Kembalinya Pendekar Pemanah R...

Von JadeLiong

120K 1.7K 44

Sekuel kedua dari trilogi Pendekar Rajawali yang melegenda. Latar belakang kisah novel ini terjadi pada masa... Mehr

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35 (TAMAT)

Jilid 8

3.1K 46 0
Von JadeLiong

Luar biasa kejut para imam itu, dengan ter-sipu2 mereka melompat mundur, dan ketika pergelangan tangan mereka periksa, nyata "Yong-kok-hiat" yang kena ditutul tadi sedikit tanda merah, tetapi setetes darahpun tidak mengucur keluar, Sungguh hebat serangan Kwe Ceng ini, dia gunakan ujung pedang yang tajam itu untuk menusuk Hiat-to, tetapi sedikitpun tidak bikin lecet kulit daging, sungguh suatu kepandaian yang luar biasa.

Keruan para imam itu terperanjat, dalam hati mereka bisa membayangkan juga apabila Kwe Ceng mau tabas putus tangan mereka tadi sebenarnya bukan urusan sulit.

Kini sudah ada 5 kali 7 atau 35 pedang yang telah terlepas dari cekalan.
Imam yang berjenggot panjang tadi semakin gusar, ia tahu juga Kwe Ceng masih belum keluarkan seluruh kepandaiannya, tetapi untuk menjaga pamor Coan-cin-kau tidak merosot, berulang kali ia memberi perintah lagi, ia persempit pula lingkaran barisannya, ia pikir dengan kepungan 98 imam, secara desak-mendesak saja akan gencet mampus lawannya.
Sebaliknya hati Kwe Ceng menjadi gemas juga, batinnya : "Para To-heng ini sungguh tidak kenal baik dan jelek, agaknya terpaksa aku harus hajar mereka supaya kapok."
Tanpa ayal lagi segera ia mulai buka serangan baru, dengan Ginkang yang lihay ia menyusur kesana dan memutar kemari, hanya sekejap saja barisan bintang para imam itu sudah tampak rada kacau.
Melihat gelagat jelek, lekas2 imam jenggot panjang tadi memberi perintah agar kambrat2nya berlaku tenang dan tetap jaga rapat kedudukan barisan mereka, ia insyaf apabila sampai ikut Kwe Ceng berlari, maka akhirnya barisan mereka pasti akan kocar-kacir dipatahkan. Tetapi demi mereka berdiri tenang tak bergerak, Kwe Ceng sendiri jadi gagal usahanya.
"To-heng ini (maksudnya imam jenggot panjang) sangat paham akan rahasia barisannya, nyata dengan cepat ia bisa ambil tindakan," demikian diam2 Kwe Ceng membatin. "Biarlah aku berteriak beberapa kali lagi, coba ada suara sahutan dari Khu-totiang atau tidak"
Selagi ia mendongak hendak buka mulut, sekilas tertampak olehnya pada pojok kuil yang megah di atas gunung sana lapat2 ada berkelebatnya sinar putih, agaknya seperti ada orang sedang bertempur dengan senjata tajam, hanya sayang karena jaraknya terlalu jauh, maka gerak tubuh orangnya tidak jelas, lebih2 suara beradunya senjata tidak bisa kedengaran.
Hati Kwe Ceng tergerak "Siapakah yang bernyali begitu besar, berani dia ngacau ke Tiong-yang-kiong ? Rupanya kejadian malam ini ada sesuatu yang mencurigakan"
Karena itu, ia ingin lekas memburu ke kuil di atas gunung untuk melihat apa yang terjadi, cuma para imam masih terus merintanginya dengan mati-matian.Akhirnya Kwe Ceng menjadi tak sabar, tiba2 tangan kirinya memukul dengan gerak tipu "kian-liong-cay-thian" (melihat naga di sawah), sedang tangan kanan dengan tipu pukulan "kong-liong-yu-hwe" (naga pembawa sial), sekali serang ia keluarkan ilmu kepandaiannya hantam kanan-kiri dengan kedua tangannya.

Karena serangan kanan-kiri ini, maka barisan bintang raksasa itu terpaksa membagi 49 orang buat menahan serangan dari kiri dan 49 orang lainnya menahan hantaman dari sebelah kanan.

Diluar dugaan, belum penuh gerak serangan Kwe Ceng tadi dilontarkan, ditengah jalan tiba2 berubah, gerak tipu "kian-liong-tjay-thian" mendadak berubah menjadi "kong-liong-yu-hwe" dan sekaligus Kwe Ceng gerakkan kedua tangan dengan tipu pukulan Kian-liong-cay-dian dan Kong-liong-yu-hwe kekanan dan kiri lalu diputar balik secara berlawanan sebaliknya.
Sebenarnya ilmu pukulan, dari kanan-kiri, kedua tangan sekaligus mengeluarkan tipu serangan yang berlainan, bahkan ditengah jalan tipu serangan itu bisa berubah, sungguh orang tidak pernah dengar atau menyaksikannya (dari mana Kwe Ceng memperoleh ajaran ilmu pukulan kanan-kiri dengan serangan yang berlainan, pada kesempatan lain akan diceritakan tersendiri).
Padahal barisan Pak-tau-tin besar sebelah kiri sedang keluarkan tenaga buat menahan tipu "kian-liong-cay-thian" dan barisan sebelah kanan menangkis tipu "kong-liong-yu-hwe", karena perubahan yang terbalik ini, maka tertampaklah bayangan Kwe Ceng berkelebat, tahu2 dia telah meloncat keluar dari celah2 himpitan kedua barisan besar itu, sebaliknya masing2 pihak dari ke-49 imam itu karena tidak pernah menyangka akan tindakan lawan itu, keruan lantas terdengar suara gedebukan yang ramai, kedua barisan itu telah saling tumbuk dan saling seruduk, banyak pedang yang patah dan tangan terluka, ada pula yang muka babak belur dan hidung mancur, beberapa puluh orang telah menderita luka semua.
Imam berjenggot panjang tadi meski sempat hindarkan diri lebih cepat, namun tidak urung ia ikut kelabakan juga, saking gemasnya, segera ia kerahkan seluruh barisannya terus mengudak pula. Tetapi karena amarahnya ini justru telah melanggar pantangan ilmu silat dari golongan Coan-cin-kau yang mengutamakan ketenangan sementara itu Kwe Ceng berlari cepat di depan dan dari belakang ke-98 imam itu mengudak dengan kencang.
Tatkala sampai ditepi sebuah kolam besar, Kwe Ceng lihat di depan hanya air belaka, namun ia tidak kurang akal, mendadak ia lemparkan pedang rampasannya lurus kepermukaan air.
Meski pedang ini terbuat dari baja, namun kekuatan yang Kwe Ceng gunakan begitu tepat, maka batang pedang ini me-loncat2 terapung di atas air beberapa kali Kesempatan inilah digunakan Kwe Ceng dengan baik, ia melayang ke tengah kolam, dengan kaki kanan ia tutul pelahan di atas batang pedang, Pada saat pedang itu tenggelam kedalam kolam, namun Kwe Ceng sudah pinjam tenaga tutulan tadi untuk melompat sampai di seberang.
Sebaliknya para imam itu yang sial, mereka sedang mengudak dengan kencangnya dan tak keburu mengerem lagi, maka terdengarlah suara "plang-plung" yang ramai beberapa puluh kali, nyata ada 40-50 orang yang telah kecemplung ke dalam kolam. Sedang beberapa puluh yang di belakang menginjak punggung imam2 yang depan, karena inilah mereka bisa berhenti ditepi kolam.

Sedang imam2 yang kecemplung tadi karena tak bisa berenang, banyak yang megap2 dan ber-teriak-teriak minta tolong, cepat imam2 lainnya yang bisa berenang memberi pertolongan dan dengan sendirinya tidak sempat buat menguber Kwe Ceng lagi.

Diwaktu para imam ini tunggang langgang, tiba2 Kwe Ceng dengar suara genta yang ditabuh keras berkumandang dari Tiong-yang-kiong, itu istana kaum Coan-cin-kau. Suara genta itu dibunyikan secara titir, keras dan kerap, agaknya seperti tanda bahaya.
Waktu itu Kwe Ceng baru lepaskan diri dari rintangan para imam dan lagi berlari menuju Tiong-yang-kiong secepatnya, ketika ia dengar suara genta rada aneh, ia telah merandek dan mendongak maka terlihatlah olehnya di belakang kuil suci itu ada sinar api yang ber-kobar2 menjulang tinggi.
Tentu saja Kwe Ceng kaget, pikirnya : "Kiranya hari ini memang benar ada orang hendak gempur Coan-cin-kau, aku harus lekas pergi menolongnya." Dalam pada itu ia dengar suara teriakan para imam tadi telah menyusul dari belakang lagi.
Kini Kwe Ceng baru mengerti tentunya imam2 ini telah salah sangka dirinya adalah musuhnya, kuil mereka sedang terancam bahaya, sudah tentu mereka lebih kalap dan hendak adu jiwa dengan dirinya, Namun iapun tidak urus mereka lagi melainkan dengan cepat ia lari terus ke atas.
Dengan Ginkang atau ilmu entengi tubuh yang Kwe Ceng dapat belajar juga dari Coan-cin-kau, yakni ajaran Ma Giok, maka tidak sampai waktu satu tanakan nasi ia sudah tiba sampai di depan Tiong-yang-kiong, ia lihat api sudah berkobar dan menjalar hebat, Tetapi aneh, ratusan To-su atau imam dari Coan-cin-kau yang masing2 memiliki ilmu silat tinggi itu ternyata tiada satu-pun yang keluar buat memadamkan api.
Diam2 Kwe Ceng merasa kuatir. Waktu ia mengamati lagi, kiranya api menjalar dari bagian belakang istana yang megah itu terbukti bagian depannya masih utuh.
Cepat ia melintasi pagar tembok yang tinggi itu dan melompat masuk pelataran depan kuil itu, maka terlihatlah olehnya dipendopo sana sudah ber-jubel2 orang yang lagi saling hantam dengan mati-matian.
Waktu Kwe Ceng menegasi pula, ia lihat ada 49 orang imam berjubah kuning yang tersusun menjadi tujuh barisan Pak-tau-tin sedang menandingi serangan 60 atau 70 orang musuh. Para musuh pendatang itu ada yang tinggi ada yang pendek, gemuk atau kurus, seketikapun tak dapat dilihat dengan terang.
Hanya kepandaian silat dan golongan para pendatang ini masing2 berlainan, ada yang memakai senjata dan ada yang menggunakan tangan kosong, mereka terus merangsak dengan penuh tenaga.
Sebenarnya tidak lemah ilmu silat para penyerang ini pula jumlahnya lebih banyak, maka para imam Coan-cin-kau sudah mulai terdesak di bawah angin, cuma lawan mereka menyerang dan menghantam secara perseorangan, sebaliknya ke-tujuh barisan bintang para imam itu bisa bahu-membahu dan bantu membantu, mereka menjaga diri dengan sangat rapat, Meski para musuh sangat lihay tak mampu mendesak para imam itu barang selangkahpun.
Melihat pertarungan besar2an ini, Kwe Ceng menjadi heran, Selagi ia hendak membentak dan tanya, tiba2 ia dengar di dalam istana kuil itu ada suara samberan angin yang men-deru2, ternyata di dalam sana masih ada rombongan lain lagi yang sedang bertempur.
Dari angin pukulan yang kedengaran itu, agaknya orang yang bergebrak di dalam istana itu ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada para penyerang yang berada di luar.
Lekas2 Kwe Ceng memburu maju, ia mengegos dan menerobos masuk, ia berkelit ke kiri terus menyusup ke kanan, tahu2 ia sudah menyelip masuk melalui Pak-tau-tin para imam, Tentu saja imam2 Coan-cin-kau sangat kaget, berbareng mereka saling memperingatkan kawannya, tapi karena musuh dari luar terlalu hebat tekanannya, maka mereka tidak sanggup membagi sebagian untuk mengudak Kwe Ceng.
Di dalam istana itu sebenarnya terang benderang oleh belasan lilin yang besar, tatkala itu api yang berkobar dari ruangan belakang sudah menjalar ke depan, dari pancaran sinar api yang berkobar itu bercampurkan asap tebal yang menghembus terbawa angin, sinar lilin di dalam ruangan hanya kelihatan remang2 saja.
Sementara Kwe Ceng lihat di dalam istana itu ber-deret2 tujuh imam duduk sila di atas ka-suran yang bundar, telapak tangan kiri mereka saling tempel, hanya tangan kanan mereka yang dikeluarkan untuk menahan kepungan belasan orang musuh.
Begitu datang Kwe Ceng tidak periksa pihak musuh melainkan terus pandang dulu pada ketujuh imam Coan-cin-kau, ia lihat di antara tujuh orang itu yang tiga sudah berumur dan yang empat masih muda, yang tua itu masing2 ialah Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, sedang empat imam yang muda hanya seorang saja yang dia kenal, yakni In Ci-peng, murid Khu Ju-ki.
Ketujuh imam inipun memasang jaring2 barisan Pak-tau-tin, mereka berduduk saja tanpa bergerak Diantara tujuh imam ini ada satu di antaranya yang kepalanya menunduk dan sedikit membungkuk hingga mukanya tidak tertam-pak jelas.
Demi nampak Ma Giok bertujuh berada dalam keadaan terancam, seketika darah Kwe Ceng jadi panas, iapun tidak peduli lagi siapa dan darimana adanya musuh itu, dengan sekali bentakan yang menggeledek segera ia mendamperat : "Kawanan bangsat yang kurangajar, berani kalian main gila ke Tiong-yang-kiong sini ?"Berbareng itu kedua tangan mengulur, sekaligus ia dapat mencengkeram punggung dua orang musuh, selagi ia bermaksud membanting sasaran pertama ini, tak terduga kedua orang ini ternyata tergolong jagoan tinggi, walaupun punggung mereka kena dijamberet, namun kedua kaki mereka ternyata masih terpaku di lantai dan tidak kena dibanting.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirannya: "Darimanakah mendadak bisa datang lawan keras begini banyak ? Pantas kalau Coan-cin-kau hari ini harus menderita kekalahan."
Sambil berpikir iapun sembari kerjakan serangan lain, mendadak ia kendurkan jamberetan-nya tadi, menyusul kakinya lantas melayang, ia serampang kaki kedua orang lawannya.
Pada waktu itu kedua lawannya sedang mengeluarkan kepandaian "Cian-kin-tui" atau tindihan seberat ribuan kati, yakni semacam ilmu yang bikin tubuhnya menjadi berat untuk melawan tarikan pwe Ceng tadi, sama sekali tidak mereka duga bahwa Kwe Ceng bisa ubah serangannya secepat itu.
Tanpa ampun lagi mereka kena diserampang hingga tubuh mereka mencelat keluar pintu.
Tentu saja pihak penyerang itu terkejut tatkala mengetahui pihak lawan kedatangan bala bantuan, Akan tetapi karena mereka yakin pasti akan dipihak pemenang, maka datangnya Kwe Ceng tidak mereka perhatikan, hanya ada dua orang yang segera maju dan membentak "Siapa kau ?"
Namun Kwe Ceng tidak menggubris, tanpa berkata ia sambut kedua orang ini dengan gablokan kedua telapak tangannya secara susul-menyusul.
Sungguh tidak pernah diduga kedua orang itu, belum mereka mendekat atau mendadak tenaga pukulan Kwe Ceng sudah bikin tergetar mereka hingga tak bisa berdiri tegak, tanpa ampun lagi dupiali suara "bluk" terdengar, punggung mereka tertumpuk pada dinding tembok dengan keras hingga darah segar muncrat keluar dari mulut mereka.
Nampak empat kawan mereka roboh beruntun-runtun, keruan para musuh yang lain menjadi jeri, seketika tiada lagi yang berani maju buat mencegat.
Di lain pihak Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it segera mengenali Kwe Ceng dalam hati mereka menjadi girang luar biasa, "Orang ini datang, Coan-cin-kau kami tidak perlu kuatir lagi!" demikian kata mereka dalam hati.
Sementara Kwe Ceng sama sekali tidak pandang sebelah mata pada para musuh itu, bahkan ia lantas berlutut ke hadapan Ma Giok buat memberi hormat tanpa gubris musuh2 yang lain. "Tecu Kwe Ceng memberi hormati" demikian ia berkata.
Tatkala itu rambut alis Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sudah putih karena usia mereka yang sudah menanjak, mereka hanya memanggut sambil bersenyum dan angkat tangan buat balas hormat.
"Awas, Kwe-heng!" tiba2 In Ci-peng berseru memperingatkan Kwe Ceng.

Dalam pada itu, Kwe Ceng sudah merasa di belakang kepalanya ada mendesisnya angin, ia tahu ada musuh melakukan pembokongan, tetapi iapun tidak menoleh atau berpaling, dengan tangan menahan di lantai, tubuhnya lantas terangkat ke atas dan diwaktu turunnya, kedua lututnya dengan tepat menindih di atas punggung kedua pembokong ini Dengan demikian Kwe Ceng masih tetap berlutut, hanya di bawah lututnya telah bertambah dengan dua orang pengganjel.

Kiranya dengan secara tepat dan hebat sekali Kwe Ceng telah gunakan lututnya untuk menumbuk jalan darah penyerang gelap tadi, keruan dengan lemas kedua orang itu terkulai ke lantai dan dipakai sebagai kasur pengganjel Kwe Ceng.
Ma Giok tersenyum melihat kejadian ini, katanya: "Bangunlah, Ceng-ji, belasan tahun tak berjumpa, rupanya kepandaianmu sudah jauh lebih maju!"
"Cara bagaimana harus selesaikan beberapa orang ini, harap Totiang memberi petunjuk," kata Kwe Ceng sambil berdiri.
Tetapi sebelum Ma Giok menjawab, tiba2 Kwe Ceng mendengar di belakangnya ada dua orang secara berbareng bersuara tertawa "haha", suara tertawaan ini sangat aneh sekali, kalau yang satu tajam menusuk telinga, adalah yang lain sebaliknya nyaring menarik. Cepat Kwe Ceng menoleh, maka tertampaklah olehnya di belakangnya sudah berdiri dua orang.
Kedua orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang berjubah merah, kepalanya memakai kopiah berlapis emas, wajahnya kurus, Sedang yang satu lagi memakai baju kuning, tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh dan tampan, nyata sekali seorang putera bangsawan.
Kedua orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan tidak banyak bicara, terang sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali berbeda dengan para musuh yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh yang lain.
Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh ini, dengan membungkuk badan ia lantas memberi hormat dahulu.
"Siapakah kalian berdua? Ada keperluan apakah datang ke sini?" demikian ia menegur.
"Dan kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari ?" dengan tertawa putera bangsawan tadi balas bertanya.
"Tayhe (aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng, adalah murid beberapa guru yang berada di sini ini," sahut Kwe Ceng tetap dengan ramah.
"Sungguh tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata masih ada tokoh seperti kau ini," ujar si putera bangsawan itu dengan tertawa.
Meski umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan, namun cara mengucapkan kata2nya ternyata berlagak seperti orang tua saja, seperti tidak pandang sebelah mata pada Kwe Ceng.
Sebenarnya Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan anak murid Coan-cin-kau, tetapi karena kata2 orang yang pandang rendah padanya, mau-tak-mau rada panas juga hatinya.
Memangnya iapun tidak pandai bicara, maka ia tidak ingin banyak pmong, ia hanya menjawab singkat saja: "Kalian berdua ada permusuhan apakah dengan Coan-cin-kau ? (Mengapa perlu mengerahkan kekuatan begini banyak dan kobarkan api membakar kuil ini ?"
"Siapakah kau ini ? Berdasarkan apa kau berani jikut campur urusan ?" sahut Kui-kong-cu (putera bangsawan) itu dengan ketawa.
"Aku justru ingin ikut campur tahu," sahut Kwe Ceng ketus.

Dalam pada itu berkobarnya api semakin hebat dari telah menjalar lebih dekat lagi, tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu pasti akan terbakar menjadi tumpukan puing.

Tiba2 putera bangsawan itu geraki kipas lempitnya, dikembangkan terus ditutup lagi, maka sekilas tertampaklah pada kertas kipasnya yang putih itu terlukis setangkai bunga Bo-tan yang indah.
"Kawan2 ini aku yang bawa kemari," kemudian ia berkata dengan ketawa sambil melangkah maju, "asal kau mampu menerima tiga puluh gebrakan dari aku, segera aku mengampuni kawanan imam hidung kerbau ini!"
Mendengar kata2 orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun sungkan bicara lebih banyak lagi, tiba2 ia ulur tangan kanannya, sekali bergerak ia pegang kipas lempit orang terus ditarik dengan keras.
Dengan tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak melepaskan kipasnya, maka seluruh tubuhnya pasti akan ikut terseret.
Diluar dugaan, begitu Kwe Ceng membetot badan Kui-kong-tju itu hanya sempoyongan sedikit saja, sedang kipasnya masih belum terlepas dari cekalannya.
Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirnya: "Orang ini masih begini muda, namun sudah sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat ini ternyata masih ada orang pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum pernah mendengarnya ?"
Oleh karena pikiran itu, segera pula ia tambah tenaga tarikannya terus menjambret lagi sambil membentak : "Lepas !"
Se-konyong2 muka putera bangsawan itu bersemu guram, tetapi hanya sekilas saja lantas lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang lagi menahan tenaga tarikannya dengan Lwekang yang tinggi, jika pada saat ini juga ia tambahi tenaga tarikan-nya, asal muka orang tiga kali mengunjuk semu guram, maka dapat dipastikan jerohannya (isi perut) akan terluka parah.
Akan tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi, ia pikir orang ini bisa berlatih diri sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal gampang, maka ia tidak ingin melukai orang dengan tenaga berat, ia tersenyum dan mendadak lepaskan tangannya.
Meski Kwe Ceng sudah buka tangannya, tapi nyatanya kipas lempit itu masih terletak di telapak tangannya, pula tenaga Kui-kong-cu yang membetot kembali masih tetap besar, namun aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng ternyata telah dia salurkan dari kipas ke tangan lawan, meski putera bangsawan itu sudah merebut dengan sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan Kwe Ceng, dengan demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan tidak mundur, sungguhpun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh kemahirannya, tetapi satu sentipun belum sanggup ia tarik kepihaknya. Maka insaflah dia bahwa ilmu silat lawan masih jauh di atasnya, karena ingin memberi muka padanya, maka lawan tidak rebut kipasnya.
Mengingat akan ini, segera ia lepaskan tangannya terus melompat pergi, mukanya menjadi merah malu.
"Mohon tanya she dan nama tuan yang terhormat," katanya kemudian sambil membungkuk badan.
"Ah, nama Tjayhe tiada harganya disebut, cuma Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin yang berada di sini ini memang semuanya adalah guru Tjayhe yang berbudi," sahut Kwe Ceng.
Karena jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya setengah sangsi, ia pikir tadi pihaknya sudah gempur Coan-cin-chit-to (tujuh imam Coan-cin-kau) dan yang tertampak lihay hanya barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin mereka, jika bergebrak satu lawan satu, maka tiada satupun Tosu itu mampu menandingi dirinya, kenapa anak muridnya malah bisa begini lihay ?
Dalam sangsinya, kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi, sudah tentu yang tertampak olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang tiada bedanya dengan petani biasa saja.
Dan selagi ia hendak buka mulut pula mengucapkan beberapa kata2 halus untuk kemudian membawa begundalnya buat mundur teratur, tiba2 dari luar terdengar suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi), suara khim ini sangat lembut tetapi merdu, karena itu setiap orang yang mendengar sama tergetar hatinya.
Mendengar suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu itu kelihatan rada berubah. "llmu silatmu sungguh mengejutkan orang, aku merasa sangat kagum, sepuluh tahun lagi aku akan datang kembali minta petunjuk, karena masih ada urusan lain yang belum selesai, baiklah sekarang juga aku mohon diri," demikian katanya pada Kwe Ceng. Habis berkata, kembali ia memberi hormat pula,
"Sepuluh tahun kemudian tentu aku tunggu kau disini," sahut Kwe Ceng membalas hormat orang.
Sementara itu putera bangsawan itu sudah putar tubuh dan jalan keluar, tetapi baru sampai depan pintu, tiba2 ia menoleh dan berkata pula: "Urusanku dengan Coan-cin-kau hari ini aku terima mengaku kalah, hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari Coan-cin-kau janganlah ikut campur lagi atas urusan pribadiku."
Menurutt peraturan Kangouw, kalau seseorang sudah mengaku kalah dan terima menyerah, pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu kepandaian lagi, maka sebelum tiba hari yang dijanjikan meskipun saling pergok lagi di tengah jalan, sekali-kali tidak boleh saling labrak dulu.
Oleh karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab : "Ya, sudah tentu."
Maka tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak melangkah pergi pula.
Diluar dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya dengan suara keras: "Tidak perlu sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti pergi mencari kau."
Mendengar suara bentakan yang kuat hingga anak telinga tergetar se-akan2 pecah, hati putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu2 apa orang tadi belum mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia tak berani tinggal lebih lama lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat.
Sesudah memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot, paderi Tibet itu pun ikut pergi bersama kawan2nya yang lain.
Kwe Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari biasanya, hidung besar dan berewokan, rambut keriting serta mata dekuk, tampaknya seperti bukan orang dari negeri sendiri maka dalam hati ia tidak habis mengerti serta menaruh curiga, sementara ia dengar suara saling adunya senjata dan suara bentakan di ruangan depan sudah mulai berhenti juga, ia tahu tentu musuh sudah mundur pergi
Dalam pada itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada berdiri, disamping itu terdapat pula satu orang yang menggeletak terlentang di lantai, waktu Kwe Ceng maju melihatnya, ia kenal bukan lain dari Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari Coan-cin-kau.
Kiranya Ma Giok dan lain meski terancam oleh bahaya api, tapi mereka tetap duduk tenang tanpa bergerak sebabnya karena ingin melindungi kawan yang terluka ini.
Waktu Kwe Ceng memeriksanya, ia lihat muka Hek Tay-thong pucat seperti kertas, napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali menderita luka berat, Ketika Kwe Ceng buka jubah orang, ia menjadi lebih terkejut lagi, ia lihat di dada imam terdapat bekas lima jari tangan dengan terang sekali, warna bekas jari ini matang biru dan dekuk ke dalam daging.
"Di kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang mempunyai ilmu kepandaian semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di Tho-hoa-to dan semua kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?" demikian ia pikir, Maka segera ia berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau tutukan jari sakti, berulang dua kali ia tutuk bagian bawah bahu Hek Tay-thong.
Dua kali tutukan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka dan hilangkan racun pada luka Hek Tay-thong itu, namun dalam duabelas jam keadaan luka boleh dipercaya tidak bakal meluas dan memburuk,
Sementara itu api sudah makin hebat berkobarnya dan sukar ditolong lagi, lekas2 Khu Ju-ki angkat Hek Tay-thong. "Hayo, lekas keluar !" demikian ajaknya cepat.
"He, dimanakah anak yang aku bawa ? siapakah yang menahan dia? jangan sampai ia dimakan api!" tanya Kwe Ceng tiba-tiba.
Tadi Khu Ju-ki cs. sedang melawan musuh dengan segenap perhatian mereka, dengan sendirinya ia tidak tahu seluk-beluk urusan Nyo Ko yang dibawa kemari mereka menjadi bingung.
"Anak ? Anak siapa? Dimana dia?" demikian tanya mereka berbareng.
Dan sebelum Kwe Ceng menjawab, diantara sinar api yang ber-kobar2 itu, tiba2 ada berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil tahu2 telah melompat turun dari atas belandar rumah.
"Aku berada di sini, Kwe-pepek," demikianlah seru anak kecil itu dengan ketawa. Siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ?
Tentu saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang. "Kenapa kau bisa sembunyi di atas belandar rumah ?" lekas ia tanya.
"Tadi, waktu aku dengan ketujuh imam busuk itu..."
"Hus, kurangajar !" bentak Kwe Ceng memotong sebelum Nyo Ko meneruskan "Hayo, lekas memberi hormat kepada para Co-su-ya (kakek guru)."
Karena bentakan itu, Nyo Ko me-lelet2 lidah-nya, ia tak berani membantah, segera ia berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga untuk menjura.
Ketika sampai gilirannya harus menjura pada In Ci-peng, Nyo Ko lihat orang masih muda, maka lebih dulu ia berpaling menanya Kwe Ceng: "Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya juga ? Agaknya tidak perlu lagi aku menjura, ya ?"
"Dia ini In-supek (paman guru), lekas menjura," sahut Kwe Ceng.
Terpaksa Nyo Ko harus menjura lagi, sungguhpun dalam hati seribu kali tidak sudi.
Habis ini, Kwe Ceng lihat Nyo Ko lantas berdiri dan tidak menjura pula pada tiga imam setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak: "Ko-ji, kenapa kurangajar ? Hajo, menjura lagi!""Kalau harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tidak keburu lagi, nanti jangan Kwe-pepek salahkan aku," dengan tertawa Nyo Ko menjawab.
Kwe Ceng sudah kenal anak ini kelakuannya sangat aneh dan nakal, banyak pula tipu akalnya, Maka ia lantas tanya : "Soal apa yang tidak keburu lagi ?"
"ltu, di sana ada satu paman To-su diringkus orang dalam kamar, kalau tidak ditolong, mungkin akan terbakar mati oleh api," sahut Nyo Ko.
"Kamar yang mana? Lekas katakan !" tanya Kwe Ceng dengan cepat.
"Eeeh, nanti dulu, coba aku ingat2 dulu, ai, kenapa aku jadi lupa," demikian Nyo Ko menjawab dengan ketawa.
Tentu saja In Ci-peng menjadi gemas, ia melototi sekejap pada Nyo Ko, habis ini dengan langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur, ia dobrak pintu kamar, tapi tiada seorangpun yang tertampak, kembali ia berlari ke kamar murid angkatan ketiga yang biasa buat melatih, ketika ia tendang terpentang pintu kamar ini, ternyata seluruh kamar sudah penuh dengan asap yang tebal, remang2 kelihatan pada satu imam yang teringkus di tiang ranjang, mulutnya menganga dan sedang ber-teriak2 minta tolong dengan suara yang serak, mungkin saking lamanya ia men-jerit2.
Melihat keadaan sudah mendesak, cepat In Ci-peng cabut pedangnya, dengan sekali tabas, ia potong tali pengikat dan bebaskan imam itu dari ancaman maut.
Sementara itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Nyo Ko dan lain sudah selamatkan diri keluar kuil, mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan sedang menyaksikan mengamuknya jago merah yang men-jilat2 semakin hebat itu, oleh karena diatas gunung memang tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka tanpa berdaya mereka menyaksikan kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk achirnya menjadi tumpukan puing belaka.
Watak Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan kini menyaksikan kuil mereka yang bersejarah ini ditelan mentah2 oleh api, ia mengutuk tidak habisnya pada musuh yang mengobarkan api itu.
Selagi Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh yang datang itu dan kenapa turun tangan sejara keji begini, tiba2 ia lihat sebelah tangan In Ci-peng mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara gumpalan yang tebal.
Karena kepelepekan oleh asap tebal itu, imam yang dikempit In Ci-peng masih ter-batuk2 hingga kedua matanya mengucurkan air mata,tapi demi nampak Nyo Ko, dadanya hampir meledak saking gusarnya, tanpa pikir lagi segera ia ulur tangan terus menubruk bocah itu.
Akan tetapi perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh Nyo Ko, ketika imam itu menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi kebelakang Kwe Ceng.
Rupanya imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka dia telah mendorong dadanya dengan maksud kesampingkan orang agak lebih leluasa menangkap Nyo Ko, Siapa duga dorongannya itu laksana kena pada dinding saja, sedikitpun Kwe Ceng tidak bergerak
Karena itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tapi segera ia tuding Nyo Ko dan mencaci maki: "Anak jadah, berani kau pedayai To-ya (tuan imam), hampir aku terbakar mampus karena perbuatanmu !" demikian teriaknya murka.
"Ceng-kong, apa yang kau katakan ?" tiba2 Ong Ju-it membentaknya dari samping.
Kiranya Tosu atau imam yang kena "dikerjai" Nyo Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan bernama Ceng-kong, tadi ia beruntung bisa diselamatkan dari elmaut atas pertolongan In Ci-peng, dalam sengitnya begitu nampak Nyo Ko segera ia menubruk maju untuk adu jiwa, sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa para paman guru dan kakek gurunya juga berada disitu.
Kini mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah berlaku kurang sopan, keruan ia berkeringat dingin saking takutnya.
"Ya, Tecu patut mampus", katanya kemudian dengan tangan lurus ke bawah.
"Urusan apakah sebenarnya, katakan ?" bentak Ong Ju-it lagi.
"Semuanya karena Tecu sendiri yang tak becus, harap Cosuya memberi ampun," sahut Ceng-kong.
Karena jawaban yang lain daripada yang ditanya, Ong Ju-it mengkerut kening.
"Memangnya siapa yang bilang kau becus ? Aku hanya tanya ada urusan apakah sebenarnya?" ulangi Ong Ju-it.
"Tadi, Tecu diperintah Thio Ci-goan-Susiok menjaga di belakang, kemudian Thio-susiok membawa anak... anak..."
sebenarnya Ceng-kong hendak berkata "anak jadah," untung ia lantas ingat sedang berhadapan dengan Cosuya, maka tak berani ia keluarkan kata2 kotor, lekas ia ganti: "anak... anak kecil ini dan diserahkan padaku, ia bilang anak ini ikut naik gunung bersama musuh tetapi dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan mengawasinya, dan jangan sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu, Tecu lantas membawanya ke dalam kamar latihan di sebelah timur itu, Siapa duga, duduk tidak lama mendadak anak... anak kecil ini pakai tipu muslihat, katanya ingin kencing, dan minta aku lepaskan tali yang meringkus tangannya itu, Tecu tidak mau diakali, maka dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar kencing, Siapa tahu, bocah ini memang berhati jahat, habis kencing hingga bikin sebagian lantai basah kuyup, waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak dia dorong aku dengan keras."
Bercerita sampai disini, mendadak terdengar Nyo Ko ketawa ngikik, karuan Ceng-kong menjadi gusar.
"Anak... anak apa yang kau tertawakan ?" damperatnya dengan gemas.
Tetapi Nyo Ko hanya angkat kepala ke atas, pandang saja tidak ia menjawab : "Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau ?"
Sudah tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah2, ia hendak adu mulut dengan bocah ini kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya.
"Tak perlu kau ribut2 dengan anak kecil, lekas teruskan ceritamu," kata Ong Ju-it.
"Ya, ya," sahut Ceng-kong ketakutan, "Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar biasa. Pada waktu aku didorong jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup dengan air kencingnya itu dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia beberapa kali tamparan, tiba2 dengan cengar-cengir ia malah mendekati aku dan berkata : "Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu !"
Mendengar cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Nyo Ko yang masih kanak2 hingga kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa geli. Hanya Ong Ju-it yang mengkerut kening lagi, dalam hati ia damperat habis-habisan cucu-muridnya yang bikin malu di depan orang banyak ini.
"Mendengar kata2-nya itu, aku mengira dorongannya padaku tadi disebabkan tidak sengaja, maka akupun tidak menyalahkan dia lebih jauh," demikian Ceng-kong melanjutkan ceritanya, "Sementara itu ia mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu membangunkan aku, tapi kedua tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat apa-apa, tak tahunya, mendadak dia melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, ia menunggangi aku yang masih telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan keleherku dan menggigit tenggorokanku".
Bercerita sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong me-raba2 lehernya, agaknya masih terasa sakit oleh bekas gigitan tadi itu.
"Dengan sendirinya aku terperanjat," sambungnya lagi, "aku berusaha membaliki tubuh buat banting dia, siapa duga, ia menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia gigit mungkin jalan pernapasanku bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani berkutik, dengan jalan halus aku lantas memohon: "Sudahlah, tentu kau ingin aku lepaskan tali pengikatmu, bukan ?" ia angguk2 atas pertanyaanku ini, sebaliknya aku masih ragu-ragu, maka kembali ia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya sampai aku ber-teriak2.
Pikirku waktu itu: "Biarlah aku lepaskan talinya, asal dia tidak menggigit lagi, masakan satu anak kecil saja aku kalah ?" Maka aku lantas lepaskan tali pengikatnya, Tak terduga, begitu tangannya merdeka, segera ia cabut pedangku terus menodong ulu hatiku dan mengancam, bahkan senjata berbalik makan tuan, ia malah gunakan tali yang mengikat dia tadi untuk meringkus diriku pada tiang ranjang, ia mengiris sepotong kain bajuku pula dan menyumbat mulutku, belakangan kuil kita terbakar hendak lari aku tak dapat, ingin berteriak juga tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang menolong, tentu Tecu sudah terbakar hidup2 karena anak kecil ini?"Habis bercerita, dengan mata melotot ia pandang Nyo Ko dengan murka.
Sesudah mendengar penuturunnya, semua orang sebentar pandang Nyo Ko, saat lain memandang Ceng-kong pula, yang satu tubuhnya kurus kecil, sedang yang lain berperawakan tinggi besar, tetapi yang gede kena dikibuli hingga tak berdaya, saking gelinya, semua orang itu sama tertawa ter-bahak-bahak.
Ceng-kong menjadi bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Ceng-ji," kata Ma Giok kemudian dengan tertawa, "apakah ini puteramu? Agaknya dia telah lengkap menurunkan tabiat sang ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik."
"Bukan," sahut Kwe Ceng, "dia adalah putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku, Nyo Khong."
Ketika mendadak dengar nama Nyo Khong disebut, hati Khu Ju-ki terkesiap, Kemudian ia coba mengamat-amati Nyo Ko, betul juga ia lihat wajah bocah ini rada2 mirip dengan Nyo Khong.
Khu Ju-ki ada hubungan guru dan murid dengan Nyo Khong, walaupun kemudian Nyo Khong berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan serakah akan kemewahan, terima mengaku musuh sebagai bapak, namun bila Khu Ju-ki ingat semua itu, selalu ia merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak muridnya itu, hingga akibatnya Nyo Khong tersesat, maka seringkali dalam hati ia merasa menyesal. Kini demi mendengar Nyo Khong mempunyai keturunan tentu saja ia sangat girang, lekas2 ia bertanya lebih jelas.
Begitulah tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka sudah habis ditelan api, sebaliknya Ma Giok dan Khu Ju-ki mendengarkan penuturan Kwe Ceng tentang diri Nyo Ko dengan penuh perhatian.
"Ceng-ji, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini boleh dikatakan sudah jauh di atas tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri mengajar dia?" demikian kata Khu Ju-ki kemudian setelah mendengar bahwa Kwe Ceng sengaja membawa Nyo Ko ke Cong-lam-san buat belajar silat."
Hal ini akan kuterangkan kelak," sahut Kwe Ceng, "Hanya kedatangan Tecu sekarang telah banyak bikin ribut para To-heng, inilah, yang bikin hatiku terasa tidak enak sekali."
Habis ini ia lantas menuturkan pula tentang kesalahan paham sewaktu ia naik gunung tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang memasang jaring2 Pak-tau-tin buat mencegatnya.
Mendengar cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah.
"Sungguh tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar, kenapa kawan atau lawan tidak bisa mem-beda2kan," katanya, "Memangnya aku merasa heran kenapa barisan yang kita pasang begitu kuat di luar itu bisa begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang ke atas gunung, kita diserang dalam keadaan belum siap. Hm, kiranya dia telah kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin untuk merintangi kedatanganmu."
Semakin berkata, tertampak Khu Ju-ki semakin menjadi gusar.
"Mungkin itu disebabkan salah paham," ujar Kwe Ceng, "ketika berada di bawah gunung, tanpa sengaja Tecu telah tepuk hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan Totiang, mungkin inilah yang menimbulkan salah paham." mendengar keterangan ini, air muka Khu Ju-ki berubah menjadi tenang kembali.
"O, kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa menyalahkan mereka," ujarnya, "Memangnya begitu kebetulan, sebab musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong kita hari ini justru diketahui memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu yang kau katakan itu."
"Siapakah sebenarnya orang2 yang datang tadi? Kenapa begitu besar nyali mereka?" tanya Kwe Ceng.
"Cerita ini terlalu panjang, Ceng-ji," sahut Khu Ju-ki dengan menghela napas, "lni, biar aku tunjukan sesuatu benda dulu padamu."
Habis ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung.
"Ko-ji, kau tinggal disini, jangan sembarang pergi," pesan Kwe Ceng pada Nyo Ko, Lalu ia ikut di belakang Kho Ju-ki.
Agak lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas satu puncak yang tinggi, Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu pegunungan yang besar, "Disini juga terukir tulisan2," katanya.
Waktu itu hari sudah magrib, di belakang batu besar ini terlebih gelap lagi, ketika Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia rasakan di atas batu itu terukir tulisan, ia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya tahulah dia, kiranya itu adalah sebaris syair.
Oleh karena ia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang terukir di atas batu, mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan tulisan itu persis cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di batu ini dengan jari tangan saja, "Ditulis dengan tangan?" tanpa tertahan ia berseru.
"Ya, kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu mengejutkan orang, memang betul ditulis dengan jari tangan !" kata Khu Ju-ki.
"Mana bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?" kata Kwe Ceng ragu2.
"Orang yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi tiada bandingannya, bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa, namun terhitung seorang luar biasa yang sukar diketemukan," sahut Khu Ju-ki.
Tentu saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum.
"Siapakah dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya pada Tecu?" tanyanya cepat.
"Aku sendiri belum pernah melihat orang-nya," sahut Ju-ki. "Duduklah kau, biar aku ceritakan sebab musababnya sehingga terjadi peristiwa seperti hari ini."
Kwe Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu.
"Arti bunyi syair ini apa kau paham?" tiba2 Khu Ju-ki menanya.

Waktu itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur, tetapi lagu suara pertanyaan Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang lalu sewaktu Kwe Ceng masih muda, akan tetapi Kwe Ceng sedikitpun tidak pikirkan hal ini, ia tetap menjawabnya dengan sangat menghormat.

"Bagian depan Tecu masih paham, tetapi bagian belakang yang menguraikan urusan pribadi Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak begitu mengerti," demikian sahutnya.
"Tahukah kau orang macam apakah Tiong-yang Co-su itu?" tanya Khu Ju-ki lagi.
Kwe Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak tanya tentang diri Ong Tiong-yang, itu cakal-bakal dari Coan-cin-kau.
"Tiong-yang Cosu adalah "Khay-san-pi-co" (cakal-bakal) Coan-cin-kau, dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya diakui nmnor satu di jagad ini," sahutnya kemudian.
"Itu memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?" tanya Ju-ki pula.
"ltulah aku tidak tahu," sahut Kwe Ceng sambil menggoyang kepala.
"Nah, tahulah kau bahwa asalnya Tiong-yang Co-su bukan imam," kata Khu Ju-ki. "Diwaktu mudanya dia sangat benci pada tentara Kim yang menjajah tanah air kita dan membunuhi rakyat kita, pernah dia kerahkan pasukan sukarela untuk melawan pasukan Kim hingga terjadi suatu pergerakan yang menggemparkan belakangan karena pasukan Kim terlalu kuat, beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga banyak panglimanya tewas dan perajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian dia menjadi To-su (imam), Tatkala itu ia menyebut dirinya sebagai "Hoat-su-jin" (orang mati yang masih hidup), terus-menerus beberapa tahun ia menetap di dalam satu kuburan kuno di atas gunung ini, selangkahpun tak pernah ia keluar dari pintu kuburan itu, maksud kiasannya, yalah meski orangnya masih hidup, namun tiada seperti orang yang sudah mati, ia hidup tidak sudi hidup berdampingan di tanah air sendiri dengan musuh bangsa Kim."
"O, kiranya begitu," ujar Kwe Ceng.
"Kejadian itu berlangsung sampai beberapa tahun," Ju-ki melanjutkan pula, "tidak sedikit sobat-andai mendiang guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta dia keluar dari kuburan untuk membikin pergerakan yang lebih hebat lagi, Akan tetapi mendiang guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, iapun merasa tiada muka buat bertemu dengan bekasnya di kalangan Kangouw, maka ia tetap tidak mau keluar dari kuburan.
Keadaan demikian itu berlangsung sampai delapan tahun kemudian, tiba2 kedatangan seorang lawan yang dianggapnya paling kuat, musuh ini telah mencaci-makinya dengan segala kata2 yang mencemoohkan dan menghina diluar kuburan, ber-turut2 musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam, agaknya Sian-su (mendiang guruku) menjadi tak tahan, ia lantas keluar dari kuburan buat bergebrak dengan musuh tadi.Tak terduga, begitu dia keluar, segera orang itu menyambut padanya dengan bergelak ketawa: "Haha, akhirnya kau keluar juga, maka tidak perlu lagi kau kembali kedalam!" Karena itu Sian-su sadar bahwa dirinya telah kena tertipu, tetapi maksud tujuan orang itu adalah baik, yalah sayang terhadap kepandaian Siau-su yang begitu bagus harus terpendam lenyap di dalam kubur, oleh karenanya sengaja pakai kata2 yang pedas untuk memancingnya keluar dari kuburan.
Setelah mengalami kejadian itu, kedua orang dari lawan berubah menjadi kawan dan dengan bahu-membahu pergi mengembara Kangouw lagi."
"Siapakah gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu ?" tanya Kwe Ceng dengan kagum. "Apa dia satu di antara Tong-sia, Se-tok, Lam-te atau Pak-kay ?"
"Bukan," jawab Khu Ju-ki. "Kalau soal ilmu silat, orang ini masih berada di atas keempat tokoh besar itu, cuma karena dia adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri di kalangan umum, maka orang luar jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak tersohor."
"Ah, kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat lagi," ujar Kwe Ceng rada kaget.
"Ya, sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap Sian-su, ia sudah menyerahkan diri untuk mengikat perjodohan dengan Sian-su," tutur Ju-ki lagi "Tetapi Sian-su mengatakan bahwa musuh belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh karena itu, terhadap asmara yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak bodoh dan pura2 tidak tahu saja.
Tak tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi hati, ia menyangka Sian-su telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar sekali, Kedua orang yang tadinya lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu, oleh karena cinta berbalik menjadi sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji untuk bertanding di atas Cong lam-san ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul"
"ltu sebenarnya tidak perlu," kata Kwe Ceng.
"Memangnya !" ujar Khu Ju-ki. "Sian-su pun tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang jalan ia selalu mengalah, Siapa tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia bilang: Semakin kau mengalah, semakin nyata kau pandang rendah padaku - Karena tiada jalan lain, terpaksa Sian-su bergebrak dengan dia, sampai beberapa ribu jurus mereka bertempur, selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang mematikan.
Tak tahunya cianpwe itu menjadi gusar malah, katanya: "Baik, memang kau tidak niat bertarung dengan aku, kau anggap aku ini orang macam apa?" - Tetapi kata Sian-su : "Daripada bertanding secara kasar, tidakkah lebih baik bertanding secara halus ?" - jawab orang itu: "Begitupun boleh, jika aku kalah, selamanya tidak akan kutemui kau lagi, dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang"
Tetapi Sian-su balas menanya : "Dan jika kau yang menang, lalu apa yang kau inginkan ?" - Karena pertanyaan guruku itu, cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, ia menjadi gelagapan tak bisa menjawab, akhirnya dengan kertak gigi ia menjawab : "Jika aku me-nang, kau punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus serahkan untuk aku tinggal."
Syarat ini bikin Sian-su menjadi serba susah, harus diketahui sekali tinggal dia sudah delapan tahun mendiami kuburan kuno itu, tidak sedikit tinggalan karya jeri-payahnya, kini jika begitu saja direbut orang, inilah yang dia sayangkan, tapi Sian-su membatin kepandaiannya masih sedikit lebih tinggi daripada orang, ia pikir terpaksa harus kalahkan dia agar kelak tidak banyak rewel dan di-goda tiada habisnya, maka ia lantas tanya.
Cara bagaimana akan bertanding, "Hari ini kita sudah sama2 letih, biarlah besok malam kita tentukan siapa yang menang atau kalah," demikian sahut Cianpwe itu.
"Besok malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di sini, Kata orang itu: "Sebelum kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah dahulu." jawab guruku: "Bersumpah apa lagi ?"
"Begini," kata cianpwe itu," jika kau bisa mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di sini, dengan begitu pasti tidak akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya jika aku yang menang, kau harus sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau menjadi Tosu. Tapi tidak peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan kuil di atas gunung ini dan mengawani aku selama sepuluh tahun." Dalam hati mendiang guruku mengerti bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi Hwesio atau Tosu, itu berarti selama hidupnya diharuskan tidak beristri
"Tetapi buat apa aku harus menangkan kau hingga memaksa kau bunuh diri ? Dan kalau aku harus mengawani kau sepuluh tahun di atas gunung ini, hal inipun sulit," demikianlah pikir guruku, Oleh karenanya ia menjadi ragu2 tidak bisa menjawab.
"Kemudian cianpwe itu lantas berkata pula: "Pertandingan secara halus kita ini sangat mudah begini, kau gunakan jari tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas batu ini, demikian pula akupun mengukirnya beberapa huruf, lalu kita lihat tulisan siapa yang lebih baik, itulah dia yang menang."
Mendengar cara ini, Sian-su tercengang, katanya : "Menulis di atas batu dengan jari tangan ?"
"Ya, itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita boleh lihat siapa yang mengukir lebih dalam." - Namun Sian-su geleng2 kepala saja, jawabnya kemudian: "Aku toh bukan dewa, mana sanggup aku mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan ?" -
"Tetapi kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah ?" tanya orang itu. Dalam keadaan demikian Sian-su jadi di pojokkan pada keadaan yang serba susah, maju salah, mundurpun keliru, Tetapi kemudian ia pikir dijagad ini pasti tidak mungkin ada orang yang sanggup mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan, kebetulan urusan ini bisa di selesaikan sampai disini, dengan demikian pertandingan ini dapat dianggap tidak pernah ada, maka ia lantas berkata:
"Sudah tentu jika kau bisa, aku lantas ngaku kalah, Tetapi kalau kaupun tak bisa, kita boleh anggap seri, tiada yang menang dan tiada yang kalah, selanjutnya kita pun tidak perlu bertanding lagi."
Karena itu, tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih : "Bagus, kalau begitu sudah pasti kau akan jadi Tosu," demikian katanya sambil dengan tangan kiri me-raba2 sejenak di atas batu, habis ini ia ulur jari telunjuk tangan kanan terus menggores di atas batu itu.
"Sian-su menjadi ternganga ketika menyaksikan debu, batu itu bertebaran, betul saja orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam kagetnya sampai tak sanggup ia bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan tangan itu bukan lain adalah bagian depan dari syair ini.
"Tentu saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah, ia tidak bisa bicara lagi, besoknya dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, dia mendirikan sebuah kuil kecil di dekat kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong yang asli."
Kwe Ceng jadi ter-herah2 oleh cerita itu, waktu ia merabanya lebih terang, betul saja memang tulisan di atas batu itu bukannya ditatah, juga bukan ukiran, melainkan betul2 digores dengan jari tangan.
"Kalau begitu, ilmu kepandaian dalam hal tenaga jari cianpwe itu sesungguhnya sangat mengejutkan orang," katanya kemudian.
Karena ucapannya ini, tiba2 Khu Ju-ki mendongak dan ketawa ter-bahak2.
"Ceng-ji, kejadian ini bisa mengelabui mendiang guruku, bisa menipu aku, juga bisa menipu kau, tetapi kalau waktu itu isterimu berada disini, pasti tidak bisa mengelabui matanya," demikian katanya.
Kwe Ceng menjadi lebih heran hingga kedua matanya terpentang lebar.
"Apa? Apa didalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak beres?" tanyanya.
"Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi," sahut Khu Ju-ki. "Coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?"
"Sudah tentu ialah Toan Hong-ya, It-teng Taysu punya It-yang-ci," kata Kwe Ceng.
"Nah, dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekalipun di atas kayu, belum tentu dia mampu menulis sesuka hatinya, apa lagi di atas batu? Lebih2 lagi orang lain?" ujar Khu Ju-ki, "Karena itu juga sesudah Sian-su menjadi imam, terhadap kejadian itu ia masih terus memikirnya dengan tidak habis mengerti. Belakangan dia telah berjumpa dengan bapak mertuamu, Ui Yok-su Cianpwe, secara tak langsung guruku telah menyinggung kejadian itu, setelah Ui-tocu berpikir sebentar, kemudian ia bergelak ketawa, katanya: "Kepandaian itu akupun bisa. Cuma sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini,"Habis berkata, dengan ter-bahak2 ia lantas mohon diri dari guruku.

"Betul saja sebulan kemudian Ui-tocu telah datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka datang ke sini memeriksa batu ini. Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han. Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku.

"Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut, pikirnya dalam hati: ilmu silat Ui Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?"
Begitulah sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya"
Berbareng itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikitpun tidak bergerak.
Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak.
"Memang, kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini," demikian katanya kemudian. "Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam "Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin "Hoa-sek-tan", habis itu baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu."
Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu. Tiba2 ia menjadi ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap Ui Yok-su. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia telah menyambung lagi ceritanya.
"Ketika mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya.
Kalau dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana."
Kwe Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu.
"Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa dia masih hidup kini ?" tanyanya kemudian.
"Kecuali guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang," sahut Ju-ki. "Jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu."
"Dan entah dia meninggalkan keturunan tidak?" ujar Kwe Ceng.
Tiba2 Khu Ju-ki menghela napas panjang.
"Soalnya justru terletak disini," katanya kemudian, "Seumur hidup Locianpwe itu tidak pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu."
"Ah, kiranya dia ini," seru Kwe Ceng mendadak "Perempuan ini keji sekali, kiranya asalnya dari sini."
"Kau pernah ketemu dia ?" tanya Khu Ju-ki.
"Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam, ilmu silatnya memang sangat hebat," sahut Kwe Ceng.
"Dan kau telah melukai dia ?" tanya Ju-ki lagi.
"Tidak," jawab Kwe Ceng menggoyang kepala "Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi jahatnya,"
"Lebih baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja," ujar Khu Ju-ki. "Dan dia punya Sumoay she Liong..."
"Ha, kiranya wanita she Liong itu ?" potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap.
Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga.
"Kenapa ? Apa kau pernah lihat dia ? Apa telah terjadi sesuatu ?" tanyanya cepat.
"Tidak, Tecu tidak pernah bertemu dia," sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh, "Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung."
Khu Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia menghela napas pula.
"Ya, rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini," katanya kemudian "Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh."
Melihat air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas menerangkan lagi.
"Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu," demikian ia kata.
"Oh, ulang tahunnya yang ke-20?" mengulang Kwe Ceng. Tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun."
"Gadis she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini," sambung Khu Ju-ki. "Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai.
"Sudah tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang: "Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !""
"Tatkala itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan padanya. Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah pasang omong.Maski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam hati.
"Belakangan setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan, Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam kuburan." Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut, selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya.
"Kira2 lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu. Tapi baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih.
Katanya pula: "Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir"
Habis berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke pintu kuburan itu. Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya ?
"Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya, tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali.
Tampaknya dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya. Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi.
Dan entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara2 1agi. Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya.
"Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau, tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu.
Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2? Tetapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2.
Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita, melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di dalam kuburan kuno itu."
Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini.
"Dia hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?" tanyanya dengan tidak mengerti
"Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang luar, maka tidak begitu jelas," sahut Khu Ju-ki. "Tetapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci (kakak seperguruan perempuan) sendiri."
"Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?" sela Kwe Ceng heran.
"Ya, tidak salah," kata Khu Ju-ki. "Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu lantas disuruh turun gunung.
"Diwaktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.
Tak tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.
Kiranya gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan.
Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri.
"Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya, mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.
Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya. Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit...."
"Kejadian itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang benar," tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang.
"Kenapa kau tahu?" tanya Ju-ki.
"Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu," sahut Kwe Ceng. "llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia."
"Cerita itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu," ujar Khu Ju-ki.
"Dan karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan "Hoat-su-jin-bong" akan mengadakan sayembara buat memilih jodoh.
Bahkan dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya pula.
Para penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia.
Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan juga tak bisa menandingi dia."
Mendengar orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata: "Begitu saja kenapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari pada dia."
Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri. Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Ui Yong memang jauh lebih unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik.
"Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak sembarang orang berani "sir" padanya, " demikian sambung Khu Ju-ki pula.
"Dan kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja, siapapun pingin coba2 peruntungan?"
Sampai disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya.
"O, jadi para pendatang ini hendak meminang?" katanya kemudian, "Pantas makanya para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala."
Ju-ki ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini.
"Begitulah, maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain. Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini, ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau, apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita ? Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong.
Di samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2. Siapa duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu."
"Jangan2 dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi," ujar Kwe Ceng.
"Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan," sahut Khu Ju-ki. "Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu !" - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat.
Waktu Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka, iapun tidak tahu dimana letak "Hoat-su-jin-bong" yang dimaksudkan itu.
"Dan sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat menghadapi musuh," kata Khu Ju-ki lagi. "Kami kirim orang pergi mencari berita, lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.
Ada beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini.
Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu itu. Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu.
"Tentang kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan. selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.
Orang menyebut dia Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?"
"Pangeran Hotu, pangeran Hotu ?" demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini.
"Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual", kata Khu Ju-ki pula, "Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini.
"Sedang tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku. Dia adalah Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii, maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi.
"Sedang para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung, sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu mendekati Tiong-yang-kiong.
Tetapi rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?"
Kwe Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu mencegahnya.
"Tidak perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar tubuh itu ?" katanya pula, "Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?"
Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.
"Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu sampai di depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas kobarkan api, ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada.
Dengan sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya. Tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.
"Kini kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan..."Bercerita sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi "hauuuuh hauuuh hauuuuuh"
di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu tantangan yang ditujukan pada seorang.
"Binatang, binatang !" mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: "Ceng-ji, bangsat itu telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah. Mari, kita ke sana !"
"Apakah pangeran Hotu itukah ?" tanya Kwe Ceng.
"Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Ju-ki. "Dia justru sedang menantang Siao-liong-Ii!"
Sembari berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya.
Setelah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi di-sebul semakin keras, diantara suara "hu-hu" itu bahkan masih terseling pula suara "ting-ting-ting" yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.
Khu Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu. "Hm, dua jago terkemuka sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu," demikian damperatnya pula.
Sambil berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.
Karena itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat.
Sementara tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan.
Tetapi meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi tiada suara yang membalas.
Sebab itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak: "Aku adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!".
Baru habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara "creng-creng-creng", mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim (semacam alat musik, kecapi).
Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula: "Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !"
Diluar dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya tanda merasa gusar. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda sedang mengusir tetamu.
Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi:
"Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkaupun tidak perlu kikuk2."
Dan baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat, lapat2 seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebat suara tahunan Khim itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi.
Karena itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2. Maka Hotu lantas berseru lagi: "Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan"
Habis berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan2nya secara be-ramai2. Dalam hati mereka memikir: "Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?"
Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu.
Melihat musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru: "Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!"
Mendengar suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan.
"Ceng-ji, hayo turun tangan saja !" ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan perbuatan kawanan bandit itu.
Tetapi baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan. Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2, sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat.

Diam2 Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini ?

Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara "ngaung-ngaung-ngaung" yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu.

Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini. "Apakah itu ?" tanyanya.

Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling, mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.

"He, tawon, kenapa warna putih ?" seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu.

Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan suara yang mengerikan.
"Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat, apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?" demikian Kwe Ceng ber-tanya2 dalam hati

Dalam pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki.

Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut ia terus meniup dengan sekuatnya.

Gerombolan tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar menyarnber lagi

Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi.

Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun, "Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!" demikian mereka memohon.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

2.4K 274 16
Di tengah kehidupannya yang sulit, Yohan bertemu seorang pria misterius bernama J yang terus mengikutinya. J membuat tanda di dahi Yohan. Sebuah tan...
2.3M 170K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
502K 20.5K 36
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
57.5K 4.4K 20
Pak Joko beserta anak istrinya di temukan tewas gantung diri. Sejak kematian mereka, seluruh warga desa mendapat teror mengerikan. Sosok Pocong meny...