhi dengan perasaan yang hangat.
Aku memanggilmu memberikan lagu yang indah untukmu.
Waktuku berlalu begitu cepat seperti sebuah kebohongan.
Jika duniaku menyampaikan seluruh isi hatiku kepadamu....
Kau dan aku kita tertulis dalam satu waktu...

Bersamaan dengan sang matahari pagi yang menyinari bumi Heian, suara indah itu berhenti melantun. Hinata, Sang Tuan Puteri Lotus ungu itu bersenandung semalaman, demi menenangkan bayi kecilnya yang terus menangis. Namun ketika salinan sang kaisar muda itu terlelap damai karena lantunannya, entah mengapa, ia enggan menghentikan nyanyiannya. Sepi menghinggapi Hinata malam itu, seperti yang ia duga, sang suami tak kembali ke Dairi malam itu, setelah insiden di Paviliun Kokiden, pria itu tak kembali ke tempat mereka mengadu kasih.

Hinata tersenyum kecut, ia letakkan kayu pemetik koto*) yang baru saja ia pergunakan, mutiara lavendernya beralih pada ayunan dari kayu dimana sang buah hati tertidur lelap. Ia beranjak menjauh dari alat musik petik itu menghampiri si bayi kecil itu, tiba di sisi ayunan bayinya, mutiara Hinata menatap dalam pada wajah yang merupakan warisan dari pria tercintanya, ia tatap dalam penuh kerinduan. Naruto sudah jarang sekali menghabiskan waktu bersama mereka, dan sekarang ia semakin memperburuk keadaan dengan tingkah bodohnya, berlutut di hadapan Danzo.

Hinata tak pernah menganggap bahwa dirinya adalah permaisuri, baginya ia berada pada takhta ini hanya untuk melengkapi keberadaan Naruto yang dipilih oleh seluruh rakyat Heian sebagai Kaisar, tak lebih hanya sebagai permaisuri sementara. Hal inilah yang membuatnya tak ragu sekalipun bila harus berlutut di hadapan Danzo, demi mencegah pertikaian dengan tetuah klan paling berpengaruh di dinasti ini.

Hinata tahu Danzo begitu mencintai tanah air ini, ketika anak, menantu dan cucunya mengungsi ke perguruan Shinto Ryu, Danzo dan para tetuah lainnya berada di balik tembok Kyoto, menjadi tahanan perang. Para tetua yang mengusik hidupnya kini, adalah para pejuang yang juga berhak atas ketentraman dinasti ini, baginya tak salah berlutut, dan mengalah di hadapan orang tua, sekalipun dalam hal jabatan ia jauh lebih tinggi dari pada Danzo.

Namun hal itu berbanding terbalik dengan pemahaman Naruto, pria itu menjunjung tinggi harga diri serta martabatnya dan Sang Istri. Naruto tak akan pernah sudi berlutut di hadapan siapapun, jika hal itu tak bersangkutan dengan nyawa keluarganya. Kini Naruto berada di puncak egonya, di posisi seperti ini tak seharusnya Hinata merendahkan diri di hadapan orang lain di depan Sang Suami.

Tapi kini nasi telah terlanjur menjadi bubur, kelembutan dan kebaikan hati Hinata kini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, ia telah melukai harga diri pria tercintanya. Pria itu bahkan tak sudi berada satu ranjang dengannya, Naruto lebih memilih bermalam di ruang kerjanya dari pada harus berbagi kehangatan dengannya dalam satu selimut.

Tok tok tok

Sebuah ketukan pintu megah itu, membuat Hinata tersadar dari lamunannya, "masuk..." Jawabnya lembut namun masih bisa terdengar dari luar pintu.

Pintu besar dengan cat hijau dan dihiasi dengan ukiran naga itu terbuka, senyum Hinata mengembang, ia berdiri bersiap menyambut orang yang ia harapkan kepulangannya. Namun senyum kecut kembali terpatri di wajah sendunya. Bukan Naruto yang hadir. Ia bodoh bagaimana mungkin Naruto hadir dalam kamar ini dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Tomoyo kau ada disini?" Tanya Hinata pada seseorang yang datang dari pintu itu.

Tomoyo mengangguk pelan seraya berjalan kearah Hinata. "Hanabi-sama sakit.... Jadi saya akan membantu anda hari ini...."

Alis Hinata menukik mendengar penuturan Tomoyo. Ingatannya bergulir pada insiden yang terjadi di paviliun Kokiden, Hanabi, adik satu-satunya itu marah padanya. Ia tidak terima disuruh minta maaf pada Danzo, bagi Hanabi yang ia utarakan itu adalah kebenaran walau ia sampaikan dengan cara tidak sopan.

Hinata menghela nafasnya pelan, ia tahu Hanabi tidak sakit, gadis itu hanya berpura-pura sakit untuk menghindarinya. "Tolong panggilkan Hidenka-sama untuk memeriksa Hanabi..." Pinta Hinata lembut.

...

"Kau berpura-pura sakit?" Manik emerald Sakura memandang penuh intimidasi pada gadis yang tergolek di atas ranjang mewah tersebut.

Hanabi mendecih kesal, ia mengubah arah berbaringnya membelakangi Sakura. "Kenapa ada disini?" Komentar Hanabi tak suka.

Sakura mengabaikan perilaku Hanabi, tangannya tanpa permisi menempel pada kening bungsu Hyuuga itu. "Calon pengantin harus menjaga kesehatannya baik-baik, kau harus bisa membahagiakan suamimu..." Sakura tersenyum jahil, dahi Hanabi memang terasa panas, bukan karena demam. Namun karena uap panas rasa malu yang menguap dari wajah gadis bersurai cokelat tersebut.

...

Wanita bersurai permen kapas itu duduk di tepian ranjang seraya memegang dengan teliti pergelangan tangan Hanabi, "jangan membuat Nee-samamu khawatir..." Nasihat Sakura sembari meletakkan tangan Hanabi di atas bantal yang menumpu pergelangan tangannya.

Hanabi yang kini duduk sambil bersandar di kepala ranjang menatap detil pada manik hijau Sakura. "Bagaimana Nee-sama...?" Ia merasa cemas dengan keadaan sang kakak, mengingat ia meninggalkan teras itu saat acara belum selesai.

Sakura menghela nafas kasar. "Setelah kau meninggalkan teras itu ada banyak kejadian yang berlangsung..."

...

Selimut putih sutera itu menjadi pelampiasan emosinya. Hanabi, gadis yang tak lama lagi akan melepas masa lajangnya itu tak kuasa menahan emosinya saat kata demi kata yang terucap dari bibir Sakura menjelaskan tentang bagaimana penghinaan dan cecaran yang harus diterima Hinata setelah ia meninggalkan teras itu.

"Beruntung Tenno-sama datang di waktu yang tepat...." Sakura menutup ceritanya. "Tapi....?"

Alis Hanabi terangkat ketika kata tapi tertutur dari mulut Sakura. "Tetapi apa, Sakura-nee...?"

"Naruto hampir melakukan hal yang tidak diinginkan pada Danzo..." Sakura memilah kata dengan sedemikian rupa, ia berada di Dairi sekarang, istana dalam kekaisaran Heian dimana dinding adalah telinga.

"Maksud Anda, membunuh?" Hanabi memastikan, ia memelankan suaranya.

Sakura kembali mengangguk menanggapi pertanyaan Hanabi.

"Onee-sama pasti tak membiarkannya..." Hanabi menebak dan kembali anggukkan yang menjadi jawaban Sakura.

"Kogo-sama berlutut pada Danzo..." Tutur Sakura pelan, ia lalu menggigit bibir bawahnya pertanda ia sedang berhati-hati.

"Lalu apa yang terjadi...?"

Sakura menggeleng pelan, "Tenno-sama memerintahkan kami meninggalkannya bersama Hinata..." Jawab Sakura lesu, ia beranjak dari tepian ranjang Hanabi yang ia duduki, menuju meja bulat di depan ranjang, meraih kotak kecilnya dan mengeluarkan sebuah botol keramik dari dalam sana. "Ini obat demammu..." Sakura menyerahkan obat itu pada Hanabi, dan bersamaan dengan itu.

Kriet.

Pintu besar kamar Hanabi terbuka, Tomoyo masuk lebih dahulu diikuti oleh Hinata.

"Kōkina Kōgō-sama e no aisatsu*"
*salam hormat pada yang mulia permaisuri

Sakura dan Hanabi secara bersamaan membungkuk sembilan puluh derajat, memberi penghormatan atas kedatangan Sang Permaisuri.

"Berdirilah..." Senyum tulus itu terukir di wajah sendunya, membuat siapa pun yang menatapnya tak akan menemukan duka disana, hanya keteduhan yang tersimpan disana. Hinata adalah wanita yang mampu menyimpan rapat perasaan terlukanya.

Hanabi yang masih duduk di atas ranjang lebih dahulu mengangkat kepalanya, disusul oleh Sakura. Kedua mutiara lavender itu saling beradu, Hanabi menemukan tatapan penyesalan dari kelereng ungu muda sang kakak. Ia paham betul itu, Hinata memiliki perangai lembut, apa yang lakukan pada Hanabi tentu akan menyisakan penyesalan yang mendalam, mengingat Hanabi adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Namun ada sesuatu yang menjadi fokus utama sang bungsu Hyuuga, selendang sutera yang melingkar di leher jenjang sang lotus ungu yang menarik atensinya. Udara hari ini tak begitu dingin, Hinata tak punya alasan kuat untuk menutup lehernya.

"Bagaimana keadaanmu...?" Hinata berjalan pelan ke arah Hanabi, lalu duduk di tepian ranjang, tangan lembutnya meraih tangan Hanabi, lalu menggenggamnya penuh kasih sayang.

Hanabi menunduk, tak ada rasa basa-basi dari genggaman tangan Hinata. Masih hangat dan dipenuhi kasih sayang seperti biasanya, Hinata masih memiliki rasa sayang berlimpah untuknya. Ia tak punya kuasa untuk membenci atau marah pada Hinata, Hinata adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan wanita itu sudah banyak menelan pahitnya penderitaan atas kesalahan yang sama sekali tak ia perbuat.

Tangan Hanabi menumpu hangat tangan Hinata yang menggenggam tangannya. "Aku tidak apa-apa, Nee-sama jangan terlalu khawatir, ya...."

"Yokatta..." Hinata bersyukur lega, "tentang yang kemarin-"

"Suminasen, Kogo-sama..."

Kalimat Hinata terpotong oleh permintaan Sakura. Ia menoleh ke arah istri Sang Jenderal yang merangkap sebagai Ketua Dewan Tabib Istana itu.

"Kami mohon diri dulu...." Sakura dan Tomoyo membungkuk sembilan puluh derajat, mohon diri pada sang permaisuri, dan Hinata menjawabnya dengan senyuman yang begitu tulus.

"Onee-sama... Gomenasai...." Tepat setelah pintu kamar tertutup, Hanabi mengutarakan permohonan maafnya.

Kepala indigo itu tertoleh, menatap sendu pada satu-satu keluarga yang ia miliki. Hinata menepuk pelan pucuk kepala cokelat adiknya itu. "Baka, seharusnya aku tak menegurmu di hadapan banyak orang seperti kemarin..." Sesal Hinata seraya mengelus surai cokelat yang diwariskan oleh ayah mereka.

"Onee-sama..." Hanabi memiringkan kepalanya, menatap sang kakak yang tengah mengelus surai panjangnya.

"Hmmm..." Jawab Hinata seraya berdiri, ia meraih sisir di meja kecil di samping ranjang Hanabi, berdiri di belakang sang adik dan mulai menyisir surai panjang cokelat itu dengan telaten.

"Jangan terlalu baik...." Hanabi berujar pelan, ia menikmati setiap sentuhan tangan sang kakak bersamaan dengan sisir yang membelai lembut surai cokelatnya. "Aku tidak akan lama lagi akan meninggalkan istana ini... Ku mohon jaga dirimu baik-baik..."

Belaian di rambut Hanabi terhenti, setelah seutas pita merah mengikat surai cokelatnya kebelakang. "Aku akan baik-baik saja disini...." Hinata kembali duduk di hadapan Hanabi, tangan halusnya merapikan rambut bagian depan Hanabi yang menjuntai menutupi alisnya. "Naruto-kun akan melindungi ku dengan baik..."

Hanabi tersenyum tipis mendengar jawaban sang kakak, entah kenapa hati kecilnya berkata lain, selendang sutera yang melingkar di leher putih Hinata seolah berkaitan dengan kalimat yang baru saja dituturkan oleh Hinata. Refleks, tangannya terangkat dan berusaha menyentuh selendang itu. "Nee-sama... Apa kau batuk?" Hanabi berusaha meraih selendang sutera itu, namun tangan Hinata lebih dahulu menentang tangannya untuk menghalangi.

Hinata menggeleng pelan seraya meletakkan tangan Hanabi di pangkuannya. "Ah... Kurasa kau sudah lebih baik..." Hinata mencari alasan untuk menghindari pertanyaan sang adik yang menaruh curiga pada selendang yang menutupi bekas telapak tangan Naruto yang tercetak jelas pada batang lehernya. "Aku harus kembali ke kamar dan melihat Boruto...." Hinata beranjak dari ranjang Hanabi, dan tersenyum manis sebelum berbalik menuju pintu keluar.

Nee-sama... Tetap baik-baik saja, walau jarak kelak akan memisahkan kita.

...

"Akhhhhh...." Hinata tersentak saat ia baru saja menutup kamar sang adik. Tangannya ditarik seseorang. "Sakura, kau?" Tanyanya saat mengetahui orang yang menarik tangannya. "Sakura apa yang kau-"

Hinata tak memiliki kesempatan berbicara, tangan Sakura lebih dahulu menarik selendang yang melingkar di lehernya.

"Apa ini kelakuan Tenno-sama?" Tanya Sakura miris saat mendapati guratan merah jejak jari manusia di leher putih sang permaisuri.

"Berikan padaku...." Hinata merampas kasar selendang itu dari tangan Sakura, lalu kembali melingkarkan di lehernya untuk menutupi bekas tangan sang suami yang mencekik batang lehernya.

"Kogo-sama..." Panggilan Sakura tiba-tiba terdengar formal, padahal tak ada siapapun di lorong itu kecuali mereka berdua. "Beri aku izin untuk memeriksa anda...."

Dahi Hinata berkerut melihat Sakura yang membungkuk sembilan puluh derajat di hadapannya. Ia tahu wanita musim semi itu sedang mengkhawatirkan keadaannya.

...

"Pembangunan Istana Klan Hyuuga dan pernikahan Hyuuga Hanabi di Kuil Ginkaku-Ji, masih akan tetap dilanjutkan?"

Kepala kuning Naruto mendongak saat mendapati suara yang begitu ia kenali, menggema di gendang telinganya. Ia tersenyum miring, sadar siapa yang tengah menyambangi ruang kerjanya.

"Kau tahu, aku tak akan pernah menarik kata-kataku, Teme..." Naruto kembali menuangkan sake dari poci kecil ke cawan keramiknya.

Sasuke tersenyum miring menanggapi jawaban sahabat kecilnya.

"Kau tahu apa yang membuatku memanggilmu kemari?" Tanya Naruto santai sambil menenggak sake-nya.

Sasuke mendengus kesal, ia memalingkan pandangannya ke arah jendela. "Sudah sejak perang berakhir, aku tak pernah lagi menggunakan kekuatan pawang Kitsune."

Naruto kembali mendengus geli. "Aku ingin kau memata-matai Hinata."

Dahi Sasuke berkerut, alisnya menukik satu sama lain, tanpa Naruto suruh pun ia sudah mengetahui semua yang disembunyikan oleh Hinata dari sang suami. Sakura istrinya, selama ini telah menjadi mata-mata untuk Permaisuri Lotus Ungu itu.

...

"Apa yang si Baka itu lakukan padamu?" Tangan lembut Sakura menyentuh pelan leher jenjang putih mulus itu. Guratan terlihat di sana, cap tangan sang Kaisar yang tampak jelas disana membuat Sakura bertanya sekuat apa cekikan yang diterima oleh sahabat kecilnya itu.

"Bukan masalah besar...." Ujar Hinata lembut seraya menjauhkan tangan Sakura dari lehernya. Mereka berdua kini berada di kamar Hinata, tabib istana itu menarik sang permaisuri dan memaksa apa untuk melihat apa yang Hinata sembunyikan di balik selendang itu.

"Khe... Kau benar, ini memang bukan masalah besar...." Sakura tersenyum jengkel. "Bukankah kau pernah mendapatkan perlakuan lebih buruk dari pada ini darinya?" Tanya Sakura sembari menaikkan alisnya.

"Sakura, akulah yang bersalah, aku terlalu gegabah. Aku begitu takut Naruto akan membantai seseorang lagi, hingga..."

"Kau berlutut pada Danzo di hadapannya? Hal itu tak bisa menjadikan alasan baginya untuk memperlakukanmu seperti ini kembali." Sakura meraih kotak kecil yang ia letakkan di sisi ranjang Hinata yang tengah ia duduki, mengeluarkan guci keramik kecil, berisi salep racikannya. "Hinata, mau sampai kapan kau akan menyembunyikan penyakitmu dari Naruto...." Dengan amat telaten wanita bersurai permen kapas itu mengoleskan salep dingin racikannya pada sang Lotus ungu.

Kedua tangan Hinata menggenggam erat tangan Sakura yang terbebas, "tolong jangan katakan apapun pada Naruto-kun... Biar aku sendiri yang mengatakan padanya."

"Harus sampai kapan, Hinata? Cepat atau lambat Naruto akan tahu dengan sendirinya."

...

Istana Dairi, memiliki telinga di setiap dindingnya, hal inilah yang membuat Permaisuri Mito lebih suka menghabiskan waktunya di Istana Kamakura Bakufu dibandingkan istana Dairi, jika sang suami tengah berada di Chodo-in. Tak butuh waktu lama, hanya satu hari setelah insiden Hinata berlutut pada Danzo di hadapan sang suami, berbagai rumor dan gosip sudah menyebar di dalam istana.

Dimulai dari perombakkan istana Dairi yang mengikuti selera Hinata, berita Hinata yang akan membangkitkan kembali kejayaan klan Hyuuga dengan dekrit pembangunan kembali Istana Klan Hyuuga, dan persiapan pemurnian pernikahan Hyuuga Hanabi yang akan dilangsungkan di kuil Ginkaku-ji, yang merupakan kuil sakral untuk upacara keluarga kekaisaran, membuat gosip bahwa Hinata telah melakukan perubahan besar dalam istana Kekaisaran menyebar begitu luas. Rumor bahwa Hinata mengendalikan Naruto dalam setiap keputusannya tak dapat dipungkiri telah tersebar luas.

Cap bahwa Hinata adalah akan kembali membangkitkan kembali kejayaan klan Hyuuga dengan memanfaatkan cinta Naruto yang begitu besar, telah menyebar ke penjuru Kyoto. Seperti pagi ini, Hinata berjalan dengan diiringi beberapa dayang, di sisinya ada Hanabi yang senantiasa mendampinginya. Tujuannya adalah menyambangi istana Chodo-in, istana pemerintahan yang merupakan pusat pemerintahan dinasti Heian.

Sudah hampir satu pekan Hinata tak menjumpai suami tercintanya tersebut, Naruto enggan kembali ke istana Dairi yang menjadi peraduan mereka, tak banyak yang bisa ia lakukan, mengingat Naruto menutup semua aksesnya masuk ke istana pemerintahan.

Seperti hari-hari sebelumnya, Hinata mengisi kesepian harinya dengan memetik koto atau bermain bersama putera kecilnya untuk mengobati rasa rindunya pada Kaisar.

"Hidenka-sama, memasuki paviliun Jijūden...."

Hinata menghentikan petikan koto-nya saat suara kasim yang bertugas di pintu paviliun mengumumkan kedatangan sahabat merah mudanya.

"Kōkina Kōgō-sama e no aisatsu..." Sakura masuk kedalam kamarnya, seraya berlutut memberi penghormatan.

Kepala indigo Hinata mengangguk pelan menerima penghormatan tabib muda itu. "Berdirilah..."

Sakura berdiri bersamaan dengan pintu kamar kaisar yang ditutup oleh para penjaga. "Apa kau merasa tak begitu sehat, hari ini....?" Sakura berjalan panik kearah Hinata yang duduk di balik koto kesayangannya.

"Aku baik-baik saja, Sakura..." Hinata tersenyum seraya bangkit dari tempat duduknya di balik koto.

"Tomoyo pagi-pagi sekali datang ke istana Kamakura Bakufu, pagi ini. Pasti ada hal buruk yang terjadi padamu...." Sakura menggamit tangan mungil sang permaisuri, mengajak sahabat kecilnya itu duduk di ranjang bundar yang dikelilingi oleh kelambu sutera. "Biar ku periksa denyut nadimu...." Tanpa menunggu Hinata menjawab, begitu mereka berdua duduk di tepian kasur, Sakura langsung meletakkan pergelangan tangan Hinata di pangkuannya dan mulai memeriksa denyut nadinya.

"Sudah ku katakan, aku tak apa-apa, Sakura...." Hinata buru-buru menarik tangannya dari pangkuan Sakura, mengurungkan niat tabib wanita itu untuk memeriksa denyut nadinya. "Aku memanggilmu ke sini tak ada hubungannya dengan kesehatanku..."

"Kau tampak pucat..." Ucap Sakura sendu, ia mengkhawatirkan keadaan permaisuri yang menjabat sebagai sahabat masa kecilnya itu.

"Sakura... Aku ingin ke Chodo-in..." Ucap Hinata lirih.

"Si Baka itu, masih belum pulang...." Tebak Sakura.

"Ini semua salahku...." Ucap Hinata lirih.

Sakura menggeleng cepat. "Tidak. Dialah yang egois."

"Harus ada yang mengalah atas kesalahan pahaman ini, dan aku lah orangnya. Hari ini, apapun yang terjadi aku harus menemui Naruto-kun.... Aku akan meminta maaf padanya.... Kau mau 'kan menemaniku....?"

"Khe...." Sakura tersenyum simpul. "Jika kau memasang wajah yang amat menyedihkan seperti itu bagaimana aku bisa menolak..."

...

"Gomenasai, Kogo-sama...." Seorang Samurai berdiri tepat di depan pintu Dairi, menghalangi langkah Hinata.

"Apa aku tak boleh masuk?" Tidak seperti biasa, tutur kata lemah lembut tak terujar dari bibir Hinata, sang permaisuri sengaja menegaskan suaranya.

"Gomenasai Kogo-sama... Tapi ini perintah Tenno-sama... Selain para menteri dan pejabat Kamakura Bakufu, yang tidak memiliki kepentingan dilarang untuk masuk ke dalam Chodo-in." Samurai itu menunduk sopan, menunjukkan kesungkanannya untuk menentang keinginan sang permaisuri. Namun apa daya ia hanya seorang prajurit rendah yang tak mungkin menentang perintah pemimpin dinasti ini.

"Kau tak tahu siapa dia..." Sakura yang berdiri di samping Hinata angkat bicara seraya melirik sinis pada sang samurai.

"Hamba mohon maaf." Samurai itu kembali menunduk pada Hinata, menyampaikan permohonan maafnya.

"Kau!!!" Sakura mengecam sang samurai sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah sang samurai.

"Sakura..." Hinata menyentuh lembut bahu Sakura. "Dia hanya mematuhi perintah Kaisar, ini bukan keinginannya..." Lerai Hinata lembut.

Sakura mendengus kesal menanggapi larangan Hinata.

"Tolong sampaikan pada Tenno-sama..." Suara Hinata kembali mengalun lembut, sang samurai penjaga mengangkat kepalanya. "Aku akan menunggunya di sini...." Bersamaan dengan penutup kalimatnya, Hinata turun menapaki tangga istana pemerintahan itu, ia berhenti tepat di tengah lapangan Chodo-in, lalu duduk bersila disana.

...

Langit Kyoto bergemuruh, awan hitam menyelimuti ibu kota dinasti matahari tersebut, air dari langit seolah siap ditumpahkan kapan saja. Tak jauh berbeda dengan tatapan sebiru langit yang kini tengah menatap sang atap bumi. Naruto mengerutkan dahinya saat safirnya melihat tanda-tanda turun hujan yang begitu kentara. "Suruh dia pulang." Ucapnya tegas pada siapapun yang berdiri di belakangnya.

Shikamaru, sang Perdana Menteri yang berdiri dengan jarak paling dekat dengan Sang Kaisar, berjalan mendekat ke sisi Naruto yang berdiri di hadapan jendela besar. "Kogo-sama menolak beranjak, sampai anda sendiri yang keluar dan pulang bersamanya." Ujar Shikamaru sopan, ia membungkuk hormat, lalu kembali mundur.

Naruto tersenyum miring, sembari mengembalikan pandangannya pada langit Kyoto yang mulai bergemuruh. 'Hime kita lihat siapa yang bisa bertahan, kau atau aku.' Kata hati Naruto diliputi ego yang amat besar, hingga ia tak dapat melihat ketulusan Hinata, yang duduk bersimpuh di halaman istana untuk menyampaikan permohonan maaf dari hatinya.

...

"Hinata..." Suara lembut Sakura membuat Hinata mengangkat kepalanya. "Sebentar lagi hujan akan turun..." Bujuk sang tabib wanita lembut seraya menyentuh bahu kecil yang dilapisi uchikake ungu tua itu. "Kita kembali ke Dairi, ya...."

Hinata menggeleng lembut seraya tersenyum, tangannya meraih tangan Sakura dan menggenggamnya, ia berusaha meyakinkan sahabatnya bahwa ia akan baik-baik saja. "Kau pulang lah, Sarada sudah menantimu..." Ucap Hinata lembut, "dan juga dia...." Hinata melirik pada seseorang yang berdiri tegap di belakang bahu mungil Sakura. Sasuke berada disana untuk menjemput istrinya.

"Kau sudah berada di sini sejak pagi..., dan sekarang sudah sore. Dia tak akan keluar, pulanglah Hinata, sebentar lagi hujan akan turun." Sakura mengucap lembut pada sang permaisuri, namun lagi-lagi gelengan lembut yang menjawab.

"Pulanglah...." Hinata melepaskan tangan Sakura, ia kembali memfokuskan pandangannya pada gedung besar beratap merah dengan arsitektur perpaduan China dan Jepang yang begitu kentara.

"Hina-" Sakura berusaha menarik Hinata, namun tubuhnya tertahan oleh tangan Sasuke yang melingkar di pinggangnya.

"Sakura." Sasuke berbisik tepat di telinga sang istri. "Jangan ikut campur lagi."

Emerald hijau tak beranjak, sekalipun ia berjalan mengikuti tarikan Sang Jenderal Samurai pada tangannya, namun pandangan Sakura seolah enggan lepas dari sosok Hinata yang masih duduk bersimpuh di halaman istana yang di lapisi semen itu, Sang Permaisuri yang masih menanti maaf dari Kaisarnya.

...

Senyum penuh kemenangan terukir jelas di bibir keriputnya, dari balik pilar merah besar itu, Danzo yang berdiri di teras istana Chodo-in seolah tengah merayakan kemenangannya. Apa yang ia lakukan tempo hari di paviliun Kokiden kini berbuah manis, ia berhasil membangkitkan amarah Naruto pada istri tercintanya, ia memanfaatkan emosi Naruto yang meledak-ledak dengan harga diri setinggi langitnya dan kelembutan hati dengan sifat pengalah Hinata.

Pria sepuh itu tak sadar bahwa sang putera berdiri di pilar lain di belakangnya. Diam-diam, Sai telah menjadi mata-mata untuk ayahnya sendiri.

...

"Salam hormat Tenno-sama."

Naruto mendongak, mengalihkan pandangannya dari kertas dan kuas yang kini menjadi fokusnya. "Berdirilah Sai." Ia menjawab salam hormat pada Saudara Seperguruannya yang berlutut di depan singgasananya.

"Kogo-sama sudah sejak tadi pagi pagi berlutut di halaman Chodo-in, beliau ingin bertemu dengan anda." Ujar Sai formal.

Naruto menghela nafas pelan, ia letakkan kuasnya dan menatap Sai intens. "Aku sudah memerintahkannya untuk kembali ke Dairi." Jawab Naruto dengan nada kesal.

"Mohon temui Kogo-sama, yang mulia. Beliau menunggu anda."

Safir Naruto beralih pada jendela besar di sisi singgasananya, lahir Kyoto mulai menitikkan air ke bumi. "Katakan padanya untuk segera pulang."

Sai menghela nafas penuh kekecewaan, ia tak berhasil membujuk Naruto, sama seperti Shikamaru dan Sasuke yang telah lebih dahulu gagal.

...

"Kogo-sama...."

Hinata mendongak, saat mendapati suara Sai menggema di telinganya. "Apa Yang Mulia mau menemui ku?"

Sai tak kuasa kembali membuka mulutnya, mutiara lavender Hinata yang menatapnya penuh harap seolah membungkam mulutnya. "Gomenasai..."

Hinata tersenyum kecut, Sai tak perlu melanjutkan kembali kalimatnya. Ia sudah tahu, pria tercintanya itu menolak untuk berjumpa dengannya.

"Anda harus pulang, Kogo-sama.... Tenno-sama tak akan keluar, hujan akan semakin lebat."

Hinata menggeleng pelan menjawab pertanyaan Sai, bulir-bulir rintik gerimis yang membasahi wajahnya kini bercampur dengan air mata. "Kau tahu, Sai? Satu tahun yang lalu, tepat hari ini adalah hari kematian ayahku di tiang gantungan. Hujan yang sama di musim semi yang menemani kepedihan ku kala itu, dan hari ini gerimis itu kembali menjadi temanku...."

Sai mengusap kasar wajahnya, ia ingat betul, hari ini adalah hari dimana Hyuuga Hiashi dihukum gantung satu tahun yang lalu. Gerimis yang sama, tangis yang sama dan penderitaan yang sama yang Hinata lalui, semua itu tak pernah berubah, dengan penyebab yang sama. Orang yang paling ia cintai. Uzumaki Naruto.

Pria bermarga Shimura itu tak dapat melakukan hal lebih dari ini, ia tak bisa masuk lebih dalam untuk urusan pribadi Naruto dan Hinata. Ia masih ingat sebuah hinaan yang dilayangkan saudara seperguruannya tersebut saat ia meminta Naruto untuk melepaskan Hinata yang kala itu ditawan di istana Kamakura Bakufu. "Kogo-sama, saya mohon diri." Pria dengan kulit putih pucat menunduk memberikan salam sebelum berlalu meninggalkan Hinata sendirian.

...

Bruk

Angin begitu kencang, hingga sebuah gulungan dari rak penyimpanan berkas yang berada di sisi meja kerja Naruto jatuh. Tak Shikamaru atau siapapun di sini yang bisa ia suruh untuk mengambilnya. Akhirnya sang kaisar beranjak dari zabuttonnya dan meraih gulungan itu.

Entah kenapa hatinya tergelitik membuka gulungan yang masih nampak baru itu. Tanggal yang sama dengan hari ini, hanya tahun yang membedakan, iris biru Naruto menyusuri tiap kata gulungan itu. Setelah membaca tanggal terbit gulungan itu, Naruto lalu membaca judulnya, dan ia pun mengetahui bahwa yang ada di tangannya itu adalah dekrit hukuman terpidana mati. Kian jauh Naruto larut dalam bacaannya, hingga ia sampai pada pada apa yang membuat hatinya tersayat.

Hyuuga Hiashi, nama itu tertera dalam gulungan dekrit perintah eksekusi mati. Dekrit yang dibacakan tanggal yang sama dengan hari ini, satu tahun yang lalu.

'Hari ini adalah hari kematian Ayah Hinata....'

...

Tubuh mungil yang telah menanggung banyak penderitaan itu menggigil kedinginan, persis seperti satu tahun yang lalu saat menyaksikan sang Ayah meregang nyawa di tiang gantungan, air mata Hinata kini bercampur dengan rintik hujan. Uchikake mewahnya kini telah basah kuyup, surai indigo yang sebelumnya tertata rapi kini layu berantakan akibat sang hujan yang menerpanya.

Bibirnya yang sebelumnya berwarna merah muda kini memucat dan hampir membiru karena udara dingin yang menembus hingga ke tulangnya. Deras air hujan bukan hanya membuat tubuhnya menggigil kedinginan, kepalanya pun serasa ingin pecah karena terlalu lama terterpa air hujan. Tapi hal itu tak mematahkan tekad Hinata, ia tak akan beranjak sebelum mendapatkan maaf dari sang suami.

Tapi tubuhnya tak berjalan beriringan dengan pemikiran dan kehendaknya. Tubuh Hinata yang sesungguhnya sudah lemah akibat penyakit yang ia derita setelah melahirkan membuat daya tahannya sudah tak sama seperti dulu lagi. Pada akhirnya tubuh itu tak mampu lagi menahan derita yang terus-menerus menimpanya, pandangan mutiara ungu muda memburam seiiring dengan sakit kepala yang menderanya. Ia menggigit bibir mungilnya yang mulai membiru untuk mengurangi rasa sakitnya. Namun pada akhirnya tubuhnya menyerah, pandangannya menggelap hingga ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

つづく

Tsudzuku

Selamat pada komentar terbaik chap lalu : wxtaeo mohon pm saya ya untuk nomor hp yang mau diisikan pulsa.

Continue Reading

You'll Also Like

47.9K 6.8K 41
[SELESAI] "Di balik pria yang sukses, ada wanita kuat di belakangnya." Sayangnya peribahasa itu tak berlaku untuk Sasuke. Kesendirian yang banyak mem...
137K 8.3K 16
Terjemah Bahasa Indonesia Novel Naruto The Last Novel yang berisi kisah cinta sang tokoh utama yakni Uzumaki Naruto Novel akan memberikan penjelasa...
1M 57.6K 59
Siapakah yang akan Kau pilih Sasuke? Istri yang kau nikahi karena cinta? Atau Wanita yang melahirkan benihmu? Atau Wanita yang ingin di jodohkan de...
64.1K 5.6K 15
Gerbang besar desa sudah berada di depan matanya. Ia dengan ragu melangkahkan kakinya untuk masuk. Namun, ada hal yang jauh lebih penting mengenai ke...