Kembalinya Pendekar Pemanah R...

By JadeLiong

120K 1.7K 44

Sekuel kedua dari trilogi Pendekar Rajawali yang melegenda. Latar belakang kisah novel ini terjadi pada masa... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35 (TAMAT)

Jilid 29

2.8K 45 0
By JadeLiong

Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu? sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu2nya orang yang paliug dihormati dan dicintai Nyo Ko, mencemar nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Nyo Ko.

Habis menampar Kwe Hu, Nyo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak betah tinggal lebih lama di kota ini.

Karena ia lantas turun hendak memakai sepatu dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba, Sambil mendengus sebelah tangan Nyo Ko meraih dan tangan yang lain terus menutuk dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.
Ber-turut2 kecundang, Kwe Hu tambah murka? dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke kepala Nyo Ko.
Seketika pandangan Nyo Ko menjadi silau tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok- li-kiam untuk menangkis.
Tak terduga karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.
Sementara itu tabasan pedang Kwe Hu sudah tiba, "Trang", kedua pedang beradu, Siok~li~kiam kutung menjadi dua. Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Nyo Ko tadi.
Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Nyo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi....
Bagaimana akibat dari tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia menunggang kuda merah menyusul Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah kesasar ke jurusan yang lain.Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Nyo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu.
Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siao~liong-li mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Nyo Ko.
Tentu saja ia girang, ia kuatir Nyo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam2 saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Nyo Ko menghadapi musuh.
Celakanya yang terdengar adalah ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Cing dan Ui Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Nyo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara diam2 dari Ui Yong, dilihatnya pula Nyo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.
Begitulah setiap Nyo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.
Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Nyo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.
Biasanya Nyo Ko juga tidak pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Nyo Ko.
Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar oleh Nyo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata.
Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung. Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil. ia pikir: "Nyo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri ber-ulang2 merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku."
Begitulah lantaran dia juga mencintai Nyo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi olehnya: "Sebabnya Ko-ji tidak cepat2 membunuh Kwe~tayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja."
Setelah berpikir pula, akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa di-sayat2, cintanya kepada Nyo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting.
Karena itulah malam itu juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Nyo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.
Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe Cing serta Ui Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.
Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Nyo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coat~ceng~kok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Ui Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang.
Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.
Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Nyo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa.
Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Nyo Ko, tanpa terasa air matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat tidur.
Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang", ia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.
Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan.
Karena menguatirkan keselamatan Nyo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ dilihatnya Nyo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik.
Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Nyo Ko dan lain2.
Begitulah Siao-liong-li terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba2 tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya.Tiba2 timbul pikirannya akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Nyo Ko benar2 menjadi suatu pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Nyo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan "kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Nyo Ko itu. setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi.
Sudah tentu Kwe Hu ter-heran2 dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat keluar jendela pula.
"Kembalilah, Liong-kokoh!" cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula.
Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Nyo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh semak2 bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi.
Selagi melayang pikirannya, tiba2 dari pojok rumah di sebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata: "Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?"
Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat.
Segera terdengar pula suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata: "Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?"
Terdengar orang- pertama tadi -menjawab: "lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?"
"Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?" jengek pula orang kedui tadi, "Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu .... Wah, hahahaha!" Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.
Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini?
Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam2 ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut.
Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik2 cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas.
Terdengar Ci-peng lagi berkata: "Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?"
"Kau sendiri paham, masakah perlu kuterangkan?" jawab Ci-keng.
"Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?"
"Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan," jengek Ci-keng pula.
Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata: "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu."
Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan.
Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi:
"Ya, memang benar, malam itu di balik semak2 bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal...." sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut se-akan2 orang sedang mengingat.
Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat "Masakah dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!"
Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin: "Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?"
Mendadak terdengar suara "blang-blung" beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata: "Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut. .. .tidak... tidak..."
"O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi."
Dalam waktu yang singkat saja ber-turut2 Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika dia berdiri ter-mangu2 di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami.
Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa: "Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat."
"Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?" ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras: "Hm, tidak perlu kau bicara muluk2, pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Nyo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup."
Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Nyo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si INyo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya.
Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan berkata dengan gemas: "Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma.. cuma..."
"Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?" jengek Ci peng."ltuIah belum pasti," kata Ci - keng. "Sedikit ilmu silat golongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan? In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya."
Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga. .
Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus "Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu."
"Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit," damperat Ci~keng.
Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak: "Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas2 tertentu."
Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani melawan Sedikitpun.
Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata2 kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju terus menggampar.
Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan meng-hantamnya, cepat ia menunduk, "plok", dengan tepat kuduknya yang kena tampar.
Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup. Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk.
Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek: "Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku." Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang.
"Setiap hari kau menyiksa aku, paling2 juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya," ucap Ci peng dengan geram.
Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja.
Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.
Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas2 nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya: "Liong-Kokoh!"
Siao liong-Ii berdiri ter-mangu2 saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.
Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara olok2 dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.
Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata2 kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.
Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata2 kotor kedua orang itu se-akan2 tak dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan: "Apakah betul apa yang mereka katakan itu?"
"Aku... akupun tidak tahu." jawab Siao-liong-li dengan bingung, "Tampaknya memang begitu." .
Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi.
Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang bicara diluar, "Trang" begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: "Siapa itu?"
"Aku," jawab Siao-liong-li.
Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar "Kau? Kau siapa?"
"Siao-liong-li!"
Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan.
Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati bunuh diri.
Sama sekali ia tak menduga bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.
Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu.
"Kau....kau" Ci-peng menegas dengan melongok
"Benar, aku." jawab Siao-liong-li. "Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?"
"Be.... betul" Ci-peng mengangguk, "Boleh kau bunuh saja diriku!"
Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Nyo Ko secara mendalam seperti dahulu.
Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan bingung.
Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai: "Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau-"
Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.
Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi ter-huyung2 dan ikut berlari keluar.
Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur kian kemari di jalan2 dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur.
Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Cing, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu benteng.
Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak: "Siapa itu?"
Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di depan masih remang2 tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang kelihatan. Diam2 anggota Kay-pang itu mengomel.
Ia pikir barangkali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.
Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.
Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam: "Wah, bahaya, sungguh bahaya!"
Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal. Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siau-liong-li.
Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu2 masih mengintil dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.
Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi.
Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera "tancap gas" lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.
"ln-sute," katanya kemudian, "kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu."
"Maksud tertentu apa?" tanya Ci-peng. . ,
"Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis2an."
Hati Ci-peng terkesiap, terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati2an, apalagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.
Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.
Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya.
Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak. Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.
Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.
Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka ber-lari2 kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.
Dalam pada itu panas matahari yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika tiba2 nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat.
Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya.
Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.
Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu2 saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu.
Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa, melirik Siao- liong li, melihat nona itu ter-mangu2 se-akan2 lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi i syarat, dengan pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan.
Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti mayat, serunya: "Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita." Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.
Ci-keng menjadi gusar dan membentak: "Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?" Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula.
Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar.
"Mengapa kau pukul aku?" teriak Ci - peng dengan gusar.
Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran.
Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengaa suara tertahan ia berkata pada Ci-peng: "Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura2 berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li."
Ci-peng-menurut, mereka pura2 berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil mem-bentak2.
Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal ke bawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.
Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga.
"Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur," kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.

Menjelang malam, sampailah mereka di suatu kota kecil. Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar. Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa bakpau.

Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan.
Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung.
Tidak lama makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba2 terdengar suara ribut di luar, seorang sedang mem-bentak2 dan bertanya "Siapa pemilik kedua ekor kuda ini? Mengapa berada di sini?" Dari logat suaranya agaknya orang Mongol.
Ci-keng berdiri dan mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah.
Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara2, segera ia tampil ke muka dan berteriak: "Kudaku, ada apa?"
"Dapat darimana?" tanya perwira itu. "milikku sendiri, peduIi apa dengan mu?" jawab Ci-keng.
Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol?
Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam2 perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula: "Kau dapat beli atau mencuri?"
"Beli atau mencuri apa?" jawab Ci-keng dengan gusar. "Kuda ini adalah piaraanku sendiri."
"Tangkap" mendadak perwira itu memberi aba2. serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus.
"Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang." bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.
"Berani kau melawan, maling kuda?" jengek perwira Mongol itu. "Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku mencuri tidak?" ~- Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.
Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.
Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab. Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot: "Siapa bilang kuda perang Mongol? Di tempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini? Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?"
"Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju dada Ci-keng.
Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan
Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring ber-turut2, rak mangkok piring dan barang2 porselin lain sama roboh dan hancur berantakan...
Muka perwira itupun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.
Cepat para perajurit Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.
Ci-keng ter-bahak2 gembira dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.
Karena ribut2 itu, toko2 yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan diwarung itupun segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan.
Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba2 kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian se-baik2nya.
Dengah tertawa ia lantas berkata: "jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini."
Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat.
Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng: "Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya."
Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak," segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu. "Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?"Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan membawakan arak pula.
Sementara itu perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng: "ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya."
Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal.
Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling.
Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri si pelayan. Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.
Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang2 itu sama tergeletak tak bisa berkutik. Habis "ngamuk", Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata: "sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur."
Baru sekarang orang2 itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus. segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.
Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang2 rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala.
Setiba di depan rumah makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.
Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula mereka membentak: "Lekas bawakan santapan enak, kami buru2 mau berangkat lagi!"
Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya?
Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi.
Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh. Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu. sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama2 pulang ke markas besar Kubilai.
Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh2 Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam2 mereka kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat meloloskan diri.
Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu.
Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya.
Pada saat itu tiba2 terjadi kegaduhan di luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil mem-bentak2 terus hendak menangkapnya.
"Lari melalui pintu belakang". demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang.
Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka.
Ketika hampir menuju ke ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam2 ia tergirang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.
Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu2 melompat ke sana, sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.
Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago Iemah.
Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya: Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri.
Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belum lama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.
Melihat kawannya rada kerepotan, pelahan Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping.
Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan memegangi lengannya. Saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng, ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak. "trang", pedang terpaksa dilepaskan dan jatun ke lantai.
Meski tenaganya belum cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng. Ketika Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ong memang luar biasa bisa keras bisa lunak, "krek", tahu2 pedang Ci-peng juga patah, yang terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja.Dengan pelahan Hoat-ong menurunkan Nimo Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu2 pundak kedua Tosu sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa: "Kita belum pernah kenal, kenapa saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di sini, Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2."
Cara memegang Hoat-ong itu biasa saja, tapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih oleh tenaga maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani menjawab.
Sementara itu pasukan Mongol yang menerjang masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa: "Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka..." sampai di sinj, tiba2 ia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak: "Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?"
Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, ia merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini.
Pegangan Hoat-ong lantas dikendurkan, diam2 iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia mereka rata2 baru 40-an.
Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan tertawa: "Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19 tahun yang lalu kita pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang kambing, masakah sudah lupa, Namaku Sato!"
Setelah mengamati dan mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru: "Aha, betul, betul! sekarang kau berewok lebat sehingga aku pangling padamu."
"Selama ini kami terus berjuang kian kemari sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tidak banyak berubah," ujar Sato dengan tertawa, "Pantas Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata,"
Lalu ia berpaling kepada Hoat-ong dan menutur: "Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri"
Hoat-ong manggut2, lalu melepaskan pundak Ci-peng berdua.
Supaya diketahui, dahulu waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya. Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah murid tertua dengan sendirinya ia ikut serta.
Untuk mereka, Jengis Khan telah mengutus 200 perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala mana Sato cuma seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal itu, sebab itulah dia kenal In Ci-peng.
Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol dengan sendirinya tak diusut pula.
Kim-Iun Hoat-ong juga pernah mendengar nama Khu Ju-ki dan mengetahui dia adalah tokoh nomor satu Coan-cin-pay, sekarang dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah, diam2 ia mengakui ilmu pedang dan Lwekang Coan-cin-pay memang lihay.
Dalam pada itu Sato sibuk menanyai Ci-peng tentang kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lain, bicara kejadian dimasa lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira,
Pada saat itulah tiba2 masuk seorang perempuan muda berbaju putih. serentak Hoat-ong, Nimo Singh, Ci-peng dan Ci-keng sama terkesiap, Ternyata pendatang ini adalah Siao-liong-Ii.
Diantara orang2 itu hanya Nimo Singh yang tidak punya rasa dendam, segera ia menegur. "Hai, pengantin perempuan Cui-sian-kok, baik2 ya kau?"
Siao-liong-li hanya mengangguk saja tanpa menjawab, ia pilih meja dipojok sana dan berduduk tanpa gubris orang lain, ia memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan santapan.
Air muka Ci-peng berdua menjadi pucat dan hati berdebar, Hoat-ong juga kuatir kalau segera Nyo Ko menyusul tiba, selamanya dia tidak gentar apapun kecuali permainan ganda ilmu pedang Nyo Ko dan Siao-liong-li.
Begitulah ketiga orang sama memikirkan urusan sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja, Ci-peng berdua sebenarnya sudah kenyang makan, tapi kalau mendadak terdiam bisa jadi akan menimbulkan curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa berhenti agar mulut tidak mengangur.
Hanya Sato saja yang tetap gembira ria, ia tanya Ci-peng : "ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu dengan Pangeran kami?"
Ci-peng hanya menggeleng saja tanpa bicara. Sato lantas menyambung: "Wah, pangeran kita ini sungguh pintar dan bijaksana, beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap perajurit sayang padanya, sekarang aku hendak menghadap beliau memberi laporan keadaan, kalau kedua Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta menghadap beliau?"
Ci-peng sedang bingung, maka tanpa pikir ia menggeleng pula, Tapi pikiran Ci~keng lantas tergerak ia tanya Hoat-ong: "Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?"
"Ya," jawab Hoat-ong "Pangcran Kubilai adalah pahlawan yang tiada bandingannya di jaman ini, kalian harus berkunjung dan berkenalan dengan beliau."
"Baiklah," cepat Ci-keng menanggapi "Kami akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana." ~ Habis ini kakinya menyenggol pelahan kaki Ci-peng serta mengedipinya.
Sebenarnya Ci-peng terlebih cerdik daripada Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika ia menjadi linglung, Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng itu, rupanya ingin meloloskan diri dari kejaran Siao liong-li dengan bernaung di bawah lindungan Kim-lun Hoat-ong.
Begitulah setelah makan, ber-turut2 semua orang lantas berangkat. Diam2 Hoat-ong merasa lega karena selama ini Nyo Ko tidak kelihatan muncul, pikirnya: "Coan-cin-kau adalah suatu sekte agama berpengaruh di Tionggoan, kalau saja dapat dirangkul tentu akan banyak bermanfaat bagi pihak Mongol. Apalagi tujuannya ke Siangyang telah mengalami kegagalan total, kalau dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau ini kan juga suatu jasa besar."
Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka terus melarikan kuda dengan cepat, ketika di belakang terdengar pula derapan kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar2 kelihatan Siao-liong-li masih mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai.Kim-luo Hoat-ong juga merinding setelah mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka, Diam2 iapun heran mengapa Siao-liong-li berani mengikutinya sendirian, padahal satu-lawan-satu jelas nona itu pasti bukan tandinganku, jangan2 dia membawa bala bantuan secara tersembunyi?
Demikianlah Kim-lun Hoat-ong menjadi sangsi, padahal kalau sekarang dia berani menyongsong kedatangan Siao-liong-li dan melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau tidak terbunuh juga tertawan, Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng berdua dari Coan~ cin-pay, ia menjadi kuatir kalau kebetulan kecundang, hal ini tentu akan menurunkan pamornya, sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan pura2 tidak tahu penguntitan Siao-liong-li.
Setelah menempuh perjalanan setengah malaman, sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan berhenti mengaso, Masing2 duduk istirahat di bawah pohon, kelihatan Siao-liong-li juga turun dari keledainya dan duduk di sana dalam jarak beberapa puluh meter jauhnya.
Semakin misterius gerak-gerik si nona, semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong dan tidak berani sembarangan bertindak
Yang paling ketakutan tentu saja, In Ci-peng, memandang saja dia tidak berani: sesudah cukup mengaso, kemudian pasukan berangkat lagi, setelah jauh meninggalkan hutan itu, terdengar suara "keteplak-keteplak" yang samar2, ternyata Siao-liong~li tetap menguntit di belakang dengan keledainya.
Sampai pagi mendatang, Siao-liong-li tetap mengintil di belakang dalam jarak itu2 juga.
Sementara itu rombongan mereka sampai di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada menampak suatu bayangan apapun. Diam2 timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia membatin: "Sejak kudatang ke Tionggoan belum pernah ketemu tandingan, tapi akhir2 ini ber-turut2 dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Nyo-Ko dan nona ini. sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk, sebelum dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya, seumpama nanti bala bantuannya tiba tentu juga tidak keburu menoIongnya. Dan jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu melebihi aku."
Setelah ambil keputusan itu, baru saja dia mau menahan kudanya untuk menantikan datangnya Siao-liong-li, tiba2 dari depaa ada suara gemuruh datangnya serombongan orang disertai debu mengepul dan suara keleningan kuda atau unta.
"Wah, terlambat jika tahu bala bantuannya akan datang sekarang, tentu sejak tadi kubinasakan dia," demikian Hoat-ong membatin karena tidak sempat lagi menindak Siao-liong-li.
Pada saat lain tiba2 terdengar Sato berseru menyatakan herannya, Waktu Hoat-ong melongok jauh ke sana, terlihat rombongan yang datang itu sangat aneh, seluruhnya empat ekor unta tanpa penunggang, pada punggung unta pertama di sisi kanan terpancang sebuah bendera besar, ujung tiang bendera itu ikut berkibaran pula tujuh ikat bulu putih, itulah panji pengenal Kubilai.
"Barangkali Ongya yang datang?" guman Sato sambil keprak kudanya menyongsong ke depan, Kira2 beberapa puluh meter dari rombongan unta itu. Sato lantas turun dari kudanya dan berdiri di tepi jalan dengan hormat.
Kim-lun Hoat-ong merasa tidak leluasa lagi untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang, ia ingin menjaga harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia membunuh seorang perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina.
Sementara itu keempat unta tadi masih terus berlari cepat mendatangi tapi Hoat-ong tidak turun dari kudanya melainkan pelahan2 memapak kedepan. Terlihat di antara tempat luang keempat ekor unta itUi ada berduduk seorang secara terapung, orang itu berjenggot dan beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu Pek-thong yang baru mengacaukan Cui-sian-kok itu.
Terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari jauh: "Bagus, bagus! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita berjumpa kembali di sini, ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!"
Hoat-ong sangat heran, ia tidak mengerti mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah2 keempat unta itu. Tapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara, kiranya di antara unta2 itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk tiap2 unta dan di tengah - tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong berduduk.
Ciu Pek-thong adalah Sute cikal-bakal Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta dengan nenek guru Siao-liong-li, bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau sekarang dialah paling top, tapi selangkahpun dia tidak pernah menginjak Tiong-yang-kiong dan jarang pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan lain2, sebab itulah Ci-peng dan Ci-keng tidak mengenalnya.
Meski, mereka pernah mendengar cerita dari guru masing2 bahwa mereka mempunyai seorang Susiokco (kakek guru muda), tapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan sudah meninggal dunia, maka sekarang merekapun tidak menduga bahwa tokoh aneh ini adalah sang Susiokco yang maha sakti itu.
BegituIah Hoat-ong mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Ciu Pek-thong itu, ia pikir ilmu silat orang ini teramat tinggi dan sukar dilawan, ia coba menanyainya: "Apakah Ongya berada di belakang sana?"
"Kira2 40 li dibelakang sana adalah perkemahannya," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa sambil menuding ke belakang "Eh, Toa-hwesio, kunasehati kau sebaiknya kau jangan pergi ke sana,"
"Sebab apa?" tanya Hoat-ong heran, "Sebab dia sedang marah2. jika kau ke sana, mungkin kepalamu yang gundul itu akan dipenggal olehnya," ujar Pek thong.
"Ngaco-balo!" omel Hoat-ong dengan mendongkoI. "Sebab apa Ongya marah?"
Sambil menuding panji tanda pengenal Kubilai itu, Pek-thong berkata dengan tertawa: "Lihat ini, panji kebesaran Ongyamu ini kena kucuri, mustahil dia tidak marah2 ya"
Hoat-ong meIengak, diam2 iapun percaya apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak berdusta, Segera ia tanya pula: "Untuk apa kau mencuri panji kebesaran Ongya?"
"Kau kenal Kwe Cing bukan?" tanya Pek-thong
"Ya, ada apa?" Hoat-ong mengangguk.
"Dia adalah saudara mudaku." tutur Pek thong dengannya sudah belasan tahun kami tidak bertemu, aku sangat kangen padanya, maka aku buru2 hendak menjenguk kesana. Kudengar dia sedang berperang dengan orang Mongol di Siang-yang, maka aku sengaja mencuri panji kebesaran pangeran Mongol ini sebagai kado untuk saudara-angkatku itu."
Hoat-ong kaget. ia pikir urusan bisa celaka, sedang Siangyang belum dapat dibobol, sekarang panji kebesaran panglimanya direbut musuh, hal ini teramat memalukan. "Hm ia harus mencari akal untuk merampas kembali panji ini."
Mendadak terdengar Ciu Pek-thong membentak, empat ekor unta itu terus bergerak dan berbondong2 berlari ke sana, setelah mengitar satu lingkaran, lalu berlari kembali, panji besar itu berkibar tertiup angin Ciu Pek-thong berdiri menegak di tengah persilangan tali, dengan tangan memegang tali kendali keempat unta, lagaknya seperti panglima besar saja, dengan ber-seri2 ia melarikan kawanan unta itu, sesudah dekat, "tarrr", cambuknya berbunyi dan serentak unta2 itu lantas berhenti, entah dengan cara bagaimana Ciu Pek-thong ternyata dapat mengendalikan unta2 itu dengan sangat penurut"Toa-hwesio, bagus tidak barisan unta pimpinanku ini?" tanya Pek-thong dengan tertawa.
"Bagus sekali!" jawab Hoat-ong sambil mengacungkan ibu jarinya, tapi diam2 ia sedang memikirkan cara bagaimana merebut kembali panji itu.
Tiba2 Ciu Pek-thong mengangkat tangannya dan berseru: "Toahwesio, nona cilik, Lo wan-tong mau berangkat!"
Mendengar sebutan "Lo-wan-tong" itu, serentak Ci-peng dan Ci-keng berseru: "Susiokco!" - Berbareng merekapun melompat turun dari kudanya.
"Apakah ini Ciu-locianpwe dari Coan-cin-pay?" tanya Ci-peng.
Biji mata Ciu Pek-thong4 tampak ber-putar2, lalu menjawab: "Hm, ada apa? Kalian ini anak murid "hidung kerbau" yang mana?"
Dengan hormat Ci-peng menjawab: "Tio Ci-keng adalah murid Giok-yang-cu Ong-totiang dan Tecu sendiri In Ci-peng murid Tiang-jun-cu Khu-totiang."
"Huh, Tosu kecil Coan-cin-kau makin lama makin tidak keruan, tampaknya kalian juga tidak becus," dengus Pek-thong, mendadak kedua kakinya memancal ke depan, sepasang sepatunya terus me-nyamber ke muka Ci-peng berdua.
Ci-keng terkejut, cepat ia hendak menangkapnya. Tapi Ci-peng sudah yakin orang tua ini pasti Ciu Pek-thong adanya, ia pikir kalau Susiokco mau memberi hukuman, betapapun tidak boleh menghindar apalagi tenaga samberan sepatu itu tampaknya juga tidak keras, kalau kena rasanya tidak terlalu sakit, karena itulah ia tidak ambil pusing samberan sepatu dan tetap memberi hormat.
Di luar dugaan, ketika sepatu itu menyamber sampai di degan muka Ci peng berdua, se-konyong2 dapat memutar balik. Tangan Ci-keng menangkap tempat kosong, sementara itu kedua buah sepatu telah masuk kembali ke kaki Ciu Pek-thong.
Meski perbuatan Ciu Pek-thong itu lebih menyerupai permainan jahil, tapi kalau tidak memiliki tenaga dalam yang maha sakti pasti tidak dapat melakukannya. Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah pernah menyaksikan Anak Tua Nakal itu mempermainkan orang di kemah Kubilai dengan pura2 menimpukkan ujung tumbak, maka mereka tidak merasa heran, sebab dasarnya sama saja seperti permainan sepatu terbang ini.
Akan tetapi Ci-keng menjadi amat kaget tak terhingga, dengan kepandaiannya sekarang, betapapun lawan menyerangnya dengan senjata rahasia juga pasti dapat ditangkapnya tanpa meleset, siapa tahu sebuah sepatu butut yang tampaknya menyamber tiba dengan pelahan itu ternyata takdapat ditangkapnya, Keruan ia tidak berani ragu lagi, segera ia ikut menyembah dan memperkenalkan namanya.
"Hahaha," Ciu Pek-thong tertawa, "Penilaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sungguh rendah, mengapa menerima murid2 tak becus begini? Sudahlah, siapa minta disembah kalian?" - Habis ini mendadak ia membentak: "Serbu!" - serentak keempat ekor unta terus membedal cepat ke depan.
Namun secepat burung terbang Hoat-ong lantas melayang ke sana dan mengadang di depan kawanan unta sambil berseru: "Nanti dulu!" Kedua tangannya menahan di batok kepala dua ekor unta yang di depan, seketika pula unta2 yang sedang berlari itu dapat dihentikan dan bahkan didorong mundur beberapa langkah.
Ciu Pek-thong menjadi gusar, teriaknya: "Toa-hwesio, apakah kau mengajak berkelahi? Sudah belasan tahun Lo-wan-tong tidak menemukan tandingan kepalanku memang sedang gatal, marilah kita coba2 beberapa jurus!"
Sifat Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, semakin tua bukannya semakin loyo, tapi kepandaiannya semakin tinggi sehingga tiada seorangpun yang berani bergebrak dengan dia. Tapi iapun tahu ilmu silat Kim-lun Hoat-ong cukup lihay dan dapat diajak berkelahi maka segera ia gosok kepalan dan ingin bergebrak
Namun Hoat-ong meng-goyang2 tangannya dan berkata: "Tidak, selamanya aku tidak sudi bergebrak dengan manusia tidak tahu malu, kalau kau memaksa, silakankau pukul saja dan pasti takkan kubalas."
Tentu saja Pek-thong menjadi gusar, damperat-nya: "Mengapa kau berani menganggap aku adalah manusia tidak tahu malu?"
"Habis, sudah jelas kau tahu aku tidak berada di tempat, kau mencuri panji kebesaran ini, apa namanya perbuatanmu ini kalau bukan tak tahu malu?", jawab Hoat-ong.
"Huh, kau merasa bukan tandinganku maka ketika aku pergi, kesempatan baik lantas kau gunakan. Hehe, Ciu Pek-thong, kau benar2 tidak punya muka."
"Baik, aku dapat menandingi kau atau tidak marilah kita berkelahi saja dan segera dapat di ketahui," tantang Pek-thong.

Hoat-ong sengaja menggeleng dan menjawab. "Sudah kukatakan aku tidak sudi bertempur dengan manusia tidak tahu malu, kau tak dapat memaksa aku. Kepalanku cukup terhormat kalau menghantam badan manusia tidak tahu malu, kepalaku bisa berbau busuk dan takkan hilang bau busuknya selama 3 tahun 3 bulan."

Ciu Pek-thong tambah murka, teriaknya: "Habis bagaimana menurut kau?"
"Kau harus menyerahkan kembali panji itu padaku dan malam nanti boleh kau coba mencuri nya lagi." ujar Hoat-ong, "Aku akan berjaga di markas sana, kau boleh merebutnya secara terang2an atau mencurinya secara gelap2an, asalkan kau dapat memegangnya lagi, segera aku menyerah dan mengakui kau memang pahlawan besar dan ksatria terhormat!"
Watak Ciu Pek-thong paling kaku, mudah dibakar, sesuatu urusan, semakin sulit semakin ingin diiakukannya. Segera ia cabut panji besar itu terus dilemparkan pada Hoat-ong sambil berseru: "Baik, terimalah, malam nanti akan kucuri kembali,"
Begitu tangan Hoat-ong menangkap panji itu, segera diketahui tenaga lemparan Ciu Pek-thong sangat kuat, cepat ia bertahan, tapi tidak urung tergetar mundur dua-tiga tindak, Karena pegangan Hoat-ong pada unta tadi dilepaskan, serentak ke-empat unta itu lantas berjingkrak terus membedal lagi ke depan.
Semua orang mengikuti bayangan Ciu Pek-thong dengan barisan unta yang aneh itu hingga jauh dan menghilang.
Sejenak Hoat-ong tertegun, kemudian ia serahkan panji kebesaran itu kepada Soto dan mengajaknya berangkai Iagi, Diam2 iapun merenungkan cara bagaimana harus menghadapi Lo-wan-tong yang tindak tanduknya aneh dan sukar diraba itu.
Tapi seketika ia takdapat menemukan akal yang bagus. Ketika tanpa sengaja ia menoleh, dilihatnya Ci-peng dan Ci-keng sedang bicara bisik2 sambil beberapa kali, berpaling dan melirik Siao-liong-li, tampaknya kedua Tosu itu sangat takut.Tergerak hati Hoat-ong, ia pikir jangan2 penguntilan nona itu ditujukan kepada kedua Tosu ini. Segera ia coba memancing dengan kata2: "In-toheng, apakah kau memang kenal nona Liong itu?"
Air muka Ci-peng tampak berubah dan mengiakan pelahan, Hoat-ong tambah yakin akan dugaan tadi, Segera ia tanya pula: "Kalian telah berbuat salah padanya dan dia hendak mencari perkara kepada kalian, begitu bukan? Nona itu memang sangat lihay, kalian memusuhi dia, lebih banyak celaka daripada selamatnya."
Sudah tentu Hoat-ong tidak tahu menahu pertengkaran antara kedua Tosu itu, cuma dilihatnya kedua orang itu merasa gelisah dan bisik2, maka dia sengaja memancingnya dan dugaannya memang tidak meleset"
Namun Ci-keng juga lantas menanggapi: "Tapi nona itupun pernah berselisih dengan Taysu, malahan Taysu pernah kecundang di tangannya, masakah kekalahan itu tidak Taysu balas?"
"Darimana kau tahu?" dengus Hoat-ong.
"Kejadian itu tersiar di seluruh jagat, siapa yang tidak tahu?" ujar Ci-keng.
Diam2 Hoat-ong mengakui kelihayan kedua Tosu itu, maksudnya hendak menakutinya, ternyata Ci~keng berbalik hendak memperalatnya. Rasanya urusan ini lebih baik dibicarakan secara terus terang saja. Maka ia lantas berkata: "Nona Liong itu hendak membunuh kalian dan kalian merasa bukan tandingannya, maka kalian ingin perlindunganku, bukan?"
Dengan gusar Ci-peng menjawab: "Biarpun mati juga aku tidak perlu minta perlindungan orang, apalagi Taysu juga belum tentu bisa mengalahkan dia."
Melihat sikap Ci-peng yang tegas dan berani itu, Hoat-ong menjadi sangsi, jangan2 perkiraannya tidak betul. Tapi dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika dia main berganda dengan Nyo Ko, tentu saja ilmu pedang mereka cukup lihay. Tapi sekarang dia sendirian, kaIau mau dapat kubinasakan dia dengan mudah."
"Belum tentu bisa," ujar Ci-keng sambil menggeleng. "Setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Kim-lun Hoat-ong sudah pernah dikalahkan oleh Siao-liong-Ii!"
"Haha, sudah lama aku bertapa, tiada gunanya kau membakar aku dengan perkataanmu itu?" jawab Hoat-ong. Dari ucapan Ci-keng itu kini ia yakin benar bahwa Tosu itu memang berharap dirinya bergebrak dengan Siao-;iong-li.
Scbelnm Ciu Pek-thong muncul tadi sebenarnya ada maksud Kim-lun Hoat-ong untuk membinasakan Siao-liong-li, tapi sekarang dia telah berjanji dengan Ciu Pek-thong agar mencuri lagi panji kebesaran Kubilai, untuk itu tenaga kedua Tosu rasanya ada gunanya, jka Siao-liong-li dibunuh lebih dulu berarti hilanglah alat pemerasnya terhadap kedua Tosu ini.
Maka dengan sikap tak acuh ia lantas berkata pula: "Jika begitu, baiklah kuberangkat lebih dulu, nanti kalau kalian sudah selesaikan urusan nona itu, silakan berkunjung ke kemah Ongya sana."
Habis berkata ia terus melarikan kudanya ke depan, jelas tujuannya agar kedua Tosu itu tidak mengikuti dia.
Tentu saja Ci~keng menjadi gelisah, kalau paderi Tibet itu pergi dan Siao-liong-li memburu tiba, entah cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh nona itu, apalagi kalau ingat betapa sakitnya sengatan tawon di Cong lam-san dahulu, tanpa terasa nyalinya menjadi pecah.
Tanpa memikirkan harga diri lagi segera ia melarikan kudanya menyusul ke depan sambil berseru: "Nanti dulu, Taysu! Jalanan di sini kurang kupahami, kalau sudi memberi petunjuk tentu takkan kulupakan budi pertolonganmu?"
Diam2 Hoat-ong tertawa geli mendengar seruan Ci-keng itu, ia pikir tentu Tosu ini bersalah pada nona Liong itu sehingga ketakutan sedemikian rupa.
Sedangkan Tosu she In itu tampaknya adem ayem saja rupanya tidak tersangkut dalam persoalan mereka, dengan tertawa ia lantas menjawab: "Baiklah, bisa jadi nanti akupun perlu bantuanmu."
"Jika Taysu memerlukan tenagaku, pasti akan kulakukan," cepat Cikeng menanggapi.
Hoat ong lantas meneruskan perjalanan dengaft berjajar dengan Ci-keng sambil menanyai keadaan Coan-cin-kau Sekaratig dan dijawab seperlunya saja oleh Ci-keng.
Dengan pikiran linglung Ci-peng mengikut dari belakang tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan kedua orang itu.
Sementara itu Hoat-ong sedang berkata: "Konoti Ma-totiang sudah mengundurkan diri dari tugasnya dan menyerahkan jabatan ketua kepada Khu-totiang yang kabarnya juga sudah tua, kukira jabatan ketua berikut tentu akan jatuh pada gurumu, Ong-totiang."
Agaknya perkataan Hoat-ong itu rada menyentuh isi hati Ci-keng, tiba2 air mukanya rada berubah, jawabnya: "Usia guruku juga sudah lanjut sehingga beliau akhir2 ini jarang mengurusi pekerjaan umum, besar kemungkinan jabatan ketua nanti akan dilanjutkan oleh In-sute ini."
Melihat air muka Ci-keng menampilkan rasa penasaran, dengan suara lirih Hoat-ong coba membakarnya: "tampaknya ilmu silat Ih-foheng ini juga tak melebihi Tio-toheng sendiri, mengenai kecerdikan dan kecekatan kerja tentu juga selisih jauh dengan dirimu, kan jabatan ketua yang penting itu seharusnya diserahkan kepadamu."
Hal ini sebenarnya sudah terpendam selama beberapa tahun dalam hati Ci-keng, sekarang Hoat-ong yang membeberkan isi hatinya, tentu saja rasa dendam dongkolnya semakin kentara, padahal secara Iisan In Ci-peng sudah ditetapkan sebagai pejabat ketua yang akan datang, semula Ci-keng hanya penasaran dan iri saja, tapi sejak dia mengenai kesalahan Ci-peng, segera ia berdaya upaya hendak merebut kedudukannya.
Ci-keng yakin kalau dia membeberkan rahasia In Ci-peng yang diam2 jatuh cinta dan bahkan telah menodai Siao-liong-li, akibatnya Ci-peng pasti akan dihukum mati. Tapi iapun menyadari dirinya kurang disukai para paman gurunya, antar sesama saudara seperguruan juga banyak yang tidak cocok padanya, ia pikir akhirnya jabatan ketua itu toh juga takkan jatuh padanya, sebab itulah sampai sekarang ia belum membongkar dosa Ci-peng itu.
Dari gerak dan sikap kedua Tosu ini Hoat-ong dapat menerka jalan pikiran Ci-keng, ia pikir: "Kalau kubantu dia merebut jabatan ketuanya, tentu kelak dapat kuperalat dengan baik, pengaruh Coan- Cin~kau cukup besar dan tentu akan bermanfaat bagi penyerbuan Ongya ke selatan, bagiku berarti pula suatu jasa besar dan mungkin lebih besar daripada jasa membunuh Kwe Cing."
Begitulah diam2 Hoat-ong merancangkan tindakan selanjutnya, menjelang lohor, sampailah rombongan mereka di markas besar Kubilai, sebelum masuk ke kemah, Hoat ong coba berpaling, dilihatnya Siao-liong-li dengan keledainya berdiri jauh di sana dan tidak mendekat lagi, ia pikir dengan beradanya nona itu, mustahil kedua Tosu ini takkan masuk perangkapku.
Setelah berhadapan dengan Kubilai, ternyata pangeran Mongol itu sedang uring2an berhubung panji kebesarannya dicuri orang, padahal panji itu adalah simbol kebesaran dan kepemimpinan, maju mundurnya pasukan selalu mengikuti arah kibaran panji itu, tapi sekarang dicuri orang tanpa berdaya, hal ini sama saja mengalami kalah perang besar2an.Kubilai sangat girang melihat Kim-lun Hoat ong sudah kembali, cepat ia berdiri menyambut Kubilai memang seorang pemimpin berbakat dan bijaksana melebihi sang kakek, yaitu Jengis Khan, untuk sementara dikesampingkan urusan kehilangan panji itu, tapi lantas menerima Ci-peng berdua yang diperkenalkan oleh Hoat-ong itu sebagai tanda simpatiknya terhadap kaum ksatria, Segera pula ia menyuruh menyediakan perjamuan.
In Ci-peng tetap lesu Iinglung, segenap pikiran-nya hanya melayang kepada diri Siao-liong-li, sebaliknya Ci-keng adalah manusia yang kemaruk kedudukan, melihat raja Mongol sedemikian menghormatinya, ia menjadi kegirangan.
Sama sekali Kubilai tidak menyinggung tentang kegagalan usaha Hoat-ong membunuh Kwe Cing, "ia hanya terus memuji kesetiaan Nimo Singh pada tugasnya sehingga kedua kakinya menjadi korban, Maka dalam perjamuan ini Nimo Singh diberi tempat utama dan ber-ulang2 mengajak minum padanya.
Dengan demikian bukan saja Nimo Singh menjadi lebih bulat kesetiaannya, orang lain juga merasakan budi kebaikan pangeran Mongol itu sungguh sangat luhur.
Selesai perjamuan Hoat-ong mengiringi Ci-peng dan Ci-keng mengaso ke perkemahan di samping sana. Ci-peng sudah lelah lahir batin, maka begitu membaringkan diri ia terus pulas tertidur
"Tio-toheng, daripada iseng, marilah kita jalan keluar," ajak Hoat-ong.
Mereka lantas berjalan keluar kemah, Dari jauh kelihatan Siao-liong-li berduduk di bawah pohon dan keledainya juga tertambat di sana, Tanpa terasa air tbuka Ci-keng berubah lagi, Tapi Hoat-ong pura2 tidak tahu, malahan ia sengaja mengajak omong yang dan menanyai berbagai keadaan Coan-cin-kau.
Lantaran sudah anggap Hoat-ong sebagai teman karibnya, Ci-keng lantas menjawab dengan terus terang.
Sambil bicara sambil berjalan terus ke depan, lambat-laun mereka sampai di tempat yang sepi, tiba2 Hoat-ong menghela napas dan berkata: "Tio-toheng, sungguh tidak mudah Coan-cin-kau kalian dapat berkembang sebaik ini, tapi terus terang ingin kukatakan bahwa para paman gurumu itu mengapa begitu gegabah untuk menyerahkan jabatan ketua yang penting itu kepada In-toheng?"
Sebenarnya sudah lama Ci-keng menginginkan kedudukan itu, akan tetapi ia sendiri menyadari harapannya terlalu tipis, maka iapun menghela napas demi mendengar Hoat-ong menyebut hal itu, lalu iapun memandang sekejap ke arah Siao-Iiong-li.
"Urusan nona Liong itu adalah soal kecil, asalkan aku mau turun tangan, dengan mudah saja dapat kubereskan dia dan kau tak perlu lagi kuatir." kata Hoat-ong, "Justeru yang penting adalah jabatan ketua agama kalian itu tidak boleh jatuh di tangan orang yang kurang tepat."
"Kalau Taysu dapat memberi petunjuk jalan yang baik, selama hidupku rela menuruti perintahmu" jawab Ci keng.
Tentu saja janji inilah yang di-harap2kan Kim lun Hoat-ong, segera ia menegas: "Kata2 seorang lelaki sejati harus ditepati dan tidak boleh menyesal di belakang hari."
"Sudah tentu," jawab Ci~keng.
"Baik, dalam waktu tiga bulan akan ku usahakan kau diangkat menjadi ketua Coan-cin-kau" kata Hoat-ong.
Girang sekali Ci-keng, tapi mengingat urusan ini sesungguhnya amat suIit, mau-tak-mau ia menjadi ragu2.
"Apakah kau percaya?" tanya Hoat-ong.
"Percaya, pasti percaya," jawab Ci-keng. "Kepandaian Taysu maha sakti, tentu engkau mempunyai daya upaya yang bagus."
"Sebenarnya aku tiada sangkut paut apapun dengan agama kalian, siapapun yang menjadi ketuanya juga sama saja bagiku, tapi entah mengapa, baru berkenalan rasanya aku sudah cocok dengan kau dan ingin membantu kau," kata Hoat-ong dengan tertawa,
"Maka langkah pertama kita harus diusahakan ada seorang kuat di dalam agamamu yang akan menjadi pendukungmu. Saat ini siapakah yang paling tinggi menurut angkataanya di agamamu!"
"lalah Ciu susiokco yang kita jumpai di tengah jalan tadi," jawab Ci-keng.
"Benar, kalau dia membantu kau dengan sepenuh tenaga, maka tiada seorangpun yang dapat menandingi kau lagi," ujar Hoat-ong.
"Betul, apa yang dikatakan Susiokco sudah tentu mempunyai bobot dan harus diturut oleh Ma-supek, Khu~supek dan lain!" kata Ci-keng dengan girang, "Tapi dengan cara bagaimana Taysu akan membuat Ciu~susiokco memihak diriku?"
"Tadi dia telah berjanji padaku akan datang ke sini untuk mencuri panji kebesaran Ongya," tutur Hoat-ong, "Nah menurut pendapatmu, dia datang atau tidak?"
"Tentu saja datang," jawab Ci-keng.
"Tapi panji ini justeru tidak kita kerek pada tiangnya melainkan kita sembunyikan di suatu tempat yang dirahasiakan Di tengah perkemahan yang beratus buah ini, biarpun Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan menemukan panji itu hanya dalam semalam saja."
"Ya, memang," ujar Ci-keng, Tapi dalam hati ia anggap cara bertaruh begitu kurang jujur, andaikan menang juga kurang terhormat.
"Tentunya kau anggap pertaruhan cara demikian kalau menang juga kurang terhormat begitu bukan?" tanya Hoat-ong tiba2. "Tapi semua ini adalah demi kepentinganmu."
Ci-keng jadi melenggong memandang Hoat-ong, lebih tidak paham seluk beluknya.
Hoat-ong menepuk pelahan pundak Ci-keng, dan berkata pula: "Begini, akan kukatakan padamu tempat penyimpanan panji itu, kemudian secara diam2 kau memberitahukannya kepada Ciu Pek-thong agar dia menemukan panji itu, jadi kau akan berjasa besar baginya."
"Benar, benar, dengan demikian Ciu-susiokco pasti akan senang," seru Ci - keng dengan girang. tapi segera berpikir olehnya, katanya lagi: "Namun pertaruhan Taysu itu kan menjadi kalah?"
"Yang penting adalah persahabatan kita, soal kalah menang urusan pribadi bukan apa2 bagiku" kata Hoat-ong.
Tentu saja Ci-keng sangat berterima kasih, katanya: "Budi kebaikan Taysu entah cara bagaimana harus kubalas."
Hoat-ong tersenyum, katanya: "Asalkan kau sudah mendapatkan bantuan Ciu Pek-thong, lalu kubantu lagi dengan perencanaan yang lebih sempurna, dengan begitu jabatan ketua pasti akan jatuh ditanganmu." - Habis ini dia menuding bukit di sebelah sana dan berkata: "Marilah kita lihat2 ke bukit sana."
Kira2 beberapa li dari perkemahan Kubilai itu memang ada beberapa buah bukit, dengan cara jalan cepat mereka, hanya sekejap saja sudah sampai di tempat tujuan.
"Marilah kita mencari suatu gua sebagai tempat menyimpan panji," kata Hoat-ong.
Bukit pertama tandus dan tiada sesuatu gua, ber-turut2 mereka melintasi dua-tiga bukit, sampai bukit ketiga yang banyak pepohonan itu, malahan banyak pula guanya.
"Bagus sekali bukit ini," ujar Hoat-ong. Dilihatnya diantara celah2 dua batang pohon besar ada sebuah gua, mulut gua ter-aling2 oleh pohon sehingga tidak mudah terlihat. Segera ia berkata pula: "Nah ingatlah tempat ini, sebentar kusembunyikan panji itu, di dalam gua ini, malam nanti kalau Ciu Pek thong datang boleh kau membawanya ke sini."Dengan gembira Ci-keng mengiakan saja, ia mengamat-amati pula kedua pohon besar dan ingat baik2 tempat itu, ia pikir pasti takkan salah.
Setiba kembali di perkemahan, setelah makan malam, Ci-keng berusaha mengajak bicara dengan Ci-peng, tapi Ci-peng masih lesu saja dan sungkan bicara.
Sementara itu malam sudah tiba, mendekat tengah malam, Ci-keng terus ngeluyur keluar dan duduk di samping sebuah gundukan pasir, Dilihatnya penjaga berkuda meronda kian kemari dengan ketat, dalam hati ia sangat kagum atas kepandaian Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, di tengah penjagaan sekeras itu orang tua itu ternyata mampu pergi datang sesukanya dan berhasil mencuri panji kebesaran Kubilai.
Suasana sunyi senyap, langit membiru kelam hanya kelap-kelip bintang yang jarang2. Tiba2 terpikir oleh Ci-keng: "Kalau apa yang dikatakan Hoat-ong terlaksana, tiga bulan kemudian aku akan menjadi ketua Coan-cin-kau, tatkala mana namaku akan termashur di segenap penjuru, beribu Tokoan (kuil agama To) dengan penganut yang tak terhitung jumlahnya akan tunduk semua pada perintahku Hm, tatkala itu kalau mau mencabut nyawa bocah she Nyo itu boleh dikatakan mudah seperti merogoh barang di saku sendiri."
Begitulah makin dipikir makin senang hatinya sehingga dia berdiri dan memandang jauh ke sana, samar2 tertampak Siao-liong-li masih duduk di bawah pohon itu, segera terpikir pula olehnya: "Nona Liong itu memang cantik luar biasa dan setiap orang pasti suka padanya, pantas Ci-peng edan kasmaran padanya, Tapi seorang ksatria sejati yang mengutamakan tugas besar mana boleh hilang akal dan tergoda oleh kecantikan wanita?"
Pada saat itulah tiba2 terlihat sesosok bayangan orang berlari datang dengan cepat dan menyusuri kian kemari di antara perkemahan itu, hanya sekejap saja bayangan itu sudah sampai di bawah tiang bendera, orang itu berjubah longgar, jenggotnya yang putih bergoatsi tertiup angin, siapa lagi kalau bukan Ciu Pek-thong.
Melihat tiang itu kosong tiada benderanya, Pek-thong terkesiap, tadinya ia menyangka Kim-hin Hoat-ong pasti menyembunyikan jago2 di sekitar situ untuk mencegatnya dan inilah yang dia harap, sebab dengan demikian dia dapat berkelahi sepuasnya, siapa tahu tiang bendera itu ternyata kosong, ia coba memandang sekeliling, tertampak be-ribu2 kemah ber-deret2 dan kemana harus mencari panji kebesaran Kubilai.
Segera Ci-keng menyongsong ke depan, bara saja ia hendak menyapa, tapi lantas terpikir jika begitu saja dia memberitahu tempat bendera itu, pasti akan menimbulkan rasa sangsi orang malah, sebaiknya dibiarkan orang tua itu mencari dengan kelabakan, nanti kalau sudah tak dapat menemukannya barulah kumuncul dan memberitahukan tempat penyimpanan bendera, dengan begitu dia batu merasakan betapa berharganya bantuanku dan pasti ikan sangat berterima kasih padaku.
Segera ia sembunyi di balik sebuah kemah untuk mengawasi gerak-gerik Ciu Pek-thong, dilihatnya sekali lompat saja orang tua itu telah memanjat ke atas tiang bendera, hanya beberapa kali kedua tangannya bekerja, segesit kera pucuk tiang bendera itu telah dicapainya, Diam2 Ci-keng melongo kaget, padahal usia Ciu Pek-thong itu sedikitnya sudah lebih 90 jika belum genap seabad, tapi gerak-gerik-nya ternyata masih gesit dan tangkas seperti orang muda, sungguh luar biasa.
Setiba di atas pucuk tiang bendera, Ciu Pek-thong memandang sekelilingnya, yang terlihat cuma ribuan panji kecil yang berkibaran, hanya panji helai milik Kubilai itulah yang tidak nampak, ia menjadi gusar dan berteriak: "Hai, Kim-lun Hoat-ong, ke mana kau menyembunyikan Ongki (panji raja) itu?"
Bcgitu keras dan nyaring suaranya sehingga berkumandang jauh dan didengar oleh segenap perajurit Mongol, bahkan suara kumandang juga sayup2 terdengar membalik dari kejauhan sana.
Sebelumnya Hoat-ong sudah lapor pada Kubilai tentang urusan ini, maka perkemahan pasukan Mongol itu tetap sunyi senyap saja meski mendengai suara teriakan Ciu Pek-thong itu.
Terdengar Ciu Pek-thong menggembor lagi. "Wahai, Kim-lun Hoat-ong, kalau kau tidak menjawab, segera akan kumaki kau!"
Selang sebentar pula dan tetap tiada orang menggubris, terus saja Ciu Pek-thong mencaci-maki "Kim-lun busuk, Hoat-ong anjing, kau ini ksatria macam apa? Kau lebih tepat disebut kura2 yang mengerutkan kepala?"
Se-konyong2 di sebelah timur sana ada orang berseru: "Lo-wan-tong, Ongki yang kau cari beradij di sini, kalau mampu bolehlah kau mencurinya,"!
Secepat terbang Ciu Pek-thong terus melayang turun dan berlari ke sana sambil membentak: "Kemana?,"
Tapi sesudah berseru tadi, lalu orang itu tidak bersuara lagi, sambil memandangi kemah yang tak terhitung banyaknya itu, Ciu Pek-thong merasa bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak.
Pada saat itulah mendadak di sebelah barat sana ada suara melengking teriakan orang macam menguiknya babi disembelih: "Ongki berada di sini!"
Seperti kesetanan Ciu Pek-tbong terus memburu ke sana, Suara orang itu masih terdengar tanpa berhenti, tapi makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap tak terdengar lagi.
Dengan ter-bahak2 Ciu Pek - thong berteriak pula: "Hahaha, Hoat-ong busuk, memangnya kau sengaja main kucing2an dengan aku ya? Haha, sebentar kalau kubakar perkemahan kalian ini barulah kau nyaho!"
Diam2 Ci-keng berkuatir, kalau betul orang tua ini main bakar, urusan memang bisa berubah runyam Cepat ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan mendesis: "Ssst! Ciu-susiokco, tidak boleh main bakar.
"Eh, kau, Tosu kecil!" tegur Pek-thong. "Kenapa kau bilang tidak boleh main bakar."
"Mereka justeru sengaja memancing kau menyalakan api," demikian Cikeng sengaja membual "Di tengah perkemahan ini penuh tersimpan bahan peledak, sekali engkau menyalakan api. seketika semuanya-akan meledak dan badanmu akan hancur lebur."
Ciu Pek-thong menjadi kaget dan memaki. "Keji juga muslihat busuk mereka ini."
Ci-keng bergirang karena orang tua itu percaya kepada ocehannya, Segera ia berkata pula: "Cucu murid mengetahui muslihat mereka dan kuatir Susiokco terjebak, maka sejak tadi hati cucu murid sangat cemas dan gelisah, sebab itulah kutunggu di sini"
Wo, baik hati juga kau," ujar Ciu Pek-thong--"Untung kau memberitahu padaku, kalau tidak kan Lo-wan-tong sudah mampus."
"Malahan cucu murid dengan menyerempet bahaya mendapat keterangan tempat penyimpanan Ongki itu, marilah Susiokco ikut padaku," bisik Ci-keng.
Akan tetapi Ciu Pek-thong lantas menggeleng dan berkata: "Jangan, jangan kau katakan padaku, kalau aku tak dapat menemukannya, anggaplah aku kalah."
Rupanya pertaruhan mencuri panji ini bagi Ciu Pek-thong adalah suatu permainan yang sangat menarik," kalau saja Ci-keng memberi petunjuk, andaikan berhasil juga terasa kurang nikmat baginya, apalagi setiap perbuatannya selamanya dilakukan secara terang2an dan tidak suka main sembunyi2an.Karena bujukannya tidak berhasil, Ci-keng menjadi kelabakan, mendadak teringat bahwa kelakuan sang Susiokco ini lain daripada yang lain, untuk bisa berhasil harus dengan cara memancingnya. Segera ia berkata pula: "Susiokco, jika begitu akan kucari sendiri Ongki itu, lihat saja nanti kau lebih dulu berhasil atau aku." Habis berkata ia ierus mendahului berlari kearah bukit2.
Tidak jauh berlari, Ci-keng coba melirik kebe-lakang dan dilihatnya Ciu Pek-thong juga mengintilnya, langsung saja ia berlari ke bukit ketiga yang ada pepohonan itu, di situ ia menggumam sendiri: "mereka mengatakan Ongki itu disembunyikan dalam gua yang teraling oleh dua pohon besar, mana ada dua pohon besar yang dikatakan itu?"
Ia sengaja pura2 celingukan kian kemari, tapi tidak mendekati gua yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong.
Tiba2 terdengar Ciu Pek-thong berseru gembira. "Aha, kutemukan lebih dulu di sini!" Berbareng ia terus menerobos ke sela2 kedua pohon.
Diam2 Ci-keng tersenyum karena maksud tujuannya sudah tercapai, ia pikir setelah sang Susiokco berhasil menemukan Ongki, pasti dia akan berterima kasih padaku, apalagi dia pasti merasa utang budi padaku karena aku telah menghindarkan dia dari kematian apabila dia jadi menyalakan api.
Dengan hati senang ia lantas mendekati gua itu tapi mendadak terdengar jeritan Ciu Pek-thong, suaranya ngeri menyeramkan, menyusul terdengal teriakannya: "Ular! Ular berbisa!"
Keruan Ci-keng kaget, sebelah kaki yang sudah melangkah ke dalam gua itu cepat di tariknya kembali, lalu berseru: "Susiokco, masakah di situ ada ular berbisa?"
"Buk... bukan ular.... bukan ular..."
Terdengar teriakan Ciu Pek-thong, suaranya sudah jauh lebih lemah.
Kejadian ini sama sekali di luar dugaan Tio Ci Keng, cepat ia menjemput sepotang kayu kering dan dinyalakan sebagai obor, lalu digunakan menerangi kedalam gua, Dilihatnya Ciu Pek-thong tergeletak di tanah, tangan kiri memegangi sehelai-bun panji dan ber-ulang2 dikebutkan seperti sedang menghalau sesuatu makhluk aneh.
"Susiokco, ada apakah ?" tanya Ci-keng kuatir.
"Aku digigit... digigit makhluk ber... makhluk berbisa...." kata Pek thong dengan suara lemah dan ter-putus2 sampai di sini tangannya juga lantas melambai ke bawah dan tidak kuat mengebutkan kain bendera lagi...
Ci-keng heran, makhluk berbisa apakah yang sedemikian lihaynya sehingga dapat membuat Ciu Pek-thong yang maha sakti itu tak dapat berkutik dalam waktu sesingkat itu? Segera dilihatnya kain panji yang dipegang Ciu Pek-thong itu ternyata sebuah panji tentara biasa dan bukan panji kebesaran Kubilai yang di cari itu.
Diam2 ia tambah ngeri. Kiranya paderi Tibet itu sengaja menipu aku memancing Susiokco ke sini, tapi di dalam gua ini telah disebarkan makhluk berbisa."
Dalam keadaan demikian, bagi Ci-keng yang penting adalah menyelamatkan jiwanya sendiri, mana sempat dia sempat memikirkan mati-hidupnya Ciu Pek-thong, iapun tidak berani memeriksa keadaan sang Susiokco dan makhluk berbisa apa yang menggigitnya itu, tanpa bicara lagi ia membuang obofnvl dan melarikan diri.
Tapi sebelum obor itu jatuh ke tanah, mendadak berhenti di tengah jalan, rupanya kena ditangkap oleh tangan seseorang, terdengar orang itu berkata: "Kenapa, masakah orang tua ditinggalkan begitu saja?" suaranya halus nyaring, tertampak baju putih berkelebat jelas itulah Siao-liong-li, di bawah cahaya obor wajahnya yang moIek itu tampak tidak mengunjuk perasaan girang atau gusar.
Sungguh kejut Ci-keng tak terkatakan. Sama sekali tak terduga bahwa Siao~liong~li berada begitu dekat di belakangnya, ingin sekali ia melarikan diri, tapi kakinya terasa berat dan sukar melangkah.
Padahal dari jauh Siao-liong-li mengawasi dia, setiap gerak gerik Tio Ci-keng tak pernah terlepas dari pengamatannya, Ketika Ci-keng memancing Ciu Pek-thong ke bukit ini, diam2 Siao-liong-li juga menguntit di belakangnya. Sudah tentu Ciu Pek-thong mengetahuinya, tapi ia tidak ambil pusingi hanya Ci-keng saja yang tidak tahu.
Dengan obor yang dipegangnya itu Siao~liong-li lantas menerangi tubuh Ciu Pek-thong, terlihat muka orang tua itu samar2 bersemu hijau, segera ia Iepaskan sarung tangan benang emas, lalu memegang tangan Ciu Pek-thong dan diperiksa. Seketika Siao-liong-li terperanjat ternyata ada tiga ekor labah2 sebesar ibu jari sedang menggigit tiga jari tangan kiri Ciu Pek-thong.
Bentuk ketiga ekor labah2 itu sangat aneh, seluruh badan berloreng merah dan hijau menyolok, sekali pandang saja orang akan merasa ngeri.
Siao-liong-li tahu makhluk berbisa apapun semakin bagus warnanya semakin jahat racunnya, apa lagi labah2 ini belum pernah dilihatnya, biarpun memakai sarung tangan juga tak berani ditangkapnya, cepat ia ambil sepotong ranting kayu dan bermaksud pencukit ketiga ekor labah2 itu.
Tak terduga labah2 itu ternyata menggigit kencang sekali di jari Ciu Pek-thong, beberapa kali Siao liong-li mencukitnya tetap tak terlepas: Tanpa pikir lantas menyambitkan tiga buah Giok~hong-ciam (jarum tawon putih), kontan ketiga ekor labah2 tertembus perutnya dan mati seketika.
Cara Siao-liong-Ii menyambitkan jarumnya itu sangat bagus sekali, tenaga yang digunakan begitu tepat, labah2 itu mati tertusuk jarum, tapi tidak sampai melukai Ciu Pek-thong.
Kiranya labah2 itu disebut "Cay swat-tu" (labah2 salju panca warna) dan hidup di pegunungan bersalju daerah Tibet, tergolong satu di antara tiga jenis makhluk berbisa paling jahat di dunia ini. Kim-lun Hoat-ong membawa labah2 berbisa ini ke Tionggoan maksudnya hendak mengadu kepandaian menggunakan racun dengan ahli racun di Tionggoan.
Tempo hari waktu dia berusaha membunuh Kwe Cing, karena tiada rencana menggunakan racun, maka dia tidak membawa labah2 berbisa ini. Tak terduga ia sendiri malah kena jarum berbisa Li Bok chiu.
Saking gemasnya setiba kembali di markas Kubilai ia lantas keluarkan kotak penyimpan labah2 itu dan disiapkan untuk menghadapi Li Bok-chiu apabila kepergok lagi setiap saat.
Kini dia bertaruh mencuri bendera dengan Ciu Pek thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi ketua agama seperti Tio Ci-keng ini, maka diam2 ia telah mengatur tipu muslihat kejii lebih dulu dia menaruh sebuah bendera di daiarrt gua itu, di dalam bendera terbungkus tiga ekor labah2 berbisa.
Labah2 panca warna itu sangat ganas, sekali menggigit dan merasakan darah, maka takkan dilepaskan sebelum kenyang mengisap darah korban-nya. Kadar racunnya juga sangat jahat dan tak dapat disembuhkan dengan obat, sekalipun Hoat-ong sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya.
Sebabnya dia tak berani selalu membawa labah2 itu adalah untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan diri sendiri, sebab akibatnya sukar di bayangkan.
Tak tersangka sambitan tiga buah jarum Siao-liong-li itu dengan tepat telah mengenai sasarannya dan sekaligus juga telah menyelamatkan nyawa Ciu Pek thong. Soalnya begini: Giok-hong-ciam itu mengandung racun tawon putih, meski kadar racunnya tidak sejahat labah2 panca warna itu, tapi begitu tertusuk oleh jarum itu, sebelum ajalnya labah itu telah mengeluarkan serum penangkis racun.
Perlu diketahui bahwa berkat memiliki serum penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka labah2 tidak sampai mati sendiri oleh racun yang terkandung dalam badannya itu.
Ketika serum anti racun itu menyemprot keluar dari mulut labah2 dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong, hanya sebentar saja labah2 itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, kalau racun labah2 itu juga cuma dapat ditawarkan olehnya sendiri dan lain cara pengobatan lain, tatkala itu belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman sekarang, dengan sendirinya juga tidak dapat mengambil serum anti racun itu dari tubuh labah2.

Untunglah Siao Iiong- li buru2 ingin menolong Ciu Pek-thong, fmla seram melihat bentuk labah2 yang mengerikan itu, maka dia telah menggunakan senjata rahasianya yang halus itu, tapi justeru kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu.

Setelah ketiga ekor labah2 itu jatuh ke tanah dan mati, melihat warnanya yang loreng2 itu, Siao-liong-li tetap merasa ngeri.
Ciu Pek-thong yang tadinya menggeletak kaku itu sekarang mendadak dapat menggerakkan tangan kirinya dan bertanya dengan suara pelahan: "Barang apakah yang menggigit aku, sungguh lihay amat."
Tampaknya dia hendak bangun, tapi baru sedikit mengangkat badannya kembali ia jatuh terbaring lagi.
Siao-liong-li sangat girang melihat Ciu Pek-thong tidak mati, ia coba memeriksa sekitar gua dengan obor, ia merasa lega setelah tidak lagi menemukan labah2 berbisa seperti tadi, ia coba tanya: "Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?"
"Rasanya belum mati sama sekali, baru mati separoh dan hidup setengah, haha haha..."
Ciu Pek-thong ingin tertawa keras, tapi segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara tertawanya kedengaran aneh.
Pada saat itulah tiba2 seorang bergelak tertawa di luar gua, suaranya keras menggetar telinga, lalu terdengar ucapannya: "He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi belum? pertaruhan kita ini dimenangkan kau atau aku?" - jelas itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong.
Cepat Siao-liong-li memadamkan api obor dengan tangannya yang memakai sarung benang mas yang tidak takut senjata tajam maupun api. sedangkan Ciu Pek-thong lantas berkata dengan suara lemah: "Permainan ini sudah jelas Lo-wan-thong yang kalah, bisa jadi jiwaku juga akan kuserahkan padamu. He, Hoat-ong busuk barang apakah labah2 yang kau sebarkan ini, sungguh jahat amat."
Meski suaranya kedengaran lemah, tapi suara tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan suara perkataannya itu. Keruan Hoat-ong terkejut, sudah jelas dia tergigit oleh labah2, tapi ternyata belum mati.
Dalam pada itu Ciu Pek-thong berkata pula. "Kau Tio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam bela luar, terlalu, Boleh katakan kepada Khu supekmu, suruh dia bunuh saja kau!"
Tentu saja Ci-keng sangat ketakutan dan bersembunyi di belakang Kim-lun Hoat-ong.
"Eh, Tosu she Tio ini sangat baik, malahan Ongya kami akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat dia menjadi ketua Coan-cin-kau," kata Hoat-ong dengan-tertawa.
Ciu Pek-thong menjadi gusar, segera ia hendak mcndamperat pula, tapi racun labah2 itu sungguh luar biasa jahatnya, meski sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa saja sudah cukup membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat kuat, tapi sedikit kendur saja tenaganya segera ia jatuh pingsan Iagi.
"Kim-lun Hoat-ong." tiba2 Siao-liong-li ikut bicara, "Kau adalah mahaguru satu aliran tersendiri namun kau menggunakan makhluk berbisa begini apakah kau tidak malu? Lekas keluarkan obat penawar untuk menyembuhkannya."
Melihat Ciu Pek-thong jatuh pingsan, Hoat-ong mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja dan orangnya mati, diam2 ia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar terhadap Siao-liong~li. Apalagi bila teringat ucapan Tio Ci-keng siang tadi yang mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li, maka sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihakan kemampuannya.
Mendadak tangan kiri Hoat-ong disodorkan sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao liong li sambil berseru: "Ini obat penawarnya, terimalah kau."
Siao-liong-li terkejut, cepat iapun bergerak, terdengar suara "tring" nyaring, selendang berkeleningan segera mengetok Hiat-to pergelangan tangan musuh.
"Hm, kalau aku sampai bergebrak ber-jurus2 dengan kau kan akan ditertawakan oleh Tosu she Tio itu," demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan Siao-liong-li, menyusul iapun mengeluarkan sepasang rodanya, sekali digesekkan, terdengarlah suara nyaring mengilukan.
Cepat Siao-liong-li menarik balik tali sutera-nya setelah serangannya luput, segera ia menghantam pula Tay-cui-hiat di punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas pula, tampaknya sukar untuk dielakkan.
Akan tetapi Hoat-ong terus meloncat ke atas sambil memuji: "Kepandaianmu ini sungguh jarang ada bandingannya di kalangan wanita."
BegituIah kedua orang bertempur di lorong gua yang sempit itu, dalam sekejap saja belasan jurus sudah lalu, kalau Hoat-ong menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li untuk menahan nya, tapi beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh jarum berbisa, bahkan jiwanya hampir melayang, sekarang dilihatnya gaya ilmu silat Siao-liong-li serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya terlebih bagus dan lihay daripada Li Bok-chiu, sudah tentu ia menjadi waswas dan tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya.Sebab itulah hatinya sangat gelisah karena tak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi iapun tidak berani menyerang secara sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara mendering benturan roda emas dan perak terseling oleh suara "tring-ting" genta kecil pada ujung senjata Siao-liong-li, bagi orang yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang menabuh alat musik.
Ci-keng berdiri menonton dari tempat rada jauh, setiap kali mendengar suara nyaring benturan senjata, setiap kali pula jantungnya berdebar.
Teringat kematian sang Susiokco itu biarpun bukan direncanakan oleh dirinya, tapi apapun juga tak terlepas dari ikut tersangkut dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun dalam dunia persilatan, kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao liong-li tentu saja urusan menjadi beres seluruhnya, tapi kalau Siao-Iiong-li yang menang, akibatnya tentu bisa runyam.
Karena Hoat-ong tidak dapat menyerbu ke dalam gua, dengan sendirinya sukar pula baginya untuk mengalahkan Siao-liong-li, sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus dan tetap belum bisa dibedakan unggul dan asor.
Siao-liong-li menjadi gelisah dan kuatir, dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak sedikitpun, besar kemungkinan jiwanya akan melayang, pikirnya hendak menolongnya, tapi serangan Hoat-ong teramat gencar dan sukar menarik diri.
Pertarungan di tempat gelap itu sudah tentu lebih menguntungkan Siao-Iiong-li karena dia sudah lama hidup di kuburan kuno yang gelap itu.
Ketika dilihatnya Hoat-ong menyerang dari sisi kanan dan sebelah kirinya tak terjaga, cepat ia memutar tali sutera bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan jarum Giok-hong-ciam lantas dihamburkan.
Karena jaraknya teramat dekat, pula samberan jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong merasakan gelagat jelek, sementara itu jarak jarum sudah tinggal beberapa senti saja di depan tubuhnya.
Syukur ilmu silatnya memang maha tinggi, dalam detik berbahaya itu roda peraknya terus berputar dan tepat menggulung tali sutera bergenta Iawan, berbareng itu kedua kakinya terus memancar sekuat nya dia mengapung ke atas sehingga belasan jarum berbisa itu menyamber lewat dr bawah kakinya.
Dalam keadaan kepepet, saking kerasnya dia menggunakan tenaga, ketika tubuhnya mengapung ke atas, kedua tangannya juga ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta milik Siao-liong-li itu juga ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat ke udara dengan menerbitkan suara nyaring gemerincing..
Sebelum tubuh lawan turun kembali, segera Siao-liong-li menghamburkan pula segenggam Giok-hong-ciam. Dalam keadaan masih terapung di udara, betapapun tinggi ilmu silatnya juga sukar menghindari apalagi jaraknya sekarang juga sangat dekat, keadaannya menjadi terlebih bahaya daripada tadi.
Namun Hoat-ong benar2 maha sakti, ketika meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak lawan akan menyusulkan serangan lagi, maka kedua tangannya sudah siap menarik baju sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian, pada saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyamber tiba pula, namun kain baju yang dipegangnya lantas di-kebut2kan sehingga jarum2 berbisa itu tergulung seluruhnya ke dalam baju.
Sambil terbahak2 Hoat-ong tancap kakinya ke bawah dan melemparkan baju robek, tangan di ulurkan untuk menangkap sepasang roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari ancaman maut, semuanya berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya sehingga pada detik terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan begitu senjata Siao-liong-li dapat direbutnya.
Setelah unggul, segera Hoat-ong mengadang di mulut gua, katanya dengan tertawa: "Nah, nona Liong, masakah kau tidak lekas menyerah?"
Tapi dia masih kuatir kalau Siao~liong~li memasang perangkap apa2 di dalam gua, maka dia tidak berani menyerbu ke dalam, Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justeru lagi kelabakan, senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini tangannya cuma bersisa satu genggam jarum berbisa itu dan sembunyi di samping mulut gua.
Hoat-ong menunggu sebentar dan tidak nampak Sesuatu apa, tiba2 timbul akalnya, dia jemput kedua potong robekau bajunya tadi, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam gua, selagi roda2 itu menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda.
Tindakannya ini adalah untuk menjaga kemungkinan jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar kain bajunya untuk melindungi tubuhnya, kira2 dua-tiga meter di dalam gua, sebelah tangannya lantas meraih untuk menangkap lawan.
Robekan bajunya tercocok berpuluh jarum berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah menjadi semacam senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata: "Nah, nona Liong, boleh kau coba senjataku yang menyerupai kulit landak ini"
Belum lenyap suaranya, se-konyong2 tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya itu mendadak terpegang oleh Siao liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas yang tidak mempan ditabas senjata tajam, jangankan cuma kain baju yang penuh jarum, sekalipun pedang juga berani direbutnya.
Karena tak ter~duga2, dengan kaget cepat Hoat ong membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu ia telah memberi kesempatan kepada Siao-liong~li untuk menghamburkan genggaman jarumnya. Ti-dak kepalang kaget Hoat-ong, dalam keadaan kepepet timbul juga akalnya, sebisanya dia tarik tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak di atas tanah itu untuk digunakan sebagai tameng, menyusul ia terus melompat keluar gua dengan mandi keringat dingin dan napas ter-engah2, diam2 ia bersyukur jiwanya dapat lolos dari lubang jarum.
Sementara itu berpuluh jarum berbisa Siao-Iiong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong. Mau-tak-mau nona itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus tersiksa oleh jarumnya itu.
Di luar dugaannya, tiba2 Ciu Pek-thong terus berteriak: "Aduh, sakitnya! Barang apalagi yang menggigit aku ini?"
Keruan Siao-liong-li kaget dan bergirang pula, cepat ia tanya: "He, Ciu Pek-thong, jadi kau belum mati?" Dasar nona yang masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama sekali ia tidak paham cara bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti Ciu Pek-thong, maka langsung saja ia sebut namanya.
Ciu Pek-thong lantas menjawab: "Tadi rasanya sudah mati dan sekarang telah hidup kembali. Entah matinya kurang beres atau hidupnya belum cukup?"
"Syukurlah kalau kau tidak mati," ujar Siao-liong-li "Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak dapat menandingi dia." Segera ia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti jarum2 yang menancap di tubuh Ciu Pek-thong itu.Ciu Pek-thong terus mencaci-maki: "Bangsat Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati belum siuman kembali, dia malah mencocoki aku dengan jarum sehalus ini."
Dengan tersenyum Siao~liong~li menjelaskan: "Ciu Pek-thong, akulah yang mencocoki kau dengan jarum ini." Lalu secara ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi, kemudian ditambahkan pula: "Jarumku ini berbisa, apakah kau kesakitan?"
"O, tidak, malahan rasanya sangat enak, coba kau cocoki aku lagi" jawab Ciu Pek-thong.
Sudah tentu Siao-liong-Ii mengira orang tua itu cuma bergurau saja, ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil dan berkata pula: "lni adalah madu tawon yang khusus dapat menyembuhkan racun jarumku ini, coba kau minum sedikit."
"Tidak, tidak!" Ciu Pek - thong menggeleng. "Enak rasanya jika dicekoki oleh jarummu ini, rasanya jarum ini adalah lawan labah2 berbisa ini"
Siao-liong-li tidak sependapat, tapi orang tidak mau menerima, maka iapun tidak memaksa. ia pikir lwekang orang tua ini sukar diukur, racun labah2 itu saja tidak dapat membunuhnya, tentu juga takkan beralangan hanya terkena racun jarum tawon putih.
Padahal racun tawon meski cukup libay, tapi juga dapat digunakan menyembuhkan macam2 penyakit seperti encok dan lain2, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit encok, Namun Siao-Iiong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka tidak tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun labah2 dalam tubuh Ciu Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon Siao-liong-li itu.
Dari luar gua Kim-lun Hoat-ong dapat mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya penuh tenaga seperti orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah orang ini memiliki tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun?
Mumpung tenaga dalam orang ini belum pulih seluruhnya harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti akan mendatangkan bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke dalam gua, terpaksa ia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan berseru: "Nona liong, ku pinjam saja senjatamu ini." - Sekuatnya ia ayun tali sutera itu ke dalam gua.
Karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan yang tiada tara-nya, segala jenis senjata dapat dimainkannya dengan sesuka hati, maka tali sutera itupun dapat digunakannya sebagai cambuk, bahkan sangat baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir disambit oleh jarum berbisa Siao-liong-li
Seketika timbul hati kanak2 Siao-liong-li, iapun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong itu, "creng", ia benturkan kedua roda dan menerbitkan suara nyaring, lalu berseru: "Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi."
Tapi baru saja dia angkat kedua roda itu, ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk digunakan Rupanya roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30 kati, terpaksa Siao-liong-li menarik kedua roda itu untnk menjaga di depan dada.
Hoat-ong melihat kesempatan baik, segera ia menubruk maju, tangannya terus meraih hendak merebut kedua roda itu. Tapi Siao Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah, berbareng roda perak yang lebih enteng itu terus disambitkan
Sebenarnya sambitan roda perak ini cuma gertakan saja, pada saat lain segera iapun menghamburkan lagi berpuluh Giok-hong-ciam, jarum2 ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang dicabutnya sudah hilang kadar racunnya, andaikan tercocok juga tidak beralangan.
Tapi Hoat-ong sudah kapok, dia tidak berani menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas sehingga terluput dari tancapan jarum2 itu.
Ciu Pek-thong bergelak tertawa dan berseru. "Bagus, kalau bangsat gundul itu berani mendekap boleh kau serang dia dengan jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera kukeluar, menangkapnya dan nanti kita gebuki pantatnya."
"Tapi, ah, jarumku sudah habis sama sekali," kata Siao-Iiong-li.
"Wah, kalau begitu bisa konyol," ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.
Kedua orang, yang satu tua bangka dan yang lain muda jelita, mereka sama2 lugu dan polos, sama sekali tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu pula yang mereka ucapkan.
Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong adalah manusia yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal watak Ciu Pek-thong dan Siao liong-Ii, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mau berterus terang akan kelemahannya sendiri.
Menurut jalan pikirannya, kalau kedua orang itu mengatakan habis jarumnya, tentu adalah sebaliknya dan sengaja memancing dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tak terduga, Apalagi kalau ingat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung itu akibat terkena jarum berbisa Li Bok-chiu, betapapun dia masih ngeri dan setiap tindakannya menjadi terlebih hati2....
Setelah berkutak-kutek sekian lama, lambat laun fajarpun menyingsing, Ciu Pek-thong duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tapi racun labah2 itu sungguh ganas luar biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga tentu dada terasa sesak dan muak, sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa mengerahkan tenaga malah terasa aman, ia mencoba beberapa kali namun tetap begitu, akhirnya ia putus asa dan berkata: "racun labah2 ini rasanya sukar disembuhkan."
Sudah tentu Hoat-ong yang mengintai di luar gua tidak tahu, kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya ia menjadi kuatir melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga, Tiba2 timbul akalnya yang keji, segera ia mengeluarkan kotak yang berisi labah2 panca warna itu. Begitu tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor labah2 itu ber-gerak2 dengan warna warni yang menarik.
Hoat-ong mengambil satu jepitan terbuat dari tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang labah2 dan dikibaskan pelahan, benang lipas itu membawa serta seekor labah2 loreng itu dan menempel pada dinding muIut gua sebelah kiri.
Beberapa kali Hoat-ong berbuat dengan cara yang sama, ia lepaskan seluruh labah2 itu, setiap ekor labah2 membawa seutas benang lipas dan penuh menempel sekitar mulut gua..
Mungkin sudah lama labah2 itu tidak diberi makan dan tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari mangsa, maka dalam waktu singkat saja kawanan labah2 ini lantas membuat sarang di mulut gua, hanya sebentar saja mulut gua itu sudah tertutup oleh bentangan belasan sarang labah2, kalau labah2 loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya itu juga berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong menjadi terkurung di dalam gua.
Waktu kawanan labah2 itu membuat sarang, Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya menonton belaka tanpa peduli sampai akhirnya lubang gua yang cukup lebar itu penuh sarang labah2, sedangkan labah2 berbisa berwarna loreng pun merayap kian kemari."Sayang jarumku sudah habis, kalau tidak tentu akan kubersihkan semua," ujar Siao-liong-li dengan suara tertahan.
Segera Ciu Pek-thong menjemput sepotong kayu dan bermaksud membobolkan sarang labah2 itu, tapi mendadak terlihat seekor kupu2 besar terbang mendekat dan tahu2 telah terperangkap oleh sarang labah2.
Seharusnya serangga yang terjebak sarang labah2 itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari dengan membobol sarang labah2, tapi kupu2 yang besar ini seketika tak bisa bergerak lagi begitu lengket dengan benang sarang tabah2 itu.
Karena itulah cepat Siao-liong-li berseru kepada Ciu Pek-thong: "Awas, jangan mendekatinya, sarang labah2 itupun berbisa!"
Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia mundur kembali, ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu singkat, boleh juga berduduk lagi lebih lama di dalam gua ini. Tapi Siao-liong-li menjadi gelisah, ia tidak tahu keadaan yang serba tak bisa ini entah akan berlangsung hingga kapan, apalagi tidak diketahui sisa racun dalam tubuh orang tua ini apakah sudah terkuras bersih atau belum.
Karena itu ia lanH tas bertanya: "Ciu Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga untuk menguras racun apakah cukup sehari semalam Iagi?"
Ciu Pek-thong menggeleng, jawabnya: "Wah, jangankan cuma sehari semalam, biarpun seratus hari seratus malam juga tak berguna."
"Ah, lalu bagaimana baiknya?" kata Siao-Iiong-li kuatir.
"Kalau saja bangsat gundul itu mau mengantar rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal beberapa tahun lagi di sini," ujar Ciu Pek thong dengan tertawa.
Siao-liong-li menghela napas, katanya: "apabila Nyo Ko berada di sini, sekalipun tinggal selamanya di sini juga aku mau."
Ciu Pek-thong menjadi gusar, katanya: "Persetan dengan Nyo Ko segala, memangnya orang seperti aku ini kurang menarik dibandingkan si Nyo Ko itu? Apakah ilmu silatnya lebih tinggi daripadaku. Kurang apalagi jika aku yang menemani kau di sini?"
Pada dasarnya kedua orang ini lugu dan polos, sebab itulah meski ucapan Ciu Pek-thong itu rada2 tak genah, tapi Siao-liong-li juga tidak ambil pusing, deengan tersenyum ia menjelaskan: "Soalnya Nyo Ko mahir memainkan ilmu pedang Coan-cin-pay yang lihay itu, kalau dia main berpasangan dengan aku akan dapat mengalahkan Hwesio Tibet ini."
"Hahaha, bicara tentang ilmu pedang Coan-cin-pay, memangnya si Nyo Ko bisa melebihiku" ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa.
Tapi permainan ganda kami ini disebut Giok-li kiam-hoat, untuk ini harus cinta mencintai antara dia dan aku, dengan adanya paduan perasaan baiklah dapat mengalahkan musuh," tutur Siao-liong-li.
Bicara tentang cinta, seketika hati Ciu Pek-phong kebat-kebit, cepat ia menggeleng dan berkata: "Stop... stop! jangan kau ucapkan lagi, Hanya ingin kukatakan padamu bahwa tinggal selama beberapa di dalam gua ini, sebenarnya bukan soal, Dulu aku pernah berdiam di dalam sebuah gua di Tho hoa-to selama belasan tahun, aku sendirian tanpa seorang teman, terpaksa aku berkelahi dengan diriku sendiri, tapi sekarang kita tinggal berdua, berbicara dan dapat tertawa, keadaan jelas sangat berbeda."
"Aneh, berkelahi dengan dirinya sendiri, bagai mana caranya itu?" tanya Siao-Iiong-li ter-heran2.
Chiu Pek-thong sangat senang ada orang tertarik pada kepandaiannya yang khas itu, segera ia menjelaskan secara ringkas ilmu ciptaannya itu, yakni cara berkelahi dengan tangan kanan melawan tangan kiri satu orang melakonkan peranan dua orang.
Hati Siao-Iiong-Ji tergerak, ia pikir kalau ilmu aneh ini dapat kupelajari dengan tangan kiri ku mainkan Coan-cin-kiam hoat dan tangan kanan memainkan Giok-li-kiam-hoat, sehingga jadilah gabungan ilmu pedang dari dua orang.
Hanya saja kepandaian khas ini mungkin sukar dipelajari dalam waktu singkat. Segera ia bertanya: "Apakah ilmu ini sukar dipelajari?"
Dibilang sukar memang sangat sukar, dikatakan mudah juga sangat mudah," ujar Ciu Pek-thong. "Ada orang ingin belajar, tapi selama hidup tak berhasil, sebaliknya ada orang yang dapat mempelajarinya dengan baik hanya dalam waktu beberapa hari saja, Nah, kau kenal suami isteri yang bernama Kwe Ceng dan Ui Yong bukan?"
Siau-liong-li mengangguk.
"Nah, coba katakan, siapa yang lebih pintar diantara mereka suami dan isteri itu?"
"Kwe-hujin sangat pintar dan cerdas, diberitahu satu segera paham seratus, menurut Ko-ji, katanya di jaman ini mungkin tiada manusia lain yang lebih cerdas daripadanya. Sedangkan Kwe~ tayhiap memang tinggi ilmu silatnya, tapi soal kecerdasan hanya biasa saja."
"Hanya biasa apa?" ujar Ciu Pek thong dengan tertawan "Lebih tepat dikatakan goblok. Nah, coba katakan, aku ini pintar atau goblok?"
"Kau sudah, tua, tapi masih ketololan dan dari cara bicaramu juga angin2an," jawab Siao-liong li dengan tertawa.
"Benar ucapanmu memang, tidak salah" kata Pek-thong, "llmu kanan kiri saling berkelahi itu adalah, hasil pemikiranku kemudian kuajarkan adik Kwe dan cuma beberapa hari saja sudah dikuasainya. Lalu dia mengajarkan lagi kepada istrinya, tapi apa yang terjadi? Haha, jangan kau kira si Ui Yong itu pintarnya seperti setan, tapi ilmu ciptaanku itu justeru tidak berhasil dipelajari olehnya. Tadinya kukira Kwe Cing keliru mengajarnya, maka aku sendiri juga memberi petunjuk, namun pada pelajaran pertama saja dia gagal, coba, kan aneh dan lucu toh?"
"Bagaimanakah pelajaran pertama ilmu kepandaianmu itu?" tanya si nona.
Pertama kali adalah "tangan kiri melukis per-pegi dan tangan kanan menggambar bundaran", tapi meski ber-ulang2 ia menggambar tetap tidak jadi, Sebab ituIah kukatakan ada orang segera berhasil sekali belajar, tapi juga ada yang belajar selama hidup tetap tidak menguasai. Mungkin semakin pintar orang nya semakin tidak jadi."
"Masakah dunia ini ada orang bodoh lebih unggul belajar kepandaian daripada orang pintar? Heh, aku tidak percaya," kata Siao-liong-li.
Dengan tertawa Ciu Pek-thong berkata pula: "Kulihat kecerdasanmu dan kecantikanmu seimbang dengan si Ui Yong, ilmu silatmu juga selisih tidak jauh daripada dia. Kalau kau tidak percaya, sekarang kau boleh coba melukis sebuah persegi dengan tangan kirimu dan berbareng menggambar pula sebuah bundaran dengan tangan kananmu."
Sudah tentu Siao-liong-li ingin mencobanya, segera ia mengulurkan kedua jari telunjuk dari kedua tangannya dan berbareng menggambar di tanah, tapi hasilnya memang sangat mengecewakan gambar persegi lebih tepat dikatakan jorong dan gambar bundaran malahan mirip persegi.Ciu Pek-thong ter-bahak2, katanya: "Nah, apa kataku? Kau anggap dirimu sangat pintar, nyatanya pekerjaan sepele begitu juga tidak bisa."
Siao-liong-li tersenyum, ia coba menghimpun semangat dan memusatkan pikiran, ia mengulurkan kedua jari pula dan sekenanya menggambar lagi sebuah persegi dan sebuah bundaran, sekali ini perseginya benar2 persegi dan yang bundar benar2 bundar-dar.
"He, kau.... kau..." tidak kepalang kejut Ciu Pek-thong. Sejenak baru disambungnya lagi: "Apakah sebelum ini kau sudah pernah mempelajarinya?"
"Belum pernah," jawab Siao liong-li. "Memangnya apa sulitnya?"
"Habis cara bagaimana kau bisa melukisnya sebaik ini?" ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.
"Aku sendiripun tidak tahu caranya," jawab Siao liong-li. "Yang pasti aku tidak memikirkan apa2 dan sekali jariku menggores lantas jadi."
Segera ia memberi demonstrasi lagi, kembali kedua tangannya mencorat-coret di tanah, -"tangan kiri menuliskan "Lo-wan-thong" dan tangan kanan menulis "Siao-Iiobg-li" kedua tangan menulis berbareng, tulisannya rajin dan indah laksana tertulis dari satu tangan saja.
Ciu Pek-thong menjadi girang, katanya: "Wah, tampaknya kepandaian ini sudah kau pelajari sejak kau bjerada di dalam kandungan ibumu."
BegituIah Ciu Pek thong lantas mengajari Siao liong-li ilmu berkelahi "Satu orang melakukan dua peranan", kalau tangan kiri menyerang tangan kanan lantas bertahan dan begitu pula sebaliknya, ia ajarkan seluruhnya kepada si nona segenap teori kanghu (Kungfu) hasil pemikirannya ketika terkurung di gua Tho-hoa-to dahulu itu..
Sebenarnya Kanghu ciptaan Ciu Pek thong ini kuncinya terletak pada "Hun-sim-ji-yong" (membagi perhatian untuk dua peranan). Justeru orang yang cerdik pandai, orang yang banyak berpikir dan suka berpikir, malahan sulit disuruh belajar ilmu berkelahi ini. .
Adapun Siao-liong-li sejak kecil sudah digembleng menghilangkan perasaan dan napsu, ilmu dasar itu sudah terpupuk dengan kuat, meski kemudian dia jatuh cinta kepada Nyo Ko sehingga banyak mengganggu ilmunya itu, tapi sekarang hatinya lagi terluka dan membuatnya patah hati dan putus asa, maka sebagian besar ilmunya yang telah dikuasainya dahulu itu telah pulih kembali dalam keadaan lapang pikiran dan benak kosong, sedikit diberi petunjuk oleh Ciu Pek-thong segera dapat dipahaminya.
Clu Pek-thong sendiri belum sembuh, tapi ia dapat memberi petunjuk dengan ucapan dan gerakan tangan secara mengasyikkan, Siao-liong li juga tertarik dan ber-ulang2 mengangguk sambil merentangkan tangan kanan menggunakan Giok-li-kiam-hoat dari- Ko-bong-pay dan tangan kiri menggunakan Coan-cin-kiam-hoat dari Coan-cin-pay, hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah dapat dipahami seluruhnya.
"Cukuplah, aku sudah paham semua," kata Siao-liong-li, kedua tangannya lantas coba2 main beberapa jurus dan ternyata sangat tepat tanpa sesuatu kesalahan.
Keruan Ciu Pek-thong melongo bingung, berulang2 ia menyatakan herannya.
Dalam pada itu Kim-lun Hoat-ong dan Tio Ci-keng masih terus berjaga di luar gua, mereka cuma mendengar suara Ciu Pek-thong dan Siao liong-li yang berbicara tak ber-henti2 sampai sekian lama, ada omong ada tawa, sedikitpun tidak kesal sebagaimana orang tahanan umumnya.
Tentu saja merekapun heran, mereka coba pasang kuping ikut mendengarkan tapi secara terputus mereka hanya dapat menangkap beberapa kalimat pembicaraan Ciu Pek-thong berdua, malahan sama sekali tidak paham arti ucapannya.
Suatu ketika Siao-liong-li berpaling dan kebetulan melihat Hoat-ong dan Ci-keng sedang melongak-longok ke dalam gua seperti maling mengincar jemuran, segera ia berbangkit dan mengajak Ciu Pek-thong: "Marilah kita pergi."
"Kemana?" tanya Pek-thong melengak.
"Keluar sana dan membekuk bangsat gundul itu untuk memberikan obat penawar padamu,"
"Apakah kau yakin dapat mengalahkan dia?" Pek-thong bertanya sambil tarik2 janggutnya sendiri.
Belum lagi Siao-liong-li menjawab, tiba2 terdengar suara mengaungnya tawon, seekor tawon madu tampak terjebak ke dalam sarang labah2 di mulut gua dan meronta2 berusaha melepaskan diri, Kalau tadi kupu2 yang besar itu seketika mati begitu menyentuh benang sarang labah2, ternyata tawon madu ig kecil ini tidak takut pada racun labah2 loreng setelah me-ronta2, akhirnya sarang labah2 itu malah kebobolan satu lubang, Seekor labah2 lorong mengawasi dengan garangnya didekat tawon kecil tu, tapi tidak berani maju untuk menyerangnya.
Ketika tinggal di kuburan kuno itu dahulu, Siao-liong li pernah memiara gerombolan tawon madu dan dapat menguasainya dengan baik, malahan dia anggap kawanan tawon itu sebagai sahabat baik, sekarang melihat tawon kecil terperangkap, ia menjadi tidak tega dan ingin menolongnya.
Tiba2 terpikir olehnya: "Meski bentuk labah2 ini sangat menakutkan, tapi tawonku mungkin tidak takut pada-nya." - Segera ia mengeluarkan botol porselen dan membuka tutupnya, ia kerahkan tenaga dalam maka hawa panas tersalur dari telapak tangannya. botol itu.
Hanya sebentar saja Siao-liong-li menggenggam botol kecil itu, lalu teruar bau harum madu tawon keluar gua menembus sarang labah2.
Ciu Pek-thong menjadi heran dan bertanya "Apa yang kau lakukan?"
"Ini permainan suiapan yang menarik, kau ingin tahu tidak?" jawab Siao-liong li.
"Wah, bagus, bagus sekali" seru Pek-thong kegirangan. Tapi sulapan apakah itu.
Siao-liong li cuma tersenyum saja tanpa menjawab, diam2 ia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat untuk menambah panasnya botol porselen agar bau harum madu teruar lebih cepat dan lebih keras.
Tatkala itu adalah musim panas, bunga hutan di lembah pegunungan sedang mekar semerbak, di mana2 terdapat gerombolan tawon liar yang mencari sari bunga. Ketika mencium bau harum madu serentak kawanan tawon membanjir dari segenap penjuru.
Setiap tawon sama menerjang isi dalam gua, tapi begitu menempel benang jaring labah2 lantas melengket dan berontak sekuatnya untuk membebaskan diri, ada sebagian tergigit mati oleh labah2 berbisa itu, tapi ada juga tawon yang sempat menyengat tubuh labah2. Meski labah2 adalah makhluk maha berbisa, tapi makhluk yang satu dimatikan oleh makhluk yang lain, agaknya tawon adalah musuh besar labah2 itu, begitu tersengat dan kena racun tawon, pelahan labah2 itupun kaku dan mati akhirnya.
Begitulah terjadi perang tanding antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa itu, yang paling senang adalah Ciu Pek-thong, ia berjingkrak kegirangan menonton pertempuran aneh itu, sebaliknya Kim~lun Hoat-ong dan Ci-keng yang berada di luar gua menjadi melongo kesima dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.Waktu itu kawanan labah2 masih di atas angin, hanya dua ekor saja yang mati, sebaliknya kawanan tawon sudah binasa beberapa puluh ekor, Namun tawon liar itu makin membanjir tiba, semula cuma beberapa ekor saja, lalu beberapa puluh, bertambah lagi beberapa ratus dan akhirnya be-ribu2, hanya sekejap saja jaring labah2 yang memenuhi mulut gua itu menjadi bobol sama sekali, belasan ekor labah2 berbisa itu mampus semua tersengat tawon.
Ci-keng sudah kapok karena dahulu pernah merasakan siksaan sengatan tawon, maka begitu melihat gelagat jelek, diam2 ia mengeluyur ke semak2 pohon sana, Hoat-ong sendiri cuma menyayangkan matinya labah2 itu, kehancuran barisan labah2 yang sukar dimengerti itu disangkanya karena dikerubut oleh kawanan tawon liar, ia pikir mungkin tawon suka bergerombol dan bersatu menghadapi musuh bersama sehingga kawanan Iabah2 itu dibinasakan seluruhnya ia tidak tahu bahwa datangnya gerombolan tawon itu sebenarnya sengaja dipancing oleh bau madu yang disiarkan oleh Siao-liong-li.
Malahan Hoat-ong memikirkan pula cara bagaimana agar dapat memaksa Ciu Pek-thong dan Siao-Iiong-li keluar gua untuk kemudian dibinasakan semua.

Namun Siao-Iiong-li sudah bertindak lebih dulu dengan kuku jarinya ia mencukil sedikit madu tawoni lalu disentilkan ke arah Hoat-ong, lalu jari telunjuk menuding ke kanan sekali dan ke kiri sekali, berbareng mulutnya juga mem-bentak2 dua kali, Mendadak kawanan tawon yang be-ribu2 jumlahnya itu terus menyamber keluar gua, ke arah Hoat-ong.

Keruan kaget Hoat-ong tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh dan sekuatnya melompat ke sana hingga beberapa meter jauhnya, Ginkangnya memang sudah mencapai tingkatan maha tinggi, betapapun cepat terbang kawanan tawon itu ternyata masih kalah cepat daripada lompatan Hoat-ong. Sekejap saja ia sudah jauh meninggalkan kejaran kawanan tawon itu. Karena tidak dapat menyusul sasarannya pawanan tawon itupun lantas buyar sendiri2.
Ber-uIang2 Siao-liong-Ii membanting kaki dan menyatakan sayang.
"Sayang apa?" tanya Ciu Pek-thong.
"Dia berhasil kabur, kita tak dapat lagi merebut obat penawarnya," kata Siao-liong li
Kiranya tadi Siao-liong-li mengerahkan kawanan tawon hendak mengurung Kim-lun Hoat-ong dari kanan dan kiri, tak terpikir olehnya bahwa kawanan tawon itu bergabung secara liar dan bukan terdiri dari satu sarang, dengan sendirinya tidak penurut sebagaimana tawon putih yang di kuburan kuno itu.
Kalau sekadarnya disuruh mengejar dan menyengat musuh sih bisa, lebih dari itu jelas tidak mungkin.

Continue Reading

You'll Also Like

34.7K 1.6K 10
Menceritakan pendakian seseorang bernama Dipta, yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika dia bersama rombongannya mendaki Gunung Merapi
43.7K 1.6K 45
saya akan menceritakan cukup banyak kumpulan kumpulan cerita horor singkat atau kita bisa sebut cerita 'creapypasta scary'
13.8K 1.9K 28
Dimas, seorang Insinyur Pertambangan yang baru bekerja di sebuah Anjungan Lepas Pantai. Harus menghadapi kasus seorang pekerja yang tiba-tiba melompa...
2.3M 168K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...