Kembalinya Pendekar Pemanah R...

By JadeLiong

120K 1.7K 44

Sekuel kedua dari trilogi Pendekar Rajawali yang melegenda. Latar belakang kisah novel ini terjadi pada masa... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35 (TAMAT)

Jilid 17

3.2K 43 1
By JadeLiong

"Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang dapat dimakan?" demikian pikir Nyo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.

Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air salju, daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes air racun, habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari buntalannya Kaleng2 kecil ini ternyata berisi bumbul masak sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain2. Lebih dulu wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian daging kelabang itu dituang ke dalamnya untuk digoreng, begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka terciumlah bau sedap yang bikin orang mengilar.

Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali telan air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata2 kelihatan, mau-tak-mau Nyo Ko ter-heran2 dan merasa geli pula.
Setelah kelabang2 itu digoreng sampai berwarna kuning, kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya, selesai itu, tanpa tunggu2 lagi ia comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya, dengan pelahan ia mengunyah, matanya meram-melek, begitu nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tiada sesuatu lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.
Sekaligus bet-turut2 ia pindahkan belasan ke-labang ke perutnya, habis itu baru ia katakan pada Nyo Ko: "Hayo, makan! Sungkan2 apa lagi?"
Akan tetapi Nyo Ko menggeleng kepala, "Tidak, aku tak doyan," sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia ketawa ter-bahak2.
"Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa yang pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal kepala dan alirkan darah tidak nanti mereka mengkerut kening, tetapi kalau bicara soal makan kelabang, tiada seorangpun yang berani tiru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah ini hanya bermulut besar saja, sesungguhnya kau juga setan cilik bernyali kecil," demikian katanya.
Dikatai bernyali kecil, Nyo Ko menjadi dongkol, pikirnya : "Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah terus telan saja beberapa ekor kelabang itu, supaya tidak dipandang rendah olehnya."
Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi sebagai sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk mulutnya, rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia pikirkan tadi.
"Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata kau telan sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan cara gagah kesatria," kata pengemis tua itu.
"Masakah makan kelabang saja ada soal gagah kesatria segala?" sahut Nyo Ko tertawa dingin.
"Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa malu2 mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan kelabang rasanya tiada seberapa orang," kata Chit-kong.
Nyo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah oleh orang, ia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu sedemikian gurih, begitu wangi dan begitu enak, sungguh selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan yang begitu lezat rasanya. Karuan ia tidak mau sudah, cepat ia telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya menyamber lagi kelabang yang kedua.
"Em, hebat, sungguh hebat rasanya!" demikian berulang kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi tuman, Ang Chit-kong girang sekali, segerapun ia berebut duluan dengan Nyo Ko, hanya sekejap saja ratusan kelabang itu sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih belum Cukua, lidahnya menggigit bibir, sungguh kalau bisa ia pingin isi perutnya 100 ekor kelabang lagi.
"Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing kelabang yang Iain," kata Nyo Ko tiba2. ia betul sudah tuman oleh rasa gurihnya kelabang goreng tadi.
"Tak bisa jadi lagi," sahut Chit-kong, "bangkai jago itu sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini kelabang2 yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet ngantuk, tahu2 iapun merebahkan diri ke tanah salju.
"Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur," demikian ia kata, "setelah makan enak besarZan ini, biarlah aku tidur se-puas2nya selama tiga hari, seandainya langit bakal ambruk juga jangan kau bangunkan aku."
Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar, ternyata lantas pulas begitu saja.
"Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh," batin Nyo Ko. "Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari padanya."
Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya, seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang putih seperti kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan cair karena hawa panas itu, tetapi kenapa bisa tertimbun di atas muka dan tubuhnya, hal ini mula2 bikin Nyo Ko tak mengerti tetapi setelah ia pikir, segera iapun tahulah.
"Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah keluarkan tenaga sakti untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya, Seorang yang masih hidup segar waktu tidur ternyata bisa kaku seperti mayat, lwekang semacam ini sesungguhnya sangat hebat, mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali juga tidak selihay dia ini," demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-kong telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya sudah tak kelihatan lagi
Nyo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia mendongak, ia lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu ia tegasi, dari jauh kelihatan mendatangi lima bayangan orang dengan kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya berilmu silat amat tinggi
"Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang dikatakan Locianpwe ini tadi," pikiran Nyo Ko tergerak tiba2. Karena itu, lekas2 ia sembunyi di belakang batu padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu padas tempat sembunyi Nyo Ko, seorang diantaranya terdengar bersuara heran.
"He, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia berada di sekitar sini saja," kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik2. Habis ini, mendadak mereka terpencar pergi buat memeriksa keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang sempit, maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang tertutup salju itu. Karena kakinya tiba2 menginjak tempat Iunak, dalam kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas merubung dan menggali timbunan salju itu, maka tertampaklah Ang Chit-kong yang kaku dan seperti sudah mati. Tentu saja kelima orang itu sangat girang, mereka coba periksa pernapasan Ang Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun dingin membeku.
"Pengemis tua ini terus menguntit aku sepanjang jalan hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah mampus di sini," kata seorang diantaranya.
"Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab kenapa mati?" ujar yang lain ragu2.
"ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?" debat yang kin pula, "Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?"
Karena kata2 terakhir ini, empat orang yang lain menyatakan benar, kata mereka: "Ya, beruntung ia telah dipanggil raja akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar dilawan."
"Hayo, kita masing2 bacok tua bangka ini sekali buat lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia gagah perkasa, sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh," ajak orang yang pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Nyo Ko sudah siapkan segenggam Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima orang agak sulit, tiada jalan lain kecuali cari kesempatan menyerang dulu dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah dirobohkan, sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang sabar, ketika didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong, ia kuatir orang benar2 mencelakai pengemis tua itu, maka Am-gi belum sempat dihamburkan satupun, dengan sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Nyo Ko samber sekenanya dua tangkai kayu dan digunakan sebagai Boan-koan-pit, begitu kedua tangannya bergerak be-runtun2 ia menyerang lima kali, tiap2 serangannya mengincar Hiat-to kelima orang itu.Lirna serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui keburu ber-jaga2, kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang diantara mereka pasti ada yang dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget hingga berkeringat dingin, lekas2 mereka melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing2 ada beda antara tinggi dan rendah, tetapi cara2nya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Nyo Ko hanya satu pemuda "ingusan" yang bajunya rombeng, senjata yang dipakai hanya dua kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.
"Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis kecil dari Kay-pang?" segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak: "Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan minta ampun saja."
"Ya, baik, biar aku menjura padamu", sahut Nyo Ko tiba2.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui berkelit Nyo Ko sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat mereka. ia menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima orang ini tiada yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau main keroyok, ia sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Nyo Ko memang anak cerdik, ketika mendengar Tay-kui berteriak agar menjura padanya, segera ia sambut baik terus melangkah maju dan berlagak menjura. Tak terduga mendadak kedua tangannya terus menyabet ke samping secepat kilat dengan gerak tipu "tui-jong-bong-goat" (mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan sisi kanan Sam-kui.
Tipu serangan "Tui-jong-bong-goat" ini dilontarkan secara tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi kepandaiannya ia sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu punggung goloknya kena disabet tangkai kayu Nyo Ko, ia merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tak kuat digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang kakinya, terdengar suara "keletak", meski tulang kaki tak sampai patah, namun saking sakitnya Go-kui telah berjingkrak memegangi kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata mereka menyamber menghujam Nyo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat lompat kian kemari untuk berkelit hingga seketika empat "Kui" itu tak mampu berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan pertempuran lagi. ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli seorang anak kemarin, tentu saja gusarnya bukan buatan.
Nyo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-keng, Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia niat lari, sebenarnya tidak sukar baginya, tetapi ia kuatir Ang Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu dicelakai Ngo-kui, oleh karena itu ia tak berani menyingkir jauh hingga sebab itu pula ia tak bisa bertempur secara Ieluasa, akhirnya ia sendiri berulang kali harus menghadapi serangan bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada jalan lain kecuali melarikan diri, maka pada suatu kesempatan se-konyong2 ia samber tubuh Ang Chit-kong, ia putar tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus ia berlari sampai beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap saja yang tiga orang berada di depan dan yang dua ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu sedingin es, mau-tak-mau Nyo Ko menjadi kuatir, ia pikir betapapun nyenyak tidurnya seharusnya akan terbangun juga, aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau menolong? Jangan2 pengemis tua ini memang benar2 telah mati?
"Locianpwe, Locianpwe!" ia coba teriaki Ang Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikitpun seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Nyo Ko, di belakang Tay-kui sudah menyusul datang, karena takut pada kepandaian Nyo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tak berani terlalu dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua saudaranya yang lain, sebaliknya Nyo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh tombak.
Melihat jalan yang diambil Nyo Ko yalah panjat terus ke puncak gunung, puncak itu melulu ada satu jalan kecil, maka Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit?
Sebab itulah merekapun tak perlu buru2 mengejar mereka menyusul dari belakang dengan pelahan saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam, sampai suatu tempat tikungan, tiba2 Nyo Ko melihat di kedua samping adalah jurang yang beribu tombak dalamnya, di tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang hanya cukup dilalui seorang saja.
"Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini juga aku tahan mereka selama tiga hari," demikian pikir Nyo Ko. "Tetapi kalau hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku... aku..."
Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya Ang Chit-kong masih belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu batu padas di ujung jembatan sana, lalu dengan cepat ia putar balik, sementara itu Tay-kui sudah menyusul sampai di ujung jembatan.
"Siluman jelek, berani kau maju?" bentak Nyo Ko tiba2 sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Nyo Ko hingga ke-dua2nya tergelincir masuk jurang, lekas2 Tay-kui mundur ke belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang kuning ke-emas2an, salju sudah berhenti turun, lapisan salju yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan sinar matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba2 Nyo Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
"Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?" bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang jahat, Kini mendadak melihat Nyo Ko berubah wajah yang lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan, mirip seperti mayat hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika Ngo-kui saling pandang dengan kaget.
Pelahan Nyo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu, dengan gaya "Kim-ke-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan sengaja menendang pelahan ke atas sambil ber-gerak.2 diantara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya alangkah gembiranya pemuda ini.
"Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul seorang kesatria muda ini?" demikian diam2 Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan alam itu, kemudian mereka lantas berunding. Keputusan diambil: mereka akan berjaga secara bergilir untuk mencari bahan makanan ke bawah gunung, dengan demikian tidak sampai dua hari "mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan karena kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari bahan makanan ke bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai setengah harian, Nyo Ko tak berani menyeberang ke sana, sebaliknya Su-kui juga tak berani menyeberang kesini."
Sampai lewat lohor, Nyo Ko duduk bersemadi untuk kumpulkan tenaga. Sampai besok paginya, Ji-kui datang kembali dengan membawa makanan, kelima saudara itu sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming2 Nyo Ko.
Memangnya Nyo Ko sudah kelaparan, tentu saja ia mengiler, menyaksikan orang makan begitu enak. Waktu ia Berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini masih tetap serupa saja seperti hari pertama, pikirnya: "Jika betul2 tidur, adalah lazim kalau suatu ketikapun akan membalik tubuh, tetapi ia justru tidak bergerak sedikitpun jangan2 memang benar2 telah mati? Kalau aku bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak bertenaga, tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima musuh itu. Tidaklah lebih baik terjang pergi sekarang saja mungkin masih bisa menyelamatkan diri."
Pelahan2 Nyo Ko berdiri, tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja."Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih merebah saja seperti hari pertama, makin melihat Nyo Ko menjadi semakin sangsi.
"Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak mau pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai kelaparan setengah hari lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku sendiri akan mati kelaparan," demikian Nyo Ko membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu terpikir lagi olehnya: "Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap ayah-bunda akupun tak berbakti, pula aku tak punya sanak saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku, kini soal "kepercayaan" ini betapapun juga jadinya aku harus menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku Nyo Ko selama hidup ini selalu dipandang hina saja oleh orang, kalau aku tak bisa tepati janji ini, lebih2 aku akan dibuat buah tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati, janji tiga hari ini harus kulaksanakan."
Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya lapar menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi, pagi hari keempat, segera Nyo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia raba badan pengemis tua itu dan terasa tetap dingin seperti es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.
"Locianpwe," demikian ia memberi hormat kepada badan Ang Chit-kong, "janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia, Tecu kuatir tak sanggup menjaga keutuhan jenazahmu, maka terpaksa melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak dibuat hinaan orang2 jahat itu."
Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang Chit-kong dan berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak dilemparkannya ke jurang.
Pada saat itu juga, melihat Nyo Ko tiba2 hendak tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri. Dengan cepat mereka saling memberi tanda, segera mereka merubung maju memapaki Nyo Ko.
Tatkala itu Nyo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan, sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang di tengah jembatan
Dengan sekali gertak mendadak Nyo Ko melemparkan Ang Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur, tahu2 ada seorang telah melayang lewat melalui kepalanya terus tancapkan kaki di tengah2 antara Nyo Ko dan Ngo-kui.
"Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak dan puas sekali!" kata orang itu sambil bergelak ketawa, Nyata ia bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Nyo Ko girang tidak kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan
Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah, mendadak ia mendusin dan dengan tepat lengannya yang panjang keburu menahan di atas jembatan, berbareng itu orangnya pun melompat lewat di atas kepala Nyo Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak tangan kiri ke depan, menyusul tangan kanan didorong maju, ini adalah satu diantara tipu serangan "Hang-liong-sip-pat-ciang" atau delapan-belas tipu pukulan penakluk naga, yang menjadi kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut "kang-liong-yu-hwe".
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang Chit-kong, hendak menghindarkan diri juga tak ke buru lagi meski insaf serangan pengemis tua ini tak sanggup disambutnya secara keras, namun tiada jalan lain kecuali berbuat sehisanya, terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan untuk tangkis pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua lengannya kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas2 Ji-kui ulur tangannya mendorong punggung sang toako. namun demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga telapak tangannya, tiba2 Ji-kui kena didorong mendoyong ke belakang dan hampiri terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa pula maju mendukung kedua saudaranya, Dan karena menempel tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular pada Sam-kui dan paling akhir Sam-kui menularkan juga pada Go-kui
Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap itu saja, bila Ang Chit-kong tambahi tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan raksasa si pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Nyo Ko menjadi tercengang sambit ternganga kagum.
"Kalian berlima setan jahat ini selamanya melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di bawah tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun tidak penasaran," kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah2, mereka pasang kuda2 dengan kuat, dengan mata mendelik mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong yang tunggal itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba2 dari jauh sana berkumandang suara "tok-tok-tok" yang keras, dari tikungan jalan sana tahu2 muncul seorang aneh yang berjalan dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan Auwyang Hong.
"Ayah!" seru Nyo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar saja, mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka- terasalah tiba2 satu kekuatan yang maha besar telah disalurkan melalui tubuh kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang Chit-kong menjadi kaget, apalagi Nyo Ko memanggil padanya "ayah", diam2 pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini adalah anak Auwyang Hong, pantas memiliki ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat, tenaga pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambahi tenaga dan balas menghantam.
Sejak "Hoa-san-lun-kiam" kedua rampung, selama belasan tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras, tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari Kwe Cing serta Ui Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan dasar ilmu silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi sudah tak kalah dengan Se-tok Auwyang Hong, Si racun tua dari barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sudah sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah itu masing2 pun bertambah lebih hebat lagi kepandaiannya sendiri2, kini untuk ketiga kalinya mereka bersua di Hoa-san, sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing diantara aduan kekuatan dua "raksasa" ini, tubuh mereka sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas merekapun sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih hebat melebihi siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya, secara keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong yang memancal di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat memancalnya, namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun
Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang sambil ketawa ter-bahak2.
Dan karena "lepas tangan" kedua "raksasa" ini, daya tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang hingga tubuh kelima orang itu ter-huyung2 kehilangan imbangan bagai orang mabuk saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, isi perut mereka sudah menderita luka parah semua, otot tulang mereka pun lemas dan menjadi orang cacat, sekalipun menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan lagi."Bangsat, hitung2 ajalmu belum sampai, baiknya selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas enyah dari sini!" demikian Ang Chit-kong membentak
Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui bertindak pergi pelahan dengan saling dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia lirik Ang Chit-kong dan lapat2 seperti pernah kenal, maka segera ia menegurnya: "Hai, bagus amat ilmu silatmu, siapakah nama-mu?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya yang miring.
"Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?" demikian sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama "Auwyang Hong" itu seperti sudah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri bernama apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
"Entah, aku lupa," demikian sahutnya kemudian "Eh, ya, siapakah namaku ya?"
"Hahahaha!", Ang Chit-kong tertawa geli. "Namamu sendiri kenapa tak tahu? lekas kau pulang saja buat meng-ingat2nya".
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
"Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku," bentaknya.
"Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo katak busuk," sahut Ang Chit-kong.
"Ha-mo, Ha-mo", nama ini memang sangat dikenal Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri, tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang sangat diunggulkan yalah "Ha-mo-kang" atau ilmu weduk katak, bila digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja goda dan olok2 padanya.
Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh kebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci masing2 sudah tertahan dalam di hati mereka, meski dalam keadaan linglung, namun dengan sendirinya Auwyang Hong menjadi gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri menjublek, habis itu matanya tiba2 menyorotkan sinar bengis, diam2 Ang Chit-kong telah ber-jaga2.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak terdengar Auwyang Hong menggeram sekali dengan kalapnya ia menubruk maju. Ang Chit-kong tak berani ayal, sekali tangannya bergerak, segera "Hang-liong-sip-pat-ciang" dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di puncak tertinggi dari Hoa-san itu, di kedua sisi mereka adalah jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak, asal sedikit ada yang berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur lebur tergelincir ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak, segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling hebat untuk mengadu jiwa, kalau dibanding dengan pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan secara halusan, terang sekali ini sudah lain keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya, meski ilmu silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi soal tenaga justru berkurang daripada tadinya. Oleh sebab itu, pertarungan sekali ini terutama tidak ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga masing2, tetapi semuanya ingin menang dengan tipu2 pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Nyo Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap2 ilmu pukulan kedua jago tua itu hingga tidak sedikit intisari yang dia petik, apa lagi dasarnya Nyo Ko memang pintar, pula sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima dimana letak inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Nyo Ko rada kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang mengingat tempat pertempuran yang berbahaya itu, tetapi sesudah saling gebrak, kadang2 ia malah melihat Ang Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa terasa ia mengharap agar pengemis tua itu diberkahi selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah angkatnya, perasaan kekeluargaan mereka sudah begitu rapat dan melekat, tetapi tindak tanduk Ang Chit-kong juga membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini mau-tak-mau membikin Nyo Ko menjadi kagum dan menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago tua itu bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama2 menghadapi serangan lihay, namun selalu mereka sanggup menyelamatkan diri dengan baik, maka Nyo Ko akhirnya tak perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik2 tipu silat yang diunjuk mereka.
Sudah lama Nyo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok sekali dengan intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh bukan buatan rasa girang Nyo Ko, pikirnya: "Satu istilah saja dalam kitab yang disangka cuma biasa saja, siapa tahu mempunyai perubahan2 yang begini luas dan banyak,"
Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu berlangsung, meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan, namun, karena usia yang sudah lanjut, mau-tak-mau napas mereka mulai memburu dan jantung memukul cepat, gerak-gerik merekapun mulai kendur.
"Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi, tentunya perut sudah lapar, marilah kita makan yang keyang dulu, nanti bertanding lagi!" demikian Nyo Ko coba teriaki mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik, lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata2 "makan", segera ia melompat mundur sambil berseru: "Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!"
Tadi Nyo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ, maka dengan cepat bakul itu disambernya ke hadapan Ang Chit-kong, waktu ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata isinya banyak sekali, ajam-daging komplit dengan nasi dan arak segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak pernah sungkan2, tanpa permisi lagi ia samber seekor ayam beku, baik daging berikut tulangnya terus dilalap semua hingga bersuara keletak-keletuk.
"Ayah, selama ini berada di manakah kau?" dengan suara lembut Nyo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging beku pada Auwyang Hong.
"Aku mencari kau," sahut Auwyang Hong dengan mata mendelong.
Nyo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia pikir di dunia ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku dengan sesungguh hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Nyo Ko berkata lagi: "Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang baik, janganlah kau berkelahi lagi dengan dia."
"Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong adalah manusia jahat," kata Auwyang Hong sambil tuding Ang Chit-kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih sekali hati Nyo Ko.
"Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia busuk dan janat, Auwyang Hong pantas mampas!" Ang Ching-kong ter-bahak2 geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia pandang Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Nyo Ko, matanya menyorotkan sinar yang guram dan hampa, pikirannya pun menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat2 sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
"Ang-locianpwe," kata Nyo Ko sesudah melayani Auwyang Hong memakan sedikit, "dia adalah ayah angkatku, harap engkau kasihan dia sedang menderita sakit ingatan, sukalah jangan bikin susah lagi padanya."
Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi mendengar permohonan Nyo Ko, berulang kali ia mengangguk "Anak baik, anak baik," demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak melompat bangun lagi.
"Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi." demikian ia ber-teriak2 atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong, "Daiam hal pukulan kita sama kuat, kini kita boleh coba2 senjata."
"Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang menang", sahut Ang Chit-kong sambil geleng2 kepala.
"Menang apa segala? Aku justru ingin bunuh kau," teriak Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan sebagai pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya, pernah Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu permainan tongkatnya itu lihay luar biasa, kini meski tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun hantamannya sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba pentungnya atau Nyo Ko sudah merasakan samberan angin yang menekan dada.Lekas2 Nyo Ko melompat minggir, waktu ia pandang Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah samber juga sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua jago tua itupun saling labrak lagi dengan serunya.
"Pak-kau-pang-hoat", ilmu permainan pentung pemukul anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah ilmu silat yang tiada bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak sembarangan mau dia keluarkan selain ini iapun punya ilmu permainan pentung lain yang bagus dan lihay, kini satu persatu ia keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka pertarungan sekali ini menjadi berbeda lagi dengan gebrakan dengan tangan dan kaki tadi, begitu hebat samber-menyambernya tongkat dan pentung hingga Nyo Ko yang menonton di samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib, tetapi masih tiada yang lebih unggul atau asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya, seluruh gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, kedua jago tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng, mungkin akan menjadikan penyesalan selama hidup, maka dengan suara keras Nyo Ko ber-teriak2 minta mereka berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti begitu saja?
Kemudian Nyo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran Ang Chit-kong satu2nya: "makan", ia pikir kalau pancing pengemis tua ini dengan makanan enak tentu orang akan mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa diadakan "gencatan senjata".
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas belukar pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong ubi dan singkong, segera ia nyalakan api dan dibakar hingga menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong berteriak: "Ha-mo, busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau, makan dulu paling perlu !"
Habis itu, iapun mendekati Nyo Ko terus samber saja dua potong ubi bakar itu terus digeragoti meski mulutnya sakit kebakar oleh panasnya ubi itu, sambil tiada hentinya ia puji Nyo Ko yang pintar cari barang santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu saja, ia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit sebaliknya ia samber sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah Auwyang Hong sambil berseru : "Nih, makanlah !"
Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum tongkatnya diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun tangkap singkong yang dilemparkan padanya itu terus dimakan, seketika iapun lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam suatu gua, Nyo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada kejadian2 masa dahulu, maka beberapa kali ia sengaja memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu hanya ter-menung2 saja tanpa menjawab Kadang2 orang tua ini ketok2 batok kepalanya sendiri dengan kepalan, tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun percuma saja karena otaknya se-akan2 sudah pantul ia menjadi sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila, lekas2 Nyo Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia sendiri hanya guIang-guling tak bisa pulas, ia sedang pikirkan ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya siang tadi, makin mengingatnya makin bersemangat, sampai akhirnya diam2 ia bangun sendiri dan menjalankan gerak-gerik pukulan itu menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan kebagusan ilmu silat yang tiada taranya itu, sampai tengah malam, sesudah sangat lebih, barulah Nyo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi2 sekali, waktu Nyo Ko masih layap2 dalam tidurnya, tiba2 didengarnya diluat gua ada suara samberan angin yang men-deru2 di selingi dengan suara bentakan dan lompatan, Lekas Nyo Ko meloncat bangun, di depan gua terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang Hong kembali sedang saling labrak dengan ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Nyo Ko menghela napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk menunggu di samping, diam2 iapun ingat baik2 gerak tipu permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa setiap gerakan Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas, sebaliknya ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga, seringkali kalau Ang Chit-kong berada di atas angin, tahu2 Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan cepat, lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang ber-larut2 ini, siang berkelahi dan malam tidur, terus-menerus berlangsung selama enam hari, begitu payah keadaan dua orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis, namun toh masih tiada satupun yang mau mengalah barang sekali serangan saja.
"Jika pertarungan secara demikian berlangsung lagi, dua harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka," demikian Nyo Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong tidur, diam2 ia berkata pada Ang Chit-kong : "Marilah Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit."
Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia ikut Nyo Ko keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya sambil menjura tiada hen-tinya, tetapi sepatah katapun tak dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan pada Auwyang Hong yang menderita sakit ingatan itu dan suka mengaku kalah saja padanya.
"Baiklah, aku turut permintaanmu," demikian katanya kemudian sambil ketawa ter-bahak2.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun bertindak pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia ber-tindak, se-konyong2 dari belakang ada angin me-nyamber, ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar dari gua terus menyabet dengan tongkatnya.
"Bangsat tua, kau mau lari ya?" bentak Auwyang Hong dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang ber-ulang2, ia bermaksud cari jalan buat pergi, siapa tahu selalu dicegat dan kena dikurung oleh tongkat Auwyang Hong hingga tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi sebenarnya sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini karena Chit-kong bermaksud mengalah, keruan saja ia menjadi kececar, beberapa kali ia malah hampir dicelakai oleh tongkat lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong menyodok cepat dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu di belakang serangan ini masih disusul serangan yang lebih lihay dan se-kali2 tak boleh dihindari begitu saja, maka terpaksa ia angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba2 terasa olehnya pada tongkat Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha kuat dan lihay, sungguh tidak kepalang kejut Ang Chit-kong. "He, kau hendak adu lwekang dengan aku?" demikian sekilas pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan demikian, kecuali melawannya juga dengan tenaga dalam, memang tiada jalan lain Iagi. Segera iapun kumpulkan Lwekangnya buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong itu.

Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan Auwyang Hong ini, kalau hanya terluka oleh sekali pukulan atau pentungan juga belum pasti membahayakan jiwa mereka, tetapi kini dengan adu tenaga dalam, keadaan telah meningkat sampai detik yang tidak bisa saling mengalah Iagi, hanya ada pilihan untuk mereka: "hidup atau mati", lain tidak.

Pemah juga dahulu mereka saling bertanding, tetapi karena sama2 jeri terhadap kelihayan pihak lain, kalau tidak yakin bakal menang, tiada yang berani sembarangan melakukan tindakan berbahaya ini. Siapa tahu dalam keadaan sinting, karena sudah beberapa hari bertanding masih belum bisa menang, mendadak Auwyang Hong menyerang dengan Lwekang asli.

Belasan tahun yang lalu, benci Ang Chit-kong terhadap Se-tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap sampai ke tulang, tetapi kini usianya sudah lanjut, tabiat kerasnya sudah berkurang, pula melihat musuh kawakan itu tak waras otaknya, sedang Nyo Ko berulang kali mohon kasihan baginya, sesungguhnya tiada maksud lagi pada Ang Chit-kong untuk membunuhnya.

Oleh sebab itu, ia hanya pusatkan tenaga dalamnya di perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang, ia tunggu biar Auwyang Hong sendiri yang kepayahan kehabisan tenaga dalam.
Tak terduga, bukan tenaga Auwyang Horg berkurang, sebaliknya seperti ombak samudera saja yang menggelombang tiada henti2nya, satu gelombang didorong dengan gelombang yang lain, makin lama pun makin keras.
Mendadak Ang Chit-kong teringat pada sesuatu, tak tertahan lagi ia terkejut sekali. Kiranya teringat olehnya pertarungan siang tadi waktu adu tenaga dengan Auwyang Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat mengukur, tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal tiga kali dengan kakinya dan tenaga yang dikeluarkan itupun yang satu lebih besar dari yang lain, kini tampaknya sama seperti tadi itu, belum reda tenaga serangan pertama, gelombang serangan kedua sudah menyusul tiba dan begitu seterusnya, tenaga serangan kedua masih kuat, segera tenaga gelombang ketiga datang lagi.
Teringat akan itu, Ang Chit-kong tak berani ayal, segera iapun pusatkan tenaga dalamnya melakukan serangan balasan, dan karena keras lawan keras ini, tubuh kedua orang sama2 terguncang.
Melihat air muka kedua orang tua itu sangat tegang, terang mereka sedang adu tenaga dalam yang maha hebat secara mati-matian, diam2 Nyo Ko sangat kuatir, Kalau dia mau bela Auwyang Hong sebagai ayah angkatnya, asal dia serang Ang Chit-kong dari belakang dengan jarinya saja, pasti jago tua itu akan luka parah. Tetapi dilihatnya Ang Chit-kong berjiwa jantan sejati, ia menjadi ragu2 dan tak tega turun tangan.
Lewat tak lama, mendadak Auwyang Hong menggertak sekali, berbareng itu ia terus menjungkir tegak dengan kepala dibawah, malahan sepatu dan kaos kaki ia buang juga, dengan sepasang kaki yang telanjang inilah ia meng-gejol2 dan meng-ayun2 cepat di udara hingga menerbitkan angin.
Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja, tanpa bergerak sedikitpun bagai patung.
Sesudah saling ngotot lagi tak lama, akhirnya telapak kaki Auwyang Hong sampai menguap seperti digodok, nyata ia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya melakukan serangan total. Begitu juga Ang Chit-kong, iapun melawan dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya.
Dalam keadaan demikian ia tak bisa lagi memikirkan bakal mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia harap asal dirinya sendiri tak terluka, sudah sangat beruntung baginya.
Cara begitulah mereka bertanding dari fajar menyingsing sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong merasakan tenaga dalamnya mulai "kering", sebaliknya daya tekanan lawan masih terus menerus membanjir seperti gelombang ombak yang tiada habis2nya.
"Celaka, Si Racun tua ini semakin gila ternyata semakin lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua) bisa melayang di sini," diam2 Chit-kong mengeluh.
Nyata ia sudah menduga pertarungan ini bakal kalah, sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri, terpaksa ia bertahan sekuatnya, Tak ia sangka, keadaan Auwyang Hong pun sudah bagai pelita yang kehabisan minyak, tinggal sirapnya saja. Kedua orang menjadi sama2 mengeluh dan sukar dipisahkan lagi kecuali diakhiri dengan "mati atau hidup"
Setelah dua jam lagi, hari sudah mulai sore, seluruh tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah dikeluarkan semua tanpa ketinggalan "setetes" pun. Begitu juga Auwyang Hong sudah napas lemah dan tenaga habis.
Nampak wajah kedua jago tua itu berubah hebat, Nyo Ko menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti akan gugur bersama, tetapi kalau maju buat memisahkan mereka, rasanya ilmu silat sendiri masih terlalu jauh selisihnya, kalau sampai di-bentur kembali oleh tenaga dalam mereka, mungkin ia sendiri bisa terluka parah kalau tidak mampus.
Karena itulah ia menjadi ragu2. Tetapi bila menyaksikan air muka Auwyang Hong yang tampak sangat menderita, napas Ang Chit-kong juga memburu senin-kemis, betapapun Nyo Ko tak tega, ia ambil keputusan: "Sekalipun harus mati, biarlah kutolong mereka"
Segera ia samber sebatang kayu, ia mendekati tengah kedua orang tua itu dan duduk bersila, ia turuti inti pelajaran Lwekang yang pernah diperolehnya dari Siao-liong-li dan kumpulkan tenaga buat melindungi seluruh tubuhnya sendiri. habis itu, sambil kuatkan hatinya mendadak ia ulur kayu tadi terus mencungkit ke tengah2 kedua pentung orang.
Sungguh tak pernah diduga bahwa mencungkitnya ini sedikitpun ternyata tak makan tenaga, ketika tenaga dalam kedua jago tua itu kontak melalui batang kayunya dan kena ditangkis Lwekang yang sudah dia kumpulkan, segera dapat dipatahkan dengan gampang saja.
Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua orang tua itu sudah lapuk dan tiada artinya lagi. Meski ilmu silat Se-tok dan Pak-kay (Si Racun dari Barat dan Si pengemis dari Utara) setinggi langit, namun setelah dikuras selama beberapa hari dalam pertandingan mati-matian ini, sisa tenaga mereka hanya buat serang seorang biasa saja sukar melukainya, apalagi melawan si Nyo Ko?
Maka tertampaklah kedua orang tua itu men-doprok ke tanah dengan lemas, muka mereka pucat seperti mayat dan tak bisa berkutik lagi.
"Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik2kah kalian?" teriak Nyo Ko kuatir.
Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu merasa sulit, apalagi menjawabnya?
Nyo Ko hendak angkat mereka ke dalam gua, namun Ang Chit-kong telah goyang kepalanya pelahan.
Nyo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu berat, maka tak berani lagi geser mereka, malam itu iapun tidur di tengah2 kedua orang, ia kuatir tengah malam jangan2 keduanya bangun saling labrak lagi. Padahal hendak sembuhkan luka dengan menjalankan lwekang saja susah, mana mungkin mereka sanggup bertempur pula?
Besok paginya, setelah Nyo Ko mendusin, ia lihat napas kedua orang tua itu terempas-empis, keadaan mereka lebih buruk dari pada kemarinnya, keruan saja pemuda ini sangat kuatir, lekas2 ia panggang beberapa singkong lagi dan layani mereka makan.
Setelah dilolohi makanan sedikit, sampai hari ketiga, semangat kedua jago tua itu baru mulai rada baik, ber-turut2 Nyo Ko pindahkan mereka ke dalam gua, ia taruh yang satu di sebelah timur dan yang lain sebelah barat, ia sendiri tidur di tengah2 sebagai "garis pemisah".
Cara begitulah mereka beristirahat beberapa hari Karena Ang Chit-kpng memang doyan makan, maka pulihnya pun lebih cepat sebaliknya se-hari2 Auwyang Hong hanya bungkam saja dengan muka muram, Nyo Ko ajak bicara padanya, iapun tak menjawab.
Hari itu, ketika kedua orang itu rebah berhadapan tiba2 Ang Ching-kong berteriak pada Auwyang Hong: "Hai, Ha-mo busuk, kau menyerah padaku belum?"
"Menyerah apa?" sahut Auwyang Hong. "Masih banyak ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan, kalau sempat kumainkan semua, pasti aku akan hajar kau hingga kau minta ampun."
"Haha, sungguh kebetulan, akupun masih banyak ilmu silat yang belum dikeluarkan," kata Ang Chit-kong dengan ketawa lebar. "Pernah tidak kau mendengar Pak-kau-pang-hoat?"
Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, pikirnya: "Ya, menurut Cerita, pangcu dari Kay-pang memiliki sejurus Pak-kau-pang-hoat, kalau dimainkan bukan maki lihaynya. Tetapi dalam pertarungan sengit dengan aku tadi, selamanya belum dikeluarkannya, agaknya dia cuma omong kosong saja, atau kalau tidak, hakekatnya ia tak bisa memainkan ilmu tongkat itu."
Karena pikiran itu, segera ia menjengek: "Hm, Pak-kau-pang-hoat apa gunanya?"
Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal juga kenapa tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya yang sakti itu pada waktu bertarung sengit kemarinnya, kalau sampai Pak-kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti Se-tok sudah dia robohkan, cuma sayang karena terlalu percaya pada kemampuan sendiri, bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang itu juga bisa menang atas lawannya, siapa tahu akibatnya berakhir dengan ke-ke-dua2-nja sama2 luka parah, Kini hendak dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang orang telah menjengek padanya, tentu saja ia penasaran.
Tiba2 tergerak kecerdasannya, ia menggapai Nyo Ko ke dekatnya, lalu dengan bisik2 ia tanya pemuda ini: "Aku adalah penjabat ketua Kay-pang yang lalu, apa kau tahu?"
Nyo Ko memanggut tanda tahu. Memang dari imam2 Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu ia pernah mendengar bahwa pejabat Pangcu dari Kay-pang yang dulu Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan, ilmu silatnya tiada taranya, jiwanya jujur berani, adalah seorang gagah kesatria pada jaman itu.
"Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan kuajarkan padamu," demikian kata Ang Chit-kong pula, "Cuma ilmu silat ini selamanya hanya diturunkan pada Pangcu perkumpulan pengemis dan tidak diajarkan pada orang luar, Tapi lantaran ayah angkatmu itu berani pandang rendah padaku, aku justru ingin kau unjukkan ilmu silat ajarannya ini padanya."
"Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh diturunkan orang luar, biar Tecu tak pelajari saja," sahut Nyo Ko. "Pikiran ayah angkatku belum jernih, haraplah Locianpwe jangan sepandangan dengan dia."
"Tidak, meskipun kau sudah pelajari gerak-gerik tipu silat ini, tetapi kalau belum paham rahasia menggunakan tenaganya, di saat menghadapi musuh akan tiada gunanya juga," kata Ang Chit-kong lagi sambil goyang kepala, "Kini akupun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat pukul ayah angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan geraki kaki menurut gaya yang kukatakan, tentu ia akan paham. Oleh sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan kepandaian ini padamu."Namun Nyo Ko masih ragu, pikirnya : "Kalau ilmu silat ini adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah angkatku sanggup menangkisnya, lalu mengapa aku bantu kau buat mengalahkan ayah angkat sendiri?"
Oleh sebab itu, ia tetap menolak dengan alasan tak ingin pelajari ilmu pusaka Kay-pang yang dibanggakan itu.
Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang dipikirkan Nyo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak: "Hai, katak busuk, anak angkatmu tahu kalau kau tak bisa lawan aku punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak berani pertunjukkan cara2nya padamu."
Auwyang Hong menjadi gusar oleh pancingan ini.
"Jangan kuatir, Nak, akupun masih banyak ilmu sakti yang belum dipergunakan lekas kau tunjukkan menurut ajarannya padaku, kenapa harus takut ?" demikian teriaknya.
Karena didesak sini dan dipaksa sana, Nyo Ko menjadi serba salah, terpaksa ia mendekati Ang Chit-kong untuk menantikan pelajaran apa yang hendak diturunkan padanya.
Ang Chit-kong suruh Nyo Ko jemput sebatang kayu, lalu ia jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari Pak-kau-pang-hoat yang disebut "pang-tah-siang-kau" atau sekali pentung dua anjing.
Dasar Nyo Ko memang cerdas, sekali belajar lantas bisa, segera pula ia pertunjukkan gerak tipu itu menurut cara2 yang diajarkan Ang Chit-kong itu.
Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI anjing ini sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika Auwyang Hong menjadi susah mendapatkan jalan untuk mematahkannya, setelah ia pikir sejenak, kemudian baru dia katakan suatu gerak tipu juga pada Nyo Ko.
Nyo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa yang dikatakan Auwyang Hong itu.
"Bagus," dengan tersenyum Ang Chit-kong memuji, "dan sekarang satu tipu lagi."
Lalu iapun ajarkan sebuah tipu pula pada Nyo-Ko dari Pak-kau-pang-hoat.
Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu bertanding secara tak langsung, hanya menggunakan mulut saja dengan Nyo Ko sebagai "penyambung lidah", Karena sama lihaynya, sampai hari sudah petang baru belasan jurus saja berlangsung, walaupun begitu, bagi Nyo Ko sudah terlalu payah hingga keringat gemerobyos. Maka untuk sementara pertandingan ditunda.
Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi. Tidak sampai lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing sudah selesai dikeluarkan Ang Chit-kong, tetapi meski ilmu pentung itu hanya 36 jurus saja, namun perubahan2 ikutan tiap2 tipu gerakannya ternyata hebat dan tiada habis2nya. Sampai akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang Hong buat menangkis gerak serangan itu semakin panjang, jika pertandingan dilangsungkan sungguh2 dan tipu serangan datangnya susul-menyusul secara cepat, mana ia bisa menggunakan otaknya secara begitu bebas ?
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa meski lama berpikir, namun setiap kali tipu2 tangkisannya juga selalu luar biasa bagusnya, baik untuk menjaga diri maupun buat balas menyerang, hal inipun bikin Ang Chit-kong sangat kagum.
Secara begitulah pertandingan lain dari yang lain itu terus berlangsung selama tiga hari, sampai petang hari keempat, Ang Chit-kong sudah katakan pada Nyo Ko tipu perubahan terakhir dari 36 jurus ilmu pentung pemukul anjing yang disebut "boat-jau-keng-coa" atau menyontek rumput kejutkan ular, ini adalah tipu ikutan terakhir dari Pat-kau-pang-hoat yang paling lihay, menurut teori ilmu silat sudah pasti tiada jalan buat mematah-kannya, dengan sendirinya Auwyang Hong pun sukar hendak menangkisnya.
Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas, semalam suntuk ia peras otak memikirkan cara menangkis tipu terakhir Ang Chit-kong yang lihay itu.
Besok paginya, belum Nyo Ko mendusin atau tiba2 terdengar Auwyang Hong telah ber-teriak2: "Ha, bisa, bisa, begini caranya ! Nak, kau boleh gunakan tipu ini untuk patahkan serangannya!"
Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi juga ter-sengal2.
Mendengar suaranya rada aneh, waktu Nyo Ko pandang muka orang, sungguh kejutnya bukan buatan.
Kiranya usianya Auwyang Hong sudah lanjut, tetapi karena Lwekangnya terlatih dalam sekali, maka rambut dan kumisnya hanya sedikit putih kelabu saja, siapa tahu karena terlalu memeras otak semalam saja, tahu2 seluruh alis, kumis dan rambutnya kini menjadi putih semua, seketika orangnya seperti bertambah tua berpuluh tahun.
Berduka sekali hati Nyo Ko melihat keadaan orang tua itu, ia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar jangan meneruskan pertandingan, sebaliknya terus-menerus Auwyang Hong telah mendesak lagi, mau-tak-mau terpaksa ia pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam semalam oleh Auwyang Hong ini.
Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang Chit-kong menjadi pucat bagai mayat, memangnya ia sudah menggeletak di tanah dan sukar berkutik, kini entah mengapa dan darimana datangnya tenaga, se-konyong2 ia melompat bangun terus menubruk ke arah Auwyang Hong sambil berteriak: "Haha, Si Racun tua, Auwyang Hong, Lokiauhoa hari ini betul2 takluk padamu!"
Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong merangkul erat2 tubuh Auwyang Hong.
Terkejut sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, ia sangka orang bermaksud mencelakai ayah angkat-nya, lekas ia tarik2 punggung pengemis tua itu, siapa tahu rangkulannya malah semakin kencang hingga tak dapat ditarik lepas sedikitpun.
"Hahaha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak nyana kau bisa mendapatkan tipu serangan lihay yang baru ini, hari ini Lokiauhoa betul2 menyerah. Bagus, Auwyang Hong, bagus!" demikianlah Ang Chit-kong masih terus ber-teriak2 sambil terbahak-bahak.
Memangnya umur Auwyang Hong sudah tua, ditambah lagi pertarungan sengit selama beberapa hari dan semalam suntuk memeras otak, hal ini sudah bikin semangatnya lemah dan tenaga habis, kini mendadak dengar Ang Chit-kong berseru namanya "Auwyang Hong" sampai beberapa kali, mendadak seperti sinar refleksi yang membalik, otaknya yang miring seketika waras kembali, kejadian selama berpuluh tahun tiba2 seperti sebuah cermin yang menerangi alam pikirannya dan se-akan2 terpentas di depan matanya.
"Haha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku Auwyang Hong! Hahahaaaa!" demikian kemudian iapun ketawa ter-bahak2, suaranya lantang bagai bunyi genta dan sangat menusuk telinga.
Tertampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-merangkul sambil ketawa ter-bahak2 tiada hentinya.
Selang tak lama, suara tertawa mereka makin lama makin rendah dan makin lemah, sampai akhirnya mendadak pun berhenti, lalu tak bergerak lagi kedua orang tua itu.
Luar biasa kejut Nyo Ko melihat keadaan itu.
"Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!" demikian ia berteriak2, tetapi tiada seorangpun yang menyahut.
Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak tubuh orang tua ini dengan gampang saja dapat ditariknya terus ambruk, nyata orangnya sudah tak bernyawa lagi
Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja, orang tua inipun sudah berhenti bernapas.
Meski suara tertawa kedua orang tadi sudah berhenti tapi pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman, di antara lembah gunung sayup2 masih terdengar juga suara tertawaan mereka yang berkumandang membalik.
Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan Se-tok atau Si Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat, satu baik dan yang lain jahat, selama puluhan tahun mereka saling berkelahi dan tidak pernah ada yang terkalahkan siapa duga kini bisa tewas bersama di puncak teratas Hoa-san.
Selama hidup kedua orang itu saling membenci dan bermusuhan, tetapi pada ajalnya sebaliknya saling rengkul sambil ketawa ter-bahak2, rupanya benci dan dendam selama puluhan tahun itu telah tamat terbawa oleh suara tertawaan mereka yang terakhir itu !
Seketika itu Nyo Ko malah menjadi bingung, teringat olehnya Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga hari tiga malam, kini kedua orang tua ini jangan2 juga mati buatan? Tetapi kalau melihat keadaannya, agaknya bukanlah mati palsu.
"Ah, lebih baik anggap dia palsu, daripada menyangkanya sungguh2," demikian akhirnya Nyo Ko ambil keputusan.
Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke dalam gua, ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7 malam, sampai akhirnya wajah kedua mayat itu sudah mulai berubah barulah pemuda ini mau percaya orang sudah mati sungguh2. Ia menangis ter-gerung2, kemudian ia gali dua liang dalam gua itu dan kubur kedua jago kosen dunia persilatan itu.
Waktu ia keluar gua ia lihat bekas2 tapak kaki di atas salju dimana Ang Chit-kong menem-pur Auwyang Hong kini sudah membeku menjadi es. Bekas tapak kakinya masih, namun orangnya sudah masuk liang kubur, Menghadapi bekas tapak kaki ini, Nyo Ko jadi terbayang pada pertarungan kedua jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia berduka pula.Ia masuk gua pula, di depan kuburan kedua jago tua itu ia berlutut dan menjura masing2 empat kali.
"Ayah angkat meski hebat, tapi apapun juga memang masih selisih setingkat dengan Ang-locian-pwe. Di waktu Pak-kau-pang-hoatnya menyerang, ayah harus memeras otak berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu pukulannya, jika pertarungan itu dilangsungkan secara sungguh2, sudah tentu ia tak diberi kesempatan untuk memikir se-maunya!" demikian Nyo Ko membatin.
Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia pun cari jalan buat turun ke bawah gunung,
Turunnya ke bawah gunung sekarang ini dilakukan Nyo Ko dengan seenaknya saja, iapun tidak beda2kan timur atau barat, utara atau selatan, yang terpikir olehnya hanya bumi seluas ini melulu aku sendirilah yang sebatangkara, biar aku terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba ajalnya, biarlah di mana aku rebah, di situlah aku mati.
Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih setengah bulan, namun bagi Nyo Ko rasanya sudah lewat beberapa tahun, Pada waktu naik gunung ia merasa dirinya selalu dipandang hina orang dengan penuh rasa penyesalan, tetapi kini waktu turun gunung ia merasa segala keduniawian ini sama saja seperti awan yang terapung di udara, biarlah orang mau pandang berharga atau pandang hina, ada sangkut paut apa dengan aku?
Begitulah dalam usianya semuda itu ternyata sudah timbul semacam rasa benci pada sesamanya dan anggap sepi mati-hidupnya sendiri.
Tidak seberapa hari, tibalah dia pada suatu hutan yang sepi di daerah Siamsay, mendadak terdengar olehnya di arah barat gemuruh dengan suara larinya binatang dengan debu mengepul tinggi. Tidak antara lama, beberapa ratus kuda liar kelihatan berlari lewat di depannya dengan cepat.
Kuda2 liar senang hidup bebas tanpa kekangan apapun ini membikin Nyo Ko menjadi kagum dan tertarik. Selagi ia ikut gembira oleh kelincahan kuda2 liar itu, tiba2 didengarnya di belakangnya ada suara meringkiknya kuda lain yang lemah.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seekor kuda kurus menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang mendatangi dengan pelahan melalui jalan raya, agaknya kuda kurus ini tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka itu, sedang dirinya sendiri harus susah menderita hidupnya, maka telah meringkik sedih.
Kuda ini sudah kurus lagi tinggi, tulang2 iganya sampai kelihatan nyata ber-deret2, bulu badan pun tak rata penuh borok2, semua ini menjadikan rupanya jelek sekali
Di atas kereta itu duduk seorang laki2 kasar, mungkin jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu lambat, maka tiada hentinya, ia ayun cambuknya memecut terus.
Selama hidup Nyo Ko sendiri sudah kenyang dihina dan dihajar orang, kini mendadak nampak penderitaan kuda ini, aneh, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya, ia menjadi "solider" melihat kuda itu dipecut terus, saking terharunya sampai matanya merah basah.
"Hai, kau! Kenapa kau pecut kuda ini terus?" bentaknya gusar sambil menghadang di tengah jalan ketika kereta itu sudah dekat.
Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan pakaian compang-camping dekil serupa orang minta2, lelaki kasar itu anggap sepi saja atas teguran itu.
"Lekas minggir, apa kau cari mampus?" batasnya membentak.
Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu di-hujani pecutan lagi.
Keruan Nyo Ko tambah gusar.
"Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh kau!" teriaknya sengit.
"Hahaha!" lelaki itu malah tertawa, berbareng pecutnya" lantas menyabet ke atas kepala Nyo Ko.
Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak mungkin bisa mengenai Nyo Ko, sekali pemuda ini ulur tangannya, segera cambuk orang direbut-nya, bahkan ia putar kembali pecut itu, dengan menerbitkan suara "tarrr", tiba2 leher lelaki tadi kena terlibat oleh pecutnya sendiri dan kena diseret ke tanah, menyusul Nyo Ko lantas menghujam orang dengan cambukan.
Kuda kurus itu meski jelek rupanya, tetapi seperti sangat cerdik, melihat lelaki itu dihajar Nyo Ko, binatang ini telah berjingkrak meringkik riang, bahkan ia gosok2 kepalanya pada Nyo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
"Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!" kata Nyo Ko kemudian setelah putuskan tali penarik kereta sambil tepuk2 punggung binatang itu dan menuding ke arah debu yang beterbangan oleh karena lari gerombolan kuda liar tadi.
Tiba2 kuda kurus ini meringkik dan berdiri tegak, habis ini terus lari cepat ke depan, Tapi mungkin saking lama menderita lapar, sekarang mendadak lari keras hingga tenaga tak cukup, maka baru belasan meter berlari, tiba2 kaki belakangnya terasa lemas, lalu jatuh terbanting.
Nyo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang itu dan mengangkatnya berdiri.
Nampak si Nyo Ko begitu perkasa, lelaki tadi ketakutan setengah mati, begitu merangkak bangun, kereta dan kayunya tak dipikir lagi, segera ia lari ter-birit2 sambil ber-teriak2 minta tolong.
Nyo Ko merasa geli oleh kelakuan orang. Lalu dicabutnya beberapa comot rumput segar dan memberi makan kuda kurus tadi.
"O, kuda yang harus dikasihani selanjutnya kau ikut padaku saja," demikian Nyo Ko berkata sambil meng-elus2 punggung binatang iru, Nyata karena penderitaan kuda itu, tanpa terasa timbul simpatiknya yang senasib.
Kemudian pelahan2 ia tuntun kuda itu menuju ke satu kota, ia beli sedikit bahan makanan kuda agar binatang ini bisa makan enak dan kenyang, Besok paginya kuda ini sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat habis ini baru Nyo Ko menungganginya dengan jalan pelahan2.
Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari kalau tidak kesandung kakinya, tentu kepeleset jatuh, siapa tahu makin jauh berjalan makin baik, sampai 78 hari kemudian, sesudah diberi makan cukup hingga tenaga penuh, mulai kelihatanlab kepandaiannya berlari secepat terbang.
Tentu saja Nyo Ko sangat girang, ia menjadi tambah sayang dan memberi perawatan yang lebih baik.
Hari itu Nyo Ko berhenti pada suatu kedai arak untuk tangsal perut dan suruh pelayan menyediakan semangkok arak Tiba2 kudanya mendekati mejanya sambil meringkik dan memandangi mangkok araknya itu seperti ingin minum.
Nyo Ko menjadi ketarik, ia coba berikan araknya itu sambil mengelus leher binatang itu, Betul saja kuda itu telah pentang mulut lebar, tanpa sungkan2 sekejap saja semangkok arak itu telah dilahap kering, habis ini ekornya men-jengkit2 dan kakinya meng-ketok2, tampaknya binatang ini senang sekali.
Nyo Ko menjadi makin ketarik, ia suruh pelayan ambilkan arak lagi, beruntun kuda itu habiskan belasan mangkok arak dan masih belum mau sudah, rupanya pelayan kedai itu meragukan kemampuan Nyo Ko membayar uang arak itu, karena pakaiannya tompang-camping, maka waktu disuruh tambah arak lagi ia telah menolak.
Waktu perjalanan dilanjutkan mungkin karena pengaruh arak, tiba jadi itu berlari cepat seperti kranjingan setan, begitu cepat hingga pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat seperti terbang saja, Malahan binatang ini seperti punya watak yang aneh, yakni tidak pedili apa saja, asal dilihatnya ada sesuatu binatang di depannya, pasti ia kan pentang kaki secepatnya mendahului ke depan.
Agaknya wataknya suka menang itu bukan mustahil disebabkan karena selama ini ia dipandang rendah dan cukup menderita segala hinaan, maka kini begitu dapat kesempatan ia justru ingin unjuk ketangkasannya yang tidak mau kalah dengan kuda yang lain.
Tabiat dogol demikian ini rupanya sangat cocok dengan watak Nyo Ko, maka satu orang dan satu kuda ini telah menjadi kawan yang sangat baik.
Tadinya Nyo Ko merasa sangat masgul dan kosong, tetapi setelah mendapatkan kawan kuda yang membikin hatinya riang, betapapun juga memang hati anak muda, tidak seberapa hari ia sudah kembali gembira seperti sediakala.
Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari, akhirnya ia ambil jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju ke Hing-ci-koan.
Sepanjang jalan bila Nyo Ko ingat waktu menggoda Liok Bu-siang dan permainan Li Bok-chiu, kadang2 ia tertawa geli sendiri di atas kudanya.
Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan selalu Nyo Ko ketemukan kawanan pengemis secara ber-kelompok2, melihat sikap mereka itu jelas banyak diantaranya adalah golongan jago silat yang tinggi
Tiba2 Nyo Ko terkesiap, pikirnya: "Jangan2 percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan pengemis ini masih belum selesai?" Atau boleh jadi Li Bok-chiu hendak tentukan mati-hidupnya dengan kawanan pengemis yang lagi himpun kekuatan ini? Ha, keramaian ini tidak boleh kulewatkan!"
Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah Pangcu kaum pengemis yang dulu, meski tidak ketarik oleh kawanan pengemis itu, namun teringat akan kesatriaan Ang Chit-kong yang pernah dia lihat, tanpa terasa timbul juga perasaan persaudaraannya dengan Kay-pang, ia pikir bila ada kesempatan seharusnya aku beritahukan mereka tentang wafatnya Ang Chit-kong di atas Hoa-san.Setelah berjalan tak lama lagi, ia lihat kawanan pengemis itu makin lama makin banyak kalau diantara pengemis itu ada yang menggendong kantong kain, pengemis2 lain pada umumnya lantas sangat hormat padanya.
Sebaliknya melihat macamnya Nyo Ko, para pengemis itu rada heran, jika melihat dandanan Nyo Ko, memang tiada ubahnya seperti pengemis, tetapi diantara anggota Kay-pang itu se-kali2 tiada orang yang naik kuda.
Namun Nyo Ko tak peduli mereka, ia tetap melarikan kudanya dengan pelahan.
Tiba2 terdengar suara mencicitnya burung, dua ekor rajawali kelihatan menukik ke depan sana.
"Ah, Ui-pangcu sudah datang, malam ini besar kemungkinan akan ada rapat," terdengar satu pengemis di samping Nyo Ko berkata.
"Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?" sela seorang pengemis lain.
"Tentu datang," ujar pengemis yang pertama tadi. "Suami-isteri mereka adalah seperti timbangan dengan anak batunya, yang satu tidak bisa kehilangan yang lain."
Selagi hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba dilihatnya Nyo Ko menahan kuda sedang mengawasi mereka, maka pengemis itu melotot sekejap pada Nyo Ko, lalu tutup mulut tak jadi menyambung.
Kiranya demi mendengar nama Kwe Cing dan Ui Yong, seketika hati Nyo Ko rada terperanjat, cuma wataknya sekarang sudah jauh berbeda dari dulu, maka diam2 ia tertawa dingin: "Hm, dahulu aku makan menganggur di rumahmu hingga kenyang dihina dan dipermainkan kalian, Tatkala itu aku masih kecil dan tak punya kepandaian, maka tidak sedikit pahit getir yang kurasakan. Tetapi kini aku anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu lagi aku mengandalkan kau?"
Tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, lebih baik aku pura2 jatuh sengsara dan pergi minta pertolongan mereka, ingin kulihat cara bagaimana mereka melayani aku."
Lalu dicarinya tempat yang sepi, ia bikin rambutnya menjadi kusut semrawut, ia jotos mukanya sendiri sekali hingga ujung mata kirinya matang biru, ia cakar lagi mukanya sendiri hingga babak belur.
Memangnya pakaiannya sudah tak necis, kini ia sengaja dirobek pula, malahan ia mengguling beberapa kali di tanah hingga tambah kotor, dengan macamnya ini ditambah berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka tampaknya menjadi benar2 seorang rudin yang sengsara dan tinggal mampus saja.
Selesai menyamar, dengan jalan pincang dan bikinan Nyo Ko kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi kudanya lagi melainkan jalan bersama kawanan pengemis, Kadang2 ada pengemis yang menegur padanya apakah ikut pergi ke rapat besar, Nyo Ko tak bisa menjawab, ia hanya melongo saja. Tetapi ia tetap campurkan dirinya di antara kawanan pengemis itu dan meneruskan perjalanan bersama mereka.
Sampai hari sudah magrib, rombongan mereka tiba sampai di depan sebuah kelenteng besar yang bobrok, dua ekor rajawali tadi kelihatan menghinggap di atas satu pohon besar, sedang Bu-si Hengte sedang sibuk memberi makan pada mereka, yang satu membawa nampan dan yang lain lemparkan potongan daging yang berada di dalam nampan itu.
Tempo hari waktu kakak-beradik she Bu itu menempur Li Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Nyo Ko menonton dari samping, cuma waktu itu hanya Kwe Hu seorang yang dia perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak begitu di-urusnya.
Kini berhadapan lagi, Nyo Ko melihat gerak-gerik Bu Tun-si cukup tangkas dengan semangat penuh, sebaliknya Bu Siu-bun enteng dan gesit, lincah tak pernah diam. Tun-si mengenakan baju satin berwarna wungu tua, sedang Siu-bun berbaju satin warna biru safir, pinggang mereka pakai ikat kain sutera bersulam, maka tampaknya menjadi gagah dan cakap.
Nyo Ko coba mendekati mereka.
"Ke... kedua Bu-heng, ter... terimalah hormatku, apa, apa......selama ini baik2 saja!" demikian ia menyapa dahulu dengan suara tak lancar.
Tatkala itu kelenteng rusak itu baik dalam maupun luar sudah penuh berjubel dengan kawanan pengemis yang semuanya berpakaian penuh tambal sulam, dengan dandanan Nyo Ko yang sudah disiapkan itu, maka tidaklah menyolok ia bercampur diantara orang banyak.
Dan karena sapaan Nyo Ko tadi, Tun-si balas menghormat dengan sopan, ia tak kenal siapakah orang yang menegur dirinya ini, maka dengan sinar mata yang tajam ia coba mengamat-amati orang.
"Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan aku tak ingat Iagi," demikian sahutnya kemudian.
"Ah, namaku rendah ini tiada harganya buat disebut, Siaute... Siaute hanya mohon bertemu dengan Ui-pangcu," sahut Nyo Ko merendah.
Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya dan selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh, tiba2 didengarnya dari dalam kelenteng itu ada suara orang memanggil padanya.
"Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal kucirmu tak diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut lagi," demikian kata suara nyaring itu.
Karena mendengar suara ini, lekas2 Bu Tun-si meninggalkan Nyo Ko terus memapak ke sana.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seorang gadis jelita berbaju hijau muda dengan langkah lebat sedang keluar dari dalam kelenteng, Kedua alis gadis ini panjang lentik, hidungnya yang mancung sedikit menjengat, mukanya putih, pipinya merah bagai pauh dilayang, siapa lagi dia kalau bukan puterinya Kwe Cing, Kwe Hu adanya.
Dandanan Kwe Hu sebenarnya tak seberapa mewah, hanya serenceng kalung mutiara yang dipakai di lehernya itu yang mengeluarkan sinar mengkilap hingga wajah si gadis tertampak lebih molek.
Hanya sekejap saja Nyo Ko pandang si gadis, segera ia merasa dirinya terlalu kotor dan jelek, maka tak berani ia pandang terus.
Sementara itu Bu-si Hengte sudah lantas papak datangnya Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya, kalau tindak tanduk Bu Tun-si sedikit membawa sifat angkuh dan rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun suka me-rendah2 menjilat asal dapat pujian si gadis.
Sesudah berjalan pergi beberapa langkah, tiba-tiba Tun-si ingat lagi pada diri Nyo Ko, ia menoleh dan menanya: "Apa kau datang menghadiri "Eng-hiong-yan" (perjamuan kaum kesatria)?"
Sebenarnya Nyo Ko tak paham apa "Eng-hiong-yan" yang dikatakan orang itu, namun sekenanya ia mengiakan saja.
Karena itu, Tun-si memanggil seorang pengemis dan memesan padanya: "Sobat ini hendaklah dilayani baik2, besok ajak dia pergi ke Hing-ci-koan sekalian."Habis ini, ia asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu dan tidak urus Nyo Ko Iagi.
Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang menyapa Nyo Ko dan menanya nama orang, oleh Nyo Ko dijawab dengan terus terang,
Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Nyo Ko adalah orang yang tak dikenal namanya, dengan sendirinya pengemis itupun tak pernah mendengar namanya, maka tak diperhatikannya anak muda ini.
Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau Ong nomor 13, karena urut2annya dalam keluarganya nomor 13, dan she Ong, maka dipanggil Ong Capsah. Di Kay-pang ia tergolong anak murid berkantong dua.
Karena ilmu silat Ong Capsah tak tinggi, tingkatannya pun rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja cepat, maka anak murid Kay-pang tingkatan tinggi menugaskan dia sebagai penyambut tamu.
"Darimanakah asalnya Nyo-toako?" demikian Ong Capsah tanya lagi.
"Baru saja datang dari barat-laut," sahut Nyo Ko.
"Eh, apa Nyo-toako anak murid Coan-cin-pay?" tanya Ong Capsah.
"Bukan," sahut Nyo Ko tanpa pikir sambil geleng kepala. Ya, pemuda ini sudah terlalu -benci pada Coan-cin-kau, bila mendengar nama itu saja ia sudah kepala pusing, apalagi suruh mengaku sebagai anak murid nya.
"Dan apakah Nyo-toako membawa Eng-hiong-tiap (kartu undangan kesatria)?" tanya Ong Cap-sah pula.
Nyo Ko jadi tetcengang, ia tak mengerti apa "Eng-hiong-tiap" itu?
"Siaute biasanya hanya luntang-Iantung merantau di Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?" demikian sahutnya kemudian, "Cuma dahulu pernah bertemu muka sekali dengan Ui-pangcu kalian, maka kini sengaja datang menemui-nya lagi buat meminjam sedikit sangu untuk pulang kampung."Ong Capsah mengkerut kening mendengar keterangan itu.
"Ui-pangcu sedang sibuk menerima para kesatria dari segenap penjuru, mungkin tiada tempo buat menerima kau," sahutnya kemudian sesudah berpikir sejenak.
Kedatangan Nyo Ko sekali ini memang sengaja pura2 rudin, semakin orang memandang rendah padanya, semakin senang hatinya. Oleh sebab itu ia justru sengaja mohon belas kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.
Salah satu sikap yang dijunjung tinggi oleh orang2 Kay-pang yalah baik budi dan setia kawan, pula anggota Kay-pang itu semuanya berasal dari kaum tak punya, selamanya mereka suka bantu yang lemah dan menolong yang susah, se-kali2 tidak boleh pandang hina pada orang miskin. Oleh sebab itulah, demi nampak Nyo Ko memohon dengan sangat, mau-tak-mau Ong Capsah menyanggupinya.
"Baiklah, Nyo-hengte, sekarang kau makan yang kenyang dahulu, besok pagi kita berangkat ke Hing-ci-koan bersama," katanya kemudian "Di sana nanti aku melapor pada Pangcu dan terserah bagaimana keputusan beliau, baik tidak kalau begini ?"
Tadinya Ong Capsah menyebut Nyo Ko sebagai "Toako" atau saudara tua, tetapi kini mendengar pemuda ini bukan orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan, pula umur dirinya lebih tua, maka ia ganti memanggil orang sebagai Nyo-heng-te atau adik Nyo.
Di lain pihak karena orang sudah mau membantu, ber-ulang2 Nyo Ko menghaturkan terima kasinnya.
Kemudian Ong Capsah mengajak Nyo Ko masuk ke dalam kelenteng dan membawakan daharan seperlunya.
Menurut peraturan Kay-pang, sekalipun waktu pesta pora, cara makan para anggotanya tetap harus bikin kocar-kacir segala macam daharan, baik ayam- daging, ikan dan iain2 dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti barang restan orang.
Cara ini adalah tanda bahwa "kacang tak pernah lupa pada lanjarannya", artinya tidak boleh lupa pada sumbernya, yakni sekali pengemis tetap penge-mis, baik hidupnya dan cara makannya, Tetapi terhadap tetamu, daharan yang mereka suguhkan adalah biasa dan lengkap.
Begitulah, selagi Nyo Ko makan seorang diri, tiba2 matanya terbeliak, ia lihat Kwe Hu masuk lagi dari luar dengan muka ber-seri2, waktu gadis itu melihat Nyo Ko sedang makan nasi di tepi patung Budha, tanpa melirik lagi ia ajak bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
"Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat ke Hing-ci-koan," demikian terdengar Siu-bun berkata. "Aku pergi mengeluarkan kuda merahmu."
Ketiga orang itu sembari bicara sambil bertindak ke belakang, Tidak antara lama, sesudah bawa bekal dan senjata, mereka keluar lagi kelenteng itu, lalu terdengar suara derapan kuda yang riuh, nyata ketiga orang itu sudah berangkat.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko mengikuti derapan kuda yang sayup2 mulai menjauh, tetapi sepasang sumpitnya masih tertancap di dalam mangkok sayur, ia tidak tahu perasaannya waktu itu apa suka atau duka, apa sedih atau gusar?
Besok paginya Ong Capsah datang membawanya pergi ke Hing-ci-koan, sepanjang jalan kecuali orang2 dari Kay-pang sendiri, tidak sedikit pula tokoh2 Bu-lim yang mereka ketemukan baik laki2 maupun perempuan, tua atau muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada yang kurus kecil tetapi setiap orang jalannya cepat dan kuat, agaknya semuanya diundang untuk menghadiri apa yang disebut Eng-hiong-yan atau perjamuan kesatria itu.
Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu Eng-hiong-yan dan Eng-hiong-tiap, ia menduga meski ditanya tidak nanti Ong Capsah mau terangkan, maka ia pun tidak merecoki urusan itu, sepanjang jalan ia hanya pura2 bodoh dan berlagak dungu saja.
Petangnya Nyo Ko dan Ong Capsah sudah sampai di Hing-ci-koan. Kota Hing-ci-koan ini meski tempat yang penting dalam arti kemiliteran, namun kotanya sendiri ternyata tak begitu ramai.
Ong Capsah membawa Nyo Ko melalui kota itu dan berjalan lagi 7-8 li, akhirnya sampai di suatu perkampungan besar dengan gedung2 ber-deret2 dilingkungi oleh beberapa ratus pohon wa-ringin yang rindang, Ke dalam kampung inilah para kesatria itu masuk.
Perkampungan itu begitu besar dengan gedung gedungnya yang sambung menyambung dan ber-jajar2, tampaknya kalau hanya tetamu beberapa ribu saja masih cukup luang.
Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam Kay-pang, ia tahu waktu itu Pangcu mereka terlalu sibuk, sudah tentu tak berani ia laporkan permintaan Nyo Ko yang hendak "pinjam sangu" segala, Maka setelah atur tempat tidurnya Nyo Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiripun pergilah mencari kawannya yang lain.
Sesudah makan, Nyo Ko lihat gedung yang begini megahnya dengan centeng yang tidak terhitung banyaknya hilir mudik melayani tetamu, diami ia merasa heran siapakah tuan rumahnya, kenapa begini besar pengaruhnya ?
Dalam pada itu dapat didengarnya disampingnya ada orang sedang berkata: "Suami isteri cengcu sendiri sedang menyambut tetamu, marilah kita juga pergi melihat gerangan siapa kesatria yang datang ini?"
Sementara itu di luar sana terdengar suara tambur berdentum, lalu musik pun berbunyi para centeng berbaris di kedua samping, ucacara pembukaan ternyata sangat meriah dan khidmat.
Tertampak dari belakang pintu muncul satu laki2 dan satu perempuan yang semuanya berusia antara 40 tahun, yang lelaki tinggi kekar pakai jubah sulam, bibirnya sedikit berkumis, kereng berwibawa. Sedang yang perempuan berkulit putih bersih seperti wanita bangsawan.
"lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin," demikian Nyo Ko dengar pembicaan di antara tetamu yang hadir.
Di belakang kedua orang ini kembali adalah sepasang suami isteri, seketika hati Nyo Ko terkesiap demi nampak suami isteri yang belakang ini hingga mukanya serasa panas, Mereka bukan lain ialah Kwe Cing dan Ui Yong adanya.
Selama beberapa tahun tak berjumpa, tampaknya Kwe Cing terlebih sabar lagi sedang Ui Yong bermuka terang dan ter-senyum2, tampaknya bertambah montok daripada dahulu waktu di Tho-hoa-to.
Pakaian yang digunakan Kwe Cing terbuat dari kain kasar, sebaliknya Ui Yong memakai kain sutera merah jambon, tetapi sebagai Pangcu dari Kay-pang, menurut tradisi kaum pengemis, terpaksa ia berikan beberapa tambalan pada bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok.
Di belakang Kwe Cing dan Ui Yong ikut Kwe Hu dan Bu-si Hengte, tatkala itu ruangan besar itu terang benderang dengan api lilin, di bawah cahaya api lilin, gadis itu tertampak lebih cantik molek dan pemudanya bertambah gagah ganteng.
"lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Ui-pangcu!"
"Dan nona yang cantik itu siapa lagi?"
"lalah puteri Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu!"
"Hei dan kedua pemuda itu apa puteranya?"
"Bukan, tapi muridnya!"
Begitulah percakapan di antara para tetamu sambil tunjuk sini dan tuding sama.
Nyo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Cing suami isteri di depan orang banyak, maka ia sengaja sembunyi di belakang seorang lelaki tinggi besar untuk mengintip.
Dalam pada itu, di bawah iringan suara musik, dari luar telah masuk empat orang Tojin atau imam.
Nampak Imam ini, seketika timbul semacam rasa aneh dalam hati Nyo Ko.
Kiranya yang paling depan itu adalah seorang imam yang sudah ubanan rambut alisnya mukanya berwarna merah hangus, ia bukan lain dari pada Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu, sedang di belakangnya adalah imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini belum pernah dikenal Nyo Ko. Dan di belakang mereka ini ikut pula dua imam setengah umur dengan jalan berjajar, mereka adalah Thio Ci-keng dan In Ci-peng.

Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri sambut imam wanita itu sambil menjura dan memanggilnya sebagai Suhu, menyusul serta Kwe Cing suami isteri, Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga maju memberi hormat.

Telinga Nyo Ko cukup tajam, maka percakapan antara para tetamu itu dapat pula diikutinya dengan terang.
"lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita Coan-cin-kau, ia she Sun bernama Put-ji," demikian terdengar kata seorang tua.
"Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang namanya tersohor di daerah utara dan selatan sungai!" ujar tamu yang lain."Ja, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu silat Liok-ceng-cu sendiri bukan belajar dari dia," kata si orang tua tadi.
Kiranya Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng, ayahnya bernama Liok Seng-hong adalah murid Ui Yok-su, ayah Ui Yong, maka kalau diurut, Liok-cengcu masih lebih rendah setingkat dari pada Kwe Cing dan Ui Yong.
Sedang Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng, Thia Yao-keh, adalah muridnya Sun Put-ji.
Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat pertolongan Kwe Cing, Ui Yong dan orang2 Kay-pang sewaktu ia mengalami marabahaya, oleh sebab itu ia merasa utang budi terhadap orang2 Kay-pang, Kini Kay-pang menyebarkan undangan pada kestria2 di seluruh jagat dan mengadakan perjamuan besar menjelang rapat raksasa dari Kay-pang me-reka, maka Liok Khoan-eng suami isteri telah pikul semua biaya itu dan mengadakan perjamuan itu di tempat kediamannya, sekalipun perjamuan ini mungkin akan makan separuh dari kekayaan mereka, namun Liok Khoan-eng adalah seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan sendirinya hal demikian ini tak dipikir olehnya.
Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan, lalu Kwe Cing ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke ruangan pendopo untuk diperkenalkan kepada para kesatria yang hadir.
"Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima kartu undangan Ui-pangcu, mereka bilang seharusnya memenuhi undangan, cuma paling belakang ini badan Lauw-suheng kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia menjalankan tenaga penyembuhan maka perjalanan ini terpaksa tak bisa dilakukan, diharap Ui-pangcu suka memaafkan," demikian terdengar Hek Tay-thong berkata dengan mengelus jenggotnya.
"Ah, para cianpwe itu terlalu merendah diri saja," sahut Ui Yong.
Harus diketahui meski usia Ui Yong masih muda, tetapi dia adalah pemimpin dari suatu organisasi besar Kay-pang, dengan sendirinya Hek Tay-thong dan lain2 sangat menghormat padanya.
Kwe Cing sendiri sudah sejak mudanya kenal dengan In Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu mereka sangat girang dan mengobrol dengan asyiknya.
Lekas2 Liok-cengcu memerintahkan perjamuan dimulai segera para tetamu mengambil tempat duduk masing2, maka suasana ruangan pendopo itu menjadi ramai luar biasa.
Dalam pada itu In Ci-peng sendiri lagi longak-longok kian kemari seperti sedang mencari seseorang diantara orang banyak itu.
"ln-sute, entah orang she Liong itu ikut hadir atau tldak?" tiba2 Ci-keng berkata lirih sambil tersenyum dingin.
Berubah hebat air muka Ci-peng karena sindiran itu, namun ia tak menjawab.
"Kesatria she Liong yang manakah ? Apakah sahabat kalian berdua?" tanya Kwe Cing, nyata tak diketahuinya bahwa orang yang mereka bicarakan ialah Siao-iiong-li.
"Sahabat In-sute, aku sendiri mana berani bergaul dengan dia," sahut Ci-keng.
Melihat sikap kedua imam ini rada aneh, Kwe Cing tahu di dalamnya tentu tersangkut urusan2 lain, maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Mendadak, di antara orang banyak itu Ci-peng dapat melihat Nyo Ko, seketika tubuhnya bergetar seperti kena disamber petir, Kiranya disangkanya jika Nyo Ko berada di situ, dengan sendirinya Siao-Jiong-li juga datang.
Ketika Kwe Cing dan Ci-keng memandang ke arah yang menarik perhatian Ci-peng itu hingga kesamplok pandang dengan Nyo Ko, seketika merekapun tercengang.
Dalam kejutnya Kwe Cing merasa girang pula, maka ia lantas mendekati anak muda itu sambil menarik tangannya.
"He, Ko-ji, kiranya kau juga datang?" demikian ia menyapa. "Tadinya aku kuatir kau terlantarkan pelajaranmu maka tak berani mengundang kau, kini gurumu sudah membawa kau ke sini, inilah baik sekali,"
Kiranya jaman dulu karena tak lancarnya lalu lintas, maka urusan tentang Nyo Ko berontak keluar dari Coan-cin-pay, Kwe Cing yang tinggal jauh di Thohoa-to sedikitpun tak mendapat kabar.
Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan sekali ini sebenarnya justru akan merundingkan urusan itu dengan Kwe Cing, siapa duga di sinilah malah kepergok dengan Nyo Ko, Semula ia kuatir Kwe Cing percaya pada ocehan Nyo Ko secara sepihak, demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Cing tadi ia pun tahulah bahwa merekapun baru pertama kali bertemu sekarang ini, maka dengan muka merah adam Ci-keng menengadah sambil berkata: "Ada kepandaian apa dan kebajikan apa pada diriku. mana berani aku menjadi guru Nyo-ya?"
Kaget sekali Kwe Cing oleh kata2 ini
"Apa? Kenapa Thio-suheng berkata demikian ? Apakah anak kecil tidak mau menutul ajaranmu?" tanyanya cepat.
Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan tetamu, kalau sampai urusaa itu diceritakan hingga terjadi perdebatan dengan Nyo Ko, rasanya hal ini bisa menghilangkan pamor Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab melainkan tertawa dingin saja.
Di lais pihak, waktu Kwe Cing periksa keadaan Nyo Ko, ia lihat matanya bengkak dan mukanya babak belur, pakaiannya compang-camping dan kotor, terang sekali bocah ini kenyang merasakan penderitaan yang tidak ringan, Kwe Cing sangat pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Nyo Ko ke dalam pelukannya.
Waktu ditarik, segera Nyo Ko kumpulkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi tempati berbahaya di tubuhnya. Siapa tahu Kwe Cing benar2 sayang dan kasihan padanya dan tiada maksud hendak mencelakainya, malahan paman angkat ini telah berseru pada Ui Yong : "Yong-ji, lihatlah siapa ini yang datang?"
Ui Yong tercengang juga demi nampak Nyo Ko, berlainan dengan Kwe Cing yang kegirangan bisa berjumpa dengan Nyo Ko, sebaliknya ia sambut orang dengan adem saja.
"Bagus, kiranya kaupun datang." demikian sahutnya tawar
Dalam pada itu dengan pelahan Nyo Ko melepaskan diri dari pelukan Kwe Cing.
"Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal pakaianmu," demikian katanya pada sang paman, Kata2 ini diucapkan dengan dingin, bahkan bernada menyindir.
Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Cing, ia hanya merasa terharu, waktu itu juga teringat olehnya : Anak ini sebatangkara dan yatim piatu, tentu sudah kenyang merasakan pahit getir."
Karena itu, ia tarik tangan Nyo Ko dan mengajak agar pemuda ini duduk semeja dengan dirinya.
Nyo Ko duduk di suatu tempat yang terpencil maka iapun menolak
"Biarlah aku duduk di sini saja, silakan Kwe-pepek pergi menemani tetamu," sahutnya dingin.
Kwe Cing merasa tak enak harus meninggalkan tetamu yang begitu banyak, maka ia tepuk pelahan pundak si Nyo Ko, lalu pergilah dia ke tempat duduknya semula.
Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan isi cawan, sebagai ketua lalu Ui Yong mulai angkat bicara: "Besok adalah hari diadakannya Eng-hiong-yan, kini masih ada beberapa kawan dari berbagai penjuru yang belum datang, mungkin besok siang baru bisa tiba, Maka kini silakan para hadirin makan minum sepuasnya, besok baru kita bicarakan urusan pokok."
Selesai pidato ini, seketika para tamu itu bersorak sorai kemudian perjamuan lantas dimulai.
Setelah bubar perjamuan, para tamu itu dengan sendirinya ada penyambutnya sendiri2 yang mengantarkan pergi mengaso.
Maka kelihatanlah Ci-keng bisik2 pada Hek Tay-thong dan imam tua ini balas meng-angguk2, lalu Ci-keng berdiri dan membungkuk memberi hormat pada Kwe Cing.
"Kwe-tayhiap, Pinto merasa mengecewakan tugas berat yang pernah dipikirkan padaku itu, sungguh hal ini sangat memalukan, maka hari ini sengaja datang buat terima hukuman atas dosaku," demikian kata Ci-keng.
"Ah, Thio-suheng terlalu merendah diri saja," sahut Kwe Cing segera sambil balas hormat. "Marilah kita bicara ke kamar baca saja, apabila anak kecil ada yang bikin marah Thio-suheng, pasti Siaute akan beri hukuman yang setimpal padanyak agar amarah Thio-suheng bisa padam."
Beberapa kata Kwe Cing ini diucapkan dengan suara lantang, karena jaraknya Nyo Ko tidak begitu jauh, maka semuanya dapat didengarnya dengan cukup terang, Diam2 dalam hati pemuda ini pun sudah ambil suatu keputusan:
"Jika dia mendamperat sepatah kata saja padaku, segera aku berbangkit dan angkat kaki dari sini dan untuk selanjutnya tak mau bertemu muka lagi dengan dia. Bila dia pukul aku, meski ilmu silatku bukan tandingannya, pasti aku akan adu jiwa juga dengan dia".
Karena sudah ambil keputusan demikian, maka Nyo Ko menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan seperti waktu bertemu dengan Thio Ci-keng untuk pertama kalinya dahulu, Dan demi nampak Kwe Cing menggapai padanya, maka iapun ikut di belakang mereka.Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga sedang makan di suatu meja makan, semula gadis ini tak kenal lagipada Nyo Ko belakangan sesudah ayah-bundanya mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat pemuda itu bukan lain daripada kawan memainnya, waktu kecil di Tho-hoa-to dahulu.
Dasar anak muda yang cepat berubah wajahnya, apalagi sudah sekian tahun berpisah, pula Nyo Ko sengaja menyamar dengan rupa yang sengsara dan bercampur di antara orang banyak, tentu saja Kwe Hu tak mengenalinya.
Kini nampak Nyo Ko telah kembali tanpa terasa hatinya terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu di Tho-hoa-to di mana karena urusan jangkrik telah terjadi perkelahian, entah kejadian ini apa masih membuat dendam pemuda itu atau tidak?"
Tetapi bila dilihatnya keadaan Nyo Ko yang begitu rudin, lesu dan kotor, jauh berlainan dengan wajah Bu-si Heng-te yang ganteng dan bersemangat, diam2 timbul juga perasaan kasihannya pada pemuda itu.
"Ayah telah kirim dia belajar silat pada Coan-cin-pay, entah bagaimana dengan hasil pelajarannya dibanding kita?" demikian ia bisiki Bu Tun-si
"llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong langit ini, pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh dari ajaran Engkong-luarmu, mana bisa dia dibandingkan dengan kita?" tiba2 Bu Siu-bun menyambung pertanyaan si nona sebelum sang kakak menjawab.
"Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk baik, agaknya sukar juga ia hendak mendapat kemajuan," Kwe Hu angguk2. "Tetapi kenapa keadaannya menjadi begitu mengenaskan."
"Para imam itu melotot terus padanya seperti hendak menelannya mentah2, dasar anak she Nyo ini tabiatnya buruk, tentu dia telah melakukan sesuatu onar lagi di sana," demikian kata Siu-bun.
Begitulah ketiga orang ini berbicara sendiri, waktu mendengar Kwe Cing mengundang Hek Tay-thong dan lain2 ke kamar baca buat bicara dan bilang Nyo Ko akan diberi hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran dan ketarik.
"Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di kamar baca itu untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan," segera gadis ini mengajak.
Tetapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan didamperat, maka ia tak berani, sebaliknya Bu Siu-bun lantas berteriak akur, malahan ia mendahului bertindak pergi.
"Kau memang selalu tak turut perkataanku," Kwe Hu mengomeli Tun-si.
Nampak si nona rada marah, tapi malah menambah kecantikannya yang menggiurkan seketika hati Tun-si memukul keras, ia tak berani membantah lagi terpaksa ikut di belakang Kwe-hu.
Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di belakang rak buku, sementara itu Kwe Cing dan Ui Yong sudah datang dengan membawa Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat, lalu ambil tempat duduknya sendiri2.
"Ko-ji, kaupun duduk sana!" kata Kwe Cing sesudah Nyo Ko ikut masuk
"Tidak, aku tak usah," sahut Nyo Ko. sekalipun nyalinva besar, tapi menghadapi enam tokoh dunia persilatan ini, tidak urung hatinya ber-debar2 tak tenteram.
"Anak kecil kenapa kurangajar, berani kau bandel terhadap Suhu," demikian Kwe Cing lantas damperat sambil tarik muka, "Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf pada Susiokco (kakek guru), Suhu dan Susiok!"
Kwe Cing berhati jujur, ia pandang Nyo Ko seperti anaknya sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu biasanya ia sangat menaruh hormat, maka tanpa bertanya ia pikir tentu anak muda yang telah berbuat salah.
Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman kuno itu, ikatan peraturan antara ayah dan anak atau guru dan murid luar biasa kerasnya, jangankan membantah, sekalipun ayah atau guru menghendaki kematian anak atau murid juga tidak boleh membangkang.
Kini Kwe Cing hanya mendamperat Nyo Ko secara begitu, sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa ramahnya, kalau orang lain, tentu sudah menggunakan kata2 "binatang, anak haram" dan macam2 lagi atau dibarengi dengan gebukan dan pukulan.
Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.
"Pinto mana berani menjadi guru Nyo-ya? Kwe-tayhiap, hendakkh jangan kau sengaja menyindir," demikian katanya ketawa dingin. "Coan-cin-kau kami selama ini tidak pernah bersalah terhadap Kwe-tayhiap, kenapa engkau ejek kami di hadapan orang banyak? Nyo-toaya, biarlah imam tua ini menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku yang picik dan tak kenal kaum Enghiong dan orang gagah...."
Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa, kata2nya juga semakin kasar menandakan betapa gusarnya, Kwe Cing dan Ui Yong menjadi heran sekali. Mereka pikir kalau murid berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau damperat atau menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa harus berlaku secara begini kasar?"
Ui Yong adalah seorang pintar luar biasa, ia tahu pasti Nyo Ko berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa besarnya, Kini nampak Kwe Cing menjadi bungkam karena serentetan kata2 Ci-keng tadi, mau-tidak-mau ia mewakilkan sang suami membuka suara.
"Thio-suheng hendaklah jangan marah dahulu, cara bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap sang guru, silakan duduk dan terangkan yang jelas," demikian katanya dengan tenang.
"Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit kepandaian mana aku berani menjadi guru orang? Bukankah akan ditertawai semua orang gagah seluruh jagad hingga copot giginya?" teriak Ci-keng tiba-tiba.
Ui Yong mengkerut kening melihat kekasaran orang, ia menjadi rada kurang senang.
Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui duduknya perkara, mereka merasa pantas kalau Ci-keng marah2, tetapi kalau ribut2 secara kasar, sesungguhnya juga bukan corak asli kaum imam yang beribadat.
"Ci-keng." kata Sun Put-ji kemudian, "kau harus terangkan secara baik di hadapan Kwe-tay-hiap dan Ui-pangcu, caramu marah2 dan ribut2 ini, apa macam jadinya ini? Apakah itu menjadi kebiasaan orang berigama seperti kita ini?"
Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena wataknya yang keras, maka angkatan muda sangat segan padanya, maka Ci-keng jadi mengkeret, ia tak berani muring2 lagi sesudah mengia beberapa kali, lalu ia kembali duduk ke tempatnya tadi.
"Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu terhadap orang tua, kenapa kau tidak belajar contoh ini?" kata Kwe Cing.
Kontan sebenarnya Ci-keng hendak menyelak lagi bahwa dirinya bukan guru orang, tetapi demi dipandangnya Sun Put-ji, kata2 yang hendak diucapkan ia telan kembali.
Tak tetduga, mendadak Nyo Ko berteriak "Dia bukan guruku!"
Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Cing dan Ui Yong kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang sembunyi di belakang rak buku juga terkejut.
Maklumlah, pada jaman itu, di kalangan Bu-lim terutama, soal guru dan murid diatur dengan tata adat yang sangat keras, seorang guru dapat dipersamakan dengan seorang ayah yang harus di-turut dan dihormati, Siapa tahu kini bukan saja Nyo Ko tak mau mengaku guru, bahkan berani berteriak terang2an pula.
Keruan Kwe Cing sangat gusar, mendadak ia berdiri sambil tuding Nyo Ko dan mendamperat:
"Apa... apa yang... yang kau katakan?"
Dasar Kwe Cing memang tak pandai bicara, juga tak biasa mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah padam, amarahnya boleh dikatakan memuncak, jarang sekali Ui Yong melihat suaminya begitu gusar, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya: "Cing-koko, anak ini memang buruk jiwa-nya, perlu apa harus marah2 karenanya ?"
Mula2 tadi sebenarnya Nyo Ko rada takut, tetapi kini seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat sayang padanya juga marah2 mendamperat padanya, tiba2 pemuda ini menjadi nekat, pikirnya: "Paling2 mati apa yang perlu kutakuti paling banyak juga boleh kau bunuh aku saja."
Karena pikiran itu, dengan suara lantang segera ia menjawab "Ya, memang jiwaku buruk, namun tidak pernah aku minta belajar ilmu silat padamu, Kalian semua ini adalah tokoh2 Bu-lim yang terkenal, kenapa karus gunakan tipu muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim piatu?"
Waktu ia berkata sampai "yatim piatu", saking sedih akan nasib sendiri seketika mata Nyo Ko rada merah basah, tetapi segera ia gigit bibir se-kencang2nya, ia pikir sekalipun hari ini harus mati tidak boleh aku alirkan setengah tetes air matapun.
Di lain pihak Kwe Cing menjadi tambah marah.
"Apa kau bilang?" demikian damperatnya pula. "lsteriku dan gurumu dengan sungguh2 ajarkan ilmu silat padamu, semuanya ini karena mengingat pada persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa lagi yang bertipu muslihat ? Dan... dan siapa yang menjebak kau?"
Memangnya Kwe Cing tak pandai bicara, dalam keadaan marah, ia menjadi lebih gelagapan.Melihat orang tambah marah, sebaliknya Nyo Ko tambah tenang dan pelahan bicaranya.
"Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku, hal ini selamanya pasti takkan kulupakan!"
"Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik terhadapmu jika kau mau dendam untuk selamanya, hal inipun terserah padamu," sela Ui Yong tiba2 dengan sekata demi sekata.
Dalam keadaan demikian, Nyo Ko tambah tak gentar lagi, sekali lagi ia berbicara terlebih berani.
"Kwe-pekbo tidak baik terhadapku, tetapi juga tidak jelek terhadapku", demikian katanya Iagi. "Tetapi kau bilang ajarkan ilmu silat padaku, sebenarnya hanya ajarkan aku membaca, sedang ilmu silat sedikitpun tidak diturunkan. Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya siautit (keponakan) bertambah kenal beberapa huruf. Tetapi, tetapi beberapa imam tua ini..." sampai disini mendadak ia tuding Hek Tay-thong dan Thio Ci-keng, lalu dengan gemas ia sambung: "pada suatu hari, pasti aku akan menuntut balas utang berdarah dan dendam sedalam lautan itu."
"Apa... apa kau bilang?" tanya Kwe Cing cepat dan terkejut
"lmam she Thio ini katanya adalah guruku, tetapi sedikitpun tidak menurunkan ilmu silat padaku, hal inipun tak menjadi soal, tetapi ia malah suruh imam2 cilik menghajar diriku," tutur Nyo Ko. "Kwe-pekbo tidak mengajarkan kepandaian padaku, Coan-cin-pay tidak mengajarkan ilmu silat pula padaku, dengan sendirinya tidak bisa lain aku kecuali dihajar sekenyang mereka, Ada lagi, imam she Hek ini, ia lihat seorang nenek2 tua merasa sayang dan kasihan padaku, orangtua itu malah dia pukul hingga mati, Hai, imam busuk she Hek, katakanlah sekarang, semuanya ini benar atau tidak?"
Bila Nyo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain disebabkan karena membela dirinya, sungguh ia menjadi gemas dan mengertak gigi, ingin sekali ia menubruk maju mengadu Jiwa dengan Hek Tay-thong.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam beribadat diantara imam2 Coan-cin-kau, baik agamanya maupun ilmu silatnya sudah dilatihnya sampai tingkat yang sangat tinggi, soalnya hanya karena salah tangan hingga Sun-popoh tewas, hal ini selama beberapa tahun selalu membikin dia merasa tak tenteram dan dianggapnya sebagai suatu perbuatan yang sangat disesalkan selama hidupnya.
Kini mendadak Nyo Ko meng-ungkat2 kejadian itu, keruan seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat, peristiwa ngeri dahulu, di mana Sun-popoh muntah darah kena pukulannya itu se-akan2 terbayang di depan matanya.
Karena ia tak membawa senjata, maka tiba2 ia lolos pedang yang tergantung di pinggang Ci-keng.
Semua orang menyangka pedang itu tentu akan ditusukkan pada Nyo Ko, maka dengan cepat Kwe Cing sudah melangkah maju hendak melindungi bocah itu. Siapa duga mendadak Hek Tay-thong membaliki pedangnya, ia sodorkan garan pedang pada Nyo Ko sambil berkata: "Ya, memang betul, aku telah salah membunuh orang, bolehlah kau balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini, pasti aku tidak akan menangkisnya."
Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua orang luar biasa terperanjatnya.
Karena kuatir betul2 Nyo Ko menerima pedang itu dan melukai orang, lekas2 Kwe Cing berseru : "Ko-ji, jangan kurangajar."
Tetapi betapa cerdiknya Nyo Ko, ia tahu di hadapan Kwe Cing dan Ui Yong, soal membalas dendam ini tak nanti terlaksana, maka dengan dingin ia lantas menjawab : "Hm, sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak perkenankan aku turut tangan, kau sengaja berlagak gagah sekarang?"
Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua dari kalangan persilatan, kini kena didebat oleh kata2 yang begitu menusuk ia menjadi bungkam tak bisa menjawab, pedang yang dia sodorkan menjadi serba salah, diangsurkan terus orang tak terima, ditarik kembali rasanya malu. Mendadak ia salurkan tenaga dalamnya, maka terdengarlah suara "peletak" yang keras, tahu2 pedang itu patah menjadi dua.
"Sudahlah, sudahlah!" katanya sambil menghela napas, iapun lempar pedang patah itu ke tanah, habis ini dengan langkah lebar ia bertindak pergi.
Kwe Cing masih bermaksud menahannya, namun orang sudah pergi tanpa menoleh lagi.
Tentu saja Kwe Cing mulai ragu2, ia pandang Nyo Ko lalu pandang lagi pada Sun Put-ji bertiga, pikir agaknya apa yang dikatakan Nyo Ko bukannya bikinan belaka.
"Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak mengajarkan kepandaian padamu ? Lalu selama beberapa tahun ini apa yang kau kerjakan?" ia tanya setelah lewat sejenak, lagu suaranya sekarang sudah berubah lunak.
"Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san, beberapa ratus Tosu di sana telah kau pukul pontang-panting tanpa bisa membalas, umpama Ma, Khu, Ong dan 1ain2 Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini, apakah imam2 yang lain juga tidak dendam?" demikian sahut Nyo Ko. "Sudah tentu mereka tak berani padamu Kwe-pepek, lalu apa mereka tak bisa melampiaskan dongkol mereka atas diriku? Malahan mereka bisa2 ingin mampuskan aku baru merasa puas, Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu silat lagi padaku ? Kalau selama ini penghidupan yg kulewatkan adalah gelap tak pernah melihat sinar dan kini masih bisa berjumpa dengan Kwe-pepek, hal ini boleh dikatakan terlalu beruntung sekali."
Begitulah, meski usia Nyo Ko masih muda, tetapi cara bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio Ci-keng, hanya beberapa patah kata itu saja, secara enteng ia telah timpahkan semua sebab musabab memberontak keluar dari Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Cing, Dan apa yang dibilang "gelap tak pernah melihat sinar" sebenarnya juga tidak membohong, selama itu ia tinggal di dalam kuburan kuno, dengan sendirinya sinar matahari sukar dilihatnya. Tetapi dalam pendengaran Kwe Cing, rasa kasihannya pada anak muda ini menjadi ber-limpah2.
Di lain pihak Ci-keng melihat Kwe Cing sembilan bagian sudah mau percaya terhadap penuturan Nvo Ko, ia menjadi gugup,
"Kau... kau ngaco belo... Hm Coan-cin-kau kami adalah golongan kesatria sejati, mana... mana bisa..." demikian ia coba membela diri dengan suara tak lancar.
Kwe Cing terlalu lurus orangnya, ia anggap apa yang dikatakan Nyo Ko itu tentu benar2 terjadi sebaliknya Ui Yong yang kecerdasannya masih jauh di atas Nyo Ko, hanya melihat air muka pemuda ini saja segera Ui Yong tahu ada udang di balik batu kata2nya itu, ia pikir bocah ini sangat licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu yang tidak benar, Maka segera iapun menjela:
"Jika begitu, jadi sedikit ilmu silatpun kau tak bisa? Lalu selama beberapa tahun ini di Coan-cin-kau tentunya terbuang percuma bukan?" demikian sambil berkata, pelahan2 iapun berdiri, mendadak sebelah tangannya menjulur terus meng-gablok ke atas kepala Nyo Ko.
Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan tepat mengarah "pek-hwe-hiat" di atas ubun2 kepala, sedang telapak tangan menepok "siang-seng-hiat" pada batok kepala, kedua Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, asal kena digablok tangan Ui Yong, maka tak perlu sangsikan lagi pasti nyawa Nyo Ko akan melayang tanpa tertolong.
Tentu saja Kwe Cing terperanjat ia menjerit: "Yong-ji!"
Akan tetapi cepat luar biasa Ui Yong mengayun tangannya, tipu pukulan ini adalah satu diantara "lok-eng-cio-hoat" ajaran ayahnya, sebelum dilakukan sedikitpun tidak memberi tanda2 dahulu, bergitu bergerak, begitu pula telapak tangannya sudah sampai di tempat sasarannya, Kwe Cing ingin menolong pun tak keburu lagi.
Namun Nyo Ko tidak biarkan dirinya dihantam begitu saja, dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang bermaksud menghindarkan diri, tetapi betapa hebat kepandaian Ui Yong, sekali ia turun tangan, tidak nanti sasarannya dapat mengelakkan diri, maka dengan segera telapak tangannya sudah berada di atas ubun2 Nyo Ko.
Sungguh bukan buatan kejut Nyo Ko, cepat hendak ditangkisnya pukulan itu, namun mendadak pikirannya tergerak, tangan yang sudah sedikit diangkat tiba2 ia luruskan ke bawah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Kwe Cing berilmu silat maha tinggi, namun pembawaan otaknya puntul, kalau dia menjadi Nyo Ko, tentu sebelum mengerti apa yang harus diperbuatnya lebih dulu tangannya pasti diangkat buat menangkis dulu.
Tetapi lain dengan si Nyo Ko, pemuda ini cerdik luar biasa, otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu tangannya hendak mcnangkis, segera terkilas dalam pikirannya: "Ah, kiranya Kwe-pekbo bermaksud menjajal ilmu silatku, kalau aku menangkis pukulannya, ini berarti aku mengakui kata2ku tadi bohong belaka."
Sungguhpun begitu, namun pukulan yang dilontarkan Ui Yong ini adalah tipu mematikan yang sangat lihay, kalau orang bukan bermaksud menjajal kepandaiannya dan dirinya tidak menangkis. apakah ini bukan bergurau dengan jiwanya sendiri.
Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan tarikan api cepatnya, pikiran Nyo Ko telah bolak-balik berubah beberapa kali, tetapi akhirnya ia tak hiraukan jiwanya lagi dan pukulan itu tak ditangkis-nya,Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Nyo Ko sekarang ini, walaupun masih belum bisa memadai Ui Yong, kalau menangkis pukulan itu saja rasanya tidak sulit, tetapi ternyata pemuda ini berani ambil resiko itu, ia luruskan tangan tak bergerak dan menantikan pukulan orang, kalau bukan watak Nyo Ko memang keras kepala serta suka turuti maksud hatinya, sungguh tak nanti dilakukannya.
Dan ternyata memang betul pukulan Ui Yong ini hanya percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Nyo Ko, pada waktu telapak tangannya sudah hampir nempel kepala orang, tiba2 ia berhentikan dan tahan pukulannya, ia lihat wajah Nyo Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama sekali tidak angkat tangan buat menangkis, juga tidak mengumpulkan Lwekang untuk melindungi tempat2 yang berbahaya, terang memang sikap seorang yang tak paham ilmu silat sedikitpun.
"Ya, aku tidak ajarkan ilmu silat padamu, itu disebabkan aku ingin kau menjadi orang baik," demikian Ui Yong berkata dengan bersenyum, sambil tarik kembali tangannya, "Dan para Toya dari Coan-cin-pay rupanya juga berpikir sama dengan aku,"
Habis ini ia balik kembali ke tempat duduknya tadi, dengan suara pelahan ia bisiki Kwe Cing pula: "Memang betul dia tidak peroleh ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay."
Akan tetapi Ui Yong adalah wanita secerdik kancil, baru selesai ia berkata, mendadak dalam hatinya menjerit: "Ah, celaka, salah ! salah! Hampir saja aku kena diketahui setan cilik ini,"
Kiranya ia menjadi ingat dahulu waktu Nyo Ko tinggal di Tho-hoa-to, dimana bocah itu pernah tewaskan seorang pengemis anak murid Kay-pang dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, ilmu silatnya pada waktu itu sudah mempunyai dasar yang kuat, sekalipun selama beberapa tahun ini tidak peroleh sesuatu kemajuan, namun dengan pukulannya tadi yang mengarah ubun2 di atas kepala, betapapun juga pasti bocah ini akan menangkisnya.
Katanya dalam hati: "Ha, kau betul2 setan Cerdik yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis pukulanku dengan lagak kelabakan, mungkin aku kena kau kelabuhi, tetapi kini kau pura-pura tak paham sama sekali, hal ini berbalik mencurigakan aku."
Apapun juga memang Ui Yong masih setingkat lebih pintar, untuk bisa menimpali kecerdasannya Nyo Ko harus hidup belasan tahun lagi dan sesudah bertambah pengalamannya.
Begitulah Ui Yong juga tidak mau bongkar rahasia Nyo Ko, ia pikir biar aku lihat sandiwara apa yang hendak kau mainkan. Karena itu, ia hanya pandang Ci-keng, lalu pandang lagi Nyo Ko, ia bersenyum, tetapi tak berkata.
Ci-keng menjadi murka, ia lihat Ui Yong telah menjajal dengan pukulannya dan sama sekali tak ditangkis Nyo Ko, ia menyangka Ui Yong telah kena diingusi pemuda itu, hal ini berarti lebih menunjukkan pihaknya yang bersalah, maka ia tak tahan lagi, dengan suara keras ia ber-teriak2.
"Anak haram ini banyak tipu muslihatnya kau tak berhasil menjajalnya, Ui-pangcu, biarlah aku yang mencobanya," demikian teriaknya sengit, Lalu ia mendekati Nyo Ko, ia tuding hidung pemuda ini sambil memaki: "Anak haram, apa benar2 kau tak bisa ilmu silat ? Nah, baiklah, jika kau tak sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak bermurah hati, mau mati atau ingin hidup tergantung kau sendiri"
Ci-keng tahu ilmu silat Nyo Ko kini sudah di atas dirinya, ia pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan tipu yang mematikan, dalam keadaan demikian mau-tidak-mau pasti Nyo Ko akan unjuk kepandaian aslinya, tetapi bila masih berlagak pikun, maka sekali pukul biar lenyapkan saja jiwanya, paling banter nanti ribut dengan Kwe Cing suami isteri dan didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).
Bcgitulah jalan pikiran Ci-keng waktu itu, nyata saking gemasnya pada si Nyo Ko mengakibatkan timbulnya pikiran jahat, ia pikir pula: "Me-mangnya kau menduga Ui-pangcu tidak akan celakai jiwamu, maka kau berani pura2 bodoh, tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih berani main pura-pura tidak?"
Segera ia hendak turun tangan. "Nanti dulu," tiba-tiba Kwe Cing mencegah.
Rupanya Kwe Cing kuatir jiwa Nyo Ko bisa melayang, selagi ia hendak mencegah lebih jauh, mendadak Ui Yong menarik tangannya.
"Jangau kau urus dia," dengan suara pelahan Ui Yong membisikinya.
Nyata Ui Yong menduga pukulan Thio Ci-keng yang sedang murka itu tentu dilontarkan dengan cara tak kenal ampun, se-kali2 Nyo Ko tak berani ambil risiko untuk bergurau dengan jiwanya sendiri dan terpaksa tentu akan balas menyerang, tatkala itu, bagaimana duduknya perkara tentu pula akan menjadi terang.
Dengan sendirinya Kwe Cing tak bisa menyelami hal2 ber-Iiku2 itu, ia masih merasa tak tenteram, tetapi biasanya sang isteri dapat mengatur tepat, apa yang dikatakannya pasti tidak meleset, maka iapun tidak buka suara lagi, ia berdiri di samping sambil was-was, ia tunggu bila keadaan betul2 berbahaya baharulah akan turun tangan buat menoIongnya.
Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih dulu ia telah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng : "Sun-susiok, In-sute, anak haram ini berlagak tak bisa ilmu silat, aku terpaksa menjajal kepandaiannya, jika dia tetap kepala batu sampai titik terakhir, maka sekali hantam kubinasakan dia, hendaklah nanti dihadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu sukalah kalian berdua menjadi saksi."
Tentang memberontaknya Nvo Ko dari Coan-cin-kau, dengan sendirinya Sun Put-ji mengetahui seluruhnya, kini melihat kelicinan Nyo Ko yang keterlaluan hingga Ci-keng terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau kelihatan di pihak salah, maka iapun berharap Ci-keng berhasil paksa bocah itu menunjukkan corak asIinya, Maka dengan tertawa dingin ia menjawabnya: "Ya. murid murtad yang durhaka begini binasakan saja!"
Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam yang beribadat, mana mungkin ia suruh orang membunun begitu saja? Beberapa kata2nya itu tujuannya tidak lain hanya untuk me-nakut2i Nyo Ko agar pemuda ini tak berani lagi pura-pura.
Di lain pihak karena mendapat dukungan paman gurunya ini, nyali Ci-keng menjadi besar, tanpa sungkan2 lagi, begitu kaki kanan diangkat, segera ia tendang perut Nyo Ko dengan tipu gerakan "Thian-san-hui-toh" (terbang melintasi Thian-san), tendangan yang membawa tenaga keras dan tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay luar biasa.
Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama bagi orang yang belajar ilmu silat Coan-cin pay, meski cara menyerangnya biasa saja tiada yang aneh, asal sedikit paham silat saja pasti dapat mematahkannya, Tetapi lihaynya suatu aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu serangan dasar pertama yang dipelajarinya mula2, dari sinilah baru kemudian diikuti dengan perubahan2 lainnya untuk menangkan musuh.
Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng sengaja pertunjukkan pada Kwe Cing dan Ui Yong supaja kedua orang ini tahu bahwa: Sekali pun aku tidak ajarkan ilmu silat yang tinggi pada-nya, masakan pelajaran dasar pertama saja tak mengajarkan padanya?
Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini, Nyo Ko tidak mengelakkan diri dengan gaya "twe-ma-se" atau kuda2 yang bergaya mundur, satu gerakan yang tepat untuk hindarkan tendangan "Thian-san-hui-toh", malahan mendadak ia berteriak: "Aduh!"
Berbareng itu tangan kirinya lurus ke bawah menahan di depan perut yang hendak ditendang orang.
Melihat Nyo Ko begitu berani tanpa hindarkan diri juga tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak sungkan2 lagi segera tendangannya diayun ke de-pan, pada saat ujung kakinya tinggal beberapa senti dari perut Nyo Ko, di bawah sinar pelita tiba2 dilihatnya pemuda ini sedikit acungkan jari jempol tangan kiri ke atas dan dengan tepat mengincar "Thay-kok-hiat" pada tungkak kakinya.
Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan niscaya sebelum kakinya mengenai sasarannya dia sendiri sudah kena ditutuk dulu, dengan demikian, bukannya pemuda itu menutuk Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan Hiat-tonya untuk di-tutuk.
Ci-keng adalah jago utama dari anak murid Coan-cin-pay angkatan ketiga, dalam keadaan berbahaya itu segera ia ubah serangannya, ia membelokkan arah kakinya hingga tendangannya menyerempet lewat di samping Nyo Ko, dengan demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan tutukan yang berbahaya, namun tubuhnya toh menjadi sempoyongan hingga mukanya merah jengah.
Kwe Cing dan Ui Yong berdiri di belakang Nyo Ko, mereka tak melihat jari jempol yang di-acungkan bocah ini, mereka menyangka Ci-keng sengaja berlaku murah hati dan tidak menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun Put-ji dan iri Ci-peng dapat menyaksikannya dengan terang.
Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedang Sun Put-ji dengan segera berjingkrak, "Bagus kau!" demikian teriaknya.
Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti begitu saja, tangan kirinya diajun, dengan cepat ia potong ke pelipis kiri Nyo Ko, sekali ini ia menyerang dengan cara teliti, telapak tangan sampai tengah jalan baru mendadak ia ganti arah, tampaknya ia hantam pelipis kiri orang, tetapi telapak tangannya mendadak memotong ke leher sebelah kanan.Tak ia duga bahwa Nyo Ko sudah masak sekali mengapalkan Giok-li-sim-keng di luar kepala, Sim-keng atau kitab suci itu justru diciptakan untuk anti ilmu silat Coan-cin-pay. Dahulu setiap tipu serangan lihay dari Ong Tiong-yang tiada satupun yang dilewatkan Lim Tiao~eng untuk menciptakan sesuatu tipu gerakan buat mematahkannya.
Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan segera Nyo Ko merangkul kepalanya sendiri seperti orang yang ketakutan setengah mampus, sedangkan jari telunjuk kiri diam2 ia sembunyikan dibawah lehernya sebelah kanan, ia gunakan tangan yang lain untuk menutupnya supaja tak diketahui Ci-keng.
Ketika hampir tiba telapak tangan Iawan, mendadak Nyo Ko kesampingkan sedikit tangan kanan-nya, maka dengan tepat sekali jari telunjuk kiri yang sudah disiapkan itu telah kena menutuk "ho-khe-hiat" tangan Ci-keng.
Kejadian inipun bukannya Nyo Ko yang menyerang, tetapi Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya untuk ditutuk, Nyo Ko hanya menduga sebelumnya kemana serangan orang hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu di tempat yang jitu.
Dan karena Hiat-to tangannya tertutuk, seketika Ci-keng merasa lengannya pegal linu, ia insaf terkena akal licik orang, dalam gusarnya iapun tak pikir panjang lagi, dengan cepat ia ayun kaki kiri terus menyerampang.
"Haya, celaka!" teriak Nyo Ko pura-pura.
Mendadak ia sedikit tekuk lengan kirinya, ia papak sikunya ke bawah pinggangnya.
Dan begitu tendangan Ci-keng sampai, tahu2 "Ciau-hay-hiat" dan "Tha-ke-hiat" ditungkak kakinya persis mengenai ujung siku Nyo Ko.
Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan gusar, dengan sendirinya kekuatannya sangat keras, dan karena itu juga tutukan Hiat-tonya itu menjadi sangat keras pula, seketika kakinya menjadi kaku dan tanpa berkuasa orangnya terus berlutut.
Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin malu di depan orang banyak, Iekas2 Sun Put-ji jambret dan diberdirikannya, ia tepuk punggung Ci-keng buat melepaskan tutukannya tadi.
Melihat sehat dan jitu sekali tindakan hitam wanita ini, terang kepandaiannya berpuluh kali lebih tinggi dari Ci-keng, Nyo Ko menjadi jeri dan cepat mundur ke samping.
Sungguhpun Sun Put-ji sudah lanjut usianya, tetapi wataknya ternyata sangat keras dan kaku, ia lihat kepandaian Nyo Ko aneh luar biasa, sekalipun ia sendiri ikut turun tangan juga belum tentu bisa menang, maka segera ia berseru : "Hayo, pergi!"
Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan jubahnya, sekali lompat, seperti burung saja ia melayang keluar melalui jendela terus naik kewuwungan rumah.
In Cie-peng seperti orang kehilangan semangat ia hendak memberi penjelasan pada Kwe Cing, namun Ci-keng sudah tak sabar,
"Berkata apa lagi?" bentaknya gusar, berbareng ini ia tarik sang Sute terus melompat keluar melalui jendela menyusul Sun Put-ji.
Sebenarnya mata Kwe Cing dan Ui Yong cukup jeli dengan sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah kena ditutuk Hiat-tonya, cuma kelihatan Nyo Ko tidak menggeraki tangannya, apa mungkin ada orang kosen yang membantunya dari samping?
Segera Kwe Cing melongok keluar jendela, tetapi tiada seorangpun yang dilihatnya, Waktu Ui Yong membalik, tiba2 dilihatnya di bawah rak buku menonjol keluar ujung sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.
"Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di situ?" serunya segera.
Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil ketawa ngikik.
"Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku bacaan di sini," demikian ia coba beralasan.
Akan tetapi Ui Yong tidak gampang dibohongi, ia tahu tentu mereka sengaja mencuri dengar.
Di lain pihak Kwe Cing yang berjiwa lurus jujur selalu mengukur orang lain dengan jiwanya sendiri yang kesatria sejati, ia sangka tadi Ci-keng mendadak tak tega gunakan pukulan yang mematikan dan pura2 terkena tutukan untuk tinggalkan tempat ini. sebaliknya Ui Yong sudah bisa mem-bade pasti Nyo Ko telah pakai tipu muslihat cuma berdirinya tadi di belakang Nyo Ko hingga tak dapat melihat cara bagaimana pemuda itu geraki tangannya, pula ia tidak tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada ilmu silat dari Giok-li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa yang hendak dilontarkan musuh hingga ilmu silat kaum Coan-cin-pay sedikitpun tak bisa berkutik maka seketikapun ia tak habis mengerti oleh kejadian tadi
Begitulah, selagi ia ter-menung2, tiba2 ada anak murid Kay-pang melaporkan kedatangan tamu jauh, Sesudah Ui Yong pandang Nyo Ko sekejap, lalu bersama Kwe Cing mereka pergi menyambut tetamu.
"Nyo-koko adalah teman memain kalian waktu kecil, kalian harus melayaninya baik2", pesan Kwe Cing pada Bu-si Hengte sebelum pergi.
Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Nyo Ko, kini melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si Hengte semakin pandang hina pemuda ini ia panggil seorang centing dan suruh mengatur tempat tidurnya Nyo Ko, sedang mereka asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu.
Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia ketarik oleh datangnya Nyo Ko.
"Nyo-toako," demikian ia tanya, "sebab apakah gurumu tak mau terima dirimu?".
"Sebabnya terlalu banyak," sahut Nyo Ko,
"Pertama aku memang goblok dan malas, kepandaian yang Suhu ajarkan padaku selalu tak bisa apal, pula aku tak bisa pura2 rendah, tak bisa menjilat dan membaiki orangnya Suhu..."
Mendengar kata2 Nyo Ko rada menusuk, per-tama2 Bu Siu-bun yang tak tahan.
"Apa kau bilang?" bentaknya segera.
"Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka tidak disukai Suhu," sahut Nyo Ko.
"Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah dia punya anak?" ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.
Melihat tertawa si gadis bagaikan sekuntum bunga mawar yang mendadak mekar berubah merah sedikit, lekas2 ia berpaling ke jurusan lain.
"Nyo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja, besok kita bicara lagi," kata Kwe Hu kemudian dengan suara lembut.
Nyo Ko mengiakan, ia ikut centing yang melayaninya itu dan pergi tidur, Dari belakang lapat2 terdengar olehnya suaranya Kwe Hu lagi Dan mengomel : "Aku suka bicara padanya, kalian peduli apa? ilmu silatnya baik atau tidak, biar kelak aku minta ayah ajarkan padanya."
Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte, agaknya kedua saudara Bu merasa cemburu karena si gadis mengajak bicara Nyo Ko.
Besok paginya, sesudah Nyo Ko sarapan, ia lihat Kwe Hu menyapa padanya di pekarangan depan, sedang Bu-si Hengte tampak longak-longok di samping sana.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, iapun mendekati Kwe Hu dan bertanya : "Kau mencari aku?"
"Ya," sahut Kwe Hu tersenyum manis, "marilah kita jalan2 keluar, aku ingin tanya kau apa yang kau lakukan selama beberapa tahun ini."
Nyo Ko menjadi berduka mendengar orang menyinggung pengalamannya selama ini, ia pikir pengalamannya selama ini sungguh terlalu banyak untuk diceritakan pula apa yang terjadi itu mana bisa diceritakan padamu ?
Begitulah, Nyo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar, waktu Nyo Ko melirik, ia lihat Bo-si Hengte terus mengikuti dari jauh. Kwe Hu tahu, namun kedua anak muda itu tak digubrisnya, sebaliknya ia mencerocos menanyai Nyo Ko.
Dasar Nyo Ko memang pintar bicara, ia sengaja obrol segala apa yang tak penting, ia bum-bu2i pula hingga Kwe Hu dibikin senang dan ketawa ter-kikih2.
Dengan pelahan akhirnya mereka berdua sampai di bawah satu pohon Liu, tiba2 terdengar me-ringkiknya kuda, seekor kuda buduk kurus mendekati Nyo Ko sambil menggosok2 moncongnya pada tubuh pemuda ini, tampaknya kasih sayang. sekali antara mereka.
Melihat kuda sejelek ini, tiba2 Bu-si Hengte ketawa ter-bahak2 sambil mendekati Kwe Hu dan Nyo Ko.
"Nyo-heng," demikian Siu-bun berkata lebih dulu, "kuda mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung kau dapat memperolehnya. Bilakah kau pun mencarikan seekor untuk aku."
"Kuda ini datang dari negeri Langka, mana mampu kau membelinya?" sela Bu Tun-si berlagak sungguh-sungguh.
Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa Kwe Hu memandang Nyo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek itu, ia lihat ke-dua2nya sama2 kotor dan dekil, ia tertawa geli juga.
Namun Nyo Ko tak marah, sebaliknya ia pua bergelak ketawa.
"Haha, kudaku jelek, orangnya pun jelek, sesungguhnya memang jodoh yang setimpal," demikian katanya, "Dan binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya bagus luar biasa?"
"Kuda kami sesungguhnya tidak banyak lebih bagus dari kudamu yang buduk ini," sahut Siu-bun. "Tetapi kuda merah Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika sungguh2. Dahulu kau pernah tinggal di Tho-hoa-to, tentu kau sudah melihatnya."
"O, kiranya Kwe-pepek telah memberikan kuda merahnya kepada gadisnya," sahut Nyo Ko.
Sembari bicara mereka berempat terus berjalan.
"He, lihat, ibuku hendak pergi memberi pelajaran Pang-hoat (ilmu permainan pentung) lagi," tiba2 Kwe Hu berkata sembari tunjuk ke arah barat.
Waktu Nyo Ko menoleh, ia lihat Ui Yong bersama seorang pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke lembah gunung, tangan mereka sama2 membawa sebatang pentung.
"Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah sekian lamanya ia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum bisa," ujar Bu Siu-bun.
Mendengar kata2 "Pak-kau-pang-hoat", seketika Nyo Ko terkesiap hatinya, cuma lahirnya sedikitpun ia tidak unjuk sesuatu tanda, ia malah berpaling ke jurusan lain pura2 sedang menikmati pemandangan alam yang indah.
"Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang yang hebat", demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi. "Kata ibuku, Pang-hoat ini luar biasa bagus-nya dan adalah permainan yang paling lihay dalam hal senjata di seluruh jagat ini, dengan sendirinya kepandaian sehebat ini tak bisa dipelajari dalam sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau bilang dia goblok, memangnya kau sendiri pintar?"
Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir.
"Sayang kecuali Pangcu dari Kay-pang, Pang-hoat ini tidak diturunkan lagi kepada orang lain," ujar Bu Tun-si.
"Kelak kalau kau menjadi Pangcu dari Kay-pang, dengan sendirinya Loh-tianglo akan ajarkan padamu," sahut Kwe Hu. "Pang-hoat ini ayahku saja tak bisa, rasanya kaupun tak perlu menyesal."
"Dengan macam ku ini mana bisa menjadi Pangcu Kay-pang?" kata Tun-si "Hu-moay, coba katakan, mengapa Subo bisa pilih Loh-tianglo sebagai calon penggantinya?"
"Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku hanya namanya saja Pangcu, padahal segala urusan Kay-pang baik besar atau kecil seluruhnya diserahkan pada Loh-tianglo," sahut Kwe Hu. "Begitu banyak urusan Kay-pang yang tetek bengek, asal dengar saja ibuku sudah merasa pusing, maka dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang menjadi Pangcu saja sekalian ia tunggu nanti kalau Loh-tianglo sudah paham mempelajari Pak-kau-pang-hoat, lalu jabatan Pangcu itupun akan diserahkannya secara resmi."
"Hu-moay," kata Siu-bun lagi, "bagaimanakah macamnya Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah melihat belum?"
"Belum pernah," sahut Kvve Hu. Tetapi segera ia bilang lagi: "Eh, pernah."
Habis ini ia jemput sebatang kayu, lalu ia pukul pelahan ke pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan tertawa: "Nah, begini!"
Keruan saja Siau-bun berjingkrak, "Bagus, kau anggap aku sebagai anjing, ya?" teriaknya, berbareng ia pura2 hendak jamberet si gadis.
Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus diudak oleh Siu-bun. Dan sesudah berputar, kedua orang lalu kembali lagi ketempat semula.
"Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, aku mempunyai suatu gagasan sekarang," dengan tertawa Kwe Hu mengatakan.
"Coba katakan," ujar Siu-bun.
"Kita pergi mengintip, coba itu Pak-kau-pang-hoat sebenarnya apa macamnya," Kwe Hu menerangkan.
Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya Tun-si geleng2 kepala dan Nyo Ko tak memberi suara.
"Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu akan didamperat habis2an," kata Tun-si.
"Kau memang penakut, kita hanya melihat saja, toh tidak mencuri belajar," debat Kwe Hu, "Lagipula, iimu silat yang begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip begitu saja lantas bisa?"
Karena di-olok2, Tun-si hanya menyengir saja dan tak bisa menjawab.
"Kemarin bukankah kita juga mengintip di kamar baca dan ibuku mendamperat kau tidak ?" Kwe Hu menambahi pula, "Memang nyalimu terlalu kecil seperti tikus, Siao Bu-koko, mari kita berdua pergi."
"Baik, baik, kau yang benar, aku ikut," seru Tun-si.
"Emangnya, ilmu silat kelas satu dari jagat ini kau tak ingin melihatnya?" dengan tertawa Kwe Hu mengomel lagi.
Mereka bertiga memang sudah lama kagumi Pak-kau-pang-hoat yang lihay, cuma macamnya apa, selamanya belum pernah lihat, Pernah Kwe Cing ceritakan pada mereka tentang kejadian dulu dimana Ui Yong dengan Pak-kau-pang-hoat menaklukkan para kesatria dari Kay-pang hingga berhasil merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin ketiga muda-mudi ini sangat terpesona.
Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip, meski di mulut Tun-si tak setuju, padahal dalam hati seribu kali kepingin, Cuma pemuda ini rada licin, sebelumnya ia sengaja tumpahkan tanggung jawab atas diri orang, supaya bila konangan Ui Yong takkan salahkan dia.
"Nyo-toako, marilah kaupun ikut bersama kami." demikian Kwe Hu berkata lagi.
Tetapi Nyo Ko pura2 memandang jauh se-akan2 sedang memikirkan sesuata, apa yang dikatakan si gadis seperti tak didengarnya Waktu Kwe Hu mengulangi tanya lagi barulah Nyo Ko menoIeh.
"Apa... apa? Ikut? Ke mana?" demikian ia tanya pura2 tak mengerti.
"Tak usah kau tanya, asal ikut saja," sahut Kwe Hu.
"Hu-moay, buat apa dia ikut?" tiba2 Tun-si mendadak. "Toh dia tak akan mengerti, ia ketolol-tololan begini, kalau sampai menerbitkan suara, bukankah akan konangan Subo nanti?"
"Jangan kau kuatir, biar aku jaga dia," ujar Kwe Hu. "Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku dan Nyo-toako menyusul. Kalau empat orang bersama tentu lebih mudah menerbitkan suara,"
Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh jalan dahulu, tetapi mereka cukup kenal wataknya Kwe Hu yang tak bisa dibantah, jika sedikit bikin marah dia, tanggung selama belasan hari kau tak digubrisnya apabila tidak me-mohon2 dan me-minta2 hingga si gadis tertawa senang.
Karena itu, terpaksa Bu-si Hengte berjalan dahulu dengan kurang senang.
"Kita putar ke belakang pohon besar di tepi jalan itu, untuk sementara ibu tentu tak akan mengetahui," demikian Kwe Hu teriaki mereka.
Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka bertindak cepat ke depan.
Maka kini tinggal Kwe Hu dan Nyo Ko saja yang jalan berendeng, melihat baju pemuda ini compang-camping tak keruan, Kwe Hu berkata: "Nanti kuminta ibu membikinkan kau beberapa baju baru, sesudah kau berdandan, tentu kau tak akan begini jelek lagi,"
"Tidak, memang aku dilahirkan jelek, berdandanpun tak ada gunanya," sahut Nyo Ko geleng kepala.
Tiba2 Kvve Hu menghela napas pelahan.
"Sebab apa kau berkeluh-kesah?" tanya Nyo Ko.
"Hatiku sangat masgul, apa kau tak tahu," sahut si gadis.
Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya lentik lembut, betul2 nona yang ayu luar biasa, kalau melulu soal muka saja, dibanding Liok Bu-siang, Wanyen Peng dan Yali Yan, boleh dikatakan Kwe Hu terlebih cantik, tanpa tertahan hati si Nyo Ko rada terguncang.
"Aku tahu sebab apa hatimu kesal," katanya kemudian.
"Aneh, darimana kau tahu? Ah, kau membual belaka!" sahut Kwe Hu tertawa.
"Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan kau pungkir ya?" ujar Nyo Ko.
"Baik, coba kau terka," kata Kwe Hu lagi dengan tersenyum manis.
"Kenapa susah2 membade," kata Nyo Ko kemudian, "Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu, semuanya suka cari muka padamu, sebab itulah kau menjadi serba susah memilihnya."
Hati Kwe Hu ber-debar2 karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai.Nyata memang soal yang menjadikan kesal hatinya adalah diri kedua saudara Bu itu. Urusan ini ia sendiri tahu, ayah-bundanya tahu, Bu-si Hengte tahu, sampai kakek guru mereka Kwa Tin-ok juga tahu, cuma urusan ini semua merasa sukar diucapkan maka semuanya hanya berpikir dalam hati, selamanya tak pernah menyinggung barang sekecap urusan ini.
Kini mendadak kena dikatai Nyo Ko, tanpa terasa muka Kwe Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa senang pula dan macam2 perasaan lain.
"Ya, memang sukar dipilih," demikian sambung Nyo Ko lagi. "Yang satu pendiam, yang lain lincah, yang satu pandai main cinta, yang lain pintar cari muka, yang satu dapat kau percaya selama hidup, yang lain bisa menghilangkan kesalmu, Keduanya sama2 cakap, ilmu silat tinggi, sungguh masing2 ada kelebihan sendiri2, cuma sayang, aku seorang diri, mana bisa menikah dengan dua lelaki ?"
Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan ternganga, ketika mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba2 ia mengomelnya: "Ah, mulutmu selalu usil, tak mau gubris kau lagi."
Melihat air muka orang, sejak tadi Nyo Ko sudah tahu terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia menembang pelahan mengulangi kata2nya tadi yang terakhir.
Walaupun begitu, meski ia sudah ulangi beberapa kali, si gadis seperti sedang tenggelam pikirannya sendiri dan tak mendengarkan
"Nyo-toako," katanya kemudian lewat sejenak, "menurut kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko yang baik?"
"Haha, kalau menurut aku, ke-dua2nya tidak baik semua," sahut Nyo Ko tiba-tiba.
"Sebab apa?" Kwe Hu tercengang.
"Ya, sebab kalau mereka baik, lalu aku Nyo Ko apa ada harapan?" ujar Nyo Ko dengan tertawa.
Nyata karena si Nyo Ko sudah biasa menggoda Liok Bu-siang sepanjang jalan, padahal dalam hatinya sedikitpun tak punya pikiran serong, kini dalam keadaan berkdakar dengan Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong, kelepasan mulut.
Keruan seketika Kwe Hu tertegun, ia adalah gadis aleman yang biasanya sangat dimanjakan siapapun tak ada yang berani berkata sesuatu yang bersifat kotor kepadanya, maka iapun tidak tahu harus marah atau tidak oleh apa yang dikatakan Nyo Ko tadi, tapi ia lantas tarik muka dan menyahut: "Jika kau tak mau bilang, boleh kau tutup mulut, siapa ingin bergurau dengan kau ? Hayo, lekas kita ke sana.!"
Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu entengi tubuh dan berlari ke lereng gunung sana melalui jalan kecil.
Karena "kebentur batu", Nyo Ko menjadi serba kikuk, ia pikir: "Buat apa aku menyelip di antara mereka bertiga ? Lebih baik aku pergi yang lain saja !"
Maka ia putar tubuh dan berjalan pelahan ke arah lain, dalam hati ia berpikir pula: "Bu-si Heng-te boleh dikatakan memandang nona Kwe se-olah2 bidadari saja dan kuatir kalau si gadis tak mau jadi isterinya. Padahal kalau betul2 sudah menikah dan sepanjang hari harus temani seorang perempuan yang begini bandel dan manja, akhirnya pasti akan lebih banyak susah daripada senangnya. Ha,.mereka sungguh orang tolol, betul2 menggelikan",
BegituIah diam2 Nyo Ko tertawai orang, padahal ia tak tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh ke dalam jaring asmara, maka sukar sekali untuk menarik diri, sekalipun dia orang pandai atau nabi juga sukar memecahkan godaan demikian ini.
Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi, ia menyangka Nyo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf padanya, siapa duga sesudah ditunggu dan tunggu lagi masih belum kelihatan bayangan si Nyo Ko, tiba2 ia berpikir lain: "Ah, orang ini tak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak dapat menyandak aku."
Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi tiba2 dilihatnya Nyo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan saja ia merasa heran.
"He, kenapa kau tak susul aku?" tanyanya sambil berlari ke depan Nyo Ko.
"Kwe-kohnio, harap kau sampaikan ayah-bundamu, bilangkan aku sudah pergi," sahut Nyo Ko.
"Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi ?" tanya Kwe Hu terkejut.
"Tak apa2, memangnya aku datang tidak untuk apa2, maka perginya juga tiada apa2." sahut Nyo Ko adem.
Sebenarnya Kwe Hu suka ramai, meski dalam hati tidak pandang hormat pada Nyo Ko, cuma ia merasa pemuda ini pandai berkelakar, dibandingkan Bu-si Hengte terasa ada hal baru yang menarik, maka sesungguhnya ia tidak ingin orang pergi begitu saja.
Maka ia berkata, "sudah sekian lamanya kita tak berjumpa, masih banyak yang ingin kutanyakan. Lagi pula, malam ini akan diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap penjuru tidak sedikit Einghiong-Hohan (orang gagah dan para kesatria) yang datang berkumpul, masakah kau tak ingin menambah pengalamanmu?"
"Aku toh bukan Enghiong, kalau ikut hadir, apa tidak akan menjadi buah tertawaan para Eng-hiong yang sungguhan itu?" sahut Nyo Ko tertawa.
"ltupun betul," kata Kwe Hu. Dan sesudah merenung sebentar, kemudian ia sambung lagi : "Ya, baiknya di rumah Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat, kau boleh ikut empek Kasir dan para pengurus rumah makan minum bersama, bukankah sangat baik !"
Gusar sekali Nyo Ko oleh kata2 orang, "Bagus, kau anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan saja!" demikian pikirnya dongkol.

Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi, tetapi kini ia malah balik pikiran, ia justru ingin lakukan sesuatu untuk bikin malu si gadis yang menyinggung perasaannya ini.

Padahal Kwe Hu sejak kecil sangat dimanjakan sama sekali tak kenal akan pergaulan, beberapa kata2nya itupun tidak sengaja hendak melukai hatinya, siapa tahu watak Nyo Ko memang perasa, tanpa sengaja membikin marah padanya.
Sebaliknya melihat Nyo Ko sudah berubah pikiran, Kwe Hu menjadi senang.

"Marilah, lekas, jangan terlambat kalau ibu datang lebih dulu, tentu tak gampang lagi hendak mengintip," katanya kemudian dengan tertawa.

Segera iapun mendahului lari lagi, sedang Nyo Ko mengikuti dari belakang dengan pura2 bernapas empas-empis, langkahnya berat hingga kelihatannya sangat goblok.
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di tempat yang biasa Ui Yong mengajarkan Pang-hoat pada Loh-tianglo yang bernama Loh Yu-ka, sementara itu Bu-si Hengte kelihatan lagi Iongak-Iongok di atas pohon sana.
Sekali lompat Kwe Hu mendahului panjat ke atas pohon, lalu ia ulur tangannya buat tarik Nyo Ko.
Waktu tangan menyentuh tangan, Nyo Ko merasakan tangan si gadis begitu halus empuk se-akan2 tak bertulang, tanya terasa hatinya terguncang keras, Tetapi segera ia pikir pula: "Ah, sekalipun kau lebih cantik lagi juga tak dapat mencapai separohnya Kokoh-ku (maksudnya Siao-Iiong-li)."

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 53.5K 65
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.2M 21.6K 186
Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang s...
918K 99.4K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
57.4K 4.3K 20
Pak Joko beserta anak istrinya di temukan tewas gantung diri. Sejak kematian mereka, seluruh warga desa mendapat teror mengerikan. Sosok Pocong meny...