Kembalinya Pendekar Pemanah R...

By JadeLiong

120K 1.7K 44

Sekuel kedua dari trilogi Pendekar Rajawali yang melegenda. Latar belakang kisah novel ini terjadi pada masa... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35 (TAMAT)

Jilid 28

3.1K 45 0
By JadeLiong

Begitulah dalam sekejap saja bayi itu telah berpindah tangan antara ketiga orang itu, Li Bok~ chiu berseru memuji: "Bagus, Ko-ji!"

Hoat-ong menjadi gusar, benturan rodanya menerbitkan suara berdering pula, menyusul roda di tangan kanan terus menghantam, Sambil mengegos segera Nyo Ko bermaksud angkat kaki Tiba2 terdengar suara angin menyamber, kiranya Li Bok-chiu dengan mengayun kebutnya telah mengadangnya sambil berkata dengan tertawa: "Jangan pergi dulu, Ko-ji, kita harus melabrak Hoat ong ini!?

Karena roda Hoat-ong sudah menghatam pula, terpaksa Nyo Ko memutar pedangnya untuk menangkis. Setelah bertempur beberapa hari ber-turut2 kedua pihak sudah sama apal tipu serangan masing2, begitu saling labrak segera terjadilah serangan kilat, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung.
Diam2 Li Bok-chiu terkejut, ia heran mengapa dalam waktu sesingkat ini kepandaian Nyo Ko sudah maju sedemikian pesat, tampaknya aku bukan lagi tandingannya, bahkan mendiang Suhu juga belum tentu bisa melebihi dia.
Akan tetapi karena Nyo Ko harus memikirkan keselamatan si bayi, betapapun dayi itu adalah puteri sang paman yang dihormatinya itu, maka sedikitpun ia tak berani menirukan cara Li Bok-chiu memperalat bayi itu sebagai tameng. Dan justeru inilah akhirnya Hoat-ong dapat melihat kelemahannya, kini ia lebih banyak mengerahkan serangannya kepada si bayi, dengan demikian Nyo Ko menjadi kelabakan dan sukar bertahan.
"Li-supek, lekas bantu aku rnenghalau bangsat gundul ini, urusan lain boleh kita bicarakan nanti"
-Sekilas Hoat-ong melirik Li Bok-chiu, tertampak perawakan yang ramping menggiurkan meski usianya sudah lewat setengah umur, tapi gayanya tetap menarik, dengan tersenyum simpul ia mengikuti pertarungan mereka dan tampaknya tidak bermaksud membantu pihak manapun.
Diam2 Hoat ong sangat heran bahwa To-koh ini ternyata paman guru si Nyo Ko, tapi mengapa tidak membantu anak muda itu? jangan2 ada rencana licin di balik persoalan ini? Paling penting sekarang bocah she Nyo ini harus lekas dikalahkan dan bayi itu direbut kembali.
Begitulah Hoat-ong lantas pergencar serangannya sehingga Nyo K-o terkurung rapat di bawah cahaya rodanya.
Li Bok-chiu tahu musuh takkan mencelakai si bayi maka ia tidak ambil pusing terhadap teriakan minta tolong Nyo Ko itu, ia hanya, tersenyum saja sambil bersimpuh tangan dengan adem ayem.
Setelah bertempur lagi sebentar, dada Nyo Ko mulai terasa sakit, ia tahu tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi lawan, kalau bertempur lebih lama lagi jelas sukar bertahan. Sudah sekian lama ia tidak mendengar suara tangis si bayi, ia menjadi takut terjadi apa2, dalam seribu kesibukannya itu ia coba memandang sekejap kepada si bayi, tertampak wajah si kecil itu putih bersemu merah, molek menyenangkan, kedua matanya yang hitam itu sedang memandang padanya.
Padahal bayi itu belum genap satu hari dilahirkan dengan sendirinya belum tahu apa2 tapi air mukanya kelihatan tenang dan tenteram, sama sekali tak mirip seorang bayi yang baru saja dilahirkan.
Biasanya Nyo Ko tidak cocok dengan Kwe Hu, tapi menghadapi orok dalam pangkuannya ini, tiba2 timbul semacam pikiran aneh dalam benaknya: "Kini aku membelanya mati2an, kalau nasibnya mujur dan jiwanya dapat diselamatkan, tujuh hari lagi aku sendiri akan mati, kelak kalau dia sudah sebesar kakaknya itu entah dia akan teringat kepadaku atau tidak?"
Karena rangsangan perasaannya itu, entah dari mana datangnya kesedihan, tiba2 matanya menjadi merah dan hampir2 meneteskan air mata.
Bahwa Nyo Ko sudah kewalahan melayani serangan Hoat-ong itu juga disaksikan oleh Li Bok-chiu, semula ia merasa tidak tega dan bermaksud maju membantu, tapi segera terpikir pula olehnya bahwa kepandaian Nyo Ko sudah lebih tinggi daripada dia, jika sekarang tidak meminjam kepandaian si Hwesio ini untuk membunuhnya, kelak tentu akan mendatangkan bencana baginya. Karena itu ia tetap menonton saja tanpa membantu.
Di antara tiga orang ini ilmu silat Hoat-ong paling tinggi, Li Bok-chiu paling kejam, tapi bicara tentang tipu akal adalah Nyo Ko. Setelah bersedih sebentar segera pula ia memikirkan akal cara meloloskan diri, ia jadi teringat kepada tipu akal Khong Bheng di jaman Sam-kok, waktu itu di antara tiga negara, Co jo dari negeri Gui terhitung paling kuat dan negeri Han pimpinan Lau Pi paling lemah, untuk melawan Co Jo terpaksa Lau Pi berterikat dengan Lun Koan dari negeri Go.
Kalau sekarang Li Bok-chiu tidak mau membantu terpaksa dirinya sendiri yang harus membantu Li Bok-chiu, untuk ini segera Nyo Ko menyerang dua kali untuk menahan Hoat-ong, habis itu cepat ia melompat mundur dan mendadak menyodorkan bayi itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru: "Terima ini!"Kejadian ini benar2 di luar dugaan Li Bok-chiu, seketika ia tidak paham apa maksud Nyo Ko, tapi tanpa pikir ia terima jabang bayi itu.
Dalam pada itu Nyo Ko telah berseru pula "Li Supek, lekas lari membawa anak itu, biar kutahan bangsat gundul inil" Berbareng ia melancarkan serangan maut untuk mendesak mundur Hoat-ong.
Lik Bok-chiu mengira si Nyo Ko mengharapkan bantuannya sebagai sang paman guru dan tentu takkan membikin susah anaknya, maka dalam keadaan bahaya bayi itu diserahkan lagi padanya, tentu saja ia bergirang dan anggap sangat kebetulan baginya.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa cara itu adalah tipu akal Nyo Ko, begitu Li Bok-chiu hendak angkat kaki, mendadak Hoat-ong menghantamnya pula dengan roda perak, Karena tiada jalan lain, terpaksa Li Bok-chiu memutar balik kebutnya untuk menangkis.
Melihat maksud tujuannya sudah tercapai Nyo Ko menghela napas lega. Tapi dia tetap memikirkan keselamatan si orok dan tidak dapat berpeluk tangan tanpa urus seperti Li Bok - chiu tadi, Setelah istirahat sejenak, segera ia angkat pedang dan menerjang Hoat-ong dari samping.
Sementara itu sang surya sedang memancarkan cahaya yang terang, di tengah hutan lebat itu tetap tembus oleh cahaya matahari, semangat Nyo Ko terbangkit, ia mainkan pedangnya terlebih keras. "trang, trang", tiba2 roda perak Hoat-ong terkupas sebagian oleh Kun~cu-kiam yang tajam itu.
Kim-lun Hoat-ong juga tidak kurang saktinya, meski terkejut, namun gerak serangannya semakin lihay.
Tiba2 Nyo Ko mendapat akal, serunya: "Li-supek, awas roda tembaganya itu, bagian yang terkupas itu ada racunnya, jangan kau tersentuh olehnya."
"Memangnya kenapa?" ujar Li Bok-chiu tak acuh.
"Racun yang terpoles di pedangku ini sangat lihay" kata Nyo Ko.
Tadi Hoat-ong dilukai oleh pedang Nyo Ko, memangnya dia berkaatir kalau pedang anak muda itu beracun, tapi setelah sekian lama bertempur tiada terasa tanda aneh pada lukanya, maka ia tidak berkuatir lagi, Sekarang Nyo Ko menyebutnya pula, mau-tak-mau hatinya tergetar dan semangatnya menjadi lesu mengingat kekejian Kongsun Ci itu, mustahil pedang Nyo Ko yang diambil dari tempatnya itu tidak -dipoles dengan racun.
Mendadak Li Bok chiu berseru "Tusuk dia dengan pedangmu yang beracun itu, Ko-ji!" -Berbareng ia mengayun tangannya seperti menyambitkan senjata rahasia.
Cepat Hoat-ong memutar rodanya menjaga rapat tubuhnya, tapi gerakan Li Bok-chiu itu ternyata gertakan belaka, kesempatan itu telah di gunakannya untuk berlari ke sana secepat terbang.
Walaupun meragukan terkena racun, tapi Hoat-ong sangat tangkas, ia merasa lukanya tidak geli dan juga tidak bengkak, betapapun ia tak mau pulang dengan tangan hampa, maka cepat ia terus mengudak ke jurusan Li Bok-chiu.
Nyo Ko pikir kalau sebentar bertempur dan sebentar udak-mengudak, akhirnya tentu akan membikin susah orok yang baru dilahirkan itu, jalan keluar yang baik adalah menghalau Hoat-ong dengan gabungan tenaga mereka berdua dan urusan lain dapat diselesaikan belakang. Maka ia lantas berteriak: "Tak perlu lari, Li-supek, bangsat gundul ini terkena racun jahat, hidupnya tak tahan lama lagi"
Baru habis ucapamrya, dilihatnya. Li Bok-chiu sedang melompat ke depan dan menyusup ke arah sebuah gua di bukit sana. Hoat-ong kelihatan merandek kesima dan tidak berani ikut menerobos ke dalam gua.
Karena tidak tahu apa tujuan Li Bok-chiu membawa lari bayi itu, kuatir kalau mendadak bayi itu dibinasakan maka tanpa pikirkan keselamatan sendiri Nyo Ko terus menguber ke sana, ia putar pedangnya untuk menjaga diri, segera ia menerjang ke dalam gua, Terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, pedangnya menyampuk jatuh tiga buah Peng-pok-sin-ciam, jarum berbisa yang dihamburkan Li Bok-chiu.
"Aku, Li-supek!" seru Nyo Ko. Di dalam gua gelap guiita, tapi Nyo Ko sudah biasa memandang lalam kegelapan, dilihatnya Li Bok-chiu merangkul si bayi dan tangan lain sudah siapkan segenggam jarum berbisa lagi.
Untuk meyakinkan orang bahwa dia tidak bermaksud jahat Nyo Ko sengaja membalik tubuh dan menghadap kesana, lalu berkata: "Biarlah kita bersatu untuk menghalau bangsat gundul itu?" Segera ia berjaga di mulut gua dengan pedang terhunus.
Hoat~ong menduga sementara ini kedua lawan takkan berani menerobos keluar lagi, ia lantas berduduk disamping gua dan membuka baju untuk memeriksa lukanya.
Dilihatnya bagian luka merah segar, tiada tanda2 keracunan, waktu ia pencet terasa sakit sedikit. Waktu ia mengerahkan tenaga dalam terasa tiada sesuatu alangan apapun juga.
Girang bercampur gemas juga Hoat ong, girangnya karena pedang si Nyo Ko ternyata tidak berbisa sebagaimana dikatakan anak muda itu, gemasnya karena dia telah dikibuli oleh bocah itu sehingga dia berkuatir percuma sekian lama.
Ia coba mengawasi gua itu, mulut gua itu ter-aling2 rerumputan lebar gua itu hanya tiba cukup dimasuki seorang, padahal tubuhnya sendiri tinggi besar, kalau menerjang kesana dan bergerak kurang leluasa, mungkin akan disergap malah oleh kedua lawan di dalam gua itu.
Seketika ia tidak mendapatkan akal yang baik, pada saat itulah tiba2 ada suara orang berseru padanya: "He, Hwesio gede, apa yang kau lakukan disitu?"
Hoat-ong mengenali itulah suara si Hindu cebol Nimo Smgh, ia tetap mengawasi gua itu sambil menjawab "Tiga ekor kelinci menyusup ke dalam gua, aku hendak menghalaunya keluar."
Rupanya dari jauh Nimo Singh melihat berkelebatnya roda Kim-lun Hoat-ong" yang beterbangan di udara, ia tahu pasti Hoat-ong sedang bertempur dengan musuh, maka cepat ia menyusul kesini, Waktu tiba di tempat sementara Nyo Ko berdua sudah menyusup ke dalam gua.
Melihat Hoat - ong sedang mengawasi dengan penuh perhatian,Nimo Sing menjadi girang, tanyanya cepat: "Kwe Ceng lari ke dalam gua?"
Hoat-ong mendengus dan berkata: "Ada seekor kelinci jantan dan seekor kelinci betina ada pula seekor anakan kelinci"
"Hahaa, jadi selain Kwe Cing dan isterinya, si bocah Nyo Ko itu juga berada di situ," seru Nemo Singh kegirangan.
Hoat-ong tidak menggubrisnya dan membiarkan dia mengoceh sendirian ia memandang sekelilingnya, segera ia mendapatkan akal, ia mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering serta di tumpuk di mulut gua, lalu dibakarnya rumput kering itu. Kala itu angin sedang meniup dengan kencangnya, tanpa ayal asap tebal lantas tertiup ke dalam gua.Waktu Hoat-ong mulai menimbun kayu dan rumput kering, Nyo Ko tahu maksud keji orang, sedangkan pihak musuh telah bertambah pula dengan datangnya Nimo Singh, Dengan suara pelahan ia berkata kepada Li Bok-chiu: "Akan kuperiksa apakah gua ini ada jalan tembus atau tidak."
Segera ia merunduk ke dalam sana, kira2 belasan meter jauhnya, ternyata gua itu sudah buntu, ia putar balik dan berkata pula dengan suara terta han: "Li-supek, mereka menyerang dengan asap bagaimana kita harus bertindak?"
Li Bok-chiu pikir menerjang dengan kekerasan jelas sukar loIos.dari kejaran Hoat-ong, sembunyi di dalam gua bukan cara penyelesaian yang baik, jika keadaan benar2 mendesak, jalan satunya terpaksa melarikan diri dengan meninggalkan anak orok toh Karena pikiran ini, sedikitpun ia tidak cemas, ia menyeringai dan tidak menjawab pertanyaan Nyo Ko itu.
Tidak lama gumpalan asap yang membanjir ke dalam gua semakin tebal, untuk sementara mereka dapat menahan napas, tapi bayi itu tidak tahan lagi, ya batuk ya menangis tiada hentinya.
"Hehe, kau kasihan padanya, bukan?" jengek Li Bok-chiu pada Nyo Ko.
Setelah mengalami perjuangan mati2an, dalam hati Nyo Ko memang sudah timbul kasih sayang kepada bayi perempuan itu, ia menjadi tidak tega mendengar tangisnya yang semakin keras itu.
"Biar kupondong dia!" katanya sambil mengulurkan kedua tangan dan mendekati Li Bok-chiu.
Tapi Li Bok-chiu lantas menyabetnya dengan kebut sambil membentak: "Jangan mendekat aku? apa kau tidak takut pada Peng-pok-sin-ciam!"
Cepat Nyo Ko melompat mundur, nama jarum nerbisa itu mengingatkannya masa kecilnya dahulu ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan, Li-Bok-chiu, hanya sebentar saja ia memegang jarum perak itu, tapi racun sudah menjalar ke tubuhnya, syukur ayah angkatnya, yaitu Auyang Hong, telah menolongnya dengan mengajarkan Lwekang yangj istimewa itu sehingga racun dapat didesak keluar.
Tiba2 ia mendapat akal, ia membalut tangannya dengan robekan kain baju, ia menuju, ke mulut gua dan menjemput ketiga jarum berbisa yang disambitkan Li Bok-chiu tadi, ia tancapkan jarum2 itu pada tanah dengan ujung runcing ke atas, habis itu ujung jarum yang menongol sedikit itu diculik pula dengan pasir tanah agar gemilapnya jarum itu tidak kelihatan. Saat itu mulut gua tertutup oleh asap tebal sehingga tindakan Nyo Ko itu tidak dilihat oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh.
Selesai mengatur lalu Nyo Ko mundur lagi ke dalam gua dan membisiki pada Li Bok-chiu: "Aku sudah ada akal menghalau musuh, harap Li-supek pura2 menimang bayi itu supaya jangan me-nangis." Habis berkata, mendadak ia berteriak: "Aha, di belakang gua ini ada jalan tembusnya, Ii-supek, lekas kita pergi!"
Semula Li Bok-chiu melengak dan mengira apa yang dikatakan Nyo Ko itu memang betul, tapi Nyo Ko lantas membisikinya pula: "Hanya pura2 saja agar bangsat gundul itu terjebak olehku."
Sudah tentu teriakan Nyo Ko itu dapat didengar oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, mereka terkejut, mereka coba pasang kuping, di dalam gua sunyi senyap, suara tangisan bayi juga sayup2 semakin lirih, mereka tidak tahu bahwa mulut si bayi telah sengaja ditutup oleh lengan baju Nyo Ko, keruan mereka mengira Nyo Ko bersama Li Bdk-chiu benar2 sudah kabur melalui belakang gua.
Watak Nimo Singh tidak sabaran, tanpa pikir ia terus berlari memutar ke belakang gua, maksudnya hendak mencegat musuh, Tapi pikiran Hoat-ong terlebih cermat, setelah mendengarkan dengan teliti, ia merasa suara tangisan anak bayi itu cuma lirih tertahan saja dan tiada tanda2 semakin menjauh, ia tahu pasti si Nyo Ko sedang main gila hendak menipunya ke belakang gua, lalu anak muda itu akan menerjang keluar dari mulut gua.
Diam2 ia mentertawai akal Nyo Ko yang dangkal itu, ia pikir biar kusembunyi saja di samping mulut gua, begitu kalian keluar segera kumampuskan kalian.
Namun Nyo Ko juga tidak kalah cerdiknya, kembali ia berteriak pula: "He, cepat Li-supek, bangsat gundul itu sudah pergi, marilah kita lari keluar !" Habis ini tiba2 ia membisiki pula "marilah kita menjerit bersama untuk memancing dia masuk ke sini."
Li Bok-chiu tidak tahu akal bulus apa yang pedang diatur Nyo Ko itu, tapi ia tahu anak muda itu sangat licin, ia sendiri beberapa kali pernah dikibuli kalau dia sudah mengatur perangkap, rasanya pasti akan berhasil, betapapun ia mempunyai sandera anak bayi itu. asalkan Hoat-ong sudah dihalau pergi, akhirnya Nyo Ko harus menukar si bayi dengan Giok-li-sim-keng.
Maka ia lantas mengangguk tanda setuju, kedua orang segera menjerit berbareng "Aduh!"
Nyo Ko pura2 terluka parah dan merintih keras2, teriaknya: "Keparat, mengapa kau bertindak sekeji ini padadaku?" - Lalu ia mendesis pula dengan suara tertahan: "Lekas engkau berlagak terancam jiwamu!"
Cepat Li Bok-chiu melakukan permintaan itu, iapun berteriak dengan nada murka: "Bagus, biar kumati di... ditanganmu, betapapun, kau si.bangsat kecil ini juga... juga harus mampus di tanganku," ia membikin suaranya semakin lemah sehingga kalimat terakhir se-akan diucapkan dengan napas ter-engah2.
Mendengar itu, Hoat-ong sangat girang, ia pikir kedua orang sedang berebut si bayi dan mulai saling membunuh, tampaknya keduanya sama terluka parah. ia menjadi kuatir si bayi juga ikut tewas, jika terjadi begini berarti akan kehilangan alat pemerasan terhadap Kwe Cing.
Tanpa pikir lagi ia menyingkirkan onggokan kayu dan rumput kering yang terbakar itu terus menerjang ke dalam gua. Tapi baru dua-tiga langkah, mendadak telapak kaki kiri terasa sakit, untung ilmu silatnya memang tinggi dan dapat memberi reaksi dengan cepat, sebelum kaki menginjak sepenuhnya ke bawah, cepat kaki yang lain menggunakan tenaga terus melompat mundur lagi keluar gua, Waktu kaki menginjak tanah, terasa kaku kesemutan dan hampir saja jatuh terjungkal.
Dengan Lwekangnya yang tinggi itu, biarpun kakinya dibacok beberapa kali juga takkan sempoyongah berdirinya, karena itu segera ia menyadari apa yang telah terjadi, ia tahu telapak kakinya pasti tertusuk oleh benda berbisa. Baru dia hendak membuka sepatu dan kaos kaki untuk memeriksanya, dilihatnya Nimo Singh sudah putar balik dari belakang gua dan sedang mengomel. "Kurangajar! Bangsat kecil itu berdusta, di belakang gua tiada lubang tembusan apapun, Kwe Cing dan isterinya masih di alam gua."
Hoat-ong tidak menanggapi apapun, iapun urung membuka sepatu, katanya: "Memangnya tidak salah dugaanmu, sudah sekian lama tiada suatu suara, bisa jadi mereka telah pingsan semua oleh asap tebal tadi."
Diam2 Nimo Singh bergirang, ia pikir jasa menangkap Kwe Cing sekali ini pasti akan jatuh di tangannya, iapun tidak berpikir mengapa Kim lun Hoat-ong tidak merebut jasa itu, tanpa bicara lagi ia putar senjata ular bajanya untuk menjaga diri, ia terus menerobos ke dalam gua.Ketiga buah jarum berbisa itu diatur oleh Nyo Ko tepat di tengah jalan yang harus dilalui, tak peduli langkah orang yang akan masuk itu lebar atau cekak, ialah satu jarum itu pasti akan diinjaknya, perawakan Nimo Singh sangat pendek dan langkahnya cekak, tapi ia bertindak dengan cepat, ketika kaki kanan menginjak sebuah jarum itu, begitu terasa sakit dan belum sempat menarik kakinya, tahu2 kaki kiri sudah menginjak lagi pada jarum yang lain.
Negeri Thian-tiok (lndia) terkenal negeri berhawa panas, rakyat umumnya suka telanjang kaki, maka Nimo Singh juga tidak bersepatu, meski kulit telapak kakinya sudah terlatih dan tebalnya seperti kulit banteng, namun betapa tajamnya Peng-pok-sin-ciam itu, sedikitnya dua senti menancap ke dalam telapak kakinya itu.
Tapi Nitno Singh memang kuat dan perkasa, sedikit luka itu sama sekali tak diperhatikan olehnya, ia ayun senjata ular baja dan menyapu ketanah, ia yakin di depan pasti tak ada jarum lagi dan baru saja hendak menerjang masuk untuk menangkap Kwe Cing, tiba2 kedua kakinya terasa lemas dan tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia jatuh terguling.
Baru sekarang ia tahu racun pada jarum yang tertancap kakinya itu sangat lihay, lekas2 ia berguling disertai merangkak keluar gua, dilihatnya Hoat-ong sedang memegangi sebelah kakinya yang hitam bengkak.
Segera Nimo Singh tahu duduknya perkara, dengan gusar ia membentak: "Bangsat gunduI, sudah tahu kau sendiri terluka oleh jarum berbisa, mengapa kau tidak memberi tahu padaku, sebaliknya sengaja membiarkan aku ikut terperangkap?"
"Aku terjcbak, kaupun terperangkap, ini namanya seri, satu-satu!" jawab Hoat-ong dengan tertawa.
Tidak kepalang gusar Nimo Singh, ia memaki "Keparat, menangkap Kwe Cing apa segala tak berarti lagi bagiku, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."
Sebenarnya kakinya sudah tak bertenaga lagi, tapi tangannya menahan tanah, sekaligus ia menubruk ke arah Hoat-ong, senjata ular baja terus mengetok kepala lawan itu.
Hoat-ong mengangkat roda tembaganya untuk menangkis, menyusul tangan yang lain terus menyikut Tubuh Nimo Singh lagi menubruk maju sehingga sukar menghindar, apalagi serangan Hoat-ong inipun sangat cepat, seketika bahu Ntmo Singh kena disikut dengan keras, walaupun otot daging Nimo Singh sangat kuat, tidak urung iapun kesakitan setengah mati.
Saking murkanya Nimo Singh tidak lagi memikirkan mati-hidupnya sendiri, ia tetap menubruk ke depan dan merangkul tubuh Hoat-ong se-kencang2nya, malah mulutnya terus menggigit dan kebetulan Hiat-to bagian leher kena dikertak.
Jika dalam keadaan biasa, betapapun tidak mungkin Nimo Singh dapat mendekati Hoat-ong yang berkepandaian setinggi itu, apalagi hendak merangkul tubuhnya dan menggigit lehernya, Tapi sekarang Hoat-ong sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menahan menjalarnya racun yang mengenai telapak kakinya itu, sebab itulah waktu Nimo Singh menusuk maju, Hoat-ong sendiri sudah tidak cukup tenaga dalamnya dan hanya dapat melawannya dengan kekuatan luar.
Sebaliknya Nimo Singh menyerang dengan sepenuh tenaga, begitu berhasil menggigitnya, maka giginya tidak mau kendur lagi.
Cepat Hoat-ong menggunakan kaki kanan untuk menjegal karena kedua kaki Nimo Singh sudah lemas, ia tidak tahan dan terjerembab ke depan sambil menarik Hoat-ong, jadinya kedua orang sama terguling di tanah.
Hoat-ong bermaksud menarik orang, namun hiat-to penting tergigit, tenaga tangannya juga berkurang, sukar baginya untuk melepaskan diri, terpaksa tangannya digunakan mencengkeram Tay-hi-hiat dikuduk Nimo Singh, tempat inipun melupakan-Hiat-to penting di tubuh manusia, dengan cengkeraman ini dapatlah ia berjaga agar tidak dikerjai lebih lanjut oleh Nimo Singh.
Sebenarnya kedua orang sama2 jago kelas wahid dalam dunia persilatan, tapi mereka sama2 keracunan dan sekarang berkelahi dari jarak dekat secara bergumul keadaan mereka menjadi seperti tukang berkelahi kampungan tanpa harga diri, ke duanya ber-guling2 dan lambat laun mendekati tepi jurang.
Hal ini dapat dirasakan oleh Hoat~ong cepat ia berteriak: "Lepaskan tanganmu, kalau terguling lagi ke sana, kita berdua sama2 hancur terjerumus!"
Akan tetapi Nimo Singh sudah kalap, iapun tidak berusaha menolak racun dalam tubuhnya maka tenaganya menjadi lebih kuat daripada Hoat-ong, ia terus mendorong ke depan sehingga Hoat -ong tidak dapat menahannya.
Tampaknya sedikit lagi mereka pasti akan ter getincir ke dalam jurang, dalam keadaan kuati tiba2 Hoat-ong mendapat akal, cepat ia berteriak "He, Kwe Cing datang!"
"Di mana?" tanya Nimo Singh melengak kaget. Dan karena ucapannya ini dengan sendirinya mulutnya lantas terbuka sehingga gigitannya pada Hiat to Kim-lun Hoat-ong dilepaskan
Kesempatan itu segera digunakan Hoat-ong untuk menghantam. Baru sekarang Nimo Singh menari tertipu, cepat ia mengelak dan kembali menyeruduk lagi.
Hantaman Hoat-ong itu sebenarnya hendak memaksa Nimo Singh melompat mundur, tapi ia lupa kedua kaki Nimo Singh sudah tak dapat digunakan lagi karena keracunan oleh jarum tadi sehingga tidak mampu bergerak, jadinya bukan melompat mundur sebaliknya malah menyeruduk maju, Keruan Hoat-ong kaget dan kedua orang kembali bergumul menjadi satu, se-konyong2 dibawah tubuh terasa hampa, tanpa ampun kedua orang terjerumus ke dalam jurang.
Melihat akal si Nyo Ko berhasil dengan baik, diam2 Li Bok-chiu mengakui kehebatan anak muda itu. Waktu mendengar suara perkelahian kedua orang diluar, segera Li Bok-chiu bermaksud mengeluyur pergi, tapi mendadak terdengar pula suara jeritan kaget kedua orang, suaranya sangat aneh, itu suara jeritan waktu kedua orang terjatuh ke dalam jurang, tapi lantaran jarak tepi jurang dengan gua itu agak jauh, pula ter-aling2 oleh batu2 dan semak2 sehingga apa yang terjadi di luar itu tidaklah jelas.
"He, apa yang mereka lakukan itu" tanya Li Bok-chiu.
Nyo Ko juga tidak menyangka Hoat-ong dan Nimo Singh bisa terjerumus ke dalam jurang, setelah termenung sejenak, lalu menjawab "Bangsat gundul itu sangat licin, jangan2 iapun menirukan cara kita ber-pura2 saling melukai tadi, maksudnya supaya kita terpancing keluar."
"Ya, benar, tentu dia ingin memancing aku keluar untuk merampas obat penawar," ujar Li-Bok-chiu. Pelahan ia mendekati mulut gua dan bermaksud melongok keadaan di luar sana.
"Awas jarum di atas tanah itu," seru Nyo Ko.
Li Bok-chiu terkejut dan cepat menarik kembali langkahnya. sementara itu api di mulut gua sudah padam, asap sudah buyar sehingga didalam gua kembali gelap gulita, ia tidak dapat memandang dalam kegelapan seperti Nyo Ko sehingga tidak tahu ketiga jarum itu di tancapkan di bagian mana oleh anak muda itu, kalau sembarangan bertindak bukan mustahil iapun akan menginjaknya! Meski ia sendiri mempunyai obat penawarnya tapi bila kesempatan itu digunakan Nyo Ko untuk menyerangnya, maka sukarlah untuk melawannya andaikan jiwa sendiri tidak melayang oleh racun jarumnya sendiriKarena itulah ia lantas berkata: "Lekas kau cabut jarum2 itu, buat apa kita berdiam terus di sini"
"Tunggu sebentar lagi, biar mereka mati keracunan barulah kita keluar," ujar Nyo Ko.
Li Bok-chiu mendengus satu kali, dalam hati ia seperti jeri kepada Nyo Ko, sama2 berdiam di dalam gua yang gelap, sedangkan ilmu silat sendiri belum tentu bisa mengalahkan anak muda itu, bicara tentang tipu akal malahan sudah jelas bukan tandingannya. Karena itulah ia coba merenungkan akal baik untuk meloloskan diri.
Sementara itu keadaan di luar gua sudah sunyi sepi, kedua orang di dalam gua juga sedang merenungkan kepentingan masing2 dan sama2 tidak bersuara. Pada saat itulah mendadak anak bayi itu menangis keras, agaknya bayi itu kelaparan, maklumlah, sejak lahir sama sekali belum pernah disusui.
Tiba2 Li Bok-chiu menjengek: "Di mana Sumoay? Kenapa dia tidak ambil pusing pada anaknya sendiri yang mungkin mati kelaparan."
"Siapa bilang bayi ini anak Kokoh?? jawab Nyo Ko, ini adalah puteri Kwe Cing, Kwe-tayhiap, tahu?"
"Hm, kau tidak perlu menggertak aku dengan namanya Kwe-tayhiap, memangnya kau kira aku lantas takut?" kata Li Bok-chiu. "Jika bayi ini anak orang lain, betapun kau takkan berusaha merebutnya dengan mati2an, pasti anak ini adalah hasil hubungan kalian berdua."
"Ya, aku memang bertekad akan memperisteri Kokoh" teriak Nyo Ko dengan gusar "Tapi kami belum menikah, cara bagaimana bisa mendapatkan anak? Hm, mulutmu harus dicuci bersih sedikit."
Kembaii Li Bok-chiu mengejek: "Huh, kau suruh mulutku bersih sedikit, kan seharusnya perbuatan kalian berdua diherankan lebih dulu."
Selama hidup Nyo Ko menghormati Siao-Iiong li sebagai malaikat dewata, mana ia tahan sang Koko difitnah dan dinista secara kotor, dengan murka membentak: "Suhuku suci bersih, kan perempuan buta ini janganlah mengoceh semaunya."
"Hah, suci bersih, cuma sayang Su-kiong-se (andeng2 cecak merah) pada lengannya sudah punah," jengek Li Bok-chiu pula.
"Sret," pedang Nyo Ko terus menusuk ke dada orang sambil membentak: "Tak soal jika kau memaki aku, tapi kata2mu menghina Suhuku, biar aku mengadu jiwa dengan kau."
"Sret~sret-sret," ber-turut2 ia menyerang lagi tiga kali.
ilmu pedang Nyo Ko memang hebat, pula dapat melihat dalam kegelapan, Li Bok-chiu hanya dapat menangkis berdasarkan kepandaian "mendegarkan suara angin dan membedakan arah", meski tangkisannya tidak meleset, tapi beberapa jurus kemudian iapun mulai kewalahan.
Untung Nyo Ko memikirkan keselamatan anak bayi itu, ia kuatir kalau serangannya terlalu gencar, dalam keadaan kepepet bukan mustahil Li Bok-chiu akan mencelakai bayi itu, sebab itulah dia tidak melancarkan serangan maut.
Begitulah sampai belasan jurus mereka bergebrak di dalam gua, se-koyong2 anak bayi itu menangis satu kali, habis itu lantas diam, sampai lama letap tak bersuara Iagi.
"Bagaimana bayi itu, kau mencelakai dia?" kata Nyo Ko dengan suara kuatir.
Melihat si Nyo Ko begitu memperhatikan si bayi, ia tambah yakin bayi itu pasti anak kandung Siao-liong-li, ia tangkis pedang Nyo Ko dengan kebutnya sambil berkata: "Sekarang belum mati, tapi kalau kau membantah perkataanku, memang nya kau kira aku tidak berani mencekik mampus setan cilik ini."
Nyo Ko bergidik, ia kenal watak Li Bok-chiu yang kejam itu, jangankan membunuh seorang bayi malahan membunuh segenap keluarga juga perbuatan biasa baginya, Cepat ia menarik kembali pedangnya dan berkata: "jelek2 kau adalah Supekku, asalkai kau tidak memaki Suhuku, dengan sendirinya aku menurut padamu"
"Baik, aku takkan memaki gurumu lagi dan kau harus turut perkataanku," kata Li Bok-chhi "Nah, sekarang kau melongok keluar sana, coba lihat bagaimana kedua bangsat itu."
Nyo Ko menurut, ia memeriksa sekeliling di luar gua, tapi tidak nampak bayangan Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, ia kuatir Hoat-ong menjebaknya, ia coba menggunakan pedangnya dan membabati semak2 rumput yang mungkin dibuat sembunyi musuh, tapi ternyata tiada sesuatu jejak apa2. Segera ia masuk gua lagi dan berkata: "Kedua orang itu menghilang, mungkin mereka sudah kabur,"
"Hm, setelah terkena jarumku, seumpama kabur juga takkan mencapai jauh," jengek Li-Bok-chiu, "sekarang cabutlah semua jarum yang kau tancapkan di mulut gua tadi dan taruh di depanku sini."
Karena bayi itu masih terus menangis, Nyo Ko pikir harus lekas mencarikan sesuatu makanan baginya, maka ia turut perintah Li Bok-chiu itu, dengan tangan terbalut ia cabuti jarum2 itu dan di kembalikan kepada yang empunya.
Setelah memasukkan jarum berbisa itu ke kantungnya. segera Li Bok-chiu melangkah keluar, Styo Ko mengintilnya dengan cepat dan bertanya "Hendak kau bawa ke mana bayi itu?"
"Pulang ke rumahku," jawab Bok-chiu.
"Untuk apa kau membawa pulang anak ini? Kan bukan kau yang melahirkannya," seru Nyo Ko tanpa pikir.
Muka Li Bok-chiu menjadi merah dan men-lamperat: "Ngaco-belo tak keruan! Asalkan kau mengantar Giok-li-sim-keng dari Ko-bong pay kita kepadaku segera kukembalikan anak ini padamu, ku jamin takkan mengganggu seujung rambutnya."
Habis berkata ia terus berlari secepat terbang ke utara dengan Ginkang yang tinggi.
"He, harus kau susui dia dulu!" seru Nyo Ko sambil mengikutinya lari.
Dengan muka merah padam Li Bok-chiu berpaling dan membentak: "Keparat, kau bicara tidak keruan dan selalu meng-olok2 saja."
"Hm, meng-olok2 bagaimana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Bukankah anak itu akan mati kelaparan jika tidak disusui?"
"Aku masih gadis suci bersih, cara bagaimana dapat menyusui setan cilik ini?" omel Li Bok-chiu
Baru sekarang Nyo Ko tahu apa sebabnya muka orang merah, dengan tersenyum ia menjawab: "Li supek, bukan maksudku menyuruh engkau menyusui bocah ini, tapi: kuminta engkau berusaha mencarikan susu baginya."Li Bok-chiu menjaga diri dengan suci bersih dan tidak pernah menikah, selama hidup berkecimpung di dunia Kangouw, mengenai urusan merawat bayi segala sedikitpun ia tidak paham.
la menjadi bingung, setelah berpikir sejenak, kemudian ia tanya: "Mencari susu ke mana? Makan nasi saja, bagaimana?"
"Boleh kau periksa dia bergigi atau tidak?" katanya.
Li Bok-chiu coba pentang mulut si orok yang mungil itu, lalu menggeleng dan berkata: "Tidak ada, satu bijipun tidak ada,"
"Hei, kita dapat mencari seorang perempuan yg sedang menyusui anaknya di kampung sana, kita suruh perempuan itu menyusui orok ini, bagus tidak"
^Ya, kau memang cerdik dan banyak akal," kata Bok-chiu dengan girang, ia coba memandang jauh ke sana dari tempat tinggi, kelihatan di sebelah barat sana ada asap mengepul. Segera mereka sama berlari ke sana, dalam waktu singkat sampailah mereka di suatu kampung kecil.
Sudah lama peperangan melanda kota Siang-yang, maka kota2 kecil sekitarnya juga telah men-jadi korban api peperangan itu dan setelah dihancurkan oleh keganasan pasukan Mongol, hanya di tempat pegunungan yang sunyi ini masih ada sedikit rumah penduduk.
"Dari rumah ke rumah Li Bok-chiu memeriksa dengan teliti, sampai rumah petani ke empat barulah dilihatnya seorang perempuan muda sedang menyusui anaknya yang berumur setahunan.
Bok-chiu sangat girang, tanpa permisi ia tarik anak perempuan muda itu dan dilemparkan ke atas dipan sana, habis itu bayi yang dipondongnya ia lantas ditaruh pada pangkuan perempuan itu sambil berkata: "Anak ini lapar, lekas kau menyusui dia."
Anak kecil yang dilemparkan ke dipan itu terbanting cukup keras, karena kesakitan seketika terdengarlah jerit tangis, Adalah lazim seorang ibu sayang pada anaknya sendiri, lekas2 ia menggendong kembali anaknya itu.
Melihat bagian dada perempuan muda itu terbuka, cepat Nyo Ko berpaling keluar rumah. Segera didengarnya bentakan Li Bok chiu "Kusuruh kau menyusui anakku, apa kau tidak dengar? Siapa suruh kau memondong anakmu sendiri?" - Menyusul terdengar kebut menyabet, lalu terdengar suara "Blang" sekali.
Nyo Ko terkejut dan menoleh, dilihatnya anak perempuan petani itu telah dibanting oleh Li Bok -chiu di dekat kaki tembok sana kepalanya berlumuran darah, entah mati atau masih hidup.
Tentu saja tidak kepalang pedih hati si perempuan petani, cepat ia menaruh anak Kwe Cing itu diatas dipan dan segera menubruk maju untuk memondong anaknya sendiri sambil menjerit dan menagis. Li Bok-chiu tambah gusar, ia angkat kebutnya hendak menyabet kepala perempuan itu.
Syukur Nyo Ko sempat menangkis kebut itu dengan pedangnya, dalam hati ia pikir Li Bok-chiu ini sungguh wanita yang paling kejam dan se-wenang2. tapi dimulut ia berkata: "Li-supek, kalau mau membinasakan dia, orang mati tak dapat lagi menyusui."
"Persetan!" omel Bok-chiu dengan gusar, "Apa toh. kulakukan adalah demi kebaikan anakmu, mengapa kau malah ikut campur urusan tetek bengek."
Diam2 Nyo Ko mendongkol sudah jelas bukan anaknya, tapi Li Bok-chiu terus menerus mengatakan bayi itu anaknya, Tapi kalau benar anaknya, mengapa dikatakan pula Nyo Ko ikut campur urusan tetek bengek.

Tapi Nyo Ko tidak membantah, katanya dengan tersenyum: "Anak ini sudah kelaparan, paling penting disusui dulu." - Berbareng ia terus hendak membopong bayi di atas dipan itu.

Namun Li Bok-chiu telah mengadangnya dengan ancaman kebut dan berseru: "Kau berani merebut anak itu?"
Terpaksa Nyo Ko melangkah mundur lagi dan berkata: "Baik, takkan kupondong dia."
Li Bok-chiu sendiri lantas pondong bayi itu dan baru saja akan disodorkan lagi kepada perempuan petani tadi, tapi perempuan itu ternyata sudah menghilang entah ke mana. Rupanya selagi mereka berdua bertengkar, perempuan itu terus kabur melalui pintu belakang dengan membawa puteranya yang terluka itu.
Dengan murka Li Bok-chiu menerjang keluar pintu, dilihatnya perempuan tadi sedang lari kesetanan ke depan sana dengan anaknya, sekali Li Bok-chiu menjengek, ia melompat ke sana, kebutnya terus menyabet, tahu2 perempuan petani brtsama anaknya sudah menggeletak tak bernyawa dengan tulang kepala pecah berantakan.
Masih belum puas dengan itu, Li Bok-chiu terus menyalakan api dan membakar rumah petani itu hingga habis menjadi abu, habis itu barulah ia melangkah pergi..
Diam2 Nyo Ko menyesali Li Bok-chiu yang teramat kejam dan keji itu, ia terus mengintil di belakangnya. Kedua orang sama2 diam dan berjalan di ladang pegunungan, sampai berpuluh li jauhnya, rupanya saking lelahnya bayi itu telah terpulas dalam pondongan Li Bok-chiu.
Tengah berjalan, tiba2 Li Bok-chiu bersuara heran dan berhenti, dilihatnya dua ekor anakan macan tutul sedang bersenda gurau di bawah sinar matahari, ia melangkah maju dan baru hendak mendepak minggir kedua ekor macan tutul kecil itu, se-konyong2 terdengar suara meraung dari semak2 di samping sana, seekor induk macan tutul yabg besar menubruk tiba.
Biarpun tinggi ilmu silat Li Bok-chiu juga kaget melihat betapa besarnya macan tutul itu, cepat ia melompat ke samping untuk menghindar.
Macan tutul itu kelihatan sangat buas, sekali tubruk tidak kena, segera ia memutar balik hendak mencakar, gerakannya sangat gesit seperti jago silat saja, Segera Li Bok-chiu angkat kebutnya dan menyabet, tapi mengenai batok kepala macan tutul itu sehingga binatang itu marah dan semakin buas, macan tutul itu mendekam di tanah dengan menyeringai hingga kelihatan kedua baris giginya yang putih tajam, kedua matanya terus mengincar mangsanya dan siap menerkam pula.
Cepat Li Bok-chiu menyambitkan kedua buah jarum untuk menyerang kedua mata harimau itu. Mendadak Nyo Ko berseru: "Nanti dulu!" -Berbareng kedua jarum itu disampuknya dengan pedangnya.
Pada saat itu juga macan tutul itu sudah melompat ke atas dan menubruk tiba pula, Namun pada saat yang sama Nyo Ko juga melompat keatas, lebih dulu ia sampok pula dua jarum yang sementara itu disambitkan lagi oleh Li Bok-chiu.
Menyusul kepalan kanan dengan cepat menghantam pada tulang punggung di dekat gitok macan itu.
Macan tutul itu mengaung kesakitan dan terjatuh, tapi segera menubruk lagi ke arah Nyo Ko. Cepat anak muda itu mengegos sambil menghantamkan sebelah tangannya, betapapun kuatnya binatang itu juga tidak tahan oleh genjotan Nyo Ko dan jatuh terjungkal.
Li Bok-chiu menjadi heran mengapa dia menolong harimau itu dari serangan jarumnya, sebaliknya sekarang anak muda itu berkelahi dengan binatang itu.Dilihatnya susul menyusul Nyo Ko memukul macan tutul yang jatuh bangufn itu, hanya tempat yang dihantamnya itu bukan tempat mematikan melainkan tempat yang membuat binatang itu jatuh dan kesakitan melulu.
Suara macan tutul itu makin Iama makin perlahan, meski tidak terluka, tapi sudah belasan kali ia dipukul oleh Nyo Ko dan tidak tahan lagi segera ia melompat ke atas lereng bukit Tapi Nyo Ko sudah menduga akan itu, segera ekor harimau itu hendak ditariknya.
Tak terduga macan tutul itu mendadak mencawat ekornya di sela2 kaki sehingga tarikan Nyo Ko tidak kena pada sasarannya.
Selagi Nyo Ko hendak mengejar, mendadak macan tutul itu berpaling dan meraung seperti memanggil kedua ekor anaknya agar ikut lari. Pikiran Nyo Ko tergerak cepat ia pegang kuduk kedua anakan macan tutul dan diangkat tinggi ke atas.
Tampaknya induk macan juga sayang kepada anaknya, tanpa hiraukan keselamatan sendiri kembali macan tutul besar itu menubruk ke arah Nyo Ko. Cepat Nyo Ko melempar kedua anak harimau itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru "peganglah ini, jangan dimatikan!"
Berbareng itu ia terus meloncat ke atas, bahkan lebih tinggi daripada macan tutul itu, ia incar dengan tepatnya, jatuh ke bawah dengan persis dapat menunggangi punggung macan tutul, kedua tangannya terus mencengkeram kencang telinga binatang itu dan ditahan ke bawah sekuatnya.
Macan tutul itu meronta sekuatnya, namun seluruh badannya sudah diatasi lawan, mulutnya yang terpentang lebar juga ambles terbenam ke dalam tanah.
"Li-supek, lekas membuat tali dengan kulit pohon dan mengikat keempat kakinya," seru Nyo Ko.
"Hm, aku tiada tempo ikut memain dengan kau," jengek Li Bok-chiu, habis itu segera ia hendak melangkah pergi
Nyo Ko menjadi ribut, teriaknya pula: "Hei, memangnya siapa mengajak kau main2? Maksudku macan tutul ini punya susu!"
Baru sekarang Li Bok-chiu paham maksud Nyo Ko, dengan girang ia berkata: "He, betul, Hanya kau yang dapat memikirkan hal ini." - Cepat mengambil belasan lempeng kulit pohon dan dipelintir menjadi tali yang kuat, lebih dulu ia ikat moncong macan tutul itu dengan kencang, habis itulah meringkus keempat kakinya.
Dengan tersenyum barulah Nyo Ko melepaskan pegangan pada harimau itu, ia berbangkit sambil kebut debu pasir di tubuhnya.
Harimau itu tidak dapat berkutik lagi, sinar matanya memancarkan rasa takut. Nyo Ko me-raba2 kepalanya dan berkata dengan tertawa: "jangan kuatir, jiwamu takkan kami ganggu, kami cuma minta kau menjadi mak inang sementara."
Segera Li Bok-chiu mendekatkan mulut si bayi pada punting susu harimau itu. Bayi itu sudah sangat kelaparan, begitu punting susu harimau masuk mulutnya, sekuatnya ia lantas menyedot
Air susu harimau tutul itu beberapa kali lipat lebih banyak daripada air susu manusia, tidak berapa lama kenyanglah.bayi itu dan terpulas pula dengan nyenyaknya.
Selama bayi itu menyusu hingga tertidur, selama itu pula pandangan Nyo Ko dan Li Bok-chiu tak pernah meninggalkan wajah si kecil yang molek itu, setelah menyaksikan bayi itu kenyang menyusu dan terpulas, air mukanya yang lembut itu tersenyum simpuI, hati kedua orang menjadi girang dab tanpa terasa mereka saling pandang dan tertawa.
Saling tertawa ini banyak membawa kedamaian bagi mereka, rasa waswas yang tadinya meliputi perasaan mereka seketika lenyap sebagian, Dengan wajah yang penuh perasaan lembut Li Bok-chiu memondong kembali bayi itu lambil ber-nyanyi2 kecil dengan suara pelahan.
Nyo Ko lantas mencari rumput yang lunak dan membuat sebuah "kasur" kecil dibawah pohon katanya: "Rebahkan di sini biar dia tidur lebih lelap.
"Sssst!" tiba2 Li Bok-chiu mendesis sambil memberi tanda agar anak muda itu jangan berisik.
Nyo Ko melelet lidah dengan muka jenaka, Terlihat si bayi telah tertidur dengan tenteram, bara sekarang ia dapat menghela napas lega.
Sementara itu kedua ekor anakan macan tutul juga sedang sibuk menyusu pada induknya, Suasana sekeliling aman tenteram, angin meniup sepoi2 manusia dan binatang berdampingan dengan damai Setelah mengalami banyak peristiwa selama beberapa hari ini, baru sekarang Nyo Ko merasakan longgar.
Li Bok-chiu duduk menunggui anak bayi itu, kebutnya mengebas pelahan mengusir lalat dan nyamuk yang menghinggapi si kecil, Di bawah kebut ini entah sudah berapa banyak melayang jiwa manusia, untuk pertama kalinya sekarang kebut itu digunakan untuk yang baik dengan perasaan kasih.
Nyo Ko melihat Li Bok-chiu terus memandangi si kecil dengan terkesima, terkadang mengulum senyum, lain saat tampak sedih, mendadak kelihatan terangsang, tapi segera kelihatan tenteram lagi. Mungkin batin iblis perempuan ini sedang bergolak dengan hebatnya dan teringat kepada pengalamannya selama ini.
Memang Nyo Ko tidak jelas kisah hidup Li Bok-chiu, hanya sekadarnya pernah didengarnya dari Thia Eng dan Liok Bu-siang, bahwa tindak-tanduknya sangat keji dan benci kepada sesamanya, tentu pernah ia pernah mengalami kedukaan yang luar biasa. Selama ini Nyo Ko benci padanya, sekarang terasa timbul juga rasa kasihan nya.
Selang agak lama, Li Bok-chiu angkat kepalanya, beradu pandang dengan Nyo Ko, melihat air muka anak muda itu tenang ramah, hati Li Bok-chiu rada tercengang, dengan suara pelahan ia berkat "Hari hampir gelap, bagaimana baiknya malam nanti?"
Nyo Ko memandang sekeliling situ. katanya kemudian: "Kita juga tak dapat membawa "mak inang" raksasa ini dalam perjalanan, sebaiknya kita mencari sebuah gua untuk bermalam, segala persoalan kita tentukan saja besok."
Li Bok-chiu mengangguk setuju. Nyo Ko lantas memeriksa sekitar tempat itu menemukan sebuah gua yang sekadarnya cukup untuk berteduh, ia mengumpulkan sedikit rerumputan dan dijereng menjadi dua kasuran besar dan kecil di dalam gua itu lalu berkata: "Li-supek, silahkan mengaso dulu, aku pergi mencari barang makanan."
Tidak lama kemudian Nyo Ko sudah kembali dengan membawa tiga ekor kelinci dan belasan buah buahan. ia melepaskan tali yang membelenggu moncong harimau tutul itu dan memberinya makan seekor kelinci, lalu ia membuat api unggun untuk memanggang kedua ekor kelinci yang lain dan dimakan bersama dengan Li Bok-chiu."Li supek, silakan tidur saja, akan ku jaga di sini" kata Nyo Ko kemudian. ia ambil seutas tali diikat pada dua batang pohon, di atas tali itulah ia tidur secara terapung.
"Cara tidur Nyo Ko itu adalah latihan utama dari Ko~bong-pay. dengan sendirinya Li Bck-chiu tak merasa heran. Selama ini selain terkadang dalam perjalanan bersama muridnya, Ang Leng-po, biasanya Li Bok-chiu pergi datang sendirian, sekarang Nyo Ko menemani dan melayani dia dengan baik dan rapi.
lnilah berbeda rasanya daripada hidup sendirian di pergunungan sunyi di masa lalu, tanpa terasa Li Bok-chiu menghela napas gegetun.
Tertidur sampai tengah malang tiba2 Nyo Ko mendengar suara burung berkicau di jurusan tenggara sana, suaranya nyaring halus dan terasa sangat enak didengar. ."
Dia pasang telinga mendengarkan sejenak, ia tidak tahu bunyi burung jenis apakah yang sedemikian merdunya. Karena ingin tahu, pelahan ia melompat turun dari ranjang tali dan merunduk ke arah datangnya suara burung itu.
Didengarnya suara burung itu terkadang meninggi dan mendadak rendah, tempo cepat dan lain jadi lambat, mirip sekali dengan orang yang sedang memainkan alat musiknya. Mau tak mau timbul hasratnya untuk menangkap burung aneh itu.
Begitulah ia terus menyusur maju ke sana, makin lama makin menurun tempatnya, akhirnya ia sama di sebuah lembah yang dalam, terdengar suara burung itu berada tidak jauh di depannya, kuatir mengejutkan burung itu, ia berjalan dengan pelahan dan langkahnya dibuat enteng, hati2 sekali ia menyingkap semak2 dan melongok ke sana, tapi ia menjadi kecewa, heran dan geli pula.
Kiranya burung yang berkicau dengan suara yang merdu tadi, bentuknya justeru sangat jelek badannya tinggi besar, malahan lebih tinggi satu kepala kalau berdiri berjajar dengan Nyo Ko. Bulu di sekujur badannya jarang2 sehingga mirip dicabut orang, warna bulunya kuning bercampur hitam dan kelihaian kotor, tampangnya rada mirip dengan sepasang rajawali piaraan Ui Yong di Tho-hoa-to itu, cuma kedua rajawali itu sangat cakap, sebaliknya rajawali aneh ini jelek, bedanya seperti langit dan bumi.
Malahan paruhnya besar membengkok, dibatok kepalanya tumbuh sebuah gumpalan daging merah sehingga menyerupai jengger, di antara beribu-ribu jenis burung di dunia ini, rasanya tiada lagi yang lebih jelek rupanya dari pada burung raksasa yang ini.
Rajawali jelek ini sedang melangkah kian kemari, terkadang menjulurkan sayap, ternyata sayap juga ada kelainan, sebelah kanan pendek sebelah kiri panjang, entah cara bagaimana ini bisa terbang. Sikap Rajawali aneh ini sangat angkuh, dengan bersitegang leher ia berjalan mondar mandir.
Setelah berkicau sejenak, mendadak suaranya berubah, dari halus merdu berubah menjadi galang menantang, tiba2 di sela-sela sana ada suara mendesis.
Sejak kecil Nyo Ko ikut ibunya menangkap ular, maka mendengar suara itu segera ia tahu ada tujuh atau delapan ekor ular berbisa besar sedang menyusur tiba. Sudah tentu dia tidak takut pada ular berbisa, tapi jumlah ular cukup banyak, mau tak-mau ia harus ber-jaga2.
Baru timbul rasa waswasnya, di bawah cahaya rembulan kelihatanlah warna loreng2, delapan ekor ular berbisa sekaligus menyambar ke arah si rajawali jelek tadi, tapi rajawali itu telah pentang paruhnya yang bengkok itu, ber-turut2 ia mencocok delapan kali, kontan kedelapan ekor ular m tercocok mati.
Betapa cepat dan jitu caranya memaruh luar biasa, sekalipun jago silat kelas satu sebangsa Kwe Cing atau Kim-lun Hoat-ong juga tidak lebih dari itu.
Nyo Ko terkesima menyaksikan kesaktian rajawali jelek itu, sekejap itu lenyaplah perasaan meremehkan dan mentertawakan rajawali yang buruk rupa itu, sekarang timbul perasaan kagum dan heran.
Sementara itu, rajawali aneh itu sedang melalap ular2 berbisa tadi satu demi satu, dari suaranya mengunyah itu se-akan2 mulut burung itu bergigi saja.
Semakin heran Nyo Ko menyaksikan itu, ia pikir kalau kejadian ini diceritakan pada orang lain, tentu orang takkan percaya, Selagi ia terpesona oleh kesaktian rajawali yang aneh itu, tiba2 hidungnya mengedus bau amis busuk, nyata ada ular menyusur tiba pula.
Agaknya rajawali itupun tahu datangnya ular, dia berkaok tiga kali se-akan sedang menarik perhatian. Mendadak terdengar suara bergedebuk dari atas pohon di depan sana menggelatung turun seekor ular sawa (Python) yang bulat tengahnya sebesar mangkuk, kepalanya bentuk segi tiga, begitu buka mulut, seketika segumpal kabut merah bisa menyembur ke arah rajawali tadi.
Namun rajawali itu sama sekali tidak gentar, sebaliknya ia malah memapak maju, mulutnya membuka, kabut berbisa tadi dihirupnya semua ke dalam perut. Berulang tiga kali ular sawa ini menyemburkan kabut racun, tapi seluruhnya dapat diisap oleh rajawali jelek itu.
Rupanya ular sawa itu tahu gelagat jelek dan ada tanda takut dan hendak mengerat mundur, namun rajawali itu cepat sekali mematuk sehingga sebuah mata ular itu terpatuk buta.
Tampaknya leher rajawali itu cekak lagi kasar, gerak-geriknya seperti kurang leluasa, tapi mulur mengkeretnya ternyata secepat kilat sehingga Nyo Ko tidak sempat melihat jelas cara bagaimana rajawali itu membutakan mata lawannya.
Karena kehilangan sebuah matanya, ular sawa-kesakitan sekali ia pentang mulut dan -"crat" jengger merah diatas kepala rajawali itu terus dipatuknya. Kejadian yang tak terduga ini ikut menjerit kaget.
Setelah menyerang berhasil, segera ular sawa itu merambat ke bawah, tubuhnya melilit beberapa kali di badan rajawali terus mengencang sekuatnya, tampaknya jiwa rajawali itu pasti sukar dipertahankan.
Lantatan ibunya tewas oleh pagutan ular berbisa, maka selama hidup Nyo Ko sangat benci pada ular, meski dia tidak menaruh simpatik terhadap rajawali buruk rupa itu, tapi iapun tidak ingin burung itu dicelakai ular jahat, cepat ia melompat keluar, pedangnya terus membacok tubuh ular itu. Terdengarlah suara "blang" yang nyaring pedang nya ternyata terpental balik.
Sungguh tak kepalang terkejut "Nyo Ko, Kun cu-kiam yang diperolehnya dari tempat Kongsun Ci itu sangat tajam, sampai roda perak Kim-lun Hoat ong juga terkupas sebagian, betapapun buas dan ganasnya ular sawa ini juga terdiri dari daging darah, mengapa Kun cu-kiam malah terpental.
Karena heran dan kejutnya, segera ia tambahi tenaga dan berturut membacok lagi tiga kali, kemudian terdengar "trang-trang-trang" tiga kali, suara nyaring beradunya logam, jelas bukan suara penuh sisik ular.
Waktu Nyo Ko periksa pedangnya, ternyata mata pedangnya ada tiga tempat gempilan kecil, bahwa badan ular dapat membikin pedangnya mental sudah aneh, malahan mata pedangnya gumpil, hal ini sungguh sukar dipercaya, diantara mata pedangnya itu jelas ada noda darah ular, terang ular sawa itu terluka oleh bacokannya
Sementara itu pergulatan antara ular dan rajawali sudah mengalami perubahan keadaan, Ular sawa itu semakin kencang melilit lawannya, sedangkan bulu rajawali itu tampak menegak dan melakukan perlawanan sekuat tenaga.
Diam2 Nyo Ko berkuatir bagi keselamatan rajawali itu, kalau sebentar ular sawa itu membinasakan rajawali, sasarannya selanjutnya tentu adalah dirinya, sedangkan badan ular itu lebih keras dar| pedang, lalu cara bagaimana akan melawannya.
Kalau melarikan diri sekarang jelas dapat lolos dengan selamat, tapi dasar wataknya memang berbudi luhur dan berjiwa pendekar, sekali ia sudah membacok ular sawa, ini berarti dia sudah memihak pada si rajawali untuk menghadapi musuh yang sama, kalau kabur sendirian, betapapun ia merasa tindakan demikian terlalu rendah dan pengecut.
Segera ia mengerahkan segenap tenaganya, "trang", kembali pedangnya membacok tubuh ular. Tapi mendadak tangannya terasa enteng, Kun cu kiam itu tinggal setengah saja yang terpegang di tangannya, badan ular juga lantas menyemburkan darah merah segar, namun tubuhnya belum tertabas putus.
Karena lukanya cukup parah, lilitan badan ular nampak agak mengendur, kesempatan ini segera gunakan rajawali sakti itu untuk memberosot keluar, waktu turun ke bawah paruhnya yang bengkok itu secepat kilat mematuk sehingga mata ular yang satunya juga terpatuk buta.
Ular itu pentang mulutnya yang lebar dan memagut kian kemari secara ngawur, kini kedua matanya sudah buta, tentu saja tidak dapat menggigit sasarannya.
Siapa tahu rajawali itu justeru sengaja menyodorkan kepalanya dau membiarkan jengger merahnya digigit lagi oleh ular.
Kembaii Nyo Ko terkesiap, tapi setelah dipikir segera ia paham maksud tujuan si rajawali, tentunya jengger merah burung itu adalah benda berbisa atau mungkin merupakan bagian yang anti ular.
Kalau ular sawa itu tidak mempan ditabas senjata tajam, jalan paliag baik adalah membinasakannya dengan racun.
Taring ular tampak menggigit jengger, gumpalan daging kepala rajawali itu, tubuhnya lantas terus melingkar pula, tapi sekali ini rajawali itu tidak membiarkan badahnya terbelit lagi. cakarnya bekerja, ekor ular dicengkeram dan dibetot hingga putus.
Sementara itu ular sawa sudah keracunan hebat, mendadak badannya terguling dan melepaskan gumpalan daging yang digigitnya itu. Meski rajawali itu tahu si ular sudah dekat ajalnya, tapi dia tidak membiarkan lawannya main gila lagi, kepala ular terus dicengkeram dan ditekan ke dalam tanah.
Rajawali itu buruk rupa, tapi tenaga saktinya sungguh kuat luar biasa, ular sawa itu tak bisa berkutik lagi dan tidak lama kemudian matilah ular itu.
Si rajawali lantas mengangkat kepala dan berbunyi tiga kali, habis itu ia berpaling kepada Nyo Ko dan berkicau dengan suara halus. Dari suara burung itu Nyo Ko merasakan nada persahabatan pelahan ia mendekatinya dan berkata: "Tiau-heng (kakak rajawali), tenaga saktimu sungguh mengejutkan aku sangat kagum."
Entah burung itu paham ucapannya atau tidak, hanya terdengar dia "berkicau" lagi beberapa kali, mendadak ia melangkah maju dan mematuk setengah potong Kun-cu-kiam yang dipegang Nyo Ko itu, tahu2 pedang itu sudah direbutnya.
Padahal kepandaian Nyo Ko sekarang sudah tokoh kelas satu, biarpun jago silat tertinggi juga tidak dapat merampas senjatanya dalam sekali gebrak saja, akan tetapi sekarang rajawali buruk rupa ini ternyata dapat menaklukannya dengan cepat luar biasa...
Tentu saja Nyo Ko terkejut dan cepat melompat mundur, ia bersiap siaga kalau itu burung menubruk maju Iagi. Tapi dilihatnya rajawali itu telah membuang Kun-cu-kiam kutung itu dengan sikap yang menghina.
Pahamlah Nyo Ko akan maksud rajawali itu, katanya: "Aha, tahulah aku. Kau melarang aku mendekati kau dengan bersenjata. padahal kita membunuh musuh bersama, mana aku dapat membikin susah padamu."
Rajawali itu bersuara pelahan dan mendekati Nyo Ko sambil menjulurkan sayapnya dan menepuk pelahan beberapa kali di punggung anak muda itu.
Melihat burung itu sangat cerdik dan dapat memahami ucapan manusia, Nyo Ko sangat girang iapun balas me-raba2 punggungnya.
Melihat bangkai ular sawa yang masih menggeletak di situ, Nyo Ko menjadi heran apa sebabnya ular itu mampu mematahkan Kun-cu-kiam, Segera ia memotong sepotong ranting kayu, ia menusuk bangkai ular, rasanya lunak, tiada sesuatu yang aneh.
Ketika kayu itu ia tusuk ke luka bekas bacokan pedang, tiba2 terbentur pada sesuatu benda yang keras, sedangkan bagian itu adalah perut dan bukan bagian tulang ular.
Nyo Ko bertekad mencari tahu sejelasnya, sekuatnya ia tusukan kayunya, waktu ia tarik kembali ujung kayu itu ternyata sudah terbelah menjadi dua, tampaknya di dalam tubuh ular itu pasti ada sesuatu benda yang tajam.
Ia coba berjongkok dan mengamati lebih teliti, dilihatnya di antara rembesan darah yang merah itu samar2 memancarkan kabut ungu yang tipis, jarak muka Nyo Ko dengan bangkai ular cukup jauh, tapi merasakan semacam hawa dingin yang aneh, semakin mendekat kepalanya ke bangkai rasa dingin itu semakin keras.
Segera Nyo Ko menjemput kembali kutungan Kun-cu-kiam tadi, ia mengupas kulit daging ular bagian yang terluka itu, seketika hawa dingin tadi bertambah kuat. la terkejut disangkanya ada benda berbisa yang sangat lihay, cepat ia gunakan kutungan Kun-cu-kiam untuk membacok. "trang", tahu2 pedang yang sudah kutung itu patah lagi menjadi dua.Sekarang Nyo Ko sudah dapat menduga duduknya perkara, pasti di dalam tubuh ular itu terdapatsesuatu senjata tajam. Segera ia gunakan pedang kutung untuk mengupas kulit daging ular agar lebih bersih, akhirnya kelihatanlah sebatang pedang panjang satu meter yang bercahaya ungu.
Dengan girang Nyo Ko menggunakan pedang, kutung untuk mencungkil batang pedang ungu itu, mendadak "srrr,... ,cret", pedang ungu itu tercungkil mencelat dan menancap pada batang pohon di sebelah sana hingga lebih setengah batang pedang yang ambles. padahal cara mencungkil tadi tidak terlalu keras, namun pedangnya itu dapat menancap ke batang pohon seperti batang pisang saja empuknya, sungguh senjata yang maha tajam dan belum pernah dilihat Nyo Ko.
Waktu Nyo Ko menyembelih ular dan mengambil pedang ungu, selama itu si rajawali sakti juga terus mengawasi iapun tertarik melihat pedang ungu yang luar biasa itu, se-konyong2 ia menyerobot maju, gagang pedang digigitnya dan dicabut jenis dibawa lari ke tebing gunung sana.
Dalam semalam Nyo Ko telah berulang mengalami peristiwa aneh, ia merasa rajawali buruk rupa itu tak dapat diduga, segera ikut melompat turun ke bawah sana, Dilihatnya tepi tebing sana ada sebuah sungai kecil, dengan menggigit pedang ungu tadi, rajawali itu lantas rendam pedang itu dalam air sungai, agaknya untuk mencucinya.
Diam2 Nyo Ko mengangguk dan paham maksud si rajawali, pedang itu sudah lama mengeram di dalam perut ular berbisa. dengan sendirinya racun juga melekat pada batang pedang itu.
Setelah sekian lamanya si rajawali mencuci pedang, kemudian ia berpaling dan melemparkan pedang itu kepada Nyo Ko. Pedang itu se-akan2 berbentuk selarik sinar ungu menyambar ke arah Nyo Ko, tapi dengan cepat anak muda itu dapat menangkap gagang pedang, katanya dengan tertawa "Terima kasih atas kebaikan Tiau-heng." ia periksa, dilihatnya gagang pedang itu tertulis dua huruf Hindu kuno: "Ci-wi" atau mawar ui
Nyo Ko pegang pedang itu lurus ke depan menyendalnya perlahan, seketika batang pedang bergetar dan mengeluarkan suara mendengung, nyata batang pedang itu sangat lemas. Barulah mengerti akan persoalannya. "Ah lantaran pedang sangat lemas sehingga dapat mengikuti lenggak-lenggok tubuh ular, makanya tidak sampai mencelakai dan menembus perut ular meski mengeram sekian lamanya di dalam perut ular itu.
la coba mengayun pedang ungu itu ke samping, sebatang pohon yang cukup besar kontan tertabas putus, sedikitpun tidak memerlukan tenaga.
Rajawali tadi bersuara pelahan beberapa kali pula dan mendekati Nyo Ko, dengan paruhnya yang bengkok itu ia tarik2 ujung baju Nyo Ko, lalu mendahului melangkah ke sana.
Nyo Ko menduga perbuatan rajawali itu pasti mengandung arti yang daiara, ia segera mengikuti dibelakangnya. Langkah rajawali itu sangat cepat seperti kuda lari saja meski berjalan di antara batu pegunungan dan semak belukar, Nyo Ko keluarkan kemahiran Ginkangnya, tapi rasanya sukar menyusulnya, syukur rajawali itu lantas menunggunya kalau Nyo Ko ketinggalan jauh.
Makin lama tempat yang mereka tuju itu makin rendah dan akhirnya sampai di suatu lembah gunung yang dalam, Tidak lama kemudian sampailah mereka di sebuah gua besar, Rajawali itumengangguk kepala tiga kali di depan gua dan bersuara tiga kali, lalu menoleh, memandangi Nyo Ko.
Dari sikap rajawali itu Nyo Ko menduga, binatang itu seperti sedang menjalankan penghormatan ke dalam gua, ia pikir gua ini pasti didiami oleh orang kosen angkatan tua dan rajawali ini tentunya adalah piaraannya, jika demikian aku harus menurut adat istiadat.
Maka Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah beberapa kali di depan gua dan berkata: "Tecu Nyo Ko menyampaikan salam hormat kepada cianpwe, agar sudi memaafkan kedatanganku yang sembrono ini."
Selang sejenak, tiada terdengar sesuatu jawaban apapun, Rajawali itu menarik lagi ujung bajunya terus melangkah ke depan gua.
Keadaan dalam gua gelap gulita, entah betul dihuni oleh orang kosen tokoh persilatan atau didiami oleh setan gendruwo, meski hatinya kebat-kebit, tapi mati-hidup tidak dipikirkan lagi, dengan menjinjing pedang pusaka "Ci-wi-kiam yang ditemunya itu, ia terus mengintil di belakang si rajawali sakti.
Sebenarnya gua itu sangat cetek, hanya beberapa langkah sudah buntu. di dalam gua, selain sebuah meja dan sebuah bangku batu tiada sesuatu benda lain Iagi.
Rajawali tadi berkaok tiga kali ke pojok gua sana, waktu Nyo Ko memandangnya tertampak di sudut sana ada segundukan batu yang menyerupai kuburan, ia pikir: "Tampaknya ini adalah makam seorang kosen, cuma sayang burung ini takdapat bicara sehingga sukar diketahui asal-usul tokoh ini"
Ketika ia menengadah, tiba2 dilihatnya dinding gua seperti ada tulisan, cuma lembab dan berlumut dinding itu, pula gelap, maka tidak tertampak jelas, Segera Nyo Ko membuat api dan menyalakan sebatang kayu kering, ia kesut lumut dinding gua, benar di situ ada tiga baris huruf. Goresan tulisan sangat halus, tapi melekuk dalam pada batu dinding, tampaknya diukir dengan senjata yang sangat tajam, besar kemungkinan diukir dengan Ci-wi-kiam ini.
Ketiga baris tulisan itu kira2 berarti "Malang melintang lebih 30 tahun di dunia Kangouw, membunuh habis semua musuh, mengalahkan seluruh jago di dunia ini tidak menemukan lawan lagi, maka bertirakat di lembah sunyi ini memperisterikan dan berkawankan rajawali Oho, sungguh sayang, selama hidup hanya mengharapkan seorang lawan sama kuat pun sukar ditemukan, pada bawah ketiga baris huruf itu disebut pula nama penulisnya, yakni: "Kiam-mo Tokko Kiu-pay"
"Kiam-mo Tokko Kiu-pay", demikian Nyo Ko mengulangi kata2 ini beberapa kali, hatinya merasakan sesuatu yang sukar dilukiskan, dari tulisan di dinding gua itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang kosen itu lantaran tidak mendapatkan tandingan karena jengkel lalu dia mengasingkan diri dilembah sunyi ini, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silat orang ini tentu sukar diukur.
Bahwa orang kosen itu berjuluk Kiam-mo (iblis pedang), dengan sendirinya ilmu pedangnya maha sakti, dia she Tokko dan bernama Kiu-pay (minta dikalahkan), mungkin dia telah menjelajahi seluruh jagat untuk mencari seorang yang mampu mengalahkan dia dan cita2nya itu tidak pernah terkabul, sebab itulah dia merasa masgul dan hidup menyendiri.
Membayangkan betapa hebat tokoh yang entah hidup di jaman apa itu, tanpa terasa Nyo Ko sangat kagum.
Nyo Ko angkat obornya dan memeriksa pula keadaan dalam gua, namun tidak ditemukan lagi sesuatu bekas lain, diatas makam itupun tidak ada tanda2 lain pula, Ia menduga mungkin setelah tokoh kosen itu meninggal lalu rajawali sakti inilah yang menguruki jenasahnya dengan batu. Mengenai pedang pusaka "mawar ungu" bisa tertelan ke perut ular sawa itu, karena rajawali sakti ini tidak dapat bicara, tampaknya teka-teki ini ta kkan terungkap selamanya.
Begitulah Nyo Ko ter-menung2 sejenak di situ, kemudian ia padamkan api obor, dalam kegelapan pedang pusaka yang dipegangnya itu memancarkan canana ungu yang remang2, teringat olehnya pedang ini pernah digunakan orang kosen Tokko Kiu-pay malang melintang di dunia persilatan tanpa terkalahkan, dan sekarang pedang pusaka ini jatuh ke tangannya, maka ia lantas berlutut dan menyembah lagi beberapa kali di depan makam batu tadi.Melihat Nyo Ko sangat menghormati makam batu itu, rupanya rajawali sakti sangat senang, kembali ia menjulurkan sayapnya menepuk pundak anak muda itu.
Nyo Ko menjadi teringat tulisan tadi, dimasa Tokko Kiu-pay menyebut si rajawali sakti ini sebagai kawannya, jadi rajawali ini meski binatang kan terhitung angkatan tua pula, kalau kusebut dia Tiau-heng" (kakak rajawali) rasanya juga tak berlebihan.
BegituIah ia lantas berkata kepada burung itu: "Tiau-heng, tanpa sengaja kita bertemuu, agaknya memang ada jodoh antara kita, sekarang kumohon diri untuk pergi. Engkau ingin mendampingi makam Tokko-locianpwe di sini atau hendak berangkat saja bersamaku?"
Rajawali itu berbunyi beberapa kali sebagai jawaban. Sudah tentu Nyo Ko tidak paham artinya, yang jelas burung itu tetap berdiam saja di samping makam, maka Nyo Ko menarik kesimpulan rajawali itu merasa berat untuk meninggalkan kediaman yang sudah ratusan tahun dihuninya ini.
Segera ia merangkul leher rajawali itu dan ber-mesra2an sekian lama dengan dia barulah tinggal pergi.
Selama hidup Nyo Ko tiada mempunyai seorang sahabat karib kecuali saling cinta dengan Siau-liong-li, sekarang bertemu dengan rajawali sakti ini secara kebetulan, walaupun manusia dan binatang, tapi entah mengapa, rasanya sangat cocok sekali, sekeluarnya dari gua itu, terasa berat untuk meninggalkannya, maka setiap melangkah beberapa tindak ia lantas menoleh.
Akhirniya setiap kali ia menoleh, selalu si rajawali sakit berbunyi satu kali sebagai tanggapan menolehnya itu, meski jaraknya sudah semakin jauh, tapi rajawali itu dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan dan selalu menjawab dengan berbunyi satu kali bila Nyo Ko menoleh.
Sungguh hati Nyo Ko sangat terharu, mendadak ia berseru: "O, Tiau-heng, jiwaku sudah tidak lama lagi, nanti kalau urusan puteri Kwe - pepeh sudah selesai dan setelah kumohon diri pada Kokoh? segera kudatang ke sini, rasanya tidak sia2 hidupku ini apabila aku dapat terkubur di samping Tokko locianpwe."
Habis berkata ia memasukkan Ci-wi-kiam ke dalam sarung Kun-cu-kiam, lalu melangkah pergi dengan cepat
Sambil berjalan, dalam hati Nyo Ko terus merenungkan pengalaman aneh tadi, terpikir pula olehnya Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam yang dimilikinya bersama Siao-liong-li itu, sepasang pedang ini sebenarnya memberi ramalan yang baik, siapa tahu Kun-cu-kiam akhirnya patah, tampaknya dirinya memang sudah ditakdirkan tak dapat hidup bersama Siao-liong-Ii sampai hari tua, berpikir sampai di sini ia berduka dan tanpa terasa mencucurkan air mata.
Tengah berjalan, mendadak dari sebelah kanan menyambar tiba sesuatu senjata warna hitam, menyusul dari sebelah kiri juga ada orang menyergapnya. Saat itu pikiran Nyo Ko sedang bergolak dan sama sekali tidak menduga akan diserang oleh musuh dilembah sunyi begini.
Apalagi serangan dari kanan kiri ini juga sangat cepat, dapat menghindarkan yang kiri tentu sukar mengelakkan yang kanan.
Dalam keadaan kepepet Nyo Ko juga tidak sempat melolos pedang, sepat ia meloncat setinggi nya, ia menduga musuh pasti akan melancarkan serangan susulan waktu ia turun ke bawah, maka selagi terapung di atas, sekaligus ia cabut Ci- wi-kiam dan diputar dengan kencang untuk menjaga diri, dengan begitulah ia turun ke bawah.
Akan tetapi sebelum dia melabrak lawannya, se-konyong2 sesosok bayangan menubruk tiba dari belakang, ternyata si rajawali sakti itu. Dengan cepat rajawali itu menubruk ke semak2 di sebelah kanan, sekali patuk segera seekor ular tergigit olehnya terus dilemparkan ke tanah, menyusul ia lantas menubruk pula ke sebelah kiri, tertampak sinar emas berkelebat, sebuah roda emas menghantamnya rajawali itu bermaksud mematuk roda itu untuk merampasnya, tapi tidak berhasil, sedikit berputar segera paruhnya mematuk lagi. .
Dari semak2 pohon situ lantas melompat keluar seorang dengan sepasang rodanya, kiranya Kim-lun Hoat-ong adanya.
Kuatir rajawali itu dicelakai Hoat-ong yang lihay, cepat Nyo Ko berseru: "Silahkan mundur, Tiau-heng, biar aku yang melayani dia."
Namun sayap kiii si rajawali mendadak membentang ke belakang untuk mencegah Nyo Ko, sedangkan sayap kanan terus menyampuk ke depan.
Serangkum angin keras terus menyamber ke muka Hoat-ong, luar biasa tenaga sabetan sayap itu, biarpun jago silat kelas satu juga tidak sekuat itu.
Kiranya Hoat-ong dan Nimo Singh bergumul dan terjerumus ke jurang, untung ditepi jurang ada sebatang pohon besar, pada detik berbahaya itu Hoat-ong sempat menggunakan sebelah tangannya untuk merangkul batang pohon.
Saat itu Nimo Singh sudah dalam keadaan setengah sadar, namun dia masih tetap merangkul tubuh Hoat-ong dengan mati2an, setelah Hoat-ong mengawasi keadaan sekitarnya, kemudian ia lepaskan rangkulannya pada batang pohon sambil kakinya memancal, dengan tepat kedua orang jatuh pada onggokan semak2 rumput yang lebat terus menggelinding ke bawah mengikuti tebing yang miring itu.
Belasan meter jauhnya mereka ber guling dan baru berhenti setelah sampai di dasar lembah yang dalam itu. Tentu saja sekujur badan mereka babak belur oleh duri dan batu kerikil.
Segera Hoat-ong menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk menelikung tangan Nimo Singh sambil membentak "Lepaskan tidak?"
Dalam keadaan setengah sadar Nimo Singh merasa tidak bertenaga lagi untuk melawan, terpaksa ia lepaskan sebelah tangan dan tangan lain masih mencengkeram punggung orang.
"Hm, kedua kakimu sendiri keracunan hebat dan tidak lekas berusaha menolongnya masih main gila apa kau?" jengek Hoat-ong.
Ucapan ini seperti kemplangan diatas kepala Nimo Singh, cepat ia menunduk, tertampak kedua kaki sendiri sudah membengkak besar dua kali lipat daripada biasanya, ia tahu bila tidak lekas ditolong sebentar lagi kalau racun menjalar keatas tentu jiwanya melayang, ia menjadi nekat, ia melolos ular baja yang terselip di tali pinggang, sambil menggertak gigi ia bacok putus kedua kakinya itu sebatas lutut Seketika darah segar memuncrat, kontan iapun semaput.
Melihat betapa tegas dan perkasanya Nimo Singh, mau-tak-mau Hoat-ong merasa kagum juga. Mengingat orang sudah cacat kedua kaki dan tidak bakalan bersaing lagi dengan dirinya, segerat Hoat - ong menutup beberapa Hiat-to di kaki Nimo Smgh untuk menghentikan cucuran darahnya, habis itu ia mengeluarkan pula obat dibubuhkan pada lukanya serta membalutnya dengan robekan kain baju Nimo Singh.
Pada umumnya Busu (jago silat, Bushu kata orang Jepang) di negeri Thian-tiok mengalami gemblengan fisik yang hebat, rata2 pernah berlatih tidur di atas papan berpaku atau berpisau dan jenis2 ilmu yang menyakitkan lainnya.Nimo Singh juga ahli dalam ilmu2 itu, maka begitu darahnya mampet, segera ia sanggup bangkit berduduk dan berkata kepada Hoat-ong. "Baiklah, kau telah menolong aku segala sengketa kita yang sudah lalu tak perlu di-ungkat lagi."
Hoat-ong tersenyum getir, dalam hati ia merasa keadaan sendiri malahan lebih buruk daripada Nimo Singh yang sudah buntung itu, meski buntung, tapi Nimo Singh sudah bebas dari keracunan. Maka Hoat-ong lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak keluar hawa beracun di telapak kakinya itu.
Lebih satu jam barulah beberapa tetes air hitam dapat ditolak keluar, itupun sudah membuatnya jantung berdebar dan napas terengah.
Seharian itu mereka lantas istirahat di dasar-lembah itu. Tak terduga menjelang tengah malam. tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatang dari kejauhan. Cepat Hoat-ong gusur tubuh Nimo Singh ke dalam semak2, ia sendiri lantas sembunyi di balik pohon.
Sesudah dekat, dikenalinya pendatang itu adalah Nyo Ko, anak muda itu mengintil di belakang seekor burung raksasa aneh, sekejap saja sudah lewat ke sana.
Mengingat racun dalam tubuhnya seketika sukar dibersihkan, timbul pikiran Hoat-ong hendak merobohkan Nyo Ko untuk merampas obat penawarnya, Sebab itulah mereka lantas sembunyi di situ begitu Nyo Ko kembali lagj, segera mereka menyergapnya. Untung kedua orang itu habis terluka dan banyak berkurang tenaganya, kalau tidak pasti Nyo Ko bisa celaka.
Begitulah sesudah Nyo Ko terhindar dari sergapan, dilihatnya si rajawali sakti pedang melabrak Hoat-ong dengan sengit, caranya menubruk dan menyabet dengan sayapnya serta caranya mengelak seluruhnya bergaya dan beraturan, tentunya burung ini sudah lama mengikuti orang kosen yang tak terkalahkan sebagai Tokko Kiu-pay, maka sudah apal sekali semua jurus ilmu silat sehingga tokoh semacam Hoat-ong juga cuma bertempur sama kuatnya saja melawan rajawali.
Makin lama Hoat-ong makin heran dan kuatir Nyo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak muda itu ikut mengerubutnya pasi dirinya bisa celaka, iapun heran darimana datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah riwayatnya hari ini.

Berpikir sampai di sini, mendadak kedua roda-nya menyilang di depan dada untuk menahan patokan si rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru: "Bocah she Nyo, darimanakah kau mendatangkan makhluk ini?"

Sebelah tangan Nyo Ko merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab: "Ini adalah sahabat karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti), Hendaknya jangan kau bikin marah dia. kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan berlubang besar."
Hoat-ong percaya ucapan Nyo Ko itu, berdiri saja sudah begitu tinggi rajawali itu, apalagi kalau terbang ke atas, cara bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri saja dan bungkam.
Terdengar Nyo Ko berkata pula: "Tiau-heng, engkau mengantar aku ke sini, kawanan penjahat ini menjadi ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tiada aral melintang lagi di depan sana, bolehlah kita berpisah di sini saja."
Sin-tiau itu memandang sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja.
"Baiklah, jika engkau suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih dulu:" kata Nyo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi.
Karena kuatirkan bayi puteri Kwe Cing itu, maka ia berlari secepatnya ke gua itu, baru sampai di mulut gua sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya: "Ke mana kau sejak tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis saja, sungguh mengganggu dan menjemukan."
"Mana ada setan?" ujar Nyo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba2 dari jauh berkumandang suara orang-menangis keras, Keruan ia terkejut, ia pikir masakah di dunia ini benar2 adalah setan segala?
Suara tangisan yang tadi kedengaran sangat jauh itu, dalam sekejap saja sudah mendekat, rasanya cuma beberapa puluh meter saja di luar gua sana.
Segera Nyo Ko melolos pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu: "Kau jaga anak itu, biar kubereskan dia, Li-supek."
Serentak Li Bok-chtu merasakan hawa dingin dilihatnya sinar ungu yang samar2 dalam kegelapan, jelas senjata yang dipegang Nyo Ko adalah sebuah pedang mestika, Dengan heran ia tanya.
"Darimana kau mendapat pedang ini?"
Belum lagi Nyo Ko menjawab, tiba2 terdengar orang di luar gua itu sedang berteriak dan menangis. "Oh, buruk amat nasibku ini isteriku dibunuh orang, kedua putraku hendak saling bunuh membunuh pula."
Mendengar itu, legalah hati Nyo Ko, jelas itulah suara manusia dan sama sekali bukan setan segala. ia coba melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang2 kelihatan seorang lelaki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan ber-putar2 dengan cepat di situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas.
"Huh, rupanya seorang gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini," jengek Li Bok-chiu.
Sementara itu lelaki tadi sedang menangis dan sesambatan pula: "di dunia ini aku cuma mempunyai dua anak ini, tapi mereka justeru hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku ini?"
Sambil berkata ia terus menangis ter-gerung2 dengan sedihnya.
Hati Nyo Ko tergerak, ia pikir mungkin inilah dia? Segera ia memasukkan pedang kesarungnya: "Apakah di situ Bu-locianpwe adanya...?"
Orang itu menangis di ladang sunyi, soalnya karena hatinya teramat berduka, tak diduganya di lereng pegunungan ini ada orang lain, segera berhenti menangis balas menegur dengan suara bengis: "Siapa kau? Apa yang kau lakukan secara sembunyi2 di sini?"
Nyo Ko memberi hormat dan menjawab: "Cayhe bernama Nyo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama Sam-thong?"
Orang ini memang betul adalah Bu Sam thong, dahulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa dan jatuh kelengar, waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sendiri sedang mengisap darah beracun dari lukanya itu, ia terkejut dan berseru mencegah sambil mendorong sang isteri.
Akan tetapi sudah terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru. Nyata Bu Sam-nio telah mengorbankan diri sendiri demi untuk menyelamatkan sang suami, ia tahu ajalnya sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya ia menyatakan penyesalannya yang tidak dapat membahagiakan suami sejak mereka menikah, sebab sang si suami mencintai perempuan lain. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya sekarang hanya memohon sang suami suka jadi manusia berguna bagi negara dan bangsa serta hidup rukun selamanya.Habis meninggalkan pesan itu Bu Sam-nio lantas menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Karena kematian isterinya itu, saking berdukanya penyakit Bu Sam-thong kembali kumat, melihat kedua puteranya mendekap diatas mayat ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu Sam-thong serasa kosong, apapun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah tujuan.
Begitulah ia terus luntang lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras, It-teng Taysu mendapat berita itu dan mengirim anak muridnya untuk menjemput Bu Sam-thong ke Tayli, disitulah Bu Sam-thong akhirnya dapat disembuhkan.
Kemudian Bu Sam-thong mendapat kabar pula dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para ksatria, bahwa kedua puteranya itu kini sudah dewasa serta sudah diajari It-yang-ci oleh Cu Cu-liu.
Tentu saja Bu Sam-thong sangat girang dan terkenang kepada putera2nya, ia lantas mohon diri pada sang guru dan berangkat ke Siangyang untuk menjenguk anak2nya.
Setiba Bu Sam-thong di Siangyang, kebetulan Kim lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Cing terluka dan Ui Yong baru melahirkan, setelah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya itu telah minggat untuk saling berkelahi.
Tentu saja Sam-thong sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar kota untuk mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
Akhirnya Bu Sam-thong dapat menemukan kedua puteranya disuatu kelenteng rusak. Sudah tentu kedua saudara Bu sangat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Tapi ketika persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah.
Meski didamperat atau dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar kedua pemuda itu jangan memikirkan Kwe Hu lagi, namun sukar terlaksana gagasan demikian. Di depan sang ayah memang kedua saudara Bu tidak berani bermusuhan, tapi dibelakang ayahnya mereka lantas ribut.
Malamnya kedua saudara itu berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi.
Bu Sam-thong sangat mendongkol dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud mencegah pertarungan mereka. Semakin dipikir semakin berduka hatinya hingga akhirnya Bu Sam thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu.
Bu Sam-thong belum pernah kenal Nyo Ko, dalam keadaan sedih, tanpa terasa ia menjadi gusar karena merasa terganggu, segera ia membentak "Siapa kau? Darimana kau kenal namaku?"
"Paman Bu," jawab Nyo Ko, "Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di Thoa-ho-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun waktu kami sama2 kecil. Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi."
Bu Sam-thong mengangguk. "Dau apa yang kau lakukan di sini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit dalam pertandingan Siu~bun dan Tun si ini. Hm, kau mengaku sahabat mereka, mengapa kau tidak berusaha melerai, sebaliknya malah mendorong dan ingin melihat keramaian, macam sahabat apa kau ini?"
Makin bicara makin bengis, segenap rasa gusarnya se-akan2 hendak di-lampiaskan atas diri Nyo Ko, maka sambil mendamprat terus melangkah maju dan angkat telapak tangan.
Melihat berewok orang se-akan2 menegak, sikapnya garang, Nyo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysii, tentu ilmu silat orang sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa sebab. Karena itu ia lantas menyurut mundur dan berkata: "Sesungguhnya siautit tidak tahu kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman jangan salah paham padaku."
"Omong kosong!" bentak Bu Sam-thong. "Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini? Dunia sebesar ini, kenapa kau justeru berada di lembah sunyi ini?"
Diam2 Nyo Ko mendongkol, ia pikir orang ini benar2 gila dan sukar diajak bicara, apalagi pertemuan-nya di tempat sunyi ini memang betul jaga sangat kebetuIan, karena itu ia menjadi serba susah untuk menjawab.
Melihat orang ragu2 dan diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik2, dasar otaknya pernah terganggu, pula, sudah pernah patah hati, maka setiap kali melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apalagi dia sedang gemas dan tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera menabok ke pundak Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sempat mengegos sehingga serangan tangan Bu Sam-thong itu mengenai tempat kosong" Cepat Bu Sam-thong tarik tangannya terus menyikut.
Nyo Ko tidak berani ayal, melihat serangan orang yang keras itu, cepat ia menggeser ke samping untuk menghindar lagi.
"Hebat juga Ginkangmu," seru Bu Sam-thong "Hayolah lekas keluarkan pedangmu!"
Pada saat itulah tiba2 bayi di dalam gua terjaga bangun dan menangis pula, pikiran Nyo Ko tergerak ia tahu Bu Sam-thong sangat benci kepada Li Bok chiu yang telah membunuh isterinya, kalau kepergok pasti akan bergebrak mati2an. sedangkan kedua orang sama2 lihaynya, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi si bayi akan keserempet bahaya.
Karena itu Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa: "Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan engkau? Tapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, akupun tidak berdaya, Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit pasti takkan balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau segera pergi dari sini"
Bu Sam-thong menjadi marah, bentaknya: "Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja menahan diri dan tidak menyerang sungguh2, lalu kau berani memandang enteng padaku?" Mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan, ia telah mengeluarkan ilmu jari sakti It - yang - ci ajaran It-teng Taysu.
Diam2 Nyo Ko prihatin, tertampak jari orang bergerak pelahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri se-akan2 terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang akan diarah jari orang, justeru tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa janji "takkan balas menyerang44 tidak dapat ditepati lagi, Dalam keadaan tiada jalan lain, cepat Nyo-Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah Sian-ci-sin-thong" (selentikan jari sakti) ajaran Ui Yok-su.
Sian-ci-sin-thong dan lt-yang-ci sama2 terkenal selama berpuluh tahun ini dan masing2 mempunyai keunggulannya sendiri. Tapi latihan Nyo Ko masih cetek, dengan sendirinya sukar menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya itu.
Maka begitu jari kedua orang saling bentrok, seketika lengan kanan Nyo Ko tergetar, sekujur badan terasa panas dan terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak kembali.
Bu Sam-thong bersuara heran, katanya: "Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di Tho-hoa-to." Dan karena merasa segan terhadap Ui Yok~su, pula merasa sayang terhadap Nyo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu: "Awas tutukan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis agar tidak rusak badanmu, aku takkan mencelakai jiwamu."Habis berkata ia terus menubruk maju dan jarinya kembali menutuk pula, sekali ini yang di arah adalah perut Nyo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to di bagian itu.
Nyo Ko merasa tidak sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apabila jarinya tidak mau dipatahkan, dalam keadaan kepepet, tiba2 ia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat tameng di depan perutnya.
Batang pedang Ci-wi-kiam cuma beberapa senti lebarnya, namun berhawa dingin dan berbatang lemas, sedikit tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat dan merasakan ketajaman pedang itu, cepat ia menarik kembali jarinya.
Hanya terkejut sebentar saja, menyusul tutukan ketiga kalinya dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong, sekali ini secepat kilat mengarah batok kepala di tengah alis Nyo Ko, ia menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri.
Tak terduga, sekilas timbul akal aneh dalani benak Nyo Ko, mendadak ia memutar Ci-wi-kiam ke atas, bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri terus di-tusukkannya.
Gerakan ini sangat berbahaya, Bu Sam-thong terkejut, cepat tutukan jarinya itu diurungkan dan tangannya menyamber ke bawah dengan maksud merebut pedang Nyo Ko untuk menyelamatkan jiwanya.
Ternyata gerakan menusuk dada sendiri ini adalah tipuan Nyo Ko belaka, ketika ujung pedang menyentuh bajunya, segera ia tarik ke bawah dan segera diputar pula untuk melindungi seluruh tubuh nya, betapapun cepat gerakan Bu Sam-thong ini tetap terlambat sedetik sehingga tangannya hampir saja tertabas oleh pedang pusaka Nyo Ko itu.
Sekarang Nyo Ko benar2 telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, ia mulai mengeluarkan ilmu pedangnya, seketika Bu Sam thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang tak tertahankan meski lihay It-yang-ci juga tidak dapat menghadapi pedang- mestika Nyo Ko ini.
Setelah melengak dan merasa kewalahan, Bu Sam-thong melompat mundur, dengan lesu ia berkata: "Hai, benar2 ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macamku sudah tak berguna lagi."
Nyo Ko merasa rikuh karena telah mengibul orang tua itu, cepat ia simpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi hormat: "Kalau paman tidak bermaksud baik merampas pedang untuk menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari tutukan ketiga kalinya tadi."
Hati Bu Sam thong rada terhibur karena Nyo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun: "Dahulu Ui Yong telah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku dikalahkan pula olehmu, ya orang kasar macam kami ini, memang bukan tandingan kaum muda yang cerdik pandai..."
Belum habis ucapannya, tiba2 dari jauh ada suara orang mendatangi jelas yang datang ada dua orang. Cepat Nyo Ko menarik Bu Sam thong sembunyi di balik semak2 pohon sana. Sesudah dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun.
Siu-bun berhenti dulu di sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata: "Toako, tempat ini cukup lapang, boleh di sini saja,"
"Baik," jawaban Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara, sret, segera pedang diIolosnya.
sebaliknya Siu-bun tidak lantas mencabut pe-dangnya, katanya pula: "Toako, pertarungan ini andaikan aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, apapun juga adikmu ini juga tak ingin hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang memikulnya semua,"
Mendengar ini, hati Bu Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata.
Sementara itu Bu Tun-si lagi menjawab "Asal kan sama2 tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku yang kalah, juga begitulah harapanku." Habis ini ia angkat pedangnya dan pasang kuda.
Namun Bu Siu-bun tetap tidak melolos pedangnya, tiba2 ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata: "Toako, sejak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar bahwa sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?"
Tun-si menjawab: "Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa."
"Baiklah, tak peduli siapa yang hidup dari mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini agar ayah dan adik Hu tidak berduka," kata Siu-bun.
Bu Tun-si mengangguk dan menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan tanpa bicara sampai sekian lama.
Bu Sam-thong tak dapat menahan- perasaan nya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan bodoh kedua anak muda itu, tiba2 terdengar kedua orang itu sama2 berseru: "Baiklah, mulai!" - Berbareng mereka lantas melompat mundur.
Cepat sekali Siu-bun lantas melolos pedangnya dan "sret-sret-sret" tiga kali tanpa bicara lagi ia menyerang dengan cepat. Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya.
Bu Sam-thong berkuatir melihat serangan lihay itu, dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut itu dengan mudah. Di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang nyaring, kedua kakak beradik ternyata bertempur dengan mati2an tanpa kenal ampun.
Tentu saja Bu Sam-thong jadi sedih dan kuatir pula, keduanya sama2 putera kesayangannya, selamanya ia pandang sama, tidak pernah pilih kasih.
Serang menyerang kedua anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja layaknya, kalau pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka, Saat ini kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu jiwa puIa, betapapun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu. Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya itu, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Sejak kecil Nyo Ko memang tidak akur dengan kedua saudara Bu kecil itu, sesudah dewasa dan bertemu juga tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, kalau melihat orang lain susah, maka timbul rasa senangnya.
Semula Nyo Ko juga bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri Tapi ketika melihat Bu Sam-thong sangat berduka, tiba2 timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya: "Selama hidupku tidak pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setelah kumati tentu Kokoh akan berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling2 juga cuma Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja. Apakah tidak lebih baik sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku ini?"
Setelah ambil keputusan itu, segera ia membisiki-Bu Sam-thong: "Paman Bu, aku ada suatu akal yang dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu."Hati Bu Sam-thong bergetar, ia berpaling dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih bercucuran namun tampaknya ia masih ragu2 karena tidak tahu Nyo Ko mempunyai akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini?
"Cuma terpaksa aku harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah padaku," bisik Nyo Ko pula.
Dengan kencang Bu Sam-thong genggam kedua tangan Nyo Ko, saking terharu hatinya hingga tidak sanggup bicara, Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta kepayangnya kepada kekasihnya dahulu mulai hambar setelah tambah tua harapannya hanya tercurah pada kedua puteranya saja, biarpun jiwa sendiri harus dikorbankan iapun rela.
Karena itu ketika mendengar ucapan Nyo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat girang se-akan2 mendapatkan wahyu.
Melihat sikap Bu Sam~thong, Nyo Ko menjadi terharu dan pedih hatinya, ia pikir kalau ayahku masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini.
Dengan suara tertawa ia lantas berkata pula: "Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan se-kali2 diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total,"
Dalam pada itu pertarungan kedua saudara Bu semakin sengit dan benar2 mengadu jiwa, Walaupun begitu dalam pandangan Nyo Ko, kepandaian kedua Bu cilik itu sesungguhnya belum ada tiga bagian daripada seluruh kepandaian Kwe Cing.
Pada saat itulah mendadak Nyo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan dirinya.
Tentu saja kedua saudara Bu terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap tajam kepada Nyo Ko: "Untuk apa kau datang ke sini?"
"Kalian sendiri untuk apa berada di sini?" jawab Nyo Ko dengan tertawa.
Bu Siu-bun ter-bahak2, katanya: "Karena iseng di malam sunyi im, maka kami bersaudara berlatih ilmu pedang di sini."
Diam2 Nyo Ko mengakui Bu cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tapi cara, bicaranya seperti sungguh2, segera ia menjengek. "Hm, berlatih kok serang menyerang secara mati2-an? Hehe, giat amat cara kalian terlatih?"
Bu Tun-si menjadi gusar damperatnya: "Enyah lah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut urus!"
"Ha, kalau benar2 berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus," jengek Nyo Ko pula, "Tapi setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan melulu adik Hu belaka, mau-tak-mau aku harus ikut urus,"
Mendengar ucapan ^"adik Hu" yang sengaja dibikin mesra oleh Nyo Ko itu, seketika hati kedua saudara Bu itu tergetar Dengan gusar Siu-bun lantas mendamperat pula: "Kau mengaco belo apa?"
Dengan tegas Nyo Ko berucap lagi: "Adik Hu... kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu puteri kandung paman dan bibi Kwe, betul tidak? urusan perjodohan harus berdasarkan idzin ayah ibu, benar tidak? sedangkan paman Kwe sudah lama menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tapi kalian malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku itu, memangnya kalian ini anggap aku Nyo Ko ini manusia atau bukan?"
Kata2 Nyo Ko tegas dan bengis, seketika dua saudara Bu tak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Cing ada maksud memungut Nyo Ko sebagai menantu, tapi Ui Yong dan Kwe Hu sendiri tidak suka padanya.
Kini isi hati mereka mendadak dibongkar oleh Nyo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang dengan bingung.
Dasar Siu-bun memang lebih cerdik, segera ia belas mendengus: "Huh, bakal isteri apa? Berani juga kau mcngucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? sudahkah ber-tunangan?"
"Haha, memangnya kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia, sudah ada comblangnya dan telah diluluskan orang tuanya?" balas Nyo Ko menjengek.
Maklumlah pada jaman dinasti Song, adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, setiap perjodohan harus seidzin orang tua dan harus ada saksi2 comblangnya.
Sudah tentu hubungan kedua saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, mereka menjadi bungkam oleh pertanyaan Nyo Ko.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Siu-bun menjawab: "Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang betul. Nantun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan pilihannya atas satu diantara kami berdua. jadi sesungguhnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama, siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.?"
Nyo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan bergelak tertawa, "Apa yang kau tertawakan?" damperat Siu-bun dengan gusar. "Memangnya ucapanku salah?"
"Ya, salah, salah besar!" jawab Nyo Ko, "Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat di bandingkan dengan diriku."
"Hm, yang penting kenyataannya tiada berguna beromong kosong," jengek Siu-bun pula.
"Haha, untuk apa aku beromong kosong?" ujar Nyo Ko, "Bibi Kwe diam2 sudah menjodohkan puterinya padaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati2an, itu lantaran mengingat akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah Subomu pernah berjanji kepada kalian?"
Kedua Ba cilik itu saling pandang dengan bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut menantu salah seorang di antara mereka. jangan2 ibu gurunya itu memang betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Nyo ini?
Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh bersama.
Seperti diketahui Nyo Ko pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu, maka ia sengaja hendak memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata pula "Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-dua2nya. Padahal, hahaha, masa ada perempuan baik2 di dunia ini sekaligus mencintai dua orang lelaki. Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya."
Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: "O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja."Seketika air muka kedua saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya, darimana Nyo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran mereka...
Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah Nyo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh2- "Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2..." - Sampai di sini, tiba2 terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.
Nyo Ko terkejut dan hampir2 saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu di dalam gua, orang ini se-kali2 tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu ini.
Segera ia berkata pula kepada kedua saudara Bu: "Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian."
BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Cing dan Ui Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.
Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah: "Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh di rantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini."
Habis berkata mereka lantas membalik tubuh, diam2 Nyo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Sam~thong.
Bu Sam-thong juga bergirang setelah menyaksikan Nyo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru: "Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama."
Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil "ayah" berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Nyo Ko dan berkata: "Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi pertolonganmu."
Nyo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba2 kepada Tun-si.
"Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul."
Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.

Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Sam~thong menambahkan: "Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik Nyo ini untuk melerai kalian."

Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan Nyo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Nyo Ko besar kemungkinan tidak betul.
"Toako," kata Siu-bun kemudian, "Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri."
"Benar," jawab Tun-si. "Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita,"
Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong: "Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu."
"Aku... aku..." muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua. ,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati2an pula.
Nyo Ko lantas menjengek: "Saudara Bu, memangnya sebutan "adik Hu" boleh kau panggil se-sukamu? selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia."
Siu-bun menjadi gusar, teriaknya: "Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau. "Adik Hu" sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya"?
"Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu, ....." belum habis ucapannya, "plok", mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Nyo Ko.
Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: "Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya?
"He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?" cepat Bu Sam-thong mencegahnya.
Mendadak Nyo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong dan bertanya: "Paman Bu, kau membantu pihak mana?"
Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Nyo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-: Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.
"Begini saja," kata Nyo Ko pula, "Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka, rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja."
Usia Nyo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Sam~thong, segera ia berduduk di atas batu padas di samping sana.
Nyo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya di sabetnya cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja.
Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan dapat menandingi Nyo Ko dengan pedang selihay itu.
Tapi Nyo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. "Pedangku ini masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud. sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata pula: "Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah."Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Nyo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyebut "ayah dan ibu mertua" segala, se-akan2 Kwe Hu benar2 sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Nyo Ko menyatakan bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Ui Yong melulu.
Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Nyo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini.
Maka cepat Siu-bun menegas: "Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?"
"Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan di masa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu," kata Nyo-Ito. "Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?"
Pertanyaan Nyo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab "Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya."
"Bagaimana kau, setuju?" tanya Nyo Ko kepada Tun Si.
"Kami bersaudara bersatu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian?" jawab Tun-si dengan gusar.
"Bagus, setelah kalah nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?" Nyo Ko menegas pula.
"Benar," jawab Siu-bun. "Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Nyo, marilah mulai."
Habis berkata ia terus mendahulu menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Nyo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan oleh serangan Tun-si itu.
Akan tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil meng-olok2. Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar, "Kau mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?"
"Baik, kaumeminta tentu akan kuperlihatkan. Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!" seru Nyo Ko. Pentungnya menyabet serta diputar ke atas itulah gaya "menjegal" dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain pura2 hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.
Ketika Tun-si melompat mundur, "bluk", tahu2 Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.
Nampak adiknya kecundang, cepat Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.
"Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang menolong." demikian sambil meng-olok2, sekali pentungnya berkelebat tahu2 Nyo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan "plok", dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.
Gerakan pentung Nyo Ko itu tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak terduga. Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.
Setelah merasakan gebukan pada pantatnya, walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang, karena itu diam2 timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat bangun dan berseru: "Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo mengajarkan kau secara diam2. jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita sama2 menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada Loh-tianglo tempo hari."
Mendadak pentung Nyo Ko menjulur dan "bluk" kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi, cepat Bu Tun-si menabas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.
Nyo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawar "Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan kalian tidak bisa? padahal yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkan nya beliau telah mengajarkan padaku secara diam2, bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian ini."
Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan Nyo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu, maka dalam hati sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Nyo Ko, cuma di mulut ia tetap tidak mau kalah, katanya: "Huh, setiap orang memang berbeda. Bahwa secara kebetulan kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun ilmu pentung mana boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja mau berbuat begitu? Hm. kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang lain."
Nyo Ko ter-bahak2, pentungnya berputar puIa dan "plok-plok" dua kali, tahu2 punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.
"Baiklah, karena tiada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga kalian belum mau mengaku kalah," ujar Nyo Ko, "Nah, sekarang akan kugunakan pula sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.
Habis ini ia pandang Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: "Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu mertuaku berasal ajaran siapa?"
Dengan gusar Siu-bun menjawab. "Kalau kau tanpa malu2 menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara pula dengan kau."
"Ah, kenapa kalian berjiwa sesempit ini," kata Nyo Ko dengan tertabak "Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subomu berasal dari siapa?"
"Subo kami adalah puteri kesayangan Ui-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal ajaran ayahnya sendiri, masakah perlu kau tanyakan puia?" jawab Siu-bun.
"Benar"^ kata Nyo Ko, "Kaltan sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas Ui-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau itu?".
Dengan bersemangat Bu Siu-hun menjawab "Ui-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala apapun diketahui oleh beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku, Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorangpun di dunia Kangouw yang tidak tahu."
"Dan kalian pernah berjumpa dengan Vi tocu Sdak?" tanya Nyo Ko pula."Tidak pernah." jawab Siu~bun. "Ui-tocu suka mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apalagi orang muda seperti kami ini."
"O, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu itu tak pernah kalian lihat?" kata Nyo Ko.
"Melihat langsung memang belum pernah," jawab Siu-bun dengan mendengus "Tapi ketika hari ulang tahun Ui~tocu, Subo telah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Ui-tocu itu. Tatkala itu Nyo-heng sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain."
"Benar," ujar Nyo Ko sambil tertawa. Kemudian ibu mertuaku... ooh, baikiah, kemudian Subo kalian diam2 telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku."
Kedua saudara Bu itu saling pandang, sudah tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal kesayangan Ui Yong juga tidak diajari ilmu pedang, masakan bisa jadi Nyo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.
"Kalian tentu tidak percaya, bukan?" kata Nyo Ko."Baiklah, coba lihat jurus serangan ini?"
Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang, "cret" tahu2 dada Bu Tun~si sudah tertusuk oleh ujung pedang.
Kalau saja pentung itu adalah pedang yang tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya tentu sudah melayang.
Siu-bun cukup cekatan, melihat Nyo Ko mulai menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga kanan Nyo Ko. Akan tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Nyo Ko sempat diputar balik dan tahu2 menusuk ke pergelangan tangannya.
Serangan Nyo Ko ternyata mencapai sasarannya lebih cepat daripada serangan Siu~bun itu, belum lagi ujung pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk lebih dulu oleh ujung pentung Nyo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan.
Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya terus menendang, sementara itu pentung Nyo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si sembari melangkah maju, tendangan Siu-buo se-akan2 tak dihiraukannya.
Dengan sendirinya tendangan Siu-bun menjadi mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si menjadi berbahaya, cepat ia putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan dgn rapat, begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.
Hanya beberapa jurus saja kedua saudara Bu itu sudah dibikin kelabakan oleh Nyo Ko, bertahannya terasa sulit, jangankan hendak balas menyerang. Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak menyangka bahwa Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Ui Yong itu ternyata memiliki gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk digunakan.
Karena kecundang kedua saudara Bu menjadi malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat itu benar2 diajarkan oleh Ui Yong kepada Nyo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Nyo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Ui Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.
Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati Nyo Ko menjadi tidak tega. Tapi mengingat maksud tujuannya justeru hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah betul2 agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya pasti akan berkelahi mati2an lagi bagi nona itu, karena inilah dia mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi.
Keruan kedua saudara Bo semakin keder, bayangan pentung" berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Nyo Ko itu.
Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan mati2an.
Sebenarnya kepandaian kedua Bu cilik itu tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Nyo to yang kini sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya. Apalagi sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur. sebaliknya Nyo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan tenang.
Lambat-laun kedua saudara merasa pentung lawan itu se-akan2 membawa semacam kekuatan mengisap yang amat kuat, pedang mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.
Sampai akhirnya kedua saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Nyo Ko terkadang hampir mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tun~si.
"Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah" kata Nyo Ko
"Trak" pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga pentung kayu ttu tidak rusak.
Seketika Tun-si merasa dibetot oleh suatu tenaga kuat, pedang hampir terlepas dari cekalannya. Lekas ia menarik balik sekuatnya, tapi Nyo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu2 pedang Bu Siu-bun juga ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Nyo Ko menahan ke bawah, segera ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.

Cepat kedua Bu cilik menarik pedang sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu2 Nyo Ko melangkah maju, pentung kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk menginjak ujung kedua pedang.Tahu2 tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh2, pasti leher mereka sudah ditembus oleh senjata musuh.

"Bagaimana, menyerah tidak?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.
Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab. Segera Nyo Ko angkat kakinya dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba konyol itu, ia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.
Kedua saudara Bu itu sama sekali tidak menduga bahwa Nyo Ko benar2 telah mendapatkan ajaran kepandaian Ui Yong. Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang diperoleh dan Kwe Cing, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.
Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi, tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya: "Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan dia!"
Hati Tun-si terkesiap, segera iapun menjawab: "Benar!"
Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.
Keduanya, tidak berjaga diri lagi melainkan menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Nyo Ko asalkan dapat gugur bersama musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.
"Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!" kata Nyo Ko dengan tertawa.Malahan ia terus membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara samberan pedang musuh, Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar mengenai sasarannya.
Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan pertarungan itu, sebentar ia berharap Nyo Ko yang menang agar kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Tapi bila melihat Bu cilik mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat mengalahkan Nyo Ko.
Tiba2 terdengar Nyo Ko bersuit nyaring, "cring-cring", jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya, seketika lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu, genggamannya juga kesakitan, setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka serentak mencelat mundur.
Dengan gesitnya Nyo Ko lantas melompat ke atas dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa: "Nah, inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihat nya belum?"
Sampai di sini, mau~tak-mau kedua saudara Bu juga menyadari bila pertarungan diteruskan, tentu mereka akan tambah konyol.
"Maaf!" kata Nyo Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.
Siu-bun menerima kembali pedangnya dan berkata dengan pedih: "Ya, selamanya aku takkan menemui adik Hu lagi." - Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke lehernya sendiri
Pikiran Bu Tun-si ternyata sama dengan adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendak membunuh diri.
Tentu saja Nyo Ko terkejut, secepat terbang ia menubruk maju, "cring-cring" dua kali, kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas, "trang", kedua pedang saling bentur dan patah.
Pada saat itu Bu Sam-thong juga melompat maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya sambil membentak dengan suara bengis: "Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian menjadi laki2"
Siu-bun mengangkat kepalanya dan menjawab: "Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama hidup demi seorang perempuan? Aku......"
Belum habis ucapannya ia melihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras2.
Pegangan Bu Sam~thong menjadi kendur, segera ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi satu.
Merasa usahanya telah berhasil, hati Nyo Ko sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan.
Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong lagi berkata: "Anak bodoh, laki2 sejati masakah takut tidak mendapatkan bini? Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu untuk apa kalian memikirkan dia? Tugas utama kita sekarang ini apa, coba katakan?"
"Menuntut balas kematian ibu," seru Siu-bun
"Benar," kata Bu Sam thong sambil beringas.
"Meskipun menjelajahi ujung langit juga akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu."
Nyo Ko menjadi kuatir kalau ucapan merekah itu didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam.
Benar juga, sebelum ia berbuat sesuatu, tiba2 terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata: "Tidak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok chiu menunggu di sini." - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.
Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua putera-nya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di situ secara mendadak, Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu ke depan.
Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat mereka menjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut dari kanan-kiri.
"Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan penuturanku!" seru Nyo Ko.
Namun mata Bu Sam-thong sudah kadang merah membara, teriaknya: "Adik Nyo, bicara nanti saja, setelah kubunuh iblis ini." Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali ber~turut2. Meski dia dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu juga tidak dapat dipandang ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat.Nyo Ko tahu dendam kesumat mereka terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia berseru pula: "Li-supek, biarlah kupendong anak itu!"
Bu Sam-thong melengak. "Mengapa kau panggil dia Supek?" tanyanya bingung.
"Sutit yang baik, boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tak apa," jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.
Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihayan Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat daripada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Nyo Ko sebagai "Sutit yang baik" untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.
Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: "Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Nyo itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini."
Nyo Ko lantas melangkah mundur dan ber-kata: "Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian jangan sekali2 membikin celaka anak bayi itu."
Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Nyo Ko sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.
Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan. Li Bok-chiu berseru: "Kedua Bu cilik, melihat pri-laku kalian tadi, kalian ini tergolong laki2 yang punya perasaan, berbeda dengan laki2 yang tak ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja."
Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: "Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan" - Berbareng itu ia terus menyerang mati2an.
Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir terlepas, dari tangan, Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.
Pelahan Nyo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut bayi dalam pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Nyo Ko.
Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi Nyo Ko menjadi kuatir, cepat ia berseru pula: "Berikan anak itu padaku, Li-supek!" ~Sambil menunduk segera ia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.
Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentak:nya: "Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah jiwanya takkan melayang?"
Nyo Ko melengak dan tidak jadi menubruk maju. Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yang~ci Bu Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok-chiu tertutuk satu kali oleh jarinya.
Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, sebisanya ia angkat sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung di tangan Bu Tun-si, menyusul kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.
Melihat anaknya terancam bahaya, cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut tadi.
Sesudah terluka oleh tutukan tadi, Li Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia putar kebutnya, berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.
Dengan girang Bu Sam-thong berseru: "Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya pasti melayang."
Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah mencegahnya: "Awas, jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari akal..."
Baru saja kedua Bu cilik hendak melangkah mundur, se-konyong2 terdengar suara mengaum, dari dalam gua menerjang keluar seekor binatang buas.
Keruan Bu Sam-thong terkejut, sungguh di-luar dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok chiu itu terdapat pula binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu2 cahaya perak gemerdep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak.
Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong, untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga jarum2 berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas terdengar jeritan kedua Bu cilik.
Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan, sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju, tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu melompat beberapa kali dan menghilang di balik semak2 sana.
Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan tutul juga sama sekali tak terduga oleh Nyo Ko: "Li~supek...."..." segera ia berseru dan hendak mengejar.
Tapi Bu Sam-thong tidak membiarkan Nyo Ko pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua putera-kesayangannya menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul Nyo Ko sambi berteriak: "Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."
Sama" sekali Nyo Ko tak mengira" Bu Sam^ thong akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak berjaga sehingga dia terangkuI dengan kencang. Cepat ia berseru: "He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!"
"Bagus! Biar kita be ramai2 mati bersama saja!" teriak Bu Sam-thong pula.
Nyo Ko menjadi kelabakan, ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya itu, tak terduga bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci rangkulannya itu sehingga usaha Nyo Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.
Melihat Li Bolc-chiu sudah menghilang dengan menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Nyo Ko menghela napas dan berkata: "Paman Bu, buat apa kau merangkul aku? Kau lebih penting menolong mereka itu?
"Ya, ya, benar," seru Bu Sam-thong girang. Sambil melepas rangkulannya "Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa itu?"
Nyo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik, kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan kaki kanan masing2, sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar.Cepat Nyo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.
"Apakah kau punya obat penawar racuuoya?" tanya Bu Sam-thong kuatir.
Dahulu waktu Nyo Ko berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan isi kitab pusaka "Panca Bisa" milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang itu, maka ia paham cara bagaimana menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk membuat obatnya tentu makan waktu, sedangkan sekarang mereka berada dilembah pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu? Karena itu Nyo Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.
Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris2 menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat kepada isterinya yang mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu, mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.
Tentu saja Nyo Ko terkejut, cepat ia bersemi "Hei, jangan!" Segera ia menutuk Tay~cui-hiaf di pinggang orang tua itu.
Karena tidak ter-duga2, seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran.
Tergerak perasaan Nyo Ko, ia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari, JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu ini adalah orang yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang beruntung selama seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.
Karena pikiran itu, mendadak ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu Tun-si.
Begitulah secara bergiliran Nyo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan perbuatan Nyo Ko itu, susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.
Setelah mengisap sebentar pula, rasa pahit dalam mulut Nyo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.
Sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, sekuatnya ia berusaha mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba2 pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia...
Entah berapa lamanya Nyo Ko tak sadarkan diri, ketika pelahan2 ia merasa ada bayangan orang yang samar2 bergoyang kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk memandang lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya.
Entah lewat berapa lama lagi barulah Nyo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.
"Sudah baik dia, sudah baik!" terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: "Adik Nyo, kau.... kau telah menyelamatkan... menyelamatkan kedua puteraku dan juga telah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini."
Lalu dia merangkak bangun dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : "Terima kasih, Susiok, terima kasih!"
Waktu Nyo Ko memandang orang itu, terlihat lah mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak rada2 mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah tua.
Nyo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru dari negeri Thian tok. Ia bermaksud bangun berduduk, tapi pinggang terasa lemas pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang sekitarnya ternyata berada di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota Siangyang.
Baru sekarang dia benar yakin bahwa dirinya belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li, tanpa terasa ia terus berseru: "Kokoh! Mana Kokoh?"
Seorang lantas mendekatinya dan meraba dahinya sambil berkata: "Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu sedang keluar kota untuk sesuatu urusan."
Nyo Ko melihat orang ini adalah Kwe Cing.
Ia merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam masakah ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? jika begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.
Waktu ia sadar kembali untuk kedua kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan berduduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.
"Aku tidak apa2, paman Bu, jangan kuatir kau" kata Nyo Ko dengan tersenyum hambar, "-Dan kedua saudara Bu tentunya baik2 saja,"
Air mata Bu Sam-thong bercucuran, ia tak dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab dengan manggut2 saja.. Selama hidup Nyo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan pembicaraannya dan bertanya: "Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siangyang sini?"
Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu menutur: "Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama2 tergeletak di situ, cepat2 dia menolong kita pulang ke sini"
"Darimana suhuku mengetahui aku berada di mana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat mencari aku dan perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah padaku?"

"Setibaku lagi di sini, akupun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu," tutur Bu Sam-thong. "Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup pada tubuh babi belaka."

Nyo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati, bicara tentang umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.Dengan tersenyum Nyo Ko lantas berkata. "luka siautit ini..."
"Adik Nyo," tiba2 Bu Sam-thong memotong "menolong sesamanya di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau ia pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu, Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.
Ber-ulang2 Nyo Ko menggeleng kepala, maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya itu.
Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia tetap berucap: "Jika kupanggil engkau dengan sebutan "ln-kong" (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima. Tapi kalau engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itupun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini."
Watak Nyo Ko memang suka terus terang dan tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang minta.
Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab: "Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau ketemu kedua saudara Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus ku-sebut mereka."
"Sebut apa segala?" ujar Bu Sam-thong. "Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas."
"Engkau tidak perlu berterima kasih padaku, Bu-toako," kata Nyo Ko, "Memangnya aku sudah kena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun bagiku."
"Soalnya bukan begitu, adik Nyo," kata Ba Sam-thong sambil menggeleng. "jangankan racun yang mengeram dalam tubuh itu belum pasti sukar diobati seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup biarpun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup. Di dunia ini memang tiada manusia dapat hidup abadi, baik nabi maupun orang biasa, akhirnya juga akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati."
Nyo Ko tertawa dan tidak menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: "Sudah berapa hari kita pulang ke Siangyang sini?".
"Sampai sekarang sudah hari ketujuh," jawab Bu Sam thong.
Nyo Ko menjadi heran dan tidak habis mengerti katanya: "Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya racun dalam tubuhku, mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib."
Dengan girang Bu Sam-thong bertutur: "Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia ke sini."
Habis berkata ber-gegas2 ia terus keluar kamar.
Diam2 Nyo Ko bergirang, ia pikir jangan2 waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati, entah betapa gembiranya dia.
Teringat kepada hal2 yang meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.
Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu Jian~jio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi kasiat setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya. Sambil memegangi dada, keringat membasahi dahi Nyo Ko saking sakitnya.
Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba2 Nyo-Ko mendengar suara seorang bersabda: "Namo Budaya!" - Sambil merangkap kedua tangan di depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.
Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu itu, melihat keadaan Nyo Ko itu, ia terkejut dan cepat bertanya: "Adik Nyo, kenapa kau" - Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan, memohon: "Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya."
Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Nyo Ko dan memeriksa nadinya. Bu Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.
Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar ahli sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno, hanya dia saja yang dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa.
Setelah tenangkan diri, rasa sakit Nyo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan bunga cinta itu.
Dengan teliti paderi hindu itu bertanya tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan ter-heran2, katanya: "Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba, konon sudah lama lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan sini masih ada tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya."
Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan ucapan paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong ber-teriak2 memohon: "Kasihanilah Susiok! Tolonglah!"
Paderi itu menyebut nama Budha pula, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap, siapapun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata: "Nyo kisu telah mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat terisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu ternyata masih sehat2 saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan2 terjadi racun menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh."
Cu Cu-liu dan Nyo Ko adalah orang2 yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu memang masuk di akal, maka mereka sama mengangguk.
Paderi itu berkata pula: "Orang baik tentu mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.
"Jika begitu, mohon Susiok lekas menolong nya," seru Bu Sam-thong girang.
"Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat," tutur si paderi, "Yang penting selama ini hendaklah Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak, maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat"
"Akan lebih baik lagi apabila Nyo-kisu daptit memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan punah dengan sendirinya tanpa diobati."Nyo Ko pikir kalau harus memutuskan cinta kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum dia menanggapi cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat ceng-kok, sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang budi kepada Nyo Ko.
Lalu Bu Sam-thong berkata pula kepada Nyp-Ko: "Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan beres. Besok juga kami akan berangkat dan kembali selekasnya utk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona Kwe."
Nyo Ko melengak, ia pikir persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia hanya mengiakan saja. sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas berbaring untuk tidur.
Waktu mendusin, terdengar suara burung ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari Nyo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringannya ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue dan dimakan.
Belum sepotong kue itu termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe Hu.
Nyo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa "Pagi benar, nona Kwe."
Kwe Hu hanya mendengus pelahan saja dan tidak menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis menegak dan melotot gusar kepada Nyo Ko, sampai lama sekali masih tetap tidak berbicara.
Tentu saja hati Nyo Ko tidak enak, dengan tersenyum ia berkata pula: "Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu pesan padaku?"
"Tidak!" jawab Kwe Hu singkat dan ketus
Ber-ulang2 Nyo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari2 biasa tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, ia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi2 nona itu sudah mendatangi kamarnya. Maka dengan mengering tawa ia bertanya pula: "Setelah melahirkan tentunya Kwe- pekbo juga sehat2 saja?"
"Sehat atau tidak ibuku, tidak perlu kau ber-kuatir," jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.
Selain Siao-liong-li, tidak pernah Nyo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera iapun batas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.
"Kau mendengus apa?" tanya Kwe Hu gemas.
Kembali Nyo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.
"Kau dengar tidak, kutanya apa yang kau de-nguskan" bentak Kwe Hu.
Diam2 Nyo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: "Badanku tidak enak, kudengus dua kali supaya merasa segar."
"Kau bohong, lain kata lain perbuatan, se-hari2 hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu malu." damperat Kwe Hu dengan gusar.
Hati Nyo Ko tergerak karena tanpa sebab musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir jangan2 ucapanku yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini. Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya.
Dasar watak Nyo Ko memang rada dugal, segera ia berkata pula dengan tertawa: "Nona Kwe, apakah kau maksudkan apa yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?"
"Apa yang kau katakan kepada mereka, hayo lekas mengaku," bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.
"Tujuanku adalah demi kebaikan mereka agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya," ucap Nyo Ko dengan tertawa. "Apa yang kukatakan itu telah disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?"
"Dia..... dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku dan memuji kau setinggi langit," tutur itwe Hu. "Nama baik anak... anak perempuan seperti diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau nista?" - Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun ber-linang2.
Nyo Ko menjadi sangat menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga memang perkataannya itu memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar diselesaikan.
Melihat Nyo Ko diam saja, hati Kwe jadi tambah panas, katanya sambil menangisi "Menurut paman Bu, katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?"
Diam2 Nyo Ko menyesali Bu Sam-thong yang tidak genah itu, masakah kata2 itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu, Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk "Ya, memang tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat, harap kau memaklumi hal ini."
Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya pula: "Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?"
Nyo Ko melengak dan menegas: "Kukatakan apa semalam?"
"Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku ken,....kenapa kan mengiakan tanpa malu?"
Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga terdengar olehnya, demikian Nyo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa ia membantah: "Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas apa yang dikatakan paman Bu padaku."
Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras ia berteriak: "Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu silat padamu secara diam2 karena beliau penujui kau dan ingin memungut kau sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?"
Muka Nyo Ko menjadi merah diberondong pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling2 akan dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam2 oleh Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali2 jangan sampai diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:
"Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu."
"Hm jika kau takut pada ayahku, kenapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?" jengek Kwe Hu.
Cepat Nyo Ko menyatakan: "Terhadap ibumu" sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu itu tujuanku cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada2 kelewatan."
Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua saudara Bu, kini mendengar Nyo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya pula:"Baik, urusan ini akan kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku, kemana kau membawanya pergi?"
"Ya, lekas mengundang ayahmu ke sini, aku justeru hendak membicarakannya dengan beliau," seru Nyo Ko.
"Ayahku sudah keluar kota untuk mencari adikku itu," jawab Kwe Hu. "Kau ini memang..... memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar. Hm, rupanya jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak berharga sepeserpun."
Sejak tadi Nyo Ko memang merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal2 yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini betapapun dia tak dapat menerima, dengan suara lantang ia berkata: "Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu untuk menukar obat, hal ini sekali2 tidak pernah timbul dalam pikiranku.
"Habis kemana perginya adik ku?" tanya Kwe Hu.
"Dia telah dibawa lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tak berhasil merampas nya kembali," tutur Nyo Ko. "Tapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya."
"Hm Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu, betul tidak?" jengek Kwe Hu. "Tadinya kalian sembunyi di satu gua, betul tidak?"
"Benar, meski dia adalah paman guruku, tapi selamanya dia tidak akur dengan guruku," jawab Nyo Ko.
"Hm, tidak akur apa?" jengek Kwe Hu. "Tapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?"
Nyo Ko melonjak bangun dengan gusar, katanya "Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku Nyo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat begitu."
"Tiada bermaksud berbuat begitu? Hm, enak saja kau bicara," jawab Kwe Hu. "Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?"
"Guruku bilang apa lagi?" tanya Nyo Ko.
Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung Nyo Ko, katanya: "Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama2 berada di lembah sunyi sana, dia minta paman Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau sempat membawa adikku ke Coat-ceng-kok untuk.... "
Kaget dan sangsi hati Nyo Ko, cepat memotong: "Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku mengantar adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio itu, tapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu..."
"Adikku baru lahir sehari dan telah kau serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau berani mengatakan takkan membikin susah adikku," kata Kwe Hu dengan gusar, "Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau terluntang-lantung sebatangkara dan cara bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau? Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to masakah kau dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu kau balas dengan air tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku kurang sehat, kau telah menculik adikku."
Semakin mendamperat semakin beringas nona itu sehingga Nyo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membantah. Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Nyo Ko, "bliik", saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.
Selang agak lama, lambat-laun Nyo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan muka merengut dan segera mengomeli pula: "Hm, tak tersangka kau masih mempunyai rasa malu, rupanya kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu."
Nyo Ko menghela napas panjang, katanya: "Jika aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja."
Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu." kata Kwe Hu. "Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh gagal, biar kukatakan terus terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera kusembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid menjadi gagal total."
"Baik, baik, apa yang kau suka katakan boleh silakan katakan saja, akupun tidak ingin membantah." kata Nyo Ko dengan mendongkol "Dan di mana guruku ? Ke mana dia?"
Muka Kwe Hu tiba2 rada merah, katanya:" Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik2."
Dengan gusar Nyo Ko melonjak bangun pula dan berkata: "Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan kupersoalkan pada-mu. Tapi mengapa mencerca guruku?"
"Cis, memangnya kalau gurumu kenapa?" semprot Kwe Hu pula. "Soalnya dia sendiri yang bicara secara tidak senonoh."
Sudah tentu Nyo Ko tidak percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata2 yang tidak pantas segera ia balas mendengus "Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang."
Sebenarnya Kwe Hu tidak ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok2 Nyo Ko itu, tanpa pikir ia terus berkata:
"Gurumu bilang padaku: "Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatangkara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik," Lalu katanya pula: "Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan diriku, sama sekali aku tidak menyalahkan dia."
Kemudian dia memberikan pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu. Apalagi namanya kalau perkataannya ini bukan tidak senonoh."
Setiap mendengarkan suatu kalimat itu, setiap kali perasaan Nyo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Habis Kwe Hu ber-kata, pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh, bentaknya gusar.
"Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana itu Siok-li-kiam? Mana? jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta?"
Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangan mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok itu"
Tidak kepalang rasa kecewa Nyo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: "Siapa ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau mencurinya!"
Sudah sejak kecil Kwe Hu sangat dimanjakan, sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi kedua saudara Bu, mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Nyo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apalagi nada ucapan Nyo Ko itu se-akan2 menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Nyo Ko mau menjadi pasangannya dan si Nyo Ko justeru tidak sudi.BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul keinginannyaakan membikin panas hati Nyo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati. . .
Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu. Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah hampir ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin:
"Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, Cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres."
"Sesuatu apa yang tidak beres?" tanya Nyo Ko, "cuma kelakuannya tidak beres, suka bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu Coan-cin-kau," tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Nyo Ko menyanggah: "Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?"
Kalimat bergaul secara sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini" kata Kwe Hu pula dengan tertawa dingin.
Nyo Ko tambah gusar, teriaknya: "Guruku suci bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal kalau mulutmu tidak kuremas."
Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin2 saja dan berkata: "Ya, dia berani berbuat, aku yang berani mengatakan Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang Tosu busuk." .
"Apa katamu?" hardik Nyo Ko dengan muka merah padam.
"Aku mendengar dengan telingaku sendiri, masakah bisa keliru?" kata Kwe Hu pu!a, "Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya...."
"Lantas bagaimana?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena tujuannya tercapai, dengan ber-seri2 ia berkata pula: "Kedua Tosu itu masing2 bernama Tio Ci-keng dan In Ci~peng, ada tidak Tosu Coan -cin~kau yang bernama begitu?"
"Kalau ada lantas bagaimana?" bentak Nyo-Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi "Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi, Siapa duga tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri di dalam kamar."
Nyo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka bertengkar kenapa mesti diherankan?

Dalam pada itu Kwe Hu sedang menutur pula: "Karena ingin tahu, diam2 aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut. Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tidak seharusnya bergembar-gembor..."

Mendadak Nyo Ko berbangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: "Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?"

Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: "Mana aku tahu? Yang pasti masakah, perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu."

Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Nyo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar, "plok", dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Nyo Ko itu cukup keras, keruan mata Kwe Hu ber-kunang2 dan sebelah pipinya lantas bengkak, kalau saja Nyo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4K 271 16
Di tengah kehidupannya yang sulit, Yohan bertemu seorang pria misterius bernama J yang terus mengikutinya. J membuat tanda di dahi Yohan. Sebuah tan...
1.1M 9.2K 22
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
5.1K 148 7
Cerita ini karya dari beliau yang menyebunya sebagai SimpleMan Bisa langsung Follow akun beliau di: Twitter : https://twitter.com/SimpleM81378523 Ins...
1M 108K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...