Prince Of Sea [REVISI]

By Lalaterbang

264K 14.3K 643

Tentang kami, makhluk yang hidup di dasar laut. Dan tentang dia, seorang gadis manusia. [ R E V I S I ] Per... More

Prologue
CAST
Halaman 1 : Awal Sekolah
Halaman 2 : Bertemu Gadis Barbie
Halaman 3 : Setetes Kejujuran
Halaman 4 : Kehidupan Baru
Halaman 5 : Neptune
Halaman 7 : Siren Terkutuk
Halaman 8 : Hiduplah Bersamaku!
Halaman 9 : Okta
Halaman 18 : Terlalu Menyakitkan
Halaman 19 : Terlalu Menyakitkan (2)
Halaman 20 : Kekuatan Marcel
Halaman 21 : Belanja Bersama Marcel
Halaman 22 : Janjimu, Janjiku Untukmu
Halaman 23 : Latihan Basket
Halaman 24 : Serpihan Penyesalan
Halaman 25 : Sparing Basket
Halaman 26 : Me and My Imagination
Halaman 27 : Terulangnya Rasa Sakit
Halaman 28 : Aku Menangkapmu
Halaman 29 : Mengejutkan
Halaman 30 : Karma
Halaman 31 : Chiko's Birthday Party
Halaman 32 : Chiko's Brithday Party (2)
Halaman 33 : Dia Menyayangimu
Halaman 34 :Janji Untuk Selamat
Halaman 35 : Perjalananku
Halaman 36 : Sherina
Halaman 37 : Penolakan
Halaman 38 : Belajar Berjalan, Hm?
Halaman 39 : Inilah Alasanku Untuk Menjauhimu
Halaman 40 : He's a CEO?
Halaman 41 : My New Friend
Halaman 42 : Mr. Forn's Family
Halaman 43 : A Mr. Forn Mission
Halaman 44 : Pertemuan
Halaman 46 : Bellanzi Reina Demelish
Halaman 47 : Hai Nona, Kita Bertemu Kembali
Q/A PART 2
Halaman 48 : Aku (tidak) Baik-Baik Saja
Halaman 49 : Kejutan
Halaman 50 : Kebahagiaan Dalam Duka
Halaman 51 : Aku Bahagia
Halaman 52 : Jangan Menangis
Halaman 53 : Melewatkan Kesempatan
Epilogue

Halaman 45 : Menemukan Dirimu

2.9K 184 0
By Lalaterbang

Vote dulu sayang, baru baca.

✺✺✺

Vale membuka matanya ketika cahaya matahari merambat masuk ke dalam kamarnya. Ia beranjak bangun namun tangan kokoh menahan tubuhnya agar tidak bisa bergerak.

Siapa lagi kalau bukan Sea? Tertidur diantara lekukan lehernya, terkadang Vale pun merasa geli karena merasakan hembusan nafas Sea yang lembut, menggelitik lehernya. Dengkuran kecil terdengar menandakan bahwa sang pangeran masih nyenyak tidur seraya memeluknya.

Vale perlahan menyingkirkan tangan besar Sea dari pinggulnya dan melangkah perlahan kearah toilet.

Setelah menanggalkan pakaiannya, Vale segera menyalakan shower sembari berendam didalam bethub. Butiran air yang jatuh membantu dirinya lebih tenang disaat pikirannya sedang kalut.

Dimana keberadaan Marcel?

Astaga, ia hampir lupa dengan laki-laki pirang itu. Apakah Marcel pergi karena aku? Atau aku memiliki salah, hingga Marcel tidak ingin memaafkannya? Tidak mungkin. Marcel bukanlah tipe pendendam seperti itu.

Menghilangnya Marcel membuat rasa bersalah semakin menumpuk dan juga hidupnya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa dengan candaannya, teman curhat, dan teman shooping. Ah, ia merindukan semuanya bersama Marcel.

Lamunannya terbuyar ketika suara berat Sea terdengar dari luar toilet. "Vale?"

"Aku sedang berendam. Tunggulah sebentar." Jawab Vale kemudian menyelesaikan ritual mandinya.

-

Tok, tok, tok. Ceklek.

"Sea, apakah kau telah selesai man--" Matanya terbelalak saat melihat Sea yang rapih dengan baju kantornya. Kancing kemejanya terbuka memperlihatkan dada bidang yang pernah ia lihat saat dilautan, dulu.

Sea mengeringkan rambut hitamnya yang basah dengan handuk dan itu terlihat sangat sexy.

"Puas memandangiku, nona?" Vale jadi salah tingkah. Ketahuan memandangi kekasihnya sendiri, apakah tidak boleh?

"Uhm.. tadi.. aku..."

Sea terkekeh. Menghampiri Vale yang merona merah pada pipinya lalu bersedekap dada. "Baru menyadari bahwa aku tampan, eh?"

Gemas. Akhirnya Vale mencubit pinggang Sea walau sebenarnya terasa geli. "Aw"

"Aku tau, Pangeran Laut sepertiku adalah siren tertampan didunia." Vale menaikkan sebelah alisnya, menahan tawanya sebisa mungkin. "Bahkan jika kau bandingkan dengan manusia, pastilah tidak ada yang dapat menandingi ketampanan seorang Sea."

Vale mencebik bibir, memutar bola matanya jengah. "Percaya diri sekali."

"Vale-ku sayang, seharusnya kau bangga memiliki kekasih tampan sepertiku." Sea menunjuk dirinya sendiri.

Sea memang sudah bertemu dengan beberapa manusia yang kenyataannya memang kurang tampan, hal itulah yang membuat dirinya percaya jika ia paling tampan diantara manusia tersebut. Tapi mengapa Vale tidak langsung mengakui saja jika dirinya memang tampan? Atau mungkin dia malu? Haha.

"Sudahlah. Jika membahas tentang ketampananku tidak akan pernah selesai." Vale terkekeh. Bukannya ia yang memperpanjang masalahnya?

"Sekarang, tolong pasangkan dasi kerjaku."

Vale mengambil dasi yang tersampir rapih diatas kasur lalu memasangkannya dileher Sea dengan simpul mudah.

"Selesai." Vale menyudahi aktivitasnya kemudian mendongak keatas, menatap manik hijau yang menatapnya lekat-lekat.

"Vale, mari kita hidup dilaut, tinggalkan segalanya yang berada didaratan. Ikutlah bersamaku, bahagia bersamaku, hingga mata tak dapat terbuka, nafas tidak berhembus, dan jantung tidak berdetak kembali," Ucap Sea lirih, lalu mengetatkan pelukannya dipinggang Vale.

"Sea, tapi aku--"

"Kau percaya padaku, bukan? Lantas apa yang membebani pikiranmu, sayang? Apakah aku kurang tampan dengan para manusia? Apakah aku kurang kaya untuk menanggung kehidupan kita nanti? Atau, apakah jabatanku kurang memuaskan dimatamu?" lanjut Sea.

"Bukan seperti itu, Sea. Kau salah paham," Vale mengelus pipi Sea dengan lembut. "kau adalah pria tertampan, terbaik, terkaya, segala-galanya dimataku. Tapi ingatkah kamu dengan Marcel? Dia menghilang, Sea. Aku takut terjadi sesuatu padanya."

Sea tersenyum kecil, menghirup aroma teratai pada tubuh Vale dengan dalam-dalam. Benar kata Ibunda, ia memiliki hati seperti mutiara.

"Baiklah, ayo berangkat."

Vale pun mengangguk. "Ya. Kebetulan hari ini aku ada kelas."

Mereka pun berangkat bersama setelah meminum susu putih yang tersaji di dapur.

✺✺✺

"Sea, aku berangkat dulu. Sepertinya kelas akan dimulai." Vale mencium singkat pipi sebelah kiri Sea.

Sea terkejut namun ia hanya bisa tersenyum, walau sebenarnya ia ingin meminta ciuman dipipi kanannya. Adil bukan?

"Hati-hati!" Teriaknya khawatir. Ia langsung memutar arah mobil dan menuju perusahaannya.

Sedangkan Vale setengah berlari dengan nafas yang terengah-engah. Hari ini mata kuliahnya yaitu kedokteran. Sangat sulit jika Vale terlambat dan dihukum keluar. Hal itu sama saja membuat dirinya harus mengulang pelajaran tersebut.

Tok, tok, tok. Ceklek.

"Permisi, Prof. Maaf, saya terlambat." Vale menunduk takut. Teman-teman kuliahnya pasti akan menertawakannya, karena sebelum ini belum ada yang pernah terlambat. Dan itu hanya dirinya.

"Duduklah. Aku akan memberikan keringanan kepada mahasiswa untuk hari ini saja." Ucap profesor dengan nada tegas.

Vale mendongak. Sepertinya ia mengenal suara ini. Dan benar saja, profesor muda itulah yang ia duga.

"Terimakasih, Prof."

Vale segera beranjak menuju tempat duduknya diatas. Ya, karena meja kuliahan menjajar keatas. Dan diujung sana Julian melambaikan tangan kearahnya. Ia membalas dengan senyum kecil, lalu berjalan menuju arah Julian.

"Kau terlambat?"

Vale menaikkan pundaknya acuh. "Seperti yang kau lihat."

Julian terkekeh. Mengelus puncak kepala Vale dengan gemas. "Sudahlah, jangan dipikirkan."

Mereka tidak menyadari bahwa sepasang mata sedang menatapnya dengan sengit.

✺✺✺

Aku duduk bersandar lelah
Memikirkan segala perasaan bersalah
Menunggu keajaiban datang hingga diriku jengah

Seandainya waktu dapat diulang
Akan kuputar waktu semasa mereka menghilang
Ketika kumerasa bahagia bagaikan terbang

Namun, Tuhan tidak berkehendak
Masalalu menyakitkan dan aku tak dapat mengelak
Aku bersumpah akan membalasnya kelak

Sebutlah diriku jahat
Jika kau menilaiku sekali lihat
Persetan dengan dendam kesumat!

Aku akan tetap bersikukuh
Karena prinsipku, membunuh atau dibunuh

Drrtt..drrttt...

Bunyi ponsel membuat lamunanya terbuyar. Puisi yang ia buat ketika dirinya sedang mengingat kejadian buruk tersebut. Sengaja ia membuat sebuah puisi yang tersemat sebuah ambisi.

"Halo"

"Ya, ada kabar apa, nak?"

Seseorang yang dipanggil malah berdecak tidak suka.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!"

Ia hanya terkekeh mendengar putranya kesal. "Baiklah, berita apa yang akan kau sampaikan?"

"Rencana awal sudah kulaksanakan"

"Bagus!"

"Setelah itu aku akan menyerahkannya kepadamu dan aku tidak ingin terlibat lebih jauh"

Pria itu tersenyum miring. Secara tidak langsung, kau telah masuk kedalam rencanaku.

"Baiklah. Aku tidak ingin menunggu lama"

"Ya, segera"

Telpon terputus sebelah pihak. Rahang pria itu mengeras, tangannya terkepal erat, seringai miring terlihat jelas diwajahnya.

"Sebentar lagi... permainan akan dimulai."

✺✺✺

Vale Pov.

Sekarang aku sedang menunggu Julian untuk makan siang bersama. Tadi aku sempat memesan order pizza sebelum menunggu disini.

"Ish, kamu lama sekali. Habis apa?" geramku kesal.

"Sorry, tadi Ayah menelfonku." Jawab Julian dengan cengirannya khas-nya.

"Baiklah. Tadi aku sudah memesan pizza online. Mungkin akan datang sebentar lagi."

Aku dan Julian berdiri didepan gerbang. Memang tidak ada larangan kepada mahasiswa agar tidak keluar masuk dengan seenaknya, tapi percayalah, pengamanan disini begitu ketat.

"Permisi," Seseorang menepuk pundakku dari belakang. "apakah anda bernama Nona Lukya yang memesan dua paket box pizza?"

Suara ini...
Sontak tubuhku berbalik, bertemu dengan manik coklatnya. Aku menatap sendu pada dirinya yang mengenakan seragam pegawai pizza.

Mata kami bertemu, ia seakan menyalurkan rasa rindunya kepadaku, begitu pula dengan diriku. Sedangkan Julian, ia malah tersenyum sumringah menatap dua paket pizza tersebut dan menerimanya dengan senang hati.

"Ma-Marcel? Apakah kau sungguhan?" Ucapku lirih. Airmata sudah mengalir, membasahi pipiku.

Marcel menunduk, menutup sedikit wajahnya dengan topi yang ia kenakan. "Sepertinya, pekerjaan saya masih banyak. Terima kasih."

Pria itu berlari, meninggalkan aku yang mematung ditempat. Refleks aku mengejar Marcel yang sangat cepat larinya.

Persetan dengan kuliah!

Tujuanku berkuliah adalah untuk mencari keberadaan Marcel. Titik. Aku sampai menolak ajakan Sea untuk kembali ke lautan hanya karena Marcel. Ya, aku menyayanginya layaknya keluarga.

Dimana dia?

Ia menghilang....

Tidak. Aku tidak boleh berburuk sangka. Aku harus tetap berlari dan menemukan keberadaannya. Tetapi, kakiku tersandung batu hingga membuat tubuhku sontak terjatuh.

"Aaa!!" Jeritku takut.

Tetapi aku tidak merasakan sakit apapun, malah aku merasakan sebuah tangan pria yang menahan tubuhku agar tidak terhempas jatuh. Kemudian pria ini mengangkat tubuhku dan menghadap tubuhnya.

Aku mengerjabkan kedua mataku, mendongak menatap pria yang sudah menolongku. Dihadapanku, Marcel, menatapku dengan tatapan sendu. Terlihat jelas bulatan hitam dibawah matanya juga pipinya yang tirus.

"Marcel..." Ucapku dengan lirih.

Marcel menarikku dalam pelukannya, tubuhnya bergetar hebat. Suara isakkan terdengar ditelinga kananku.

"Ma-maafkan aku..."

Ya Tuhan, aku sangat rindu dengan suara ini.

"Jangan tinggal aku, kumohon. Jangan tinggalkan aku..." rintihku.

Tidak peduli dengan semua orang yang melihat pemandangan ini. Aku hanya senang karena Marcel telah kembali. Persetan dengan para remaja yang tengah memotret kami yang sedang berpelukan.

"Vale, aku merindukanmu," Marcel menangkup wajahku dengan sorot mata rindu.

Aku membalasnya dengan senyuman lalu mengangguk. "Mari kita mencari tempat yang lebih aman, Marcel. Kamu tidak melihat mereka?"

Marcel terkekeh dengan suara seraknya. "Baiklah, mari ikuti aku."

-

Pemandangan ini sangat indah, danau yang terbentang luas dengan hamparan rumput hijau yang mengelilinginya. Ditambah dengan pohon-pohon rindang yang menjulang, melihatnya aku jadi ingin berteduh dibawahnya.

"Apakah kamu menyukainya?" Aku menoleh. Marcel hanya tersenyum kecil.

"Aku sangat menyukainya!" Ucapku seraya berlari menuju pohon rindang, duduk bersender dibatangnya yang kuat.

Kedua mataku terpejam, menikmati masa-masa ini. Tuhan, dapatkah engkau memberhentikan waktu sebentar saja?

Tiba-tiba aku merasakan berat pada pahaku. Lantas mataku terbuka mendapati Marcel yang tengah tertidur dipangkuanku.
Wajahnya begitu damai, tampan seperti biasa hanya lingkaran hitam yang tidak terlalu nampak pada matanya.

Mataku menelisik tubuhnya, kemudian berhenti pada pergelangan tangannya. Gelang bintang dengan tali berwarna coklat muda itu terpasang rapih dipergelangan tangannya.

Gelang yang sama dengan milikku, hanya saja milikku berbentuk bulan.

"Marcel, apakah kau tidur sungguhan?" Tanyaku dan dibalas gumaman oleh Marcel.

"Marcel?" Tanyaku lagi.

Marcel masih menutup matanya, sepertinya ia tidak berniat untuk bangun dari mimpinya.

"Mar-"

"Bisakah aku berbaring untuk beberapa saat? Aku ingin seperti ini untuk sejenak." Aku diam membisu.

"Kamu tau, Vale. Beberapa pekan ini aku tidak bisa tidur, bahkan hanya untuk menutup mata saja rasanya sangat sulit. Kamu lihat kantung mataku? Ya, itulah akibatnya karena tidak bisa tidur. Haha," Marcel terkekeh. Masih tidak ingin membuka matanya.

"Uhm, Marcel. Kamu masih memakai gelang bintang itu?" Marcel tersenyum, mengganti posisi berbaringnya.

Sekarang ia berbaring diatas rumput dengan sebelah tangan sebagai bantalannya. "Vale, berbaringlah disampingku."

Aku menurutinya dan ikut berbaring disampingnya. Tapi tetap saja, matanya tertutup seakan enggan untuk dibuka.

"Gelang bintang ini tidak pernah lepas dari pergelangan tanganku. Karena gelang ini adalah penyemangat hidupku. Gelang diberi dari seseorang yang sangat kucintai." Aku menoleh, ia hanya menggulum senyum.

"Mau mendengar kisahku, Vale?" Tanya Marcel tiba-tiba.

Flashback On

Saat itu usiaku menginjak 9 tahun. Hidupku begitu bahagia bersama keluarga kecilku, ayah, ibu, dan juga kakak. Ayahku seorang pengawal istana, ibuku seorang siren biasa sama halnya dengan kakakku, Fey.

Hidupku bahagia sebelum pengeboman itu terjadi.

DUAR! DUAARR!!!

Sontak mataku terbelalak menatap daerah sekitar. Aku terlonjak dari tidur nyenyakku. Menatap lautan yang dipenuhi tabung berbentuk lingkaran dengan tanda aneh ditengahnya.

'Danger'

DUAR!!!

"Kakak!" Teriakku histeris.

Seseorang memeluk tubuhku dari belakang. "Jangan takut adikku, kakak akan menjagamu."

"Kak, dimana Ayah dan Ibu?" Kak Fey tersenyum seraya menarik tubuhku guna menjauh.

"Mereka pasti kembali."

Seluruh terumbu karang hancur berkeping-keping. Tabung bulat itu terus-menerus meledak mnghancurkan ekosistem laut.

DUAARR!!

"Aaa!" Kami tidak menyadari bahwa teedapat bom disamping tubuhku.

"Marcel, berlindunglah dibawah terumbu karang berwarna coklat itu. Dan berjanjilah, jangan kembali lagi kesini." Kak Fey menunjuk kearah terumbu karang yang sekitar 2 meter dari tempat kejadian.

"Menjauhlah!" Kak Fey berusaha menarik ekornya yang terhimpit dua karang besar. "PERGI!"

Aku tersentak, lalu berenang menuju terumbu karang itu dengan hati gelisah. Kecemasanku datang, langsung aku mengintip sedang apa kakakku.

DUARR!

"KAKAK!" Teriakku histeris.

Airmata tidak dapat kubendung lagi. Kakakku mati didepan mata kepalaku sendiri, tubuhnya hancur hanya menyisakan darah kental yang berbaur dengan air. Ingin sekali aku menghampiri dirinya disana, tapi tidak bisa, aku sudah berjanji.

Tubuhku meringkuk ketakutan dibawah karang besar ini. Ayah, Ibu, Kakak, apakah kalian bersama Tuhan?

Sayup-sayup aku mendengar suara kepakan ekor yang sangat ramai. 20 siren? Ah, tidak, mungkin lebih dari itu.

"Pasukan air, segera jauhkan bom itu! Pengawal, carilah korban yang masih hidup! Pasukan penyembuh, bersiaplah jika ada korban!" Tegas seorang siren dewasa dengan tubuh kekarnya.

"Neptune, kami tidak menemukan korban yang masih hidup disini." Ucap seorang siren dewasa yang kuyakini ia adalah seorang pengawal.

"Carilah dengan lebih teliti. Aku tidak ingin hal buruk terjadi lagi kepada rakyatku." Titah Neptune dengan tegas, lalu diangguki oleh para pengawal. Mereka pergi setelah menunduk hormat pada junjungan mereka.

Wajahku sedikit menyembul dari batu karang ini. Tiba-tiba wajah Neptune mengarah kepadaku, matanya menatap dengan penuh sayang.

"Bangunlah, nak. Jangan bersembunyi seperti itu." Neptune mengulurkan sebelah tangannya kepadaku dan aku menerimanya.

Aku menunduk takut. Apakah ia seorang Neptune yang disebut-sebut sebagai Raja kami? Tubuhnya yang kekar membuatku merinding.

"Dimana orangtuamu, nak? Mengapa kau bersembunyi tadi?" Tanya Neptune kepadaku.

"Orangtuaku entah dimana. Aku terpaksa bersembunyi dikarang karena perintah dari kakakku."

Neptune tersenyum. "Lantas dimana kakakmu?"

"Kakakku..." Airmata kini tak terbendung lagi. "hancur terkena benda asing itu."

Neptune membawaku kedalam pelukannya. Siren kecil sepertiku terlalu rapuh untuk menopang beban yang terus bersandar dipunggungku. Pelukan ini mengingatkanku pada sosok ayah.

Aku mendongak melihat Sang Neptune tengah mengangkat Trisullanya tinggi-tinggi membuat air bergemuruh dahsyat, hingga aku harus memeluk Neptune lebih erat.

Mataku menyisir sekitar kami. Makhluk kecil seperti ikan, udang, hingga cumi-cumi yang terluka bangkit kembali, hidup seperti semula. Itu sungguh menakjubkan.

"Neptune, apa yang anda lakukan kepada mereka?" Tanyaku polos seraya menarik tangan Neptune.

Neptune menunduk lalu tersenyum. "Trisullaku yang membuat makhluk air dapat hidup kembali."

"Apakah kakakku dapat hidup kembali, Neptune?"

Neptune menggeleng, sedangkan aku menunduk sedih. "Sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Itu diluar batas kendaliku. Makhluk air yang dapat kuhidupkan dari ikan kecil hingga megalodon yang paling besar."

Suara kepakan banyak siren terdengar menghampiri kami. Mereka berkelompok, sebagian dari mereka mendapatkan luka hitam ditangan dan juga ekornya.

"Kami menghadap Neptune," Mereka serentak menunduk hormat kepada kami. Ah tidak, lebih tepatnya kepada Neptune.

"Bagaimana perkembangannya, Pengawal?" Tanya Neptune.

Seorang siren dewasa berekor hijau maju kemudian menunduk hormat. "Mohon ampun, Neptune. Kami telah mencari penduduk yang terluka, tapi sayangnya tidak ada. Kami hanya menemukan potongan tubuh para siren yang sudah tak terbentuk. Sekali lagi, kami mohon maaf, tetapi kami sudah mencari hingga sudut yang terkecil."

Neptune mengangguk. "Aku menjumpai seorang siren muda yang bersembunyi dikarang besar itu. Sepertinya ia satu-satunya siren yang tersisa."

Mereka menatapku dengan lirih. Siren yang dibelakang menunjuk tangan lalu maju beberapa kepakan. Ia menunduk hormat sebelum berbicara.

"Neptune, jadi siren muda ini akan ditempatkan dimana? Apakah akan dirawat oleh salah satu dari kami?"

"Tidak. Aku yang akan merawatnya. Mungkin ia akan menjadi teman untuk Pangeran Sea." Neptune mengelus rambutku. "Mari kita pulang ke Istana. Obatilah luka kalian wahai rakyatku. Terimakasih."

Seluruh siren menunduk hormat. "Suatu kehormatan bagi kami, Yang Mulia Neptune."

Aku pun berenang dibelakang Neptune menuju istana.

Flashback Off

Marcel menghentikan ceritanya, menghembuskan nafas berat seraya tersenyum getir. Ia mengubah posisi berbaringnya menghadapku.

"Kisah kecilku sangat menyedihkan, bukan?" Marcel menyeka sebutir airmata diujung matanya.

"Kamu begitu hebat, Marcel, dapat melalui masa kelammu." Tanganku mengelus lengannya perlahan.

"Kamu tau setelah itu Vale?" Aku menggeleng.

"Setelah itu, kehidupanku sangat berkecukupan, makan enak, tidur nyaman. Keseharianku hanyalah belajar pedang, melatih kekuatan air milikku, dan juga belajar tentang manusia."

"Tetapi, aku menangkap sebuah sosok siren yang terbaring lemah diranjangnya. Ia seperti patung, tidak bergerak sama sekali. Kamu tau siapa dia, Vale?" Lagi-lagi aku menggeleng.

"Ia adalah Sang Pangeran, anak dari seorang Neptune. Dulu aku bertanya-tanya, 'mengapa seorang Pangeran terbaring lemah? Bukankah seharusnya ia kuat karena keturunan dari Neptune?'. Sering aku mengintipnya dari pintu ketika sedang sepi, namun tetap saja, tidak ada pergerakan sama sekali." Lanjut Marcel.

"Dan waktu itu aku melihatnya membuka matanya. Tapi tetap saja, ia tidak bangun dari ranjangnya. Karena penasaran, akhirnya aku bertanya pada pelayan tua yang merawatnya, 'pak, ada apa dengan Pangeran? Mengapa kondisinya seperti itu?' Lalu siren tua itu menjawab, 'Ia lumpuh, Nak. Tidak dapat menggerakkan ekornya walau hanya gerakan kecil' Aku hanya mengangguk. Ternyata, ada seseorang yang lebih menyedihkan dibanding aku."

"Sstt, jangan dilanjutkan, aku tidak ingin mendengarnya." Aku menutup mulut Marcel dengan jari telunjukku.

"Kalau begitu, temani aku tidur, Vale. Mungkin hingga senja tiba" Marcel mendekatkan tubuhnya kearahku, ia memelukku.

"Seandainya waktu dapat berhenti sejenak..." Suaranya kecil sebelum ia tidur. Lalu terdengar dengkuran kecil dari mulutnya.

Aku mengelus rambut hitam kecoklatannya dengan lembut. Tersenyum kecil ketika mengingat masa-masa dimana kita bersama.

Ah, aku punya ide. Bukankah disana itu ada danau? Aku dapat menumbuhkan tumbuhan herbal untuk Marcel, bukan?

Aku mengatupkan mata, membayangkan sebuah tanaman sulur yang dapat menyembuhkan seseorang yang sulit tidur. Tanganku merasakan sebuah daun yang lebar mengarah kepadaku. Ya, tumbuhan sulur ini berasal dari danau lalu memanjang kearahku.

Aku mencabut beberapa helai daun, lalu mengoleskannya pada kantung mata Marcel yang menghitam. Kemudian meremas sehelai daun berbeda hingga hancur dan langsung menyuapi ke mulut Marcel. Tenang saja, daun ini mudah lebur bila terkena air liur.

Perubahan perlahan terjadi diarea sekitar mata Marcel yang menjadi semula. Ia tampan seperti biasa.

Rencana Tuhan memang misterius. Buktinya ketika aku mencari dia yang hilang selama enam bulan, tidak disangka malah bertemu secara tidak sengaja.

Tuhan, biarkan aku seperti ini dengan Marcel untuk beberapa waktu saja.

-

"Kamu sudah bangun?" Tanyaku pada Marcel ketika ia membuka matanya perlahan.

Senyumnya mengembang setelah ia mengucek matanya. "Sejujurnya, aku belum pernah tidur se-nyenyak ini."

"Baguslah kalau begitu." Aku beranjak bangun dan Marcel mengikutinya.

"Oh iya, sudah jam berapa ini?"

Aku mengangkat kedua pundak, "Entahlah, ponselku tertinggal didalam tas."

Mata Marcel terbelalak kaget. "Jangan bilang kalau tas kamu ada dikelas?"

Aku menyengir kuda, "Betul sekali."

"Baiklah, barbie. Aku akan mengantarmu sampai ke kampus dengan selamat." Marcel menggandengku, kemudian kami berjalan menuju kampus.

Di jalan, Marcel banyak cerita kepadaku. Ia bercerita tentang pengalaman kerja diawal bulan, mendapat gaji pertama yang jumlahnya sedikit, juga teman kerjanya yang sangat friendly.

"Marcel, dimana ponselmu? Kenapa aku tidak bisa menghubungi kontakmu, Marcel?"

Marcel menggaruk tengkuknya yang kuyakini itu tidak gatal sama sekali. "Uhm, itu... ponselku terbanting hingga hancur, jadi-"

"Hancur? Kok bisa?!" Teriakku kaget.

"Y-ya, saat itu aku sedang kesal jadi aku membanting ponsel yang ada digenggamanku, hehe."

"Terus bagaimana caraku menghubungimu? Atau menemuimu lagi?" Ucapku lirih.

Marcel menangkup wajahku lalu menggulum senyum manis. "Kita dapat bertemu lagi, Vale. Tapi tidak untuk sekarang."

Mata hitam itu menatapku sendu, aku hanya menuduk sedih, "Kapan kamu akan kembali ke rumah, Marcel? Kami merindukanmu."

"Aku pun juga begitu, Vale. Jika kembali ke rumah, untuk saat ini aku belum bisa. Belum siap menerima kenyataan bahwa perempuan yang kucintai memiliki seorang kekasih. Dan lebih sakit ketika aku tau bahwa kekasih itu adalah takdir sesungguhnya." Jelas Marcel padaku membuat airmata ini langsung menetes deras.

"Maafkan aku... aku juga menyayangimu, Marcel."

Marcel langsung membawaku kedalam pelukannya yang hangat. "Sstt, menyayangiku saja sudah lebih dari cukup, terimakasih." Ia mengelus rambutku penuh sayang.

Tangisku lebih kencang dari sebelumnya. Apakah cintamu begitu dalam untukku, Marcel? Mengapa kamu mencintaiku sampai menderita seperti ini?

Pelukannya terlepas, tangannya mengulur menyeka airmataku yang masih menetes, "Jangan menangis, barbie. Kamu membuatku sedih."

"Hiks, hiks, Marcel..."

"Meskipun aku tidak berada disisimu, tapi aku selalu memantau keberadaanmu, mejaga keselamatanmu secara diam-diam." Aku mengangguk kecil.

"Aku janji akan menjaga dirimu, bahkan jika nyawa taruhannya akan kuberi. Apapun demi seorang yang kucintai, gadis didepanku," Pipiku memanas lalu tersenyum kecil. "kamu menyayangi diriku saja, aku terlebih senang."

Didepan gerbang aku melakukan aksi peluk-pelukan bersama Marcel. Biarlah, aku tidak perduli orang berkata apa. Yang jelas, aku sangat ingin menikmati momen-momen kebersamaanku dengan Marcel.

"Jaga dirimu baik-baik Marcel. Tidurlah yang nyenyak, hilangkan insomiamu. Akan kulilit kau dengan tumbuhanku hingga sulit bernafas jika aku melihat kantung hitam dibawah matamu!" Tegasku seraya berkacak pinggang.

Marcel terkekeh geli, kemudian hormat layaknya bawahan kepada atasan. "Siap boss!"

"Baiklah, aku akan mengambil tas lalu pulang."

"Maaf aku tidak bisa mengantarmu hingga ke rumah." Ucap Marcel sedih.

Tiba-tiba wajah Marcel mendekat kearah wajahku, lalu ia berbisik. "Salah satu dari mereka itu berbahaya." Aku menoleh, melihat Julian dan Profesor sedang bercakap-cakap.

"Tak apa, Marcel, mereka orang baik. Aku pergi dulu, ya!" Aku mengecup pipi kanannya dengan cepat, kemudian berlari kencang. Sedangkan ia masih mematung ditempat. Hahaha, ingin sekali aku tertawa kencang melihat wajah lucunya itu.

BRUK!

Tubuhku menabrak sesuatu yang keras hingga membuatku terjatuh. "Astaga, sakit sekali." Ucapku seraya menggosok-gosok keningku.

"Ahh, maaf saya tidak- Vale? Kebetulan sekali. Apakah ini tas milikmu?"

✺✺✺

Hampir sebulan Lala gak update cerita POS, maafkeun aku 😞

Lala baru ganti hp, baru shareit wattpad, dan baru ngetik lagi minggu kemarin 😂

Maaf... Maafkan Lala yang labil ini 😅

Maybe, ada beberapa halaman lagi setelah itu ending. Yeay ending! 😀

Berapa sih VOTE kalian untuk halaman ini? Menurut Lala sih, halaman ini ditulis dengan perasaan gabut dan berakhirlah seperti ini, acak-acakan. 😱

VOTE + COMMENT + STAY TUNE GUYS 😘

Continue Reading

You'll Also Like

406K 23.5K 53
Selena Azaerin, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, Selena tak pernah kehilangan sifat cerobohnya. Ketika gadis itu telah menyelesai...
258K 14.3K 33
"Kau akan apa? Melindunginya? Kau tidak akan bisa melakukan itu bodoh! Untuk saat ini dia akan menjadi pionnya, setelah penyihir itu berhasil mendapa...
3.9M 161K 44
Seolah tak pernah puas akan luka yang telah ia torehkan di masa lalu, sang waktu terus menghempaskan gadis itu hingga hatinya membeku. Rasa sakit dan...
1.5K 159 2
Dilihat dari sudut manapun Seishirล ini memang maniak. Maniaknya Yoichi. . . . โžฅBLUELOCK ยฉ MUNEYUKI KANESHIRลŒ X YลชSUKE NOMURA.