Author Pov.
Keesokan harinya, tepat pukul 07.30, Vale terbangun akibat suara bising alarm pada jam bekernya. Masih terpejam, ia menekan malas tombol pada jam beker tersebut. Menguap lebar seraya merentangkan kedua tangannya.
Kakinya melangkah kearah cermin dengan santai. Ketika membuka kelopak matanya perlahan, ia masih saja sempat menguap. Setelah sadar akan penampilannya saat ini, ia masih mematung didepan cermin itu.
Sungguh berantakan. Rambutnya urakan tak beraturan, matanya sembab dan hidungnya ikut memerah, juga pakaiannya yang sangat... Uh, kamu tau lah.
Akhirnya tersadar, ia segera melangkahkan kaki menuju kamar mandinya. Setelah selesai, beberapa menit kemudian, ia turun menggunakan baju santainya saat dirumah. Membiarkan rambut peraknya yang basah terurai bebas.
Langkahnya menuju dapur, mengisi kulkas yang kosong dengan berbagai macam sayuran, buah-buahan serta bumbu dapur lainnya. Walau sebenarnya, semua itu tidak berguna. Jika sudah kadaluarsa, yah, tinggal buang. Mudahkan?
Tidak jadi. Ia tidak mood untuk makan apalagi berenang setiap pagi. Yah, dan kini tujuan akhirnya adalah ruang keluarga, yang berisi sofa empuk, karpet berbulu, dan televisi dengan berbagai channel menarik.
"Hahaha!!" Sejenak ia melupakan kejadian pahit kemarin dengan tertawa saat menonton film kartun yang konyol.
Praang!!
Ia menoleh kearah bilik Marcel. Siapa itu? Mungkin ia lupa akan kehadiran Sea dirumahnya.
"Argh!!!"
Matanya membulat sempurna karena mengenal suara erangan tersebut. Segera ia mematikan televisi dan berlari kecil menuju kamar Marcel.
Tidak dikunci, kosong, dan juga basah dilantai sekitar pintu kamar mandi. Sea, apakah terjadi sesuatu padanya?
Ceklek.
"Astaga! Sea apa kau baik-baik saja?" Vale menarik lembut jari telunjuk Sea yang terjepit diantara dinding dan juga bathub.
"Aw, sakit!" erangnya.
Berdarah karena kukunya hampir lepas jika tidak cepat ditarik oleh Vale. Sungguh menyakitkan.
"Sini, biar aku obati."
Tangannya terulur menggapai jari telunjuk Sea. Perlahan tapi pasti. Jari telunjuknya dimasukkan kedalam mulutnya. Lidahnya bermain dengan kukunya yang hampir terlepas dan juga menelan semua darahnya.
Awalnya terdengar suara rintihan sakit, kemudian berubah menjadi erangan nikmat.
Cantik dan juga seksi. Rambutnya yang sedikit basah terurai bebas, bajunya aneh tapi menarik, juga permainan lidahnya membuat Sea terangsang.
Vale menyudahkan gulumannya terhadap jari telunjuk Sea yang diakhiri ciuman kecil di telunjuknya tersebut. Ajaib memang. Kukunya kembali menyatu tanpa darah ataupun bekas luka menyakitkan itu.
"Sudah. Apakah kau tidak ingin berubah, hm?"
Melirik Vale sekejab, lalu memalingkan wajahnya. Memang terkesan dingin, tapi terbesit cinta dan kerinduan yang mendalam.
"Aku bisa sendiri," Jawabnya sungkan.
Pertama, Sea mengeringkan ekor duyungnya yang masih basah menggunakan tangannya.
"Caramu yang seperti itu adalah sia-sia. Yang benar adalah memfokuskan pikiranmu pada ekormu. Bayangkan jika ekor tersebut menjadi sepasang kaki manusia,"
Walaupun kesal karena diajari, namun Sea tetap melakukannya. Hanya memfokuskan pikirannya, itu mudah kedengarannya. Tapi dugaannya salah, ini sangatlah sulit. Hingga keningnya berdenyut kencang dan tangannya mengepal hebat.
"Kosongkan pikiranmu, Sea,"
Meskipun rasa dongkol terus menghantui pikirannya, namun ia menepisnya jauh-jauh. Dan, usaha takkan pernah membohongi hasil.
Sepasang kaki manusia akhirnya dapat ia rasakan. Bahagia? Sangat malahan. Sea mencoba berdiri dengan kedua tangan yang menyangga pada bethub. Yah, rasanya sangat sulit. Sialan! Ini seperti berenang diantara ribuan bulu babi,- gumamnya.
"Sea, pakaianmu!" pekik Vale saat melihat tubuh Sea yang sedang telanjang bulat. "Aku akan menyiapkannya. Sebentar tunggu disini."
Sebelah alis Sea terangkat. Pakaian itu apa? Sea mulai mengamati kaki barunya, sedikit menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Seulas senyum tipis terlihat diwajah tampannya.
Keningnya berkerut saat melihat kejantanannya yang panjang dan besar. Benda apa ini? Apakah aku mendapatkan kutukan?!
Vale datang dengan pakaian lelaki ditangannya. Matanya ditutupi oleh sebelah tangannya. Langkahnya gemetar saat menemui Sea. Bagaimana tidak? Ia sudah dua kali melihat lelaki telanjang dihadapannya. Ia bahkan sempat merona merah pada pipinya.
"Ini, pakailah," Vale menyodorkan pakaian santai beserta dalamannya.
Sea mengamati baju tersebut, seperti bocah lugu dan polos. "Bagaimana cara memakainya?"
Vale menepuk jidatnya, ia lupa bahwa Sea belum pernah memakai sebuah pakaian. Masa aku yang memakaikannya?
"Baiklah, kubantu memakaikannya," Vale mendengus kasar dan menutup matanya kuat-kuat.
Memakaikan dalamannya, celananya, hingga bajunya. Diam-diam Sea tersenyum senang. Walaupun Vale kesal terhadap dirinya, tapi ia masih mau membantunya.
"Cobalah untuk berjalan," Vale ingin membantunya, namun tangannya ditepis pelan oleh Sea.
Ketika menggerakkan kaki kanannya untuk maju ke depan, hampir saja jatuh jika Vale tidak menarik tanganya, mencegah tubuhnya yang ingin menabrak dinding.
Vale yang sangat kesal kesal dengan sifat Sea yang sok bisa. Tangannya terulur menggapai lengan kiri Sea dan menaruhnya diatas pundaknya. Mengajari Sea berjalan dengan perlahan-lahan. Mereka pun belajar berjalan ditaman karena rumputnya halus dan bisa leluasa bergerak.
✺✺✺
Sea Pov.
"Jangan terlalu dipaksa, Sea. Perlahan saja, nanti ja--"
BRAK!!
"--tuh" Vale melanjutkan ucapannya.
Ia menghampiriku yang jatuh terjerembab direrumputan. Membantu tubuhku agar terduduk, bersender pada pot besar.
"Syukurlah, kau tak apa-apa," Vale mengelus betisku menggunakan daun herbalnya -yg ia simpan di kantong celananya, buat jaga-jaga- guna menghilangkan nyeri.
Rasa dingin dan lembut, aku rasakan dari daun hijau tersebut. Tak sengaja mataku bertemu dengan matanya. Rasa kerinduan sepertinya terjalin diantara tatapan kami. Kemudian kami saling memalingkan wajah.
Bagaimana caraku untuk berbicara padanya? Cukup berat bagiku saat melihatnya menangis, apalagi saat bicara seadanya kepadaku. Aku pun tau, jika Vale sangat mencemaskanku. Tapi aku lebih mementingkan ego-ku saat ini.
"Hei, mengapa kau yang sering melamun? Apakah sekarang melamun itu hobi-mu?" Vale melipat kedua tangannya didean dadanya.
Aku menatapnya.
"Aih, padahal dulu kau pernah mengataiku seperti itu! Terus saat kau mengajariku cara berenang seperti siren pada umumnya, kau malah memarahiku didepan pelayanmu. Ah, seharusnya aku membalas perbuatanmu saja, sekarang," Ia mulai mengomeli diriku.
Alisku terangkat sebelah, "Oh,"
Menggemaskan juga kalau Vale sedang marah-marah begini. Ingin rasanya, aku menyumpal mulutnya dengan bibirku. Sialan! Fantasi liarku sungguh bekerja.
"Tuh kan, aku sudah bicara panjang lebar tapi haya kau balas 'Oh', itu satu kata, dua huruf loh. Seharusnya- mmpphh"
Aku menutup mulutnya dengan tangan kananku. Kesal juga jika mendengar omelannya.
"Sebaiknya kau mengajariku dengan benar," cebikku, lantas mencoba berdiri.
Vale pun ikut berdiri. Bibirnya mengerucut sebal. Lucu sekali dia. Aku tersenyum kecil, aku tersadar lalu mengubah mimik wajahku seperti tadi, datar. Sahutan Vale membuat lamunanku buyar.
"Baiklah, kita akan belajar lebih serius,"
Vale mengajari dengan sabar. Bayangkan, aku disuruh berjalan sangat cepat atau Vale menyebutnya dengan berlari. Jarak pendek saja aku sudah lelah, apalagi jika berlari yang jaraknya cukup jauh. Ohh, aku ingat! Sepertinya Vale ingin membalas dendam padaku saat aku mengajarinya cara berenang.
Cuaca didaratan mulai terik. Panasnya hingga membuat kulitku terbakar. Kuyakini bahwa bibirku kering juga dengan tenggorokanku. Aku bingung, mengapa manusia bisa bertahan hidup dicuaca sepanas ini, menurutku.
"Sea! Sea sadarlah!" Teriak Vale membuatku terkejut. Spontan tubuhku oleng karena teriakannya.
"Aaaa!!" BRUK!!
Aku membuka mataku. Sial, tubuhku terjatuh diatas tubuh Vale. Untung saja, tadi kepalanya sempat kutahan dengan telapak tanganku sebagai bantalan.
Hembusan nafasnya mengenai wajahku. Aroma teratai membuatku terus ingin menghirupnya. Hidung kami bertemu. Kurasakan tangan Vale memeluk leherku kuat.
Pasang maranya terbuka sempurna, "Sea, apa yang kau- hmmp,"
Sial, aku tak dapat menahan hasratku. Kulumat bibir Vale bagai manisan. Sebelum itu, aku meletakkan kepalanya perlahan dan menahan tubuhku dengan kedua tanganku.
Kini ciuman ini menjadi panas. Mungkin aku melakukannya terlalu kasar sehingga Vale menitikkan airmata dan juga terisak. Takut kehabisan nafas, aku melepaskan panggutan tersebut. Nafas kami tidak beraturan.
"Kau breng*ek, Sea! Aku membencimu!"
Ia mendorong dadaku untuk menjauh. Kemudian berusaha berdiri namun aku cekat lengannya.
"Lalu kau itu kusebut apa, hm? Setelah kau berani berciuman dengan Marcel hingga tertidur bersama? Apa kau tidak dapat membayangkan perasaanku saat itu?!" teriakku penuh emosi.
Derai airmata membasahi pipinya. Maafkan aku, Vale. Tapi kau perlu tau, mengapa aku sampai seperti ini.
"Apakah kau benar mencintaiku, Sea?"
✺✺✺
Ups, ada itu-itu-nya ...😂😂😂
Sorry yah, Lala gak pandai buat romance scene. Hati-hati typo mulai berkembangbiak.
To Be Continue