Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
🍀🍀🍀🍀
Song Fic : Once More
By : Soyoo
Ost. Empress Ki
"Ano... Tenno-sama...."
Onix yang tadi terfokus guratan kuas yang tengah ia torehkan ke secarik kertas, seketika teralih, balas menatap safir biru dengan tatapan polos ke arahnya. "Sudah berapa kali ku katakan Naruto?"
Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah duduk disamping singgasana Kaisar itu menundukkan kepala kuningnya, menatap ubin-ubin, sebagai pengalihan rasa bersalahnya.
"Jika sedang tidak dalam rapat pemerintahan, kau boleh bebas memanggilku Oji-san." Tangan besar sang Kaisar yang begitu lembut menepuk pucuk kepala pirang bocah bernama Naruto itu.
"Hai' Te-, Oji-san..."
"Anak baik...." Tersenyum tulus, Kaisar dinasti Heian itu kembali terfokus pada kuas dan kertasnya. "Ne, Naruto, hari ini aku akan mengajarkanmu tentang Zuihitsu*) kau akan masuk perguruan Samurai sebentar lagi, jangan buat malu paman, jika kau tidak mengetahui tentang sastra Heian..." Terkekeh pelan, Hashirama mulai meraih gulungan tebal diatas mejanya.
Tanpa melihat wajah Naruto yang mendadak pucat pasi ketika di sodori gulungan tebal berupa karya sastra tersebut.
...
"Naruto!" Suara pelan namun menusuk itu seketika memenuhi telinganya. Mengumpulkan nyawa setelah seharian tertidur di perpustakaan istana, ia baru tersadar tujuannya berada di tempat membosankan ini.
"Sial, aku belum membaca satu gulunganpun, ttebayo, itu 'kan suara Oba-chan." Bergidik ngeri, bocah berusia sepuluh tahun itu, sigap langsung mengambil asal satu gulungan yang tergeletak di meja tempat ia menumpahkan air liurnya ketika puas tertidur.
Permaisuri cantik itu berdiri diambang pintu perpustakaan Istana sambil bersidekap. Manik kelabunya memandang penuh selidik pada anak lelaki pirang yang seolah tengah berkonsentrasi.
"Aku bukan paman lugumu yang bisa kau bohongi bocah!"
"Oba-chan.." Mendongakkan kepala pirangnya yang pura-pura membaca. Naruto tercengir lima jari, tanpa dosa. Menampakkan seluruh deretan gigi-gigi putihnya.
"Selesaikan membaca Makura no Sooshi dan kumpulkan rangkumannya padaku, jika tidak selesai kau hanya boleh dapat nasi putih untuk makan malam kali ini."
...
Tersenyum miris menatap dua jenazah orang yang paling berharga dalam dihadapannya. Safir birunya tak kuasa melelehkan air mata, ketika bait demi bait kenangan bersama sang Kaisar dan Permaisuri terlintas dalam otaknya. Hingga ia terkesiap dari lamunannya ketika ada tangan mungil yang menepuk pelan bahu tegapnya.
"Naruto-kun...." Bagai alunan lembut petikan dawai shamisen, suara yang amat ia rindukan itu seketika memenuhi indera pendengarannya yang sejak tadi hanya diisi oleh suara menyayat hati pengantar kematian.
"Hime...." Tersenyum tipis, ketika satu-satu tumpuan hidupannya kini duduk disampingnya.
Tangan lembut bagai sutera itu menyentuh penuh kasih rahang tegasnya yang di nodai cipratan darah Sang Kaisar. Menyalurkan kehangatan yang benar-benar ia butuhkan saat ini.
"Kami tidak akan menyalahkanmu...." Pandangan mutiara lavendernya melirik sekilas pada orang-orang yang berdiri di belakangnya.
"Kami ada disini bersamamu Naruto." Kakashi, guru yang telah mendidiknya menjadi samurai tangguh berkata tanpa ada keraguan.
"Kau tak perlu khawatir Naruto-nii." Kali ini Nawaki angkat bicara.
"Maaf, jika kami tak dapat berbuat apapun tadi." Yamato menunduk penuh rasa bersalah.
"Aku gagal menyadarkan Sasuke." Sai menundukkan kepalanya dalam, ia telah gagal mengembalikan persaudaraan mereka.
"Mereka sudah tenang disana Naruto..." Ujar Asuma lirih.
Shikamaru memilih untuk menghela nafas dalam, saat memandang tatapan kosong Naruto. Bertahun-tahun mendampingi Naruto dalam tugas keshogunan membuatnya mengerti tabiat Naruto. Pria itu butuh waktu privasi. Tak sepenuhnya menyendiri. Mantan Jenderal Samurai itu lebih tepatnya membutuhkan waktu berdua dengan sang istri.
"Lebih baik kita persiapkan upacara kremasi untuk Kanpaku-sama, Tenno-sama, dan Kogo-sama."
Kakashi mengangguk setuju dengan usulan Shikamaru. "Mereka tak mungkin mengadakan upacara kremasi kehormatan untuk keduanya. Kita akan melakukan upacara kremasi dengan sederhana."
Mengangguk pelan, sorot mata jernih sebiru lautan itu menyendu menatap lantai marmer yang di penuhi genangan darah. Setitik air mata menetes ke kulit sewarna madunya. Membuat tangan mungil Hinata terulur dan merengkuh penuh kasih sayang leher kekar Naruto. Menyandarkan kepala pirang sang suami pada bahu kecilnya.
Setelah kepergian Shikamaru, Asuma, Kakashi dan Yamato yang mengurus jenazah Mito, Hashirama dan Nagato. Dan Konohamaru yang sedang menenangkan Nawaki, tinggallah sepasang suami istri ini. Saling memeluk demi mengurangi gundah masing-masing.
Telapak tangan lembut sang istri senantiasa mengelus lembut punggung tegap milik suaminya yang bergetar hebat. Hinata dapat merasakan bagian bahu nagajuban putihnya basah akibat tetes demi tetes buliran air mata kepedihan yang menetes dari kelereng sewarna lautan jernih itu. "Hime..., Oji-san dan Oba-san sudah meninggalkanku sekarang." Suara parau itu keluar dari bibir Naruto yang bergetar menahan pilu.
Ia harus kembali mengulangi kehilangan yang sama, pembantaian yang sama, bahkan dengan cara yang lebih keji.
"Ada aku disini Naruto-kun..., selalu disampingmu, tak akan meninggalkanmu kemanapun..." Tangannya yang lain mengelus surai pirang pendek yang begitu dekat dengan wajahnya. Menempelkan pipi tembamnya pada kepala kuning sang suami. Hingga lelehan air mata dari mutiara lavendernya membasahi surai sewarna kelopak bunga matahari itu.
"Hime..., pria yang sedang kau peluk ini adalah orang yang telah membunuh Kaisar. Aku telah membunuh orang yang telah membesarkanku. Tangan ini, tangan yang di tuntunnya hingga menjadi seorang Jenderal, tangan inilah yang telah menghabisi orang itu. Aku iblis, mereka benar aku adalah iblis."
Menggelengkan kepalanya cepat. Hinata lalu menangkup rahang tegas suaminya, hingga kepala yang tengah bersandar di bahu kecilnya itu mendongak. "Naruto-kun bukan iblis..."
Tangan lembut bak salju itu mengusap tiap tetesan air mata yang mengalir di pipi kecokelatan yang dihiasi guratan menyerupai kumis kucing itu, lalu dengan sangat hati-hati menghapus lembut darah yang menetes di sudut bibir sang suami. Tersenyum tipis melapangkan dada sang suami, Hinata berusaha tak menampakkan lagi air matanya di hadapan sosok Naruto yang kini sangat membutuhkan dirinya.
Sorot safir biru itu kian menyendu menatap wajah sayu sang istri. Luka kecil yang tergores di pipi tembam sang istri membuat batinnya kembali teriris. "Apa mereka menyakitimu lagi?" Parau, bergetar, suara Naruto benar-benar menggambarkan isi hatinya. Pria itu kembali berada di titik terendah dalam kehidupannya.
Tersenyum semanis mungkin demi meneduhkan hati sang suami yang kini tengah di tutupi badai hitam, Hinata kembali menggeleng pelan. Mengecup sepasang kelopak mata kecokelatan sang suami yang dihasi kantung hitam, menandakan betapa lelahnya pria itu. Lalu bibirnya beralih mendarat pada kening berkerut Naruto dan menutupnya dengan mengecup lembut bibir merah kecokelatan itu hingga melengkungkan senyuman tipis.
Kepala kuning prianya bersandar nyaman pada bahu kecil wanita yang selalu menjadi pusat kenyamanannya. Jari jemari lentik yang menyisir lembut helaian pirangnya, membuat Naruto memejamkan mata, menikmati sentuhan penuh kasih dari wanita tercintanya, yang mampu sedikit meredam rasa sesak yang mendera batinnya.
"Oji-san memintaku mengantarkannya pada Oba-san.." Kelopak mata kecokelatan yang terpejam itu kembali meneteskan air mata di bahu kecil yang menjadi sandrannya. "Mengantarkannya menuju kematian menyusul Oba-san..., baka! Padahal tinggal menunggu sebentar saja dia juga akan mati menyusul Oba-san, tapi Kaisar polos itu tidak sabaran..., dan malah memintaku mempercepat kematiannya..."
Walau tangan lembutnya terus menyisir halus surai pirang sang suami, tetapi pipi sewarna susunya sudah dibasahi linangan air mata, antara rasa haru dan miris mendengar dari sang suami, betapa Kaisar begitu mencintai permaisurinya.
"Naruto-kun...."
Suara lembut sang istri yang menggema di telinganya membuat Naruto kian mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang sang istri, dengan sangat hati-hati, karena ia begitu takut menyakiti mahluk mungil yang hidup dalam rahim istrinya.
"Waktu itu...." Hinata beceloteh sambil menatap sendu langit senja musim dingin yang dihiasi awan kelabu hingga kilau jingga sang senja begitu nampak suram. "Ketika Oba-san memutuskan untuk kembali ke Dairi, dia berpesan pada Nawaki, bahwa apapun yang terjadi pada mereka, tak boleh ada sedikitpun dendam yang tersemat. Kurasa itu juga berlaku untuk kita...."
Elusan dari surai pirang itu berpindah pada tengkuknya. "Naruto-kun... tidak akan menyimpan dendam lagi, bukan?"
Kepalanya yang bersandar pada bahu kecil Hinata menggeleng pelan. Tidak, ia tak akan memperpanjang rantai dendam ini lagi. "Aku ikhlas dengan apa yang sudah terjadi, tapi tak akan kubiarkan hal yang lebih buruk terjadi lagi, kau, anak kita dan Nawaki adalah harta terakhir yang kumiliki."
Sorot mata Hinata menyendu, mendengar kegigihan Naruto untuk melindungi orang yang di cintainya. Pikirannya menerawang pada sang adik yang di tinggal di dalam hutan dalam keadaan tak sadarkan diri. 'Hanabi..., apa kau baik-baik saja..?'
...
Rangkulan tangan besar yang ada di pundaknya, sontak membuat Nawaki tersadar dari lamunannya itu. Bocah yang baru saja menjadi yatim piatu itu menatap sekilas kearah pemuda yang duduk disampingnya.
"Mereka sudah bahagia bersama."
Bocah berusia sepuluh tahun itu menatap langit sambil tersenyum miring. "Ya..., mereka berdua pergi dengan damai dan meninggalkanku disini."
"Pangeran, kau adalah harapan mereka." Pemuda itu tersenyum memberi semangat.
"Aku bukan lagi Pangeran, Konohamaru Nii-san..." Celetuk Nawaki gusar.
"Aku boleh memanggilmu Otouto?"
"Terserah..."
Konohamaru mengikuti jejak Nawaki menatap langit sendu senja itu.
"Konohamaru-nii..."
Kepala Konohamaru tertoleh saat mendengar panggilan dari Nawaki.
"Hanabi-nee, mereka mengikatnya di pohon, aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak, tapi matanya tertutup."
Menutup paksa kelopak matanya, Konohamaru tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya karena informasi Nawaki. 'Hanabi maafkan aku yang tak berguna ini.' Tangan kirinya meremas dadanya yang berdenyut nyeri.
...
Turun dari kuda hitamnnya, Sasuke menapakkan kakinya yang terlapis sepatu besi itu di rumput rapi istana Kamakura Bafuku. Kepalanya yang sudah berdenyut kini bertambah sakit saat menangkap eksistensi wanita bersurai permen kapas yang berdiri dihasapannya dengan membawa buntalan.
"Mau kemana kau?" Sambil memengangi kepalanya yang berdenyut itu, tangannya yang lain memengagangi lengan putih wanita yang telah menyandang klan Uchiha di depan namanya.
"Pergi dari sini, kau sudah mendapatkan kemenangan bukan Shogun-sama? Jadi untuk apa lagi aku berada disini, kau sudah tak membutuhkanku." Berusaha melepaskan tangan Sasuke yang menggenggam erat lengannya, namun sia-sia. Walau dalam keadaan sakit kepala hebat yang menyerangnya, Sasuke sama sekali tak mengendurkan genggamannya.
"Mau kemana? Kau itu sedang hamil!"
"Khe..." Mendengus miris saat mendengar Sasuke mengkhawatirkan kandungannya. "Peduli apa kau dengan janin ini, dia bukan siapa-siapamu, kau bahkan meragukannya."
"Sakura, aku-"
Ucapannya terhenti. Perlahan Sakura merasakan genggaman pada tangannya mengendur.
Brukkk
"Sasuke-kun!!!!!!!!!!"
Tubuh tegap Sasuke jatuh tersungkur di halaman istana Kamakura Bafuku, karena tak kuasa lagi menahan sakit kepalanya. Memori yang di tanamkan Mito menjelang ajalnya itu kini mulai bekerja.
...
"Menyusahkan! Uchiha itu terkapar tak sadarkan diri setelah di lilit oleh rubah jalang itu." Toneri meletakkan cawan kecil yang sakenya sudah dia tenggak habis.
"Biarkan saja." Yahiko menyeruput tenang sake yang masih tersisia di cawannya. "Kita sudah tak memerlukannya lagi."
"Kau benar. Sekarang tinggal bagaimana memperbaiki nama kita dihadapan rakyat. Aku tak mau terjadi penolakan rakyat atas kepemimpinanku."
Yahiko menyeringai tipis ketika mendengar kerisauan Toneri. "Mengulang sejarah."
Dahi Toneri berkerut ketika mendengar solusi dari Yahiko.
"Naruto baru saja menebas Kaisar untuk menghilangkan derita kematian akibat panahmu. Orang-orang yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya pasti akan mengira-"
"Dia yang membunuh Kaisar." Toneri menyeringai setelah melengkapi ucapan Yahiko yang ia potong.
"Minta Neji untuk mengeluarkan titah itu, kau jangan lupa dia adalah seorang Hakim Agung sekarang." Tambah Yahiko sembari menimang-nimang cawan sakenya.
"Lalu setelah Naruto masuk penjara kita akan dengan mudah mengobrak abrik tubuh wanita hamil itu." Toneri tersenyum tipis mengutarakan niat kejinya.
"Pikirkan dulu bagaimana cara agar rubah itu tak mengamuk ketika kita menangkapnya. Mereka memang terkurung di dalam Dairi dan aku sudah memperkuat segel. Tapi dia tentu tidak akan diam saja ketika kita menangkap apalagi sampai membawa istri buncitnya itu."
"Akalmu benar-benar pendek Yahiko." Toneri menyeringai tipis. "Biar Neji sendiri yang menyuguhkan sake bunga belerang padanya. Kekuatan kitsunenya akan lumpuh permanen dan kita bisa menarik kitsune-bhi dari dalam tubuhnya tanpa kesulitan."
"Aku akan meminta Konan meramunya, dan satu lagi, darah rubah betina untuk di cekok pada wanita hamil itu."
"Khe, untuk apa itu?"
Kembali tersenyum licik menanggapi pertanyaan Toneri.
"Apa kau mau menunggu tiga puluh hari lagi untuk menggenapi usia kandungannya? Akan ku buat kandungannya membesar secara paksa dan menarik janin busuk itu keluar ketika organnya telah sempurna."
...
"Dia masih hidup, Tomoyo cepat bantu aku melepaskan ikatannya!!!"
"Hai' Shizune-sama..."
'Hanabi bertahanlah....'
つづく
Tsudzuku
Zuihitsu*) adalah genre sastra Jepang yang terdiri dari esai dan ide-ide yang biasanya bereaksi terhadap lingkungan penulis. Zuihitsu muncul pada zaman Heian, namun berlanjut ke periode Abad Pertengahan.
Di zaman Heian zuihitsu yang terkenal adalah Makura no Sooshi karya Seishoonagon. Makura Sooshi merupakan catatan esai seorang dayang mengenai kehidupan di istana pada masa awal terbentuknya dinasti Heian, tahun saat dimana ibu kota dinasti masih berpusat di Kota Nara.
Info lebih lanjut :
http://www.academia.edu/8555413/Seishounagon_biografi