ZiAron [END]

By sashasyy

7.3M 719K 63.9K

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] ________________________________________... More

01 - ZiAron
02 - ZiAron
03 - ZiAron
04 - ZiAron
05 - ZiAron
06 - ZiAron
07 - ZiAron
08 - ZiAron
09 - ZiAron
10 - ZiAron
11 - ZiAron
12 - ZiAron
13 - ZiAron
14 - ZiAron
15 - ZiAron
16 - ZiAron
17 - ZiAron
18 - ZiAron
19 - ZiAron
20 - ZiAron
21 - ZiAron
22 - ZiAron
23 - ZiAron
24 - ZiAron
25 - ZiAron
26 - ZiAron
27 - ZiAron
28 - ZiAron
30 - ZiAron
31 - ZiAron
32 - ZiAron
33 - ZiAron
34 - ZiAron
35 - ZiAron
36 - ZiAron
37 - ZiAron
38 - ZiAron
39 - ZiAron
40 - ZiAron
41 - ZiAron
42 - ZiAron
43 - ZiAron
44 - ZiAron
45 - ZiAron
46 - ZiAron
47 - ZiAron
48 - ZiAron
49 - ZiAron
50 - ZiAron
51 - ZiAron
52 - ZiAron
53 - ZiAron
54 - ZiAron
55 - ZiAron
56 - ZiAron
57 - ZiAron
58 - ZiAron
59 - ZiAron
60 - ZiAron
61 - ZiAron
62 - ZiAron
63 - ZiAron
64 - ZiAron
65 - E N D
EXTRA PART I
EXTRA PART II
EXTRA PART III
EXTRA PART IV + SEQUEL

29 - ZiAron

101K 10.1K 302
By sashasyy

• Hidup Baru

"Aron!"

Zia berlari mengejar Aron. Kini waktunya pulang dan tidak sengaja melihat Aron yang baru saja turun dari tangga.

Aron menghentikan pergerakannya saat mendengar suara kecil menyebut nyebut namanya. Menghadap ke belakang dan langsung menemukan Zia membuatnya sedikit kaget.

"Anj-,

Zia berdesis memotong umpatan Aron. "Udah mulai ngomong kasar lagi. Padahal kemarin sama tadi pagi udah baik banget."

"Gue kaget. Lo juga ngapain di belakang gue?" cerca Aron memang nampak sangat kaget tadi.

"Mau pulang."

"Udah nggak sedih?" tanya Aron memastikan.

Zia menggeleng dengan senyum. "By the way," Zia menggantung perkataannya membuat Aron mengangkat alis.

"Makasih."

"Udah ayo pulang." lanjutnya yang langsung menarik tangan Aron tanpa menunggu laki laki itu mencerna lebih dulu.

"Makasih?" ulang Aron menatap Zia bingung.

Zia mengangguk. "Makasih udah bantu gue selesain masalah sama Gibran."

"Oh," Aron membulatkan bibirnya. Tidak berniat menjawab juga ucapan terimakasih dari istrinya.

Keduanya pun berjalan dengan hening sekarang. Kini Zia salah fokus dengan tangannya sendiri yang menggandeng tangan Aron. Segera ia menariknya dan berjalan seperti biasa kembali.

Aron yang melihat itu malah merangkul pundak Zia kini. Sama sama tertoleh kemudian.

"Apa? Nggak suka?" ucap Aron langsung melihat kilatan tidak suka dari wajah Zia.

"Nggak usah sok sok romantis. Merinding gue liat lo yang kayak gini." aku Zia yang langsung menurunkan tangan Aron dan menjaga jarak.

"Cewek gak waras." umpat Aron sesekali meruntuki dirinya sendiri juga. Tangannya ini kenapa sekarang aktif sendiri menyentuh nyentuh Zia.

Kini pun keduanya itu saling berjalan dengan jarak. Persis seperti kekasih yang sedang bertengkar. Aron sekarang juga sudah tidak menggubris Zia lagi. Dan Zia juga berjalan dengan tenang.

Sampai akhirnya langkah keduanya terhenti saat seorang gadis baru saja melewati mereka dan berdiri tepat didepan Aron.

Melihat Gisa yang disana, kini ingatan Zia seketika terlintas jelas bayangan saat gadis itu menyiramnya. Bahkan belum ada balasan apa apa untuk gadis itu.

Gisa tersenyum pada Aron. "Hai Aron. Kaget ya gue masih disini?"

Zia mengerutkan dahi sejenak. Menoleh kearah Aron dan melihat laki laki itu dengan wajah yang sudah menegas menatap Gisa.

Lagi lagi Gisa tersenyum. "Nggak semudah itu lo bisa keluarin gue dari kampus ini Aron."

Zia terhenyak. Ia kaget. Aron berusaha mengeluarkan Gisa? Sejak kapan? Ia tidak pernah tahu tentang ini.

"Tapi tenang," lanjut Gisa. "Gue udah di kasih surat peringatan dari kampus." sambil menunjukkan amplop putih ditangannya.

Aron mengepal kuat tangannya. Melihat itu, Zia mendekat. Menggenggam tangan Aron yang membuat sang empu menatapnya. Yang ditatap kini malah membuang pandang ke depan.

"Oh sampai lupa ada lo juga ya ternyata," Gisa tersenyum miring.

"Lo tau nggak, kalau Aron mau keluarin gue dari kampus gara gara cuma siram lo itu?" Gisa bertanya dan Zia diam tak menjawab.

"Udah tau sih pasti. Malahan kayaknya lo deh yang nyuruh Aron keluarin gue."

"Zia nggak pernah nyuruh gue buat keluarin lo." atensi semua menyorot pada Aron kini. "Itu semua murni dari niatan gue yang mau keluarin lo dari kampus ini."

Sekarang Zia paham. Walaupun dirinya tidak bisa membalas perbuatan Gisa karena Aron menahannya waktu itu. Tapi Aron sudah berusaha untuk membalas Gisa dengan cara mengeluarkan gadis itu dari kampus. Meskipun tidak berhasil, tapi bukan masalah besar. Zia juga sudah tidak mempermasalahkan itu semua sebenarnya.

"Minggir." tegas Aron memerintah Gisa untuk tidak menghalangi jalannya.

Gisa menghela nafas pelan. "Oke, masalah itu udah selesai. Sekarang gue tanya masalah lain kalo gitu,"

Apalagi? Batin Aron serasa ingin membunuh Gisa sekarang juga.

"Ini siapa?"

Deg.

Pandangan Zia terpaku saat melihat foto dirinya yang sedang berpelukan dengan Gibran saat di bandara tadi. Dan ya, orang yang melihat semua dibandara tadi adalah Gisa.

"Gue nggak sengaja lihat lo berdua di bandara tadi sih, sama orang ini. Mana ada acara peluk pelukan, nangis juga lagi. Siapa?" tanya Gisa pada keduanya.

"Pacar lo?" ceplos Gisa langsung menutup mulutnya.

Aron kini malah tersenyum sebentar. "Kalau pacarnya Zia kenapa gue juga ada disitu?"

Gisa menurunkan ponselnya. Ia terdiam namun mengangkat alisnya kemudian. "Siapa tau kan ngakunya saudara atau apa ternyata selingkuhan."

"Jaga mulut lo." tegas Aron.

Gisa mengangguk angguk. "Siapa zi? Gue tanya baik baik loh ini," sambil menatap Zia kini.

"Saudara Zia. Kenapa?" Aron yang menjawab.

"Bener?" Gisa masih fokus pada Zia.

"Bacod." satu kata itu keluar dari mulut Zia.

"Nggak usah ngurus hidup orang. Tata dulu hidup lo biar nggak jadi benalu di rumah tangga orang." lanjut Zia yang kemudian langsung menarik Aron pergi.

Aron menurut saja. Senyuman tipis kini tercetak jelas diwajahnya menatap gadis itu.

Gisa berputar. Satu seringai muncul dari bibirnya.

"Asik juga kayaknya kalau gue selidiki."

••••••

"Mau tanya, boleh?"

Aron melirik. "Apa?"

"Lo bener mau ngeluarin Gisa dari kampus?"

"Kenapa nggak?"

Zia mengangguk angguk. "Gapapa juga sebenarnya, cuma nggak usah repot repot buat keluarin dia karena gue."

Aron berdecak malas. "Niat gue baik, tapi malah nyuruh nggak usah."

"Bukan gitu. Takut nanti masalah tambah besar aja. Apalagi kalau bunda ayah denger. Gue nggak mau jadi beban buat semua." tutur Zia pelan. Ini semua juga atas kemauannya sendiri.

Aron kini menatap penuh kearah Zia. Keduanya sekarang tengah berada di salah satu kafe untuk memesan makanan. Tidak makan disana, untuk dibawa pulang saja.

"Bukan beban Zia. Kalaupun lo beban, gue juga nggak bakal repot repot keluarin Gisa. Gue lakuin ini demi kebaikan lo. Dengan Gisa keluar dari kampus, nggak bakal ada lagi yang berani ganggu lo lagi." balas Aron tegas dan serius.

"Tapi nggak perlu sekayak gitunya. Lo bolehin gue siram Gisa aja waktu itu, gue udah seneng banget bisa bales dia."

"Namanya lo cari perkara baru. Mending diem dan gue yang selesain semua."

"Tapi,-

"Nggak ada tapi tapian. Gue kayak gini demi lo. Nggak mau lo kenapa napa dan gue udah janji buat lindungi lo dari siapapun itu." sela Aron semakin menegas membuat Zia diam.

Aron ikut diam dengan mengontrol emosinya. Seperti ini saja sudah mampu akan membuat dirinya marah. Aron paling tidak suka dengan orang yang menentangnya.

Zia menghela nafas pelan. Ia menatap Aron lagi kini. "Lo beneran mau berubah ya ar?" tanya Zia ragu. Aron langsung menyorotnya dengan pandangan yang masih terlihat marah.

"Berubah gimana?"

"Nggak tau. Tapi akhir akhir ini lo berubah sejak kasih kalung Dista buat gue." jawab Zia seadanya.

Pandangan Aron tertoleh pada kalung indah itu. Tidak lama, ia kembali menatap Zia. "Gue juga udah janji buat bahagian lo. Jadi apa salahnya gue berubah sikap ke lo?" tanya Aron masih terlihat ketus.

Zia memainkan sedikit bibirnya. "Aneh aja." yang kemudian berdehem panjang.

"Lo nggak nganggep gue Dista kan?" tanya Zia kembali ragu.

Aron terdiam. Apa iya ia menganggap Zia Dista akhir akhir ini? Aron bingung sendiri kini.

"Permisi kak, pesanannya." ucap seorang pelayan yang mampu membuyarkan keseriusan dua insan itu.

Aron langsung berdiri. Menyodorkan sejumlah uang dan menerima pesanan itu. Kini pun ia kembali menoleh pada Zia.

"Pulang."

Zia mengangguk tanpa bertanya kembali. Mungkin iya akhir akhir ini Aron menganggapnya Dista. Zia juga tidak ingin memaksa Aron menjawab. Takut malah laki laki itu akan marah. Hari ini biarlah seperti ini. Dirinya dan Aron yang akur dan dekat.

Zia menggandeng tangan Aron tanpa di perintah. "Maafin gue tadi udah buat lo marah marah." Aron tidak menoleh.

"Aron marah ya?"

"Yah padahal kan hari ini Aron udah baik banget sama Zia." lesu gadis itu.

Aron melirik yang langsung membuang pandang kembali.

"Hm yaudah kalo marah beneran."

Zia melepas gandengan tangannya. Ia pun kini memilih mengikuti Aron dari belakang tanpa bergeming lagi. Hingga kini keduanya sama sama memasuki mobil.

••••••

Hari berganti semakin malam, kini Zia terus mengurung dirinya di balkon kamar. Bahkan hingga sudah larut malam seperti ini, gadis itu masih setia berada di balkon dengan mata yang terpejam.

Mengingat semuanya. Mengingat Gibrannya yang kini bukan Gibrannya lagi. Laki laki itu sudah pergi dari hidupnya. Laki laki yang selama ini menjadi kebahagiaannya telah pergi.

Entah. Zia hanya sedikit belum terima dengan keadaan. Dan jujur. Ia masih membutuhkan Gibran untuk hidupnya.

Kini ia tidak sengaja mendengar suara decitan pintu kamar terbuka. Menoleh kebelakang dan melihat sosok laki laki itu. Pikirannya pada Gibran sesaat buyar menyadari sikap Aron yang sepertinya marah dengannya tadi.

Pandangan mereka saling bertemu beberapa saat. Aron yang memilih lebih dulu memutuskan kontak mata.

"Jangan tambah beban pikiran gue ar," lirih Zia menatap kedepan lagi.

"Gue masih belum terima keadaan. Hati gue masih hancur. Gue butuh sandaran Aron. Gataunya dia ikut marah," gumam Zia pelan dengan kepala ia sanggahkan lagi pada tangan.

"Nggak usah berlarut sama masalah ini,"

Zia mendongak mendengar suara bariton yang tiba tiba memasuki indera pendengarannya itu. Melihat Aron yang sudah berdiri tegap di sampingnya.

Aron menunduk menatapnya. "Gibran udah terima semuanya. Dia cowok baik dan pasti dia dapetin kebahagiaan lagi di luar sana." lanjut Aron.

Zia memutuskan kontak mata. Menghela nafas pelan. "Tanpa gue?" Zia menatap lurus kedepan.

Aron mengangguk. "Tanpa lo dan lo pun juga bisa bahagia tanpa dia."

"Siapa yang buat gue bahagia?" tanya Zia kembali. Ucapan gadis itu seperti kosong tanpa makna.

"Kenapa masih tanya?"

Zia mendongak dengan mata yang langsung disambut dengan mata biru gelap Aron. "Lo?"

Helaan nafas terdengar begitu jelas dari Aron. Laki laki itu duduk dan sekarang menarik Zia dalam dekapannya. Saat itupun Zia tidak tahan untuk tidak membalas pelukan dari Aron.

"Gue suami lo, gue yang akan buat lo bahagia."

Zia tidak menjawab. Tanpa di sengaja lagi, air matanya turun lagi. Entah ke berapa kalinya ia menangis hari ini. Hanya itu yang bisa membuat hati Zia sedikit lega.

"Lo, nggak marah lagi?" tanya Zia pelan. Aron tidak bergeming. Hanya menyorot lurus kedepan.

Zia pun tidak ingin bertanya lagi. Yang ia butuhkan hanya sandaran sekarang. Di peluk oleh Aron seperti ini, sudah jauh membuat keadaannya membaik.

Sampai kini, Zia melepas pelukan keduanya. Saling bertatapan langsung dengan sorot mata dalam.

"Nggak usah nangis. Nggak ada gunanya juga lo nangis kayak gini," terlihat masih sedikit dingin, tapi Aron peduli dengan Zia. Ia menghapus jejak air mata gadis itu dengan lembut.

"Sekarang tidur. Jangan di pikirin lagi masalah Gibran. Semua udah selesai. Mulai hidup baru sama gue." sambungnya membuat hati Zia bergemuruh.

"Tidur, gue keluar sebentar." Aron langsung berdiri membuat Zia mendongak tinggi.

Zia mengangguk. "Jangan malem malem. Sama maaf kalau ucapan gue di kafe tadi buat lo marah ar,"

Tidak ingin membalas, Aron langsung melenggang dari sana.

Mata Zia kembali menyorot ke depan dengan pikiran yang semakin terpecah belah. Satu sisi memikirkan Gibran dan satu sisi memikirkan Aron.

Menghela nafas dan memiilih bangkit. Bergegas tidur. Melupakan sejenak semuanya. Hari ini sudah cukup lelah baginya.

Last chapter buat sedih sedih. Hehe, sebentar aja sedihnya. Balik ke normal lagi.

Jangan lupa vote. See you besok!

Continue Reading

You'll Also Like

64.2K 6.4K 18
[REVISI] Membenci sesuatu secara berlebihan itu tidak baik. Sampai akhirnya dua pembenci itu bersatu karena takdir. Namun ditengah hubungan yang seda...
5.3M 322K 43
"𝑲𝒂𝒍𝒐 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒄𝒆𝒎𝒃𝒖𝒓𝒖 𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒑𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂?" - 𝑷𝒓𝒆𝒔𝒊𝒅𝒆𝒏 𝑴𝒂𝒉𝒂𝒔𝒊𝒔𝒘𝒂. ••• Gimana perasaan kalian saa...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
3.7M 366K 53
[Sebagian chapter di privat, follow untuk membacanya] "Ada ribut apa-apa toh Unna?" "Dia pengen cari seseorang tapi ga tau nam-" "Nah ini dia yang g...